Riris Katharina
Abstract
Problems emerged from the implementation of decentralization of the civil
servants (PNS) across the country is giving a serious threat to the central
government. Some examples of problems caused by the wrongdoings of the
practices of this decentralization policy are, among others, the inneutrality of
the civil servants, their uncontrollable growing numbers and structure, their
poor management and big gap of quality among many regions. This essay
argues that decentralization paradigm is still a good choice for regulating civil
servants in Indonesia but its implementing policies need improvements in many
areas.
Abstrak
Permasalahan yang timbul sebagai akibat penerapan prinsip
desentralisasi dalam pengaturan mengenai Pegawai Negeri Sipil
(PNS) pada saat ini telah menjadi ancaman serius bagi pemerintahan
Indonesia. Berbagai permasalahan yang timbul akibat beberapa
kekeliruan dalam pengaturan mengenai PNS, antara lain PNS tidak
netral, jumlah dan struktur PNS di daerah menjadi tidak terkendali,
kualitas PNS daerah sangat bervariasi antara daerah yang satu
dan daerah lainnya, serta manajemen kepegawaian di daerah yang
memerlukan banyak pembenahan. Tulisan ini mengemukakan bahwa
paradigma desentralisasi masih tetap menjadi pilihan terbaik dengan
berbagai perbaikan terhadap peraturan yang mengatur mengenai
PNS.
1
Tulisan ini sudah memperoleh masukan dan koreksi dari Mitra Bestari, DR. Lili Romli, M.Si, Peneliti
Utama Pusat Penelitian Politik LIPI. Atas masukan dan koreksinya disampaikan terima kasih. Tulisan
ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Permasalahan
Permasalahan di atas memunculkan sejumlah pertanyaan apakah paradigma
desentralisasi tersebut masih relevan untuk kondisi PNS saat ini? Namun
apabila kembali ke sistem sentralistik akan menimbulkan pertanyaan lanjutan
apakah Indonesia akan kembali menjadi negara yang otoriter? Bagaimana jika
dilakukan penguatan terhadap paradigma desentralisasi dalam pengaturan
PNS?
Tujuan
Tulisan ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan yang menjadi
permasalahan yaitu menjelaskan bagaimana kondisi PNS saat untuk dapat
melihat permasalahan yang terjadi dan memberikan argumentasi bagi
kemungkinan dilakukannya penguatan paradigma desentralisasi dalam
pengaturan PNS.
5
Prijono Tjiptoherijanto, Catatan untuk Penyusunan RUU Kepegawaian, sebuah makalah, 2010, hal. 3-4.
Profil PNS
Sejak era Pemerintahan Soeharto hingga tahun 1993, Pemerintah
menerapkan kebijakan positive growth, dengan pertumbuhan jumlah PNS diatas
1%. Selanjutnya tahun 1994 Pemerintah mengeluarkan kebijakan zero growth,
untuk menciptakan pemerintahan yang lebih efisien. Namun, pada tahun 1995
– 1997 kembali dilaksanakan kebijakan positive growth, dengan pertumbuhan
jumlah pegawai yaitu antara 0,70% – 1,03%. Kebijakan pada saat ini lebih
dimaknai sebagai kepentingan politik pemerintahan pada masa itu, dimana
birokrasi dijadikan alat politik pemerintah.7
7
“Birokrasi Versus Intervensi Politik”, Kompas, 26 Maret 2005.
10
Made Suwandi, Konsepsi Dasar Otonomi Daerah (Dalam Upaya Mewujudkan Pemerintah Daerah yang
Demokratis dan Efisien), sebuah makalah, Jakarta, 2002, hal. 16.
11
Eko Prasojo, ”Netralitas PNS dalam Pemilu”, Kompas, 3 Maret 2009.
14
Bahkan Jakarta pun Kalah dari Ambon, http://megapolitan.kompas.com/read/2011/04/06/12562595/
Bahkan.Jakarta.Pun.Kalah.dari.Ambon, diakses pada tanggal 13 April 2011.
15
Menurut Yuna Farhan, Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra)
dalam “42 Daerah Terancam Bangkrut”, Media Indonesia, 13 April 2011, hal. 3.
16
Irfan, Otonomi Daerah: Aspek Sumber Daya Manusia, Jakarta, 2004, sebuah makalah.
“If a region or locality is to be some degree self governing, decision makers will
have to be recruited from the area concerned. It means part of public policy is
to be directed by people from locality rather than by civil servant posted from
central.”18
Dari berbagai definisi di atas dapat dikatakan bahwa setiap negara yang
menganut pemerintahan lokal wajib melaksanakan prinsip desentralisasi. Dalam
implementasinya, prinsip sentralisasi bukan berarti lebih buruk daripada prinsip
desentralisasi. Kedua prinsip ini bukanlah sesuatu yang saling bertentangan.
Dalam kaitannya dengan hubungan antara sentralisasi dan desentralisasi
(Fesler 1968, Cohen et al, 1981, Faltas, 1982, Apthorpe and Conyers, 1982)
diperlihatkan bahwa hubungan antara sentralisasi dan desentralisasi sangat
kompleks. Mereka bahkan menekankan bahwa sangat tidak mungkin memiliki
sistem pemerintahan yang sangat sentralistik atau bahkan desentralistik total.19
Bahkan, Rondinelli mengatakan bahwa seluruh pemerintahan memiliki bentuk
campuran dari fungsi sentralisasi dan desentralisasi.20 Hanya saja, pengalaman
negara-negara Eropa menunjukkan bahwa desentralisasi memiliki hubungan
yang erat dengan demokrasi.
Menurut penganut desentralisasi, desentralisasi mengupayakan baik
efisiensi pemerintah maupun keharmonisan politik. Perbesaran birokrasi dan
kontrol terhadapnya hanya dapat dilakukan melalui pendesentralisasian unit-
unit pemerintahan dimana warga masyarakat dapat berkomunikasi dengan
pemerintahnya dan sebagai konsekuensinya, birokrasi akan lebih responsif
terhadap kebutuhan warganya.21
17
Diana Conyers, Public Administration and Development, Vol. 3, 97-109, John Willey & Sons, Ltd, 1983,
hal. 101.
18
Ibid.
19
Diana Conyers, Community Development Journal, Oxford University Press, 1986, hal. 90.
20
Dennis A. Rondinelli, Development and Change, Vol. 21 No. 3, SAGE, London, 1990, hal. 492.
21
B.C Smith, Bureaucracy and Political Power, St. Martin’s Press, New York, hal. 211-212.
Integrated System atau biasa disebut juga dengan Sistem Pegawai Kesatuan
Nasional dan Lokal (Integrated National dan Local Personnel System) diartikan
sebagai suatu sistem kepegawaian daerah dimana manajemen kepegawaian dari
rekrutmen, penempatan, pengembangan, penilaian sampai dengan penggajian
dan pensiun ditentukan oleh Pusat. Sistem ini umumnya dipergunakan di
negara-negara berkembang, karena ketidakmampuan daerah untuk menggaji
pegawai dan pegawai difungsikan juga sebagai alat perekat negara dan bangsa.
Transfer pegawai dimungkinkan tidak hanya di antara daerah, tetapi juga
daerah dan pusat.
Separated System atau biasa disebut juga dengan Sistem Pegawai Terpisah
(Separate Personnel System) diartikan sebagai suatu sistem kepegawaian dimana
manajemen kepegawaian dan rekrutmen sampai penggajian dan pensiun
dilakukan oleh masing-masing daerah. Pegawainya bahkan tidak dapat
ditransfer kepada badan-badan di bawah yuridiksi pusat. Umumnya sistem
ini dipergunakan di negara-negara maju karena pemerintah daerah mampu
menggaji pegawainya. Bahwa pegawai sebagai alat perekat bangsa bukan
merupakan isu, namun profesionalisme pegawai yang lebih ditekankan.
Unified System atau biasa disebut dengan Sistem Pegawai Kesatuan
Pemerintahan Lokal (Unified Local Government Personnel Systems) diartikan
sebagai suatu sistem kepegawaian dimana manajemen kepegawaian dilakukan
oleh suatu lembaga di tingkat nasional yang khusus dibentuk untuk keperluan
tersebut.
Dari ketiga tipe sistem pengelolaan pegawai oleh Pemerintah Daerah
terdapat kelebihan dan kelemahan dari masing-masing tipe (lihat Tabel 2). Hal
ini memperlihatkan bahwa tidak ada satu tipe pun yang paling baik. Setiap
tipe pasti memiliki kelemahan dan kelebihan. Pilihan penggunaan sistem yang
terbaik harus memperhatikan berbagai dimensi dalam sebuah pemerintahan.
22
Made Suwandi (2002), op.cit., hal. 18.
23
Sofian Effendi, RUU Pokok-Pokok Kepegawaian Negara atau RUU tentang Jabatan Sipil Indonesia?,
sebuah makalah, Jakarta, 2010, hal. 3.
24
Woodrow Wilson dalam Joko Widodo, Good Governance: Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol
Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Penerbit Insan Cendekia, Surabaya, 2001, hal.
245.
Penutup
Paradigma desentralisasi dalam pengaturan mengenai sistem kepegawaian di
Indonesia merupakan pilihan yang tepat. Disadari bahwa tidak ada sistem yang
benar-benar sempurna. Namun demikian, di tengah berbagai permasalahan
yang muncul dalam pengaturan sistem kepegawaian berdasarkan paradigma
desentralisasi, masih ada harapan untuk memperbaiki sistem kepegawaian
Indonesia saat ini.
Pengaturan mengenai PNS yang merupakan pegawai negara yang diatur
dalam Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian,
Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Undang Nomor 8 Tahun
1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, dan Undang Nomor 34 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah harus ditinjau ulang. Sinkronisasi terhadap
Buku
B.C Smith, Bureaucracy and Political Power, St. Martin’s Press, New York.
Diana Conyers, Public Administration and Development, Vol. 3, 97-109, John
Willey & Sons, Ltd, 1983.
-----------------------, Community Development Journal, Oxford University Press, 1986, hal. 90.
Dennis A. Rondinelli, Development and Change, Vol. 21 No. 3, SAGE, London,
1990.
Miftah Thoha, Manajemen Kepegawaian Sipil di Indonesia, Prenada Media,
Jakarta, 2005.
-----------------, Birokrasi dan Politik di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2003.
Patrick Sills, et.all., Community Development Journal, Oxford University Press,
1986.
Walter L. Balk, Managerial Reform and Proffesional Empowerment in the Public
Service, Quorum Books, London.
Woodrow Wilson dalam Joko Widodo, Good Governance: Telaah dari Dimensi
Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah,
Penerbit Insan Cendekia, Surabaya, 2001.
Dokumen
Stephen Sherlock, World Bank Report, Jakarta, 2004.
Yappika, Ringkasan Laporan Penelitian: Program untuk Mendorong Pelaksanaan
Desentralisasi yang Membuka Ruang Partisipasi Politik Rakyat, Efektivitas Tata-
Pemerintahan dan Meningkatkan Kesejahteraan Sosial Ekonomi Masyarakat,
Kerjasama Partnership Kemitraan, Uni Eropa, dan Yappika, tanpa tahun,
tanpa penerbit.
Makalah
Irfan, Otonomi Daerah: Aspek Sumber Daya Manusia, Jakarta, 2004, sebuah
makalah.
Made Suwandi, Konsepsi Dasar Otonomi Daerah (Dalam Upaya Mewujudkan
Pemerintah Daerah yang Demokratis dan Efisien), sebuah makalah, Jakarta, 2002.
Riris Katharina: Penguatan Paradigma Desentralisasi ... 145
Miftah Thoha, RUU Kepegawaian, sebuah makalah, tanpa tahun.
Prijono Tjiptoherijanto, et.al, “Decentralization in Indonesia: New Hope for a
Sustainable Development”, sebuah makalah, 2010.
Prijono Tjiptoherijanto, Catatan untuk Penyusunan RUU Kepegawaian, sebuah
makalah, 2010.
Sofian Effendi, RUU Pokok-Pokok Kepegawaian Negara atau RUU tentang
Jabatan Sipil Indonesia?, sebuah makalah, Jakarta, 2010.
Peraturan Perundang-undangan
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi
Perangkat Daerah.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Surat Kabar
“Antara Dipompa dan Digembosi”, Kompas, 4 Desember 2004.
“Birokrasi Versus Intervensi Politik”, Kompas, 26 Maret 2005.
Eko Prasojo, ”Netralitas PNS dalam Pemilu”, Kompas, 3 Maret 2009.
Yuna Farhan, Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi
Anggaran (Fitra) dalam “42 Daerah Terancam Bangkrut”, Media Indonesia,
13 April 2011.
Website
Bahkan Jakarta pun Kalah dari Ambon, http://megapolitan.kompas.com/read/
2011/04/06/12562595/Bahkan.Jakarta.Pun.Kalah.dari.Ambon, diakses tanggal
13 April 2011.