a. direktur,
b. seksi pelayanan,
c. sub bagian kesekretariatan dan rekam medik,
d. sub bagian keuangan dan program, instalasi
e. komite medik dan staf medik fungsional.
(a) direktur,
(b) seksi pelayanan,
(c) sub bagian kesekretariatan dan rekam medik,
(d) sub bagian keuangan dan program, instalasi
(e) komite medik dan staf medik fungsional.
(f) seksi keperawatan
(g) dewan penyantun
(h) satuan pengawas intern.
Pada Rumah Sakit Kelas B non pendidikan terdapat tambahan dua wakil direktur di bidang pelayanan. Sedangkan
Rumah Sakit Kelas A merupakan Rumah Sakit yang paling lengkap struktur organisasinya dengan adanya empat wakil
direktur yang membawahi bidang pelayanan medik, penunjang medik, pendidikan dan pelatihan, umum dan
keuangan (Undang-Undang Nomor 44, 2009 dan Menteri Kesehatan RI, 2014).
Komite / Tim Farmasi dan Terapi (KFT) merupakan unit kerja dalam memberikan rekomendasi kepada pimpinan
Rumah Sakit mengenai kebijakan penggunaan obat di Rumah Sakit yang anggotanya terdiri dari dokter yang
mewakili semua spesialisasi yang ada di Rumah Sakit, Apoteker Instalasi Farmasi, serta tenaga kesehatan lainnya
apabila diperlukan (Menteri Kesehatan RI, 2016). Tugasnya menjalankan fungsi pemantauan farmasi dan terapi yang
mencakup pengembangan kebijakan dan prosedur pengelolaan obat dan bahan uji diagnostik, pengembangan dan
pemeliharaan formularium obat, evaluasi yang berkaitan dengan penggunaan obat investigasi atau obat percobaan,
serta penetapan dan pengkajian semua reaksi obat yang merugikan. Peran Apoteker dalam Komite/Tim lain yang
terkait dengan penggunaan obat di Rumah Sakit antara lain:
Berdasarkan Permenkes Nomor 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, Komite/Tim
Farmasi dan Terapi mempunyai tugas:
a) Mengembangkan kebijakan tentang penggunaan Obat di Rumah Sakit;
b) Melakukan seleksi dan evaluasi Obat yang akan masuk dalam formularium Rumah Sakit;
c) Mengembangkan standar terapi;
d) Mengidentifikasi permasalahan dalam penggunaan Obat;
e) Melakukan intervensi dalam meningkatkan penggunaan Obat yang rasional;
f) Mengkoordinir penatalaksanaan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki;
g) Mengkoordinir penatalaksanaan medication error;
h) Menyebarluaskan informasi terkait kebijakan penggunaan Obat di Rumah Sakit.
Komite/Tim Farmasi dan Terapi dapat diketuai oleh seorang dokter atau seorang apoteker. Jika diketuai oleh dokter
maka sekretarisnya adalah apoteker, namun jika diketuai oleh apoteker, maka sekretarisnya adalah dokter.
Komite/Tim Farmasi dan Terapi harus mengadakan rapat secara teratur, sedikitnya 2 (dua) bulan sekali dan untuk
rumah sakit besar rapat diadakan sekali dalam satu bulan.
Pendistribusian perbekalan farmasi untuk pasien rawat inap merupakan kegiatan pendistribusian yang
diselenggarakan secara sentralisasi dan atau desentralisasi dengan sistem persediaan lengkap di ruangan, sistem
resep perorangan, sistem unit dosis, dan sistem kombinasi. Dari aspek manajerial apoteker memiliki peran untuk
mengelola SDM, sarana dan prasarana, sistem pelayanan, serta ketersediaan perbekalan farmasi. Aspek klinik atau
fungsional pada rawat inap meliputi pengkajian resep, penelusuran riwayat penggunaan obat, rekonsiliasi obat,
pemantauan terapi obat, pemberian informasi obat, konseling, edukasi, dan visite. 1 apoteker 30 pasien.
Sistem distribusi dirancang atas dasar kemudahan untuk dijangkau pasien dengan mempertimbangkan efisiensi dan
efektifitas sumber daya yang ada; serta metode sentralisasi dan desentralisasi. Menurut Permenkes No. 72 tahun
2016, sistem pendistribusian yang dilakukan di Rumah Sakit meliputi: