(Renstra SKPD)
Renstra
Depdiknas
Informasi dan Data Pendidikan
Renstra
Renstra
SKPD
SKPD
Provinsi
RPJPD
RPJMD
Rencana
Pembangunan
Jangka
Rencana
Panjang
Pembangunan
Daerah
Jangka
Menengah
Daerah
i
Panduan ini dikembangkan oleh DBE1 dengan arahan dari Kementerian Koordinator
Bidang Kesejahteraan Rakyat, Departemen Pendidikan Nasional, dan Departemen
Agama serta merupakan perwujudan kerja sama antara Pemerintah Republik
Indonesia dengan USAID.
ii
Panduan ini telah diuji coba dan digunakan oleh pemangku
kepentingan terkait di 50 kabupaten/kota mitra DBE1
iii
DAFTAR ISI
1. Pengantar .............................................................................................................. 0
2. Gambaran Umum .................................................................................................. 3
3. Tahap I: Analisis Layanan Pendidikan .................................................................. 9
o Langkah Pertama: Menyiapkan Profil Layanan Pendidikan ......................... 9
o Langkah Kedua: Identifikasi Program yang Berhasil Pada Periode
Perencanaan Sebelumnya ......................................................................... 42
o Langkah Ketiga: Merumuskan Isu Strategis ............................................... 50
4. Tahap II: Menyiapkan Visi, Misi, dan Tata Nilai ................................................. 54
o Langkah Pertama: Merumuskan Visi ......................................................... 54
o Langkah Kedua: Merumuskan Misi ............................................................ 55
o Langkah Ketiga: Merumuskan Tata Nilai ................................................... 56
5. Tahap III: Merumuskan Tujuan dan sasaran, Strategi dan Kebijakan ............... 57
o Langkah Pertama: Merumuskan Tujuan dan Sasaran ............................... 57
o Langkah Kedua: Merumuskan Strategi ...................................................... 62
o Langkah Ketiga: Menetapkan Kebijakan .................................................... 67
6. Tahap IV: Merumuskan Program dan Kegiatan ................................................. 70
7. Tahap V: Penyusunan Rencana Biaya dan Pendanaan .................................... 80
iv
1. Pengantar
1
c. Persentase penduduk buta aksara usia 15 tahun ke atas maksimal
menjadi 5% pada akhir tahun 2008.
Selain besar dan luasnya bidang pendidikan, kondisi pendidikan juga masih
jauh di bawah standar yang telah ditetapkan. Untuk itu, diperlukan suatu sistem
perencanaan pendidikan yang dapat mengatasi berbagai permasalahan
tersebut.
1.2.1 Tujuan
Menimbang kompleksitas pekerjaan yang harus digarap oleh Tim Penyiapan
Rencana Strategis Dinas Pendidikan (TPR), maka diperlukan sebuah panduan
yang memuat metodologi, termasuk tahap dan langkah, untuk penyusunan
rencana. Dengan adanya buku panduan ini, diharapkan semua pihak yang
berkepentingan dalam perencanaan pendidikan kabupaten/kota akan
mempunyai persepsi yang sama.
2
2. GAMBARAN UMUM
Bagian ini memberikan gambaran umum tentang ruang lingkup perencanaan,
struktur rencana, prinsip-prinsip perencanaan, dan proses perencanaan.
Peningkatan Akses
Perencanaan yang berkaitan dengan peningkatan akses berfokus pada
identifikasi wilayah-wilayah dengan banyak anak usia sekolah yang tidak
bersekolah. Setelah wilayah-wilayah ini teridentifikasi, kita akan melihat alasan
yang menyebabkan rendahnya angka partisipasi pendidikan. Pertanyaan kunci
adalah: “Apakah rendahnya partisipasi disebabkan oleh kurangnya fasilitas
untuk bersekolah (masalah penyediaan/supply), atau tidak adanya
kemampuan untuk bersekolah karena kemiskinan dan keterpencilan (masalah
kebutuhan/demand)?”
Peningkatan Mutu
Perencanaan yang berkaitan dengan peningkatan mutu harus memperhatikan
bahwa setiap sekolah mempunyai tingkat perkembangan yang berbeda-beda
dalam kualitas, sehingga dukungan yang dibutuhkan juga berbeda-beda.
Misalnya sekolah dengan kinerja rendah membutuhkan dukungan yang
berbeda dari sekolah yang sudah bagus. Oleh sebab itu, sekolah akan
dikelompokkan ke dalam 4 kelompok mutu dan untuk setiap kelompok akan
disusun strategi dukungan yang khusus.
3
Selain itu, akan berfokus pada isu ketidakmerataan layanan pendidikan antar
wilayah atau antar kelompok gender. Selain itu, perhatian juga akan diberikan
pada isu keadilan dalam penyelenggaraan pendidikan, atau dengan lain kata:
“Apakah anak-anak yang bersekolah mempunyai kesempatan yang sama
untuk mendapatkan layanan pendidikan yang bermutu?” Di sini perhatian
terutama ditujukan pada ketidaksetaraan kondisi belajar, seperti kualitas
gedung, ketersediaan buku, serta jumlah dan kompetensi guru, atau dengan
lain kata, apakah penyelenggaraan pendidikan sudah memenuhi standar
pelayanan minimum.
4
Pemberian Perhatian pada Program yang Berhasil pada Periode
Perencanaan Sebelumnya
Metodologi perencanaan ini juga memberikan perhatian yang lebih luas pada
identifikasi “program yang berhasil” pada periode perencanaan sebelumnya,
yaitu program-program yang sebaiknya dilanjutkan.
5
akan disusun benar-benar mengarah pada kebutuhan-kebutuhan bidang
pendidikan.
6
Bagan 1
7
Bagan 2
4 5
8
3. Tahap I: Analisis Layanan Pendidikan
Tahap ini bertujuan memberikan gambaran tentang layanan pendidikan saat ini di
kabupaten/kota. Gambaran tersebut akan membentuk dasar bagi langkah berikutnya
dalam proses perencanaan, sehingga lebih mudah untuk menyiapkan program khusus
bagi desa-desa dan sekolah yang memerlukan dukungan khusus. Analisis ini akan
dilaksanakan dalam tiga langkah:
1. Menyiapkan Profil Layanan Pendidikan. Profil ini akan menunjukkan kondisi
layanan pendidikan saat ini berdasarkan indikator kunci pendidikan seperti angka
partisipasi, angka transisi, angka putus sekolah, angka mengulang kelas, hasil
ujian, dan lain-lain.
2. Identifikasi Program yang Berhasil pada Periode Perencanaan Sebelumnya.
Proses perencanaan tidak mulai dari nol, tetapi harus berdasarkan pencapaian
yang diperoleh selama periode perencanaan sebelumnya. Disini fokusnya adalah
mengidentifikasi program yang telah berhasil dilaksanakan dalam periode
perencanaan yang lalu, dan karena telah terbukti keefektifannya, maka sebaiknya
dilanjutkan pada periode perencanaan yang akan datang.
3. Merumuskan Isu Strategis. Berdasarkan profil pendidikan dan dengan
mempertimbangkan perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan
perencanaan, maka isu akan teridentifikasi.
9
• Di mana sekolah-sekolah ini berada: di daerah perkotaan, perdesaan atau di
daerah terpencil?
• Bagaimanakah tingkat kemiskinan di desa yang memiliki sekolah dengan
tingkat transisi rendah?
Nah sekarang kita mempunyai sebuah gambaran tentang masalah tingkat transisi
rendah yang mendesak: di daerah perkotaan, perdesaan, atau di daerah terpencil.
Lebih jauh, kita akan mempunyai sebuah gambaran mengenai hubungan antara
tingkat transisi rendah dengan kemiskinan.
4. Untuk merancang program-program yang efektif kita masih perlu mengetahui lebih
banyak lagi. Tingkat transisi rendah terutama dijumpai pada jenis sekolah apa:
• Sekolah umum atau sekolah agama?
• Sekolah negeri atau sekolah swasta?
5. Langkah terakhir dalam proses analisis adalah menyiapkan sebuah daftar sekolah-
sekolah yang memiliki tingkat transisi rendah. Daftar itu akan menunjukkan:
kecamatan, desa, nama sekolah, jenis, status, dan tingkat transisi yang nyata.
Melalui kelima langkah itu, maka sekarang para perencana telah mempunyai
informasi yang dibutuhkan untuk menyampaikan isu transisi rendah.
10
Bagian Pertama. Data Pendukung Untuk Perencanaan
Pendidikan
Ada dua jenis data yang sangat penting bagi perencanaan pendidikan yang efektif.
Pertama adalah data penduduk, khususnya anak usia pra sekolah. Kunci
pertanyaannya di sini adalah: “Apakah dalam enam tahun ke depan jumlah murid akan
meningkat, tetap, atau menurun?” Kedua adalah data yang berkaitan dengan
kemiskinan, yang berperan untuk menentukan tindakan lebih lanjut bagi peningkatan
penyelenggaraan pendidikan secara umum (akses, pemerataan, dan mutu).
Data Penduduk
Dalam bagian ini, kita akan mencari data perbandingan kelompok penduduk usia 0-6
tahun dengan kelompok 7-12 tahun, apakah kelompok penduduk usia 0-6 lebih besar
dari kelompok usia 7-12; kemudian melakukan identifikasi menurut kecamatan,
kecamatan mana yang perbandingan kedua kelompok tersebut lebih besar dan mana
yang perbandingannya lebih kecil.
Jika kelompok penduduk usia 0-6 tahun lebih besar dari kelompok usia 7-12 tahun,
maka kecamatan tersebut akan mengalami penambahan anak usia sekolah dalam 6
tahun mendatang. Tetapi jika lebih kecil, maka akan mengalami penurunan jumlah
anak usia sekolah 7-12 tahun.
Indeks Kemiskinan
Ada beberapa alternatif cara untuk menghitung indeks kemiskinan. Dalam panduan ini
kita memakai data BKKBN untuk menghitung indeks kemiskinan, cara perhitungannya
adalah berikut ini:
Jumlah KK Miskin
Indeks Kemiskinan =
Jumlah KK
dengan
Jumlah KK Miskin = Jumlah KK Pra - Sejahtera + Jumlah KK Sejahtera I
11
Tabel 2: Indeks Kemiskinan Menurut Desa
KK KK Jumlah
Jumlah Indeks
Desa Pra- Sejahtera KK
KK Kemiskinan
Sejahtera 1 Miskin
Desa A
Desa B
Desa ….
Total
12
Bagian Kedua. Jenjang Pendidikan Anak Usia Dini
Pendidikan anak usia dini (PAUD) termasuk kategori pra sekolah yang berfungsi
meningkatkan kesiapan anak dalam memasuki belajar pada jenjang SD. Pada bagian
ini akan dilihat tingkat layanan pemerintah dan peran masyarakat dalam
penyelenggaraan PAUD. Tabel berikut menujukkan seberapa besar tingkat layanan
pemerintah dan peranan masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan anak usia
dini.
Tabel 5: APK Pendidikan Anak Usia Dini menurut Jenis Satuan Pendidikan
Tiga Tahun Terakhir
APK PAUD
Satuan Pendidikan
2005 2006 2007
TK/RA
KB/TPA
Total
Gambarkan keadaan APK PAUD menurut tingkat desa/kecamatan, yang berguna untuk
melihat penyebaran PAUD dan keterkaitannya dengan keseimbangan antara PAUD
dengan SD/MI. Contoh tabel berikut menunjukkan distribusi APK PAUD pada tingkat
desa:
< 20
20 - 30
31 - 40
41 - 50
>50
Identifikasi nama-nama desa dengan APK PAUD kategori rendah, apakah rendahnya
APK PAUD tersebut ada kaitannya dengan kemiskinan masyarakat?
13
Tabel 7: Daftar Desa dengan APK PAUD Terendah
APK PAUD Indeks
Kecamatan Desa Kemiskinan
< .20
Desa….
Kec A Desa …..
…………..
Desa …..
Kec B Desa ……
…………..
…………..
…………..
14
Bagian Ketiga. Jenjang Pendidikan Dasar
Selain gambaran kelembagaan, perlu disajikan partisipasi pendidikan pada tingkat SD.
Selama ini yang banyak digunakan adalah Angka Partisipasi Murni (APM) dan Angka
Partisipasi Kasar (APK). Penggunaan APK sebagai indikator partisipasi pendidikan
tidak dapat menggambarkan kondisi yang sesungguhnya, karena semua anak yang
ada di jenjang SD, yaitu yang berusia 7-12 tahun, ditambah anak yang berusia di
bawah 7 tahun maupun di atas 12 tahun juga ikut dihitung, sehingga angkanya lebih
besar dari 100 persen. Demikian juga dengan APM, saat ini cenderung menurun,
karena banyak peserta didik kelas 1 SD berusia 6 tahun atau bahkan lebih muda lagi.
Karena itu mereka tidak dapat dihitung dalam APM.
Untuk mengatasi hal tersebut, suatu indikator yang perlu dipertimbangkan, yaitu Angka
Partisipasi Sekolah (APS) 7-12 tahun yang mengukur apakah anak sedang bersekolah
tanpa membedakan apakah ia bersekolah di tingkat SD atau SMP; hal ini penting
khususnya untuk anak usia 11 – 12 tahun, karena sebagian masih bersekolah di SD,
sedangkan sebagian telah bersekolah di tingkat SMP. Indikator ini tidak pernah
melebihi 100%.
APM
APS
APK
Catatan: APS posisinya berada antara APM dan APK
Untuk melihat lebih jelas perkembangan indikator akses pendidikan dasar tiga tahun
terakhir, sebaiknya menggunakan grafik seperti contoh berikut:
15
Contoh grafik perkembangan APM, APS, dan APK 3 tahun terakhir.
Contoh1:
Perkembangan APM, APS, dan APK
2005 sd 2007
140
120
100
80 APM
APS
60
APK
40
20
0 2005 2006 2007
Akses
Pada saat menyampaikan isu akses, sebaiknya berfokus pada anak usia sekolah yang
tidak bersekolah dan bukan pada mereka yang sudah bersekolah. Pada dasarnya, kita
ingin melihat seberapa jauhkah Pemda memenuhi kewajibannya dalam memberikan
layanan pendidikan kepada semua anak. Berikutnya fokus kita adalah untuk menjawab
tiga pertanyaan kunci :
a. Apakah anak-anak siap bersekolah?
b. Apakah anak-anak bersekolah?
c. Apakah anak-anak melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang SMP?
16
Dari tabel di atas dapat dihitung berapa persen anak kelas 1 SD yang kurang dari 7
tahun. Persentase ini akan mempengaruhi pencapaian angka partisipasi murni
(APM) tingkat SD. Makin tinggi persentase usia masuk SD kurang dari 7 tahun,
makin rendah angka partisipasi murni.
Dari tabel di atas dapat dihitung berapa persen siswa kelas 1 SD yang berasal dari
TK/RA, makin tinggi persentase yang berasal dari TK/RA makin tinggi kesiapan
memasuki SD.
Bagan 3
Kesiapan Siswa Memasuki SD Kelas 1
AMK PADA
KELAS AWAL
SISWA KLS 1
< 7 TAHUN
Alur ini menunjukkan keterkaitan antara kesiapan belajar yang ditunjukkan oleh APK
PAUD, siswa kelas 1 SD melalui PAUD, dan besarnya siswa kelas 1 SD yang berusia
< 7 tahun. Contoh hasil analisis keterkaitan kesiapan belajar dengan angka mengulang
kelas (AMK) pada kelas awal disajikan sebagai berikut:
17
Contoh 2: Angka Mengulang Kelas SD/MI
Contoh gambar di samping adalah
Tahun 2006
ilustrasi di salah satu kabupaten
7.4 yang angka mengulang kelasnya
8
7
pada kelas awal cukup tinggi. Data
6 4.5 menunjukkan bahwa 90% murid SD
5.1
5 4.5
3.8
kelas 1 berusia kurang dari 7 tahun,
4
3
3 2.8 sedangkan jumlah murid kelas 1 SD
2 1.8 2.1
1.2
yang berasal dari TK/RA berjumlah
1
0.30.3 kurang dari 30%. Ini menunjukkan
0
I II III IV V VI bahwa kurangnya kesiapan belajar
Kelas mengakibatkan tingginya angka
mengulang kelas di kelas 1 SD.
Laki-laki Perempuan
Untuk melihat perkembangan APS 7-12 tahun tiga tahun terakhir secara mudah
dapat menggunakan grafik yang memberikan ilustrasi secara jelas, apakah stabil,
menurun atau meningkat, seperti pada grafik di bawah ini.
18
• Kemudian, identifikasi desa-desa dengan banyak anak usia sekolah, yang tidak
bersekolah. Artinya APS menjadi rendah.
< 80
80 - 85
86 – 90
91 - 95
> 95
Total 100%
• Fokuskanlah terhadap desa yang mempunyai APS rendah. Hal ini dapat dilihat
dari dua hal yaitu ketersediaan layanan (supply side) dan kemampuan masyarakat
(demand side):
Jumlah siswa
Jumlah Sekolah Persen
per sekolah
< 90
90 sd. 140
141 sd. 190
191 sd. 240
> 240
Total
19
• Lakukan identifikasi sekolah-sekolah yang jumlah muridnya sangat kecil:
o di mana sekolah itu berada, apa nama desa dan kecamatannya?
o berapa jarak terdekat ke sekolah lainnya?
o apakah sekolah tersebut terletak di daerah terpencil?
o apakah jumlah penduduk usia 0-6 tahun cukup besar?
Hasil identifikasi tersebut merupakan dasar pertimbangan apakah sekolah-
sekolah tersebut harus digabung (regrouping) atau tetap dipertahankan.
AM Tahun ke
Jenis Pendidikan
2005 2006 2007
SD
MI
Total
100
80
SD
AM
60 MI
40 Total
20
0
2005 2006 2007
20
Rendahnya AM disebabkan dua faktor yaitu supply dan demand. Faktor supply
berkaitan dengan ketersediaan layanan pendidikan pada jenjang SMP/MTs dan
faktor demand berkaitan dengan tingkat kemiskinan masyarakat.
Tingkat
Kecamatan AM
Kemiskinan
Mutu Pendidikan
Hal ini akan dilakukan dengan cara menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
• Seberapa tinggikah angka mengulang kelas (AMK)?
• Seberapa tinggi angka putus sekolah (APTS)?
• Apakah berbagai input pendidikan bermutu dan merata?
• Seberapa tinggi mutu lulusan ?
21
1. Angka Mengulang Kelas
• Pertama kita akan melihat bagaimana perkembangan tingkat mengulang kelas
selama tiga tahun terakhir.
0.08
0.07
0.06 SD
AMK
0.05
MI
0.04
0.03 Total
0.02
0.01
0 2003/04 2004/05 2005/06
Tahun
Dari contoh di atas, tampak bahwa AMK di MI tidak menurun pada periode tahun
2004/2005 dan 2005/2006, sedangkan di SD menurun secara signifikan.
Selanjutnya, pada kelas berapakah tingkat AMK paling tinggi atau apakah ada
kecenderungan peningkatan AMK seiring dengan makin tingginya tingkatan kelas
pada SD/MI.
Salah satu contoh angka mengulang kelas jenjang SD/MI pada kabupaten X dapat
digambarkan sebagai berikut:
22
Contoh 6: Angka Mengulang Kelas
8
7
AMK (%)
6
5
4 Laki - laki
3 Perempuan
2
1
0
Kls1 Kls2 Kls3 Kls4 Kls5 Kls6
Tingkatan Kelas
Dari contoh di atas tampak bahwa semakin tinggi tingkatan kelas di SD/MI, semakin
rendah AMKnya.
Jumlah
AMK Persen
Sekolah
> 4.0
3.0 – 4.0
2.0 – 3.0
1.0 – 2.0
< 1.0
Total 100%
Lakukan identifikasi sekolah dengan AMK tinggi, meliputi nama sekolah, di mana
sekolah tersebut berada, nama desa dan kecamatan, berapa AMK rillnya, dan
kaitannya dengan indeks kemiskinan desa atau kecamatan.
Tingkat
Kecamatan Desa Nama Sekolah AMK
Kemiskinan
23
2. Angka Putus Sekolah (APTS)
• Pertama kita akan melihat bagaimana perkembangan tingkat putus sekolah selama
tiga tahun terakhir.
APTS Tahun ke
Jenis Sekolah
2005 2006 2007
SD
MI
Total
0.08
0.07
0.06 SD
APTS
0.05
MI
0.04
0.03 Total
0.02
0.01
0 2003/04 2004/05 2005/06
Tahun
Dari contoh di atas, tampak bahwa pada periode tahun tahun 2004/05 dan 2005/06
jenjang MI tidak mengalami perbaikan APTS, sedangkan pada jenjang SD cukup
signifikan.
Selanjutnya, pada kelas berapakah APTS paling tinggi atau apakah ada
kecenderungan peningkatan APTS dengan tingkat kelas pada SD/MI.
Tabel 24: Angka Putus Sekolah Menurut Jenis Pendidikan dan Jenjang Kelas
APTS menurut Jenis
Jenjang
Pendidikan Total
Kelas
SD MI
Kelas 1
Kelas 2
Kelas 3
Kelas 4
Kelas 5
Kelas 6
Total
Agar lebih ilustratif, penyajian data dapat menggunakan grafik seperti pada contoh
berikut:
24
Contoh 8: Angka Putus Sekolah Menurut Jenjang Kelas
0.06
0.05
SD
APTS
0.04
MI
0.03
Rata-rata
0.02
0.01
0
Rata-rata
Kelas 1
Kelas 3
Kelas 4
Kelas 6
Kelas 2
Kelas 5
Dari contoh di atas tampak bahwa makin tinggi tingkatan kelas SD/MI, makin tinggi
pula APTSnya. Selanjutnya kita lakukan identifikasi sekolah mana saja yang angka
putus sekolahnya tergolong tinggi. Contoh tabel berikut menunjukkan distribusi
APTS pada jenjang SD.
• Fokuskanlah terhadap sekolah dengan tingkat putus sekolah yang tinggi dan
jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
a. Di manakah sekolah-sekolah ini berada: di daerah perkotaan, perdesaan, atau di
daerah terpencil?
b. Bagaimanakah tingkat kemiskinan di desa dimana sekolah itu berada?
Tingkat
Kecamatan Desa Nama Sekolah Jenis Status APTS
Kemiskinan
25
3. Mutu Input Pendidikan
Hingga saat ini masih merupakan suatu kenyataan di Indonesia, bahwa variansi dalam
kabupaten lebih tinggi dibandingkan dengan variansi antara kabupaten. Ini
menunjukkan bahwa pemerataan dalam kabupaten masih merupakan masalah yang
serius karena anak-anak belajar di dalam kondisi yang sangat beragam. Sejumlah
anak bersekolah di sekolah yang bagus dengan guru yang banyak dan persediaan
buku-buku yang memadai, sementara itu anak-anak lainnya belajar di sekolah yang
bangunannya tidak layak dengan jumlah guru terbatas serta menghadapi masalah
kekurangan buku yang serius. Pemerataan dalam panduan ini menyampaikan isu
tersebut dan ukuran-ukuran mengenai sejauh mana anak-anak mempunyai peluang
yang sama untuk belajar di sekolah yang memenuhi standar pelayanan minimum
(SPM). Hal ini akan dilakukan dengan cara menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut
ini:
26
Sebagai ilustrasi rasio ruang kelas terhadap rombongan belajar, ternyata di
beberapa sekolah menunjukkan kelebihan dan di beberapa sekolah menunjukkan
kekurangan, seperti tampak pada diagram berikut:
Lebih
Sesuai
Kurang
Sangat Kurang
Catatan: Kondisi sekolah dengan jumlah ruang kelas yang berlebih tidak efisien,
artinya terdapat sejumlah ruang kelas yang tidak dimanfaatkan secara optimal.
Namun di sisi lain kekurangan ruang kelas terlihat cukup tinggi, ini menunjukan
bahwa di beberapa sekolah masih menggunakan sistem double shift, dilihat dari
efektivitas pengajaran kelas dengan double shift jam belajarnya tidak optimal.
Kerusakan ruang kelas mestinya tidak semasif seperti sekarang ini, jika manajemen
asset diterapkan secara konsisten baik di tingkat dinas pendidikan kabupaten/kota
maupun di tingkat satuan pendidikan (sekolah). Langkah awal untuk menata kondisi
ruang kelas adalah pendataan yang akurat, terutama menetapkan kriteria rusak
ringan dan rusak berat, karena kondisi tingkat kerusakan berdampak pada
besarnya anggaran yang akan direncanakan. Gambarkanlah tingkat kerusakan
ruang kelas berdasarkan jenis pendidikan seperti tabel di bawah ini.
27
Contoh 10: Kondisi Ruang Kelas
Contoh hasil analisis kondisi ruang kelas di salah satu kabupaten menunjukkan
bahwa pada jenjang SD rata-rata jumlah ruang kelas sebesar 6,26; sedangkan
pada MI sebesar 4,50 untuk 6 rombel yang ada. Terdapat 72 sekolah (28% dari
jumlah SD) yang lebih dari setengah jumlah ruang kelasnya rusak berat.
Fokuskan pada ruang kelas yang kondisinya rusak berat, hal ini harus menjadi
prioritas dalam penanganan pembangunan pendidikan, selain aspek keselamatan
insan pembelajar, juga dalam rangka kenyamanan dalam belajar.
28
Secara nasional, jumlah guru SD/MI sudah memadai, namun masalahnya adalah
pendistribusian yang tidak merata. Untuk itu, selain rata-rata rasio guru kelas
terhadap rombongan belajar secara keseluruhan (tingkat kabupaten/kota), perlu
dilihat juga rasio guru kelas terhadap rombongan belajar menurut sekolah, seperti
tampak pada tabel berikut:
Tabel 32: Distribusi Rasio Guru Kelas terhadap Rombongan Belajar
Sebagai ilustrasi rasio guru kelas terhadap rombongan belajar, ternyata di beberapa
tempat menunjukkan kelebihan seperti tampak pada grafik berikut:
Sangat Lebih
Lebih
Sesuai
Kurang
Sangat Kurang
29
• Lakukan analisis buku menurut mata pelajaran pokok di SD/MI. Hal ini digunakan
untuk melihat buku mata pelajaran apa yang masih kurang dan mata pelajaran apa
yang sudah cukup, bahkan yang kelebihan buku. Tabel berikut menggambarkan
kecukupan buku menurut mata pelajaran pokok di SD/MI.
• Berikut ini contoh hasil analisis rasio buku mata pelajaran pokok dengan siswa pada
jenjang SD.
PPKn .88
Bahasa Indonesia 1.24
Matematika 1.04
IPA .81
IPS .65
Dari tabel di atas tampak bahwa buku pelajaran PPKn, IPA, dan IPS masih kurang
dari standar yang ditetapkan (SPM, Kepmen No. 129a tahun 2004), yaitu setiap
siswa memperoleh satu buku untuk setiap mata pelajaran.
Langkah selanjutnya adalah membuat distribusi sekolah berdasarkan rasio buku
siswa, terutama yang termasuk kategori kurang. Contoh berikut adalah distribusi
sekolah dilihat dari rasio buku PPKn terhadap siswa:
Data di atas menunjukkan bahwa pada lebih dari sepertiga jumlah sekolah, satu
buku PPKn dipakai oleh lebih dari dua orang murid.
Lakukan langkah yang sama untuk buku mata pelajaran lainnya.
30
• Setelah menjawab tiga pertanyaan di atas, sebuah indikator gabungan akan
disusun. Indikator gabungan tersebut akan menunjukkan disparitas dalam peluang
untuk belajar di sekolah-sekolah yang memenuhi standar pelayanan minimal
belajar/pendidikan.
Tingkat
Kecamatan Desa Nama Sekolah Jenis Status Skor
Kemiskinan
Selain rata-rata US dari seluruh mata pelajaran, lakukan analisis untuk setiap mata
pelajaran. Hal ini berguna untuk melihat pelajaran apa yang memiliki kinerja rendah.
Tabel berikut merupakan contoh analisis dari salah satu kabupaten:
Tabel di atas dapat memilah tinggi rendahnya mutu pendidikan dalam setiap bidang
studi. Hal ini sangat penting berkaitan dengan program pelatihan dan penyediaan
sarana belajar bagi bidang studi tertentu.
31
Nilai US pada tahun terakhir sekolah dapat dikelompokkan berdasarkan distribusi
kelompok nilai UN seperti tampak pada tabel berikut:
Jumlah
Rata-rata Nilai US Persen
Sekolah
< 6.0
6.0 – 7.0
7.1 – 8.0
8.1 – 9.0
> 9.0
Total 100%
Dari tabel di atas dapat ditelusuri, sekolah mana yang memperoleh rata-rata US < 6,
serta dapat ditelusuri kaitannya dengan berbagai input pendidikan seperti tampak pada
tabel berikut:
Jumlah
Tingkat Kelulusan (%) Persen
Sekolah
< 81
81 - 85
86 – 90
91 - 95
> 95
Total 100%
32
Lakukan identifikasi sekolah-sekolah dengan tingkat kelulusan paling rendah, di
mana sekolah tersebut berada, mencakup nama desa dan kecamatan, indeks
kemiskinan, dan tingkat kelulusan. Sajikan hasilnya dalam tabel berikut ini:
Analisis Lebih Jauh terhadap Sekolah dengan Mutu Pendidikan Sangat Rendah
1. Proses Pendidikan
Jumlah
Tingkat Kehadiran Guru %
Sekolah
Sangat Rendah < 80%
Rendah 80 – 84%
Agak Rendah 85 - 89%
Cukup Tinggi 90 – 94%
Tinggi >95%
Total 100%
33
dalam mata pelajaran membaca, menulis, dan berhitung untuk kelas III serta mata
pelajaran bahasa, matematika, IPA, dan IPS untuk kelas V.
34
Efisiensi
Sektor pendidikan sejauh ini adalah sektor terbesar yang menyedot antara 30-40 %
APBD. Karena besarnya sektor ini, maka menjadi sangat mendasar bahwa selama
proses perencanaan strategis, diberikan perhatian yang memadai pada indentifikasi
pengukuran untuk meningkatkan efisiensi dalam pelayanan pendidikan. Secara
mendasar pertanyaan-pertanyaan berikut perlu dijawab. Apakah ada peluang untuk
meningkatkan efisiensi sistem pelayanan pendidikan dengan:
a. pengelompokan sekolah atau memperkenalkan pola pengajaran multi-kelas di
sekolah-sekolah dengan jumlah murid yang sedikit?
b. Meningkatkan rasio murid-guru?
Kalau jawabannya ada, ini berarti bahwa jumlah guru yang dibutuhkan lebih sedikit,
yang pada gilirannya akan meluangkan dana yang dapat digunakan untuk pengeluaran
pendidikan yang lain.
35
Bagian Keempat. Jenjang Pendidikan Menengah Pertama
(SMP/MTs)
Pada prinsipnya penyiapan profil pendidikan untuk jenjang pendidikan SMP/MTs sama
seperti jenjang pendidikan SD/MI. Kinerja yang berkaitan dengan ”pemberian layanan
pendidikan tingkat SMP/MTs” juga akan diukur berdasarkan kinerja yang berkaitan
dengan tema pengembangan pendidikan, yaitu ”Peningkatan Akses Pendidikan,
Pemerataan Pendidikan, Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing Bangsa”.
Namun demikian ada beberapa hal yang spesifik untuk SMP/MTs.
Berikut adalah perbandingan antara Profil Pendidikan Dasar Formal dengan Profil
Pendidikan Menengah Pertama Formal.
Contoh 15: Perbedaan Profil Pendidikan Dasar dengan
Pendidikan Menengah Pertama Formal
36
Perubahan utama adalah interval-interval kelas yang digunakan akan menyesuaikan
dengan keadaan di tingkat SMP, yang memiliki batasan berbeda untuk semua kategori.
Perbedaan yang cukup siginifikan adalah analisis kebutuhan guru antara SD dengan
SMP.
Pada jenjang SD guru mengajar berdasarkan guru kelas, sehingga kebutuhannya sama
dengan jumlah rombongan belajar yang ada. Sedangkan pada jenjang SMP guru
mengajar berdasarkan mata pelajaran. Oleh sebab itu kebutuhan guru dihitung
berdasarkan jumlah rombongan belajar dan jumlah jam pada masing-masing mata
pelajaran, sehingga guru yang dibutuhkan pada satu sekolah untuk mata pelajaran
Bahasa Indonesia akan berbeda dengan guru PPKn, karena jumlah jam Bahasa
Indonesia sebanyak 4 jam, sedangkan PPKn sebanyak 2 jam.
Setiap guru pada jenjang SMP memiliki kewajiban mengajar sebanyak 24 jam
pelajaran per minggu. Dengan demikian jumlah guru yang dibutuhkan pada suatu
sekolah menggunakan rumus:
Data yang tersedia pada profil pendidikan adalah jumlah guru mata pelajaran per
sekolah, sehingga kita dapat menghitung rasio guru mata pelajaran per rombongan
belajar. Rasio ini dapat mengidentifikasi apakah di kabupaten/kota tertentu mengalami
kekurangan atau kelebihan guru mata pelajaran tertentu.
Analisis selanjutnya adalah mengidentifikasi sekolah mana saja yang mengalami
kekurangan atau kelebihan guru mata pelajaran tertentu. Analisis ini sangat penting
bila dikaitkan dengan UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dimana seorang
guru wajib mengajar sekurang-kurangnya 24 jam pelajaran.
Hasil analisis berikut menunjukkan rasio guru terhadap rombongan belajar pada suatu
kabupaten.
37
Data di atas menunjukkan bahwa guru mata pelajaran Bahasa Inggris memiliki rasio
guru terhadap rombongan belajar sebesar 0,20 berarti guru Bahasa Inggris rata-rata
mengajar di 5 rombongan belajar atau rata-rata mengajar 20 jam pelajaran.
Tabel distribusi berikut merupakan contoh sebaran guru Bahasa Inggris pada suatu
kabupaten:
Contoh di atas menunjukkan bahwa walaupun secara rata-rata jumlah guru Bahasa
Inggris lebih dari yang dibutuhkan, namun ternyata terdapat 8 sekolah yang
kekurangan guru Bahasa Inggris dan ada 18 sekolah yang kelebihan guru Bahasa
Inggris.
Analisis selanjutnya adalah mengidentifikasi sekolah-sekolah baik yang mengalami
kekurangan maupun kelebihan guru, seperti pada contoh berikut ini:
38
Bagian Kelima. Jenjang Pendidikan Sekolah Menengah
Atas (SMA / MA / SMK)
1. SMA / MA
Analisis situasi pada jenjang SMA hampir sama dengan SMP, hanya beberapa
indikotor harus dirinci menurut jurusan/bidang keilmuan yang ada di SMA,
khususnya pada kelas 2, yaitu jurusan IPA, IPS, dan Bahasa.
Kebutuhan guru akan bervariasi sesuai dengan variasi jumlah rombongan belajar
pada masing-masing jurusan/bidang keilmuan. Sebagai ilustrasi, jumlah jam belajar
matematika berbeda antara jurusan IPA dan Bahasa, demikian pula jam belajar
Bahasa Indonesia berbeda pada masing-masing jurusan. Selain berbeda jumlah jam
pelajaran pada bidang ilmu dasar, juga beragam dalam jenis mata pelajarannya,
seperti berikut:
1. Pendidikan Agama 2 2 2
2. Pendidikan Kewarganegaraan 2 2 2
3. Bahasa Indonesia 4 4 5
4. Bahasa Inggris 4 4 5
5. Matematika 4 4 3
6. Fisika 4
7. Kimia 4
8. Biologi 4
9. Geografi 3
10. Ekonomi 4
11. Sosiologi 3
12. Sastra Indonesia 4
13. Bahasa Asing 4
14. Antropologi 2
15. Sejarah 1 3 2
39
Indikator lain seperti AMK, APTS, dan mutu lulusan harus dirinci menurut jurusan,
seperti tampak pada tabel berikut:
Tabel 44: Berbagai Indikator berdasarkan Jurusan di SMA/MA
Jurusan
Indikator
IPA IPS Bahasa
APK
APM
AMK
APS
Rasio Guru-Rombel
Rasio Buku-Siswa
Rasio Siswa-Rombel
Rata-Rata UN
2. SMK
Analisis situasi untuk SMK lebih rumit karena jumlah bidang keahliannya lebih
banyak dan unit analisis yang paling memungkinkan hanya pada tingkat kelompok
bidang keahlian seperti SMK Teknologi, SMK Bisnis, dan SMK Pariwisata. Semua
indikator pendidikan dirinci menurut kelompok keahlian tersebut, seperti:
APM
AMK
APS
Rasio Guru-Rombel
Rasio Buku-Siswa
Rasio Siswa-Rombel
Rata-Rata UN
Jika masing-masing kelompok keahlian pada SMK jumlahnya sangat sedikit, maka
sebaiknya menggunakan RPS/RKS pada masing-masing SMK, tinggal memilah
program mana yang dapat dilakukan langsung oleh sekolah dan program mana
yang lebih efisien dan efektif jika dilakukan pada tingkat kabupaten/kota.
Analisis kebutuhan pengembangan SMK harus dikaitkan dengan potensi daerah
masing-masing, bahkan SMK dapat dikembangkan menjadi sekolah berkeunggulan
lokal.
40
Bagian Keenam. Pendidikan Luar Sekolah
1. Peningkatan Akses
• Pertama-tama kita akan melihat bagaimana perkembangan tingkat buta aksara
selama tiga tahun terakhir. Pertanyaan kuncinya adalah apakah tingkat buta aksara
menjadi lebih kecil, tetap stabil, atau bertambah selama tiga tahun terakhir.
• Fokuslah terhadap desa yang ABA-nya tinggi dan jawablah pertanyaan berikut ini:
a. Di manakah sekolah-sekolah ini berada ?
b. Bagaimanakah tingkat kemiskinan di desa/daerah ini ?
Tabel 48: Desa dengan ABA Tinggi menurut Lokasi dan Tingkat Kemiskinan
Angka Penyandang Indeks
Desa Kecamatan
Buta Aksara Kemiskinan
41
• Identifikasi layanan penyelengaraan pendidikan keaksaraan.
Layanan pendidikan keaksaraan dapat dilihat dari ketersediaan Pusat Kegiatan
Belajar Masyarakat (PKBM), Taman Bacaan Masyarakat (TBM), dan tutor
keaksaraan. Jumlah dan jenis layanan keaksaraan ini dapat dirinci menurut
kecamatan sebagai berikut:
42
6.3. Pendidikan Keterampilan Hidup
Pada bagian ini disajikan informasi tentang perkembangan jumlah peserta didik
program pendidikan keterampilan hidup menurut sumber dana, apakah berasal dari
pemerintah, APBN/APBD, atau dari masyarakat.
Jumlah dan jenis program keterampilan hidup di kabupaten/kota sangat bervariasi,
namun dapat dikelompokkan menurut kelompok program, seperti tampak pada tabel
berikut:
43
Bagian Ketujuh. Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Penerapan Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen berdampak
besar pada pengelolaan SDM di tingkat daerah. Untuk mengelola sumber daya
manusianya secara efektif, daerah membutuhkan data guru yang terperinci . Hal ini
menuntut adanya sistem informasi berbasis guru. Belakangan ini sistem informasi
tersebut sedang diperkenalkan di tingkat daerah. Sistem ini disebut Nomor Unik
Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Karena data ini sedang dalam penyusunan, para
perencana di tingkat daerah harus mempersiapkan perencanaan untuk SDM sebagai
bagian dari Renstra Dinas Pendidikan berdasarkan tabel di bawah ini. Pada saat sistem
baru tersebut sudah diterapkan di tingkat daerah, para perencana di daerah akan
memiliki informasi yang jauh lebih rinci untuk menentukan rencana pengembangan
SDM.
• Berapa jumlah guru yang dimiliki daerah dan berapa dari mereka yang perempuan?
Jenjang Pend
SD SMP SMA / SMK Jumlah
L P L P L P L P
Status guru
PNS
Non PNS
Jumlah
Jumlah
Pendidikan Guru Persen
guru
SLTA
D1
D2
D3/SM
S1/D4
Pascasarjana (S2)
Total
44
• Bagaimana distribusi usia guru dan kapan mereka akan memasuki pensiun?
Mengetahui umur guru berkaitan dengan proyeksi pemenuhan kebutuhan guru yang
diakibatkan oleh masa pensiun.
<40
40 – 45
46 – 50
51 – 55
>55
Total
Guru yang berusia lebih dari 55 tahun adalah guru yang akan pensiun empat tahun
ke depan. Adanya data proyeksi jumlah guru yang akan pensiun sangat penting untuk
mengantisipasi kekosongan guru secara mendadak. Guru yang berada dalam
kelompok ini perlu didaftar menurut sekolah, masa kerja, golongan, status
kepegawaian, dan alamat lengkap.
45
Tabel 58: Distribusi Masa Kerja Guru
<5
5–9
10 – 14
15 – 19
20 – 24
>24
Jumlah
46
Tabel 61: Kesesuaian Latar Pendidikan Guru dengan Bidang yang Diajarkan
Pada contoh di bawah, perbandingan tingkat pendidikan guru SD/MI dengan guru
SMP/MTs seperti yang tampak pada contoh jenjang pendidikan guru di salah satu
kabupaten, menunjukkan bahwa pada jenjang SD/MI, guru yang berpendidikan S1/D4
baru mencapai 20,6%; sedangkan pada jenjang SMP/MTs mencapai 67%.
Kesenjangan pendidikan guru SD/MI dan SMP/MTs dengan persyaratan minimal
pendidikan guru S1/D4 cukup besar.
47
Bagian Kedelapan. Manajemen Pelayanan Pendidikan
Untuk meningkatkan penyelenggaraan pendidikan, dibutuhkan perubahan besar yang
mendasar dalam pengelolaan pendidikan baik di tingkat daerah maupun di tingkat
sekolah. Di tingkat daerah, birokrasi pendidikan harus melakukan reorientasi diri
sehingga lebih berorientasi pada mereka yang dilayani (client) dan harus memahami
bahwa tugas mereka dalam memberikan layanan pendidikan dibiayai oleh uang
pembayar pajak. Hal ini menuntut perubahan dari praktik-praktik manajemen otoriter
menjadi manajemen yang berorientasi pada klien dengan kesempatan yang cukup bagi
partisipasi komunitas, praktik manajemen yang transparan, dan mekanisme
akuntabilitas yang efektif.
Hal yang sama berlaku di tingkat sekolah. Kepala sekolah harus lebih terbuka dalam
praktik manajemennya, membuka kemungkinan keterlibatan komunitas dan
menghitung pencapaian sekolah. Untuk mencapai hal-hal di atas, pemerintah
memperkenalkan pembentukan komite sekolah dan dewan pendidikan yang akan
menjadi badan perwakilan dimana komunitas dapat menyuarakan aspirasi mereka
serta berpartisipasi dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan.
1. Komite Sekolah
Apakah komite sekolah secara aktif terlibat dalam pembangunan sekolah?
Komite Sekolah:
a. terbentuk 2 poin
b. bertemu setidaknya 4 kali setahun 2 poin
c. terlibat aktif dalam perencanaan sekolah (RPS/RKS dan/atau RAPBS) 4 poin
d. terlibat aktif dalam pengawasan implementasi perencanaan 4 poin
Sangat Rendah 2
Rendah 4
Cukup 6
Tinggi 8
Sangat Tinggi >10
Total 100%
2. Dewan Pendidikan
Pertanyaan kunci yang harus dijawab: Apakah daerah telah memiliki dewan pendidikan
yang efektif?
a. terbentuk 2 poin
b. bertemu paling tidak 6 kali setahun 2 poin
c. terlibat aktif dalam perencanaan pendidikan (Renstra SKPD) 4 poin
d. terlibat aktif dalam pengawasan implementasi perencanaan 4 poin
e. terlibat aktif dalam persiapan kebijakan pendidikan 2 poin
48
Tabel 63: Kinerja Dewan Pendidikan
Sangat Rendah 4
Rendah 6
Cukup 8
Tinggi 10
Sangat Tinggi >10
49
3.3. Langkah Ketiga: Identifikasi Program yang Berhasil
pada Periode Perencanaan Sebelumnya
Langkah ini bertujuan untuk mengidentifikasi program yang berhasil pada periode
perencanaan sebelumnya (good practices) dan mampu meningkatkan kinerja
pendidikan pada indikator tertentu, seperti peningkatan angka partisipasi pendidikan
(APS), menurunkan AMK dan APTS, meningkatkan mutu lulusan, dan lain-lain.
Program-program tersebut harus dilanjutkan pada periode perencanaan yang akan
datang agar ada kesinambungan. Analisis akan berfokus pada:
• Keberhasilan program yang telah dilakukan: program untuk peningkatan akses,
pemerataan, dan mutu pendidikan untuk semua jenjang pendidikan.
• Keefektifan biaya dengan membandingkan jumlah biaya dengan peningkatan
yang telah dicapai.
• Pengambilan keputusan apakah program akan dilanjutkan secara utuh,
dilanjutkan dengan modifikasi, atau tidak dilanjutkan.
Pada dasarnya terdapat dua jenis isu strategis, internal dan eksternal. Isu internal
berkaitan dengan kondisi mutakhir penyelenggaraan pendidikan. Berdasarkan profil
pendidikan kita akan mengidentifikasi area-area dimana kinerja penyelenggaraan
pendidikan masih belum memuaskan (misalnya partisipasi yang rendah, angka
mengulang kelas yang tinggi, rendahnya transisi dari pendidikan dasar ke pendidikan
menengah, kondisi sekolah yang buruk, dan kualitas pendidikan yang rendah).
Kemudian kita akan mengidentifikasi penyebab dari rendahnya kinerja tersebut dan
langkah terakhir adalah memutuskan apakah kinerja yang tidak efisien tersebut begitu
serius sehingga perlu dijadikan isu strategis yang akan disampaikan dalam proses
perencanaan.
50
Bagan 4
Identifikasi Isu Strategis
Masalah
Analisis
Penyebab
Masalah
Akses
• Apakah partisipasi bersekolah berada di bawah tingkat yang diharapkan (lihat
Inpres no. 5)? Jika ya, apakah hal itu disebabkan oleh anak yang tidak masuk
sekolah, putus sekolah, atau tidak melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi.
• Kalau anak tidak bersekolah atau tidak melanjutkan ke tingkat pendidikan yang
lebih tinggi, apakah hal ini disebabkan oleh tidak adanya kesempatan bersekolah,
atau dengan kata lain kurangnya fasilitas sekolah? Hal ini disebut masalah di sisi
penyediaan pendidikan. Atau sebaliknya, ada kesempatan bersekolah tapi anak-
anak tidak bersekolah karena kemiskinan. Ini adalah masalah di sisi permintaan
pendidikan.
51
• Kalau masalahnya adalah penyediaan pendidikan, apakah hal itu berkaitan dengan
kurangnya fasilitas bersekolah secara umum, distribusi yang lemah, atau kurangnya
infrastruktur transportasi?
• Kalau masalahnya adalah permintaan pendidikan, apakah hal itu berkaitan dengan
biaya di sekolah lanjutan atau pengeluaran sekolah lainnya, kesulitan orang tua
membayar biaya sekolah anak-anak mereka (transportasi atau pengeluaran anak
sekolah lainnya), atau kurangnya kesadaran akan pendidikan.
Pemerataan
• Apakah masih ada perbedaan yang lebar berkaitan dengan kondisi belajar antar
sekolah? Jika ya, apakah hal itu berkaitan dengan bangunan sekolah dan ruang
kelas, jumlah guru, buku, atau kombinasi antara hal-hal tersebut?
• Apakah sekolah dengan kondisi belajar yang buruk terletak di wilayah yang
spesifik? Jika ya, di mana: (i) pedesaan terpencil, (ii) pedesaan biasa, (iii)
perkotaan, (iv) tersebar merata di semua lokasi?
• Apakah sekolah dengan kondisi belajar yang buruk itu adalah: (i) sekolah negeri,
(ii) sekolah swasta, (iii) sekolah swasta dan negeri, (iv) sekolah umum,
(v) madrasah, (vi) sekolah umum maupun madrasah?
• Apakah penyebab kondisi belajar yang buruk tersebut? Misalnya, karena sedikitnya
jumlah murid, lokasi, atau bencana alam.
Peningkatan Mutu
• Identifikasi apakah kualitas pendidikan termasuk isu strategis atau bukan dengan
membuat perbandingan dengan kualitas pendidikan di daerah lain dalam satu
provinsi. Apakah rendahnya kualitas berkaitan dengan rendahnya hasil ujian akhir
atau tingginya angka mengulang. Apabila kualitas pendidikan tidak memuaskan,
identifikasi sebab-sebab rendahnya kualitas pendidikan dengan berfokus secara
berurutan pada hambatan input dan proses.
Hambatan Input
• Faktor guru, misalnya: (i) keterbatasan guru, (ii) kualifikasi guru.
• Faktor sarana, misalnya: (i) imbangan jumlah buku dengan jumlah murid, (ii) sarana
belajar (alat peraga) yang kurang baik – kuantitas maupun kualitas.
• Faktor murid, misalnya (i) ketidaksiapan murid; kalau ya, apakah diakibatkan oleh
situasi ekonomis (kurang gizi, tidak sarapan, sakit, tidak dapat masuk setiap hari),
(ii) banyak murid berasal dari keluarga miskin.
Hambatan PBM
• Faktor proses pembelajaran, misalnya (i) kurikulum, (ii) materi yang diajarkan dan
metode mengajar, (iii) daya serap kurikulum, (iv) perbedaan antara materi yang
diberikan dengan materi ujian, (v) metode mengajar guru, (vi) persiapan guru.
• KKG/MGMP yang tidak efektif.
• Tidak terpenuhinya waktu tugas karena guru tidak hadir dan sebagainya.
• Tidak ada ujian periodik terhadap siswa sebagai alat/instrumen evaluasi dan
penyesuaian.
Dukungan Dinas/UPTD
52
• Pada tingkat Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dukungan yang diberikan dapat
berupa: implementasi desentralisasi pendidikan melalui penyusunan Renstra SKPD
secara partisipatif dan pengelolaan SDM (tenaga pendidik dan tenaga kependidikan
di sekolah maupun non sekolah).
• Pada tingkat sekolah berupa : implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS),
penyusunan RPS/RKS secara partisipatif, kualitas RPS/RKS, pengelolaan personal,
dan pengelolaan fasilitas termasuk lingkungan sekolah.
53
4. TAHAP II : MENYIAPKAN VISI, MISI, DAN
TATA NILAI
Setelah pemilihan bupati/walikota baru, semua dinas harus menyesuaikan visi, misi,
dan tata nilai dengan visi, misi, dan tata nilai dari bupati/walikota baru terpilih. Bagian
ini akan menjelaskan bagaimana cara merumuskan atau menyesuaikan visi, misi, dan
tata nilai tersebut. Proses ini akan dilakukan dalam tiga langkah: (1) merumuskan Visi,
(2) merumuskan Misi, dan (3) merumuskan Tata Nilai Dinas Pendidikan.
1
Definisi ini adalah kutipan langsung dari SE Mendagri No. 50 tentang Petunjuk Penyusunan Dokumen RPJP
Daerah dan RPJM Daerah (Agustus 2005). Biasanya visi tidak mencakup periode waktu yang harus dipenuhi
untuk mencapainya, tetapi lebih sebagai panduan organisasi untuk jangka waktu yang lama. Definisi di atas
secara jelas menunjukkan bahwa Departemen Dalam Negeri ingin memastikan bahwa semua dinas akan
mensejajarkan visi mereka (dan misi) dengan visi (dan misi) Kepala Daerah yang baru terpilih.
54
dari perwakilan Dewan Pendidikan, masyarakat madani, kepala sekolah, guru,
dan komite sekolah.
7. Apabila diperlukan, sesuaikan visi Dinas Pendidikan berdasarkan langkah 1
sampai 6, sehingga sejalan dengan visi bupati/ walikota baru.
Walau demikian, saat merevisi visi Dinas Pendidikan, satu hal yang harus selalu diingat
sebagai prinsip: lakukan perubahan visi sesedikit mungkin. Sebab, organisasi yang
terlalu sering mengubah tujuan-tujuan strategisnya, sebagaimana diformulasikan dalam
visi, selain akan kehilangan kredibilitas, juga akan gagal meraih tujuan-tujuannya.
Singkatnya, sedapat mungkin pertahankan visi yang sudah ada.
55
4.3 Langkah Ketiga: Merumuskan Tata Nilai
Selain visi dan misi, organisasi dengan kinerja yang tinggi sering kali juga merumuskan
tata nilai organisasi, yang akan membentuk karakter organisasi serta memberikan
acuan untuk organisasi dan jajarannya.
Apabila organisasi telah memiliki tata nilai, jangan diubah atau minimalkan perubahan
karena organisasi membutuhkan tata nilai yang stabil.
56
5. TAHAP III: MERUMUSKAN TUJUAN,
SASARAN, STRATEGI, DAN KEBIJAKAN
Pada tahap sebelumnya kita telah memfokuskan pada bagaimana mempersiapkan visi,
misi, dan tata nilai. Fokus tahap ini adalah bagaimana:
• Merumuskan tujuan dan sasaran.
• Menyusun strategi untuk mencapai tujuan dan sasaran di atas.
• Menentukan kebijakan-kebijakan sebagai panduan pengembangan program.
57
2. Pelajari Standar Pelayanan Minimum (SPM) bidang Pendidikan.
Depdiknas telah memiliki SPM bidang Pendidikan, yaitu Kepmen Diknas
No. 129a Tahun 2004. Walaupun Kepmen tersebut perlu direvisi, karena ada
beberapa indikator yang sudah tidak relevan lagi sehubungan dengan terbitnya
perundana-undangan baru, seperti UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen. Dalam Kepmen Diknas No. 129a Tahun 2004, kualifikasi akademik
minimal guru SD/MI adalah D2, sedangkan dalam UU No. 14 ditetapkan
kualifikasi akademik minimal guru SD/MI adalah D4 atau S1. Indikator lainnya
dipandang masih relevan.
3. Pelajari sasaran yang ada di dalam Renstra Diknas dan Renstra Dinas
Pendidikan Provinsi. Penyelenggaraan pendidikan adalah tanggung jawab
bersama berbagai tingkat pemerintahan. Oleh karena itu, penting bagi
kabupaten/kota untuk mensinergikan rencana strategisnya dengan rencana
strategis nasional dan provinsi.
4. Pelajari kemajuan yang dihasilkan pada periode perencanaan
sebelumnya. Informasi ini dapat diperoleh dari analisis kondisi nyata layanan
pendidikan. Hasil ini akan membantu dalam mengidentifikasi program-program
yang efektif.
5. Pelajari perubahan-perubahan yang sudah terjadi dan mungkin akan
terjadi dalam kondisi eksternal. Informasi ini dapat diperoleh dari analisis
kondisi nyata layanan pendidikan. Perubahan-perubahan ini akan membantu
dalam mengidentifikasi tantangan yang seharusnya dipertimbangkan ketika
mempersiapkan rencana strategis.
6. Pelajari Visi, Misi, dan Tata Nilai Dinas. Ini adalah langkah penting karena
sasaran harus terkait erat dengan visi, misi, dan tujuan serta sebaiknya secara
mendasar mengindikasikan cara bagaimana organisasi akan mencapai visi,
misi, dan tujuannya.
7. Formulasikan sasaran yang ingin dicapai. Lakukan ini berdasarkan hasil dari
langkah 1 sampai 5. Rumuskan untuk setiap jenjang pendidikan, dan pada
setiap jenjang pendidikan rumuskanlah sasaran untuk setiap Pilar Kebijakan.
Pastikan bahwa sasaran dijabarkan dalam indikator-indikator output/outcome.
Umpamanya untuk pilar Peningkatan Akses Pendidikan, rumuskan sasaran
APK, Angka Putus Sekolah, dan Angka Melanjutkan. Saat memformulasikan
sasaran, pastikan bahwa kriteria di bawah ini telah terpenuhi:
• Spesifik: secara jelas mengidentifikasikan apa yang harus dicapai.
• Terukur: kita dapat melihat apakah sasaran sudah tercapai atau belum.
• Dapat Tercapai: realistis, dalam arti memungkinkan untuk dicapai.
• Relevan: berkaitan dengan kepentingan publik dan publik memang
betul-betul menginginkannya.
• Berjangka waktu: tercapai dalam jangka waktu tertentu.
Melihat lima kriteria di atas, perlu dipahami bahwa kelimanya tidaklah sama,
karena empat diantaranya adalah kriteria teknis, yaitu: spesifik, terukur,
dapat tercapai, dan berjangka waktu. Sedangkan kriteria relevan, berbeda
dari yang lain karena langsung berkaitan dengan harapan publik. Kriteria ini
dapat membantu para perencana untuk berfokus pada keinginan publik dalam
layanan pendidikan.
58
Bagan 5
Hubungan antara Visi, Misi, Tujuan & Sasaran
PROFIL
Bagan 6
Hubungan antara tujuan & sasaran yang berkaitan dengan AKSES
Profil Pendidikan
59
Bagan 7
Hubungan antara tujuan & sasaran yang berkaitan dengan Pemerataan
Profil Pendidikan
150 SD masuk dalam kelompok tidak
layak layanan. Sebagian besar dari
sekolah tersebut belum memiliki
ruang kelas dengan kondisi yang
layak dan jumlah yang mencukupi.
Bagan 8
Hubungan antara Tujuan & Sasaran yang Berkaitan dengan
Keunggulan Lokal
Profil Pendidikan
Daerah belum memiliki SD maupun
SMP berkeunggulan lokal
60
2. Menurunkan Angka Mengulang Kelas
Profil pendidikan menunjukkan tingginya angka mengulang pada kelas 1 SD, yang
merupakan indikasi kurangnya kesiapan anak untuk bersekolah. Terutama anak-anak
dari keluarga berpenghasilan rendah mengalami kesulitan dalam transisi dari keluarga
ke sekolah. Karena eratnya hubungan antara mengulang di kelas awal dengan putus
sekolah pada tahun-tahun selanjutnya, Bupati memberikan perhatian khusus untuk
membantu anak menjalani transisi dari keluarga ke sekolah. Tujuan & sasaran yang
berkaitan dengannya dapat disusun seperti di bawah ini:
Bagan 9
Hubungan antara Tujuan & Sasaran yang Berkaitan dengan Pengurangan
Angka Mengulang Kelas
Profil Pendidikan
Di 50 SD angka mengulang kelas di
kelas 1 begitu tinggi, lebih dari 8%.
Bagan 10
Hubungan antara Tujuan & Sasaran yang Berkaitan dengan Hasil Belajar
Profil Pendidikan
Kabupaten/kota berada di peringkat
daerah berkinerja rendah di provinsi,
terutama di bidang matematika dan
bahasa Inggris
61
5.2 Langkah Kedua: Merumuskan Strategi
Perumusan strategi berkaitan dengan pemakaian sumber daya untuk mencapai tujuan.
Atau dengan kata lain, dengan menggunakan sumber daya kegiatan akan
diimplementasikan untuk mencapai tujuan. S.E Mendagri No. 50 mendefinisikan
strategi sebagai berikut: “Strategi adalah cara untuk mewujudkan tujuan yang
dirancang secara konseptual, analitis, realistik, rasional, dan komprehensif. Strategi
diwujudkan dalam kebijakan dan program.”
62
Contoh 23: Kemungkinan Strategi Program Wajar 9 tahun pada aspek AKSES
APS 7-12 tahun sebesar Meningkatkan angka Meningkatkan APS 7-12 • Fokuskanlah program dan kegiatan pada 20 desa
90%. partisipasi pendidikan tahun dari 90% pada dengan APM sangat rendah (≤ 80%), terutama di
pada jenjang SD/MI. tahun 2006 menjadi 95% desa-desa dengan tingkat kemiskinan tinggi.
20 desa dengan APS
pada 2010
≤80%, 15 desa di • Mengurangi hambatan biaya untuk bersekolah pada
antaranya dengan rata- daerah dengan indeks kemiskinan tinggi.
rata kemiskinan di atas
50%. • Meningkatkan fasilitas sekolah di daerah terpencil
dan miskin.
Angka putus sekolah Menurunkan angka Menurunkan angka putus • Fokuskanlah program dan kegiatan pada 30 sekolah
pada jenjang SD/MI putus sekolah pada sekolah dari 5% pada dengan angka putus sekolah yang sangat tinggi (≥
sebesar 5%. jenjang SD/MI. tahun 2006 menjadi 5%).
kurang dari 1% pada
30 sekolah memiliki • Menurunkan hambatan biaya untuk bersekolah.
tahun 2010.
angka putus sekolah
lebih dari 9% dan 24
diantaranya berada di
desa dengan rata-rata
kemiskinan di atas 50%
(demand side).
Angka melanjutkan dari Meningkatkan angka Pada 2010, angka transisi • Fokuskanlah program dan kegiatan pada 100
SD ke SMP sebesar melanjutkan dari SD/MI dari SD ke SMP akan sekolah dengan angka transisi sangat rendah.
80%. ke SMP/MTs. meningkat dari 80%
menjadi lebih dari 90%. • Menangani secara terintegrasi perbaikan SD/MI dan
Angka melanjutkan untuk SMP/MTs di wilayah yang sama.
100 sekolah sangat
rendah, hanya 60% yang • Menurunkan hambatan biaya untuk bersekolah.
melanjutkan pendidikan • Memperkuat SMP swasta dan/atau MTs di daerah-
ke SMP/MTs. 65 dari 100
63
Profil Pendidikan Tujuan Sasaran Kemungkinan Strategi
sekolah tersebut berada daerah terpencil.
di desa dengan rata-rata
• Fokuskanlah pada penambahan daya tampung
kemiskinan di atas 50%
murid untuk SMP dan yang sederajat.
(demand side) dan 25
diantaranya terletak di • Mengembangkan program SMP Terbuka.
desa terpencil (demand
side). Sedangkan pada • Mengembangkan pendidikan non-formal untuk
35 SD rendahnya angka memperluas daya tampung bagi anak-anak yang
transisi disebabkan oleh tidak bisa bersekolah karena harus membantu orang
kurangnya kesempatan tua.
bersekolah (supply side).
Angka putus sekolah Menurunkan angka Pada 2010, angka putus • Fokuskanlah pada anak-anak yang rawan putus
pada jenjang SMP/MTs putus sekolah pada sekolah di SMP akan sekolah pada kelas-kelas tertentu, terutama putus
sebesar 3%. jenjang SMP/MTs ditekan dari 3% menjadi sekolah yang disebabkan oleh alasan ekonomi.
kurang dari 1%.
64
Contoh 24: Kemungkinan Strategi pada Aspek Pemerataan
Profil Pendidikan Tujuan Sasaran Kemungkinan Strategi
150 SD masuk dalam Meningkatkan Pada 2010, jumlah SD • Fokuskanlah pada daerah terpencil dan daerah dengan
kelompok tidak layak pemerataan kualitas yang masuk dalam tingkat kemiskinan tinggi.
layanan. Sebagian layanan pendidikan kelompok tidak layak
besar dari sekolah pada jenjang SD/MI. dapat ditekan menjadi 25 • Menggunakan pendekatan komprehensif dalam
tersebut belum SD. melakukan peningkatan kondisi sekolah (dukungan multi
memenuhi jumlah dan input).
kondisi ruang kelas. • Fokuskanlah pada sekolah-sekolah dimana masyarakat
bersedia bersama-sama menanggung segala
konsekuensi untuk peningkatan kondisi sekolah.
Daerah memiliki 120 Peningkatan kualitas Pada 2010, jumlah SD • Fokuskanlah pada upaya untuk peningkatan proses
SD dengan kinerja laynan bagi proses dengan kinerja sangat pembelajaran melalui pembelajaran yang berpusat pada
sangat rendah. pembelajaran. rendah akan dikurangi dari siswa.
120 menjadi 20 SD.
50 SD masih • Fokus pada dengan kinerja rendah melalui pendekatan
menggunakan metode multi-input, yaitu pendekatan sekolah secara
pembelajaran yang keseluruhan.
“ketinggalan jaman”.
• Fokuskanlah pada sekolah dengan partisipasi
masyarakat yang tinggi.
Daerah belum memiliki Meningkatkan daya Pada 2010 daerah akan • Pemberian prioritas pada sekolah terakreditasi A dan
SD maupun SMP saing lulusan pada memiliki satu SD dan dua kelompok “sangat baik”.
65
Profil Pendidikan Tujuan Sasaran Kemungkinan Strategi
berkeunggulan lokal. jenjang pendidikan SMP berkeunggulan lokal.
• Pemberian prioritas pada sekolah dengan komitmen
dasar.
masyarakat yang tinggi untuk mendukung sekolah
berkeunggulan lokal.
Di 50 SD angka Menurunkan angka Pada 2010, angka • Untuk mengurangi sebagian besar angka mengulang
mengulang kelas di mengulang kelas pada mengulang kelas di kelas 1 kelas di awal SD, dukungan akan difokuskan pada
kelas 1 begitu tinggi, jenjang SD/MI, SD akan menjadi kurang sekolah-sekolah dengan angka mengulang kelas yang
lebih dari 8%. khususnya pada kelas dari 1%. tinggi.
awal.
• Menyelenggarakan pembelajaran tambahan bagi murid
yang beresiko mengulang kelas.
• Sinergikan dengan instansi lain (seperti dinas kesehatan)
untuk membantu sekolah meningkatkan status gizi anak.
Mutu lulusan pada Meningkatkan mutu Pada 2010, hasil belajar • Fokuskanlah pada sekolah dengan hasil belajar
jenjang SMP/MTs lulusan pada jenjang untuk mata pelajaran matematika dan bahasa Inggris yang rendah di semua
berada di bawah rata- SMP/MTs. bahasa Inggris dan kelas.
rata provinsi. Terutama matematika di seluruh
di bidang Matematika kabupaten/kota paling • Melakukan perbaikan secara bertahap dan awali dengan
dan bahasa Inggris . tidak sama dengan rata- menggunakan SDM eksternal sekolah untuk
rata di tingkat provinsi. meningkatkan kompetensi murid dan guru.
66
Berikut ini adalah elemen kunci dari strategi-strategi sebagaimana diusulkan di atas:
• Fokus yang kuat dalam penentuan target pada: (i) desa dengan banyak AUS
tidak bersekolah untuk meningkatkan partisipasi dan (ii) sekolah berkinerja
rendah untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
• Siapkan strategi khusus untuk menghadapi demand-side problems dan
strategi yang lain untuk supply-side problems.
• Promosikan penyelenggaraan wajib belajar 9 tahun dengan mempermudah
transisi dari SD ke SMP.
• Tingkatkan integrasi antar jenjang pendidikan yang setara untuk lokasi-lokasi
tertentu.
67
4. Kebijakan tentang Kebijakan ini akan, misalnya, mengklarifikasi hal-hal
pengembangan guru seperti : (i) prioritas penyediaan dukungan (misalnya
(UU No. 14/2005). guru SD, SMP, atau SMA/K), (ii) bagaimana dengan
para guru yang berada di daerah terpencil yang tidak
bisa mengikuti program pendidikan di LPTK tanpa
meninggalkan sekolah mereka dalam jangka waktu
yang cukup lama, dan (iii) batas usia guru (relatif
terhadap tingkat pendidikan yang sudah dimiliki
sekarang) yang masih dapat dibiayai pemerintah
(khususnya Pemda).
5. Kebijakan tentang (i) jenis informasi yang dapat diberikan pada publik
informasi publik. secara proaktif dan (ii) aturan-aturan tentang
bagaimana merespon permintaan informasi dari publik.
Kebijakan internal dan eksternal menjadi jembatan antara pencapaian tujuan dan
perancangan program. Pada dasarnya kebijakan menetapkan batasan-batasan atau
koridor dimana program dirancang atau dengan lain kata kebijakan ‘mewarnai’
program dan kegiatan yang berkaitan dengannya. Perhatikan contoh di bawah ini:
68
1. Contoh hubungan antara kebijakan internal dan perancangan
kegiatan
Ketika kabupaten/kota mempunyai kebijakan untuk mendorong otonomi sekolah, ini
berarti dukungan yang diberikan pada sekolah akan berupa dana, bukan barang;
sebab otonomi sekolah berarti sekolah dan komunitasnya mengatur sendiri urusan
mereka. Dengan kata lain, pengadaan buku di tingkat kota/kabupaten akan
bertentangan dengan kebijakan mendorong otonomi.
Kebijakan pengembangan guru akan mewarnai kegiatan yang berkaitan dengannya.
Misalnya, kebijakan untuk memberikan prioritas pada guru yang telah memiliki
kualifikasi akademis (S1) akan menghasilkan kegiatan yang berbeda, dibandingkan
apabila pemerintah kabupaten/kota memprioritaskan guru SD untuk meningkatkan
kemampuan akademis dan kompetensi mereka. Sekali lagi, kebijakan akan
mewarnai perancangan program.
69
6. TAHAP IV: MERUMUSKAN PROGRAM DAN
KEGIATAN
Strategi memberikan arah dan memandu cara bagaimana menggunakan sumber
daya untuk mencapai tujuan. Karena itu strategi selalu lebih umum dan hanya
menyediakan “game-plan” tentang bagaimana memanfaatkan sumber daya untuk
mencapai tujuan. Kebijakan memberikan batas-batas mengenai apa yang
seharusnya dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan dalam mengupayakan
pencapaian sasaran. Program dan kegiatan adalah hakikat dari perencanaan dan
menunjukkan apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan.
Untuk mencapai sinergi antara upaya-upaya yang dilakukan di berbagai tingkat
pemerintahan, telah dilakukan penyeragaman program-program pengembangan
pendidikan. Berdasarkan sasaran dan arah kebijakan, RPJM Nasional 2004-2009
menetapkan 10 program pengembangan pendidikan. Diknas juga memiliki program-
program yang sama (lihat Renstra Diknas), ditambah dengan beberapa program
khusus untuk Diknas. Provinsi dan kabupaten/kota pada gilirannya juga harus
mengimplementasikan program-program yang sama walaupun kegiatan yang
dilakukan berbeda dengan kegiatan yang dilakukan oleh tingkat pemerintahan yang
lebih tinggi.
Program-program yang dirumuskan harus sesuai dengan program-program yang
tercantum dalam Permendagri No. 59 Tahun 2007 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah agar dapat dianggarkan dalam APBD Kabupaten/Kota. Program-
program yang relevan bagi Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
2. Program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun.
3. Program pendidikan menengah.
4. Program pendidikan non formal.
5. Program peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan.
6. Program manajemen pelayanan pendidikan.
7. Program pengembangan budaya baca dan pembinaan perpustakaan.
8. Program penguatan kelembagaan dan pengarus-utamaan gender dan anak.
9. Program peningkatan pengawasan dan akuntabilitas aparatur negara.
10. Program pengelolaan sumber daya manusia/aparatur.
11. Program lainnya sesuai dengan tupoksi masing-masing SKPD/Dinas
Pendidikan, misalnya di suatu SKPD ada subdin kebudayaan, maka
program kebudayaan harus masuk.
70
Contoh program
71
Contoh 28: Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun
• SD: APM 90%. Meningkatkan angka Pada 2010, APM SD 1. Fokus pada 20 desa Menyediakan 1. Pemberian beasiswa
partisipasi pendidikan akan meningkat dari dengan anak usia dukungan finansial untuk 500 anak SD
• 20 desa dengan pada jenjang SD/MI. 90% pada tahun 2006 sekolah yang tidak untuk semua sekolah dan 150 anak MI.
APM < 80%, 15 menjadi 96%. bersekolah dalam dan bukan hanya 2. Pemberian uang
desa di antaranya jumlah besar. sekolah negeri. transportasi kepada
memiliki rata-rata 250 anak SD.
kemiskinan di atas 2. Menghilangkan
3. Bantuan tambahan
50%. hambatan beban biaya
operasional sekolah
untuk bersekolah.
untuk 30 SD dan 25
3. Peningkatan fasilitas MI.
sekolah di daerah 4. Pembangunan 5
terpencil dan miskin. sekolah kecil.
5. Rehabilitasi 25 ruang
kelas untuk 5 SD dan
10 MI.
72
Sub Program 2. Mengurangi angka putus sekolah
• Angka putus Menurunkan angka Pada 2010, angka 1. Fokus pada 30 Menyediakan dukungan 1. Bantuan tambahan
sekolah pada putus sekolah pada putus sekolah akan sekolah dengan angka finansial untuk semua operasional sekolah
jenjang SD/MI: 5%. jenjang SD/MI. ditekan dari 5% menjadi putus sekolah yang sekolah, dan bukan untuk 25 SD dan 5
kurang dari 1%. tinggi. hanya sekolah negeri. MI.
• 30 sekolah memiliki 2. Pemberian beasiswa
angka putus sekolah 2. Turunkan hambatan
untuk 250 anak SD
lebih dari 9% dan biaya untuk
dan 150 anak MI.
24 diantaranya bersekolah.
3. Pemberian uang
berada di desa transportasi kepada
dengan rata-rata 300 anak SD.
kemiskinan di atas
50% (demand side)
73
Sub Program 3. Meningkatkan Angka Melanjutkan
Angka melanjutkan dari Meningkatkan angka Pada 2010, angka 1. Fokus pada 100 sekolah Menyediakan 1. Bantuan operasional
SD ke SMP: 80% melanjutkan dari transisi dari SD ke dengan angka transisi dukungan finansial sekolah untuk
SD/MI ke SMP/MTs. SMP akan meningkat rendah. untuk menurunkan penerimaan siswa
Angka melanjutkan untuk
dari 80% menjadi hambatan biaya baru pada 20 SMP.
100 sekolah sangat 2. Perlu penanganan
lebih dari 95%. untuk memasuki
rendah, hanya 60% yang terintegrasi antara SD/MI 2. Pemberian beasiswa
SPM/MTs (biaya
melanjutkan pendidikan dengan SMP/MTs di melanjutkan untuk
pendaftaran siswa
ke SMP/MTs. wilayah penanganan yang 500 anak.
baru dan
sama.
65 dari 100 sekolah kebutuhan 3. Pembangunan 30
tersebut berada di desa 3. Perkuat SMP swasta dan/ bersekolah bagi ruang kelas baru
dengan rata-rata indeks atau MTs di daerah-daerah masyarakat miskin pada SMP.
kemiskinan di atas 50% terpencil. ditanggung
pemerintah). 4. Pembentukan 10
(demand side) dan 25
4. Menambah daya tampung SD-SMP Satu Atap.
diantaranya adalah
murid.
sekolah di desa terpencil
(demand side). 5. Mengembangkan program
Sedangkan pada 35 SD SMP Terbuka.
lainnya, rendahnya angka
6. Membangun SD-SMP satu
melanjutkan disebabkan
oleh kurangnya atap bagi daerah terpencil.
kesempatan bersekolah 7. Mengembangkan
(supply side) pendidikan nonformal untuk
memperluas daya tampung
bagi anak-anak yang tidak
bisa bersekolah karena
harus membantu orang tua.
74
Sub Program 4. Pemerataan
150 SD masuk dalam Meningkatkan Pada 2010, jumlah 1. Fokus pada daerah Penerapan sistem 1. Rehabilitasi berat di
kelompok tidak layak pemerataan kualitas SD yang masuk terpencil dan daerah yang swakelola oleh dan 100 sekolah.
layanan. Sebagian besar layanan pendidikan dalam kelompok tingkat kemiskinannya pengerahan potensi 2. Rehabilitasi sedang
dari sekolah tersebut pada jenjang SD/MI. tidak layak dapat tinggi. lokal dalam di 65 sekolah.
belum memenuhi jumlah ditekan menjadi 25 pembangunan 3. Rehabilitasi ringan di
2. Menggunakan pendekatan
dan kondisi ruang kelas. SD. rehabilitasi ruang 35 sekolah.
komprehensif dalam
kelas. 4. Pengadaan mebeler
melakukan peningkatan
1.300 set (meja &
kondisi sekolah (dukungan
kursi siswa).
multi input).
5. Pengadaan alat
3. Fokuskan pada daerah- peraga pembelajaran
daerah di mana masyarakat 40 set.
bersedia untuk
berpartisipasi dalam
peningkatan kondisi
sekolah.
75
Sub Program 5. Program Mutu Pendidikan
1. Daerah memiliki 120 Peningkatan kualitas Pada 2010, jumlah SD 1. Fokus pada 120 SD 1. Pengembangan 1. Pelatihan 300
SD dengan kinerja layanan bagi proses dengan kinerja sangat dengan kinerja sangat kompetensi guru guru untuk
sangat rendah. pembelajaran. rendah akan dikurangi rendah. secara meningkatkan
dari 120 menjadi 20 berkelanjutan. kompetensi
2. 50 SD masih 2. Fokus pada peningkatan
SD. 2. Penilaian kinerja pedagogik.
menggunakan metode proses pembelajaran
kepala sekolah 2. Dukungan untuk
pembelajaran yang yang berorientasi pada
dikaitkan dengan kegiatan/
tidak tepat. siswa.
kemajuan pengembangan
3. Fokus pada kelas-kelas sekolahnya. 15 KKG dan 5
tertentu dengan kinerja 3. Evaluasi siswa KKKS.
rendah. berbasis
penilaian sampel.
4. Fokus pada jumlah
sekolah terbatas yang
akan menerima
dukungan multi-input
(pendekatan sekolah
secara keseluruhan).
5. Fokus pada sekolah
dengan partisipasi
masyarakat yang tinggi.
76
Sub Program 6. Mengurangi angka mengulang kelas
Di 50 SD angka Menurunkan angka Pada 2010, angka 1. Untuk mengurangi Menyediakan 1. Pengajaran remedial
mengulang kelas di kelas mengulang kelas pada mengulang kelas di sebagian besar angka dukungan finansial bagi anak yang lambat
1 begitu tinggi, lebih dari jenjang SD/MI, kelas 1 SD akan mengulang kelas di awal untuk semua belajar pada sekolah
8%. khususnya di kelas ditekan menjadi SD, dukungan akan sekolah, dan bukan dengan angka
awal. kurang dari 1%. difokuskan pada hanya sekolah mengulang kelas > 7%
sekolah-sekolah dengan negeri. (20 SD/MI).
angka mengulang kelas
yang tinggi. 2. Pemberian layanan
khusus (tambahan jam
2. Sediakan jam belajar
belajar) pada anak
tambahan bagi murid
yang kurang siap
yang beresiko
belajar di 12 sekolah.
mengulang kelas.
3. Fokuskan untuk 3. Pengadaan alat bantu
membantu sekolah pembelajaran pada
meningkatkan gizi anak. kelas awal sebanyak
200 set.
Untuk jenjang pendidikan lainnya (SMP/MTS dan SMA/MA/SMK) disesuaikan dengan karakteristik pada masing-masing jenjang,
Contoh program lainnya adalah pada program Pendidikan Non-formal serta program Pendidik dan Tenaga Kependidikan
77
Contoh 29: Program Pendidikan Non-formal
Subprogram: Penuntasan Buta Aksara
Angka buta aksara Penuntasan dan Pada tahun 2010 • Bersinergi dengan pembina Pencanangan dan • Pendataan
penduduk usia 14-45 pemeliharaan penyandang buta penggerak PKK pada semua penyandang buta
implementasi
tahun mencapai 7,8%, keaksaraan secara aksara menurun tingkat, mulai tingkat aksara berbasis
gerakan
dengan proporsi > 70% paripurna. hingga < 3 %. kabupaten/kota, kecamatan, masyarakat.
penuntasan buta
kaum perempuan dan hingga kelurahan/desa. • Penyelenggaraan
aksara secara
berada di perdesaan. pemberantasan buta
• Fokus pada kaum perempuan menyeluruh.
aksara secara tuntas
produktif di perdesaan.
mulai tingkat dasar
• Integrasikan keaksaraan (Sukma 1) dan tingkat
fungsional (KF) dengan lanjut (Sukma 2).
kelompok belajar usaha (KBU). • Pemeliharaan melek
aksara melalui
• Perkuat kelembagaan PKBM gerakan gemar
dan TBM. membaca di TBM.
• Intensifikasi dan pemeliharaan
program keaksaraan.
78
Contoh 30: Program Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Subprogram: Peningkatan Kualifikasi Pendidik
Guru yang belum Meningkatkan Pada tahun 2010, • Bekerjasama dengan LPMP • Peningkatan • Pendidikan kesetaraan
memiliki kualifikasi kualifikasi guru yang memiliki dan LPTK setempat untuk anggaran S1/D4 melalui sistem
akademik setara akademik guru kualifikasi melaksanakan program pendidikan untuk belajar jarak jauh
S1/D4 secara sesuai dengan pendidikan S1/D4 kesetaraan berbasis in biaya personal guru • Penyelenggaraan
keseluruhan sebesar tuntutan UU No. 14 menjadi 75%. service. yang mengikuti pendidikan kelas jauh
45%, khususnya tahun 2005 tentang pendidikan bagi kabupaten/kota
pada jenjang SD Guru dan Dosen. • Fokus pada guru SD yang kesetaraan S1/D4. yang tidak berdekatan
sebesar 75%. ada di daerah perdesaan dan
• Mendorong/ dengan LPTK.
terpencil.
memfasilitasi guru • Penyelenggaraan
• Fokus pada guru yang yang berinisiatif penataran bersertifikasi
berusia < 50 tahun. melanjutkan secara
pendidikan dengan berkesinambungan.
• Penggunaan waktu libur pola swadana. • Pemberian bantuan
untuk penataran biaya pendidikan bagi
bersertifikasi. guru yang melanjutkan
studi.
79
7. TAHAP V: PENYUSUNAN RENCANA BIAYA
DAN RENCANA PENDANAAN
Setelah bab sebelumnya berfokus pada identifikasi program dan kegiatan-
kegiatannya, maka bab ini akan memfokuskan pada perhitungan biaya untuk setiap
program dan kegiatan-kegiatan terkait, serta biaya operasional penyelenggaraan
pelayanan pendidikan dan rencana pendanaannya. Berikut ini adalah langkah-
langkah pada Tahap V – Penyusunan Rencana Biaya dan Rencana Pendanaan:
1. Membuat estimasi biaya pelaksanaan setiap program serta kegiatan-
kegiatannya (program costing), termasuk biaya operasional
penyelenggaraan pelayanan pendidikan.
2. Membuat proyeksi ketersediaan dana dari setiap sumber untuk setiap tahun
dalam periode rencana.
3. Mengalokasikan dana yang diproyeksikan pada setiap program serta
kegiatan-kegiatannya, termasuk biaya operasional penyelenggaraan
pelayanan pendidikan.
Untuk memudahkan pelaksanaan langkah-langkah penyusunan rencana biaya dan
rencana pendanaan, sebelumnya perlu dilakukan analisis keuangan pendidikan
Kabupaten/Kota/AKPK2. AKPK dilakukan antara lain untuk mempelajari pola
belanja sektor pendidikan serta menghitung dan menganalisis pendanaan sektor
pendidikan di Kabupaten/Kota dari berbagai sumber: Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota (termasuk Dana Alokasi Khusus dari
APBN), APBD Provinsi, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Dana
Dekonsentrasi, termasuk Bantuan Operasional Sekolah/BOS). Dana sektor
pendidikan yang dihitung dan dianalisis mencakup dana dalam bentuk tunai
maupun natura (misalnya, pelatihan guru kab/kota yang diselenggarakan oleh Dinas
Pendidikan Provinsi), serta mencakup dana yang disalurkan ke Pemda Kab/Kota
(biasanya melalui Dinas Pendidikan) maupun yang disalurkan langsung ke sekolah-
sekolah (misalnya dana BOS dan pembagian buku teks ke sekolah-sekolah).
2
Cara melakukan analisa keuangan pendidikan Kabupaten/Kota ditulis dalam buku panduan terpisah.
80
termasuk biaya perencanaan dan pengawasan, biaya pembelian semen, biaya
pembelian batu bata, dan seterusnya).
Harga satuan yang lebih teragregasi dihitung dengan cara berikut ini:
1. Tentukan terlebih dahulu unit-unit yang akan dipakai.
2. Hitung harga satuan.
APBD Kabupaten/Kota
Pada kenyataannya, dana-dana yang tersedia bagi sektor pendidikan di dalam
APBD kab/kota mencakup tidak hanya yang ditetapkan pada dokumen anggaran
dari satuan-satuan kerja yang termasuk di dalam bidang pendidikan, tetapi juga
pada dokumen anggaran dari beberapa satuan kerja lainnya di luar bidang
pendidikan. Dana-dana sektor pendidikan pada anggaran satuan-satuan kerja di
luar bidang pendidikan ini disertakan dalam menghitung anggaran sektor pendidikan
dari APBD kab/kota. Demikian juga sebaliknya. Ada beberapa satuan kerja yang
termasuk di dalam bidang pendidikan pada APBD kab/kota, namun anggarannya
tidak disertakan di dalam penghitungan anggaran sektor pendidikan dari APBD
kab/kota. Hal ini didasari pemikiran bahwa tugas dan program satuan-satuan kerja
tersebut tidak merupakan kewenangan wajib Pemda kab/kota dalam sektor
pendidikan. Contohnya antara lain anggaran untuk Kantor Arsip Daerah atau
pendidikan tinggi.
Sesuai dengan UU No. 20 Tahun 2003, Pasal 50, Ayat 5 menetapkan bahwa
pengelolaan penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah merupakan
kewenangan wajib Pemerintah Daerah Kab/Kota. Dengan demikian, biaya
penyelenggaraan pelayanan pendidikan dasar dan menengah di SD, SMP, SMA,
dan SMK ditanggung terutama oleh Pemda kab/kota dengan pendanaan dari APBD
kab/kota. Biaya penyelenggaraan pelayanan dimaksud mencakup biaya operasional
dan biaya investasi, yang dikeluarkan baik di level sekolah maupun di level Dinas
Pendidikan dan Kantor Cabang Dinas Pendidikan.
81
1. Biaya Operasional mencakup antara lain:
• Biaya pegawai: gaji personil sekolah yang PNS (kepala sekolah, guru,
tenaga administrasi, dan penjaga sekolah).
• Biaya barang dan jasa: pembelian ATK, bahan habis pakai, langganan daya
dan jasa, serta kegiatan belajar-mengajar di sekolah.
• Biaya operasional & pemeliharaan.
• Biaya perjalanan dinas.
• Biaya lain-lain, misalnya biaya pelaksanaan rapat-rapat KKG dan biaya
pelatihan PAKEM.
Namun, setelah dana BOS disalurkan langsung ke sekolah-sekolah sejak
periode tengah tahun kedua di tahun 2005, pada beberapa kab/kota, kontribusi
APBD kab/kota untuk biaya operasional sekolah dikurangi atau bahkan
ditiadakan.
3
Analisa keuangan pendidikan Kabupaten/Kota merupakan analisa yang dilakukan untuk menghitung dan
menganalisis pendanaan sektor pendidikan di kabupaten/kota dari berbagai sumber: APBD Kabupaten/Kota,
APBD Provinsi, dan APBN (Dana Dekonsentrasi, BOS, dan dana-dana lainnya). Dana sektor pendidikan yang
dihitung mencakup dana dalam bentuk tunai maupun natura, serta mencakup dana yang disalurkan ke
Pemda Kabupaten/Kota (biasanya melalui Dinas Pendidikan) maupun yang disalurkan ke sekolah-sekolah.
82
Pemerintah kabupaten/kota diwajibkan menyediakan dana pendamping
sekurang-kurangnya 10% dan juga dana untuk biaya umum seperti
perencanaan, sosialisasi, dan pengawasan sekurang-kurangnya 3% (tiga
persen) dari nilai DAK pendidikan yang diterima.
APBD Provinsi
Peran provinsi dalam penyelenggaraan pendidikan jauh lebih kecil dari pada peran
kabupaten/kota, dan sebagai konsekuensinya dana untuk pembangunan sektor
pendidikan juga jauh lebih kecil pada tingkat pemerintahan ini. Karena dukungan
dana dari APBD Kab/Kota lebih terfokus pada jenjang pendidikan SD, maka
dukungan pemerintah tingkat provinsi sering lebih terfokus pada pelayanan
pendidikan di jenjang SMP, SMA, SMK, serta pendidikan non formal & informal dan
pendidikan luar biasa.
Analisis terhadap APBD Provinsi mencakup anggaran bidang pendidikan maupun
bukan bidang pendidikan (jika ada) pada APBD Provinsi yang manfaatnya — baik
dalam bentuk dana hibah ke pemerintah kabupaten/kota dan/atau ke sekolah
maupun dalam bentuk natura — diperuntukkan bagi sektor pendidikan. Langkah ini
menyangkut identifikasi semua anggaran program/kegiatan yang diperuntukkan
bagi kepentingan sektor pendidikan di kabupaten/kota.
APBN
Anggaran untuk sektor pendidikan di kabupaten/kota dari APBN yang dianalisis
disini mencakup:
a. Dana Dekonsentrasi
Dekonsentrasi merupakan pelaksanaan kewenangan Pemerintah Pusat di
daerah provinsi yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah
Pusat. Kewenangan tersebut di bidang pendidikan biasanya dilaksanakan oleh
Dinas Pendidikan Provinsi sebagai perangkat Daerah Provinsi.
Penyelenggaraan dekonsentrasi dimaksud dibiayai oleh APBN, dimana
pencatatan dan pengelolaan keuangan dalam penyelenggaraan dekonsentrasi
dilakukan secara terpisah dari APBD Provinsi.
Di tingkat Pemerintah Pusat, anggaran dana dekonsentrasi dimaksud tercakup
di dalam anggaran Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Pada
praktiknya, Pemerintah Pusat (melalui Depdiknas) mengadakan dan mendanai
program-program untuk bidang pendidikan yang merupakan kewenangan
Pemerintah Kab/Kota melalui mekanisme dekonsentrasi.
Dana BOS untuk semua jenis sekolah dasar dan menengah pertama (SDN,
SDS, MIN, MIS, SMPN, SMPS, MTsN, MTsS) yang telah disalurkan langsung ke
sekolah-sekolah sejak periode tengah tahun kedua di tahun 2005, juga termasuk
di dalam dana dekonsentrasi Depdiknas.
83
• Melakukan analisis belanja sektor pendidikan
• Melakukan analisis kebijakan sektor pendidikan
• Membuat proyeksi ketersediaan dana sektor pendidikan
4
Langkah-langkah ini merupakan bagian dari langkah-langkah pada analisa keuangan pendidikan
Kabupaten/Kota yang ditulis dalam suatu buku panduan terpisah.
84
• Mengidentifikasi kriteria yang digunakan untuk memilih daerah yang
perlu didukung/dibantu; misalnya kinerja rendah, angka kemiskinan
tinggi, daerah terpencil atau kriteria lain.
Tabel 64: Komposisi Belanja Sektor Pendidikan - APBD Kab/Kota - Tahun …. Dan Tahun.….
Tahun: …. Tahun: …. Naik (Turun)
Uraian Rp % Rp % Rp %
Dinas Pendidikan
Non DAK
DAK
Kantor Cabang Dinas Pendidikan
TKN (…)
SMPN (…)
SMAN (…)
SMKN (…)
..................................................
.............................................dst.nya
Total Bidang Pendidikan 100.00 100.00
Dinas/Badan ……………………..
Dinas/Badan ……………………..
Dinas/Badan …………………….. dst.nya
Total Non-Bidang Pendidikan 100.00 100.00
Total Sektor Pendidikan
Tabel 65: Dana Sektor Pendidikan dari APBD Provinsi - Tahun …. & ….
Tahun: .... Tahun: .... Naik (Turun)
Uraian
Rp % Rp % Rp %
1. Program/Kegiatan …………..……..
2. Program/Kegiatan …………..……..
3. Program/Kegiatan ……..…..dst.nya
Total Dana 100.00 100.00
Tabel 67: Porsi Belanja Gaji, Modal, Operasional Sektor Pddkan dari APBD Kab/Kota – Tahun ... & ....
Tahun: …. Tahun: …. Naik (Turun)
Uraian Rp % % Rp % % Rp %
Belanja Gaji : 100.00 ...... 100.00 ......
a. Gaji Pendidik ...... ......
b. Gaji Bukan Pendidik ...... ......
Belanja Modal : 100.00 ...... 100.00 ......
a. Sekolah ...... ......
b. Non-Sekolah ...... ......
Belanja Operasional : 100.00 ...... 100.00 ......
a. Sekolah ...... ......
b. Non-Sekolah ...... ......
85
Tabel 68: Porsi Belanja Sektor Pendidikan dalam APBD Kab/Kota - Tahun …. Dan Tahun.….
Tahun: .... Tahun: .... Naik (Turun)
Uraian Rp % Rp % Rp %
Total Belanja APBD Kab/Kota 100.00 100.00
Total Belanja Sektor Pendidikan
(termasuk gaji pendidik)
Gaji pendidik
Total Belanja Sektor Pendidikan
(di luar gaji pendidik)
• Pemerintah Pusat
Strategi Pembiayaan Program Prioritas (Rencana Strategis/Renstra Departemen
Pendidikan Nasional/Depdiknas), termasuk Proyeksi Anggaran Depdiknas
berdasarkan program tahun 2005-2009 dan dokumen-dokumen renstra lain
yang sejenis (jika ada).
• Pemerintah Provinsi
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi dan
Renstra Dinas Pendidikan Provinsi.
• Pemerintah Kabupaten/Kota
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten/Kota.
86
Tabel 70: Proyeksi Penggunaan Dana Per Jenis Belanja dari
APBD Kabupaten/Kota
87
Bila kebutuhan dana lebih besar dibandingkan dengan dana yang sudah/akan
tersedia (terjadi defisit dana), maka untuk menyeimbangkannya, besaran ataupun
lingkup satu atau beberapa program dapat dikurangi. Hal ini dapat dilakukan
dengan cara berikut:
a. Perkecil sasaran program; misalnya, dengan mengurangi jumlah sekolah
yang akan direhabilitasi atau ruang kelas baru yang akan dibangun, atau
dengan mengurangi jumlah guru yang akan ditingkatkan kemampuannya.
b. Perpanjang periode pencapaian sasaran; misalnya, sebuah program yang
direncanakan dalam jangka waktu 3 tahun, diperpanjang menjadi 5 tahun.
c. Tinjau ulang rancangan program untuk menerapkan solusi-solusi yang lebih
murah; misalnya, pembangunan unit sekolah baru (USB) diganti dengan
penambahan ruang kelas baru (RKB), SD/SMP satu atap, atau rehabilitasi
ruang kelas sekolah-sekolah swasta.
d. Batalkan satu atau beberapa program dari rencana. Keputusan seperti ini
seharusnya merupakan alternatif terakhir dan hanya diambil dalam kondisi-
kondisi ekstrem.
Proses penyeimbangan di atas dapat dilakukan berulang-ulang hingga kebutuhan
dana seimbang dengan proyeksi dana.
88
8. TAHAP VI: PENYUSUNAN RENCANA
MONITORING DAN EVALUASI
8.1. Langkah Pertama: Menyiapkan Rancangan Monitoring
dan Evaluasi
Tujuan tahap ini adalah untuk menetapkan rancangan model monitoring dan
evaluasi (Monev) yang akan digunakan. Monitoring dan evaluasi merupakan
serangkaian kegiatan yang sistematik dan teratur untuk mendapatkan dan
menggunakan data dan informasi sebagai dasar perbaikan implementasi program.
Tujuan monev adalah untuk menilai sejauh mana rencana program/kegiatan telah
dilaksanakan dan sejauh mana dampak kegiatan tersebut terhadap perubahan
kelompok sasaran.
Bagan 11
Model Monitoring dan Evaluasi
TUJUAN
EFEKTIVITAS
INDIKATOR
EFISIENSI
PRODUKTIVITAS
89
8.2. Langkah kedua: Menyiapkan Indikator Pencapaian
Kinerja Renstra
Tujuan tahap ini adalah menetapkan indikator kinerja pencapaian program
berdasarkan sasaran yang telah ditetapkan. Program pada hakekatnya adalah
intervensi yang dilakukan untuk mengubah dari satu ‘situasi yang tidak
diharapkan’ menuju ke ‘situasi yang diharapkan’. Perubahan situasi yang
dimonitor dan dievaluasi dari waktu ke waktu, diukur melalui indikator-indikator.
Perubahan ini memerlukan waktu dan sifat perubahan bertahap, mulai perubahan
awal pada tingkat ‘input’ dan ‘proses’ (kegiatan program), perubahan pada tingkat
‘output’ (cakupan program), tingkatan ‘outcome’ (biasanya pengetahuan dan
perilaku kelompok sasaran), dan sampai perubahan lanjut di tingkat ‘dampak’.
Isu penting pada bagian ini adalah menetapkan indikator kinerja yang akan
digunakan utntuk mengukur keberhasilan program. Oleh sebab itu, indikator yang
digunakan harus disesuaikan dengan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan pada
masing-masing program, seperti tercatum pada Bab IV, yaitu sesuai dengan pilar
kebijakan pendidikan, meliputi:
90
Rata-rata Lama Belajar
Rasio sekolah yang telah memiliki RPS/RKS
Kinerja Komite Sekolah (lihat tabel 62)
Rasio sekolah yang melakukan laporan keuangan tahunan
Laporan tahunan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota yang dipublikasikan
Kinerja Dewan Pendidikan (Lihat Tabel 63)
Bagan 12
Hubungan antara Program, Indikator Kinerja, dan Unit Kerja
RPJMD
RENSTRA PROGRAM/
KUA PENDANAAN
SKPD KEGIATAN
I N D I K A T O R K I N E R J A SKPD
SUBDIN UPTD
SATUAN
PENDIDIKAN
91
8.3. Langkah Ketiga: Mengidentifikasi Unit Kerja yang Dapat
Melakukan Monitoring dan Evaluasi
Tujuan pada tahap ini ádalah untuk mengidentifikasi unit kerja mana yang dapat
melakukan monitoring dan evaluasi implementasi Renstra. Unsur-unsur yang
dapat melakukan monitoring dan evaluasi implementasi Renstra meliputi:
1. Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota
2. Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) bidang Pendidikan
3. Satuan Pendidikan
4. Dewan Pendidikan, dan
5. Komite Sekolah
92
8.4. Langkah Keempat: Melakukan Analisis Hasil Monitoring
dan Evaluasi
Tujuan tahap ini adalah untuk memberikan gambaran bagaimana data dan
informasi yang diperoleh melalui Monev dinalisis. Analisis yang digunakan sesuai
dengan tujuan dari monev , yaitu untuk: 1) mengukur tingkat ketercapaian sasaran
berdasarkan periodik waktu tertentu (tahunan), 2) memprediksi keberhasilan di
akhir program, jika evaluasi dilakukan pada tengah masa, dan 3) mengukur tingkat
keberhasilan program, pada akhir masa Renstra.
• Mengukur Tingkat Ketercapaian Sasaran Program
Untuk mengukur tingkat ketercapaian sasaran diperlukan seperangkat data
pada setiap indikator keberhasilan, pertama adalah data baseline yang
menggambarkan kondisi awal sebelum program/kegiatan dilaksanakan.
Berikutnya adalah data hasil monitoring ke-i (i = 1,2,3,… ke-n) yang dapat
memberikan gambaran perkembangan pencapaian indikator kinerja yang telah
ditetapkan, seperti tampak pada tabel 73.
• Memprediksi keberhasilan program
Salah satu lingkup evaluasi adalah evaluasi tengah masa (midterm evaluation)
atau dikenal juga dengan on going evaluation. Hasil evaluasi ini dapat
dijadikan bahan untuk melakukan prediksi, apakah sasaran program akan
tercapai sesuai dengan rencana, lebih rendah atau lebih tinggi.
Jika hasil proyeksi menunjukkan adanya kecenderungan tingkat pencapaian
indikator kinerja lebih rendah dari rencana, maka perlu dicari kendala-kendala
yang menyebabkan rendahnya tingkat pencapaian tersebut. Selain itu,
alternatif-alternatif kebijakan perlu diformulasikan agar sasaran program dapat
tercapai sesuai rencana. Alternatif-alternatif kebijakan yang disarankan dapat
mencakup perubahan sumberdaya yang dibutuhkan, strategi yang digunakan,
serta kebijakan yang diterapkan.
• Mengukur Tingkat Keberhasilan Program
Indikator keberhasilan program berdasarkan sasaran yang telah ditetapkan
perlu diukur tingkat pencapaiannya melalui pelaksanaan monitoring dan
evaluasi. Data baseline diisi sesuai dengan data yang ada pada profil
pendidikan, data monitoring ke-i disesuaikan dengan hasil monitoring yang
dilakukan pada tahun ke berapa ( i = 1, 2, 3, … dst.) seperti tampak pada tabel
berikut:
93
Tabel 73: Perkembangan Pencapaian Indikator Kinerja berdasarkan Hasil
Monitoring dan Evaluasi ke-i
Data dan informasi hasil monitoring yang berupa capaian kinerja selanjutnya dapat
dianalisis untuk bahan evaluasi, yaitu untuk melihat apakah program/kegiatan
yang dijalankan tersebut efisien dan efektif.
Laporan evaluasi, selain melaporkan kendala-kendala yang dihadapi dalam
pencapaikan sasaran secara kuantitatif, juga mendokumentasikan keberhasilan-
keberhasilan program yang melampaui sasaran. Dokumentasi keberhasilan ini
dijadikan sebagai good practices agar dapat dipelajari dan dilanjutkan pada
periode perencanaan berikutnya.
94
Lampiran 1: Pencapaian Ukuran Kinerja Kunci Ditjen Mandikdasmen (Renstra Depdiknas 2005-2009)
PERIODE
PEMBANGUNAN 2005 – 2009 2010 - 2015 2015 - 2020 2020 - 2025
TEMA
Peningkatan Kapasitas & Modernisasi Penguatan Pelayanan Daya Saing Regional Daya Saing Internasional
PEMBANGUNAN
VISI
INSAN INDONESIA CERDAS & KOMPETITIF
PEMBANGUNAN
Akses Akses Akses Akses
• APM SD/MI mencapai 95% dan APM • APM SD/MI mencapai 97% dan • APM SD/MI mencapai 98% dan • APM SD/MI mencapai 98% dan
SMP/MTs mencapai 90%. APM SMP/MTs mencapai 92%. APM SMP/MTs mencapai 96%. APM SMP/MTs mencapai 98%.
• APK pendidikan menengah mencapai • APK pendidikan menengah • APM pendidikan menengah • APM pendidikan menengah
80%. mencapai 85%. mencapai 90%. mencapai 95%.
• APK TK atau sederajat mencapai 35%. • APK TK atau sederajat mencapai • APK TK atau sederajat • APK TK atau sederajat
50%. mencapai 70%. mencapai 95%.
• APK pendidikan luar biasa meningkat • APK pendidikan luar biasa • APK pendidikan luar biasa • APK pendidikan luar biasa
dari 5% menjadi 10%. meningkat dari 10% menjadi 30%. meningkat dari 30% menjadi meningkat dari 75% menjadi
75%. 95%.
• Disparitas APK SD/MI/SDLB antara • Disparitas APK SD/MI/SDLB • Disparitas APK SD/MI/SDLB • Disparitas APK SD/MI/SDLB
kota dan kabupaten tidak melebihi 2%. antara kota dan kabupaten tidak antara kota dan kabupaten tidak antara kota dan kabupaten tidak
melebihi 2%. melebihi 2%. melebihi 2%.
95
PERIODE
2005 – 2009 2010 - 2015 2015 - 2020 2020 - 2025
PEMBANGUNAN
TEMA
Peningkatan Kapasitas & Modernisasi Penguatan Pelayanan Daya Saing Regional Daya Saing Internasional
PEMBANGUNAN
VISI
INSAN INDONESIA CERDAS & KOMPETITIF
PEMBANGUNAN
• Rasio buku perpustakaan dengan murid • Rasio buku perpustakaan dengan • Rasio buku perpustakaan • Rasio buku perpustakaan dengan
mencapai 1 : 1,3 murid mencapai 1 : 0,7 dengan murid mencapai 1 : 0,3 murid mencapai 1 : 0,1
• 50% sekolah pada jenjang pendidikan • 100% sekolah pada jenjang • 60% sekolah pada jenjang • 95% sekolah pada jenjang pendidikan
dasar dan menengah memiliki sarana pendidikan dasar dan menengah pendidikan dasar dan menengah dasar dan menengah memiliki sarana
dan prasarana yang memenuhi SMP. memiliki sarana dan prasarana yang memiliki sarana dan prasarana dan prasarana yang memenuhi
memenuhi SMP. yang memenuhi standar standar regional, dan 50% berstandar
regional. OECD
• 80% kabupaten/kota memiliki minimal • 100% kabupaten/kota memiliki • 100% kabupaten/kota memiliki
satu SMK berbasis keunggulan lokal. minimal satu SMK berbasis minimal tiga SMK berbasis
keunggulan lokal. keunggulan lokal.
UKURAN KINERJA
KUNCI • Minimal 80% provinsi memiliki minimal • 100% provinsi memiliki minimal satu • 100% provinsi memiliki minimal • 100% provinsi memiliki minimal 10%
satu SMA dan satu SMK yang merintis SMA dan satu SMK yang merintis satu SMA dan satu SMK yang SMA dan 10% SMK yang bertaraf
untuk bertaraf internasional. untuk bertaraf internasional, dan bertaraf mutu regional. mutu regional, dan minimal 50% dari
minimal 30% darinya telah bertaraf yang bertaraf regional tersebut juga
internasional. bertaraf OECD.
• Sekolah terakreditasi mencapai 80% • Sekolah terakreditasi mencapai • Sekolah yang memperoleh • Sekolah yang memperoleh
untuk negeri dan 50% untuk swasta. 100%. terakreditasi A mencapai 50% terakreditasi A mencapai 70% untuk
untuk negeri dan 40% untuk negeri dan 60% untuk swasta.
swasta.
• Sekolah yang memperoleh terakreditasi • Sekolah yang memperoleh • Sekolah terakreditasi regional • Sekolah terakreditasi regional
A mencapai 8% untuk negeri dan 5% terakreditasi A mencapai 20% untuk mencapai 30%. mencapai 50%, dan akreditasi OECD
untuk swasta. negeri dan 12% untuk swasta. mencapai 25%.
• 95% sekolah sudah menerapkan • 100% sekolah sudah menerapkan
kurikulum berbasis kompetensi. kurikulum berbasis kompetensi.
• Rata-rata nilai ujian nasional SD/MI • Rata-rata nilai ujian nasional SD/MI
mencapai 5.50. mencapai 7.00.
96
• Rata-rata ujian nasional SMP/MTs dan • Rata-rata ujian nasional SMP/MTs
SMA/SMK/MA mencapai 7.00. dan SMA/SMK/MA mencapai 7.00.
• Indonesia masuk dalam 5 besar • Indonesia masuk dalam 5 besar • Indonesia masuk dalam 4 besar • Indonesia masuk dalam 3 besar
olimpiade matematika atau sains olimpiade matematika atau sains olimpiade matematika atau olimpiade matematika atau sains
internasional tingkat SLTP minimal 3 internasional tingkat SLTP setiap sains internasional tingkat SLTP internasional tingkat SLTP setiap
kali dalam 5 tahun. tahun. setiap tahun. tahun.
• Indonesia masuk dalam 3 besar • Indonesia masuk dalam 3 besar • Indonesia masuk dalam 2 besar • Indonesia masuk dalam 2 besar
olimpiade matematika atau sains Asia olimpiade matematika atau sains Asia olimpiade matematika atau sains olimpiade matematika atau sains Asia
tingkat SLTA minimal 3 kali dalam 5 tingkat SLTA setiap tahun. Asia tingkat SLTA setiap tahun. tingkat SLTA setiap tahun.
tahun.
• Indonesia masuk dalam 5 besar • Indonesia masuk dalam 5 besar • Indonesia masuk dalam 4 besar • Indonesia masuk dalam 3 besar
olimpiade matematika atau sains olimpiade matematika atau sains olimpiade matematika atau olimpiade matematika atau sains
internasional tingkat SLTA minimal 3 internasional tingkat SLTA setiap sains internasional tingkat SLTA internasional tingkat SLTA setiap
kali dalam 5 tahun. tahun. setiap tahun. tahun.
• 5% siswa SMA meraih score TOEFL ≥ • 20% siswa SMA meraih score TOEFL • 40% siswa SMA meraih score • 50% siswa SMA meraih score TOEFL
400 ≥ 400 TOEFL ≥ 400 ≥ 400
• 5% siswa SMK meraih score TOIEC ≥ • 20% siswa SMK meraih score TOIEC • 40% siswa SMK meraih score • 50% siswa SMK meraih score TOIEC
400 ≥ 400 TOIEC ≥ 400 ≥ 400
• 80% SMP memiliki akses ke TV-based • 100% SMP memiliki akses ke
learning. ICT/TV-based learning.
• 80% SMA/SMK memiliki akses ke • 100% SMA/SMKmemiliki akses ke
ICT-based learning. ICT/TV-based learning.
• 30% siswa berkecerdasan/berbakat luar • 100% siswa berkecerdasan/berbakat • 100% siswa berkecerdasan/ • 100% siswa berkecerdasan/berbakat
biasa mendapat bantuan beasiswa luar biasa dan 50% siswa dengan berbakat luar biasa dan 75% luar biasa dan 100% siswa dengan
peringkat tiga terbaik pada setiap siswa dengan peringkat tiga peringkat tiga terbaik pada setiap
satuan pendidikan mendapat bantuan terbaik pada setiap satuan satuan pendidikan mendapat bantuan
beasiswa. pendidikan mendapat bantuan beasiswa.
beasiswa.
• Rasio jumlah SMA : SMK berubah dari • Rasio jumlah SMA : SMK berubah • Rasio jumlah SMA : SMK • Rasio jumlah SMA : SMK berubah
70% : 30% menjadi 60% : 40% dari 60% : 40% menjadi 50% : 50% berubah dari 50% : 50% menjadi dari 40% : 60% menjadi 30% : 70%
40% : 60%
97
Lampiran 2: Standar Pelayanan Minimal bidang Pendidikan (Kepmen No. 129a
Tahun 2004)
98
SPM Pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA)/ Madrasah Aliyah (MA) terdiri atas:
• 60 persen anak dalam kelompok usia 16 -18 tahun bersekolah di SMA/MA dan SMK.
• Angka Putus Sekolah (APS) tidak melebihi 1 persen dari jumlah siswa yang bersekolah.
• 90 persen sekolah memiliki sarana dan prasarana minimal sesuai dengan standar teknis
yang ditetapkan secara nasional.
• 80 persen sekolah memiliki tenaga kependidikan non-guru untuk melaksanakan tugas
administrasi dan kegiatan non-mengajar lainnya.
• 90 persen dari jumlah guru SMA/MA yang diperlukan terpenuhi.
• 90 persen guru SMA/MA memiliki kualifikasi sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan
secara nasional.
• 100 persen siswa memiliki buku pelajaran yang lengkap untuk setiap mata pelajaran.
• Jumlah siswa SMA/MA per kelas antara 30 – 40 siswa.
• 90 persen dari siswa yang mengikuti uji sampel mutu standar nasional mencapai nilai
“memuaskan” dalam mata pelajaran bahasa Inggris, Geografi, dan Matematika Dasar
untuk kelas I dan II.
• 25 persen dari lulusan SMA/MA melanjutkan ke Perguruan Tinggi yang terakreditasi.
• Semua penduduk usia produktif (15-44 tahun) bisa membaca dan menulis.
• Jumlah orang buta aksara dalam kelompok usia 15-44 tahun tidak melebihi 7 persen.
• Jumlah orang buta aksara dalam kelompok usia di atas 44 tahun tidak melebihi 30 persen.
• Tersedianya data dasar keaksaraan yang diperbaharui secara terus menerus.
99
DAFTAR SINGKATAN
100