Anda di halaman 1dari 105

BUKU PANDUAN

PENYIAPAN RENCANA STRATEGIS


DINAS PENDIDIKAN
KABUPATEN / KOTA

(Renstra SKPD)

Renstra
Depdiknas
Informasi dan Data Pendidikan

Renstra
Renstra
SKPD
SKPD
Provinsi

RPJPD
RPJMD
Rencana
Pembangunan
Jangka
Rencana
Panjang
Pembangunan
Daerah
Jangka
Menengah
Daerah

Decentralized Basic Education 1


Management and Governance
DRAFT
Versi: 25 Januari 2008

i
Panduan ini dikembangkan oleh DBE1 dengan arahan dari Kementerian Koordinator
Bidang Kesejahteraan Rakyat, Departemen Pendidikan Nasional, dan Departemen
Agama serta merupakan perwujudan kerja sama antara Pemerintah Republik
Indonesia dengan USAID.

ii
Panduan ini telah diuji coba dan digunakan oleh pemangku
kepentingan terkait di 50 kabupaten/kota mitra DBE1

iii
DAFTAR ISI

1. Pengantar .............................................................................................................. 0
2. Gambaran Umum .................................................................................................. 3
3. Tahap I: Analisis Layanan Pendidikan .................................................................. 9
o Langkah Pertama: Menyiapkan Profil Layanan Pendidikan ......................... 9
o Langkah Kedua: Identifikasi Program yang Berhasil Pada Periode
Perencanaan Sebelumnya ......................................................................... 42
o Langkah Ketiga: Merumuskan Isu Strategis ............................................... 50
4. Tahap II: Menyiapkan Visi, Misi, dan Tata Nilai ................................................. 54
o Langkah Pertama: Merumuskan Visi ......................................................... 54
o Langkah Kedua: Merumuskan Misi ............................................................ 55
o Langkah Ketiga: Merumuskan Tata Nilai ................................................... 56
5. Tahap III: Merumuskan Tujuan dan sasaran, Strategi dan Kebijakan ............... 57
o Langkah Pertama: Merumuskan Tujuan dan Sasaran ............................... 57
o Langkah Kedua: Merumuskan Strategi ...................................................... 62
o Langkah Ketiga: Menetapkan Kebijakan .................................................... 67
6. Tahap IV: Merumuskan Program dan Kegiatan ................................................. 70
7. Tahap V: Penyusunan Rencana Biaya dan Pendanaan .................................... 80

iv
1. Pengantar

1.1 Perubahan yang Besar di Sektor Pendidikan


Dalam dua tahun terakhir ini, terdapat sejumlah perkembangan yang
berdampak sangat besar pada perencanaan pendidikan di tingkat
kabupaten/kota.

Perkembangan pertama, adalah diterbitkannya Undang-Undang No. 25


Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Nasional, yang mensyaratkan
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), dalam hal ini Dinas Pendidikan, untuk
menyusun Rencana Strategis berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD). Undang-undang ini diikuti terbitnya Surat Edaran
Departemen Dalam Negeri No. 050/2002/SJ tanggal 11 Agustus 2005 sambil
menunggu diterbitkannya Peraturan Pemerintah yang mengatur tata cara
penyusunan dokumen perencanaan.
Dinas Pendidikan adalah perangkat daerah yang memiliki tingkat kompleksitas
paling tinggi. Dibandingkan dengan SKPD lainnya, jumlah sasaran,
sumberdaya manusia (lebih dari 60% dari jumlah PNS), maupun aset, dan
anggaran yang dikelola Dinas Pendidikan sangatlah besar. Hal ini berdampak
pada sistem perencanaan yang diperlukan.
Selain itu, kabupaten/kota menangani banyak urusan wajib di bidang
pendidikan, mulai dari mengembangkan silabus / kurikulum tingkat satuan
pendidikan, sarana pembelajaran, aspek pedagogik (kegiatan belajar
mengajar), penilaian pembelajaran, sistem informasi manajemen pendidikan,
sampai dengan mengembangkan sumberdaya manusia. Dilihat dari jenjang
pendidikan, berdasarkan PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Kewenangan Antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, urusan wajib daerah
kabupaten/kota dalam bidang pendidikan mencakup Pendidikan Anak Usia
Dini, Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah, dan Pendidikan Non-formal.
Sebagian dari kabupaten dan kota telah menyusun Renstra SKPD
berdasarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 dan Surat Edaran
Departemen Dalam Negeri No. 050/2002/SJ, sebagian hanya berdasarkan
Undang-Undang No. 25 Tahun 2004, dan sebagian besar belum menyusun
renstranya berdasarkan salah satu dari ketentuan tersebut.

Perkembangan kedua, Departemen Pendidikan Nasional telah menyiapkan


Renstra berkualitas tinggi. Rencana ini menyediakan panduan yang jelas
tentang pembangunan pendidikan, yang akan membantu daerah
menyelaraskan perencanaan mereka dengan prioritas nasional.

Perkembangan ketiga, dalam bidang pembiayaan pendidikan, Program BOS


diperkenalkan sejak Agustus 2005 serta adanya niat Pemerintah dan DPR
untuk – secara bertahap – memenuhi UUD 1945 untuk mengalokasikan 20%
dari anggaran di bidang pendidikan. Hal ini diperkuat lagi dengan adanya
komitmen untuk membiayai kebutuhan pendidikan di daerah secara patungan
antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
Pada tahun-tahun sebelumnya, APBD adalah sumber dana utama bagi
pembangunan pendidikan. Di bawah sistem lama itu, sekolah-sekolah memiliki
anggaran yang sangat terbatas untuk menutupi pengeluaran operasional, dan
sebagai konsekuensinya, mereka jadi sangat bergantung pada program-
program yang dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan. Program BOS telah
menghasilkan perubahan besar. Lewat program ini, jumlah dana di tingkat
kabupaten/kota meningkat pesat dengan penambahan sekitar 25 miliar rupiah.
Sedangkan anggaran di tingkat sekolah meningkat dari 5 juta rupiah menjadi
antara 30-40 juta rupiah per sekolah. Untuk mengelola dana ini secara efektif,
DBE membantu sekolah dalam mempersiapkan Rencana
Pengembangan/Kerja Sekolah (RPS/RKS).
Program BOS berdampak besar bagi perencanaan di tingkat daerah.
Sebelumnya, para perencana pendidikan di daerah hanya berfokus pada
bagaimana mengalokasikan dana APBD ke berbagai program. Setelah
dijalankannya Program BOS, tugas para perencana menjadi lebih rumit karena
mereka harus mensejajarkan dan menggabungkan antara rencana
pembangunan pendidikan daerah dengan rencana yang disiapkan oleh
sekolah-sekolah dan mereka juga harus memastikan bahwa rencana yang
disusun daerah akan menjadi pelengkap dari usaha yang akan dilakukan di
tingkat sekolah. Peningkatan anggaran di tingkat sekolah menuntut mekanisme
akuntabilitas yang kuat, dan sekolah harus menjadi akuntabel dalam
penggunaan anggaran dan hasil yang dicapai. Komite Sekolah akan
menjalankan peran penting dalam hal ini.
Kebijakan baru lainnya yang berpengaruh signifikan terhadap perencanaan
pendidikan adalah Program DAK untuk rehab gedung / ruang kelas, khusus
untuk kabupaten/kota yang memiliki sumberdaya terbatas.

Perkembangan keempat, adalah diterbitkannya UU No. 14 Tahun 2005


tentang Guru dan Dosen, yang mengubah persyaratan minimal kualifikasi
akademik guru SD dari D2 ke D4/S1. Berdasarkan undang-undang ini,
kualifikasi guru SD yang semula sudah mencapai 70%, kini hanya mencapai
kurang dari 8%. Secara nasional jumlah guru yang belum memenuhi kualifikasi
mencapai 1,7 juta orang. Besarnya jumlah guru yang belum memenuhi
kualifikasi mengajar berdampak pada penetapan prioritas kebijakan
pembangunan pendidikan di tingkat kabupaten/kota.

Perkembangan kelima, dengan terbitnya PP No. 19 Tahun 2005 tentang


Standar Nasional Pendidikan, layanan dan output pendidikan hendaknya lebih
terarah, sistematik, dan komprehensif. Standar tersebut meliputi: standar isi,
standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga
kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar
pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.

Perkembangan keenam, Inpres No. 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional


Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan
Pemberantasan Buta Aksara. Perencanaan mensyaratkan:
a. APM sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah/pendidikan yang sederajat
sekurang-kurangnya menjadi 95 % pada akhir tahun 2008;
b. APK sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah/pendidikan yang
sederajat sekurang-kurangnya menjadi 95 % pada akhir tahun 2008;

1
c. Persentase penduduk buta aksara usia 15 tahun ke atas maksimal
menjadi 5% pada akhir tahun 2008.
Selain besar dan luasnya bidang pendidikan, kondisi pendidikan juga masih
jauh di bawah standar yang telah ditetapkan. Untuk itu, diperlukan suatu sistem
perencanaan pendidikan yang dapat mengatasi berbagai permasalahan
tersebut.

1.2 Tujuan dan Sistematika Buku Panduan

1.2.1 Tujuan
Menimbang kompleksitas pekerjaan yang harus digarap oleh Tim Penyiapan
Rencana Strategis Dinas Pendidikan (TPR), maka diperlukan sebuah panduan
yang memuat metodologi, termasuk tahap dan langkah, untuk penyusunan
rencana. Dengan adanya buku panduan ini, diharapkan semua pihak yang
berkepentingan dalam perencanaan pendidikan kabupaten/kota akan
mempunyai persepsi yang sama.

1.2.2 Sistematika Buku Panduan


Sistematika Buku Panduan Renstra Dinas Pendidikan adalah:
• Pengantar: memaparkan latar belakang perlunya Renstra SKPD
kabupaten/kota.
• Gambaran Umum: menjelaskan prinsip-prinsip perencanaan pendidikan,
kerangka pengembangan Renstra SKPD, dan pendekatan perencanaan
pendidikan kabupaten/kota.
• Tahap I Analisis Layanan Pendidikan: menggambarkan kondisi pendidikan
saat ini untuk aspek perluasan akses, pemerataan dan peningkatan mutu,
relevansi dan daya saing bangsa, analisis tentang program yang berhasil
pada periode perencanaan sebelumnya, serta kondisi internal dan
eksternal.
• Tahap II Menyiapkan Visi, Misi, dan Tata Nilai.
• Tahap III Merumuskan Tujuan/Sasaran, Strategi dan Kebijakan.
• Tahap IV Merumuskan Program dan Kegiatan: penetapan program dan
perumusan kegiatan.
• Tahap V Menyiapkan Rencana Pembiayaan Indikatif (perkiraan sumber-
sumber pembiayaan: APBD Kabupaten/Kota, APBD Provinsi,
Dekonsentrasi, Perbantuan, Block Grant, dan sumber lainnya).
• Tahap VI Menyiapkan Rencana Monitoring dan Evaluasi Implementasi
Renstra SKPD secara sistemik.
Diharapkan panduan ini akan membantu mempersiapkan Renstra Dinas
Pendidikan secara penuh, memutakhirkan Renstra yang sudah ada atau
merevisi sebagian rencana.
Suatu software pendukung, District Planning Information Support System,
telah dikembangkan yang akan mendukung proses penyusunan tabel-tabel
yang ada dalam buku panduan ini. Juga telah disusun suatu buku panduan
khusus tentang cara penggunaan aplikasi ini.

2
2. GAMBARAN UMUM
Bagian ini memberikan gambaran umum tentang ruang lingkup perencanaan,
struktur rencana, prinsip-prinsip perencanaan, dan proses perencanaan.

2.1 Ruang Lingkup


Ruang lingkup perencanaan sesuai dengan urusan wajib kabupaten/kota yang
tertuang pada PP No. 38 Tahun 2007 meliputi:
• Pendidikan Anak Usia Dini, karena pendidikan ini merupakan landasan
bagi jenjang pendidikan dasar dan mempersiapkan anak untuk
bersekolah. Fokusnya adalah pada pendidikan tingkat taman kanak-
kanak, yaitu TK dan RA;
• Pendidikan dasar 9 tahun: SD/MI, dan SMP/MTs;
• Pendidikan menengah: SMA, SMK, dan MA;
• Pendidikan nonformal, keaksaraan, kesetaraan, dan keterampilan hidup;
• Bidang lainnya yang menjadi tugas pokok dan fungsi (tupoksi) pada
Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.

2.2 Struktur Rencana


Garis besar tahapan perencanaan dalam buku panduan ini adalah rumusan
rencana untuk setiap jenjang pendidikan yang disusun berdasarkan pilar-pilar
kebijakan Renstra Departemen Pendidikan Nasional, yaitu:
• Peningkatan akses dan pemerataan pendidikan.
• Peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing bangsa.
• Tata kelola, akuntabilitas, dan pencitraan publik.

Peningkatan Akses
Perencanaan yang berkaitan dengan peningkatan akses berfokus pada
identifikasi wilayah-wilayah dengan banyak anak usia sekolah yang tidak
bersekolah. Setelah wilayah-wilayah ini teridentifikasi, kita akan melihat alasan
yang menyebabkan rendahnya angka partisipasi pendidikan. Pertanyaan kunci
adalah: “Apakah rendahnya partisipasi disebabkan oleh kurangnya fasilitas
untuk bersekolah (masalah penyediaan/supply), atau tidak adanya
kemampuan untuk bersekolah karena kemiskinan dan keterpencilan (masalah
kebutuhan/demand)?”

Peningkatan Mutu
Perencanaan yang berkaitan dengan peningkatan mutu harus memperhatikan
bahwa setiap sekolah mempunyai tingkat perkembangan yang berbeda-beda
dalam kualitas, sehingga dukungan yang dibutuhkan juga berbeda-beda.
Misalnya sekolah dengan kinerja rendah membutuhkan dukungan yang
berbeda dari sekolah yang sudah bagus. Oleh sebab itu, sekolah akan
dikelompokkan ke dalam 4 kelompok mutu dan untuk setiap kelompok akan
disusun strategi dukungan yang khusus.

3
Selain itu, akan berfokus pada isu ketidakmerataan layanan pendidikan antar
wilayah atau antar kelompok gender. Selain itu, perhatian juga akan diberikan
pada isu keadilan dalam penyelenggaraan pendidikan, atau dengan lain kata:
“Apakah anak-anak yang bersekolah mempunyai kesempatan yang sama
untuk mendapatkan layanan pendidikan yang bermutu?” Di sini perhatian
terutama ditujukan pada ketidaksetaraan kondisi belajar, seperti kualitas
gedung, ketersediaan buku, serta jumlah dan kompetensi guru, atau dengan
lain kata, apakah penyelenggaraan pendidikan sudah memenuhi standar
pelayanan minimum.

Tata Kelola, Akuntabilitas, dan Pencitraan Publik


Sebuah buku panduan khusus telah disusun untuk mempersiapkan Rencana
Pengembangan Kapasitas (RPK) Dinas Pendidikan. Rencana tersebut akan
mengindikasikan langkah-langkah yang harus diambil untuk mengelola
pendidikan secara efektif dan sesuai dengan prinsip-prinsip tata layanan
pendidikan yang baik. Hasil dari proses penyusunan RPK ini akan
diintegrasikan dalam Renstra Dinas Pendidikan.

2.3 Prinsip-prinsip Perencanaan

Perubahan dari pendekatan Input kepada Output / Outcome


Selama ini, perencanaan pendidikan daerah telah berfokus pada peningkatan
masukan (input) untuk pengembangan pendidikan (rehabilitasi sekolah,
pengadaan buku, pelatihan guru). Pada umumnya program-program ini
merupakan program tunggal (single input), yang mempunyai sekolah sasaran
berbeda. Dan pada akhir tahun, hanya dapat dilaporkan bahwa sekian banyak
ruang kelas telah direhabilitasi, sekian banyak buku telah disediakan, dan
sekian banyak guru sudah dilatih. Namun demikian kita tidak dapat mengetahui
dengan pasti output/outcome yang telah dicapai, misalnya dalam peningkatan
mutu pendidikan.
Buku Panduan ini akan memperkenalkan metodologi baru yang lebih berfokus
pada output/outcome. Perubahan ini akan dicapai melalui penentuan sasaran
yang lebih tepat. Untuk Peningkatan Akses, desa akan dikelompokkan dalam
kelompok: desa dengan “Anak Usia Sekolah (AUS) yang tidak bersekolah”
tinggi (APK-nya rendah) sampai desa dengan “AUS yang tidak bersekolah”
rendah (APK-nya tinggi). Sedangkan untuk pemerataan akses pendidikan
berkualitas, sekolah akan dikelompokkan dalam kelompok mulai dari sekolah
dengan kondisi layanan bagus sampai ke tingkat yang sangat rendah. Untuk
peningkatan mutu, sekolah akan dikelompokkan dalam kelompok sekolah
dengan kinerja yang tinggi ke sekolah dengan kinerja yang rendah. Kemudian
sasaran spesifik akan disusun untuk setiap kelompok desa atau sekolah.
Dengan cara ini, pada akhir tahun, dapat diukur apakah sasaran telah dicapai;
misalnya pengurangan jumlah sekolah yang berkinerja sangat rendah.
Dalam metodologi ini, fokus perencanaan berpusat pada sekolah. Karena
sekolah dan komunitasnya memainkan peran utama dalam peningkatan mutu
pendidikan, penting kiranya dibentuk sinergi antara perencanaan di tingkat
sekolah dengan perencanaan di tingkat kabupaten/kota. Metodologi ini
membantu tercapainya sinergi tersebut.

4
Pemberian Perhatian pada Program yang Berhasil pada Periode
Perencanaan Sebelumnya
Metodologi perencanaan ini juga memberikan perhatian yang lebih luas pada
identifikasi “program yang berhasil” pada periode perencanaan sebelumnya,
yaitu program-program yang sebaiknya dilanjutkan.

Pemberian Perhatian pada Sasaran Khusus


Analisis situasi harus dapat mengidentifikasi sasaran khusus (tidak
membedakan sekolah umum - keagamaan, negeri - swasta, perkotaan -
perdesaan) tetapi mengarah pada sekolah dengan kinerja paling lemah, dalam
hal mata pelajaran yang paling rendah pencapaian hasil belajarnya, kelompok
siswa yang berasal dari keluarga miskin, kelompok guru yang paling rendah
kualifikasinya, dan lain-lain. Dengan teridentifikasinya sasaran khusus tersebut
maka program pembangunan pendidikan akan lebih tepat sasaran.

Keterkaitan secara Sinergi antara Renstra SKPD dengan Rencana-


rencana dari Instansi Pemerintah Lebih Tinggi
Karena Renstra SKPD adalah perencanaan pengembangan pendidikan multi-
sumber, maka menjadi penting bahwa rencana ini dikaitkan dengan rencana-
rencana pengembangan pendidikan di tingkat provinsi dan nasional
(perhatikan Bagan 1 di akhir bab ini). Dengan cara ini, sinergi antara berbagai
sumber pembiayaan akan dapat diwujudkan.

Tanggap terhadap Rencana Pengembangan/Kerja Sekolah


Renstra SKPD harus tanggap terhadap kondisi eksternal yang berubah dan
kebutuhan sekolah yang diidentifikasi dalam Rencana Pengembangan/Kerja
Sekolah (RPS/RKS), yaitu rencana yang disusun oleh sekolah. Program-
program sekolah yang tidak mampu dilaksanakan oleh sekolah dan tidak
efisien jika dilaksanakan oleh sekolah maka program tersebut harus menjadi
program dinas pendidikan.

2.4 Proses Perencanaan


Proses penyiapan Renstra SKPD terdiri dari tahap-tahap berikut (perhatikan
Bagan 2 di akhir bab ini):

1. Analisis Layanan Pendidikan


Tahap ini dibagi dalam dua bagian, yaitu 1). analisis eksternal dan 2). analisis
internal.
Analisis Eksternal
Analisis eksternal meliputi perkembangan penduduk usia sekolah, kebutuhan
masyarakat akan pendidikan, dalam hal ini dilihat indeks kemiskinan penduduk,
kebijakan yang berpengaruh terhadap pendidikan, dan nilai-nilai yang
berkembang di masyarakat yang berhubungan dengan pendidikan.
Analisis Internal
Analisis ini berkaitan dengan profil pendidikan kabupaten/kota yang dapat
memberikan gambaran yang jelas tentang penyelenggaraan pendidikan di
tingkat daerah. Karena gambaran ini akan menjadi landasan rancangan
program, maka gambaran ini harus sejelas mungkin, sehingga program yang

5
akan disusun benar-benar mengarah pada kebutuhan-kebutuhan bidang
pendidikan.

2. Menyiapkan Visi, Misi, dan Tata Nilai


Visi, Misi, dan Tata Nilai dirumuskan berdasarkan visi dan misi kepala daerah
terpilih, RPJMD serta visi, misi, dan tata nilai yang merupakan budaya luhur
yang dianut dan berkembang di daerah. Profil layanan pendidikan juga perlu
dipakai sebagai landasan dalam merumuskannya.

3. Merumuskan Tujuan dan Sasaran, Strategi dan Kebijakan


Tujuan dan sasaran dirumuskan agar visi dan misi dapat diwujudkan dan
dirumuskan dengan memperhatikan profil layanan pendidikan. Strategi
dirumuskan agar program dan kegiatan yang dirumuskan dapat benar-benar
terarah untuk mencapai tujuan. Sedangkan kebijakan ditetapkan agar program
dan kegiatan tidak menyimpang dari koridor aturan-aturan yang ada.

4. Merumuskan Program dan Kegiatan


Tujuan tahap ini adalah merancang program-program dan kegiatan-kegiatan
terkait. Proses ini dimulai dengan memformulasikan prioritas kebijakan yang
akan menjadi panduan penyusunan target/sasaran. Kalau target sudah
tersusun, program dan kegiatan terkait akan segera teridentifikasi untuk
memenuhi target yang diinginkan. Sebagai langkah terakhir dari proses ini,
program akan dirinci lebih jauh dalam rencana-rencana kerja.

5. Menyiapkan Rencana Pembiayaan

Tujuan tahap ini adalah mempersiapkan rencana kebutuhan dana setiap


program dan kegiatan, serta dari sumber mana kebutuhan tersebut akan
dibiayai.

6. Menyiapkan Rencana Monitoring dan Evaluasi Implementasi Renstra

Tujuan tahap ini adalah memberikan umpan balik terhadap implementasi


perencanaan, karena perencanaan dipandang sebagi suatu siklus yang
berkelanjutan dan dinamis sesuai dengan perkembangan kondisi situasi baik
secara internal maupun eksternal. Perubahan tersebut akan berdampak pada
sasaran-sasaran yang diharapkan dicapai. Oleh sebab itu, pada implementasi
Resntra harus dilakukan monitoring dan evaluasi secara periodik dan
berkelanjutan.

6
Bagan 1

Keterkaitan antara Renstra SKPD dengan Visi/Misi bupati/walikota terpilih dan


Rencana-rencana dari Instansi Pemerintah yang lebih tinggi

7
Bagan 2

Langkah-langkah Penyusunan Rencana Strategis Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota

4 5

Monitoring dan Evaluasi

8
3. Tahap I: Analisis Layanan Pendidikan
Tahap ini bertujuan memberikan gambaran tentang layanan pendidikan saat ini di
kabupaten/kota. Gambaran tersebut akan membentuk dasar bagi langkah berikutnya
dalam proses perencanaan, sehingga lebih mudah untuk menyiapkan program khusus
bagi desa-desa dan sekolah yang memerlukan dukungan khusus. Analisis ini akan
dilaksanakan dalam tiga langkah:
1. Menyiapkan Profil Layanan Pendidikan. Profil ini akan menunjukkan kondisi
layanan pendidikan saat ini berdasarkan indikator kunci pendidikan seperti angka
partisipasi, angka transisi, angka putus sekolah, angka mengulang kelas, hasil
ujian, dan lain-lain.
2. Identifikasi Program yang Berhasil pada Periode Perencanaan Sebelumnya.
Proses perencanaan tidak mulai dari nol, tetapi harus berdasarkan pencapaian
yang diperoleh selama periode perencanaan sebelumnya. Disini fokusnya adalah
mengidentifikasi program yang telah berhasil dilaksanakan dalam periode
perencanaan yang lalu, dan karena telah terbukti keefektifannya, maka sebaiknya
dilanjutkan pada periode perencanaan yang akan datang.
3. Merumuskan Isu Strategis. Berdasarkan profil pendidikan dan dengan
mempertimbangkan perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan
perencanaan, maka isu akan teridentifikasi.

3.1 Langkah Pertama, Menyiapkan Profil Layanan


Pendidikan
Penyusunan struktur profil layanan pendidikan terdiri dari 8 (delapan) bagian : Bagian
pertama adalah data-data pendukung yang penting untuk perencanaan pendidikan.
Bagian kedua berkenaan dengan pendidikan anak usia dini (TK/RA), ketiga sekolah
dasar, keempat sekolah menengah pertama, kelima sekolah menengah atas, keenam
pendidikan nonformal, ketujuh pendidik dan tenaga kependidikan, dan kedelapan
manajemen layanan pendidikan. Sejalan dengan pilar-pilar kebijakan nasional, maka
kita akan memfokuskan kupasan kita pada akses, pemerataan, dan mutu untuk setiap
jenjang. Walau demikian, karena beratnya beban dari sektor pendidikan bagi sumber-
sumber keuangan daerah, kita juga akan fokus pada efisiensi penyelenggaraan
pendidikan.

Profil layanan pendidikan akan disusun sebagai berikut:


1. Kita akan melihat apakah keadaan telah membaik, tetap sama atau merosot selama
tiga tahun terakhir. Inilah yang disebut dengan analisis kecenderungan. Dengan
bantuan informasi ini kita memperoleh gambaran pertama tentang tingkat
keseriusan masalah. Misalnya, apakah tingkat transisi menjadi lebih baik, tetap
sama, atau merosot.
2. Begitu kita mengetahui kecenderungan umum selama tiga tahun terakhir, maka kita
mulai melihat situasi pada tingkat sekolah: berapa sekolah yang tingkat transisinya
rendah, berapa yang agak rendah, berapa yang tinggi, dan berapa pula yang
tingkat transisinya sangat tinggi. Dengan demikian kita mengetahui jumlah sekolah
yang mempunyai masalah besar dalam transisi dari SD ke SMP.
3. Untuk menyampaikan masalah di sekolah-sekolah yang tingkat transisinya rendah,
kita ingin mengetahui lebih banyak tentang sekolah-sekolah tersebut:

9
• Di mana sekolah-sekolah ini berada: di daerah perkotaan, perdesaan atau di
daerah terpencil?
• Bagaimanakah tingkat kemiskinan di desa yang memiliki sekolah dengan
tingkat transisi rendah?
Nah sekarang kita mempunyai sebuah gambaran tentang masalah tingkat transisi
rendah yang mendesak: di daerah perkotaan, perdesaan, atau di daerah terpencil.
Lebih jauh, kita akan mempunyai sebuah gambaran mengenai hubungan antara
tingkat transisi rendah dengan kemiskinan.
4. Untuk merancang program-program yang efektif kita masih perlu mengetahui lebih
banyak lagi. Tingkat transisi rendah terutama dijumpai pada jenis sekolah apa:
• Sekolah umum atau sekolah agama?
• Sekolah negeri atau sekolah swasta?
5. Langkah terakhir dalam proses analisis adalah menyiapkan sebuah daftar sekolah-
sekolah yang memiliki tingkat transisi rendah. Daftar itu akan menunjukkan:
kecamatan, desa, nama sekolah, jenis, status, dan tingkat transisi yang nyata.
Melalui kelima langkah itu, maka sekarang para perencana telah mempunyai
informasi yang dibutuhkan untuk menyampaikan isu transisi rendah.

10
Bagian Pertama. Data Pendukung Untuk Perencanaan
Pendidikan
Ada dua jenis data yang sangat penting bagi perencanaan pendidikan yang efektif.
Pertama adalah data penduduk, khususnya anak usia pra sekolah. Kunci
pertanyaannya di sini adalah: “Apakah dalam enam tahun ke depan jumlah murid akan
meningkat, tetap, atau menurun?” Kedua adalah data yang berkaitan dengan
kemiskinan, yang berperan untuk menentukan tindakan lebih lanjut bagi peningkatan
penyelenggaraan pendidikan secara umum (akses, pemerataan, dan mutu).

Data Penduduk

Dalam bagian ini, kita akan mencari data perbandingan kelompok penduduk usia 0-6
tahun dengan kelompok 7-12 tahun, apakah kelompok penduduk usia 0-6 lebih besar
dari kelompok usia 7-12; kemudian melakukan identifikasi menurut kecamatan,
kecamatan mana yang perbandingan kedua kelompok tersebut lebih besar dan mana
yang perbandingannya lebih kecil.

Jika kelompok penduduk usia 0-6 tahun lebih besar dari kelompok usia 7-12 tahun,
maka kecamatan tersebut akan mengalami penambahan anak usia sekolah dalam 6
tahun mendatang. Tetapi jika lebih kecil, maka akan mengalami penurunan jumlah
anak usia sekolah 7-12 tahun.

Tabel 1: Proyeksi Jumlah Murid


Anak 7-12
tahun
Anak usia Proyeksi
Kecamatan yang Rasio
0-6 Tahun (+/- )
sedang
bersekolah
Kecamatan A
Kecamatan B
Kecamatan C

Total
Catatan: Harus disadari bahwa usia anak pra sekolah yang dipakai di sini adalah
antara 0-6 tahun. Karena sebagian anak usia 6 tahun sudah bersekolah, jumlah
kelompok ini akan lebih besar dari perkiraan jumlah populasi anak bersekolah.

Indeks Kemiskinan
Ada beberapa alternatif cara untuk menghitung indeks kemiskinan. Dalam panduan ini
kita memakai data BKKBN untuk menghitung indeks kemiskinan, cara perhitungannya
adalah berikut ini:
Jumlah KK Miskin
Indeks Kemiskinan =
Jumlah KK
dengan
Jumlah KK Miskin = Jumlah KK Pra - Sejahtera + Jumlah KK Sejahtera I

11
Tabel 2: Indeks Kemiskinan Menurut Desa
KK KK Jumlah
Jumlah Indeks
Desa Pra- Sejahtera KK
KK Kemiskinan
Sejahtera 1 Miskin
Desa A
Desa B
Desa ….
Total

Tabel 3: Distribusi Desa menurut Indeks Kemiskinan


Indeks Kemiskinan
Jumlah Desa Persen
(%)
< 10
10 - 20
21 - 30
31 - 40
> 40
Catatan: Kelas interval terdiri atas 5 kelas dan nilai rata-rata data berada pada kelas
interval ketiga agar terlihat sebaran kelompok di atas rata-rata seimbang dengan
kelompok di bawah rata-rata.

Identifikasi nama-nama desa yang masuk kategori termiskin, termasuk di kecamatan


mana dan apakah status desa tersebut termasuk dalam kategori IDT.

12
Bagian Kedua. Jenjang Pendidikan Anak Usia Dini
Pendidikan anak usia dini (PAUD) termasuk kategori pra sekolah yang berfungsi
meningkatkan kesiapan anak dalam memasuki belajar pada jenjang SD. Pada bagian
ini akan dilihat tingkat layanan pemerintah dan peran masyarakat dalam
penyelenggaraan PAUD. Tabel berikut menujukkan seberapa besar tingkat layanan
pemerintah dan peranan masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan anak usia
dini.

Tabel 4: Jumlah Lembaga Satuan Pendidikan Anak Usia Dini


Tiga Tahun Terakhir
Satuan 2005 2006 2007
Pendidikan Neg Swasta Neg Swasta Neg Swasta
TK/RA
KB/TPA
Total

Untuk melihat perkembangan PAUD, gambarkan perkembangan APK PAUD dalam


tiga tahun terakhir, seperti tampak pada tabel berikut:

Tabel 5: APK Pendidikan Anak Usia Dini menurut Jenis Satuan Pendidikan
Tiga Tahun Terakhir

APK PAUD
Satuan Pendidikan
2005 2006 2007
TK/RA
KB/TPA
Total

Gambarkan keadaan APK PAUD menurut tingkat desa/kecamatan, yang berguna untuk
melihat penyebaran PAUD dan keterkaitannya dengan keseimbangan antara PAUD
dengan SD/MI. Contoh tabel berikut menunjukkan distribusi APK PAUD pada tingkat
desa:

Tabel 6: Distribusi APK PAUD di Tingkat Desa

APK PAUD Jumlah Desa Persen

< 20
20 - 30
31 - 40
41 - 50
>50

Identifikasi nama-nama desa dengan APK PAUD kategori rendah, apakah rendahnya
APK PAUD tersebut ada kaitannya dengan kemiskinan masyarakat?

13
Tabel 7: Daftar Desa dengan APK PAUD Terendah
APK PAUD Indeks
Kecamatan Desa Kemiskinan
< .20
Desa….
Kec A Desa …..
…………..
Desa …..
Kec B Desa ……
…………..
…………..
…………..

14
Bagian Ketiga. Jenjang Pendidikan Dasar

Bagian ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran kinerja kabupaten/kota dalam


memberikan layanan pendidikan sekolah dasar dan dirancang untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan akses, pemerataan, dan mutu pendidikan.

Gambaran Umum Sekolah Dasar

Tabel 8: Keadaan Lembaga Satuan Pendidikan Dasar SD/MI dan Paket A


Tiga Tahun Terakhir
Satuan 2005 2006 2007
Pendidikan Neg Swasta Neg Swasta Neg Swasta
SD
MI
Paket A
Total

Selain gambaran kelembagaan, perlu disajikan partisipasi pendidikan pada tingkat SD.
Selama ini yang banyak digunakan adalah Angka Partisipasi Murni (APM) dan Angka
Partisipasi Kasar (APK). Penggunaan APK sebagai indikator partisipasi pendidikan
tidak dapat menggambarkan kondisi yang sesungguhnya, karena semua anak yang
ada di jenjang SD, yaitu yang berusia 7-12 tahun, ditambah anak yang berusia di
bawah 7 tahun maupun di atas 12 tahun juga ikut dihitung, sehingga angkanya lebih
besar dari 100 persen. Demikian juga dengan APM, saat ini cenderung menurun,
karena banyak peserta didik kelas 1 SD berusia 6 tahun atau bahkan lebih muda lagi.
Karena itu mereka tidak dapat dihitung dalam APM.
Untuk mengatasi hal tersebut, suatu indikator yang perlu dipertimbangkan, yaitu Angka
Partisipasi Sekolah (APS) 7-12 tahun yang mengukur apakah anak sedang bersekolah
tanpa membedakan apakah ia bersekolah di tingkat SD atau SMP; hal ini penting
khususnya untuk anak usia 11 – 12 tahun, karena sebagian masih bersekolah di SD,
sedangkan sebagian telah bersekolah di tingkat SMP. Indikator ini tidak pernah
melebihi 100%.

Tabel 9: Angka Partisipasi Tingkat Sekolah Dasar (7-12 Tahun)

Indikator 2005 2006 2007

APM
APS
APK
Catatan: APS posisinya berada antara APM dan APK

Untuk melihat lebih jelas perkembangan indikator akses pendidikan dasar tiga tahun
terakhir, sebaiknya menggunakan grafik seperti contoh berikut:

15
Contoh grafik perkembangan APM, APS, dan APK 3 tahun terakhir.

Contoh1:
Perkembangan APM, APS, dan APK
2005 sd 2007
140
120
100
80 APM
APS
60
APK
40
20
0 2005 2006 2007

Akses
Pada saat menyampaikan isu akses, sebaiknya berfokus pada anak usia sekolah yang
tidak bersekolah dan bukan pada mereka yang sudah bersekolah. Pada dasarnya, kita
ingin melihat seberapa jauhkah Pemda memenuhi kewajibannya dalam memberikan
layanan pendidikan kepada semua anak. Berikutnya fokus kita adalah untuk menjawab
tiga pertanyaan kunci :
a. Apakah anak-anak siap bersekolah?
b. Apakah anak-anak bersekolah?
c. Apakah anak-anak melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang SMP?

1. Apakah anak-anak siap bersekolah?


Kesiapan sekolah dapat dilihat dari tiga hal : 1) usia masuk SD; 2) apakah mereka
melalui TK/RA; 3) apakah angka mengulang kelas pada kelas awal cukup tinggi.

• Berapa tahun rata-rata usia masuk SD kelas 1 ?


Untuk itu kita akan melihat berapa persen anak kelas 1 SD yang berusia kurang
dari 7 tahun dilihat dari jenis kelamin.

Tabel 10: Usia Masuk SD menurut Jenis Kelamin

Usia Masuk Kelas 1 SD


Jenis kelamin Total
≤ 6 tahun 7 tahun ≥ 8 Tahun
Laki-laki
Perempuan
Total

16
Dari tabel di atas dapat dihitung berapa persen anak kelas 1 SD yang kurang dari 7
tahun. Persentase ini akan mempengaruhi pencapaian angka partisipasi murni
(APM) tingkat SD. Makin tinggi persentase usia masuk SD kurang dari 7 tahun,
makin rendah angka partisipasi murni.

• Berapa persen anak kelas 1 SD yang berasal dari TK/RA?


Untuk itu kita akan melihat berapa persen anak kelas 1 SD yang berasal dari TK/RA
berdasarkan jenis kelamin.

Tabel 11: Latar Belakang Masukan Kelas 1 SD Menurut Jenis Kelamin

Jenis Masukan Kelas 1 SD


kelamin Total
TK/RA Non TK/RA
Laki-laki
Perempuan
Total

Dari tabel di atas dapat dihitung berapa persen siswa kelas 1 SD yang berasal dari
TK/RA, makin tinggi persentase yang berasal dari TK/RA makin tinggi kesiapan
memasuki SD.

• Apakah ada keterkaitan antara kesiapan memasuki SD dengan angka mengulang


kelas pada kelas awal?

Bagan 3
Kesiapan Siswa Memasuki SD Kelas 1

APK SISWA KLS 1


PAUD MELALUI PAUD

AMK PADA
KELAS AWAL

SISWA KLS 1
< 7 TAHUN

Alur ini menunjukkan keterkaitan antara kesiapan belajar yang ditunjukkan oleh APK
PAUD, siswa kelas 1 SD melalui PAUD, dan besarnya siswa kelas 1 SD yang berusia
< 7 tahun. Contoh hasil analisis keterkaitan kesiapan belajar dengan angka mengulang
kelas (AMK) pada kelas awal disajikan sebagai berikut:

17
Contoh 2: Angka Mengulang Kelas SD/MI
Contoh gambar di samping adalah
Tahun 2006
ilustrasi di salah satu kabupaten
7.4 yang angka mengulang kelasnya
8
7
pada kelas awal cukup tinggi. Data
6 4.5 menunjukkan bahwa 90% murid SD
5.1
5 4.5
3.8
kelas 1 berusia kurang dari 7 tahun,
4
3
3 2.8 sedangkan jumlah murid kelas 1 SD
2 1.8 2.1
1.2
yang berasal dari TK/RA berjumlah
1
0.30.3 kurang dari 30%. Ini menunjukkan
0
I II III IV V VI bahwa kurangnya kesiapan belajar
Kelas mengakibatkan tingginya angka
mengulang kelas di kelas 1 SD.
Laki-laki Perempuan

2. Apakah anak-anak bersekolah?


Pertanyaan ini akan dijawab dengan cara berikut:
• Pertama kita akan melihat bagaimana perkembangan tingkat partisipasi selama tiga
tahun terakhir. Pertanyaan kunci disini adalah apakah tingkat partisipasi menjadi
lebih baik, tetap stabil, atau merosot?

Tabel 12: Perkembangan Angka Partisipasi Sekolah pada Tingkat Kabupaten


Menurut Jender Tahun 2005 sd. 2007
APS Tahun ke Trend
Jenis Kelamin
2005 2006 2007 (+/- %)
Laki
Perempuan
Total
Catatan: APM cenderung menurun sejalan adanya kecenderungan jumlah murid
masuk SD lebih dini (kurang dari 7 tahun). Dalam perencanaan tidak cukup dengan
menggunakan persentase, tetapi juga dalam bentuk nominal. Dengan
menggunakan APM kita tidak bisa menghitung berapa siswa 7-12 tahun yang
belum/tidak bersekolah, hal ini disebabkan anak usia 12 tahun sudah banyak yang
bersekolah di SMP. Jika tersedia data di kabupaten/kota, sebaiknya menggunakan
APS (Angka Partisipasi Sekolah).

Untuk melihat perkembangan APS 7-12 tahun tiga tahun terakhir secara mudah
dapat menggunakan grafik yang memberikan ilustrasi secara jelas, apakah stabil,
menurun atau meningkat, seperti pada grafik di bawah ini.

18
• Kemudian, identifikasi desa-desa dengan banyak anak usia sekolah, yang tidak
bersekolah. Artinya APS menjadi rendah.

Tabel 13: APS di Tingkat Desa

APS (%) Jumlah Desa Persen

< 80
80 - 85
86 – 90
91 - 95
> 95
Total 100%

• Fokuskanlah terhadap desa yang mempunyai APS rendah. Hal ini dapat dilihat
dari dua hal yaitu ketersediaan layanan (supply side) dan kemampuan masyarakat
(demand side):

• Identifikasi ketersediaan layanan pendidikan pada jenjang SD/MI dengan


mengetahui apakah sekolah-sekolah memiliki daya tampung yang rendah
atau sudah terlalu tinggi. Hal tersebut dapat dilihat dari tabel berikut:

Tabel 14: Jumlah Siswa Per Sekolah SD/MI

Jumlah siswa
Jumlah Sekolah Persen
per sekolah
< 90
90 sd. 140
141 sd. 190
191 sd. 240
> 240
Total

19
• Lakukan identifikasi sekolah-sekolah yang jumlah muridnya sangat kecil:
o di mana sekolah itu berada, apa nama desa dan kecamatannya?
o berapa jarak terdekat ke sekolah lainnya?
o apakah sekolah tersebut terletak di daerah terpencil?
o apakah jumlah penduduk usia 0-6 tahun cukup besar?
Hasil identifikasi tersebut merupakan dasar pertimbangan apakah sekolah-
sekolah tersebut harus digabung (regrouping) atau tetap dipertahankan.

• Identifikasi kemampuan masyarakat dalam menyekolahkan anaknya melalui


indeks kemiskinan desa dan kecamatan, terutama pada desa dan kecamatan
dengan APM rendah.

3. Apakah anak-anak melanjutkan ke jenjang pendidikan SMP ?


• Pertama-tama kita akan melihat bagaimana perkembangan tingkat transisi atau
angka melanjutkan (AM) selama tiga tahun terakhir. Pertanyaan kunci adalah:
apakah transisi dari SD ke SMP bertambah baik, tetap stabil atau memburuk ?

Tabel 15: Perkembangan AM pada Tingkat Kabupaten

AM Tahun ke
Jenis Pendidikan
2005 2006 2007
SD
MI
Total

Untuk melihat tingkat perkembangan dengan mudah, sebaiknya menggunakan


grafik, dimana trend peningkatan atau penurunannya tampak lebih jelas, seperti
terlihat pada gambar berikut:

Contoh 4: Angka Melanjutkan SD/MI

100

80
SD
AM

60 MI
40 Total

20

0
2005 2006 2007

Dari contoh di atas tampak bahwa perkembangan AM di SD relatif stabil,


sedangkan pada MI terdapat peningkatan cukup signifikan.

20
Rendahnya AM disebabkan dua faktor yaitu supply dan demand. Faktor supply
berkaitan dengan ketersediaan layanan pendidikan pada jenjang SMP/MTs dan
faktor demand berkaitan dengan tingkat kemiskinan masyarakat.

Tabel 16: Distribusi Angka Melanjutkan Menurut Kecamatan


Jumlah
Angka Melanjutkan (%) Persen
Kecamatan
<81
81 - 85
86 - 90
91 - 95
>95
Total 100%

• Identifikasilah tingkat kemiskinan kecamatan dengan AM rendah dan sajikan dalam


tabel berikut ini:

Tabel 17: Daftar Kecamatan dengan AM Rendah

Tingkat
Kecamatan AM
Kemiskinan

Identifikasilah ketersediaan layanan pendidikan pada jenjang SMP/MTs dan sajikan


pada tabel berikut:

Tabel 18: Gambaran Layanan Pendidikan Jenjang SMP


di Tingkat Kecamatan

Jumlah Rombel Jumlah Rombel


Kecamatan
Kelas 6 SD/MI Kelas 1 SMP/MTs
Kec A
Kec B
Dst.

Mutu Pendidikan
Hal ini akan dilakukan dengan cara menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
• Seberapa tinggikah angka mengulang kelas (AMK)?
• Seberapa tinggi angka putus sekolah (APTS)?
• Apakah berbagai input pendidikan bermutu dan merata?
• Seberapa tinggi mutu lulusan ?

21
1. Angka Mengulang Kelas
• Pertama kita akan melihat bagaimana perkembangan tingkat mengulang kelas
selama tiga tahun terakhir.

Tabel 19: Perkembangan AMK pada Tingkat Kabupaten


AMK Tahun ke
Jenis Sekolah 2005 2006 2007
SD
MI
Total

Untuk melihat perkembangan dengan mudah, gambarkan dengan grafik seperti


gambar berikut:

Contoh 5: Angka Mengulang Kelas Menurut Jenis


Pendidikan

0.08
0.07
0.06 SD
AMK

0.05
MI
0.04
0.03 Total
0.02
0.01
0 2003/04 2004/05 2005/06

Tahun

Dari contoh di atas, tampak bahwa AMK di MI tidak menurun pada periode tahun
2004/2005 dan 2005/2006, sedangkan di SD menurun secara signifikan.
Selanjutnya, pada kelas berapakah tingkat AMK paling tinggi atau apakah ada
kecenderungan peningkatan AMK seiring dengan makin tingginya tingkatan kelas
pada SD/MI.

Tabel 20: AMK Menurut Tingkat Kelas dan Jenis Pendidikan


AMK menurut Jenis
Tingkat Kelas Pendidikan Total
SD MI
Kelas 1
Kelas 2
Kelas 3
Kelas 4
Kelas 5
Kelas 6
Total

Salah satu contoh angka mengulang kelas jenjang SD/MI pada kabupaten X dapat
digambarkan sebagai berikut:

22
Contoh 6: Angka Mengulang Kelas

8
7

AMK (%)
6
5
4 Laki - laki
3 Perempuan
2
1
0
Kls1 Kls2 Kls3 Kls4 Kls5 Kls6
Tingkatan Kelas
Dari contoh di atas tampak bahwa semakin tinggi tingkatan kelas di SD/MI, semakin
rendah AMKnya.

• Nilailah / ukurlah tingkat keseriusan putus sekolah di tingkat sekolah.

Tabel 21: AMK di Tingkat Sekolah

Jumlah
AMK Persen
Sekolah
> 4.0
3.0 – 4.0
2.0 – 3.0
1.0 – 2.0
< 1.0
Total 100%

Lakukan identifikasi sekolah dengan AMK tinggi, meliputi nama sekolah, di mana
sekolah tersebut berada, nama desa dan kecamatan, berapa AMK rillnya, dan
kaitannya dengan indeks kemiskinan desa atau kecamatan.

Tabel 22 : Daftar Sekolah dengan AMK Tinggi

Tingkat
Kecamatan Desa Nama Sekolah AMK
Kemiskinan

23
2. Angka Putus Sekolah (APTS)
• Pertama kita akan melihat bagaimana perkembangan tingkat putus sekolah selama
tiga tahun terakhir.

Tabel 23: Pertumbuhan APTS pada Tingkat Kabupaten

APTS Tahun ke
Jenis Sekolah
2005 2006 2007
SD
MI
Total

Untuk melihat perkembangan dengan mudah, gambarkan dengan contoh berikut:

Contoh 7: Angka Putus Sekolah Menurut


Jenis Pendidikan

0.08
0.07
0.06 SD
APTS

0.05
MI
0.04
0.03 Total
0.02
0.01
0 2003/04 2004/05 2005/06

Tahun

Dari contoh di atas, tampak bahwa pada periode tahun tahun 2004/05 dan 2005/06
jenjang MI tidak mengalami perbaikan APTS, sedangkan pada jenjang SD cukup
signifikan.

Selanjutnya, pada kelas berapakah APTS paling tinggi atau apakah ada
kecenderungan peningkatan APTS dengan tingkat kelas pada SD/MI.

Tabel 24: Angka Putus Sekolah Menurut Jenis Pendidikan dan Jenjang Kelas
APTS menurut Jenis
Jenjang
Pendidikan Total
Kelas
SD MI
Kelas 1
Kelas 2
Kelas 3
Kelas 4
Kelas 5
Kelas 6
Total

Agar lebih ilustratif, penyajian data dapat menggunakan grafik seperti pada contoh
berikut:

24
Contoh 8: Angka Putus Sekolah Menurut Jenjang Kelas

0.06
0.05
SD

APTS
0.04
MI
0.03
Rata-rata
0.02

0.01
0

Rata-rata
Kelas 1

Kelas 3

Kelas 4

Kelas 6
Kelas 2

Kelas 5
Dari contoh di atas tampak bahwa makin tinggi tingkatan kelas SD/MI, makin tinggi
pula APTSnya. Selanjutnya kita lakukan identifikasi sekolah mana saja yang angka
putus sekolahnya tergolong tinggi. Contoh tabel berikut menunjukkan distribusi
APTS pada jenjang SD.

Tabel 25: APTS di Tingkat Sekolah


Jumlah
Distribusi APTS (%) Persen
Sekolah
> 4.0
3.1 – 4.0
2.1 - 3.0
1.0 – 2.0
< 1.0
Total 100%

• Fokuskanlah terhadap sekolah dengan tingkat putus sekolah yang tinggi dan
jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
a. Di manakah sekolah-sekolah ini berada: di daerah perkotaan, perdesaan, atau di
daerah terpencil?
b. Bagaimanakah tingkat kemiskinan di desa dimana sekolah itu berada?

• Identifikasilah sekolah-sekolah dengan APTS tinggi dan sajikan hasil-hasilnya


dalam tabel berikut ini:

Tabel 26: Daftar Sekolah dengan APTS Tinggi

Tingkat
Kecamatan Desa Nama Sekolah Jenis Status APTS
Kemiskinan

25
3. Mutu Input Pendidikan
Hingga saat ini masih merupakan suatu kenyataan di Indonesia, bahwa variansi dalam
kabupaten lebih tinggi dibandingkan dengan variansi antara kabupaten. Ini
menunjukkan bahwa pemerataan dalam kabupaten masih merupakan masalah yang
serius karena anak-anak belajar di dalam kondisi yang sangat beragam. Sejumlah
anak bersekolah di sekolah yang bagus dengan guru yang banyak dan persediaan
buku-buku yang memadai, sementara itu anak-anak lainnya belajar di sekolah yang
bangunannya tidak layak dengan jumlah guru terbatas serta menghadapi masalah
kekurangan buku yang serius. Pemerataan dalam panduan ini menyampaikan isu
tersebut dan ukuran-ukuran mengenai sejauh mana anak-anak mempunyai peluang
yang sama untuk belajar di sekolah yang memenuhi standar pelayanan minimum
(SPM). Hal ini akan dilakukan dengan cara menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut
ini:

a. Kecukupan Ruang kelas


• Berapa banyak sekolah yang telah mempunyai jumlah ruang kelas yang
diperlukan (rasio ruang kelas terhadap rombongan belajar)?
Gambarkan kecukupan ruang kelas semalam tiga tahun terakhir, apakah meningkat,
stabil atau bahkan menurun? Untuk itu melihat perkembangan kecukupan ruang
kelas disajikan pada tabel berikut:

Tabel 27: Perkembangan Rasio Ruang Kelas terhadap Rombongan Belajar


Tiga Tahun Terakhir

Rasio R. Kelas thd Rombel


Jenis Sekolah
2005 2006 2007
SD
MI
Total
Tabel di atas menggambarkan keadaan kecukupan ruang kelas pada tingkat
kabupaten, untuk perencanaan yang menggunakan pendekatan sasaran khusus,
data tersebut belum cukup, untuk itu perlu dilengkapi dengan data dalam bentuk
distribusi sekolah menurut kecukupan ruang kelas (rasio ruang kelas terhadap
rombongan belajar). Melalui tabel ini dapat dilihat berapa sekolah yang memiliki
rasio sangat kurang, kurang, cukup, lebih, dan sangat berlebih, seperti tampak pada
tabel berikut:

Tabel 28: Distribusi Rasio Ruang Kelas terhadap Rombongan Belajar

Rasio R. Kelas terhadap Jumlah


Persen
Rombongan Belajar Sekolah
<.4
.4 - .6
.6 - .8
.8 – 1.0
≥1
Total 100%

26
Sebagai ilustrasi rasio ruang kelas terhadap rombongan belajar, ternyata di
beberapa sekolah menunjukkan kelebihan dan di beberapa sekolah menunjukkan
kekurangan, seperti tampak pada diagram berikut:

Contoh 9: Rasio Rombel terhadap Ruang Kelas


Sangat Lebih

Lebih

Sesuai
Kurang

Sangat Kurang

-60 -40 -20 0 20 40


Jumlah sekolah

Catatan: Kondisi sekolah dengan jumlah ruang kelas yang berlebih tidak efisien,
artinya terdapat sejumlah ruang kelas yang tidak dimanfaatkan secara optimal.
Namun di sisi lain kekurangan ruang kelas terlihat cukup tinggi, ini menunjukan
bahwa di beberapa sekolah masih menggunakan sistem double shift, dilihat dari
efektivitas pengajaran kelas dengan double shift jam belajarnya tidak optimal.

b. Kelayakan Ruang kelas


Berapa banyak sekolah yang telah mempunyai ruang kelas dengan kondisi
yang memadai?

Kerusakan ruang kelas mestinya tidak semasif seperti sekarang ini, jika manajemen
asset diterapkan secara konsisten baik di tingkat dinas pendidikan kabupaten/kota
maupun di tingkat satuan pendidikan (sekolah). Langkah awal untuk menata kondisi
ruang kelas adalah pendataan yang akurat, terutama menetapkan kriteria rusak
ringan dan rusak berat, karena kondisi tingkat kerusakan berdampak pada
besarnya anggaran yang akan direncanakan. Gambarkanlah tingkat kerusakan
ruang kelas berdasarkan jenis pendidikan seperti tabel di bawah ini.

Tabel 29: Distribusi Kondisi Ruang Kelas Menurut Jenis Pendidikan

Kondisi Ruang Kelas (%)


Satuan Pendidikan
Baik Rusak ringan Rusak berat
SD
MI
Total
Di manakah sekolah-sekolah yang mengalami kerusakan ruang kelas yang cukup
banyak? Salah satu contoh hasil analisis menunjukkan bahwa distribusi kondisi
ruang kelas (baik, rusak ringan, rusak berat) ditunjukkan pada tabel berikut:

27
Contoh 10: Kondisi Ruang Kelas

Satuan Pendidikan Ruang Kelas Ruang Kelas Ruang Kelas Jumlah


Baik Rusak Ringan Rusak Berat Ruang Kelas
SD Rata-rata 5.1 3.09 3.49 6.26
Jumlah
220 79 72 258
sekolah
MI Rata-rata 3.7 2.83 3.43 4.50
Jumlah
13 6 7 20
sekolah
Total Rata-rata 5.1 3.07 3.48 6.13
Jumlah
233 85 79 278
sekolah

Contoh hasil analisis kondisi ruang kelas di salah satu kabupaten menunjukkan
bahwa pada jenjang SD rata-rata jumlah ruang kelas sebesar 6,26; sedangkan
pada MI sebesar 4,50 untuk 6 rombel yang ada. Terdapat 72 sekolah (28% dari
jumlah SD) yang lebih dari setengah jumlah ruang kelasnya rusak berat.
Fokuskan pada ruang kelas yang kondisinya rusak berat, hal ini harus menjadi
prioritas dalam penanganan pembangunan pendidikan, selain aspek keselamatan
insan pembelajar, juga dalam rangka kenyamanan dalam belajar.

Tabel 30: Distribusi Ruang Kelas yang Rusak Berat

Ruang Kelas yang


Jumlah Sekolah Persen
Rusak Berat (%)
< 20
20 - 40
40 - 60
60 - 80
> 80
Total 100%

c. Kecukupan Guru Kelas


• Berapa banyak sekolah telah mempunyai jumlah guru yang diperlukan (rasio
guru terhadap rombongan belajar)?
Gambarkan kecukupan guru SD/MI secara nominal pada tingkat kabupaten/kota
tiga tahun terakhir.
Tabel 31: Rasio Guru Kelas Terhadap Rombongan Belajar

Rasio guru kelas terhadap rombel


Satuan Pendidikan
2005 2006 2007
SD
MI
Total

28
Secara nasional, jumlah guru SD/MI sudah memadai, namun masalahnya adalah
pendistribusian yang tidak merata. Untuk itu, selain rata-rata rasio guru kelas
terhadap rombongan belajar secara keseluruhan (tingkat kabupaten/kota), perlu
dilihat juga rasio guru kelas terhadap rombongan belajar menurut sekolah, seperti
tampak pada tabel berikut:
Tabel 32: Distribusi Rasio Guru Kelas terhadap Rombongan Belajar

Rasio Guru Kelas terhadap Jumlah


Persen
Rombongan Belajar Sekolah
<.5
.5 - .9
.9 – 1.1
1.1 – 1.5
>1.5
Total 100%

Sebagai ilustrasi rasio guru kelas terhadap rombongan belajar, ternyata di beberapa
tempat menunjukkan kelebihan seperti tampak pada grafik berikut:

Contoh 11: Rasio Guru terhadap Rombel

Sangat Lebih

Lebih

Sesuai

Kurang

Sangat Kurang

-100 -50 0 50 100 150 200


Sekolah

d. Kecukupan Buku Pelajaran Pokok

• Berapa banyak jumlah sekolah yang murid-muridnya mempunyai buku-buku yang


diperlukan dalam setiap mata pelajaran pokok (rasio buku terhadap murid)?
Gambarkan perkembangan keadaan buku mata pelajaran selama tiga tahun
terakhir. Hal ini untuk melihat sejauh mana perkembangan ketersediaan buku di
tingkat sekolah.

Tabel 33: Perkembangan Rasio Buku Terhadap Siswa

Rasio Buku Terhadap Siswa


Satuan Pendidikan
2005 2006 2007
SD
MI
Total

29
• Lakukan analisis buku menurut mata pelajaran pokok di SD/MI. Hal ini digunakan
untuk melihat buku mata pelajaran apa yang masih kurang dan mata pelajaran apa
yang sudah cukup, bahkan yang kelebihan buku. Tabel berikut menggambarkan
kecukupan buku menurut mata pelajaran pokok di SD/MI.

Tabel 34: Rasio Buku Mata Pelajaran Pokok Terhadap Siswa

Rasio Buku Mata Pelajaran terhadap Siswa


Satuan
Pendidikan Bahasa Mate-
PPKn IPA IPS Lainnya
Indonesia matika
SD
MI
Total

• Berikut ini contoh hasil analisis rasio buku mata pelajaran pokok dengan siswa pada
jenjang SD.

Contoh 12: Rasio Buku Mata Pelajaran Pokok dengan Siswa

Buku Mata Pelajaran Rasio Buku- Siswa

PPKn .88
Bahasa Indonesia 1.24
Matematika 1.04
IPA .81
IPS .65

Dari tabel di atas tampak bahwa buku pelajaran PPKn, IPA, dan IPS masih kurang
dari standar yang ditetapkan (SPM, Kepmen No. 129a tahun 2004), yaitu setiap
siswa memperoleh satu buku untuk setiap mata pelajaran.
Langkah selanjutnya adalah membuat distribusi sekolah berdasarkan rasio buku
siswa, terutama yang termasuk kategori kurang. Contoh berikut adalah distribusi
sekolah dilihat dari rasio buku PPKn terhadap siswa:

Contoh 13: Rasio Buku PPKn terhadap Siswa


Jumlah
Rentangan Persen
Sekolah
< .5 104 39.4
.5 sd. .9 53 20.1
.9 sd. 1.1 28 10.6
1.1 sd. 1.5 35 13.3
> 1.5 44 16.7
Total 264 100.0

Data di atas menunjukkan bahwa pada lebih dari sepertiga jumlah sekolah, satu
buku PPKn dipakai oleh lebih dari dua orang murid.
Lakukan langkah yang sama untuk buku mata pelajaran lainnya.

30
• Setelah menjawab tiga pertanyaan di atas, sebuah indikator gabungan akan
disusun. Indikator gabungan tersebut akan menunjukkan disparitas dalam peluang
untuk belajar di sekolah-sekolah yang memenuhi standar pelayanan minimal
belajar/pendidikan.

• Identifikasilah sekolah-sekolah tersebut dan sajikan dalam tabel berikut ini:

Tabel 35: Daftar Sekolah dengan Kondisi Sangat Kurang

Tingkat
Kecamatan Desa Nama Sekolah Jenis Status Skor
Kemiskinan

4. Mutu Lulusan Sekolah


Mutu lulusan dapat dilihat dari dua aspek yaitu rata-rata nilai ujian sekolah (US) dan
tingkat kelulusan.

Seberapa Tinggikah Nilai Ujian Sekolah (US)?

Tabel 36: Nilai Ujian Sekolah

Rata-rata nilai US tahun ke Trend


Satuan Pendidikan
2005 2006 2007 (+/- )
SD
MI
Total

Selain rata-rata US dari seluruh mata pelajaran, lakukan analisis untuk setiap mata
pelajaran. Hal ini berguna untuk melihat pelajaran apa yang memiliki kinerja rendah.
Tabel berikut merupakan contoh analisis dari salah satu kabupaten:

Contoh 14: Nilai Ujian Sekolah Menurut Mata Pelajaran Pokok


Nilai Ujian Sekolah Mata Pelajaran
Jenis
Pendidikan Bahasa Rata-
Agama PPKn Matematika IPA IPS
Indonesia rata
SD 7.84 7.63 7.54 6.96 7.36 6.92 7.65
MI 7.17 6.92 6.99 6.47 6.59 6.47 6.97
Total 7.80 7.58 7.51 6.93 7.32 6.89 7.61

Tabel di atas dapat memilah tinggi rendahnya mutu pendidikan dalam setiap bidang
studi. Hal ini sangat penting berkaitan dengan program pelatihan dan penyediaan
sarana belajar bagi bidang studi tertentu.

31
Nilai US pada tahun terakhir sekolah dapat dikelompokkan berdasarkan distribusi
kelompok nilai UN seperti tampak pada tabel berikut:

Tabel 37: Distribusi Rata-rata Nilai Ujian Sekolah SD

Jumlah
Rata-rata Nilai US Persen
Sekolah
< 6.0
6.0 – 7.0
7.1 – 8.0
8.1 – 9.0
> 9.0
Total 100%

Dari tabel di atas dapat ditelusuri, sekolah mana yang memperoleh rata-rata US < 6,
serta dapat ditelusuri kaitannya dengan berbagai input pendidikan seperti tampak pada
tabel berikut:

Tabel 38: Daftar Sekolah dengan Capaian US Sangat Rendah


dan Kualitas Layanannya
Rasio Guru Rasio Buku Indeks
Sekolah Rata-Rata US Kelas terhadap terhadap Kerusakan
Rombel Siswa Ruang Kelas

• Seberapa tinggikah keberhasilan para murid dalam menyelesaikan ujian akhir?


Selain rata-rata US, mutu pendidikan juga dapat dilihat dari tingkat kelulusan, yang
ditunjukkan oleh tingkat presentasi kelulusan. Tabel berikut menunjukkan distribusi
sekolah berdasarkan kelompok tingkat kelulusan US.

Tabel 39: Distribusi Tingkat Kelulusan Ujian Sekolah SD

Jumlah
Tingkat Kelulusan (%) Persen
Sekolah
< 81
81 - 85
86 – 90
91 - 95
> 95
Total 100%

32
Lakukan identifikasi sekolah-sekolah dengan tingkat kelulusan paling rendah, di
mana sekolah tersebut berada, mencakup nama desa dan kecamatan, indeks
kemiskinan, dan tingkat kelulusan. Sajikan hasilnya dalam tabel berikut ini:

Tabel 40: Daftar Sekolah dengan Tingkat Kelulusan Rendah


dan Indeks Kemiskinan Desa

Nama Tingkat Indeks


Kecamatan Desa
Sekolah Kelulusan Kemiskinan

Analisis Lebih Jauh terhadap Sekolah dengan Mutu Pendidikan Sangat Rendah

Analisis di bawah ini bertujuan untuk membantu identifikasi sebab-sebab rendahnya


kinerja serta akan berfokus pada proses dan input pendidikan.

1. Proses Pendidikan

Tabel 41: Tingkat Kehadiran Guru di Sekolah

Jumlah
Tingkat Kehadiran Guru %
Sekolah
Sangat Rendah < 80%
Rendah 80 – 84%
Agak Rendah 85 - 89%
Cukup Tinggi 90 – 94%
Tinggi >95%
Total 100%

Penilaian Murid Secara Periodik


Para guru memonitor dan mengevaluasi perkembangan belajar murid berdasarkan
ukuran yang hampir permanen. Dinas pendidikan, lembaga yang paling bertanggung
jawab atas kualitas penyelenggaraan pendidikan, seharusnya tidak secara eksklusif
bergantung pada data yang disediakan sekolah tentang perkembangan belajar murid,
tetapi seharusnya juga memiliki perangkat uji sendiri untuk memeriksa apakah murid
telah mencapai kompetensi-kompetensi yang ditetapkan. Ini sebaiknya dilakukan
secara periodik sepanjang berlangsungnya tahun ajaran dan tidak hanya pada saat
ujian akhir (Ujian Sekolah). SPM terkait menuntut penilaian dilakukan pada murid kelas
tiga dan kelas lima. Untuk menilai apakah murid telah mencapai kompetensi yang
dituntut, tidak perlu dilakukan pada semua murid karena tes berdasarkan sampel
sudah mencukupi. Keuntungan menggunakan tes berbasis sampel adalah efektifitas
pembiayaannya, selain itu lebih cermat dan berhati-hati karena jumlah murid yang
dinilai tidak banyak. Lebih spesifik lagi, SPM menuntut agar 90 persen dari murid yang
mengikuti uji sampel mutu pendidikan standar nasional mencapai nilai “memuaskan”

33
dalam mata pelajaran membaca, menulis, dan berhitung untuk kelas III serta mata
pelajaran bahasa, matematika, IPA, dan IPS untuk kelas V.

Tabel 42: Hasil Uji Sampel Mutu Pendidikan

Hasil Memuaskan Uji Sampel Mutu Jumlah


%
Pendidikan Sekolah

Sangat Rendah < 70% murid


Rendah 70 – 80% murid
Agak Rendah 81 – 90% murid
Tinggi > 90% murid
Total 100%

34
Efisiensi
Sektor pendidikan sejauh ini adalah sektor terbesar yang menyedot antara 30-40 %
APBD. Karena besarnya sektor ini, maka menjadi sangat mendasar bahwa selama
proses perencanaan strategis, diberikan perhatian yang memadai pada indentifikasi
pengukuran untuk meningkatkan efisiensi dalam pelayanan pendidikan. Secara
mendasar pertanyaan-pertanyaan berikut perlu dijawab. Apakah ada peluang untuk
meningkatkan efisiensi sistem pelayanan pendidikan dengan:
a. pengelompokan sekolah atau memperkenalkan pola pengajaran multi-kelas di
sekolah-sekolah dengan jumlah murid yang sedikit?
b. Meningkatkan rasio murid-guru?

Kalau jawabannya ada, ini berarti bahwa jumlah guru yang dibutuhkan lebih sedikit,
yang pada gilirannya akan meluangkan dana yang dapat digunakan untuk pengeluaran
pendidikan yang lain.

Apakah ada kemungkinan pengelompokan sekolah atau memperkenalkan


pengajaran multi-kelas?

• Apakah ada sekolah dengan jumlah murid yang sedikit?


Dari Tabel 14 (distribusi siswa per sekolah) dapat dilihat bahwa terdapat sekolah
dengan jumlah murid sangat sedikit, tentu saja sekolah tersebut tidak efisien. Dari
sekolah-sekolah tersebut perlu dicari data tambahan, yaitu jarak dengan sekolah
lainnya. Jika jaraknya tidak terlalu jauh bahkan ada yang satu halaman, sebaiknya
dilakukan penggabungan (regrouping).

• Apakah ada sekolah dengan kelebihan jumlah guru kelas?


Dari Tabel 32 (distribusi rasio guru kelas terhadap rombel) terdapat y sekolah dengan
jumlah guru berlebih, tentu saja sekolah ini tidak efisien karena kewajiban mengajar
guru tidak akan terpenuhi. Untuk itu perlu direncanakan bagaimana pemecahannya,
apakah melakukan redistribusi, atau pengajaran multi-kelas, pengalihan fungsi
sebagai guru bidang studi, dan lainnya.

35
Bagian Keempat. Jenjang Pendidikan Menengah Pertama
(SMP/MTs)

Pada prinsipnya penyiapan profil pendidikan untuk jenjang pendidikan SMP/MTs sama
seperti jenjang pendidikan SD/MI. Kinerja yang berkaitan dengan ”pemberian layanan
pendidikan tingkat SMP/MTs” juga akan diukur berdasarkan kinerja yang berkaitan
dengan tema pengembangan pendidikan, yaitu ”Peningkatan Akses Pendidikan,
Pemerataan Pendidikan, Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing Bangsa”.
Namun demikian ada beberapa hal yang spesifik untuk SMP/MTs.

Berikut adalah perbandingan antara Profil Pendidikan Dasar Formal dengan Profil
Pendidikan Menengah Pertama Formal.
Contoh 15: Perbedaan Profil Pendidikan Dasar dengan
Pendidikan Menengah Pertama Formal

Perbedaan pada Profil


Sekolah Dasar
Sekolah Menengah Pertama
1. Akses
• APM • APK
• APTS (distribusi 6 kelas) • APTS (distribusi 3 kelas)
• AM • -
2. Pemerataan
• Rasio Jumlah Ruang Kelas dan
• Sama
Jumlah Rombel
• Rasio Jumlah Guru dengan
• Sama
Jumlah Kelas
• Rasio Jumlah Buku dengan
• Sama
Jumlah Murid
3. Peningkatan Mutu
• Nilai US • Nilai UN
• Persentase Kelulusan • Sama
• Angka Mengulang Kelas • Sama
4. Analisis Lanjutan
• Input Pendidikan
• Tingkat Pendidikan Guru • Sama
• Kelengkapan Buku • Sama
• Sarana Prasarana • Sama
• Proses Pendidikan
• Pelaksanaan PTK • Sama
• Partisipasi Guru pada KKG • Partisipasi Guru pada MGMP
• Tingkat kehadiran guru • Sama

36
Perubahan utama adalah interval-interval kelas yang digunakan akan menyesuaikan
dengan keadaan di tingkat SMP, yang memiliki batasan berbeda untuk semua kategori.
Perbedaan yang cukup siginifikan adalah analisis kebutuhan guru antara SD dengan
SMP.

Pada jenjang SD guru mengajar berdasarkan guru kelas, sehingga kebutuhannya sama
dengan jumlah rombongan belajar yang ada. Sedangkan pada jenjang SMP guru
mengajar berdasarkan mata pelajaran. Oleh sebab itu kebutuhan guru dihitung
berdasarkan jumlah rombongan belajar dan jumlah jam pada masing-masing mata
pelajaran, sehingga guru yang dibutuhkan pada satu sekolah untuk mata pelajaran
Bahasa Indonesia akan berbeda dengan guru PPKn, karena jumlah jam Bahasa
Indonesia sebanyak 4 jam, sedangkan PPKn sebanyak 2 jam.
Setiap guru pada jenjang SMP memiliki kewajiban mengajar sebanyak 24 jam
pelajaran per minggu. Dengan demikian jumlah guru yang dibutuhkan pada suatu
sekolah menggunakan rumus:

Jumlah Rombongan Belajar X Jumlah Jam Belajar


Kebutuhan Guru =
24

Data yang tersedia pada profil pendidikan adalah jumlah guru mata pelajaran per
sekolah, sehingga kita dapat menghitung rasio guru mata pelajaran per rombongan
belajar. Rasio ini dapat mengidentifikasi apakah di kabupaten/kota tertentu mengalami
kekurangan atau kelebihan guru mata pelajaran tertentu.
Analisis selanjutnya adalah mengidentifikasi sekolah mana saja yang mengalami
kekurangan atau kelebihan guru mata pelajaran tertentu. Analisis ini sangat penting
bila dikaitkan dengan UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dimana seorang
guru wajib mengajar sekurang-kurangnya 24 jam pelajaran.
Hasil analisis berikut menunjukkan rasio guru terhadap rombongan belajar pada suatu
kabupaten.

Contoh 16: Rasio Guru Mata Pelajaran terhadap Rombel


Rasio Guru terhadap
Guru Mata Pelajaran
Rombel
PPKn .18
Bahasa Indonesia .29
Bahasa Inggris .20
Matematika .29
Fisika .18
Biologi .21
Ekonomi .16
Geografi .15
Teknologi Informasi dan
.11
Komputer
BP .15
Mulok .20
KTK .19

37
Data di atas menunjukkan bahwa guru mata pelajaran Bahasa Inggris memiliki rasio
guru terhadap rombongan belajar sebesar 0,20 berarti guru Bahasa Inggris rata-rata
mengajar di 5 rombongan belajar atau rata-rata mengajar 20 jam pelajaran.

Tabel distribusi berikut merupakan contoh sebaran guru Bahasa Inggris pada suatu
kabupaten:

Contoh 17: Distribusi Rasio Guru Inggris terhadap Rombongan Belajar


Rentangan Rasio Guru Bahasa Jumlah
Persen
Inggris terhadap Rombel Sekolah
< .10 3 8.6
.10 sd. .15 5 14.3
.15 sd .20 9 25.7
.20 sd. .25 7 20.0
> .25 11 31.4
Total 35 100.0

Contoh di atas menunjukkan bahwa walaupun secara rata-rata jumlah guru Bahasa
Inggris lebih dari yang dibutuhkan, namun ternyata terdapat 8 sekolah yang
kekurangan guru Bahasa Inggris dan ada 18 sekolah yang kelebihan guru Bahasa
Inggris.
Analisis selanjutnya adalah mengidentifikasi sekolah-sekolah baik yang mengalami
kekurangan maupun kelebihan guru, seperti pada contoh berikut ini:

Tabel 43: Daftar Sekolah yang Kekurangan Guru Bahasa Inggris

Nama Rasio Guru Bahasa Inggris


Nama Sekolah
Kecamatan terhadap Rombel
Kec A SMP S .... .09
MTs ....... .11

Kec B SMP S ..... .08


MTs ..... .09
MTs ...... .11
SMP 6 ......... .14
Kec C SMP S..... .11
SMPN 4 ... .13

38
Bagian Kelima. Jenjang Pendidikan Sekolah Menengah
Atas (SMA / MA / SMK)
1. SMA / MA
Analisis situasi pada jenjang SMA hampir sama dengan SMP, hanya beberapa
indikotor harus dirinci menurut jurusan/bidang keilmuan yang ada di SMA,
khususnya pada kelas 2, yaitu jurusan IPA, IPS, dan Bahasa.
Kebutuhan guru akan bervariasi sesuai dengan variasi jumlah rombongan belajar
pada masing-masing jurusan/bidang keilmuan. Sebagai ilustrasi, jumlah jam belajar
matematika berbeda antara jurusan IPA dan Bahasa, demikian pula jam belajar
Bahasa Indonesia berbeda pada masing-masing jurusan. Selain berbeda jumlah jam
pelajaran pada bidang ilmu dasar, juga beragam dalam jenis mata pelajarannya,
seperti berikut:

Contoh 18: Sebaran Mata Pelajaran menurut Jurusan di SMA/MA


Jurusan
Mata Pelajaran
IPA IPS Bahasa

1. Pendidikan Agama 2 2 2

2. Pendidikan Kewarganegaraan 2 2 2
3. Bahasa Indonesia 4 4 5
4. Bahasa Inggris 4 4 5
5. Matematika 4 4 3
6. Fisika 4
7. Kimia 4
8. Biologi 4
9. Geografi 3
10. Ekonomi 4
11. Sosiologi 3
12. Sastra Indonesia 4
13. Bahasa Asing 4
14. Antropologi 2
15. Sejarah 1 3 2

16. Seni Budaya 2 2 2

17. Pendidikan Jasmani, Olahraga


2 2 2
dan Kesehatan
18. Teknologi Informasi dan
2 2 2
Komunikasi
19. Keterampilan/ Bahasa Asing 2 2 2
Muatan Lokal 2 2 2
Pengembangan Diri 2*) 2*) 2*)

Catatan : Untuk MA ditambah dengan mata pelajaran keagamaan

39
Indikator lain seperti AMK, APTS, dan mutu lulusan harus dirinci menurut jurusan,
seperti tampak pada tabel berikut:
Tabel 44: Berbagai Indikator berdasarkan Jurusan di SMA/MA
Jurusan
Indikator
IPA IPS Bahasa
APK

APM
AMK
APS
Rasio Guru-Rombel
Rasio Buku-Siswa
Rasio Siswa-Rombel
Rata-Rata UN

2. SMK
Analisis situasi untuk SMK lebih rumit karena jumlah bidang keahliannya lebih
banyak dan unit analisis yang paling memungkinkan hanya pada tingkat kelompok
bidang keahlian seperti SMK Teknologi, SMK Bisnis, dan SMK Pariwisata. Semua
indikator pendidikan dirinci menurut kelompok keahlian tersebut, seperti:

Tabel 45: Berbagai Indikator berdasarkan Kelompok Keahlian di SMK


Kelompok Keahlian pada SMK
Indikator
Teknologi Bisnis Pariwisata
APK

APM

AMK
APS
Rasio Guru-Rombel
Rasio Buku-Siswa
Rasio Siswa-Rombel
Rata-Rata UN

Jika masing-masing kelompok keahlian pada SMK jumlahnya sangat sedikit, maka
sebaiknya menggunakan RPS/RKS pada masing-masing SMK, tinggal memilah
program mana yang dapat dilakukan langsung oleh sekolah dan program mana
yang lebih efisien dan efektif jika dilakukan pada tingkat kabupaten/kota.
Analisis kebutuhan pengembangan SMK harus dikaitkan dengan potensi daerah
masing-masing, bahkan SMK dapat dikembangkan menjadi sekolah berkeunggulan
lokal.

40
Bagian Keenam. Pendidikan Luar Sekolah

6.1. Pendidikan Keaksaraan


Profil pendidikan juga difokuskan pada Peningkatan Akses Pendidikan Keaksaraan.
Peningkatan Akses Pendidikan pada tingkat ini adalah untuk menjawab pertanyaan:
bagaimana angka melek aksara penduduk usia 15 - 44 tahun?

1. Peningkatan Akses
• Pertama-tama kita akan melihat bagaimana perkembangan tingkat buta aksara
selama tiga tahun terakhir. Pertanyaan kuncinya adalah apakah tingkat buta aksara
menjadi lebih kecil, tetap stabil, atau bertambah selama tiga tahun terakhir.

Tabel 46: Tingkat Buta Aksara Kabupaten/Kota

Angka Buta Aksara Trend


2005 2006 2007
(ABA) (+/- %)
Laki_laki
Perempuan
Total

• Identifikasi desa-desa yang tingkat buta aksara (ABA)-nya tinggi

Tabel 47: ABA pada Tingkat Desa


Jumlah
ABA (%) Persen
Desa
> 9.0
8.0 -9.0
7.0 – 8.0
6.0 – 7.0
<5
Total 100%

• Fokuslah terhadap desa yang ABA-nya tinggi dan jawablah pertanyaan berikut ini:
a. Di manakah sekolah-sekolah ini berada ?
b. Bagaimanakah tingkat kemiskinan di desa/daerah ini ?

Tabel 48: Desa dengan ABA Tinggi menurut Lokasi dan Tingkat Kemiskinan
Angka Penyandang Indeks
Desa Kecamatan
Buta Aksara Kemiskinan

41
• Identifikasi layanan penyelengaraan pendidikan keaksaraan.
Layanan pendidikan keaksaraan dapat dilihat dari ketersediaan Pusat Kegiatan
Belajar Masyarakat (PKBM), Taman Bacaan Masyarakat (TBM), dan tutor
keaksaraan. Jumlah dan jenis layanan keaksaraan ini dapat dirinci menurut
kecamatan sebagai berikut:

Tabel 49: Jenis Layanan Pendidikan Keaksaraan


Jumlah Penyandang Tutor
Kecamatan PKBM TBM
Buta Aksara Keaksaraan

6.2. Pendidikan Kesetaraan


Pada bagian ini perlu disajikan perkembangan jumlah peserta didik tiga tahun terakhir
menurut jenjang dan sumber pendanaan. Sumber pendanaan penting disajikan untuk
melihat kontribusi kabupaten/kota pada program pendidikan non-formal. Tabel berikut
memberikan gambaran tentang perkembangan jumlah peserta didik program
kesetaraan.
Tabel 50: Perkembangan Jumlah Peserta Didik Program Kesetaraan

Jumlah Peserta Didik menurut Sumber Dana

Program 2005 2006 2007


APBN APBD APBN APBD APBN APBD
Paket A
Paket B
Paket C

Selain perkembangan jumlah peserta didik program pendidikan kesetaraan menurut


jenjang pendidikan, informasi lain yang dibutuhkan adalah jumlah sasaran program
pada masing-masing jenjang pendidikan. Informasi ini penting untuk menetapkan
target/sasaran program lima tahun ke depan.
Tabel 51: Jumlah Sasaran Pendidikan Kesetaraan menurut Jenis Kelamin

Sasaran menurut Jenjang Program Pendidikan Kesetaraan


Jenis kelamin
Paket A Paket B Paket C
Laki-laki
Perempuan
Jumlah

42
6.3. Pendidikan Keterampilan Hidup
Pada bagian ini disajikan informasi tentang perkembangan jumlah peserta didik
program pendidikan keterampilan hidup menurut sumber dana, apakah berasal dari
pemerintah, APBN/APBD, atau dari masyarakat.
Jumlah dan jenis program keterampilan hidup di kabupaten/kota sangat bervariasi,
namun dapat dikelompokkan menurut kelompok program, seperti tampak pada tabel
berikut:

Tabel 52: Perkembangan Jumlah Peserta Pendidik Keterampilan Hidup menurut


Sumber Dana tahun 2005 sd. 2007

Jumlah Peserta Didik menurut Sumber Dana


Program
Keterampilan Hidup 2005 2006 2007
(Kursus) APBN/D Masy APBN/D Masy APBN/D Masy
Otomotif/Perbengkelan
Pertukangan
Tata rias
Akuntansi/Bisnis
Elektronik/Komputer
Lainnya ...... sebutkan
Jumlah

Selain perkembangan jumlah peserta didik program pendidikan keterampilan hidup,


informasi lain yang dibutuhkan adalah jumlah sasaran program pada masing-masing
minat. Informasi ini penting untuk menetapkan target/sasaran program lima tahun ke
depan, seperti tampak pada tabel berikut:

Tabel 53: Jumlah Sasaran Program Keterampilan Hidup Menurut Minat

Jumlah Sasaran Jenis Kelamin


menurut minat Laki-laki Perempuan
Otomotif/Perbengkelan
Pertukangan
Tata rias
Akuntansi/Bisnis
Elektronik/Komputer
Lainnya ...... sebutkan
Jumlah

43
Bagian Ketujuh. Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Penerapan Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen berdampak
besar pada pengelolaan SDM di tingkat daerah. Untuk mengelola sumber daya
manusianya secara efektif, daerah membutuhkan data guru yang terperinci . Hal ini
menuntut adanya sistem informasi berbasis guru. Belakangan ini sistem informasi
tersebut sedang diperkenalkan di tingkat daerah. Sistem ini disebut Nomor Unik
Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Karena data ini sedang dalam penyusunan, para
perencana di tingkat daerah harus mempersiapkan perencanaan untuk SDM sebagai
bagian dari Renstra Dinas Pendidikan berdasarkan tabel di bawah ini. Pada saat sistem
baru tersebut sudah diterapkan di tingkat daerah, para perencana di daerah akan
memiliki informasi yang jauh lebih rinci untuk menentukan rencana pengembangan
SDM.

Tabel di bawah ini akan membantu menjawab pertanyaan berikut:

• Berapa jumlah guru yang dimiliki daerah dan berapa dari mereka yang perempuan?

Tabel 54: Jumlah Guru Menurut Jenjang Pendidikan,


Status Guru, dan Jenis Kelamin

Jenjang Pend
SD SMP SMA / SMK Jumlah

L P L P L P L P
Status guru
PNS
Non PNS
Jumlah

• Berapa guru yang harus ditingkatkan kualifikasinya menjadi D4/S1?


Sebagai implikasi dari UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, guru SD
sampai dengan SMA/SMK harus berkualifikasi S1/D4, untuk itu tingkat pendidikan
guru harus dirinci agar perencanaan peningkatan kualifikasi guru lebih jelas.

Tabel 55: Distribusi Tingkat Pendidikan Guru

Jumlah
Pendidikan Guru Persen
guru
SLTA
D1
D2
D3/SM
S1/D4
Pascasarjana (S2)
Total

44
• Bagaimana distribusi usia guru dan kapan mereka akan memasuki pensiun?
Mengetahui umur guru berkaitan dengan proyeksi pemenuhan kebutuhan guru yang
diakibatkan oleh masa pensiun.

Tabel 56: Distribusi Usia Guru

Usia Guru Jumlah guru Persen

<40
40 – 45
46 – 50
51 – 55
>55
Total

Guru yang berusia lebih dari 55 tahun adalah guru yang akan pensiun empat tahun
ke depan. Adanya data proyeksi jumlah guru yang akan pensiun sangat penting untuk
mengantisipasi kekosongan guru secara mendadak. Guru yang berada dalam
kelompok ini perlu didaftar menurut sekolah, masa kerja, golongan, status
kepegawaian, dan alamat lengkap.

Tabel 57: Daftar Guru dengan Usia > 55 Tahun


Usia Guru Jumlah
Masa Pensiun
> 55 tahun Guru
60 tahun Pensiun tahun ini
59 tahun Pensiun satu tahun ke depan
58 tahun Pensiun dua tahun ke depan
57 tahun Pensiun tiga tahun ke depan
56 tahun Pensiun empat tahun ke depan
Total

Catatan: lakukan identifikasi guru-guru tersebut bertugas di sekolah mana,


lengkap dengan alamat sekolahnya.

• Sudah berapa lamakah mereka mengajar?


Masa kerja guru perlu diindentifikasi berkaitan dengan program pengembangan staf,
terutama dengan peluang kesempatan untuk mengikuti berbagai pelatihan dan
pengembangan profesi lainnya.

45
Tabel 58: Distribusi Masa Kerja Guru

Masa Kerja sebagai Guru Jumlah Guru Persen

<5
5–9
10 – 14
15 – 19
20 – 24
>24
Jumlah

Biasanya pangkat/golongan guru SD tertinggi sampai dengan golongan IVa, karena


untuk naik pangkat dari IVa ke IVb mereka harus membuat karya tulis. Untuk itu
diperlukan perencanaan yang matang bagaimana mempersiapkan mereka, dengan
cara mengidentifikasi golongan mereka.

Tabel 59: Distribusi Pangkat/Golongan Guru


Masa Kerja sebagai Rata-rata Jumlah
Persen
Guru Masa Kerja Guru
IIa - IIb
IIc - IId
IIIa- IIIb
IIIc - IIId
IVa - IVb
Jumlah

Untuk menetapkan prioritas dan kelayakan peningkatan kualifikasi diperlukan


daftar guru yang belum D4/S1 dilengkapi dengan usia dan tempat tugas. Hal ini
penting karena berkaitan dengan nilai tambah bagi sekolah.

Tabel 60: Daftar Guru dengan Pendidikan < D4/S1

Nama Guru Pendidikan Usia Tempat Tugas Golongan

Catatan : Daftar lengkap jadikan lampiran

Pada jenjang SMP/SMA/SMK, selain tingkat pendidikan, perlu diidentifikasi kesesuaian


antara latar belakang pendidikan guru dengan mata pelajaran yang diajarkan sekarang.
Hal ini penting mengingat masih ada banyak guru yang mengajar mata pelajaran yang
tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Untuk menjaring situasi tentang
masalah tersebut perlu dibuat instrumen khusus, karena melalui kuesioner yang ada
selama ini kondisi tersebut tidak dapat diketahui.

46
Tabel 61: Kesesuaian Latar Pendidikan Guru dengan Bidang yang Diajarkan

Guru yang Rasio guru yang


Guru Mata Pelajaran Jumlah Guru
tidak sesuai tidak sesuai
Agama
PPKn
Bahasa Indonesia
Bahasa Inggris
Matematika
Fisika
Biologi
Kimia
Geografi
Sejarah Budaya
Ekonomi
Sosialogi
Seni
Penjaskes
ICT
Muatan Lokal

Pada contoh di bawah, perbandingan tingkat pendidikan guru SD/MI dengan guru
SMP/MTs seperti yang tampak pada contoh jenjang pendidikan guru di salah satu
kabupaten, menunjukkan bahwa pada jenjang SD/MI, guru yang berpendidikan S1/D4
baru mencapai 20,6%; sedangkan pada jenjang SMP/MTs mencapai 67%.
Kesenjangan pendidikan guru SD/MI dan SMP/MTs dengan persyaratan minimal
pendidikan guru S1/D4 cukup besar.

Contoh 19: Perbandingan Jenjang Pendidikan Guru SD/MI dengan


Guru SMP/MTs

Jenjang Pendidikan Guru SD/MI Jenjang Pendidikan Guru SMP/MTs

Jenjang Jumlah Persen Tingkat Jumlah


Pendidikan Guru Pendidikan Guru Persen
SMA 507 22.9 D1 101 11.5
D1 29 1.3 D2 79 9.0
D2 1172 52.5 D3 78 8.8
D3 50 2.2 S1 590 66.9
S1 459 20.6 S2 10 1.1
S2 1 .0 Total 882 100.0
Total 2218 100.0

47
Bagian Kedelapan. Manajemen Pelayanan Pendidikan
Untuk meningkatkan penyelenggaraan pendidikan, dibutuhkan perubahan besar yang
mendasar dalam pengelolaan pendidikan baik di tingkat daerah maupun di tingkat
sekolah. Di tingkat daerah, birokrasi pendidikan harus melakukan reorientasi diri
sehingga lebih berorientasi pada mereka yang dilayani (client) dan harus memahami
bahwa tugas mereka dalam memberikan layanan pendidikan dibiayai oleh uang
pembayar pajak. Hal ini menuntut perubahan dari praktik-praktik manajemen otoriter
menjadi manajemen yang berorientasi pada klien dengan kesempatan yang cukup bagi
partisipasi komunitas, praktik manajemen yang transparan, dan mekanisme
akuntabilitas yang efektif.
Hal yang sama berlaku di tingkat sekolah. Kepala sekolah harus lebih terbuka dalam
praktik manajemennya, membuka kemungkinan keterlibatan komunitas dan
menghitung pencapaian sekolah. Untuk mencapai hal-hal di atas, pemerintah
memperkenalkan pembentukan komite sekolah dan dewan pendidikan yang akan
menjadi badan perwakilan dimana komunitas dapat menyuarakan aspirasi mereka
serta berpartisipasi dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan.

1. Komite Sekolah
Apakah komite sekolah secara aktif terlibat dalam pembangunan sekolah?
Komite Sekolah:
a. terbentuk 2 poin
b. bertemu setidaknya 4 kali setahun 2 poin
c. terlibat aktif dalam perencanaan sekolah (RPS/RKS dan/atau RAPBS) 4 poin
d. terlibat aktif dalam pengawasan implementasi perencanaan 4 poin

Tabel 62: Kinerja Komite Sekolah

Kinerja Komite Sekolah Jumlah Sekolah %

Sangat Rendah 2
Rendah 4
Cukup 6
Tinggi 8
Sangat Tinggi >10
Total 100%

2. Dewan Pendidikan
Pertanyaan kunci yang harus dijawab: Apakah daerah telah memiliki dewan pendidikan
yang efektif?
a. terbentuk 2 poin
b. bertemu paling tidak 6 kali setahun 2 poin
c. terlibat aktif dalam perencanaan pendidikan (Renstra SKPD) 4 poin
d. terlibat aktif dalam pengawasan implementasi perencanaan 4 poin
e. terlibat aktif dalam persiapan kebijakan pendidikan 2 poin

48
Tabel 63: Kinerja Dewan Pendidikan

Kinerja Dewan Pendidikan

Sangat Rendah 4
Rendah 6
Cukup 8
Tinggi 10
Sangat Tinggi >10

3.2. Langkah Kedua: Identifikasi Program pada RKS dan


RPK
Langkah ini bertujuan untuk mengidentifikasi program-program pada RPS/RKS dan
RPK yang dapat diagregat ke dalam program Renstra. Program-program yang ada di
bawah SKPD dalam hal ini Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota harus termuat dalam
Renstra. Integrasi RPS/RKS dan RPK tampak pada Bagan 2 tentang langkah-langkah
penyusunan rencara strategis Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.
Identifikasi program pada RPS/RKS
Lakukan identifikasi program-program pada RPS/RKS baik yang dikembangkan oleh
DBE1 maupun oleh agensi lain, termasuk Ditjen Dikdasmen, dengan kriteria sebagai
berikut:
• Program tersebut menjadi program bersama atau program yang paling banyak
muncul.
• Program yang tidak efisien jika dilakukan pada tingkat satuan pendidikan
(sekolah), misalnya pelatihan guru bidang studi.
• Program strategis sekolah, tetapi sekolah tidak mampu membiayai secara
mandiri, seperti pengadaan laboratorium, harus menjadi program dinas
pendidikan kabupaten/kota.

Identifikasi program pada RPK


Lakukan identifikasi program-program yang ada pada rencana pengembangan
kapasitas (RPK) kabupaten/kota, yang berkaitan dengan pengembangan kapasitas
dinas pendidikan, khususnya yang berkaitan dengan pengembangan kapasitas
personil dan kelembagaan.
Program-program yang telah teridentifikasi melalui proses analisis tersebut harus
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari program-program Renstra, khususnya
yang mendukung pilar ketiga, yaitu pilar tata kelola dan pencitraan publik.

49
3.3. Langkah Ketiga: Identifikasi Program yang Berhasil
pada Periode Perencanaan Sebelumnya
Langkah ini bertujuan untuk mengidentifikasi program yang berhasil pada periode
perencanaan sebelumnya (good practices) dan mampu meningkatkan kinerja
pendidikan pada indikator tertentu, seperti peningkatan angka partisipasi pendidikan
(APS), menurunkan AMK dan APTS, meningkatkan mutu lulusan, dan lain-lain.
Program-program tersebut harus dilanjutkan pada periode perencanaan yang akan
datang agar ada kesinambungan. Analisis akan berfokus pada:
• Keberhasilan program yang telah dilakukan: program untuk peningkatan akses,
pemerataan, dan mutu pendidikan untuk semua jenjang pendidikan.
• Keefektifan biaya dengan membandingkan jumlah biaya dengan peningkatan
yang telah dicapai.
• Pengambilan keputusan apakah program akan dilanjutkan secara utuh,
dilanjutkan dengan modifikasi, atau tidak dilanjutkan.

Lihat contoh sebagai berikut:

Program untuk meningkatkan APK


♦ Nama program: .....................................................................................
• Kontribusi pada kenaikan: ...............................................................
• Biaya yang telah dikeluarkan: .........................................................
• Status Program:
a) perlu diperkuat/dilanjutkan secara utuh.
b) dilanjutkan dengan modifikasi.
c) tidak dilanjutkan.
d) lain-lain.
• Sebutkan alasan utama keputusan tersebut: ...................................

3.4 Langkah Keempat: Merumuskan Isu Strategis

Pada dasarnya terdapat dua jenis isu strategis, internal dan eksternal. Isu internal
berkaitan dengan kondisi mutakhir penyelenggaraan pendidikan. Berdasarkan profil
pendidikan kita akan mengidentifikasi area-area dimana kinerja penyelenggaraan
pendidikan masih belum memuaskan (misalnya partisipasi yang rendah, angka
mengulang kelas yang tinggi, rendahnya transisi dari pendidikan dasar ke pendidikan
menengah, kondisi sekolah yang buruk, dan kualitas pendidikan yang rendah).
Kemudian kita akan mengidentifikasi penyebab dari rendahnya kinerja tersebut dan
langkah terakhir adalah memutuskan apakah kinerja yang tidak efisien tersebut begitu
serius sehingga perlu dijadikan isu strategis yang akan disampaikan dalam proses
perencanaan.

50
Bagan 4
Identifikasi Isu Strategis

Kodisi nyata Kodisi Ideal

Masalah

Analisis
Penyebab
Masalah

Isu eksternal berkaitan dengan perubahan pada karakter perencanaan yang


berdampak langsung pada sektor pendidikan. Seringkali perubahan ini berbentuk
undang-undang atau peraturan pemerintah baru, maupun kebijakan di tingkat pusat
atau daerah yang baru. Perubahan pada karakter kebijakan akan menyediakan
kesempatan untuk memperkuat atau memberikan ancaman baru pada
penyelenggaraan pendidikan. Contoh pertama adalah diperkenalkannya program BOS,
yang secara signifikan meningkatkan pendanaan di tingkat sekolah untuk membiayai
pengeluaran operasional. Sedangkan krisis ekonomi akhir tahun 1990-an lalu adalah
contoh ancaman bagai penyelenggaraan pendidikan.

1. Isu Strategis Internal

Pertanyaan-pertanyaan berikut dapat digunakan untuk membantu mengidentifikasi


isu-isu strategis internal.

Akses
• Apakah partisipasi bersekolah berada di bawah tingkat yang diharapkan (lihat
Inpres no. 5)? Jika ya, apakah hal itu disebabkan oleh anak yang tidak masuk
sekolah, putus sekolah, atau tidak melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi.
• Kalau anak tidak bersekolah atau tidak melanjutkan ke tingkat pendidikan yang
lebih tinggi, apakah hal ini disebabkan oleh tidak adanya kesempatan bersekolah,
atau dengan kata lain kurangnya fasilitas sekolah? Hal ini disebut masalah di sisi
penyediaan pendidikan. Atau sebaliknya, ada kesempatan bersekolah tapi anak-
anak tidak bersekolah karena kemiskinan. Ini adalah masalah di sisi permintaan
pendidikan.

51
• Kalau masalahnya adalah penyediaan pendidikan, apakah hal itu berkaitan dengan
kurangnya fasilitas bersekolah secara umum, distribusi yang lemah, atau kurangnya
infrastruktur transportasi?
• Kalau masalahnya adalah permintaan pendidikan, apakah hal itu berkaitan dengan
biaya di sekolah lanjutan atau pengeluaran sekolah lainnya, kesulitan orang tua
membayar biaya sekolah anak-anak mereka (transportasi atau pengeluaran anak
sekolah lainnya), atau kurangnya kesadaran akan pendidikan.

Pemerataan
• Apakah masih ada perbedaan yang lebar berkaitan dengan kondisi belajar antar
sekolah? Jika ya, apakah hal itu berkaitan dengan bangunan sekolah dan ruang
kelas, jumlah guru, buku, atau kombinasi antara hal-hal tersebut?
• Apakah sekolah dengan kondisi belajar yang buruk terletak di wilayah yang
spesifik? Jika ya, di mana: (i) pedesaan terpencil, (ii) pedesaan biasa, (iii)
perkotaan, (iv) tersebar merata di semua lokasi?
• Apakah sekolah dengan kondisi belajar yang buruk itu adalah: (i) sekolah negeri,
(ii) sekolah swasta, (iii) sekolah swasta dan negeri, (iv) sekolah umum,
(v) madrasah, (vi) sekolah umum maupun madrasah?
• Apakah penyebab kondisi belajar yang buruk tersebut? Misalnya, karena sedikitnya
jumlah murid, lokasi, atau bencana alam.

Peningkatan Mutu
• Identifikasi apakah kualitas pendidikan termasuk isu strategis atau bukan dengan
membuat perbandingan dengan kualitas pendidikan di daerah lain dalam satu
provinsi. Apakah rendahnya kualitas berkaitan dengan rendahnya hasil ujian akhir
atau tingginya angka mengulang. Apabila kualitas pendidikan tidak memuaskan,
identifikasi sebab-sebab rendahnya kualitas pendidikan dengan berfokus secara
berurutan pada hambatan input dan proses.
Hambatan Input
• Faktor guru, misalnya: (i) keterbatasan guru, (ii) kualifikasi guru.
• Faktor sarana, misalnya: (i) imbangan jumlah buku dengan jumlah murid, (ii) sarana
belajar (alat peraga) yang kurang baik – kuantitas maupun kualitas.
• Faktor murid, misalnya (i) ketidaksiapan murid; kalau ya, apakah diakibatkan oleh
situasi ekonomis (kurang gizi, tidak sarapan, sakit, tidak dapat masuk setiap hari),
(ii) banyak murid berasal dari keluarga miskin.

Hambatan PBM
• Faktor proses pembelajaran, misalnya (i) kurikulum, (ii) materi yang diajarkan dan
metode mengajar, (iii) daya serap kurikulum, (iv) perbedaan antara materi yang
diberikan dengan materi ujian, (v) metode mengajar guru, (vi) persiapan guru.
• KKG/MGMP yang tidak efektif.
• Tidak terpenuhinya waktu tugas karena guru tidak hadir dan sebagainya.
• Tidak ada ujian periodik terhadap siswa sebagai alat/instrumen evaluasi dan
penyesuaian.

Dukungan Dinas/UPTD

52
• Pada tingkat Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dukungan yang diberikan dapat
berupa: implementasi desentralisasi pendidikan melalui penyusunan Renstra SKPD
secara partisipatif dan pengelolaan SDM (tenaga pendidik dan tenaga kependidikan
di sekolah maupun non sekolah).
• Pada tingkat sekolah berupa : implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS),
penyusunan RPS/RKS secara partisipatif, kualitas RPS/RKS, pengelolaan personal,
dan pengelolaan fasilitas termasuk lingkungan sekolah.

2. Isu Strategis Eksternal


Identifikasi perubahan-perubahan pada kerangka kerja kebijakan dan peraturan yang
akan berdampak besar pada penyelenggaraan pendidikan di tingkat daerah. Analisa
secara detil kebijakan-kebijakan pemerintah yang ada, baik pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah, baik yang diperkirakan akan diberlakukan, maupun yang sudah
ada tetapi belum mulai diimplementasikan. Kebijakan tersebut dapat berbentuk
undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan/peraturan presiden, perda atau
keputusan-keputusan menteri maupun bupati/walikota. Misalnya, Undang-undang Guru
dan Dosen serta Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Guru dapat
memberikan dampak-dampak berikut ini bagi Pemda / Dinas Pendidikan:
(i) pengalokasian dana untuk menutup pembiayaan pengembangan guru;
(ii) pengembangan kebijakan seleksi guru yang akan berpartisipasi dalam program
(siapa yang terlibat, bagaimana dengan guru di daerah terpencil, dan lain-lain);
(iii) pengembangan pendekatan yang paling menguntungkan dari investasi pada guru;
(iv) pengembangan sistem evaluasi untuk menilai efektifitas program.
Program BOS adalah contoh yang lain lagi. Dengan program ini, sekolah mendapat
dana yang signifikan untuk menutup pengeluaran operasional, namun pada saat yang
sama program ini membatasi mobilisasi sumber-sumber dari komunitas. Program BOS
juga berdampak pada perencanaan pendidikan di tingkat daerah, karena
pengembangan perencanaan pendidikan daerah harus disesuaikan dengan rencana-
rencana kegiatan yang akan dilakukan di tingkat sekolah.
Di samping analisis terhadap kerangka kerja kebijakan dan peraturan, perhatian juga
harus diberikan pada perkembangan-perkembangan lain seperti ekonomi, peran sektor
swasta, termasuk investasi.

53
4. TAHAP II : MENYIAPKAN VISI, MISI, DAN
TATA NILAI
Setelah pemilihan bupati/walikota baru, semua dinas harus menyesuaikan visi, misi,
dan tata nilai dengan visi, misi, dan tata nilai dari bupati/walikota baru terpilih. Bagian
ini akan menjelaskan bagaimana cara merumuskan atau menyesuaikan visi, misi, dan
tata nilai tersebut. Proses ini akan dilakukan dalam tiga langkah: (1) merumuskan Visi,
(2) merumuskan Misi, dan (3) merumuskan Tata Nilai Dinas Pendidikan.

4.1 Langkah Pertama: Merumuskan Visi


Untuk menjadi organisasi yang efektif, Dinas Pendidikan harus memiliki haluan yang
jelas. Visi memberikan haluan dan menjelaskan apa yang ingin dicapai oleh Dinas
Pendidikan. Visi sebaiknya menjawab pertanyaan : “Apa yang akan terjadi di dunia
kalau organisasi ini berhasil?” Dengan kata lain, ”visi adalah rumusan umum mengenai
keadaan yang diinginkan pada akhir periode perencanaan untuk mewujudkan satu
sasaran yang mungkin dicapai dalam jangka waktu tertentu”.1 Para jajaran organisasi
harus secara langsung dapat menarik kaitan antara pekerjaan mereka dengan visi
organisasi. Visi tidak dipakai untuk menjelaskan bagaimana organisasi ini menampilkan
dirinya di depan publik dan juga tidak merupakan jargon maupun moto.
Elemen kunci visi dari organisasi pemerintah yang sukses adalah komitmen organisasi
dan jajarannya untuk melayani masyarakat.

Contoh 20: Visi Dinas Pendidikan

Terwujudnya Pendidikan yang Merata, Berkualitas,


Kompetitif, dan Dilandasi oleh Nilai-Nilai Keunggulan Lokal.

Langkah-langkah mempersiapkan / memperbaharui visi Dinas Pendidikan:


1. Pelajari visi dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP). Ini penting
untuk menjaga kesinambungan perspektif jangka panjang.
2. Pelajari secara seksama visi kepala daerah terpilih dan tentukan: (i) seberapa
jauh visi itu berbeda dengan visi jangka panjang kabupaten/kota, dan (ii) apa
dampak perbedaan ini pada Dinas Pendidikan.
3. Pelajari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM-Daerah).
4. Pelajari Visi Renstra Departemen Pendidikan Nasional untuk meyakinkan
bahwa visi kabupaten/kota berada satu jalur dengan visi nasional pendidikan.
5. Pelajari kemajuan dalam penyediaan layanan pendidikan berkualitas. Dengan
menimbang perkembangan terakhir ini, visi menjadi lebih realistis, sehingga
lebih efektif sebagai panduan bagi Dinas Pendidikan.
6. Konsultasikan sebanyak mungkin dengan jajaran Dinas Pendidikan dan para
pemangku kepentingan di luar organisasi. Pemangku kepentingan bisa berasal

1
Definisi ini adalah kutipan langsung dari SE Mendagri No. 50 tentang Petunjuk Penyusunan Dokumen RPJP
Daerah dan RPJM Daerah (Agustus 2005). Biasanya visi tidak mencakup periode waktu yang harus dipenuhi
untuk mencapainya, tetapi lebih sebagai panduan organisasi untuk jangka waktu yang lama. Definisi di atas
secara jelas menunjukkan bahwa Departemen Dalam Negeri ingin memastikan bahwa semua dinas akan
mensejajarkan visi mereka (dan misi) dengan visi (dan misi) Kepala Daerah yang baru terpilih.

54
dari perwakilan Dewan Pendidikan, masyarakat madani, kepala sekolah, guru,
dan komite sekolah.
7. Apabila diperlukan, sesuaikan visi Dinas Pendidikan berdasarkan langkah 1
sampai 6, sehingga sejalan dengan visi bupati/ walikota baru.
Walau demikian, saat merevisi visi Dinas Pendidikan, satu hal yang harus selalu diingat
sebagai prinsip: lakukan perubahan visi sesedikit mungkin. Sebab, organisasi yang
terlalu sering mengubah tujuan-tujuan strategisnya, sebagaimana diformulasikan dalam
visi, selain akan kehilangan kredibilitas, juga akan gagal meraih tujuan-tujuannya.
Singkatnya, sedapat mungkin pertahankan visi yang sudah ada.

4.2 Langkah Kedua: Merumuskan Misi


Misi menjawab pertanyaan ini: Mengapa organisasi ini ada? Misi adalah garis besar
dari apa yang hendak dicapai oleh organisasi. Dengan kata lain, misi adalah rumusan
umum mengenai upaya-upaya yang akan dilaksanakan untuk mewujudkan visi.

Contoh 21: Misi Dinas Pendidikan

1. Mewujudkan pendidikan yang berpihak kepada kelompok sasaran (satuan pendidikan


/ masyarakat) yang memerlukan perhatian khusus.
2. Mewujudkan pendidikan yang merata bagi semua anak usia sekolah
3. Mewujudkan pendidikan yang efektif untuk mempersiapkan peserta didik yang
memiliki ketrampilan tinggi dalam menghadapi era globalisasi.
4. Menata Sistem Manajemen Pendidikan yang transparan, efektifitas, efisien, dan
akuntabel.

Berikut ini adalah langkah-langkah mempersiapkan misi Dinas:


1. Pelajari misi dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP). Ini
penting untuk menjaga kesinambungan perspektif jangka panjang.
2. Pelajari secara terperinci misi kepala daerah terpilih dan tentukan: (i) sampai di
mana misi itu berbeda dengan misi jangka panjang kabupaten/kota, (ii) apa
dampak perubahan ini pada Dinas Pendidikan.
3. Pelajari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM-Daerah).
4. Pelajari pencapaian-pencapaian terakhir dalam penyediaan layanan pendidikan
berkualitas.
5. Konsultasikan sebanyak mungkin dengan jajaran Dinas Pendidikan dan para
pemangku kepentingan di luar organisasi. Pemangku kepentingan bisa berasal
dari perwakilan Dewan Pendidikan, masyarakat madani, kepala sekolah, guru,
dan komite sekolah.
6. Apabila diperlukan, sesuaikan misi Dinas Pendidikan berdasarkan langkah 1
sampai 5, sehingga sejalan dengan misi bupati/ walikota yang baru terpilih.
Prinsip panduan pada formulasi visi juga berlaku pada formulasi misi: lakukan
perubahan sesedikit mungkin. Sebab organisasi yang terlalu sering mengubah tujuan-
tujuan strategisnya, selain akan kehilangan kredibilitas, juga akan gagal meraih tujuan-
tujuannya. Singkatnya, sedapat mungkin pertahankan misi yang sudah ada.

55
4.3 Langkah Ketiga: Merumuskan Tata Nilai
Selain visi dan misi, organisasi dengan kinerja yang tinggi sering kali juga merumuskan
tata nilai organisasi, yang akan membentuk karakter organisasi serta memberikan
acuan untuk organisasi dan jajarannya.

Contoh 22: Tata Nilai Dinas Pendidikan

Dinas Pendidikan akan menyediakan kesempatan yang setara dalam mengakses


pendidikan tanpa memandang ras, jenis kelamin, daerah, dan agama. Dinas
Pendidikan akan melaksanakan misinya berdasarkan prinsip-prinsip tata pelayanan
yang baik, dalam artian seluruh jajaran Dinas Pendidikan baik di tingkat
kabupaten/kota, kecamatan, serta kepala sekolah dan guru, akan menjalankan
kewenangannya secara transparan, partisipatif, dan akuntabel. Daya tanggap terhadap
kebutuhan sekolah akan menjadi panduan dalam perencanaan di tingkat
kota/kabupaten. Akhirnya, Dinas Pendidikan akan mempromosikan bentuk organisasi
yang ramping agar sebagian besar sumber daya keuangan berada di tingkat sekolah
untuk kepentingan murid.

Berikut ini adalah langkah-langkah mempersiapkan / memperbaharui tata nilai Dinas


Pendidikan:
1. Pelajari visi dan misi Dinas Pendidikan dan periksa apakah visi dan misi
tersebut telah mencakup tata nilai. Apabila ya, keluarkan tata nilai dari rumusan
visi/misi dan buatlah tata nilai secara terpisah.
2. Pelajari Renstra Departemen Pendidikan Nasional karena dokumen ini
mencantumkan bagian khusus tentang nilai dari departemen dan juga
mengidentifikasi relevansi nilai itu untuk tingkat kabupaten/kota.
3. Konsultasikan dengan jajaran Dinas Pendidikan untuk mencari konsensus tata
nilai organisasi. Batasi jumlah nilai ini, misalnya sampai 6 buah, sebab bila
sebuah organisasi memiliki terlalu banyak nilai-nilai, staf akan menghadapi
kesulitan dalam membedakan antara mana nilai yang utama dan yang bukan.

Apabila organisasi telah memiliki tata nilai, jangan diubah atau minimalkan perubahan
karena organisasi membutuhkan tata nilai yang stabil.

56
5. TAHAP III: MERUMUSKAN TUJUAN,
SASARAN, STRATEGI, DAN KEBIJAKAN
Pada tahap sebelumnya kita telah memfokuskan pada bagaimana mempersiapkan visi,
misi, dan tata nilai. Fokus tahap ini adalah bagaimana:
• Merumuskan tujuan dan sasaran.
• Menyusun strategi untuk mencapai tujuan dan sasaran di atas.
• Menentukan kebijakan-kebijakan sebagai panduan pengembangan program.

5.1 Langkah Pertama: Merumuskan Tujuan dan Sasaran


Langkah pertama dalam proses perencanaan adalah menerjemahkan visi dan misi ke
dalam tujuan yang merupakan penjabaran visi SKPD sebagai upaya mewujudkan visi
dan misi pembangunan jangka menengah dan dilengkapi dengan rencana sasaran
yang hendak dicapai.
Tujuan
Tujuan dalam renstra SKPD harus lebih tajam dari pada misi, tetapi masih cukup luas
untuk dapat mendorong lahirnya kreatifitas dan inovasi bagi semua unit kerja yang ada
di bawah SKPD, termasuk satuan pendidikan (sekolah). Tujuan diartikan sebagai
kondisi jangka panjang yang diinginkan, yang dinyatakan dalam istilah yang umum dan
kualitatif.
Tujuan merupakan instrumen yang paling praktis dalam mengarahkan semua usaha
menuju perubahan yang dikehendaki. Oleh sebab itu rumusan tujuan harus dapat
memberikan arahan pada perumusan sasaran, satu rumusan tujuan (bersifat kualitatif)
dapat dicapai oleh beberapa sasaran (bersifat kuantitatif).
.
Contoh tujuan:
1. Meningkatkan partisipasi pendidikan jenjang SMP/MTs, khususnya anak
perempuan pada daerah perdesaan.
2. Mengurangi angka mengulang kelas pada jenjang SD, khususnya pada anak laki-
laki.
Sasaran
Sasaran merupakan ukuran kuantitatif yang terukur pada jangka waktu tertentu.
Saasaran yang jelas akan memandu Dinas Pendidikan pada jalur pencapaian visinya
dan akan menunjukkan apakah telah terjadi peningkatan atau tidak.
Selain dari itu, untuk melaksanakan urusan wajib kabupaten/kota berdasarkan
PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan antara Pemerintah Pusat, Provinsi,
dan Kabupaten/Kota, pasal 8, ayat (1) menyatakan bahwa ”Penyelenggaraan urusan
wajib berpedoman pada standar pelayanan minimal yang ditetapkan Pemerintah dan
dilaksanakan secara bertahap”.
Berikut ini adalah langkah-langkah menyusun sasaran:
1. Pelajari profil layanan pendidikan. Ini penting karena sasaran yang dapat
tercapai hanya bisa dirumuskan dengan mempertimbangkan kemajuan layanan
pendidikan pada saat ini, yang disajikan pada profil layanan pendidikan.

57
2. Pelajari Standar Pelayanan Minimum (SPM) bidang Pendidikan.
Depdiknas telah memiliki SPM bidang Pendidikan, yaitu Kepmen Diknas
No. 129a Tahun 2004. Walaupun Kepmen tersebut perlu direvisi, karena ada
beberapa indikator yang sudah tidak relevan lagi sehubungan dengan terbitnya
perundana-undangan baru, seperti UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen. Dalam Kepmen Diknas No. 129a Tahun 2004, kualifikasi akademik
minimal guru SD/MI adalah D2, sedangkan dalam UU No. 14 ditetapkan
kualifikasi akademik minimal guru SD/MI adalah D4 atau S1. Indikator lainnya
dipandang masih relevan.
3. Pelajari sasaran yang ada di dalam Renstra Diknas dan Renstra Dinas
Pendidikan Provinsi. Penyelenggaraan pendidikan adalah tanggung jawab
bersama berbagai tingkat pemerintahan. Oleh karena itu, penting bagi
kabupaten/kota untuk mensinergikan rencana strategisnya dengan rencana
strategis nasional dan provinsi.
4. Pelajari kemajuan yang dihasilkan pada periode perencanaan
sebelumnya. Informasi ini dapat diperoleh dari analisis kondisi nyata layanan
pendidikan. Hasil ini akan membantu dalam mengidentifikasi program-program
yang efektif.
5. Pelajari perubahan-perubahan yang sudah terjadi dan mungkin akan
terjadi dalam kondisi eksternal. Informasi ini dapat diperoleh dari analisis
kondisi nyata layanan pendidikan. Perubahan-perubahan ini akan membantu
dalam mengidentifikasi tantangan yang seharusnya dipertimbangkan ketika
mempersiapkan rencana strategis.
6. Pelajari Visi, Misi, dan Tata Nilai Dinas. Ini adalah langkah penting karena
sasaran harus terkait erat dengan visi, misi, dan tujuan serta sebaiknya secara
mendasar mengindikasikan cara bagaimana organisasi akan mencapai visi,
misi, dan tujuannya.
7. Formulasikan sasaran yang ingin dicapai. Lakukan ini berdasarkan hasil dari
langkah 1 sampai 5. Rumuskan untuk setiap jenjang pendidikan, dan pada
setiap jenjang pendidikan rumuskanlah sasaran untuk setiap Pilar Kebijakan.
Pastikan bahwa sasaran dijabarkan dalam indikator-indikator output/outcome.
Umpamanya untuk pilar Peningkatan Akses Pendidikan, rumuskan sasaran
APK, Angka Putus Sekolah, dan Angka Melanjutkan. Saat memformulasikan
sasaran, pastikan bahwa kriteria di bawah ini telah terpenuhi:
• Spesifik: secara jelas mengidentifikasikan apa yang harus dicapai.
• Terukur: kita dapat melihat apakah sasaran sudah tercapai atau belum.
• Dapat Tercapai: realistis, dalam arti memungkinkan untuk dicapai.
• Relevan: berkaitan dengan kepentingan publik dan publik memang
betul-betul menginginkannya.
• Berjangka waktu: tercapai dalam jangka waktu tertentu.
Melihat lima kriteria di atas, perlu dipahami bahwa kelimanya tidaklah sama,
karena empat diantaranya adalah kriteria teknis, yaitu: spesifik, terukur,
dapat tercapai, dan berjangka waktu. Sedangkan kriteria relevan, berbeda
dari yang lain karena langsung berkaitan dengan harapan publik. Kriteria ini
dapat membantu para perencana untuk berfokus pada keinginan publik dalam
layanan pendidikan.

58
Bagan 5
Hubungan antara Visi, Misi, Tujuan & Sasaran

VISI MISI TUJUAN SASARAN

PROFIL

1. Contoh tujuan dan sasaran yang berkaitan dengan AKSES:


Visi Bupati menyatakan: “…setiap anak setelah menyelesaikan pendidikan dasar 9
tahun akan memiliki kemampuan dasar …”
Tujuan & sasaran yang berkaitan dengan visi Bupati dapat disusun seperti di bawah ini:

Bagan 6
Hubungan antara tujuan & sasaran yang berkaitan dengan AKSES

VISI MISI TUJUAN SASARAN

Terwujudnya Mewujudkan Meningkatkan akses APS 7-12 tahun akan meningkat


pendidikan yang pendidikan yang pendidikan pada dari 90% pada tahun 2006
merata, berkualitas, merata bagi semua tingkat SD/MI. menjadi 100% pada tahun 2010.
kompetitif, dan anak usia sekolah.
dilandasi oleh nilai- Pada 2010, angka transisi dari SD
nilai kearifan lokal. ke SMP akan meningkat dari 80%
menjadi lebih dari 90%.

Profil Pendidikan

APS 7-12 tahun : 90%

Angka melanjutkan dari SD ke SMP


: 80%

2. Contoh tujuan & sasaran yang berkaitan dengan Pemerataan:


Salah satu elemen kunci dari visi dan misi Bupati yang dirumuskan sebagai visi/misi
Renstra SKPD adalah keadilan dalam pelayanan pendidikan: “setiap anak akan
mendapat kesempatan yang sama dalam mengakses pendidikan bermutu…” Tujuan &
sasaran yang berkaitan dengannya dapat disusun seperti di bawah ini:

59
Bagan 7
Hubungan antara tujuan & sasaran yang berkaitan dengan Pemerataan

VISI MISI TUJUAN SASARAN

Terwujudnya Mewujudkan Meningkatkan Pada 2010, jumlah SD yang masuk


pendidikan yang pendidikan yang kualitas layanan dalam kelompok tidak layak dapat
merata, berpihak kepada pendidikan. ditekan menjadi 25 SD.
berkualitas, kelompok sasaran
kompetitif, dan yang memerlukan
dilandasi oleh perhatian khusus.
kilai-nilai kearifan
lokal.

Profil Pendidikan
150 SD masuk dalam kelompok tidak
layak layanan. Sebagian besar dari
sekolah tersebut belum memiliki
ruang kelas dengan kondisi yang
layak dan jumlah yang mencukupi.

3. Contoh tujuan & sasaran yang berkaitan dengan MUTU:

1. Mempromosikan Sekolah Berkeunggulan Lokal


Selain menyediakan kesempatan yang setara dalam mengakses pendidikan berkualitas,
Bupati ingin mempromosikan penyediaan layanan pendidikan berkualitas tinggi di
beberapa sekolah untuk menciptakan calon-calon pemimpin di masa depan. Hal tersebut
juga dinyatakan secara eksplisit di dalam RPJMD. Tujuan & sasaran yang berkaitan
dengannya dapat disusun seperti di bawah ini:

Bagan 8
Hubungan antara Tujuan & Sasaran yang Berkaitan dengan
Keunggulan Lokal

VISI MISI TUJUAN SASARAN

Terwujudnya Penyelenggaraan proses Mengembangkan Pada 2010 daerah akan


pendidikan yang pendidikan yang efektif untuk sekolah unggulan memiliki satu SD dan dua
merata, berkualitas, mempersiapkan peserta didik pada jenjang SD SMP berkeunggulan lokal
kompetitif, dan yang memiliki ketrampilan dan SMP.
dilandasi oleh nilai- tinggi dalam menghadapi era
nilai kearifan lokal. globalisasi.

Profil Pendidikan
Daerah belum memiliki SD maupun
SMP berkeunggulan lokal

60
2. Menurunkan Angka Mengulang Kelas
Profil pendidikan menunjukkan tingginya angka mengulang pada kelas 1 SD, yang
merupakan indikasi kurangnya kesiapan anak untuk bersekolah. Terutama anak-anak
dari keluarga berpenghasilan rendah mengalami kesulitan dalam transisi dari keluarga
ke sekolah. Karena eratnya hubungan antara mengulang di kelas awal dengan putus
sekolah pada tahun-tahun selanjutnya, Bupati memberikan perhatian khusus untuk
membantu anak menjalani transisi dari keluarga ke sekolah. Tujuan & sasaran yang
berkaitan dengannya dapat disusun seperti di bawah ini:

Bagan 9
Hubungan antara Tujuan & Sasaran yang Berkaitan dengan Pengurangan
Angka Mengulang Kelas

VISI MISI TUJUAN SASARAN


Pada 2010, angka
Terwujudnya pendidikan Meningkatkan proses Menurunkan mengulang kelas di
yang merata, berkualitas, pendidikan yang efektif untuk angka kelas 1 SD akan
kompetitif, dan dilandasi mempersiapkan peserta didik mengulang kelas, menjadi kurang dari 1%.
oleh nilai-nilai kearifan yang berkualitas. khususnya pada
lokal. kelas awal.

Profil Pendidikan
Di 50 SD angka mengulang kelas di
kelas 1 begitu tinggi, lebih dari 8%.

3. Peningkatan Hasil Belajar di SMP


Profil pendidikan SMP menunjukkan kinerja pendidikan yang rendah, terutama pada
mata pelajaran bahasa Inggris dan matematika. Faktanya, kabupaten mempunyai
kinerja terendah di provinsi. Tujuan & sasaran dapat disusun sebagai berikut:

Bagan 10
Hubungan antara Tujuan & Sasaran yang Berkaitan dengan Hasil Belajar

VISI MISI TUJUAN SASARAN


Pada 2010, hasil belajar untuk
Terwujudnya pendidikan Meningkatkan Meningkatkan mutu mata pelajaran bahasa Inggris
yang merata, berkualitas, proses pendidikan proses pembelajaran dan matematika murid seluruh
kompetitif, dan dilandasi yang efektif untuk yang mampu kabupaten/kota paling tidak
oleh kilai-nilai kearifan mempersiapkan meningkatkan mutu sama dengan rata-rata di
lokal. peserta didik. lulusan. tingkat provinsi.

Profil Pendidikan
Kabupaten/kota berada di peringkat
daerah berkinerja rendah di provinsi,
terutama di bidang matematika dan
bahasa Inggris

61
5.2 Langkah Kedua: Merumuskan Strategi
Perumusan strategi berkaitan dengan pemakaian sumber daya untuk mencapai tujuan.
Atau dengan kata lain, dengan menggunakan sumber daya kegiatan akan
diimplementasikan untuk mencapai tujuan. S.E Mendagri No. 50 mendefinisikan
strategi sebagai berikut: “Strategi adalah cara untuk mewujudkan tujuan yang
dirancang secara konseptual, analitis, realistik, rasional, dan komprehensif. Strategi
diwujudkan dalam kebijakan dan program.”

Strategi yang efektif mencakup hal-hal berikut:


• Fokus pada elemen-elemen kunci.
• Saling berkaitan satu sama lain.
• Saling mendukung satu sama lain.
Sangat penting bahwa strategi dikembangkan berdasarkan analisis menyeluruh
terhadap kondisi nyata layanan pendidikan karena kegiatan yang diusulkan harus
mengatasi kelemahan dalam pelayanan pendidikan atau dibangun di atas
kekuatannya. Oleh karena itu, meskipun masih harus mendasarkan pada indikator
output, strategi juga ditentukan berdasarkan indikator-indikator input serta proses.
Renstra Diknas mencakup detil strategi untuk mencapai tujuan nasional. Karena
sebagian dari rencana strategis daerah akan bersejajar dengan strategi nasional dalam
pengembangan pendidikan, Renstra Diknas sebaiknya dipakai sebagai acuan di
daerah.
Tabel pada halaman berikut menunjukkan keterkaitan antara profil layanan pendidikan,
sasaran, dan strategi untuk program pendidikan dasar 9 tahun. Saat mempelajari tabel
ini, perlu diingat bahwa:
• Tabel ini hanyalah menunjukkan contoh-contoh strategi dan perlu disadari
bahwa masih banyak strategi lain yang dapat dilakukan untuk mencapai
sasaran.
• Tujuan utama tabel ini untuk menunjukkan logika proses perencanaan dari profil
layanan pendidikan ke sasaran dan lalu ke strategi. Pada dasarnya, setiap
tahap yang berbeda dalam proses perencanaan seharusnya dihubungkan
dengan benang merah.
• Dalam perumusan, sebaiknya jangan mencantumkan terlalu banyak strategi,
dan jangan terlalu memperinci strategi yang ada.

62
Contoh 23: Kemungkinan Strategi Program Wajar 9 tahun pada aspek AKSES

Profil Pendidikan Tujuan Sasaran Kemungkinan Strategi

APS 7-12 tahun sebesar Meningkatkan angka Meningkatkan APS 7-12 • Fokuskanlah program dan kegiatan pada 20 desa
90%. partisipasi pendidikan tahun dari 90% pada dengan APM sangat rendah (≤ 80%), terutama di
pada jenjang SD/MI. tahun 2006 menjadi 95% desa-desa dengan tingkat kemiskinan tinggi.
20 desa dengan APS
pada 2010
≤80%, 15 desa di • Mengurangi hambatan biaya untuk bersekolah pada
antaranya dengan rata- daerah dengan indeks kemiskinan tinggi.
rata kemiskinan di atas
50%. • Meningkatkan fasilitas sekolah di daerah terpencil
dan miskin.

Angka putus sekolah Menurunkan angka Menurunkan angka putus • Fokuskanlah program dan kegiatan pada 30 sekolah
pada jenjang SD/MI putus sekolah pada sekolah dari 5% pada dengan angka putus sekolah yang sangat tinggi (≥
sebesar 5%. jenjang SD/MI. tahun 2006 menjadi 5%).
kurang dari 1% pada
30 sekolah memiliki • Menurunkan hambatan biaya untuk bersekolah.
tahun 2010.
angka putus sekolah
lebih dari 9% dan 24
diantaranya berada di
desa dengan rata-rata
kemiskinan di atas 50%
(demand side).
Angka melanjutkan dari Meningkatkan angka Pada 2010, angka transisi • Fokuskanlah program dan kegiatan pada 100
SD ke SMP sebesar melanjutkan dari SD/MI dari SD ke SMP akan sekolah dengan angka transisi sangat rendah.
80%. ke SMP/MTs. meningkat dari 80%
menjadi lebih dari 90%. • Menangani secara terintegrasi perbaikan SD/MI dan
Angka melanjutkan untuk SMP/MTs di wilayah yang sama.
100 sekolah sangat
rendah, hanya 60% yang • Menurunkan hambatan biaya untuk bersekolah.
melanjutkan pendidikan • Memperkuat SMP swasta dan/atau MTs di daerah-
ke SMP/MTs. 65 dari 100

63
Profil Pendidikan Tujuan Sasaran Kemungkinan Strategi
sekolah tersebut berada daerah terpencil.
di desa dengan rata-rata
• Fokuskanlah pada penambahan daya tampung
kemiskinan di atas 50%
murid untuk SMP dan yang sederajat.
(demand side) dan 25
diantaranya terletak di • Mengembangkan program SMP Terbuka.
desa terpencil (demand
side). Sedangkan pada • Mengembangkan pendidikan non-formal untuk
35 SD rendahnya angka memperluas daya tampung bagi anak-anak yang
transisi disebabkan oleh tidak bisa bersekolah karena harus membantu orang
kurangnya kesempatan tua.
bersekolah (supply side).
Angka putus sekolah Menurunkan angka Pada 2010, angka putus • Fokuskanlah pada anak-anak yang rawan putus
pada jenjang SMP/MTs putus sekolah pada sekolah di SMP akan sekolah pada kelas-kelas tertentu, terutama putus
sebesar 3%. jenjang SMP/MTs ditekan dari 3% menjadi sekolah yang disebabkan oleh alasan ekonomi.
kurang dari 1%.

64
Contoh 24: Kemungkinan Strategi pada Aspek Pemerataan
Profil Pendidikan Tujuan Sasaran Kemungkinan Strategi

150 SD masuk dalam Meningkatkan Pada 2010, jumlah SD • Fokuskanlah pada daerah terpencil dan daerah dengan
kelompok tidak layak pemerataan kualitas yang masuk dalam tingkat kemiskinan tinggi.
layanan. Sebagian layanan pendidikan kelompok tidak layak
besar dari sekolah pada jenjang SD/MI. dapat ditekan menjadi 25 • Menggunakan pendekatan komprehensif dalam
tersebut belum SD. melakukan peningkatan kondisi sekolah (dukungan multi
memenuhi jumlah dan input).
kondisi ruang kelas. • Fokuskanlah pada sekolah-sekolah dimana masyarakat
bersedia bersama-sama menanggung segala
konsekuensi untuk peningkatan kondisi sekolah.

Contoh 25: Kemungkinan Strategi pada Aspek Mutu

Profil Pendidikan Tujuan Sasaran Kemungkinan Strategi

Daerah memiliki 120 Peningkatan kualitas Pada 2010, jumlah SD • Fokuskanlah pada upaya untuk peningkatan proses
SD dengan kinerja laynan bagi proses dengan kinerja sangat pembelajaran melalui pembelajaran yang berpusat pada
sangat rendah. pembelajaran. rendah akan dikurangi dari siswa.
120 menjadi 20 SD.
50 SD masih • Fokus pada dengan kinerja rendah melalui pendekatan
menggunakan metode multi-input, yaitu pendekatan sekolah secara
pembelajaran yang keseluruhan.
“ketinggalan jaman”.
• Fokuskanlah pada sekolah dengan partisipasi
masyarakat yang tinggi.

Daerah belum memiliki Meningkatkan daya Pada 2010 daerah akan • Pemberian prioritas pada sekolah terakreditasi A dan
SD maupun SMP saing lulusan pada memiliki satu SD dan dua kelompok “sangat baik”.

65
Profil Pendidikan Tujuan Sasaran Kemungkinan Strategi
berkeunggulan lokal. jenjang pendidikan SMP berkeunggulan lokal.
• Pemberian prioritas pada sekolah dengan komitmen
dasar.
masyarakat yang tinggi untuk mendukung sekolah
berkeunggulan lokal.
Di 50 SD angka Menurunkan angka Pada 2010, angka • Untuk mengurangi sebagian besar angka mengulang
mengulang kelas di mengulang kelas pada mengulang kelas di kelas 1 kelas di awal SD, dukungan akan difokuskan pada
kelas 1 begitu tinggi, jenjang SD/MI, SD akan menjadi kurang sekolah-sekolah dengan angka mengulang kelas yang
lebih dari 8%. khususnya pada kelas dari 1%. tinggi.
awal.
• Menyelenggarakan pembelajaran tambahan bagi murid
yang beresiko mengulang kelas.
• Sinergikan dengan instansi lain (seperti dinas kesehatan)
untuk membantu sekolah meningkatkan status gizi anak.
Mutu lulusan pada Meningkatkan mutu Pada 2010, hasil belajar • Fokuskanlah pada sekolah dengan hasil belajar
jenjang SMP/MTs lulusan pada jenjang untuk mata pelajaran matematika dan bahasa Inggris yang rendah di semua
berada di bawah rata- SMP/MTs. bahasa Inggris dan kelas.
rata provinsi. Terutama matematika di seluruh
di bidang Matematika kabupaten/kota paling • Melakukan perbaikan secara bertahap dan awali dengan
dan bahasa Inggris . tidak sama dengan rata- menggunakan SDM eksternal sekolah untuk
rata di tingkat provinsi. meningkatkan kompetensi murid dan guru.

66
Berikut ini adalah elemen kunci dari strategi-strategi sebagaimana diusulkan di atas:
• Fokus yang kuat dalam penentuan target pada: (i) desa dengan banyak AUS
tidak bersekolah untuk meningkatkan partisipasi dan (ii) sekolah berkinerja
rendah untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
• Siapkan strategi khusus untuk menghadapi demand-side problems dan
strategi yang lain untuk supply-side problems.
• Promosikan penyelenggaraan wajib belajar 9 tahun dengan mempermudah
transisi dari SD ke SMP.
• Tingkatkan integrasi antar jenjang pendidikan yang setara untuk lokasi-lokasi
tertentu.

Dari contoh-contoh di atas, dapat dilihat bahwa strategi-strategi tersebut memiliki


fokus yang kuat pada arah penggunaan sumber daya. Strategi menyebutkan
bagaimana menerjemahkan sumber menjadi kegiatan, yang kemudian akan
membantu pencapaian tujuan.

5.3 Langkah Ketiga: Menetapkan Kebijakan


Kebijakan menetapkan arah dan batasan semua perencanaan dan kegiatan yang
akan dilakukan di masa depan. S.E. Mendagri No. 50 mendefinisikan kebijakan
sebagai berikut: “Kebijakan adalah arah/tindakan yang diambil oleh SKPD untuk
mencapai tujuan atau arah yang diambil oleh SKPD dalam menentukan bentuk
konfigurasi program dan kegiatan. Menurut targetnya, kebijakan terdiri atas:
(i) kebijakan internal, yaitu kebijakan SKPD dalam mengelola pelaksanaan program-
program pembangunan, dan (ii) kebijakan eksternal, yaitu kebijakan yang diterbitkan
oleh SKPD dalam rangka mengatur, mendorong, dan memfasilitasi kegiatan
masyarakat.”

5.3.1 Kebijakan Internal


Kebijakan internal untuk Dinas Pendidikan berkaitan dengan bagaimana Dinas
Pendidikan menjalankan fungsi-fungsi atau kewenangannya. Kebijakan internal juga
memandu jajaran Dinas dalam menjalankan tugas-tugas mereka. Berikut ini adalah
contoh dari kebijakan internal:
Contoh 26: Jenis Kebijakan Internal dan Implementasi

No. Jenis Kebijakan Implementasi


1. Kebijakan tentang Sekolah-sekolah yang belum menerapkan prinsip-
akuntabilitas sekolah. prinsip akuntabilitas akan diberi prioritas rendah dalam
pengalokasian dana.

2. Kebijakan tentang Semua intervensi Dinas Pendidikan pada satuan


manajemen berbasis pendidikan jenjang pendidikan dasar akan berpegang
sekolah. pada prinsip diterapkannya manajemen berbasis
sekolah.

3. Kebijakan mengenai Intervensi Dinas Pendidikan akan didasarkan pada


daya tanggap Rencana Pengembangan/Kerja Sekolah (RPS/RKS).
terhadap kebutuhan
sekolah.

67
4. Kebijakan tentang Kebijakan ini akan, misalnya, mengklarifikasi hal-hal
pengembangan guru seperti : (i) prioritas penyediaan dukungan (misalnya
(UU No. 14/2005). guru SD, SMP, atau SMA/K), (ii) bagaimana dengan
para guru yang berada di daerah terpencil yang tidak
bisa mengikuti program pendidikan di LPTK tanpa
meninggalkan sekolah mereka dalam jangka waktu
yang cukup lama, dan (iii) batas usia guru (relatif
terhadap tingkat pendidikan yang sudah dimiliki
sekarang) yang masih dapat dibiayai pemerintah
(khususnya Pemda).

5. Kebijakan tentang (i) jenis informasi yang dapat diberikan pada publik
informasi publik. secara proaktif dan (ii) aturan-aturan tentang
bagaimana merespon permintaan informasi dari publik.

5.3.2 Kebijakan Eksternal


Kebijakan eksternal berkaitan dengan bagaimana Dinas Pendidikan berurusan
dengan dukungan dari dan/atau untuk komunitas.
Contoh 27: Jenis Kebijakan Eksternal dan Implementasi

No. Jenis Kebijakan Implementasi


1. Kebijakan tentang Apakah pemerintah memberikan dukungan terhadap
pembiayaan pendidikan ”gratis” atau subsidi silang?
pendidikan.
2. Kebijakan tentang Apakah pemerintah daerah juga memberikan
sekolah negeri dan dukungan pada sekolah swasta yang
sekolah swasta. menyelenggarakan pendidikan (madrasah dan
sekolah swasta)? Jika ya, dukungan dalam bentuk
apa dan tingkat yang mana? Apakah ada perbedaan
antara tingkat yang berbeda; misalnya dukungan
diberikan pada TK swasta tapi tidak pada SD dan
SMP swasta.

3. Kebijakan tentang Misalnya rehabilitasi sekolah.


partisipasi masyarakat
dan di bidang mana.
4. Kebijakan tentang Di tahap proses persiapan kebijakan yang mana
partisipasi publik dalam Dinas melibatkan publik dalam memformulasikan
persiapan dan kebijakan dan bagaimana hal ini dilakukan? Apakah
implementasi Dinas melibatkan publik dalam implementasi
kebijakan. kebijakan? Dengan cara bagaimana?

Kebijakan internal dan eksternal menjadi jembatan antara pencapaian tujuan dan
perancangan program. Pada dasarnya kebijakan menetapkan batasan-batasan atau
koridor dimana program dirancang atau dengan lain kata kebijakan ‘mewarnai’
program dan kegiatan yang berkaitan dengannya. Perhatikan contoh di bawah ini:

68
1. Contoh hubungan antara kebijakan internal dan perancangan
kegiatan
Ketika kabupaten/kota mempunyai kebijakan untuk mendorong otonomi sekolah, ini
berarti dukungan yang diberikan pada sekolah akan berupa dana, bukan barang;
sebab otonomi sekolah berarti sekolah dan komunitasnya mengatur sendiri urusan
mereka. Dengan kata lain, pengadaan buku di tingkat kota/kabupaten akan
bertentangan dengan kebijakan mendorong otonomi.
Kebijakan pengembangan guru akan mewarnai kegiatan yang berkaitan dengannya.
Misalnya, kebijakan untuk memberikan prioritas pada guru yang telah memiliki
kualifikasi akademis (S1) akan menghasilkan kegiatan yang berbeda, dibandingkan
apabila pemerintah kabupaten/kota memprioritaskan guru SD untuk meningkatkan
kemampuan akademis dan kompetensi mereka. Sekali lagi, kebijakan akan
mewarnai perancangan program.

2. Contoh hubungan antara kebijakan eksternal dan perancangan


program
Kebijakan tentang dukungan untuk sekolah negeri dan swasta akan menentukan
lingkup kegiatan. Pada dasarnya, ada dua opsi kebijakan, yaitu pemerintah
kabupaten/kota tidak membedakan atau membedakan antara sekolah negeri
dengan madrasah. Pada opsi pertama madrasah mendapat bantuan yang sama
dengan sekolah negeri. Pada opsi kedua, dukungan untuk madrasah dan sekolah
swasta hanya bersifat bantuan.
Kebijakan tentang partisipasi komunitas dalam rehabilitasi sekolah akan memandu
rancangan kegiatan. Apabila pemerintah kabupaten/kota mensyaratkan peran aktif
komunitas dalam rehabilitasi sekolah, ini akan mewarnai lingkup program dan
kegiatan. Misalnya, pelaksanaan rehabilitasi oleh masyarakat tidak membutuhkan
kegiatan tender tetapi membutuhkan bantuan teknis kepada komunitas sekolah dan
mungkin kegiatan pelatihan bagi tukang setempat agar bisa melaksanakan
konstruksi yang lebih rumit.

69
6. TAHAP IV: MERUMUSKAN PROGRAM DAN
KEGIATAN
Strategi memberikan arah dan memandu cara bagaimana menggunakan sumber
daya untuk mencapai tujuan. Karena itu strategi selalu lebih umum dan hanya
menyediakan “game-plan” tentang bagaimana memanfaatkan sumber daya untuk
mencapai tujuan. Kebijakan memberikan batas-batas mengenai apa yang
seharusnya dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan dalam mengupayakan
pencapaian sasaran. Program dan kegiatan adalah hakikat dari perencanaan dan
menunjukkan apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan.
Untuk mencapai sinergi antara upaya-upaya yang dilakukan di berbagai tingkat
pemerintahan, telah dilakukan penyeragaman program-program pengembangan
pendidikan. Berdasarkan sasaran dan arah kebijakan, RPJM Nasional 2004-2009
menetapkan 10 program pengembangan pendidikan. Diknas juga memiliki program-
program yang sama (lihat Renstra Diknas), ditambah dengan beberapa program
khusus untuk Diknas. Provinsi dan kabupaten/kota pada gilirannya juga harus
mengimplementasikan program-program yang sama walaupun kegiatan yang
dilakukan berbeda dengan kegiatan yang dilakukan oleh tingkat pemerintahan yang
lebih tinggi.
Program-program yang dirumuskan harus sesuai dengan program-program yang
tercantum dalam Permendagri No. 59 Tahun 2007 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah agar dapat dianggarkan dalam APBD Kabupaten/Kota. Program-
program yang relevan bagi Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
2. Program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun.
3. Program pendidikan menengah.
4. Program pendidikan non formal.
5. Program peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan.
6. Program manajemen pelayanan pendidikan.
7. Program pengembangan budaya baca dan pembinaan perpustakaan.
8. Program penguatan kelembagaan dan pengarus-utamaan gender dan anak.
9. Program peningkatan pengawasan dan akuntabilitas aparatur negara.
10. Program pengelolaan sumber daya manusia/aparatur.
11. Program lainnya sesuai dengan tupoksi masing-masing SKPD/Dinas
Pendidikan, misalnya di suatu SKPD ada subdin kebudayaan, maka
program kebudayaan harus masuk.

70
Contoh program

Pendidikan Dasar 9 Tahun


Tabel di halaman berikut menunjukkan hubungan dan keterkaitan antara profil
pendidikan, sasaran, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan. Profil, sasaran, dan
strategi sama seperti pada formulasi strategi, namun dengan tambahan program
dan kegiatan, tabel ini akan menunjukkan proses perencanaan yang lengkap.
Sekali lagi, harus selalu diingat bahwa tabel ini hanyalah contoh dan terdapat
berbagai alternatif lain. Tujuan utama dari tabel ini adalah untuk menunjukkan
proses perencanaan, mulai dari profil pendidikan, sasaran, strategi, kebijakan,
sampai program dan kegiatan. Atau sebaliknya, menunjukkan bagaimana program
dan kegiatan berkontribusi pada pencapaian tujuan.

71
Contoh 28: Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun

Sub Program 1. Meningkatkan Akses

Profil Pendidikan Tujuan Sasaran Strategi Kebijakan Kegiatan

• SD: APM 90%. Meningkatkan angka Pada 2010, APM SD 1. Fokus pada 20 desa Menyediakan 1. Pemberian beasiswa
partisipasi pendidikan akan meningkat dari dengan anak usia dukungan finansial untuk 500 anak SD
• 20 desa dengan pada jenjang SD/MI. 90% pada tahun 2006 sekolah yang tidak untuk semua sekolah dan 150 anak MI.
APM < 80%, 15 menjadi 96%. bersekolah dalam dan bukan hanya 2. Pemberian uang
desa di antaranya jumlah besar. sekolah negeri. transportasi kepada
memiliki rata-rata 250 anak SD.
kemiskinan di atas 2. Menghilangkan
3. Bantuan tambahan
50%. hambatan beban biaya
operasional sekolah
untuk bersekolah.
untuk 30 SD dan 25
3. Peningkatan fasilitas MI.
sekolah di daerah 4. Pembangunan 5
terpencil dan miskin. sekolah kecil.
5. Rehabilitasi 25 ruang
kelas untuk 5 SD dan
10 MI.

72
Sub Program 2. Mengurangi angka putus sekolah

Profil Pendidikan Tujuan Sasaran Strategi Kebijakan Kegiatan

• Angka putus Menurunkan angka Pada 2010, angka 1. Fokus pada 30 Menyediakan dukungan 1. Bantuan tambahan
sekolah pada putus sekolah pada putus sekolah akan sekolah dengan angka finansial untuk semua operasional sekolah
jenjang SD/MI: 5%. jenjang SD/MI. ditekan dari 5% menjadi putus sekolah yang sekolah, dan bukan untuk 25 SD dan 5
kurang dari 1%. tinggi. hanya sekolah negeri. MI.
• 30 sekolah memiliki 2. Pemberian beasiswa
angka putus sekolah 2. Turunkan hambatan
untuk 250 anak SD
lebih dari 9% dan biaya untuk
dan 150 anak MI.
24 diantaranya bersekolah.
3. Pemberian uang
berada di desa transportasi kepada
dengan rata-rata 300 anak SD.
kemiskinan di atas
50% (demand side)

73
Sub Program 3. Meningkatkan Angka Melanjutkan

Profil Pendidikan Tujuan Sasaran Strategi Kebijakan Kegiatan

Angka melanjutkan dari Meningkatkan angka Pada 2010, angka 1. Fokus pada 100 sekolah Menyediakan 1. Bantuan operasional
SD ke SMP: 80% melanjutkan dari transisi dari SD ke dengan angka transisi dukungan finansial sekolah untuk
SD/MI ke SMP/MTs. SMP akan meningkat rendah. untuk menurunkan penerimaan siswa
Angka melanjutkan untuk
dari 80% menjadi hambatan biaya baru pada 20 SMP.
100 sekolah sangat 2. Perlu penanganan
lebih dari 95%. untuk memasuki
rendah, hanya 60% yang terintegrasi antara SD/MI 2. Pemberian beasiswa
SPM/MTs (biaya
melanjutkan pendidikan dengan SMP/MTs di melanjutkan untuk
pendaftaran siswa
ke SMP/MTs. wilayah penanganan yang 500 anak.
baru dan
sama.
65 dari 100 sekolah kebutuhan 3. Pembangunan 30
tersebut berada di desa 3. Perkuat SMP swasta dan/ bersekolah bagi ruang kelas baru
dengan rata-rata indeks atau MTs di daerah-daerah masyarakat miskin pada SMP.
kemiskinan di atas 50% terpencil. ditanggung
pemerintah). 4. Pembentukan 10
(demand side) dan 25
4. Menambah daya tampung SD-SMP Satu Atap.
diantaranya adalah
murid.
sekolah di desa terpencil
(demand side). 5. Mengembangkan program
Sedangkan pada 35 SD SMP Terbuka.
lainnya, rendahnya angka
6. Membangun SD-SMP satu
melanjutkan disebabkan
oleh kurangnya atap bagi daerah terpencil.
kesempatan bersekolah 7. Mengembangkan
(supply side) pendidikan nonformal untuk
memperluas daya tampung
bagi anak-anak yang tidak
bisa bersekolah karena
harus membantu orang tua.

74
Sub Program 4. Pemerataan

Profil Pendidikan Tujuan Sasaran Strategi Kebijakan Kegiatan

150 SD masuk dalam Meningkatkan Pada 2010, jumlah 1. Fokus pada daerah Penerapan sistem 1. Rehabilitasi berat di
kelompok tidak layak pemerataan kualitas SD yang masuk terpencil dan daerah yang swakelola oleh dan 100 sekolah.
layanan. Sebagian besar layanan pendidikan dalam kelompok tingkat kemiskinannya pengerahan potensi 2. Rehabilitasi sedang
dari sekolah tersebut pada jenjang SD/MI. tidak layak dapat tinggi. lokal dalam di 65 sekolah.
belum memenuhi jumlah ditekan menjadi 25 pembangunan 3. Rehabilitasi ringan di
2. Menggunakan pendekatan
dan kondisi ruang kelas. SD. rehabilitasi ruang 35 sekolah.
komprehensif dalam
kelas. 4. Pengadaan mebeler
melakukan peningkatan
1.300 set (meja &
kondisi sekolah (dukungan
kursi siswa).
multi input).
5. Pengadaan alat
3. Fokuskan pada daerah- peraga pembelajaran
daerah di mana masyarakat 40 set.
bersedia untuk
berpartisipasi dalam
peningkatan kondisi
sekolah.

75
Sub Program 5. Program Mutu Pendidikan

Profil Pendidikan Tujuan Sasaran Strategi Kebijakan Kegiatan

1. Daerah memiliki 120 Peningkatan kualitas Pada 2010, jumlah SD 1. Fokus pada 120 SD 1. Pengembangan 1. Pelatihan 300
SD dengan kinerja layanan bagi proses dengan kinerja sangat dengan kinerja sangat kompetensi guru guru untuk
sangat rendah. pembelajaran. rendah akan dikurangi rendah. secara meningkatkan
dari 120 menjadi 20 berkelanjutan. kompetensi
2. 50 SD masih 2. Fokus pada peningkatan
SD. 2. Penilaian kinerja pedagogik.
menggunakan metode proses pembelajaran
kepala sekolah 2. Dukungan untuk
pembelajaran yang yang berorientasi pada
dikaitkan dengan kegiatan/
tidak tepat. siswa.
kemajuan pengembangan
3. Fokus pada kelas-kelas sekolahnya. 15 KKG dan 5
tertentu dengan kinerja 3. Evaluasi siswa KKKS.
rendah. berbasis
penilaian sampel.
4. Fokus pada jumlah
sekolah terbatas yang
akan menerima
dukungan multi-input
(pendekatan sekolah
secara keseluruhan).
5. Fokus pada sekolah
dengan partisipasi
masyarakat yang tinggi.

76
Sub Program 6. Mengurangi angka mengulang kelas

Profil Pendidikan Tujuan Sasaran Strategi Kebijakan Kegiatan

Di 50 SD angka Menurunkan angka Pada 2010, angka 1. Untuk mengurangi Menyediakan 1. Pengajaran remedial
mengulang kelas di kelas mengulang kelas pada mengulang kelas di sebagian besar angka dukungan finansial bagi anak yang lambat
1 begitu tinggi, lebih dari jenjang SD/MI, kelas 1 SD akan mengulang kelas di awal untuk semua belajar pada sekolah
8%. khususnya di kelas ditekan menjadi SD, dukungan akan sekolah, dan bukan dengan angka
awal. kurang dari 1%. difokuskan pada hanya sekolah mengulang kelas > 7%
sekolah-sekolah dengan negeri. (20 SD/MI).
angka mengulang kelas
yang tinggi. 2. Pemberian layanan
khusus (tambahan jam
2. Sediakan jam belajar
belajar) pada anak
tambahan bagi murid
yang kurang siap
yang beresiko
belajar di 12 sekolah.
mengulang kelas.
3. Fokuskan untuk 3. Pengadaan alat bantu
membantu sekolah pembelajaran pada
meningkatkan gizi anak. kelas awal sebanyak
200 set.

Untuk jenjang pendidikan lainnya (SMP/MTS dan SMA/MA/SMK) disesuaikan dengan karakteristik pada masing-masing jenjang,
Contoh program lainnya adalah pada program Pendidikan Non-formal serta program Pendidik dan Tenaga Kependidikan

77
Contoh 29: Program Pendidikan Non-formal
Subprogram: Penuntasan Buta Aksara

Profil Pendidikan Tujuan Sasaran Strategi Kebijakan Kegiatan

Angka buta aksara Penuntasan dan Pada tahun 2010 • Bersinergi dengan pembina Pencanangan dan • Pendataan
penduduk usia 14-45 pemeliharaan penyandang buta penggerak PKK pada semua penyandang buta
implementasi
tahun mencapai 7,8%, keaksaraan secara aksara menurun tingkat, mulai tingkat aksara berbasis
gerakan
dengan proporsi > 70% paripurna. hingga < 3 %. kabupaten/kota, kecamatan, masyarakat.
penuntasan buta
kaum perempuan dan hingga kelurahan/desa. • Penyelenggaraan
aksara secara
berada di perdesaan. pemberantasan buta
• Fokus pada kaum perempuan menyeluruh.
aksara secara tuntas
produktif di perdesaan.
mulai tingkat dasar
• Integrasikan keaksaraan (Sukma 1) dan tingkat
fungsional (KF) dengan lanjut (Sukma 2).
kelompok belajar usaha (KBU). • Pemeliharaan melek
aksara melalui
• Perkuat kelembagaan PKBM gerakan gemar
dan TBM. membaca di TBM.
• Intensifikasi dan pemeliharaan
program keaksaraan.

78
Contoh 30: Program Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Subprogram: Peningkatan Kualifikasi Pendidik

Profil Pendidikan Tujuan Sasaran Strategi Kebijakan Kegiatan

Guru yang belum Meningkatkan Pada tahun 2010, • Bekerjasama dengan LPMP • Peningkatan • Pendidikan kesetaraan
memiliki kualifikasi kualifikasi guru yang memiliki dan LPTK setempat untuk anggaran S1/D4 melalui sistem
akademik setara akademik guru kualifikasi melaksanakan program pendidikan untuk belajar jarak jauh
S1/D4 secara sesuai dengan pendidikan S1/D4 kesetaraan berbasis in biaya personal guru • Penyelenggaraan
keseluruhan sebesar tuntutan UU No. 14 menjadi 75%. service. yang mengikuti pendidikan kelas jauh
45%, khususnya tahun 2005 tentang pendidikan bagi kabupaten/kota
pada jenjang SD Guru dan Dosen. • Fokus pada guru SD yang kesetaraan S1/D4. yang tidak berdekatan
sebesar 75%. ada di daerah perdesaan dan
• Mendorong/ dengan LPTK.
terpencil.
memfasilitasi guru • Penyelenggaraan
• Fokus pada guru yang yang berinisiatif penataran bersertifikasi
berusia < 50 tahun. melanjutkan secara
pendidikan dengan berkesinambungan.
• Penggunaan waktu libur pola swadana. • Pemberian bantuan
untuk penataran biaya pendidikan bagi
bersertifikasi. guru yang melanjutkan
studi.

79
7. TAHAP V: PENYUSUNAN RENCANA BIAYA
DAN RENCANA PENDANAAN
Setelah bab sebelumnya berfokus pada identifikasi program dan kegiatan-
kegiatannya, maka bab ini akan memfokuskan pada perhitungan biaya untuk setiap
program dan kegiatan-kegiatan terkait, serta biaya operasional penyelenggaraan
pelayanan pendidikan dan rencana pendanaannya. Berikut ini adalah langkah-
langkah pada Tahap V – Penyusunan Rencana Biaya dan Rencana Pendanaan:
1. Membuat estimasi biaya pelaksanaan setiap program serta kegiatan-
kegiatannya (program costing), termasuk biaya operasional
penyelenggaraan pelayanan pendidikan.
2. Membuat proyeksi ketersediaan dana dari setiap sumber untuk setiap tahun
dalam periode rencana.
3. Mengalokasikan dana yang diproyeksikan pada setiap program serta
kegiatan-kegiatannya, termasuk biaya operasional penyelenggaraan
pelayanan pendidikan.
Untuk memudahkan pelaksanaan langkah-langkah penyusunan rencana biaya dan
rencana pendanaan, sebelumnya perlu dilakukan analisis keuangan pendidikan
Kabupaten/Kota/AKPK2. AKPK dilakukan antara lain untuk mempelajari pola
belanja sektor pendidikan serta menghitung dan menganalisis pendanaan sektor
pendidikan di Kabupaten/Kota dari berbagai sumber: Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota (termasuk Dana Alokasi Khusus dari
APBN), APBD Provinsi, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Dana
Dekonsentrasi, termasuk Bantuan Operasional Sekolah/BOS). Dana sektor
pendidikan yang dihitung dan dianalisis mencakup dana dalam bentuk tunai
maupun natura (misalnya, pelatihan guru kab/kota yang diselenggarakan oleh Dinas
Pendidikan Provinsi), serta mencakup dana yang disalurkan ke Pemda Kab/Kota
(biasanya melalui Dinas Pendidikan) maupun yang disalurkan langsung ke sekolah-
sekolah (misalnya dana BOS dan pembagian buku teks ke sekolah-sekolah).

7.1 Langkah Pertama Membuat Estimasi Biaya


Pelaksanaan Program
Karena rencana strategik yang sedang disusun belum merupakan dokumen
operasional anggaran dan bersifat multi tahun, maka estimasi biaya pelaksanaan
masing-masing program di dalam renstra strategik tidak perlu dibuat terlalu rinci.
Setiap tahun, pemerintah kab/kota biasanya mengeluarkan daftar harga satuan
untuk berbagai jenis kegiatan rinci. Misalnya, uang transpor perjalanan dinas untuk
masing-masing golongan pegawai atau honor instruktur program pelatihan untuk
masing-masing jumlah tahun pengalaman kerja.
Dalam pembuatan estimasi biaya, harga satuan dibutuhkan lebih pada tingkat
agregat; misalnya, harga satuan per guru untuk penyelenggaraan program pelatihan
PAKEM (sudah termasuk biaya honor pelatih, biaya sewa ruang pelatihan, biaya
bahan pelatihan, biaya transpor peserta, biaya makan dan minum peserta, dan lain-
lain); harga satuan per ruangan untuk pembangunan ruang kelas baru (sudah

2
Cara melakukan analisa keuangan pendidikan Kabupaten/Kota ditulis dalam buku panduan terpisah.

80
termasuk biaya perencanaan dan pengawasan, biaya pembelian semen, biaya
pembelian batu bata, dan seterusnya).
Harga satuan yang lebih teragregasi dihitung dengan cara berikut ini:
1. Tentukan terlebih dahulu unit-unit yang akan dipakai.
2. Hitung harga satuan.

7.2 Langkah Kedua Membuat Proyeksi Ketersediaan


Dana

1. Sumber Pendanaan Sektor Pendidikan di Kabupaten/Kota


Berikut ini adalah sumber-sumber dana yang biasanya tersedia untuk pembiayaan
sektor pendidikan di kabupaten/kota:
• APBD Kabupaten/Kota (termasuk Dana Alokasi Khusus dari APBN)
• APBD Provinsi
• APBN (Dana Dekonsenrasi, termasuk dana BOS)

Anggaran dari APBN untuk sektor pendidikan di kabupaten/kota yang tidak


dianalisis disini adalah anggaran Departemen Agama (Depag). Anggaran Depag
tidak disertakan karena diperuntukkan bagi pembiayaan madrasah-madrasah
negeri, yang penyelenggaraannya bukan merupakan tanggung jawab pemerintah
kab/kota.

APBD Kabupaten/Kota
Pada kenyataannya, dana-dana yang tersedia bagi sektor pendidikan di dalam
APBD kab/kota mencakup tidak hanya yang ditetapkan pada dokumen anggaran
dari satuan-satuan kerja yang termasuk di dalam bidang pendidikan, tetapi juga
pada dokumen anggaran dari beberapa satuan kerja lainnya di luar bidang
pendidikan. Dana-dana sektor pendidikan pada anggaran satuan-satuan kerja di
luar bidang pendidikan ini disertakan dalam menghitung anggaran sektor pendidikan
dari APBD kab/kota. Demikian juga sebaliknya. Ada beberapa satuan kerja yang
termasuk di dalam bidang pendidikan pada APBD kab/kota, namun anggarannya
tidak disertakan di dalam penghitungan anggaran sektor pendidikan dari APBD
kab/kota. Hal ini didasari pemikiran bahwa tugas dan program satuan-satuan kerja
tersebut tidak merupakan kewenangan wajib Pemda kab/kota dalam sektor
pendidikan. Contohnya antara lain anggaran untuk Kantor Arsip Daerah atau
pendidikan tinggi.
Sesuai dengan UU No. 20 Tahun 2003, Pasal 50, Ayat 5 menetapkan bahwa
pengelolaan penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah merupakan
kewenangan wajib Pemerintah Daerah Kab/Kota. Dengan demikian, biaya
penyelenggaraan pelayanan pendidikan dasar dan menengah di SD, SMP, SMA,
dan SMK ditanggung terutama oleh Pemda kab/kota dengan pendanaan dari APBD
kab/kota. Biaya penyelenggaraan pelayanan dimaksud mencakup biaya operasional
dan biaya investasi, yang dikeluarkan baik di level sekolah maupun di level Dinas
Pendidikan dan Kantor Cabang Dinas Pendidikan.

81
1. Biaya Operasional mencakup antara lain:
• Biaya pegawai: gaji personil sekolah yang PNS (kepala sekolah, guru,
tenaga administrasi, dan penjaga sekolah).
• Biaya barang dan jasa: pembelian ATK, bahan habis pakai, langganan daya
dan jasa, serta kegiatan belajar-mengajar di sekolah.
• Biaya operasional & pemeliharaan.
• Biaya perjalanan dinas.
• Biaya lain-lain, misalnya biaya pelaksanaan rapat-rapat KKG dan biaya
pelatihan PAKEM.
Namun, setelah dana BOS disalurkan langsung ke sekolah-sekolah sejak
periode tengah tahun kedua di tahun 2005, pada beberapa kab/kota, kontribusi
APBD kab/kota untuk biaya operasional sekolah dikurangi atau bahkan
ditiadakan.

2. Biaya Investasi mencakup:


• Biaya rehabilitasi ruang kelas.
• Biaya pembangunan gedung sekolah baru.
• Biaya pengadaan buku teks dan buku perpustakaan.
• Biaya pengadaan peralatan laboratorium, dan lain-lain.
Dari analisa keuangan pendidikan Kabupaten/Kota3 dapat diketahui komponen-
komponen biaya mana yang biasanya dibiayai oleh APBD Kab/Kota, baik
komponen-komponen biaya yang dikeluarkan di level kab/kota maupun di level
sekolah. Disamping itu, bila DPRD serta Pemda Kab/Kota akan menaikkan
porsi anggaran sektor pendidikan (di luar gaji pendidik) guna memenuhi amanat
UU No. 20 Tahun 2003, maka terbuka kemungkinan bahwa komponen-
komponen biaya atau program/kegiatan yang biasanya tidak dibiayai oleh APBD
Kab/Kota, sekarang dan di tahun-tahun mendatang akan dibiayai.

3. Dana Alokasi Khusus / DAK


Dana sektor pendidikan pada APBD Kab/Kota mencakup juga Dana Alokasi
Khusus (DAK) bidang pendidikan yang diterima dari pemerintah pusat (APBN)
dan harus dicatat dalam APBD Kab/Kota. Biasanya, DAK bidang pendidikan
dicatat dalam dokumen anggaran Dinas Pendidikan.
DAK adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan
kepada Kabupaten/Kota tertentu – yang memenuhi kriteria yang ditetapkan –
dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan
urusan pemerintah kab/kota dan mendukung prioritas nasional.
Dalam bidang pendidikan, DAK digunakan untuk menunjang pelaksanaan wajib
belajar pendidikan dasar 9 (sembilan) tahun, dimana program/kegiatannya
diarahkan khusus untuk membiayai rehabilitasi gedung/ruang kelas SD/SDLB,
MI/Salafiyah termasuk sekolah-sekolah setara SD yang berbasis keagamaan
yang merupakan pelaksana program wajib belajar, baik negeri maupun swasta.

3
Analisa keuangan pendidikan Kabupaten/Kota merupakan analisa yang dilakukan untuk menghitung dan
menganalisis pendanaan sektor pendidikan di kabupaten/kota dari berbagai sumber: APBD Kabupaten/Kota,
APBD Provinsi, dan APBN (Dana Dekonsentrasi, BOS, dan dana-dana lainnya). Dana sektor pendidikan yang
dihitung mencakup dana dalam bentuk tunai maupun natura, serta mencakup dana yang disalurkan ke
Pemda Kabupaten/Kota (biasanya melalui Dinas Pendidikan) maupun yang disalurkan ke sekolah-sekolah.

82
Pemerintah kabupaten/kota diwajibkan menyediakan dana pendamping
sekurang-kurangnya 10% dan juga dana untuk biaya umum seperti
perencanaan, sosialisasi, dan pengawasan sekurang-kurangnya 3% (tiga
persen) dari nilai DAK pendidikan yang diterima.

APBD Provinsi
Peran provinsi dalam penyelenggaraan pendidikan jauh lebih kecil dari pada peran
kabupaten/kota, dan sebagai konsekuensinya dana untuk pembangunan sektor
pendidikan juga jauh lebih kecil pada tingkat pemerintahan ini. Karena dukungan
dana dari APBD Kab/Kota lebih terfokus pada jenjang pendidikan SD, maka
dukungan pemerintah tingkat provinsi sering lebih terfokus pada pelayanan
pendidikan di jenjang SMP, SMA, SMK, serta pendidikan non formal & informal dan
pendidikan luar biasa.
Analisis terhadap APBD Provinsi mencakup anggaran bidang pendidikan maupun
bukan bidang pendidikan (jika ada) pada APBD Provinsi yang manfaatnya — baik
dalam bentuk dana hibah ke pemerintah kabupaten/kota dan/atau ke sekolah
maupun dalam bentuk natura — diperuntukkan bagi sektor pendidikan. Langkah ini
menyangkut identifikasi semua anggaran program/kegiatan yang diperuntukkan
bagi kepentingan sektor pendidikan di kabupaten/kota.

APBN
Anggaran untuk sektor pendidikan di kabupaten/kota dari APBN yang dianalisis
disini mencakup:
a. Dana Dekonsentrasi
Dekonsentrasi merupakan pelaksanaan kewenangan Pemerintah Pusat di
daerah provinsi yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah
Pusat. Kewenangan tersebut di bidang pendidikan biasanya dilaksanakan oleh
Dinas Pendidikan Provinsi sebagai perangkat Daerah Provinsi.
Penyelenggaraan dekonsentrasi dimaksud dibiayai oleh APBN, dimana
pencatatan dan pengelolaan keuangan dalam penyelenggaraan dekonsentrasi
dilakukan secara terpisah dari APBD Provinsi.
Di tingkat Pemerintah Pusat, anggaran dana dekonsentrasi dimaksud tercakup
di dalam anggaran Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Pada
praktiknya, Pemerintah Pusat (melalui Depdiknas) mengadakan dan mendanai
program-program untuk bidang pendidikan yang merupakan kewenangan
Pemerintah Kab/Kota melalui mekanisme dekonsentrasi.
Dana BOS untuk semua jenis sekolah dasar dan menengah pertama (SDN,
SDS, MIN, MIS, SMPN, SMPS, MTsN, MTsS) yang telah disalurkan langsung ke
sekolah-sekolah sejak periode tengah tahun kedua di tahun 2005, juga termasuk
di dalam dana dekonsentrasi Depdiknas.

2. Langkah - langkah Pembuatan Proyeksi Ketersediaan Dana


Untuk menyusun rencana strategik sektor pendidikan kabupaten/kota yang multi
tahun dan multi sumber, proyeksi ketersediaan dana harus dibuat untuk semua
sumber dana dan untuk setiap tahun periode rencana. Proyeksi tersebut disusun
dengan langkah-langkah sebagai berikut:

83
• Melakukan analisis belanja sektor pendidikan
• Melakukan analisis kebijakan sektor pendidikan
• Membuat proyeksi ketersediaan dana sektor pendidikan

1. Analisis Belanja Sektor Pendidikan


Berikut ini adalah langkah-langkah pembuatan analisis belanja sektor pendidikan
dari semua sumber dana4:
• menghitung total anggaran belanja sektor pendidikan dalam dua tahun terakhir
(tahun berjalan dan tahun sebelumnya) dan kenaikan/penurunan di tahun
berjalan dari tahun sebelumnya dengan menggunakan Tabel 1, 2, 3:
Komposisi Belanja Sektor Pendidikan – APBD Kab/Kota, Dana Sektor
Pendidikan dari APBD Provinsi, Dana Sektor Pendidikan dari APBN;
• membuat analisis belanja sektor pendidikan dari APBD Kab/Kota untuk dua
tahun terakhir guna mengetahui prioritas dan pola belanja dengan langkah-
langkah berikut:
• memilah anggaran belanja sektor pendidikan menjadi belanja gaji
(dipilah menjadi gaji pendidikan dan bukan pendidik), belanja modal
(dipilah menjadi untuk sekolah dan bukan untuk sekolah), dan belanja
operasional (dipilah menjadi untuk sekolah dan bukan untuk sekolah),
dengan menggunakan Tabel 4 - Porsi Belanja Gaji, Modal, Operasional
Sektor Pendidikan dari APBD Kab/Kota)
Komponen-komponen yang dimasukkan dalam perhitungan gaji guru
mencakup gaji serta semua tunjangan yang dicatat di account belanja
gaji pada belanja administrasi umum, maupun pembayaran lainnya yang
dicatat pada account lainnya namun bersifat menambah gaji, misalnya
insentif, uang makan, uang transport, dan lain-lain.
• menghitung pencapaian pemerintah Kab/Kota terhadap amanat UU
No. 20 Tahun 2003, Pasal 49, ayat (1), yang menetapkan bahwa dana
pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan
dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD). Dalam hal ini, karena peraturan pemerintah yang
mengimplementasi pasal ini belum terbit, maka diasumsikan bahwa yang
dimaksud didalam UU sebagai 20% dari APBD adalah 20% dari belanja
APBD. Untuk penghitungan ini, gunakan Tabel 5 – Porsi Belanja Sektor
Pendidikan dalam APBD Kab/Kota.
• membuat analisis belanja sektor pendidikan dari APBN (Dana Dekonsentrasi)
dan APBD Provinsi untuk dua tahun terakhir guna mengetahui prioritas dan
pola belanja, antara lain dengan:
• Menentukan prioritas-prioritas dalam belanja dengan membuat analisis
penggunaan anggaran belanja:
• Berdasarkan jenjang pendidikan/program: TK, SD, SMP, SMA/K,
pelatihan pemberantasan buta huruf.
• Berdasarkan fokus dukungan: peningkatan kesempatan,
pengembangan dukungan kualitas atau operasional.

4
Langkah-langkah ini merupakan bagian dari langkah-langkah pada analisa keuangan pendidikan
Kabupaten/Kota yang ditulis dalam suatu buku panduan terpisah.

84
• Mengidentifikasi kriteria yang digunakan untuk memilih daerah yang
perlu didukung/dibantu; misalnya kinerja rendah, angka kemiskinan
tinggi, daerah terpencil atau kriteria lain.

Tabel 64: Komposisi Belanja Sektor Pendidikan - APBD Kab/Kota - Tahun …. Dan Tahun.….
Tahun: …. Tahun: …. Naik (Turun)
Uraian Rp % Rp % Rp %

Satuan Kerja di dalam Bidang Pendidikan:

Dinas Pendidikan
Non DAK
DAK
Kantor Cabang Dinas Pendidikan
TKN (…)
SMPN (…)
SMAN (…)
SMKN (…)
..................................................
.............................................dst.nya
Total Bidang Pendidikan 100.00 100.00

Satuan Kerja di luar Bidang Pendidikan:

Dinas/Badan ……………………..
Dinas/Badan ……………………..
Dinas/Badan …………………….. dst.nya
Total Non-Bidang Pendidikan 100.00 100.00
Total Sektor Pendidikan

Tabel 65: Dana Sektor Pendidikan dari APBD Provinsi - Tahun …. & ….
Tahun: .... Tahun: .... Naik (Turun)
Uraian
Rp % Rp % Rp %
1. Program/Kegiatan …………..……..
2. Program/Kegiatan …………..……..
3. Program/Kegiatan ……..…..dst.nya
Total Dana 100.00 100.00

Tabel 66: Dana Sektor Pendidikan dari APBN - Tahun …. & ….


Tahun: .... Tahun: .... Naik (Turun)
Uraian
Rp % Rp % Rp %
A. Dana Dekonsentrasi
1. Program/Kegiatan …………..……..
2. Program/Kegiatan …………..……..
3. Program/Kegiatan ……..…..dst.nya
Total Dana Dekonsentrasi 100.00 100.00

Tabel 67: Porsi Belanja Gaji, Modal, Operasional Sektor Pddkan dari APBD Kab/Kota – Tahun ... & ....
Tahun: …. Tahun: …. Naik (Turun)
Uraian Rp % % Rp % % Rp %
Belanja Gaji : 100.00 ...... 100.00 ......
a. Gaji Pendidik ...... ......
b. Gaji Bukan Pendidik ...... ......
Belanja Modal : 100.00 ...... 100.00 ......
a. Sekolah ...... ......
b. Non-Sekolah ...... ......
Belanja Operasional : 100.00 ...... 100.00 ......
a. Sekolah ...... ......
b. Non-Sekolah ...... ......

Total 100.00 100.00

85
Tabel 68: Porsi Belanja Sektor Pendidikan dalam APBD Kab/Kota - Tahun …. Dan Tahun.….
Tahun: .... Tahun: .... Naik (Turun)
Uraian Rp % Rp % Rp %
Total Belanja APBD Kab/Kota 100.00 100.00
Total Belanja Sektor Pendidikan
(termasuk gaji pendidik)
Gaji pendidik
Total Belanja Sektor Pendidikan
(di luar gaji pendidik)

2. Analisis Kebijakan Sektor Pendidikan


Analisis kebijakan sektor pendidikan mencakup analisis terhadap kebijakan
pembiayaan pendidikan yang saat ini berlaku dan mengidentifikasi kebijakan-
kebijakan baru yang dapat berdampak pada jenis program/kegiatan yang dapat
didanai dan besarnya nilai pendanaan di masa mendatang. Di berbagai tingkat
pemerintahan, hal ini berarti menganalisis dokumen-dokumen berikut:

• Pemerintah Pusat
Strategi Pembiayaan Program Prioritas (Rencana Strategis/Renstra Departemen
Pendidikan Nasional/Depdiknas), termasuk Proyeksi Anggaran Depdiknas
berdasarkan program tahun 2005-2009 dan dokumen-dokumen renstra lain
yang sejenis (jika ada).

• Pemerintah Provinsi
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi dan
Renstra Dinas Pendidikan Provinsi.

• Pemerintah Kabupaten/Kota
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten/Kota.

3. Membuat Proyeksi Ketersediaan Dana


Berdasarkan analisis belanja dan analisis kebijakan sektor pendidikan, dibuat
estimasi jumlah dana yang direncanakan akan dialokasikan pada sektor pendidikan
selama periode rencana. Apabila estimasi dana tersebut tidak tersedia dalam
dokumen-dokumen yang dianalisis, maka interpretasi dibuat berdasarkan uraian-
uraian yang ada.
Format-format contoh berikut ini dapat digunakan:

Tabel 69: Proyeksi Ketersediaan Dana dari APBD Kabupaten/Kota

Analisis Tahun: 2007 Tahun: 2008 Tahun: 2009


Uraian Kebijakan (Naik/Turun) Rp % Rp % Rp %
Total Belanja APBD
....%/tahun 100.00 100.00
Kab/Kota
Total Belanja Sektor
Pendidikan (termasuk gaji ...%/tahun
pendidik)
Gaji pendidik ...%/tahun
Total Belanja Sektor
Pendidikan ...%/tahun
(di luar gaji pendidik)

86
Tabel 70: Proyeksi Penggunaan Dana Per Jenis Belanja dari
APBD Kabupaten/Kota

Analisis Tahun: 2007 Tahun: 2008


Uraian Kebijakan (Naik/Turun) Rp % % Rp % %
Belanja Gaji: 100.00 ...... 100.00 ......
a. Gaji Pendidik ....%/tahun ...... ......
b. Gaji Bukan Pendidik ...%/tahun ...... ......
Belanja Modal: 100.00 ...... 100.00 ......
a. Sekolah ....%/tahun ...... ......
b. Non-Sekolah ...%/tahun ...... ......
Belanja Operasional: 100.00 ...... 100.00 ......
a. Sekolah ....%/tahun ...... ......
b. Non-Sekolah ...%/tahun ...... ......

Total Belanja 100.00 100.00


Sektor Pendidikan

Tabel 71: Proyeksi Ketersediaan Dana dari APBD Provinsi

Analisis Tahun: 2007 Tahun: 2008 Tahun: 2009


Uraian
Kebijakan (Naik/Turun) Rp % Rp % Rp %
1. Program/Kegiatan …………..…… ....%/tahun
2. Program/Kegiatan …………..…… ....%/tahun
3. Program/Kegiatan ……....dst.nya ....%/tahun
Total Dana ....%/tahun 100.00 100.00

Tabe 72: Proyeksi Ketersediaan Dana Dari APBN (Dana Dekonsentrasi)

Analisis Tahun: 2007 Tahun: 2008 Tahun: 2009


Uraian
Kebijakan (Naik/Turun) Rp % Rp % Rp %
1. Program/Kegiatan …………..… ....%/tahun
2. Program/Kegiatan …………..… ....%/tahun
3. Program/Kegiatan …….dst.nya ....%/tahun
Total Dana ....%/tahun 100.00 100.00

7.3 Langkah Ketiga: Mengalokasikan Proyeksi


Ketersediaan Dana pada Kebutuhan Dana dan
Menyeimbangkan (Matching)
Tahap ini adalah tahap yang sangat penting dan berikut ini adalah prinsip-prinsip
panduan yang dapat diterapkan:
a. Program-program dengan prioritas tinggi akan didanai dari APBD
Kabupaten/Kota karena pemerintah kab/kota memiliki kewenangan penuh atas
dana ini;
b. Program dengan prioritas lebih rendah akan diusulkan untuk didanai dari
sumber yang kurang “pasti” atau, dengan lain kata, dari sumber di bawah
kewenangan administrasi pemerintahan yang lebih tinggi (APBD Provinsi dan
APBN);
c. Sumber dana dicocokkan dengan program dengan mempertimbangkan prioritas
pengeluaran setiap sumber dana (jenjang pendidikan dan jenis dukungan).
Misalnya, jika APBD Provinsi selama beberapa tahun terakhir mendukung
pembangunan ruang kelas baru pada jenjang SMP, maka usulan pendanaan
untuk rencana pembangunan kelas baru SMP dapat diajukan kepada
Pemerintah Provinsi (Dinas Pendidikan).

87
Bila kebutuhan dana lebih besar dibandingkan dengan dana yang sudah/akan
tersedia (terjadi defisit dana), maka untuk menyeimbangkannya, besaran ataupun
lingkup satu atau beberapa program dapat dikurangi. Hal ini dapat dilakukan
dengan cara berikut:
a. Perkecil sasaran program; misalnya, dengan mengurangi jumlah sekolah
yang akan direhabilitasi atau ruang kelas baru yang akan dibangun, atau
dengan mengurangi jumlah guru yang akan ditingkatkan kemampuannya.
b. Perpanjang periode pencapaian sasaran; misalnya, sebuah program yang
direncanakan dalam jangka waktu 3 tahun, diperpanjang menjadi 5 tahun.
c. Tinjau ulang rancangan program untuk menerapkan solusi-solusi yang lebih
murah; misalnya, pembangunan unit sekolah baru (USB) diganti dengan
penambahan ruang kelas baru (RKB), SD/SMP satu atap, atau rehabilitasi
ruang kelas sekolah-sekolah swasta.
d. Batalkan satu atau beberapa program dari rencana. Keputusan seperti ini
seharusnya merupakan alternatif terakhir dan hanya diambil dalam kondisi-
kondisi ekstrem.
Proses penyeimbangan di atas dapat dilakukan berulang-ulang hingga kebutuhan
dana seimbang dengan proyeksi dana.

88
8. TAHAP VI: PENYUSUNAN RENCANA
MONITORING DAN EVALUASI
8.1. Langkah Pertama: Menyiapkan Rancangan Monitoring
dan Evaluasi
Tujuan tahap ini adalah untuk menetapkan rancangan model monitoring dan
evaluasi (Monev) yang akan digunakan. Monitoring dan evaluasi merupakan
serangkaian kegiatan yang sistematik dan teratur untuk mendapatkan dan
menggunakan data dan informasi sebagai dasar perbaikan implementasi program.

Tujuan monev adalah untuk menilai sejauh mana rencana program/kegiatan telah
dilaksanakan dan sejauh mana dampak kegiatan tersebut terhadap perubahan
kelompok sasaran.

Manfaat dari Monev adalah untuk mengenali masalah pelaksanaan program,


melakukan koreksi/perbaikan pelaksanaan program, mengukur pencapaian
sasaran program, dan menilai tren perubahan yang diharapkan. Monitoring lebih
menekankan pada pelaksanaan program, sedangkan evaluasi lebih menekankan
pada perubahan yang terkait dengan hasil dan dampak program. Pelaksanaan
monitoring dan evaluasi diharapkan dapat menjamin apakah program tetap
berorientasi terhadap manfaat bagi kelompok sasaran, dan dapat menilai apakah
program yang dijalankan tersebut efisien, produktif, dan efektif.

Bagan 11
Model Monitoring dan Evaluasi

TUJUAN

EFEKTIVITAS
INDIKATOR

INPUT PROSES OUTPUT/


OUTCOME

EFISIENSI
PRODUKTIVITAS

Model monev yang dipakai hendaknya mencakup semua komponen sistem,


seperti input (berkaitan dengan sumberdaya yang digunakan), proses (bagaimana
program diimplementasikan), dan hasil (baik berupa output maupun outcome),
serta menilai apakah hasil tersebut dapat mencapai tujuan berdasarkan indikator
yang dikembangkan.

89
8.2. Langkah kedua: Menyiapkan Indikator Pencapaian
Kinerja Renstra
Tujuan tahap ini adalah menetapkan indikator kinerja pencapaian program
berdasarkan sasaran yang telah ditetapkan. Program pada hakekatnya adalah
intervensi yang dilakukan untuk mengubah dari satu ‘situasi yang tidak
diharapkan’ menuju ke ‘situasi yang diharapkan’. Perubahan situasi yang
dimonitor dan dievaluasi dari waktu ke waktu, diukur melalui indikator-indikator.
Perubahan ini memerlukan waktu dan sifat perubahan bertahap, mulai perubahan
awal pada tingkat ‘input’ dan ‘proses’ (kegiatan program), perubahan pada tingkat
‘output’ (cakupan program), tingkatan ‘outcome’ (biasanya pengetahuan dan
perilaku kelompok sasaran), dan sampai perubahan lanjut di tingkat ‘dampak’.

Isu penting pada bagian ini adalah menetapkan indikator kinerja yang akan
digunakan utntuk mengukur keberhasilan program. Oleh sebab itu, indikator yang
digunakan harus disesuaikan dengan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan pada
masing-masing program, seperti tercatum pada Bab IV, yaitu sesuai dengan pilar
kebijakan pendidikan, meliputi:

o Pemerataan dan perluasan akses pendidikan


Suatu petunjuk atau keterangan yang dapat digunakan untuk mengukur
keberhasilan pembangunan pendidikan dilihat dari segi peningkatan dan
pemerataan partisipasi/akses pendidikan. Indikator kunci yang dapat
digunakan antara lain:
Angka Melanjutkan (AM)
Angka Partisipasi Kasar (APK)
Angka Partisipasi Murni (APM)
Angka Partisipasi Sekolah (APS)

o Peningkatan mutu, relevansi dan daya saing


Suatu petunjuk atau keterangan yang dapat digunakan untuk mengukur
keberhasilan pembangunan pendidikan untuk mewujudkan pendidikan
masyarakat yang bermutu, berdaya saing, dan relevan dengan kebutuhan
masyarakat. Indikator kunci yang dapat digunakan antara lain:
Persentase Kepala Sekolah dan Guru menurut Ijazah Tertinggi (% GI)
Persentase Kelayakan Mengajar Kepala Sekolah dan Guru (% GL)
Persentase Ruang Kelas Menurut Kondisi (% RK)
Persentase Fasilitas Terhadap Jumlah Sekolah (% FS)
Angka Lulusan (AL)
Angka Mengulang Kelas (AMK)
Angka Putus Sekolah (APTS)

o Penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan pencitraan publik


Suatu petunjuk atau keterangan yang dapat digunakan untuk mengukur
keberhasilan pembangunan pendidikan dengan mewujudkan sistem
pengelolaan pendidikan yang efisien, efektif, dan akuntabel dengan
menekankan pada peranan desentralisasi dan otonomi pendidikan di setiap
jenjang pendidikan dan masyarakat, serta meningkatkan citra publik. Indikator
kunci yang dapat digunakan antara lain:

90
Rata-rata Lama Belajar
Rasio sekolah yang telah memiliki RPS/RKS
Kinerja Komite Sekolah (lihat tabel 62)
Rasio sekolah yang melakukan laporan keuangan tahunan
Laporan tahunan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota yang dipublikasikan
Kinerja Dewan Pendidikan (Lihat Tabel 63)

Sebagai bahan rujukan contoh indikator kinerja bidang pendidikan, khususnya


berkaitan dengan pencapaian kinerja Renstra dapat dilihat pada lampiran 1.
Keterkaitan antara program, indicator, dan unit kerja yang bertanggung jawab
dalam implementasi program dapat dilihat pada bagan berikut:

Bagan 12
Hubungan antara Program, Indikator Kinerja, dan Unit Kerja

RPJMD

RENSTRA PROGRAM/
KUA PENDANAAN
SKPD KEGIATAN

I N D I K A T O R K I N E R J A SKPD

SUBDIN UPTD

SATUAN
PENDIDIKAN

Beberapa acuan untuk menetapkan indikator kinerja pencapaian Renstra Dinas


Pendidikan Kabupaten/Kota, meliputi:
• Indikator kinerja pada RPJMD kabupaten/kota
• Indikator pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang Pendidikan, Kepmen
Diknas No. 129a Tahun 2004
• Ukuran kinerja kunci Renstra Depdiknas 2005-2009
• Indikator pencapaian kinerja pada Renstra Dinas Pendidikan Propinsi

91
8.3. Langkah Ketiga: Mengidentifikasi Unit Kerja yang Dapat
Melakukan Monitoring dan Evaluasi
Tujuan pada tahap ini ádalah untuk mengidentifikasi unit kerja mana yang dapat
melakukan monitoring dan evaluasi implementasi Renstra. Unsur-unsur yang
dapat melakukan monitoring dan evaluasi implementasi Renstra meliputi:
1. Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota
2. Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) bidang Pendidikan
3. Satuan Pendidikan
4. Dewan Pendidikan, dan
5. Komite Sekolah

Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota


Secara fungsional, Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota memiliki unit kerja yang
bertanggungjawab terhadap monitoring dan evaluasi, yang berada di bawah
bagian perencanaan. Eselonisasi Bagian Perencanaan bervariasi antar
kabupaten/kota; di beberapa kabupaten, Bagian Perencanaan berbentuk Subdin
atau setingkat dengan eselon 3, tetapi di kabupaten lainnya bagian ini berbentuk
Subbag, di bawah Bagian Tata Usaha atau setingkat eselon 4. Tupoksi pada unit
ini mencakup monitoring dan evalusi.

Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD)


UPTD pada dinas pendidikan kabupaten/kota meliputi Kantor Cabang Dinas
(KCD) Pendidikan dan Sanggar Kegiatan Belajar (SKB). Kedua jenis UPTD
tersebut memiliki fungsi monitoring dan evaluasi sesuai dengan ruang lingkup
tugas dan kewenangan yang tertuang dalam tupoksi masing-masing.

Satuan Pendidikan (Sekolah)


Pencapaian indikator kinerja pendidikan sesungguhnya berada pada satuan
pendidikan / sekolah, yang dapat diagregat ke tingkat KCD pendidikan dan dinas
pendidikan kabupaten/kota. Selain menggunakan indikator yang dapat diagregat
ke tingkat kabupaten/kota, seperti indikator dalam Standar Pelayanan Minimum
(SPM), pada tingkat sekolah dapat juga digunakan indikator yang dipakai pada
”School Report Card”.

Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota dan Komite Sekolah


Dewan Pendidikan, telah dilibatkan secara aktif pada proses penyusunan Renstra;
dengan demikian, diharapkan terlibat dalam melakukan monitoring dan evaluasi
renstra. Hal ini sesuai dengan fungsi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah,
yang antara lain adalah melakukan monitoring terhadap program-program dinas
pendidikan kabupaten/kota bagi Dewan Pendidikan dan program-program sekolah
bagi komite sekolah.
Unit lain yang relevan
Beberapa program, seperti BOS, DAK bidang Pendidikan, dan lainnya telah
mendesain kegiatan Monev sebagai suatu tahapan kegiatan yang harus dilakukan
baik dilakukan secara internal oleh pelaksana program maupun oleh pihak
eksternal.

92
8.4. Langkah Keempat: Melakukan Analisis Hasil Monitoring
dan Evaluasi
Tujuan tahap ini adalah untuk memberikan gambaran bagaimana data dan
informasi yang diperoleh melalui Monev dinalisis. Analisis yang digunakan sesuai
dengan tujuan dari monev , yaitu untuk: 1) mengukur tingkat ketercapaian sasaran
berdasarkan periodik waktu tertentu (tahunan), 2) memprediksi keberhasilan di
akhir program, jika evaluasi dilakukan pada tengah masa, dan 3) mengukur tingkat
keberhasilan program, pada akhir masa Renstra.
• Mengukur Tingkat Ketercapaian Sasaran Program
Untuk mengukur tingkat ketercapaian sasaran diperlukan seperangkat data
pada setiap indikator keberhasilan, pertama adalah data baseline yang
menggambarkan kondisi awal sebelum program/kegiatan dilaksanakan.
Berikutnya adalah data hasil monitoring ke-i (i = 1,2,3,… ke-n) yang dapat
memberikan gambaran perkembangan pencapaian indikator kinerja yang telah
ditetapkan, seperti tampak pada tabel 73.
• Memprediksi keberhasilan program
Salah satu lingkup evaluasi adalah evaluasi tengah masa (midterm evaluation)
atau dikenal juga dengan on going evaluation. Hasil evaluasi ini dapat
dijadikan bahan untuk melakukan prediksi, apakah sasaran program akan
tercapai sesuai dengan rencana, lebih rendah atau lebih tinggi.
Jika hasil proyeksi menunjukkan adanya kecenderungan tingkat pencapaian
indikator kinerja lebih rendah dari rencana, maka perlu dicari kendala-kendala
yang menyebabkan rendahnya tingkat pencapaian tersebut. Selain itu,
alternatif-alternatif kebijakan perlu diformulasikan agar sasaran program dapat
tercapai sesuai rencana. Alternatif-alternatif kebijakan yang disarankan dapat
mencakup perubahan sumberdaya yang dibutuhkan, strategi yang digunakan,
serta kebijakan yang diterapkan.
• Mengukur Tingkat Keberhasilan Program
Indikator keberhasilan program berdasarkan sasaran yang telah ditetapkan
perlu diukur tingkat pencapaiannya melalui pelaksanaan monitoring dan
evaluasi. Data baseline diisi sesuai dengan data yang ada pada profil
pendidikan, data monitoring ke-i disesuaikan dengan hasil monitoring yang
dilakukan pada tahun ke berapa ( i = 1, 2, 3, … dst.) seperti tampak pada tabel
berikut:

93
Tabel 73: Perkembangan Pencapaian Indikator Kinerja berdasarkan Hasil
Monitoring dan Evaluasi ke-i

Contoh Indikator Baseline Monitoring Monitoring Monitoring


Kinerja ke-1 ke-2 ke-n
Angka Partisipasi
Sekolah 7-12 tahun
Angka melanjutkan
SD ke SMP
Angka Putus
Sekolah SD
Angka Mengulang
Kelas SD
….
Dst

Data dan informasi hasil monitoring yang berupa capaian kinerja selanjutnya dapat
dianalisis untuk bahan evaluasi, yaitu untuk melihat apakah program/kegiatan
yang dijalankan tersebut efisien dan efektif.
Laporan evaluasi, selain melaporkan kendala-kendala yang dihadapi dalam
pencapaikan sasaran secara kuantitatif, juga mendokumentasikan keberhasilan-
keberhasilan program yang melampaui sasaran. Dokumentasi keberhasilan ini
dijadikan sebagai good practices agar dapat dipelajari dan dilanjutkan pada
periode perencanaan berikutnya.

94
Lampiran 1: Pencapaian Ukuran Kinerja Kunci Ditjen Mandikdasmen (Renstra Depdiknas 2005-2009)
PERIODE
PEMBANGUNAN 2005 – 2009 2010 - 2015 2015 - 2020 2020 - 2025
TEMA
Peningkatan Kapasitas & Modernisasi Penguatan Pelayanan Daya Saing Regional Daya Saing Internasional
PEMBANGUNAN
VISI
INSAN INDONESIA CERDAS & KOMPETITIF
PEMBANGUNAN
Akses Akses Akses Akses
• APM SD/MI mencapai 95% dan APM • APM SD/MI mencapai 97% dan • APM SD/MI mencapai 98% dan • APM SD/MI mencapai 98% dan
SMP/MTs mencapai 90%. APM SMP/MTs mencapai 92%. APM SMP/MTs mencapai 96%. APM SMP/MTs mencapai 98%.
• APK pendidikan menengah mencapai • APK pendidikan menengah • APM pendidikan menengah • APM pendidikan menengah
80%. mencapai 85%. mencapai 90%. mencapai 95%.
• APK TK atau sederajat mencapai 35%. • APK TK atau sederajat mencapai • APK TK atau sederajat • APK TK atau sederajat
50%. mencapai 70%. mencapai 95%.
• APK pendidikan luar biasa meningkat • APK pendidikan luar biasa • APK pendidikan luar biasa • APK pendidikan luar biasa
dari 5% menjadi 10%. meningkat dari 10% menjadi 30%. meningkat dari 30% menjadi meningkat dari 75% menjadi
75%. 95%.
• Disparitas APK SD/MI/SDLB antara • Disparitas APK SD/MI/SDLB • Disparitas APK SD/MI/SDLB • Disparitas APK SD/MI/SDLB
kota dan kabupaten tidak melebihi 2%. antara kota dan kabupaten tidak antara kota dan kabupaten tidak antara kota dan kabupaten tidak
melebihi 2%. melebihi 2%. melebihi 2%.

• Disparitas APK SMP/MTs/SMPLB • Disparitas APK • Disparitas APK


• Disparitas APK SMP/MTs/SMPLB SMP/MTs/SMPLB antara kota SMP/MTs/SMPLB antara kota
UKURAN KINERJA antara kota dan kabupaten tidak
antara kota dan kabupaten tidak dan kabupaten tidak melebihi dan kabupaten tidak melebihi
melebihi 13%. melebihi 2%.
KUNCI 2%. 2%.
• Disparitas APK SMA/SMK/MA/SMALB • Disparitas APK • Disparitas APK • Disparitas APK
antara kota dan kabupaten tidak SMA/SMK/MA/SMALB antara kota SMA/SMK/MA/SMALB antara SMA/SMK/MA/SMALB antara
melebihi 2%. dan kabupaten tidak melebihi 2%. kota dan kabupaten tidak kota dan kabupaten tidak
• Program rehabilitasi sekolah selesai melebihi 2%. melebihi 2%.
100%.
• Program BOS mencakup pendidikan • Program BOS mencakup
dasar wajar 9 tahun dan pendidikan pendidikan dasar wajar 9 tahun,
menengah, yang membebaskan semua pendidikan menengah, dan PAUD.
siswa miskin dari pungutan.
• Pendidikan layanan khusus berbasis • Pendidikan layanan khusus • Pendidikan layanan khusus
ICT atau TV edukasi pada minimal 30% berbasis ICT atau TV edukasi berbasis ICT atau TV edukasi
kabupaten terpencil, perbatasan, atau pada minimal 75% kabupaten pada 100% kabupaten terpencil,
terbelakang infrastrukturnya sudah terpencil, perbatasan, atau perbatasan, atau terbelakang
beroperasi dengan baik. terbelakang infrastrukturnya sudah infrastrukturnya sudah
beroperasi dengan baik. beroperasi dengan baik.

95
PERIODE
2005 – 2009 2010 - 2015 2015 - 2020 2020 - 2025
PEMBANGUNAN

TEMA
Peningkatan Kapasitas & Modernisasi Penguatan Pelayanan Daya Saing Regional Daya Saing Internasional
PEMBANGUNAN

VISI
INSAN INDONESIA CERDAS & KOMPETITIF
PEMBANGUNAN

Mutu/Relevansi/Daya Saing Mutu/Relevansi/Daya Saing Mutu/Relevansi/Daya Saing Mutu/Relevansi/Daya Saing


• 40% sekolah pada jenjang pendidikan • 50% sekolah pada jenjang pendidikan • 60% sekolah pada jenjang • 95% sekolah pada jenjang pendidikan
dasar dan menengah memiliki dasar dan menengah memiliki pendidikan dasar dan menengah dasar dan menengah memiliki
perpustakaan. perpustakaan. memiliki perpustakaan perpustakaan berstandar regional,
berstandar regional. dan 50% berstandar OECD.

• Rasio buku perpustakaan dengan murid • Rasio buku perpustakaan dengan • Rasio buku perpustakaan • Rasio buku perpustakaan dengan
mencapai 1 : 1,3 murid mencapai 1 : 0,7 dengan murid mencapai 1 : 0,3 murid mencapai 1 : 0,1

• 50% sekolah pada jenjang pendidikan • 100% sekolah pada jenjang • 60% sekolah pada jenjang • 95% sekolah pada jenjang pendidikan
dasar dan menengah memiliki sarana pendidikan dasar dan menengah pendidikan dasar dan menengah dasar dan menengah memiliki sarana
dan prasarana yang memenuhi SMP. memiliki sarana dan prasarana yang memiliki sarana dan prasarana dan prasarana yang memenuhi
memenuhi SMP. yang memenuhi standar standar regional, dan 50% berstandar
regional. OECD

• 80% kabupaten/kota memiliki minimal • 100% kabupaten/kota memiliki • 100% kabupaten/kota memiliki
satu SMK berbasis keunggulan lokal. minimal satu SMK berbasis minimal tiga SMK berbasis
keunggulan lokal. keunggulan lokal.
UKURAN KINERJA
KUNCI • Minimal 80% provinsi memiliki minimal • 100% provinsi memiliki minimal satu • 100% provinsi memiliki minimal • 100% provinsi memiliki minimal 10%
satu SMA dan satu SMK yang merintis SMA dan satu SMK yang merintis satu SMA dan satu SMK yang SMA dan 10% SMK yang bertaraf
untuk bertaraf internasional. untuk bertaraf internasional, dan bertaraf mutu regional. mutu regional, dan minimal 50% dari
minimal 30% darinya telah bertaraf yang bertaraf regional tersebut juga
internasional. bertaraf OECD.
• Sekolah terakreditasi mencapai 80% • Sekolah terakreditasi mencapai • Sekolah yang memperoleh • Sekolah yang memperoleh
untuk negeri dan 50% untuk swasta. 100%. terakreditasi A mencapai 50% terakreditasi A mencapai 70% untuk
untuk negeri dan 40% untuk negeri dan 60% untuk swasta.
swasta.
• Sekolah yang memperoleh terakreditasi • Sekolah yang memperoleh • Sekolah terakreditasi regional • Sekolah terakreditasi regional
A mencapai 8% untuk negeri dan 5% terakreditasi A mencapai 20% untuk mencapai 30%. mencapai 50%, dan akreditasi OECD
untuk swasta. negeri dan 12% untuk swasta. mencapai 25%.
• 95% sekolah sudah menerapkan • 100% sekolah sudah menerapkan
kurikulum berbasis kompetensi. kurikulum berbasis kompetensi.
• Rata-rata nilai ujian nasional SD/MI • Rata-rata nilai ujian nasional SD/MI
mencapai 5.50. mencapai 7.00.

96
• Rata-rata ujian nasional SMP/MTs dan • Rata-rata ujian nasional SMP/MTs
SMA/SMK/MA mencapai 7.00. dan SMA/SMK/MA mencapai 7.00.

• Indonesia masuk dalam 5 besar • Indonesia masuk dalam 5 besar • Indonesia masuk dalam 4 besar • Indonesia masuk dalam 3 besar
olimpiade matematika atau sains olimpiade matematika atau sains olimpiade matematika atau olimpiade matematika atau sains
internasional tingkat SLTP minimal 3 internasional tingkat SLTP setiap sains internasional tingkat SLTP internasional tingkat SLTP setiap
kali dalam 5 tahun. tahun. setiap tahun. tahun.

• Indonesia masuk dalam 3 besar • Indonesia masuk dalam 3 besar • Indonesia masuk dalam 2 besar • Indonesia masuk dalam 2 besar
olimpiade matematika atau sains Asia olimpiade matematika atau sains Asia olimpiade matematika atau sains olimpiade matematika atau sains Asia
tingkat SLTA minimal 3 kali dalam 5 tingkat SLTA setiap tahun. Asia tingkat SLTA setiap tahun. tingkat SLTA setiap tahun.
tahun.
• Indonesia masuk dalam 5 besar • Indonesia masuk dalam 5 besar • Indonesia masuk dalam 4 besar • Indonesia masuk dalam 3 besar
olimpiade matematika atau sains olimpiade matematika atau sains olimpiade matematika atau olimpiade matematika atau sains
internasional tingkat SLTA minimal 3 internasional tingkat SLTA setiap sains internasional tingkat SLTA internasional tingkat SLTA setiap
kali dalam 5 tahun. tahun. setiap tahun. tahun.

• 5% siswa SMA meraih score TOEFL ≥ • 20% siswa SMA meraih score TOEFL • 40% siswa SMA meraih score • 50% siswa SMA meraih score TOEFL
400 ≥ 400 TOEFL ≥ 400 ≥ 400
• 5% siswa SMK meraih score TOIEC ≥ • 20% siswa SMK meraih score TOIEC • 40% siswa SMK meraih score • 50% siswa SMK meraih score TOIEC
400 ≥ 400 TOIEC ≥ 400 ≥ 400
• 80% SMP memiliki akses ke TV-based • 100% SMP memiliki akses ke
learning. ICT/TV-based learning.
• 80% SMA/SMK memiliki akses ke • 100% SMA/SMKmemiliki akses ke
ICT-based learning. ICT/TV-based learning.
• 30% siswa berkecerdasan/berbakat luar • 100% siswa berkecerdasan/berbakat • 100% siswa berkecerdasan/ • 100% siswa berkecerdasan/berbakat
biasa mendapat bantuan beasiswa luar biasa dan 50% siswa dengan berbakat luar biasa dan 75% luar biasa dan 100% siswa dengan
peringkat tiga terbaik pada setiap siswa dengan peringkat tiga peringkat tiga terbaik pada setiap
satuan pendidikan mendapat bantuan terbaik pada setiap satuan satuan pendidikan mendapat bantuan
beasiswa. pendidikan mendapat bantuan beasiswa.
beasiswa.
• Rasio jumlah SMA : SMK berubah dari • Rasio jumlah SMA : SMK berubah • Rasio jumlah SMA : SMK • Rasio jumlah SMA : SMK berubah
70% : 30% menjadi 60% : 40% dari 60% : 40% menjadi 50% : 50% berubah dari 50% : 50% menjadi dari 40% : 60% menjadi 30% : 70%
40% : 60%

97
Lampiran 2: Standar Pelayanan Minimal bidang Pendidikan (Kepmen No. 129a
Tahun 2004)

Standar Pelayanan Minimal (SPM) Pendidikan Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah


(MI) terdiri atas:
• 95 persen anak dalam kelompok usia 7-12 tahun bersekolah di SD/MI.
• Angka Putus Sekolah (APS) tidak melebihi 1 persen dari jumlah siswa yang bersekolah.
• 90 persen sekolah memiliki sarana dan prasarana minimal sesuai dengan standar teknis
yang ditetapkan secara nasional.
• 90 persen dari jumlah guru SD yang diperlukan terpenuhi.
• 90 persen guru SD/MI memiliki kualifikasi sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan
secara nasional.
• 95 persen siswa memiliki buku pelajaran yang lengkap untuk setiap mata pelajaran.
• Jumlah siswa SD/MI per kelas antara 30 - 40 siswa.
• 90 persen dari siswa yang mengikuti uji sampel mutu pendidikan standar nasional
mencapai nilai “memuaskan” dalam mata pelajaran membaca, menulis, dan berhitung
untuk kelas III serta mata pelajaran bahasa, matematika, IPA, dan IPS untuk kelas V.
• 95 persen dari lulusan SD melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah
Tsanawiyah (MTs).

SPM Pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs) terdiri


atas:
• 90 persen anak dalam kelompok usia 13 -15 tahun bersekolah di SMP/MTs.
• Angka Putus Sekolah (APS) tidak melebihi 1 persen dari jumlah siswa yang bersekolah.
• 90 persen sekolah memiliki sarana dan prasarana minimal sesuai dengan standar teknis
yang ditetapkan secara nasional.
• 80 persen sekolah memiliki tenaga kependidikan non guru untuk melaksanakan tugas
administrasi dan kegiatan non mengajar lainnya.
• 90 persen dari jumlah guru SMP yang diperlukan terpenuhi.
• 90 persen guru SMP/MTs memiliki kualifikasi, sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan
secara nasional.
• 100 persen siswa memiliki buku pelajaran yang lengkap untuk setiap mata pelajaran.
• Jumlah siswa SMP/MTs per kelas antara 30 – 40 siswa.
• 90 persen dari siswa yang mengikuti uji sampel mutu pendidikan standar nasional
mencapai nilai “memuaskan” dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris,
Matematika, IPA, dan, IPS di kelas I dan II.
• 70 persen dari lulusan SMP/MTs melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) /
Madrasah Aliyah (MA) / Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

98
SPM Pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA)/ Madrasah Aliyah (MA) terdiri atas:
• 60 persen anak dalam kelompok usia 16 -18 tahun bersekolah di SMA/MA dan SMK.
• Angka Putus Sekolah (APS) tidak melebihi 1 persen dari jumlah siswa yang bersekolah.
• 90 persen sekolah memiliki sarana dan prasarana minimal sesuai dengan standar teknis
yang ditetapkan secara nasional.
• 80 persen sekolah memiliki tenaga kependidikan non-guru untuk melaksanakan tugas
administrasi dan kegiatan non-mengajar lainnya.
• 90 persen dari jumlah guru SMA/MA yang diperlukan terpenuhi.
• 90 persen guru SMA/MA memiliki kualifikasi sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan
secara nasional.
• 100 persen siswa memiliki buku pelajaran yang lengkap untuk setiap mata pelajaran.
• Jumlah siswa SMA/MA per kelas antara 30 – 40 siswa.
• 90 persen dari siswa yang mengikuti uji sampel mutu standar nasional mencapai nilai
“memuaskan” dalam mata pelajaran bahasa Inggris, Geografi, dan Matematika Dasar
untuk kelas I dan II.
• 25 persen dari lulusan SMA/MA melanjutkan ke Perguruan Tinggi yang terakreditasi.

SPM pendidikan keaksaraan terdiri atas:

• Semua penduduk usia produktif (15-44 tahun) bisa membaca dan menulis.

• Jumlah orang buta aksara dalam kelompok usia 15-44 tahun tidak melebihi 7 persen.
• Jumlah orang buta aksara dalam kelompok usia di atas 44 tahun tidak melebihi 30 persen.
• Tersedianya data dasar keaksaraan yang diperbaharui secara terus menerus.

99
DAFTAR SINGKATAN

ABA Angka Buta Aksara


AM Angka Melanjutkan
AMK Angka Mengulang Kelas
APK Angka Partisipasi Kasar
APM Angka Partisipasi Murni
APS Angka Partisipasi Sekolah
APTS Angka Putus Sekolah
BOS Bantuan Operasional Sekolah
DAK Dana Alokasi Khusus
KCD Kantor Cabang Dinas
KKG Kelompok Kerja Guru
KUA Kebijakan Umum APBD
MGMP Musyawarah Guru Mata Pelajaran
MONEV Monitoring dan Evaluasi
NUPTK Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan
PAKEM Pengajaran Aktif, Kreatif, Efektif, & Menyenangkan
PAUD Pendidikan Anak Usia Dini
PKBM Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat
RKB Ruang Kelas Baru
RPJPD Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah
RPJMD Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
RPS Rencana Pengembangan Sekolah
RKS Rencana Kerja Sekolah
RPK Rencana Pengembangan Kapasitas
SKB Sanggar Kegiatan Belajar
SKPD Satuan Kerja Perangkat Daerah
UN Ujian Nasional
UPTD Unit Pelaksana Teknis Daerah
US Ujian Sekolah
USB Unit Sekolah Baru
TBM Taman Bacaan Masyarakat

100

Anda mungkin juga menyukai