Anda di halaman 1dari 4

Pentingnya keterbukaan dan pelayanan informasi dalam

mengembangkan budaya literasi perpustakaan


Informasi merupakan sebuah entitas yang berpotensi untuk menjadi sebuah kekuatan
sekaligus sumber kebingungan bagi banyak orang. Setiap hari kita ditantang untuk berhadapan
dengan informasi yang melimpah ruah dan melaju dengan kencang, dalam berbagai format yang
terhitung pula jumlahnya. Keterampilan dasar dalam melek informasi yang tidak lain adalah
kemampuan untuk mengakses, mengevaluasi dan menggunakan informasi dari berbagai sumber
secara efektif, menjadi sebuah keahlian yang teramat penting dan harus dikuasai oleh semua
pihak baik pustakawan maupun pengguna.

Selanjutnya untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan, solusi yang tepat adalah segera
akses ke perpustakaan merupakan alternatif sebagai sarana mendukung literasi informasi
tersebut. Padahal seseorang yang datang ke perpustakaan juga dihadapkan pada berbagai sumber
informasi yang beraneka macam bentuk dan kemasannya. Selanjutnya yang terpenting adalah
bagaimana kita dituntut untuk mengambil keputusan yang benar dan tepat dengan sumber
informasi yang tersedia di perpustakaan, sehingga dapat dipercaya dan dapat
dipertanggungjawabkan sumbernya.

Selain itu keputusan yang kita ambil akan menjadi baik tergantung pada bagaimana informasi itu
bisa kita peroleh secara tepat. Akhir-akhir ini kita sering mendengar istilah literasi informasi
(information literacy). Literasi informasi dapat diistilahkan juga dengan istilah ’melek
informasi’. Bahkan di berbagai pertemuan/forum ilmiah juga sering didiskusikan mengenai
literasi informasi ini. Oleh karena itu, dalam rangka menanggapi kebutuhan informasi yang
semakin berkembang dan kompleks serta untuk berpartisipasi aktif dalam masyarakat informasi,
maka kita memerlukan adanya literasi informasi sebagai proses pembelajaran seumur hidup.

Konsep literasi informasi Pertama kali di perkenalkan oleh Paul Zurkoweski (President
information Association) pada tahun 1974, ketika ia mengajukan sebuah proposal kepada the
national Commission on Libraries and information Science (NCLIS),USA. Zurkoweski menulis:

“People trained in the aplication of information resources to the work can be called information
literate. They have learned techniques and skill for utilizing the wide range of information tools
as well as primary sources in molding information solutions to their problems”

Merujuk pada tulisannya dapat di artikan orang-orang yang dilatih dalam mengaplikasikan
sumber-sumber informasi untuk pekerjaan mereka dapat disebut dengan information literate
(terpelajar dalam memanfaatkan informasi), mereka belajar teknik dan kemampuan dalam
memanfaatkan keluasan perangkat informasi sebagaimana pemanfaatan sumber utama dalam
mencari pemecahan masalah yang dihadapi.

Beberapa pandang yang berkaitan dengan jenis literasi, yaitu literacy yang berkaitan dengan
melek huruf, oral literacy ketidakpahaman isi yang disampaikan, technology literacy teknologi
yang digunakan untuk mendukung literasi, kemudian aliteracy yang menggambarkan ketidak
membacaan masyarakat. Munculnya beberapa istilah yang berhubungan dengan literasi karena
beberapa faktor :

Pertama, dilihat dari aspek bahasa. Penggunaan beberapa istilah literasi, merupakan cara yang
digunakan untuk memudahkan dalam menggambarkan atau memaknai terhadap istilah tersebut
mengenai makna yang terkandung dalam.

Kedua, dilihat dari aspek estimologi. Dimana perkembangan atau asal muasal istilah literasi
merupakan suatu rangkian yang muncul dari istilah yang satu yang pada akhirnya digunakan
untuk memaknai istilah yang lainnya.

Ketiga, dilihat dari aspek budaya. Beberapa istilah literasi menunjukan tingkat atau strata suatu
masyakat. Dimana tingkat literasi digunakan untuk menggambarkan tingkat peradaban
masyarakat suatu bangsa.

Pemahaman literasi informasi sampai saat ini belum ada istilah baku yang menjadi kesepakatan
para ahli informasi. Banyak istilah yang digunakan untuk memahami literasi informasi, misalnya
dengan pengertian “melek huruf”. Putu Laxman Pendit mengartikan literasi informasi sebagai
keberaksaraan. Doyle (1994) dalam Saad (2006), mendeskripsikan information literate: “Person
as one who; recognizes that accurate and complete information is the basis for intelligent
decision making, recognizes the need for information, formulates questions based on information
need, identifies potential sources of information, develops successful search strategies, accesses
sources of information including computer-based and other technologies, evaluates information,
organizes information for practical application, integrates new information into an existing body
of knowledge, uses information in critical thinking and problem”.

Hepworth (1999) dalam Irawati (2005) mendefinisikan information literacy sebagai proses
memperoleh pengetahuan terhadap perilaku dan keahlian dalam bidang informasi, sebagai
penentu utama dari cara manusia mengeksploitasi kenyataan, membangun hidup, bekerja, dan
berkomunikasi dalam komunitas informasi. Sehingga dari beberapa definisi tersebut dapat
dikatakan bahwa literasi informasi kemampuan seseorang untuk mengenali informasi yang
dibutuhkan dan kemampuan untuk menemukan letak informasi tersebut, kemudian mengevaluasi
dan juga mampu menggunakan informasi tersebut secara efektif.
Masyarakat yang memiliki literasi informasi adalah masyarakat yang telah mengerti, menyadari,
memahami, dan menggunakan tulisan (bacaan dan sumber informasi). Dengan kata lain, selain
mempunyai budaya lisan/ tutur yang telah dibawa sejak turun-temurun, ratusan bahkan ribuan
tahun. Mereka telah mengembangkan budaya baca dan tulis (Sutarno NS, 2006). Masyarakat
yang memiliki budaya baca tinggi harus terus diimbangi dengan penyediaan fasilitas seperti
perpustakaan dan bahan bacaan yang memadai sesuai kebutuhan masyarakat (Priyanto, 2007).
Hingga tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk menjadi pemburu informasi dan ”melek
informasi” dalam memenuhi kebutuhannya.

Keberadaan perpustakaan sangat diharapkan untuk dapat berperan sebagai agen pengembangan
modernisasi masyarakat (Kartosedono, 1995). Kondisi semacam itu hanya bisa ditemui dalam
masyarakat yang memiliki budaya baca tinggi. Keberadaan perpustakaan tidak akan berpengaruh
dalam masyarakat yang memiliki budaya baca rendah.
Perpustakaan sebagai sumber informasi peran yang dilakukan dalam membangun masyarakat
literasi, menurut Ratna (2006) dalam Suciati (2007) ada beberapa cara yang dapat dilakukan:

pengguna hendaknya diberikan wawasan apa saja fasilitas dan koleksi serta informasi yang
tersedia di perpustakaan untuk mengurangi tekanan pengguna dalam menemukan informasi
hedaknya perpustakaan selalu menyelenggarakan user education secara berkala, terutama apabila
selalu ada penambahan layanan dan fasilitas pengguna diberikan ketrampilan dalam
mengoperasikan sarana-sarana penelusuran baik manual maupun elektronik agar dapat
mengakses sendiri dengan efektif disediakan panduan-panduan yang mudah dipahami pada
setiap titik layanan
menyediakan fasilitas yang memadai dengan memanfaatkan teknologi informasi agar lebih
efektif dan efesien dalam memanfaatkan informasi menyediakan koleksi dan informasi yang
sesuai dengan kurikulum serta program-program yang ada di lembaga yang bersangkutan sesuai
dengan jumlah dan judul serta senantiasa mengikuti perkembangan koleksi dan informasi terbaru
ditopang dengan jumlah sumber daya manusia yang memadai, berkualitas, profesional, dan
santun suasana belajar yang menyenangkan, nyaman, dan aman.

Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk membangun literasi masyarakat pada
perpustakaan. Satu diantara cara yang dapat dilakukan adalah melalui pendidikan pemakai.
Menurut Hak (2008) mengutip Maskuri (1995) pendidikan pemakai atau seringkali disebut user
education adalah suatu proses di mana pemakai perpustakaan pertama-tama disadarkan oleh
luasnya dan jumlah sumber-sumber perpustakaan, jasa layanan, dan sumber informasi yang
tersedia bagi pemakai, dan kedua diajarkan bagaimana menggunakan sumber perpustakaan, jasa
layanan, dan sumber informasi tersebut yang tujuannya untuk mengenalkan keberadaan
perpustakaan, menjelaskan mekanisme penelusuran informasi serta mengajarkan pemakai
bagaimana mengeksploitasi sumber daya yang tersedia.
[09.45, 22/11/2021] Elsa Romadhoni: Salah satu dampak dari perkembangan teknologi informasi
saat ini mengakibatkan ledakan informasi (information explosion). Artinya bahwa hampir setiap
orang dari anak kecil sampai orang tua dapat menerima informasi apapun dan dari manapun
tanpa batas dan filter. Selanjutnya apabila masyarakat sebagai pengguna perpustakaan cukup
melek informasi, maka berbagai informasi yang melimpah tersebut akan menjadi sumber daya
yang bermanfaat. Untuk itu setiap orang sangat perlu mengevaluasi informasi yang mereka
terima supaya bisa memenuhi kebutuhannya akan informasi yang dicari.

Masyarakat sebagai pengguna perpustakaan harus benar-benar selektif dalam menerapkan suatu
hal dari informasi yang dibaca dari sebuah buku. Kita ketahui bahwa salah satu kegiatan
perpustakaan tanpa memandang jenis dan bentuk organisasi dari sebuah perpustakaan, adalah
mengadakan bahan pustaka yang dimulai dari menseleksi, memilih, dan akhirnya memesan
bahan pustaka. Oleh karena itu, disinilah peran perpustakaan sebagai penyaring (filter) dari
berbagai macam sumber informasi yang ada. Perpustakaan harus bisa memprioritaskan buku-
buku yang bisa lebih berperan dalam mengolah sumber-sumber informasi agar bernilai bagi
masyarakat yang membutuhkan.

Kesimpulannya perpustakaan adalah wadah untuk mewujudkan masyarakat berinformasi.


Selanjutnya dengan adanya literasi informasi yang tepat, maka akan membuat masyarakat
menjadi lebih percaya diri untuk maju dan mengembangkan diri dalam mengambil keputusan
dengan tepat. Menurut Association of College and Research Libraries (ACRL) dalam
Information literacy competency standards for higher education orang yang memiliki
keterampilan dalam literasi informasi, akan memiliki kemampuan standar sebagai berikut:

a) menentukan batas informasi yang diperlukan;


b) mengakses informasi yang dibutuhkan dengan efektif dan efisien;
c) mengevaluasi informasi dan sumber-sumber informasinya dengan kritis;
Memadukan sejumlah informasi yang terpilih menjadi dasar pengetahuan seseorang;
menggunakan informasi dengan efektif untuk mencapai tujuan tertentu;

Salah satu faktor yang mempengaruhi sedikitnya jumlah pengunjung dalam memanfaatkan
informasi adalah literasi informasi masyarakat dalam menggunakan perpustakaan. Literasi
informasi merupakan kemampuan seseorang untuk mengenali informasi yang dibutuhkan dan
kemampuan untuk menemukan letak informasi tersebut, kemudian mengevaluasi dan juga
mampu menggunakan informasi tersebut secara efektif.

Oleh karena salah satu cara yang digunakan untuk membangun literai informasi di perpustakaan
dengan pendidikan pemakai. Pendidikan pemakai suatu proses di mana pemakai perpustakaan
pertama-tama disadarkan oleh luasnya dan jumlah sumber-sumber perpustakaan, jasa layanan,
dan sumber informasi yang tersedia bagi pemakai, dan kedua diajarkan bagaimana menggunakan
sumber perpustakaan, jasa layanan, dan sumber informasi tersebut yang tujuannya untuk
mengenalkan keberadaan perpustakaan, menjelaskan mekanisme penelusuran informasi serta
mengajarkan pemakai bagaimana mengeksploitasi sumber daya yang tersedia.

Dalam hal ini bentuk pendidikan pemakai yang digunakan melalui oreintasi perpustakaan, yaitu
pendidikan jangka pendek dalam upaya membangun pengetahun pengguna dalam menggunakan
perpustakaan. Dengan muatan materinya antar lain untuk mengetahui perpustakaan dan sistem
pelayanan perpustakaan, dan cara menggunakan fasilitas di perpustakaan. Sehingga dengan
pendidikan pemakai ini literasi masyarakat penggunan akan baik dan familier dalam
memanfaatkan informasi di perpustakaan.

Anda mungkin juga menyukai