Anda di halaman 1dari 18

BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia tercatat sebagai salah satu negara yang berhasil mengurangi angka buta huruf. Data United
Nations Development Programme (UNDP) tahun 2014 mencatat bahwa tingkat kemelekhurufan
masyarakat Indonesia mencapai 92,8% untuk kelompok dewasa, dan 98,8% untuk kategori remaja.
Capaian ini sebenarnya menunjukkan bahwa Indonesia telah melewati tahapan krisis literasi dalam
pengertian kemelekhurufan.

Tantangan yang masih dihadapi saat ini adalah ketersediaan buku yang belum merata di hampir seluruh
wilayah Indonesia serta rendahnya motivasi dan minat baca peserta didik.

Hal ini memprihatinkan karena di era teknologi informasi, peserta didik dituntut untuk memiliki kemampuan
membaca dalam pengertian memahami teks secara analitis, kritis, dan reflektif.

Masyarakat global dituntut untuk dapat mengadaptasi kemajuan teknologi dan keterbaruan/kekinian. Hal
ini tercantum dalam Deklarasi Praha (Unesco, 2003) yang mencanangkan pentingnya literasi informasi
(information literacy), yaitu kemampuan untuk mencari, memahami, mengevaluasi secara kritis, dan
mengelola informasi menjadi pengetahuan yang bermanfaat untuk pengembangan kehidupan pribadi dan
sosialnya.

Dalam era global ini, literasi informasi menjadi penting. Deklarasi Alexandria
pada tahun 2005 menjelaskan bahwa literasi informasi adalah:

“kemampuan untuk melakukan manajemen pengetahuan dan


kemampuan untuk belajar terus-menerus. Literasi informasi
merupakan kemampuan untuk menyadari kebutuhan
informasi dan saat informasi diperlukan, mengidentifikasi dan
menemukan lokasi informasi yang diperlukan, mengevaluasi
informasi secara kritis, mengorganisasikan dan
mengintegrasikan informasi ke dalam pengetahuan yang
sudah ada, memanfaatkan serta mengkomunikasikannya
secara efektif, legal, dan etis.”

(sebagaimana dirilis dalam www.unesco.org)

1 | Gerakan Literasi Sekolah


Kebutuhan literasi di era global ini menuntut pemerintah untuk menyediakan dan memfasilitasi sistem dan
pelayanan pendidikan sesuai dengan UUD 1945, Pasal 31, Ayat 3, “Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta
akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.” Ayat
ini menegaskan bahwa program literasi juga mencakup upaya mengembangkan potensi kemanusiaan
yang mencakup kecerdasan intelektual, emosi, bahasa, estetika, sosial, spiritual, dengan daya adaptasi
terhadap perkembangan arus teknologi dan informasi. Upaya ini sejalan dengan falsafah yang dinyatakan
oleh Ki Hadjar Dewantara bahwa pendidikan harus melibatkan semua komponen masyarakat (keluarga,
pendidik profesional, pemerintah, dll.) dalam membina, menginspirasi/memberi contoh, memberi semangat, dan
mendorong perkembangan anak.

Literasi tidak terpisahkan dari dunia pendidikan. Literasi menjadi sarana peserta didik dalam mengenal,
memahami, dan menerapkan ilmu yang didapatkannya di bangku sekolah. Literasi juga terkait dengan
kehidupan peserta didik, baik di rumah maupun di lingkungan sekitarnya.

Uji literasi membaca mengukur aspek memahami, menggunakan, dan merefleksikan hasil membaca dalam
bentuk tulisan. Dalam PIRLS 2011, Indonesia menduduki peringkat ke-42 dari 45 negara peserta dengan
skor 428 dari skor rata-rata 500 (IEA, 2012). Sementara itu, uji literasi membaca dalam PISA 2009
menunjukkan peserta didik Indonesia berada pada peringkat ke-57 dengan skor 402 (skor rata-rata OECD
493),

Sedangkan PISA 2012 menunjukkan peserta didik Indonesia berada pada peringkat ke- 64 dengan skor
396 (skor rata-rata OECD 496) (OECD, 2013). Sebanyak 65 negara berpartisipasi dalam PISA 2009 dan
2012. Posisi Indonesia tetap pada urutan ke-64 pada PISA 2015, dengan peserta terdiri atas 72 negara. Ini
berarti ada kenaikan hanya satu angka, dari 396 pada PISA 2012 menjadi 397 pada PISA 2015. Kenaikan ini
tidak cukup signifikan ketika penerapan Kurikulum 2013 yang berbasis teks sudah diberlakukan sejak tahun
2013 dan dua tahun kemudian PISA (juga berbasis teks) ditempuh pada 2015.

Pada tahun 2016, Puspendik Kemendikbud dalam program Indonesian National Assessment Program
(INAP) atau Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) menguji keterampilan membaca, matematika,
dan sains peserta didik SD kelas IV. Khusus dalam membaca, hasilnya adalah 46,83% dalam kategori
kurang, 47,11% dalam kategori cukup, dan hanya 6,06% dalam kategori baik.

Kondisi ini menunjukkan bahwa kemampuan literasi peserta didik Indonesia masih tergolong rendah dan
harus ditingkatkan. Permasalahan ini menegaskan bahwa pemerintah memerlukan strategi khusus agar
kemampuan membaca peserta didik dapat meningkat dengan mengintegrasikan/menindaklanjuti
program sekolah dengan kegiatan dalam keluarga dan masyarakat, yang diwadahi dalam gerakan literasi.

Gerakan Literasi Sekolah (GLS) telah digulirkan mulai Maret 2016 oleh Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud dengan melakukan sosialisasi dan koordinasi ke semua
Dinas Pendidikan Provinsi dan/atau Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten.

Gerakan Literasi Sekolah | 2


GLS dikembangkan berdasarkan sembilan agenda prioritas (Nawacita) yang
terkait dengan tugas dan fungsi Kemendikbud, khususnya Nawacita nomor 5,
6, 8, dan 9. Butir Nawacita yang dimaksudkan adalah:

(5) meningkatkan kualitas hidup manusia dan


masyarakat Indonesia;

(6) meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing


di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia
bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa
Asia lainnya;

(8) melakukan revolusi karakter bangsa; dan

(9) memperteguh kebinekaan dan memperkuat


restorasi sosial Indonesia.

Empat butir Nawacita tersebut terkait erat dengan Dengan memperhatikan karakteristik sekolah
komponen literasi sebagai modal pembentukan sebagai sebuah organisasi akan mempermudah
sumber daya manusia yang berkualitas, produktif pelaksana program untuk mengidentifikasi
dan berdaya saing, berkarakter, serta nasionalis. sasaran agar perlakuan dapat diberikan secara
Untuk dapat mengembangkan Nawacita, menyeluruh sehingga kemampuan membaca
diperlukan pengembangan strategi pelaksanaan akan meningkat.
literasi di sekolah yang berdampak menyeluruh dan
sistemik. Dalam hal ini, sekolah: Akan tetapi, saat ini hasil kemampuan membaca
masih belum menggembirakan karena
pelaksanaan GLS masih dalam tahap awal. Oleh
a) sebaiknya tumbuh sebagai sebuah organisasi
sebab itu, beragam kegiatan dalam GLS perlu
yang mengembangkan warganya sebagai individu
dilanjutkan dan ditingkatkan guna mencapai hasil
pembelajar;
yang lebih baik. Dukungan berbagai pihak sangat
b) perlu memiliki struktur kepemimpinan yang juga
diharapkan.
terkait dengan lembaga lain di atasnya, serta
sumber daya yang meliputi sumber daya manusia,
keuangan, serta sarana dan prasarana; dan
c) memberikan layanan pendidikan dalam bentuk
pembelajaran di dalam kelas dan berbagai kegiatan
lain di luar kelas yang menunjang pembelajaran dan
tujuan pendidikan.

GLS

3 | Gerakan Literasi Sekolah


B. Landasan Filosofi dan Landasan Hukum
1. Landasan Filosofi A.
Sumpah Pemuda butir ketiga (3) menyatakan,
Konvensi PBB tentang Hak Anak pada tahun 1989
“menjunjung bahasa persatuan bahasa
tentang pentingnya penggunaan bahasa ibu.
Indonesia“ yang memiliki makna pengakuan
Indonesia yang memiliki beragam suku bangsa,
terhadap keberadaan ratusan bahasa daerah
khususnya mikrokultur-mikrokultur tertentu perlu
yang memiliki hak hidup dan peluang
difasilitasi dengan bahasa ibu saat mereka
penggunaan bahasa asing sesuai dengan
memasuki pendidikan dasar kelas rendah (kelas I, II,
keperluannya. Butir ini menegaskan pentingnya
III).
pembelajaran berbahasa dalam pendidikan
nasional. Berikut ini konvensi terkait literasi.

B.
Konvensi PBB di Praha tahun 2003 tentang
kecakapan literasi dasar dan kecakapan
perpustakaan yang efektif merupakan kunci bagi
masyarakat yang literat dalam menghadapi
derasnya arus informasi teknologi. Lima komponen
esensial literasi informasi adalah basic literacy,
library literacy, media literacy, technology literacy,
dan visual literacy.

2. Landasan Hukum

a. Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 31, Ayat 3: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan
satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”

b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan.

d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang
Negara serta Lagu Kebangsaan.

e. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan.

f. Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU Nomor 43 Tahun 2007 tentang
Perpustakaan.

Gerakan Literasi Sekolah | 4


g. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 k. Permendikbud Nomor 23 Tahun 2013 tentang
Tahun 2007 tentang Pedoman bagi Kepala Perubahan Permendikbud No. 15 Tahun 2010
Daerah dalam Pelestarian dan Pengembangan tentang SPM Dikdas di Kabupaten/Kota.
Bahasa Negara dan Bahasa Daerah.
l. Permendikbud Nomor 21 Tahun 2015 tentang
h. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor Gerakan Pembudayaan Karakter di Sekolah.
24 tahun 2007 tentang Standar Sarana dan
m. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3
Prasarana untuk Sekolah Dasar/Madrasah
Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan.
Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah
Pertama (SMP/MTs), dan Sekolah Menengah n. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5
Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA). Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

i. Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 o. Permendikbud Nomor 26 Tahun 2017 tentang


tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Perubahan atas Peraturan Menteri Pendidikan

j. Permendikbud Nomor 12 Tahun 2018 tentang dan Kebudayaan Nomor 8 Tahun 2017 tentang

Perubahan atas Permendikbud Nomor 22 Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Sekolah

Tahun 2015 tentang Rencana Strategis


Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Tahun 2015-2019.

C. Tujuan

1. menjadikan sekolah sebagai organisasi


pembelajaran berbudaya literasi.

2. membentuk warga sekolah yang literat dalam hal:


a. baca tulis,
b. numerasi,
c. sains,
d. digital,
e. finansial,
f. budaya dan kewargaan.

D. Sasaran
Sasaran gerakan literasi sekolah adalah
ekosistem sekolah pada jenjang pendidikan
dasar dan pendidikan menengah.

08| |
5 Gerakan Literasi Sekolah
GLS

Gerakan Literasi Sekolah | 6


BAB 2
KONSEP DASAR
A. Literasi
Kegiatan literasi selama ini identik dengan aktivitas terpelajar, bersekolah, berpengetahuan, intelektual,
membaca dan menulis. Namun, Deklarasi Praha intelijen, terpelajar, terdidik, berbudaya, kaya
pada tahun 2003 menyebutkan bahwa literasi juga informasi, canggih’.
mencakup bagaimana seseorang berkomunikasi
dalam masyarakat. Literasi juga bermakna praktik Di Indonesia, pada awalnya literasi dimaknai
dan hubungan sosial yang terkait dengan 'keberaksaraan' dan selanjutnya dimaknai 'melek'
pengetahuan, bahasa, dan budaya (UNESCO, atau 'keterpahaman'. Pada langkah awal, “melek
2003). Deklarasi UNESCO itu juga menyebutkan baca dan tulis" ditekankan karena kedua
bahwa literasi informasi terkait pula dengan keterampilan berbahasa ini merupakan dasar bagi
kemampuan untuk mengidentifikasi, menentukan, pengembangan melek dalam berbagai hal.
menemukan, mengevaluasi, menciptakan secara Pemahaman literasi pada akhirnya tidak hanya
efektif dan terorganisasi, menggunakan dan merambah pada masalah baca tulis saja, bahkan
mengomunikasikan informasi untuk mengatasi sampai pada tahap multiliterasi.
berbagai persoalan. Kemampuan-kemampuan
tersebut perlu dimiliki tiap individu sebagai syarat Dalam Undang-Undang No 3 Tahun 2017 tentang
untuk berpartisipasi dalam masyarakat informasi, Sistem Perbukuan literasi dimaknai sebagai “
dan itu bagian dari hak dasar manusia menyangkut kemampuan untuk memaknai informasi secara kritis
pembelajaran sepanjang hayat. sehingga setiap orang dapat mengakses ilmu
pengetahuan dan teknologi sebagai upaya dalam
Dari sisi istilah, kata “literasi” berasal dari bahasa meningkatkan kualitas hidupnya.”
Latin litteratus (littera), yang setara dengan kata
letter dalam bahasa Inggris yang merujuk pada Menurut Word Economic Forum (2016), peserta
makna ‘kemampuan membaca dan menulis’. didik memerlukan 16 keterampilan agar mampu
Adapun literasi dimaknai ‘kemampuan membaca bertahan di abad XXI, yakni fondasi literasi atau
dan menulis’ yang kemudian berkembang menjadi literasi dasar (bagaimana peserta didik menerapkan
‘kemampuan menguasai pengetahuan bidang keterampilan berliterasi untuk kehidupan
tertentu’. sehari-hari), kompetensi (bagaimana peserta didik
menyikapi tantangan yang kompleks), dan karakter
Untuk merujuk pada orang yang mempunyai (bagaimana peserta didik menyikapi perubahan
kemampuan tersebut digunakan istilah literet (dari lingkungan mereka). Berikut adalah Tabel 2.1 yang
literate) yang dapat dimaknai ‘berpendidikan, memaparkan kecakapan abad XXI tersebut.
berpendidikan baik, membaca baik, sarjana,

1
Multiliterasi dimaknai sebagai keterampilan menggunakan beragam cara untuk
menyatakan dan memahami ide-ide dan informasi dengan menggunakan
bentuk-bentuk teks konvensional maupun bentuk-bentuk teks inovatif, simbol,
dan multimedia (Abidin, 2015).

7 | Gerakan Literasi Sekolah


Tabel 2.1 Kecakapan Abad XXI
KETERAMPILAN DEFINISI

Kemampuan membaca, memahami, dan menggunakan bahasa


L I T E R A S I

Literasi Baca-Tulis
tulisan.
Kemampuan untuk menggunakan angka dan simbol lain untuk
Numerasi
memahami dan mengekspresikan hubungan kuantitatif.
Kemampuan untuk menggunakan pengetahuan dan prinsip
Literasi Sains
ilmiah untuk memahami lingkungan dan menguji hipotesis.

Kemampuan untuk menggunakan dan menciptakan konten


Literasi Digital
F O N D A S I

berbasis teknologi, termasuk menemukan dan berbagi


informasi, menjawab pertanyaan, berinteraksi dengan orang
lain dan pemrograman komputer.
Kemampuan memahami dan menerapkan aspek konseptual
Literasi Finansial
dan ihwal keuangan dalam kegiatan keseharian.

Literasi Budaya dan Kemampuan memahami, menghargai, menganalisis, dan


Kewargaan menerapkan pengetahuan tentang kebudayaan dan kewargaan.

Kemampuan untuk mengidentifikasi, menganalisis dan


Berpikir Kritis/
mengevaluasi situasi, gagasan, dan informasi untuk
Pemecahan Masalah
menyampaikan tanggapan dan solusi.
K O M P E T E N S I

Kemampuan untuk mengangankan dan merancang cara baru


Kreativitas
yang inovatif untuk mengatasi masalah, menjawab pertanyaan
atau mengungkapkan makna melalui penerapan, sintesis atau
beradaptasi dengan tujuan pemerolehan pengetahuan yang
beragam.
Kemampuan untuk mendengarkan, memahami, menyampaikan,
Komunikasi
dan mengontekstualisasikan informasi secara verbal, nonverbal,
visual, dan tertulis.
Kemampuan bekerja dalam tim untuk mencapai tujuan bersa-
Kolaborasi
ma, termasuk kemampuan untuk mencegah dan mengelola
konflik.
Melit Kemampuan dan keinginan untuk mengajukan pertanyaan,
(Keingintahuan) keterbukaan pikiran, dan keingintahuan.
Kemampuan dan keinginan untuk secara proaktif melakukan
Inisiatif
tugas atau tujuan baru.
K A R A K T E R

Kemampuan untuk mempertahankan minat dan usaha serta


Ketekunan
tekun untuk mencapai suatu tugas atau tujuan.
Kemampuan untuk mengubah rencana, metode, pendapat atau
Penyesuaian Diri
tujuan berdasarkan hal-hal baru.
Kemampuan untuk secara efektif mengarahkan, membimbing,
Kepemimpinan
dan mengilhami orang lain untuk mencapai tujuan bersama.

Kemampuan untuk berinteraksi sosial dan budaya secara


Kepekaan Sosial
santun.
dan Budaya

Gerakan Literasi Sekolah | 8


Sumber: ESCO Skills Hierarchy for Transversal Skills; Partnership for 21st Century Skills. "Framework for
21st Century Learning." NEXT: Washington DC, 2001; Burkhardt, Gina. "enGauge 21st Century Skills:
Literacy in the Digital Age." North Central Regional Educational Laboratory and The Metiri Group,
2003.; Learning Metrics Taskforce. "Towards Universal Learning: What Every Child Should Learn."
Center for Universal Education at the Brookings Institution and UNESCO Institute for Statistics:
Washington, DC, 2013; The Economist Intelligence Unit. "The Learning Curve: Education and Skills for
Life." Pearson: London, 2014. Other sources considered but not included: AT21CS, WorldSkills, Iowa
Dept. of Education's 21st Century Skills, and Tony Wagner's Seven Survival Skills.

Khusus dalam pembangunan karakter, Indonesia mendeskripsikannya


berdasarkan nilai-nilai Pancasila pada Tabel 2.2 berikut.

Tabel 2.2 Nilai Pancasila dalam Pendidikan Karakter

Religius Beriman, bertakwa, toleransi, dan cinta lingkungan.

Nasionalis Cinta tanah air, semangat kebangsaan, dan menghargai


kebinekaan.

Mandiri Kerja keras, kreatif, disiplin, berani, dan suka belajar

Gotong Royong Kerja keras, solidaritas, saling menolong, dan kekeluargaan.

Integritas Kejujuran, keteladanan, kesantunan, dan cinta pada


kebenaran.

Sumber: Pusat Analisis dan Sinkronisasi Kebijakan, Setjen Kemendikbud, 2017

Selain fondasi literasi atau literasi dasar, ada juga namun juga mencakup (2) numerasi, (3) sains,
tiga literasi lainnya yang perlu dikuasai oleh peserta (4) digital, (5) finansial, (6) budaya dan
didik, yakni literasi kesehatan, keselamatan (jalan, kewargaan yang bermuara pada perilaku yang
mitigasi bencana), dan kriminal (bagi siswa SD berterima dalam kehidupan sehari-hari.
disebut “sekolah aman”) (Wiedarti, Mei 2016).
Saat ini kegiatan di sekolah ditengarai belum
Berdasarkan uraian tersebut, istilah literasi optimal mengembangkan kemampuan literasi
merupakan sesuatu yang terus berkembang dan warga sekolah, khususnya guru dan siswa. Hal ini
berproses yang berporos pada pemahaman disebabkan antara lain oleh kurangnya
terhadap teks dan konteksnya sebab manusia pemahaman warga sekolah terhadap pentingnya
berurusan dengan teks sejak dilahirkan, masa kemampuan berliterasi dalam kehidupan mereka
kehidupan, hingga kematian. Keterpahaman serta minimnya penggunaan buku-buku di
terhadap beragam teks akan membantu sekolah selain buku-teks pelajaran. Biarpun buku
keterpahaman kehidupan dan berbagai aspeknya siswa atau buku teks pelajaran juga termasuk
karena teks merupakan representasi dari kehidupan dalam bagian literasi, akan tetapi kegiatan
individu dan masyarakat dalam budaya membaca di sekolah tampaknya masih terbatas
masing-masing. pada membaca buku teks pelajaran, belum
meluas pada buku-buku nonteks pelajaran.
Dalam konteks GLS, literasi dimaknai tidak hanya
sekadar pengetahuan dan kecakapan (1) baca tulis,

9 | Gerakan Literasi Sekolah


B. Gerakan Literasi Sekolah
GLS merupakan suatu usaha atau kegiatan yang Ketika pembiasaan membaca terbentuk,
bersifat partisipatif dengan melibatkan warga selanjutnya akan diarahkan ke kegiatan
sekolah (peserta didik, guru, kepala sekolah, tenaga pengembangan, dan pembelajaran (disertai tagihan
kependidikan, pengawas sekolah, Komite Sekolah, berdasarkan Kurikulum 2013). Variasi kegiatan
orang tua/wali murid peserta didik), akademisi, dapat berupa perpaduan pengembangan
penerbit, media massa, masyarakat (tokoh keterampilan reseptif maupun produktif.
masyarakat yang dapat merepresentasikan
keteladanan, dunia usaha, dll.), dan pemangku Dalam pelaksanaannya, pada periode tertentu yang
kepentingan di bawah koordinasi Direktorat terjadwal, dilakukan asesmen agar dampak
Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah keberadaan GLS dapat diketahui dan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. terus-menerus dikembangkan.

GLS adalah gerakan sosial dengan dukungan GLS diharapkan mampu menggerakkan warga
kolaboratif berbagai elemen. Salah satunya yang sekolah, pemangku kepentingan, dan masyarakat
ditempuh untuk mewujudkan sekolah sebagai untuk bersama-sama memiliki, melaksanakan, dan
organisasi pembelajaran yang warganya literat menjadikan gerakan ini sebagai bagian penting
sepanjang hayat adalah pembiasaan membaca dalam kehidupan yang warganya literat sepanjang
peserta didik. Pembiasaan ini dilakukan dengan hayat.
kegiatan 15 menit membaca (guru membacakan
buku dan/atau siswa dan guru membaca dalam hati,
yang disesuaikan dengan konteks atau target
sekolah)

C. Komponen Literasi
Literasi lebih dari sekadar membaca dan menulis, Dalam konteks Indonesia, literasi dini diperlukan
namun mencakup keterampilan berpikir sebagai dasar pemerolehan berliterasi tahap
menggunakan sumber-sumber pengetahuan dalam selanjutnya. Komponen literasi tersebut dijelaskan
bentuk cetak, visual, digital, dan auditori. Di abad sebagai berikut:
ke-21 ini, kemampuan ini disebut sebagai literasi
informasi. Dalam konteks Indonesia, literasi dini diperlukan
sebagai dasar pemerolehan berliterasi. Kelima
Clay (2001) dan Ferguson (www.bibliotech.us/ komponen literasi di atas perlu didahului dengan
pdfs/InfoLit.pdf) menjabarkan bahwa komponen pengembangan literasi usia dini (White, 2005).
literasi informasi terdiri atas literasi dini, literasi
dasar, literasi perpustakaan, literasi media, literasi
teknologi, dan literasi visual.

Gerakan Literasi Sekolah | 10


Secara rinci keenam komponen di atas dapat dijelaskan sebagai berikut.

1.
Literasi Dini [Early Literacy (Clay, 2001)], yaitu kemampuan untuk menyimak,
memahami bahasa lisan, dan berkomunikasi melalui gambar dan lisan yang dibentuk
oleh pengalamannya berinteraksi dengan lingkungan sosialnya di rumah. Pengalaman
peserta didik dalam berkomunikasi dengan bahasa ibu menjadi fondasi perkembangan
literasi dasar.

Literasi Permulaan (Basic Literacy), yaitu kemampuan untuk mendengarkan,

2.
berbicara, membaca, menulis, dan menghitung (counting) berkaitan dengan
kemampuan analisis untuk memperhitungkan (calculating), mempersepsikan
informasi (perceiving), mengomunikasikan, serta menggambarkan informasi
(drawing) berdasarkan pemahaman dan pengambilan kesimpulan pribadi (cf. fondasi
literasi atau literasi dasar yang tercantum dalam World Economic Forum, 2016).

Literasi Perpustakaan (Library Literacy), antara lain, memberikan pemahaman cara

3.
membedakan bacaan fiksi dan nonfiksi, memanfaatkan koleksi referensi dan periodikal,
memahami Dewey Decimal System sebagai klasifikasi pengetahuan yang memudahkan
dalam menggunakan perpustakaan, memahami penggunaan katalog dan
pengindeksan, hingga memiliki pengetahuan dalam memahami informasi ketika sedang
menyelesaikan sebuah tulisan, penelitian, pekerjaan, atau mengatasi masalah.

Literasi Media (Media Literacy), yaitu kemampuan untuk mengetahui berbagai bentuk
media yang berbeda, seperti media cetak, media elektronik (media radio, media
televisi), media digital (media internet), dan memahami tujuan penggunaannya. 4.
Literasi Teknologi (Technology Literacy), yaitu kemampuan memahami kelengkapan
yang mengikuti teknologi seperti peranti keras (hardware), peranti lunak (software),

5.
serta etika dan etiket dalam memanfaatkan teknologi. Berikutnya, kemampuan dalam
memahami teknologi untuk mencetak, mempresentasikan, dan mengakses internet.
Dalam praktiknya, juga pemahaman menggunakan komputer (Computer Literacy) yang
di dalamnya mencakup menghidupkan dan mematikan komputer, menyimpan dan
mengelola data, serta mengoperasikan program perangkat lunak. Sejalan dengan
membanjirnya informasi karena perkembangan teknologi saat ini, diperlukan
pemahaman yang baik dalam mengelola informasi yang dibutuhkan masyarakat.

Literasi Visual (Visual Literacy), adalah pemahaman tingkat lanjut antara literasi media

6.
dan literasi teknologi, yang mengembangkan kemampuan dan kebutuhan belajar
dengan memanfaatkan materi visual dan audio-visual secara kritis dan bermartabat.
Tafsir terhadap materi visual yang tidak terbendung, baik dalam bentuk cetak,
auditori, maupun digital (perpaduan ketiganya disebut teks multimodal), perlu
dikelola dengan baik. Bagaimanapun di dalamnya banyak manipulasi dan hiburan
yang benar-benar perlu disaring berdasarkan etika dan kepatutan.

11 | Gerakan Literasi Sekolah


Pihak yang berperan aktif dalam pelaksanaan komponen literasi dipaparkan pada Tabel 2.3 berikut.

Tabel 2.3 Komponen Literasi dan Pihak yang Berperan Aktif


NO KOMPONEN LITERASI PIHAK YANG BERPERAN AKTIF

1 Literasi usia dini Orang tua dan keluarga, guru/PAUD,


pamong/pengasuh

2 Literasi permulaan Pendidikan formal dan keluarga

3 Literasi perpustakaan Pendidikan formal

4 Literasi teknologi Pendidikan formal dan keluarga

5 Literasi media Pendidikan formal, keluarga dan lingkungan


sosial (tetangga/masyarakat sekitar)

6 Literasi visual Pendidikan formal, keluarga dan lingkungan


sosial (tetangga/masyarakat sekitar)

Literasi yang komprehensif dan saling terkait ini peserta didik. Agar lingkungan literasi tercipta,
memampukan seseorang untuk berkontribusi diperlukan perubahan paradigma semua pemangku
kepada masyarakatnya sesuai dengan kompetensi kepentingan.
dan perannya sebagai warga negara global (global
citizen). Selain itu, diperlukan juga pendekatan cara
belajar-mengajar yang mengembangkan
Dalam pendidikan formal, peran aktif para komponen-komponen literasi ini. Kesempatan
pemangku kepentingan, yaitu kepala sekolah, guru peserta didik terpajan dengan kelima komponen
sebagai pendidik, tenaga kependidikan, dan literasi akan menentukan kesiapan peserta didik
pustakawan sangat berpengaruh untuk berinteraksi dengan literasi visual.
memfasilitasi pengembangan komponen literasi

D. Ihwal Literasi di Sekolah


Mengacu pada metode pembelajaran Kurikulum 2013 yang menempatkan peserta didik sebagai subjek
pembelajaran dan guru sebagai fasilitator, kegiatan literasi tidak lagi berfokus pada peserta didik semata.
Guru, selain sebagai fasilitator, juga menjadi subjek pembelajaran. Akses yang luas pada sumber informasi,
baik di dunia nyata maupun dunia maya dapat menjadikan peserta didik lebih tahu daripada guru. Oleh
sebab itu, kegiatan peserta didik dalam berliterasi semestinya tidak lepas dari kontribusi guru, Guru
sebaiknya berupaya menjadi fasilitator yang berkualitas. Guru dan pemangku kebijakan sekolah merupakan
figur teladan literasi di sekolah.

Gerakan Literasi Sekolah | 12


Dalam konteks sekolah, subjek dalam kegiatan literasi adalah peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan
(pustakawan, pengawas), dan kepala sekolah. Semua komponen warga sekolah ini berkolaborasi dalam Tim
Literasi Sekolah (TLS) di bawah koordinasi kepala sekolah dan dikuatkan dengan SK kepala sekolah. TLS
bertugas untuk membuat perencanaan, pelaksanaan, dan asesmen program. TLS dapat memastikan
terciptanya suasana akademis yang kondusif, yang mampu membuat seluruh anggota komunitas sekolah
antusias untuk belajar. (Dokumen TLS dapat dibaca lebih lanjut pada Manual Pendukung Pelaksanaan GLS
untuk Jenjang SMP, Direktorat Pembinaan SMP, 2016, Kemendikbud.

1. Prinsip-prinsip Literasi Sekolah


Menurut Beers (2009), praktik-praktik yang baik dalam Gerakan Literasi Sekolah menekankan
prinsip-prinsip sebagai berikut.

Perkembangan literasi berjalan sesuai tahap perkembangan yang dapat A.


diprediksi
Tahap perkembangan anak dalam belajar membaca dan menulis saling beririsan
antartahap perkembangan. Memahami tahap perkembangan literasi peserta didik dapat
membantu sekolah untuk memilih strategi pembiasaan dan pembelajaran literasi yang
tepat sesuai kebutuhan perkembangan mereka.

Program literasi yang baik bersifat berimbang B.


Sekolah yang menerapkan program literasi berimbang menyadari bahwa tiap peserta
didik memiliki kebutuhan yang berbeda. Oleh karena itu, strategi membaca dan jenis teks
yang dibaca perlu divariasikan dan disesuaikan dengan jenjang pendidikan. Program
literasi yang bermakna dapat dilakukan dengan memanfaatkan bahan bacaan kaya ragam
teks, seperti karya sastra untuk anak dan remaja.

Program literasi terintegrasi dengan kurikulum C.


Pembiasaan dan pembelajaran literasi di sekolah adalah tanggung jawab semua guru di
semua mata pelajaran sebab pembelajaran mata pelajaran apapun membutuhkan bahasa,
terutama membaca dan menulis. Dengan demikian, pengembangan profesional guru
dalam hal literasi perlu diberikan kepada guru semua mata pelajaran.

Kegiatan membaca dan menulis dilakukan kapanpun D.


Misalnya, ‘menulis surat kepada presiden’ atau ‘membaca untuk ibu’ merupakan
contoh-contoh kegiatan literasi yang bermakna.

13 | Gerakan Literasi Sekolah


Kegiatan literasi mengembangkan budaya lisan E.
Kelas berbasis literasi yang kuat diharapkan memunculkan berbagai kegiatan lisan berupa
diskusi tentang buku selama pembelajaran di kelas. Kegiatan diskusi ini membuka
kemungkinan adanya perbedaan pendapat agar kemampuan berpikir kritis dapat diasah.
Peserta didik perlu belajar untuk menyampaikan perasaan dan pendapatnya, saling
mendengarkan, dan menghormati perbedaan pandangan.

Kegiatan literasi perlu mengembangkan kesadaran terhadap F.


keberagaman
Warga sekolah perlu menghargai perbedaan melalui kegiatan literasi di sekolah. Bahan
bacaan untuk peserta didik perlu merefleksikan kekayaan budaya Indonesia agar mereka
dapat terpajan pada pengalaman multikultural.

2. Strategi Membangun Budaya Literasi Sekolah


Agar sekolah mampu menjadi garis depan dalam pengembangan budaya literasi, Beers, dkk. (2009) dalam
buku A Principal’s Guide to Literacy Instruction, menyampaikan beberapa strategi untuk menciptakan
budaya literasi yang positif di sekolah.

A. Mengondisikan lingkungan fisik ramah literasi


Lingkungan fisik adalah hal pertama yang dilihat dan dirasakan warga sekolah. Oleh karena
itu, lingkungan fisik perlu terlihat ramah dan kondusif untuk pembelajaran. Sekolah yang
mendukung pengembangan budaya literasi sebaiknya memajang karya peserta didik di
seluruh area sekolah, termasuk koridor, kantor kepala sekolah dan guru. Selain itu, karya-karya
peserta didik diganti secara rutin untuk memberikan kesempatan kepada semua peserta
didik. Selain itu, peserta didik dapat mengakses buku dan bahan bacaan lain di Sudut Baca di
semua kelas, kantor, dan area lain di sekolah. Ruang pimpinan dengan pajangan karya peserta
didik akan menunjukkan pengembangan budaya literasi. Dalam hal ini setiap sekolah perlu
memenuhi standar pelayanan minimal yang ditetapkan oleh pemerintah.

B. Mengupayakan lingkungan sosial dan afektif sebagai model komunikasi


dan interaksi yang literat
Lingkungan sosial dan afektif dibangun melalui model komunikasi dan interaksi seluruh
komponen sekolah. Hal itu dapat dikembangkan dengan pengakuan atas capaian peserta
didik sepanjang tahun. Pemberian penghargaan dapat dilakukan saat upacara bendera setiap
minggu untuk menghargai kemajuan peserta didik di semua aspek. Prestasi yang dihargai
bukan hanya akademis, tetapi juga sikap dan upaya peserta didik. Dengan demikian, setiap
peserta didik mempunyai kesempatan untuk memperoleh penghargaan sekolah.

Gerakan Literasi Sekolah | 14


Selain itu, literasi diharapkan dapat mewarnai semua perayaan penting di sepanjang tahun
pelajaran. Ini bisa direalisasikan dalam bentuk festival buku, lomba poster, mendongeng,
karnaval tokoh buku cerita, dan sebagainya. Pimpinan sekolah selayaknya berperan aktif
dalam menggerakkan literasi, antara lain dengan membangun budaya kolaboratif antarguru
dan tenaga kependidikan. Dengan demikian, setiap orang dapat terlibat sesuai kepakaran
masing-masing. Peran orang tua sebagai relawan gerakan literasi akan semakin memperkuat
komitmen sekolah dalam pengembangan budaya literasi.

c. Mengupayakan sekolah sebagai lingkungan akademis yang literat


Lingkungan fisik, sosial, dan afektif berkaitan erat dengan lingkungan akademis. Ini dapat
dilihat dari perencanaan dan pelaksanaan gerakan literasi di sekolah. Sekolah sebaiknya
memberikan alokasi waktu yang cukup banyak untuk pembelajaran literasi. Salah satunya
dengan menjalankan kegiatan membaca dalam hati dan/atau guru membacakan buku
dengan nyaring selama 15 menit sebelum pelajaran berlangsung. Untuk menunjang
kemampuan guru dan staf, mereka perlu diberikan kesempatan untuk mengikuti program
pelatihan peningkatan pemahaman tentang program literasi, pelaksanaan, dan
keterlaksanaannya.

Selain membaca 15 menit yang melibatkan buku-buku nonteks pelajaran, lingkungan akademis yang literat
juga didukung oleh penggunaan strategi literasi dalam pembelajaran. Pembelajaran yang menggunakan
strategi literasi dalam pembelajaran dengan memadukan keterampilan abad XXI dan pembangunan
karakter berdasarkan nilai-nilai Pancasila (Tabel 2.2) diharapkan dapat menjadi bekal kecakapan hidup
sepanjang hayat. Materi atau buku yang digunakan bersumber dari buku pelajaran dan diperkaya dengan
buku-buku nonteks pelajaran. Strategi literasi seharusnya tampak dalam langkah-langkah pembelajaran
yang terdapat dalam rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang disusun oleh para guru/instruktur.

15 | Gerakan Literasi Sekolah


Tabel 3 di bawah ini mencantumkan beberapa parameter yang dapat digunakan sekolah untuk
membangun budaya literasi sekolah yang baik.

TABEL 3 EKOSISTEM SEKOLAH YANG LITERAT

A Lingkungan Fisik

Karya peserta didik dipajang di sepanjang lingkungan sekolah, termasuk koridor


1 dan kantor (kepala sekolah, guru, administrasi, bimbingan konseling).
Karya peserta didik dirotasi secara berkala untuk memberi kesempatan yang
2 seimbang kepada semua peserta didik.

3 Buku dan materi bacaan lain tersedia di pojok-pojok baca di semua ruang kelas.
Buku dan materi bacaan lain tersedia juga untuk peserta didik dan orang tua/
4 pengunjung di kantor dan ruangan selain ruang kelas.

5 Kantor kepala sekolah memajang karya peserta didik dan buku bacaan untuk anak.

6 Kepala sekolah bersedia berdialog dengan warga sekolah.

B Lingkungan Sosial dan Afektif

Penghargaan terhadap prestasi peserta didik (akademis dan nonakademis) diberi-


1 kan secara rutin (tiap minggu/bulan). Upacara hari Senin merupakan salah satu
kesempatan yang tepat untuk pemberian penghargaan mingguan.

2 Kepala sekolah terlibat aktif dalam pengembangan literasi.


Merayakan hari-hari besar dan nasional dengan nuansa literasi, misalnya meraya-
3 kan Hari Kartini dengan membaca surat-suratnya.

Terdapat budaya kolaborasi antarguru dan staf, dengan mengakui kepakaran


4 masing-masing.

Terdapat waktu yang memadai bagi TLS untuk berkolaborasi dalam menjalankan
5 program literasi dan hal-hal yang terkait dengan pelaksanaannya.
Staf sekolah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, terutama dalam
6 menjalankan program literasi.

C Lingkungan Akademis

Terdapat TLS yang bertugas melakukan asesmen dan perencanaan. Bila diperlu-
1 kan, ada pendampingan dari pihak eksternal.
Disediakan waktu khusus dan cukup banyak untuk pembelajaran dan pembiasaan
2 literasi: membaca dalam hati (sustained silent reading), membacakan buku dengan
nyaring (reading aloud), membaca bersama (shared reading), membaca terpandu
(guided reading), diskusi buku, bedah buku, presentasi (show-and-tell presenta-
tion).
3 Waktu berkegiatan literasi dijaga agar tidak dikorbankan untuk kepentingan lain.
Disepakati waktu berkala untuk TLS membahas pelaksanaan gerakan literasi
4 sekolah.
Buku fiksi dan nonfiksi tersedia dalam jumlah cukup banyak di sekolah. Buku cerita
5 fiksi sama pentingnya dengan buku berbasis ilmu pengetahuan.

Gerakan Literasi Sekolah | 16


C Lingkungan Akademis

6 Ada beberapa buku yang wajib dibaca oleh warga sekolah.

Ada kesempatan pengembangan profesional tentang literasi yang diberikan


7 untuk staf, melalui kerja sama dengan institusi terkait (perguruan tinggi, dinas
pendidikan, dinas perpustakaan, atau berbagi pengalaman dengan sekolah lain).

Seluruh warga sekolah antusias menjalankan program literasi, dengan tujuan


8 membangun organisasi sekolah yang suka belajar.

9 Guru menggunakan strategi literasi dalam pembelajaran.

(cf. Beers, dkk., 2009).

Aspek-aspek tersebut adalah karakteristik penting dalam pengembangan budaya literasi di sekolah. Dalam
pelaksanaannya, sekolah dapat mengadaptasinya sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah. Guru dan
pimpinan sekolah perlu bekerja sama untuk mengimplementasikan strategi tersebut.

17 | Gerakan Literasi Sekolah


GLS

Gerakan Literasi Sekolah | 18

Anda mungkin juga menyukai