Anda di halaman 1dari 16

MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA PEMERINTAH DAERAH by Teuku Amran

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Masalah

Wacana tentang sumber daya manusia pemerintahan senantiasa menarik untuk didiskusikan dari mulai permasalahan pelayanan yang dilakukannya, kompetensi yang seharusnya melekat pada pekerjaannya, masalah perilaku dan tindak korupsi, sampai masalah kesejahteraan yang menyangkut faktor gaji dan tunjangan bagi pegawai. Faktor penariknya ini berkaitan dengan birokrasi sebagai ruang bergerak pegawai (aparatur pemerintah) yang menjelmakan tindakan dari sejumlah kebijakan yang direncanakan dan ditetapkan oleh pemerintah. Melalui birokrasi, kekuasaan yang diamanatkan pada pemerintah menjelma dan nampak secara konkret. Secara konkret pula fungsi kerja birokrasi harus cepat, bekerja secara profesional dengan prinsip efisien, efektif dan tentu saja bertanggung jawab berdasarkan sejumlah peraturan yang ada alias tidak melakukan praktik korupsi. Ini semua akan menjadi kunci berjalannya suatu pemerintahan dengan baik (good governance) yaitu suatu tata pemerintahan yang bersih, taat kepada hukum, dan berorientasi pada pelayanan untuk mewujudkan kesejahteraan umum atas dasar keadilan sosial. Dari berbagai diskursus yang berkembang, nampaknya belum sepenuhnya mengarah pada upaya menuntaskan persoalan mendasar mengenai berbagai permasalahan internal dan eksternal pegawai pemerintahan. Wacana pegawai ini tidak dapat dilepaskan dari kenyatan demikian besarnya jumlah pegawai dan demikian pentingnya layanan yang disediakannya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Namun yang berkembang sepertinya lebih banyak bersifat gugatan dan keluhan, baik dari pegawai sendiri maupun dari publik. Fakta yang ada sebagai faktor internal yang menjadi sorotan negatif aparatur telah melekat menjadi kultur 1). Misalnya, kebiasaan hanya akan bekerja dengan baik jika diberikan sejumlah materi, atau orientasi pencapaian jabatan ketimbang prestasi. Pada sisi lainnya semua ini bisa beralasan sebagai upaya mencari tambahan gaji dalam rangka memenuhi kebutuhan pokok yang tidak terjangkau dengan gaji pokok dan tunjangan. Berdasarkan kenyataan tersebut, diperlukan suatu upaya untuk membersihkan citra negatif aparatur pemerintahan, dan memulai melangkah secara pasti untuk membentuk sosok aparatur pemerintahan yang bersih dan profesional melalui upaya sistematis dan komprehensif. Untuk mewujudkan sosok aparatur yang terbilang ideal tersebut tidaklah mudah. Setidaknya tulisan ini mencoba mencari jalan keluar terhadap permasalahan birokrasi melalui sosok aparaturnya yang sudah terbilang mendarah daging. Gagasan ini mencoba memulai dari hal yang sangat berdekatan dengan klaim tidak berdayanya aparatur di bidang pelayanan publik

Sampai saat ini diakui atau tidak manajemen sistem kepegawaian kita belum menggembirakan mulai dari sistem pengadministrasian, renumerasi, perekrutan hingga pembinaan dan pengembangan pegawai nampak sekali banyak kelemahannya. Keruwetan penerimaan CPNS oleh sebagian kalangan dipandang bentuk refleksi ketidaksiapan dan kekurang profesionalan panitia daerah. Pemerintah daerah sebagai koordinator penyeleksian sekaligus penentu lulus tidaknya pelamar terlihat kurang memuaskan dalam melaksanakan fungsinya, terutama tatkala terjadi revisi pengumuman hasil seleksi. Demikian pula Pemkab/ Pemkot sebagai pelaksana teknis lapangan juga masih belum menunjukkan hasil maksimal di beberapa daerah, khususnya saat pendaftaran dan pelaksanaan tes. Pengaruh pegawai yang profesional dan kompeten dalam pemerintahan daerah merupakan faktor yang paling penting dalam penentuan kapasitas suatu institusi pemerintah, disamping faktorfaktor kapasitas lain seperti : sistem, teknologi, informasi dan perangkat pendukung organisasi lainnya. Menurut Syahroni (2001) Kapasitas dalam arti kapasitas instansi pemerintah diartikan bukan merupakan sesuatu yang statis, melainkan harus ditempatkan di dalam suatu konteks yang dinamis dengan kondisi-kondisi kerangka (framework conditions) yang berubah. Menurut pengertian di atas, kapasitas birokrasi pemerintahan daerah, harus selalu dikembangkan sesuai dengan perkembangan paradigma, sistem dan manajemen perencanaan pembangunan yang terjadi baik dalam lingkup global, nasional dan lokal. Dalam hal ini perubahan dan perkembangan yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan kapasitas suatu pemeintahan daerah, antara lain : UU No. 32 tentang pemerintahan daerah, UU No. 25 tentang perimbangan keuangan pusat dan daaerah, dan UU No. 43 tentang pokok-pokok kepegawaian, serta peraturan turunannya.

1.2

Tujuan Penulisan.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui :

a. Sejauh mana implementasi peraturan kepegawaian dalam menata manajemen sistem perencanaan kepegawaian. b. Bagaimana upaya untuk meningkatkan penghasilan pegawai sehingga dapat meningkatkan etos kerja dan pelayanan yng baik. c. Apa upaya untuk meningkatkan MSDM yang berbasis kompetensi sehingga dapat meningkatkan pelayanan publik dan mendukung good governance .

1.3 Manfaat Penulisan. Pembahsn makalah ini diharapkan dapat memberi manfaat terutama kepada penulis sendiri dan para pihak yang mengkaji manajemen tentang peningkatan sumber daya manusia pemerintahan daerah.

BAB II MEWUJUDKAN APARATUR YANG

BERSIH DAN PROFESIONAL

2.1

Pengantar

Reformasi hubungan pusat-daerah di Indonesia telah dimulai dengan diberlakukannya UU nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. UU nomor 22 tahun 1999 kemudian diubah dengan UU nomor 32 tahun 2004. Implementasi kedua UU tersebut akan membawa implikasi luas terhadap manajemen otonomi daerah dari berbagai aspek seperti: kelembagaan, peraturan daerah, sumber daya manusia, dan keuangan. Pilihan desentralisasai pemerintahan tentu dengan segala aspek positif maupun negatif dibandingkan dengan pilihan pemerintahan yang bersifat sentralistik. Keberhasilan desentralisasi dan otonomi daerah juga tidak terlepas dari kemampuan manajemen otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. 2.2 Belum idealnya manajemen sistem kepegawaian saat ini

Saat ini PNS di seluruh Indonesia berjumlah tak kurang 3,7 juta, dan hanya sekitar 120 ribu PNS pensiun setiap tahunnya. Sedangkan data tenaga honorer di BKN saja mencapai 861 ribu yang kalau menurut aturan mereka baru diangkat paling lambat tahun 2009. Tidak idealnya perbandingan jumlah penduduk dengan jumlah pegawai yang berlebih, pada gilirannya akan mengurangi efektivitas dan efisiensi kerja. Bukti menunjukkan adanya realitas kantor pemerintah yang masih rendah kinerjanya. Gejala demikian merupakan indikasi adanya struktur kepegawaian dan pengembangan SDM yang kurang tepat.( Didik G. Suharto, S.Sos, M.Si, Dosen Administarasi Negara, FISIP UNS Surakarta). Kekacauan proses perekrutan amat dipengaruhi sistem yang berlaku. Sebagai hal baru pelaksanaannya mengakomodasi PP No 48 Th 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi PNS menyebabkan panitia daerah kewalahan. Mengacu PP tersebut, selain berakibat pada jumlah peserta tes yang membeludak, juga metode penentuan calon yang lolos lebih kompleks dan rumit. Implikasinya berdampak pada pelaksanaan di lapangan yang terjadi bermacam - macam masalah. Sejak awal pelaksanaan PP tersebut mengundang kontroversi, diantara sorotan diarahkan pada mekanisme perekrutannya, pihak guru bantu swasta mempersoalkan ketentuan dalam PP No 48 Th 2005 dinilai bersifat diskriminatif. Persoalan lain, jenis tenaga honorer yang diprioritaskan diangkat meliputi : tenaga guru; tenaga kesehatan; tenaga penyuluh pertanian, perikanan, dan peternakan; serta tenaga teknis lain. Di sini termasuk guru bantu, guru honorer, guru wiyata bhakti, pegawai honorer, pegawai kontrak, pegawai tidak tetap, dan lain-lain yang sejenisnya. Jadi tenaga honorer selain jenis itu (misalnya tenaga administrasi / tata usaha) tidak diprioritaskan. Kenyataannya, menurut penelitian BKN 60 % CPNS yang direkrut merupakan pegawai administrasi atau tata usaha (Suara Merdeka, l7/9/2006). Selain itu gejolak muncul terkait aturan usia dan masa kerja. Seperti dinyatakan pada Pasal 3 dan 4; pengangkatan tenaga honarer yang berusia paling tinggi 46 tahun dan mempunyai masa kerja lebih 20 tahun secara terus - menenus hanya melalui seleksi administrasi, disiplin, integritas, kesehatan, dan kompetensi. Sedangkan tenaga honorer yang berusia paling tinggi 46 dan dengan masa kerja

antara 10 - 20 tahun, atau berusia paling tinggi 40 tahun dengan masa kerja 5 10 tahun, atau berusia paling tinggi 35 tahun dengan masa kerja 1 - 5 tahun secara terus- menerus; selain melalui administrasi, disiplin, integritas, kesehatan, dan kompetensi juga harus mengikuti tahapan lain yang dibedakan dengan pelamar umum. Mengacu batasan usia di atas, umur maksimal dalam PP tegas dinyatakan 46 tahun. Perkara usia dan masa kerja ini yang belakangan banyak menjadi batu sandungan tenaga honorer, pada sudut lain ternyata tidak sedikit data yang dimanipulasi. Pengaruh pegawai yang profesional dan kompeten dalam pemerintahan daerah merupakan faktor yang paling penting dalam penentuan kapasitas suatu institusi pemerintah, disamping faktor-faktor kapasitas lain seperti : sistem, teknologi, informasi dan perangkat pendukung organisasi lainnya. Menurut Syahroni (2001) Kapasitas dalam arti kapasitas instansi pemerintah diartikan bukan merupakan sesuatu yang statis, melainkan harus ditempatkan di dalam suatu konteks yang dinamis dengan kondisi-kondisi kerangka (framework conditions) yang berubah. Terlepas tujuan mulia PP dalam memberikan perlakuan istimewa kepada tenaga honorer untuk bisa diangkat menjadi PNS, PP ini memang sejak awal menyimpan masalah. Sejumlah persoalan dalam PP yang potensial berdampak negatif di kemudian hari. Pola perekutan seperti itu di satu sisi mencerminkan keadilan pengabdian, tapi di sisi lain menyimpan kelemahan. Kelemahannya, struktur organisasi berpotensi mengalami ketimpangan kaderisasi dan pengembangan SDM. Perlu diingat, ketentuan pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS sesuai amanat PP ini dilakukan bertahap mulai tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 . Artinya, minimal hingga tahun 2009 pola kaderisasi akan sedikit terhambat. Pertama, diskriminasi antara tenaga honorer negeri dan swasta. Tenaga honorer swasta tidak disebutkan ternasuk yang diatur dalam PP. Sesuai definisinya, tenaga honorer yang bukan berasal dari instansi pemerintah atau penghasilannya bersumber dari APBN /APBD tidak termasuk yang diatur dalam PP ini. Tidak dimasukkannya tenaga honor swasta menimbulkan keresahan kalangan guru swasta. Kedua, problem kaderisasi. Diperkirakan beberapa tahun mendatang setelah keluarnya PP No 48 tahun 2005, struktur kepegawaian nasional mayoritas akan didominasi mereka yang relatif sudah berumur, sebab prioritas kebijakan perekrutan CPNS baru memang diarahkan mengangkat tenaga honorer yang telah berumur dan mengabdi lama. Sementara hanya sebagian kecil alokasi formasi CPNS ditujukan bagi SDM berusia muda. Pola perekrutan seperti itu di satu sisi mencerminkan keadilan pengabdian, tapi di sisi lain menyimpan kelemahan. Kelemahannya, struktur organisasi berpotensi mengalami ketimpangan kaderisasi dan pengembangan SDM. Perlu diingat, ketentuan pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS sesuai amanat PP ini dilakukan bertahap mulai tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 nanti. Artinya minimal hingga tahun 2009 mendatang pola kaderisasi akan sedikit terhambat. Ketiga, struktur kepegawaian dan organisasi tidak terkendali. Di Indonesia seringkali pemekaran struktur dilakukan bukan karena pertimbangan fungsional untuk memperluas jangkauan pelayanan publik, tetapi karena sekedar memenuhi tuntutan struktur itu sendiri. Efektivitas dan efisiensi organisasi akan terhambat oleh struktur kepegawaian yang tidak baik. Kita lihat saja anggaran belanja pemerintah baik di pusat atau di daerah sebagian besar habis dialokasikan untuk belanja pegawai. Anggaran pembangunan untuk masyarakat luas terpaksa ditangguhkan karena terjadi defisit anggaran. Demikian halnya sisi efektivitas. Struktur organisasi dan kepegawaian yang gemuk akan cenderung lambat dalam bergerak. Pelayanan publik pun tidak

dapat direspon dengan maksimal. Pemerintah dipandang perlu untuk melakukan analisa beban kerja sehingga SDM yang ada memang benar- benar dibutuhkan organisasi. Keempat, objektivitas dan transparansi. Meski sudah dinyatakan pada Pasal 7, bahwa pengangkatan tenaga honorer dilakukan secara objektif dan transparan, model perekrutan CPNS seperti PP No 48/ 2005 diakui cukup rentan terhadap penyimpangan. Penyimpangan yang dimaksud ialah terkait kemungkinan manipulasi / pemalsuan data. Ini dapat dimaklumi sebab sekarang data amat menentukan pengangkatan tenaga honorer, Prioritas pengangkatan ditentukan rangking dari data usia dan masa kerja tenaga honorer, yang mana data tersebut tidak menutup kemungkinan mengalami rekayasa. Sekadar mengingatkan, isu yang hampir selalu muncul dalam proses perekruten PNS ialah adanya praktik kolusi, nepotisrne, dan suap. Dari tahun ke tahun isu tersebut berhembus di kalangan masyarakat. Tantangan bagi pemerintah untuk menunjukkan bahwa perekrutan dilakukan secara profesional. Mereka harus konsisten menerapkan aturan demi terwujudnya kredibilitas hasil seleksi. Prinsip objektivitas dan transparansi mesti dijunjung tinggi.

2.3

Restrukturisasi PNS

Dalam kondisi yang semakin menuntut pelayanan publik yang handal untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara tetangga, PNS harus bisa menunjukkan sosok idealnya. Sebagai pelaksana kebijakan pemerintah, PNS terlebih dahulu dituntut membereskan permasalahan dirinya sehingga mampu menjadi mesin cerdas yang tidak membebani tetapi memberi jalan keluar. Di sinilah aparatur mampu membantu menyelesaikan permasalahan internal bangsa untuk selanjutnya mampu meningkatkan daya saing bangsa 2). Alasan inilah yang menjadi kebutuhan utama perlunya pemikiran restrukturisasi PNS. Restrukturisasi PNS adalah menata kembali keberadaan PNS dalam menjalankan tugas dan fungsinya secara baik. Upaya ini terhitung sulit dan membutuhkan terobosan yang berani dalam mengambil pilihan-pilihan langkah perubahan. Dalam definisi Kantor Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara, restrukturisasi dimaksud adalah satu paket dalam upaya yang dinamakan pembaharuan birokrasi. Menurut Kementerian PAN (April 2003), pembaharuan birokrasi menekankan kepada tindakan penataan aparatur negara, meliputi rangkaian tindakan, kegiatan pembaharuan secara konsepsional, sistematis, dan berkelanjutan dengan melakukan upaya peninjauan, perbaikan, penataan dan penyempurnaan serta penertiban dan pembaharuan terhadap sistem, kebijakan peraturan perundang-undangan terkait bidang aparatur negara, termasuk perbaikan sikap perilaku, akhlak dan moral aparatur. Untuk melakukan pembaharuan, sejumlah fakta dalam birokrasi harus dicermati sebagai bahan penilaian seperti: bentuk dan susunan birokrasi yang terbilang besar, tugas pokok dan fungsi yang tumpang tindih, bekerja tidak efisien dan efektif, tidak kompeten, berintegritas rendah, mudah terintervensi dengan unsur-unsur politis, tidak adanya sistem yang efektif untuk pengarahan dan pengendalian birokrasi, dan lain sebagainya 3).

Selain deretan tuduhan di atas, yang lebih dahsyat dan sering mencoreng nama baik korps birokrasi adalah persoalan korupsi, kolusi, dan nepotisme atau sering disebut KKN. Inilah yang banyak pihak menyebutnya sebagai sumber permasalahan karena berdiam sebagai penyakit di semua bidang. Masalah ini sebenarnya melekat bukan saja di tubuh PNS sebagai penyelenggara pemerintahan tapi setiap individu dapat terkena perbuatan KKN. Dari aspek individunya, KKN disebabkan adanya sifat keserakahan materil, hidup bergaya konsumtif dan lemahnya moral yang cenderung bertindak korup, hal ini berkembang merasuk dalam jiwa, mental, perasaan dan pikiran. Tindakan preventif terhadap hal seperti ini perlu ditekankan pada perbaikan kualitas mental individu yang jika tidak dilakukan akan berdampak kegagalan pada aspek sistem organisasi secara keseluruhan. Sebab lainnya yang tidak kalah hebat adalah tingkat pemenuhan kebutuhan dari gaji yang kurang mencukupi pada batas yang dianggap layak. Masalah ini harus dipenuhi dengan upaya memperbaiki sistem penggajian pada batas yang memungkinkan terminimalkannya potensi korupsi.

2.4

Masalah Gaji Dalam Restrukturisasi PNS

Pada dasarnya manusia bakal resisten terhadap renumerasi yang sangat tidak memenuhi kebutuhan minimum atau kehidupan yang layak. Menjadi pegawai negeri merupakan suatu pilihan profesi karir, sehingga suatu hal yang wajar untuk menuntut standar gaji yang layak untuk memenuhi kompensasi beban tugas, tanggung jawab, kualifikasi, prestasi kerja, periode waktu jabatan serta tingkat biaya hidup yang cukup tinggi. Pendapat lain juga mengemukakan bahwa gaji yang rendah seringkali bukan penghematan, tetapi merupakan tambahan beban karena produktivitas kerja rendah. Fakta menunjukkan bahwa dalam pemerintahan banyak pekerjaan dilakukan oleh banyak orang yang memiliki produktivitas rendah. Padahal pekerjaan tersebut sebenarnya dapat dilakukan oleh jumlah tenaga yang jauh lebih sedikit namun memiliki kemampuan dan kualifikasi yang memadai dan mendapat gaji yang cukup.

Kenyataan lain juga menunjukkan bahwa sistem gaji pegawai negeri saat ini tidak mempertimbangkan prestasi kerja. Sistem penggajian tidak mempertimbangkan pegawai yang berprestasi, memiliki produktivitas tinggi, serta disiplin yang tinggi. Saat ini PNS level struktural yang sama, pegawai yang memiliki produktivitas tinggi dan yang tidak, memiliki nilai gaji yang sama. Hal seperti ini dalam jangka waktu yang panjang dapat menurunkan semangat, etos, dan disiplin kerja. Bahkan bagi pegawai tertentu dapat menjadi sumber pengungkit untuk melakukan tindakan penyelewengan dan korupsi.

Sudah menjadi suatu pola berpikir yang umum agar dapat mengambil setiap kesempatan melakukan tindakan yang tidak terlalu jujur, asal dilakukan dengan hati-hati, tidak terlalu besar dan mencolok, serta asal dapat dipertanggungjawabkan secara semu kepada badan pengawas. Alasan yang

digunakan adalah tidak mungkin bagi pegawai negeri untuk dapat memenuhi standar kehidupan yang layak dengan gaji kecil dan tidak adil.

2.5

Merancang Manajemen SDM berbasis Kompetensi

Pengembangan pribadi yang bermutu unggul secara sistematis boleh jadi merupakan salah satu strategi yang mesti diusung ketika suatu perusahaan /organisasi menjadi yang terbaik. Dalam kaitannya dengan hal ini, beberapa tahun terakhir ini merebak satu pendekatan baru dalam menata kinerja manusia, yang acap disebut sebagai competency-based HR management (CBHRM), atau manajemen pengelolaan SDM berbasis kompetensi. Dalam pendekatan ini, kosa kata kompetensi menjadi elemen kunci. Tidak ada definisi yang sama tentang Manajemen Sumber Daya Manusia, 3 (tiga) definisi sebagai perbandingan dapat dikemukakan : Bagaimana orang-orang dapat dikelola dengan cara yang terbaik dalam kepentingan organisasi, Amstrong (1994). Suatu metode memaksimalkan hasil dari sumber daya tenaga kerja dengan mengintergrasikan MSDM kedalam strategi bisnis, Kenooy (1990). Pendekatan yang khas, terhadap manajemen tenaga kerja yang berusaha mencapai keunggulan kompetitif, melalui pengembangan strategi dari tenaga kerja yang mampu dan memiliki komitmen tinggi dengan menggunakan tatanan kultur yang integrated, struktural dan teknik-teknik personel, Storey (1995). Dari ke-3 definisi diatas dapat disimpulkan bahwa, Manajemen Sumber Daya Manusia berkaitan dengan cara pengelolaan sumber daya insani, dalam organisasi dan lingkungan yang mempengaruhinya, agar mampu memberikan kontribusi secara optimal bagi pencapaian organisasi. Secara general, kompetensi sendiri dapat dipahami sebagai sebuah kombinasi antara ketrampilan (skill), atribut personal, dan pengetahuan (knowledge) yang tercermin melalui perilaku kinerja (job behavior) yang dapat diamati, diukur dan dievaluasi. Dalam sejumlah literatur, kompetensi sering dibedakan menjadi dua tipe, yakni soft competency atau jenis kompetensi yang berkaitan erat dengan kemampuan untuk mengelola proses pekerjaan, hubungan antar manusia serta membangun interaksi dengan orang lain. Contoh soft competency adalah: leadership, communication, interpersonal relation, dll. Tipe kompetensi yang kedua sering disebut hard competency atau jenis kompetensi yang berkaitan dengan kemampuan fungsional atau teknis suatu pekerjaan. Dengan kata lain, kompetensi ini berkaitan dengan seluk beluk teknis yang berkaitan dengan pekerjaan yang ditekuni. Contoh hard competency adalah : electrical engineering, marketing research, financial analysis, manpower planning, dll. Tahap pertama yang mesti dilakukan ketika suatu perusahaan/organisasi hendak membangun competency-based HR management adalah menyusun direktori kompetensi serta profil kompetensi per posisi. Dalam proses ini, dirancanglah daftar jenis kompetensi baik berupa soft dan hard

competency yang dibutuhkan oleh perusahaan/organisasi tersebut; lengkap dengan definisi kompetensi yang rinci, serta juga indikator perilaku dan levelisasi (penjenjangan level) untuk setiap jenis kompetensi. Dalam tahap ini pula disusun semacam kebutuhan kompetensi per posisi, atau semacam daftar kompetensi apa yang dipersyaratkan untuk satu posisi tertentu, berikut dengan level minimumnya. Tahap berikutnya merupakan tahap yang paling kritikal, yakni tahap asesmen kompetensi untuk setiap individu karyawan dalam perusahaan/organisasi itu. Tahap ini wajib dilakukan sebab setelah kita memiliki direktori kompetensi beserta dengan kebutuhan kompetensi per posisi, maka kita perlu mengetahui dimana level kompetensi para karyawan kita dan dari sini juga kita bisa memahami gap antara level kompetensi yang dipersyaratkan dengan level yang dimiliki oleh karyawan saat ini. Terdapat beragam metode untuk mengevaluasi level kompetensi, dari mulai yang bersifat sederhana dan praktis hingga yang kompleks. Metode yang praktis adalah meminta atasan, rekan kerja dan mungkin juga bawahan untuk menilai level kompetensi karyawan tertentu, dengan menggunakan semacam kuesioner kompetensi. Kuesioner ini didesain dengan mengacu pada direktori kompetensi serta indikator perilaku per kompetensi yang telah disusun pada fase sebelumnya. Metode lain yang lebih kompleks adalah dengan menggunakan teknik yang disebut sebagai competency assessment center. Dalam metode ini, karyawan diminta untuk melakukan bermacammacam tugas seperti melakukan simulasi peran, memecahkan suatu kasus atau juga menyusun skala prioritas pekerjaan. Hasil kegiatan ini kemudian dievaluasi oleh para evaluator yang biasanya terdiri lebih dari satu orang. Meskipun obyektivitas dan validitasnya relatif tinggi, metode ini membutuhkan waktu yang cukup panjang (biasanya dua hari) dan biaya serta energi yang relatif besar. Metode uji kompetensi lain yang kini juga banyak dilakukan adalah dengan menerapkan sertifikasi kompetensi yang dikeluarkan oleh suatu badan yang independen dan kredibel. Di Amerika Serikat misalnya, telah terdapat sertifikasi kompetensi untuk beragam profesi/posisi seperti untuk posisi marketing, HR, keuangan, engineering, dll. Dengan sertifikasi ini, maka seorang karyawan benarbenar telah teruji level kompetensinya. Tahap berikut dari penerapan CBHRM adalah memanfaatkan hasil level asesmen kompetensi yang telah dilakukan untuk diaplikasikan pada setiap fungsi manajemen SDM, mulai dari fungsi rekrutmen, manajemen karir, pelatihan, hingga sistem remunerasi. Memang, perjalanan penerapan metode CBHRM membutuhkan proses yang panjang nan berliku. Namun, manfaat yang akan diperoleh dari penerapan metode ini niscaya akan membuat sebuah perusahaan bisa makin melesat unggul dibanding para pesaingnya. 1. a. Manajemen Karier.

Mengembangkan Diri.

Mungkin belum pernah terlintas dalam pikiran, bahwa suatu kesempatan besar akan datang dan membawa keberuntungan di masa mendatang. Segala sesuatu bergerak dengan cepat dalam organisasi tanpa peringatan terlebih dahulu. Begitu kesempatan datang, maka seseorang harus sudah siap untuk menerima kesempatan tersebut, sudah tentu jumlah pertimbangan yang diperoleh akan ditentukan oleh catatan prestasi yang dimiliki oleh pribadi masing- masing. Ini berarti bahwa pada waktu memulai pekerjaan yang pertama seseorang harus dapat membayangkan prospek masa

depannya meskipun masa depan belum dianggap penting pada saat itu, tetapi seseorang harus berusaha bekerja dengan sungguh-sungguh dan berusaha untuk mencapai prestasi kerja sebaik mungkin. Dengan belajar dari pengalaman, mengamati sebab keberhasilan orang lain dan tidak mengulangi kesalahan yang dibuatnya, seseorang dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan baik dan lebih cepat, sehingga dapat dengan mudah dan benar-benar tahu apa yang harus dikerjakan.Kemampuan kerja seseorang dapat menarik perhatian seorang pemimpin dan rekan-rekan sekerja, serta membuka kesempatan bagi orang termaksud untuk lebih cepat menduduki jabatan yang lebih baik. Promosi adalah kenaikan jabatan, yakni menerima wewenang dan tanggungjawab yang belum dimiliki sebelumnya. Promosi tidak selalu diikuti dengan kenaikan gaji. Gaji dapat tetap, tapi pada umumnya bertambah besarnya wewenang dan tanggungjawab seseorang, bertambah besar pula balas jasa yang diterimanya. Dengan promosi, dimaksudkan bahwa kepada seseorang diberikan jabatan yang lebih tinggi, dimana ia mempunyai tugas wewenang dan tanggungjawab yang lebih besar, jika dibandingkan dengan tugas, wewenang dan tanggungjawab yang dipegang sebelumnya. Hal ini dimaksudkan untuk mengembangkan lebih lanjut karier seseorang. Dalam rangka mencapai kemajuan, seseorang terlebih dahulu harus bersikap dinamis dan lebih banyak memberikan jasa pada organisasi tempat ia bekerja, tanpa mengharapkan suatu ambisi yang berlebihan serta tidak terlalu mengharapkan imbalan jasa. Disamping itu seseorang harus berusaha untuk dapat memanfaatkan kesempatan, sehingga dapat membuktikan bahwa ada kesanggupan untuk menangani pekerjaan yang lebih besar. Pekerjaan yang memerlukan tanggungjawab yang lebih besar merupakan tantangan bagi seseorang untuk lebih maju. Setiap tanggungjawab baru akan membuat seseorang untuk lebih dapat berdiri sendiri dan berguna di kantor, serta dapat memberikan pengalaman yang lebih luas kepadanya. Kemungkinan kesempatan tersebut datang dari diri seseorang sendiri, misalnya dengan menemukan cara yang lebih efisien dalam menyelesaikan beberapa pekerjaan atau penyampaian ide baru yang dapat diterapkan dalam pelaksanaan pekerjaan. Setiap individu pada umumnya ingin maju, berkembang dan sukses, namun tidak banyak individu yang tahu kemana dan bagaimana pengembangan tersebut dilakukan. Beberapa hal yang dapat dipakai oleh setiap individu untuk mengembangkan dirinya, antara lain: 1) Berusaha mengenal diri sendiri. 2) Berusaha mengenal kekuatan diri sendiri. 3) Berusaha mengenal kelemahan diri sendiri. 4) Berusaha mengembangkan interaksi dan komunikasi terbuka dengan lingkunag yang positif dan edukatif. 5) Membiasakan diri selalu mengadakan kritik terhadap diri sendiri, mengevaluasi diri, dan mengembangkan rasa humor. 6) Mencoba menerima keadaan secara rasional dan objektif. 7) Membiasakan diri selalu mengadakan pengecekkan, dan teliti dalam setiap tindakan.

8) Memiliki tujuan dalam tahapan waktu yang terprogram. 9) Tidak mengimitasikan diri pada seseorang, tetapi mendiri.

b.

Pengelolaan Karir

Agar dapat menentukan tindakan yang ingin kita lakukan dalam hal karir, kita perlu melalui satu proses yang amat sederhana, yaitu proses perencanaan karir. Itu bukannya suatu persoalan dalam merencanakan kehidupan kita, melainkan sekedar cara dalam menyortir sasaran-sasaran jangka pendek kita, dalam menentukan apa yang harus kita lakukan berikutnya di dalam karir kita. Proses ini dapat diterapkan pada tahap manapun dalam kehidupan kita: untuk beralih karir, atau untuk perencanaan karir awal, untuk berbagai keputusan karir. Bagaimana mangikutinya? Cukup kita ikuti tahap-tahap yang digambarkan di bawah ini dan kita harus sampai pada beberapa jawaban dari pertanyaan semacam: Karir apa yang cocok bagi kita? Pilihan apa yang ada pada kita? Bagaimana kita dapat membuat keputusan? Langkah-Langkah yang Ditempuh Menilai diri sendiri : Kenalilah kelebihan-kelebihan kita, kemampuan kita, minat kita dan berbagai atribut persoalan lainnya. Simaklah pengalaman kita sebelumnya. Gambarkan hasil temuan kita dalam suatu bentuk ringkasan atau rekaman. Meneliti gagasan dan kesempatan : Menengok kesempatan pada masa mendatang. Mencari dan mempertimbangkan informasi yang relevan. Menandai sumbersumber bantuan dan dukungan. Membuat hubungan-hubungan : Dapatka umpan balik dari perkembangan karir kita. Kenali prioritas-prioritas dan dorongan-dorongan pribadi. Gabungkan hasil hasil penilaian diri dengan pilihan-pilihan yang ada pada kita. Melakukan tindakan : Tuliskan dan laksanakan suatu rencana kegiatan. Komunikasikan secara efektif baik secara lisan maupun tertulis untuk mencapai sasaran. Tinjau kembali kemajuan kita dan amati segi-segi yang perlu dipelajari bagi perencanaan karir kita di masa mendatang. Menilai Diri Sendiri Ini merupakan langkah teramat penting dalam proses pengelolaan karir dan bagi sebagian besar orang inilah bagian yang paling sulit dan menimbulkan sejumlah pertanyaan. Bagaimana saya melakukannya? Patokan apa yang saya gunakan? Dengan siapa saya harus membandingkan diri saya? Dengan jelas disebutkan bahwa ada tiga kriteria utama yang sangat vital dalam pengelolaan karir, yakni pengetahuan akan: Kemampuan dan keterampilan kita, misalnya, kemampuan dalam mencegah masalah, dalam berkomunikasi. Minat kita, misalnya, terhadap lingkungan, musik, olah raga

Kelebihan-kelebihan kita, misalnya, keinginan untuk sukses, keinginan untuk membantu orang lain. Dalam proses ini kita tak perlu membuat perbandingan antara diri kita dengan orang lain. Yang perlu kita lakukan adalah tindakan INTRAPERSONAL, yakni membandingkan berbagai keterampilan dan minat kita untuk mengetahui mana yang lebih penting. Ada berbagai macam cara untuk melaksanakan tugas ini. Kita dapat meninjau ulang pengalaman terlebih dahuludalam mengenali minat dan kelebihan tertentu dalam diri kita. Kita dapat mempergunakan serangkaian kuesioner atau system panduan komputer. Kita juga dapat bertanya kepada orang lain mengenai kesan-kesan mereka terhadap kepribadian-kepribadian dan kelebihan-kelabihan kita. Umpan balik dari tindakan dapat mengejutkan, bahkan dapat pula menyakitkan, tetapi itulah gambarannya. Ada sejumlah cara dalam menjalani proses peninjauan diri dan refleksi diri semacam ini. Yang paling baik adalah mencoba berbagai cara untuk menentukan jawaban-jawaban yang konsisten. Setelah kita mendapat beberapa kemajuan, akan berguna kiranya untuk menyimpulkan hasil temuan kita dalam suatu profil atau risalah pribadi dan karir yang akan mencatat semua hal mengenai diri kita yang relevan terhadap keputusan karir kita. Sebagai contoh, barangkali kita akan menemukan bahwa kita berkeinginan untuk memanfaatkan kualitas dengan suatu cara tertentu, atau bahwa keterampilan kitadi tempat kerja inginkita kembangkan lebih lanjut. Kita barangkali pula menyadari bahwa beberapa pangalaman yang kita dapatkan secara cuma-cuma atau bersifat main-main ternyata sangat berguna untuk menunjang rencana karir kita di masa mendatang. Menetapkan Sasaran dan Merencanakan Tindakan yang Akan Kita Ambil Mengetahui secara jelas apa yang akan kita lakukan adalah bagian utama dalam proses perencanaan karir karena tindakan itu dapat meningkatkan rasa percaya diri kita, disamping mempertegas tujuan kita. Apabila kita merasa terperangkap dalam keputusasaan dan keraguan, penetapan sasaran akan membantu kita merasa lebih optimis tentang masa depan dan membuat kita lebih berani melakukan kontrol pada kehidupan kita. Ini merupakan salah satu dari tujuan penetapan sasaran dan perencanaan tindakan. Lantas apa keterkaitannya? Pada khususnya ada dua pertanyaan sederhana yang perlu kita jawab: Kemana arah hidup saya? dan Bagaimana saya dapat mencapainya? Apabila merasa sulit menetapkansuatu jangkauan karir, kita dapat pula mendaftar sejumlah pilihan dan, dalam rancangan tindakan yang kita buat, dapat dijelaskan alas an kita memilih salah satu dari hal tersebut. Kita barangkali perlu pula membuat perbedaan antara tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Pertanyaan yang penting kita jawab adalah Bagaimana saya tahu saya telah mencapai tujuan tersebut? Pengelolaan karir berawal dari bagaimana diri kita sebenarnya. Pengenalan kepribadian kita sendiri menentukan bagaimana karir yang akan kita peroleh. Bagaimana kita bisa mencapai karir dengan sukses jika kita sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya ada pada diri kita. Kedisiplinan dan penetapan sasaran adalah faktor yang menentukan dalam pengelolaan karir kita.Disiplin membuat kita menjadi orang yang bertanggungjawab dan penetapan sasaran menentukan bagaimana karir yang kita inginkan dapat tercapai.

2.

Reward and Punishment dalam Pelaksanaan Good Governance

Sumber daya aparatur saat ini dikonotasikan dengan SDM yang memiliki profesionalisme rendah. Alasan yang dapat dikemukakan untuk menjelaskan kondisi keterpurukan tersebut, setidaknya dari isi internal dan eksternal perlu mendapat perhatian bersama 4). Ditetapkannya Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah diharapkan menjadi birokrasi yang efektif. Dalam Undang-undang disebutkan, pemerintah hanya mengelola enam bidang saja yaitu: politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal dan agama serta beberapa bidang lainnya yang membawa implikasi baru dalam manajemen publik dimana domain pemerintah berbeda. Dalam penyelenggaraan pemerintahan, peran birokrasi memiliki kedudukan dan fungsi signifikan. Oleh karena itu perubahan peranan birokrasi di tengah masyarakat senantiasa menjadi sangat vital. Arah perubahan sudah dimulai sejak masa reformasi sampai saat ini. Dorongan internal tersebut kemudian melahirkan beberapa kebijakan diantaranya, pertama Tap MPR RI Nomor XI/MPR/1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih, dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. Kedua, undang-undang Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi. Ketiga, peraturan pemerintah Nomor 1 tahun 1999 Tentang Komisi Pemeriksa Kekayaan Negara. Keempat, Undangundang Nomor 32/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berbagai kebijakan tersebut menunjukkan keseriusan dan tekad pemerintah secara sungguh-sungguh menuju penyelenggaraan pemerintahan yang bersih. Namun demikian praktek-praktek KKN yang tumbuh subur sejak pemerintahan orde baru cenderung meningkat saat pemerintah sedang gencargencarnya melakukan pembenahan aparatur pemerintah. Sumber daya aparatur saat ini dikonotasikan dengan sumber daya manusia (SDM) dengan profesionalisme rendah yang terlihat dari indikator pelayanan yang tidak optimal, penggunaan waktu tidak produktif, belum optimalnya peran dan inovasi dalam menjalankan tugas.

3.

Faktor SDM

Pelaku (birokrat) menjadi faktor penentu selain system dan kebijakan yang telah diterbitkan. Banyak orang akan mengatakan, pada akhirnya SDM lah yang menjalankan system tersebut.Banyak Aspek dari keterpurukan birokrasi di Indonesia semuanya bermuara pada SDM. Indikasi rendahnya SDM setidaknya tercermi dari tiga hal, yakni kesejahteraan, reward (penghargaan) dan punishment (sanksi). Sistem gaji pegawai negeri sipil (PNS) seringkali diperdebatkan karena saat ini khalayaknya mentahbiskan gaji sebagai penunjang prestasi kerjanya. Penggajian belum tegas menimbang aspek tingkat pendidikan, prestasi, produktivitas dan kedisiplinan yang dituntut organisasi. Pada tingkat structural yang sama, pegawai dengan produktivitas tinggi dan rajin dengan PNS yang malas dan tidak produktif dipastikan akan mendapat gaji sama jika masa golongan, masa kerja dan ruang pangkat yang sama. Bahkan untuk tunjangannya pun berbeda tipis. Usaha meningkatkan kesejahteraan pegawai telah dilakukan pada awal tahun 2006 ini dengan memberi tunjangan umum bagi PNS yang tidak menerima tunjangan jabatan structural maupun fungsional. Dari nilai gaji yang sedemikian, dalam jangka waktu yang panjang dapat menurunkan

semangat, etos kerja dan disiplin kerja terhadap pegawai yang produktif dan rajin. Budaya dan pola piker memanfaatkan setiap kesempatan melakukan tindakan yang tidak jujur, asal dilaksanakan dengan hati-hati, tidak terlalu besar dan mencolok, serta dapat dipertanggungjawabkan bersama kepada pengawas sudah menjadi hal biasa terjadi dalam urusan birokrasi saat ini.

1) Penghargaan (Reward). Sejak 1959 aparatur negara diberikan penghargaan untuk berbagai jenis sesuai dengan prestasinya. Sebut saja sarya Lencana Kemerdekaan, Satya Lencana Pembangunan, Satya Lencana Wira Karya, Satya Lencana Karya Satya dan Piagam Pelita. Namun banyak diantara anugerah tersebut ditanggapi dingin karena bentuknya yang berkurang memberi manfaat untuk meningkatkan kesejahteraan. Puluhan tahun lalu, Abraham Maslow menenggarai tentang penghargaan sejenis itu yang hanya bisa dinikmati kelompok masyarakat mapan. Sementara jika dilihat dari pendapatan mayoritas aparatur pemerintah saat ini, untuk menutup kebutuhan pokok saja tidak cukup. Intinya, kenutuhan akan sandang, pangan, papan lebih berarti dari sebuah penghargaan atas kesetiaan, prestasi dan darma bhakti yang diberikan. Untuk itu diperlukan usaha-usaha dari pemerintah untuk mengevaluasi kembali mengenai bentuk dan manfaat dari penghargaan yang akan diberikan. 2) Sanksi (Pusnishment). Cita-cita pemerintahan yang baik dan berwibawa sulit terwujud jika tidak ada disiplin skala nasional. Disiplin nasional tidak akan pernah ada tanpa diawali aparatur. Sudah banyak peraturan ditertibkan oleh ulah tidak disiplin. Kenyataan, Konsekuensi dari sebuah peraturan masih menjadi barang mahal ditengah genderang pemerintah ditabuh dengan alunan lagu pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Peraturan pemerintah nomor 30/1980 tentang Disiplin Aparatur Pemerintah masih sangat sulit dilaksanakan secara konsekuen. Hal-hal berikut turut berpengaruh dalam pelaksanaan PP Nomor 30/1980, antara lain belum adanya ukuran produk kerja yang dihasilkan, beban kerja setiap unit tidak sama, jumlah pegawai terlalu besar tidak sebanding dengan beban kerja adanya tenggang rasa yang tebal sesama aparatur, keteladanan dan kedisiplinan pimpinan menurun. Dari penerapan reward and punishment tersebut diatas menunjukkan adanya kelemahan birokrasi yang akan menyebabkan rendahnya kualitas kinerja aparatur dan menggambarkan rendahnya kompetensi SDM. BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

3.1

Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan terhadap permasalahan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Peningkatan kualitas perencanaan. Problem mendasar amburadulnya sistem kepegawaian kita awalnya bersumber dari kurang diperhatikannya pola manajemen perencanaan SDM dalam tubuh birokrasi. Contoh, membengkaknya jumlah pegawai dan ketidakseimbangan komposisi kompetensi pegawai yang dibutuhkan.

2. Alternatif peningkatan gaji tentu tidak ideal karena kenyataan jumlah PNS yang demikian besar sehingga membutuhkan dana yang sangat besar. Nampak sulit melakukan peningkatan gaji secara ideal dalam kondisi ekonomi dan keuangan negara saat ini sehingga pilihan moderasi antara idealitas kenaikan gaji dipertemukan dengan realitas kemampuan anggaran pemerintah saat ini. 3. Untuk mendapatkan kinerja pegawai (birokrasi) unggul, profesionalisme pegawai merupakan syarat mutlak. Sekali lagi ini berhubungan dengan pola pengembangan kelembagaan. Pemerintah harus dapat meningkatkan kualifikasi dan kompetensi pegawai. Sebagai konsekuensinya faktor kesejahteraan pegawai menjadi kebutuhan tak terelakkan. Prinsip anggaran berbasis kinerja sebenarnya selaras dengan upaya pemerintah menata kepegawaian birokrasi. Strategi peningkatan kesejahteraan pegawai lebih bermakna jika diiringi penerapan reward and punishment yang dijalankan secara konsisten.

3.2

Saran. Berdasar kesimpulan di atas disarankan sebagi berikut :

1. Diperlukan suatu langkah tepat pemerintah (Kantor MenPAN / BKN) untuk menata kembali data seluruh pegawai. Keakuratan data ini akan menentukan perencanaan pembinaan dan pengembangan pegawai. Jadi, keakuratan data jelas akan mencegah kerugian negara dan masyarakat. Bagi negara, uang negara bisa diselamatkan. Bagi masyarakat, pelayanan dan birokrasi lebih maksimal. 2. Idealnya, alternatif rasionalisasi dan kompensasi merupakan pilihan yang paling tepat untuk memperbaiki kinerja PNS dan sistem birokasi secara keseluruhan. Namun kendala pembiayaan yang cukup besar sehingga membutuhkan political will dari pemimpin nasional. Jika ada political will.. 3. Diperlukan strategi peningkatan kesejahteraan pegawai yang dijalankan secara konsisten melalui penerapan reward and punishment,sehingga tidak menurunkan etos kerja bagi pegawai yang selama ini telah berkerja secara baik dan penuh dedikasi.

Daftar Kepustakaan

Abidin, Said Zainal, Perspektif Baru Dalam Sistem Pengelolaan Pemerintahan, Jakarta, Milliunium Pess, 2002.

--------, Kebijakan Publik, Jakarta, Penerbit Pancur Siwah, 2004 Amri, Strategic Management (Manajemen Stratejik), Universitas Syiah Kuala Darussalam, Banda Aceh, 2008.

Anwar Prabu mangkunegara, MSDM perusahaan, 2004 Armida S. Alisjahbana, Reformasi Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Mahasiswa Pascasarjana Sulawesi Tengah, Bandung 24 April.1999.

Bambang Nugroho, Kasubag Kepegawaian dan Ortala Setditjen Ciptakarya, Bulletin CiptaKarya, Departemen Pekerjaan Umum Edisi No. 6/IV/Juni 2006. Didin S. Damanhuri, Guru Besar Ekonomi IPB dan Pengamat Ekonomi Merancang Manajemen SDM Berbasis Kompetensi

Didik G. Suharto, S.Sos, M.Si, Dosen Administarasi Negara, FISIP UNS Surakarta, Menata Sistem Kepegawaian.

Henry Simamora, MSDM Edisi 3 Tahun 2004.

M. Syamsul Maarif & Hendri Tanjung. Manajemen Operasi. Grasindo Jakarta,2004.

Mokh. Muslikh Abdussyukur. Reformasi Birokrasi Publikdi Era Otonomi Daerah Dalam Menghadapi Persaingan Bebas, Jurnal Forum Inovasi, Vol 8 September Nopember 2003.

Randal S. Schuler, Susan E. Jackson, MSDM Menghadapi Abad ke 21, 1997

1) Dr. Moh. Hatta di penghujung tahun 1950-an mengatakan korupsi sudah menjadi budaya di Indonesia 2) Menurut International Management Development (2002) yang berpusat di Swiss, kinerja daya saing Indonesia berada di urutan 47 dari 49 negara. Penilaian tersebut didasarkan pada empat faktor utama, yaitu: kinerja ekonomi, efisiensi pemerintah, efisiensi usaha dan infrastruktur.

3) Mantan Presiden Megawati menyebut kinerja PNS sebagai keranjang sampah. Ketika membuka Rakernas Pendayagunaan Aparatur Negara 11 Februari 2002 di Jakarta, Presiden Megawati mengemukakan istilah pemerintahan keranjang sampah itu digunakannya karena banyak pejabat tidak mau turun ke lapangan. Para pejabat hanya mau melaporkan hal-hal yang baik-baik saja dan sebaliknya menutup-nutupi hal buruk.

4) Bambang Nugroho, Kasubag Kepegawaian dan Ortala Setditjen Ciptakarya ,Bulletin CiptaKarya, Departemen Pekerjaan Umum Edisi No. 6/IV/Juni 2006

Anda mungkin juga menyukai