Anda di halaman 1dari 32

KEBUTUHAN NUTRISI PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah 1

Dosen Pembimbing :
Ns. Yuni Dwi Hastuti, S.Kep., M.Kep

Disusun Oleh :
Laela Safitri 22020122120006
Mutia Rifngatul Arojah 22020122120008
Mufidatun Wafiyah 22020122120009
Anggarda Fharametta 22020122120016
Tita Aisha Salma 22020122120018
Putri Febriyanti 22020122120019
Dea Marsha Aurelia 22020122120026
Lailia Rohmatun Nazilla 22020122120036

DEPARTEMEN ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2023
1. Definisi Nutrisi dan Diabetes Melitus
A. Konsep Nutrisi
Nutrient adalah kandungan organik dan non-organik yang terdapat
dalam makanan dan dibutuhkan untuk fungsi tubuh sebagai pertibangan
dan mempertahanakan jaringan tubuh serta fungsi normal tubuh (Rofi’i,
2015).
Makanan yang mengandung esensial seimbang yaitu: air,
karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Di dalam tubuh manusia,
air merupakan nutrisi dasar yang memenuhi persentase sekitar 70% yang
berguna dalam keberlangsungan hidup. Selain itu, terdapat beberapa
nutrisi lain yang berperan dalam tubuh manusia, di antaranya yaitu:
a. Karbohidrat
Terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen. Terdapat dua jenis
karbohidrat yaitu karbohidrat sederhana (gula) dan karbohidrat
kompleks (pati dan serat), dengan karakteristik sebagai berikut:
1) Gula: monosakarida (glukosa, fruktosa, galaktosa) dan
disakarida. Biasanya terdapat dari buah-buahan, gula pasir,
tebu. Selain itu terdapat laktosa yang merupakan kombinasi
dari glukosa dan galaktosa dalam susu.
2) Pati (zat tepung): polisakarida. Banyak terdapat pada
kentang, padi, dan kacang polong.
3) Serat (fiber): banyak terdapat pada sayuran, yang dapat
melancarkan sistem pencernaan.
Peran penting karbohidrat menurut Mardalena (2021), antara lain:
1) Sumber tenaga
Karbohidrat sangat penting untuk memenuhi kebutuhan
energi, sehingga menjadi kebutuhan pokok manusia di
seluruh wilayah dunia. Jenis karbohidrat yang paling
dibutuhkan saat ini oleh sistem pusat dan otak adalah
glukosa yang diedarkan melalui sistem peredaran darah.
Bentuk karbohidrat lainnya disimpan di hati dan otot
sebagai glikogen, serta di jaringan lemak yang berfungsi
sebagai tempat penyimpanan energi.
2) Pengatur Metabolisme Lemak
Karbohidrat dapat mencegah terjadinya oksidasi lemak
tidak sempurna yang menghasilkan bahan-bahan keton
yang dapat menyebabkan ketidak seimbangan natrium dan
dehidrasi. Kondisi ini menyebabkan ketosis atau asidosis
yang dapat merugikan tubuh. Maka sebanyak 50-100 gram
karbohidrat setiap harinya harus digunakan untuk
mencegah ketosis.
3) Penghemat protein
Dalam proses metabolisme tubuh, protein berperan sebagai
zat pembangun. Perannya akan menurun jika tubuh
kekurangan karbohidrat.
4) Pemberi rasa manis alami
Rasa manis alami berasal dari karbohidrat dalam bentuk
mono dan disakarida.
5) Membantu Pengeluaran Feses
Karbohidrat dapat mengatur gerakan peristaltik usus dan
memberi bentuk pada feses sehingga mudah dikeluarkan
dari tubuh. Zat yang digunakan dalam karbohidrat adalah
selulosa dari serat makanan untuk mengatur gerak
peristaltik usus.
b. Protein
Protein adalah molekul makro terbesar dalam tubuh setelah air dan
berada pada setiap sel yang hidup (Mardalena, 2021). Protein adalah
kumpulan zat organik yang terdiri dari asam amino yang
mengandung karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen (Rofi’i, 2015).
Sumber protein dapat diperoleh dalam dua jenis yaitu:
1. Protein nabati
Protein nabati tertinggi terdapat pada kacang kedelai yang
memiliki nilai protein 34,9 lainnya dapat diperoleh pada kacang
merah, kacang mete, kacang hijau, kacang tanah kupas, tempe
kedelai murni, tahu, beras setengah giling, gaplek, kentang,
ketela pohon, daun singkong, kangkung bayam, tomat masak,
jagung kuning/pipil, wortel, roti putih, mie kering, dan mangga
harum manis.
2. Protein hewani
Sumber protein hewani dapat diperoleh pada daging ayam,
daging sapi, telur ayam, telur bebek, ikan segar, udang segar,
keju, tepung susu/dan krim.
c. Lemak
Lemak merupakan substansi organik yang tidak larut dalam air, tetapi
larut dalam alkohol atau eter. Lemak dalam tubuh tidak dapat menjadi
sumber energi utama karena merupakan sumber energi cadangan.
Klasifikasi lemak, terdiri dari:
1. Lemak sederhana, terdiri dari lemak netral monogliserida,
digliserida, dan trigliserida (ester asam lemak dengan gliserol) dan
ester lemak dengan alkohol berberat molekul tinggi (malam, ester
sterol, ester nonsterol, dan ester vitamin A dan ester vitamin D).
2. Lemak majemuk, terdiri dari fosfolipid dan lipoprotein
3. Lemak turunan, yang terdiri dari:
a. Asam lemak
b. Sterol: kolesterol dan ergosterol, vitamin D, hormon
steroid, dan garam empedu
c. Lemak turunan dan lain-lain (vitamin A,D,E dan K)
d. Vitamin
Vitamin adalah senyawa organik yang terdiri dari karbon, hidrogen,
oksigen, dan sejumlah nitrogen atau unsur lain yang dibutuhkan dalam
jumlah kecil untuk metabolisme, pertumbuhan, dan perkembangan
(Mardalena, 2021).
Klasifikasi vitamin menurut Rofi’i (2015) dalam buku Buku Ajar
Ketrampilan Dasar Dalam Keperawatan, adalah sebagai berikut:
1. Vitamin yang larut dalam air
Terdiri dari vitamin C, B kompleks, B (thiamine), B2 (rhiamine),
B3 (niacin), B6 (pyrodixine), B9 (folic acid), B12 (cobalamin),
biotin, dan phantonic acid.
2. Vitamin yang larut dalam lemak
Terdiri dari vitamin A, D, E, dan K. Tubuh manusia dapat
menyimpan jenis vitamin ini dalam kurun waktu tertentu, sehingga
tidak terlalu penting untuk dikonsumsi setiap hari.
e. Mineral
Mineral adalah kofaktor dari enzim-enzim yang berfungsi dalam
metabolisme tubuh (Mardalena, 2021). Fungsi mineral secara umum
adalah umum adalah sebagai penyusun kerangka tulang, gigi dan oto.
Selain itu, mineral juga berperan dalam mengatur keseimbangan asam
basa, mengatur tekanan osmotic, transmisi sel saraf dan kontraksi otot.
Terdapat dua klasifikasi mineral, yaitu:
1. Mineral makro
Jenis mineral ini dibutuhkan sebanyak lebih dari 100 mg dalam
sehari. Mineral makro terdiri dari Klor (Cl), Natrium (Na),
Magnesium (Mg), Fosfor (P), Kalsium (Ca), Kalium (K), dan
Sulfur (S).
2. Mineral mikro
Jenis mineral ini dibutuhkan kurang dari 100 mg dalam sehari.
Mineral mikro mempunyai peranan penting dalam kehidupan,
kesehatan, dan reproduksi. Mineral mikro terdiri dari Tembaga
(Cu), Besi (Fe), Seng (Zn), Iodium (I), Kobalt (Co), Fluor (F),
Molibden (Mo), Mangan (Mn), Selenium (Se), Krom (Cr).

2. Diabetes Melitus Tipe 2


A. Konsep Diabetes Melitus
Diabetes Melitus adalah penyakit kronis yang terjadi akibat kegagalan
pankreas memproduksi insulin yang mencukupi atau tubuh tidak mampu
menggunakan secara efektif insulin yang diproduksi (Kurniawaty, 2014).
Diabetes melitus berhubungan dengan tingginya kadar glukosa dalam darah.
Glukosa merupakan sumber energi utama bagi tubuh manusia. Pada penderita
diabetes, sel-sel tubuh tidak dapat menyerap dan mengolah glukosa menjadi
energi dikarenakan kegagalan pankreas memproduksi hormon insulin. Glukosa
yang tidak diserap sel tubuh dengan baik akan menumpuk dalam darah.
Kondisi tersebut dapat menimbulkan berbagai gangguan pada organ tubuh. Jika
tidak terkontrol dengan baik, diabetes dapat menimbulkan komplikasi yang
berisiko mengancam nyawa penderitanya.

Diabetes Mellitus disebut dengan “the silent killer” karena penyakit ini
dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam
keluhan. Penyakit yang akan ditimbulkan antara lain gangguan penglihatan
mata, katarak, penyakit jantung, sakit ginjal, impotensi seksual, luka sulit
sembuh dan membusuk/gangren, infeksi paru-paru, gangguan pembuluh darah,
stroke dan sebagainya (Fatimah, 2015). Maka, beberapa penderita Diabetes
Melitus yang sudah parah dapat menjalani amputasi anggota tubuh karena
terjadi pembusukan.

Dari segi penyebabnya, diabetes melitus dibedakan menjadi 2 yaitu


diabetes melitus tipe 1 dan tipe 2. Diabetes Melitus tipe 1 merupakan jenis
diabetes yang disebabkan karena tidak adanya produksi insulin sama sekali.
Sedangkan Diabetes Melitus Tipe 2 disebabkan ketidakcukupan dan tidak
efektifnya kerja insulin. Diabetes Melitus tipe 2 merupakan jenis diabetes yang
paling umum ditemui di masyarakat yaitu sekitar 80% dari 90% semua kasus
diabetes melitus. Diabetes Melitus tipe 2 sebagian besar ditandai dengan
adanya kondisi hiperglikemia, resistensi insulin dan defisiensi relatif insulin.

B. Klasifikasi Diabetes Melitus


1) Diabetes Melitus tipe 1

Tipe diabetes ini ditandai dengan destruksi sel Beta pankreas akibat
faktor genetik, imunologi, dan faktor lingkungan (virus). Pada
penderita Diabetes Melitus Tipe 1 membutuhkan injeksi insulin ke
dalam tubuhnya untuk mengontrol kadar glukosa dalam darah.
Diabetes Melitus tipe I paling banyak menyerang pada usia anak-
anak hingga remaja. Biasanya diabetes jenis ini bisa diidentifikasi
pada pasien berusia kurang dari 30 tahun. Faktor Risiko terjadinya
Diabetes Mellitus Tipe I terdiri dari faktor tetap yaitu terdiri dari
usia, jenis kelamin, riwayat diabetes gestasional, faktor genetik,
penyakit autoimun dan ras (Faida & Santik, 2020).

2) Diabetes Melitus tipe 2

Diabetes Tipe 2 disebabkan oleh penurunan jumlah insulin yang


diproduksi dalam tubuh. Diabetes Melitus lebih mengarah pada
diabetes tipe 2 pada usia lebih dari 30 tahun (Wistiani, 2016).

3) Diabetes Melitus Gestasional

Diabetes Gestasional merupakan jenis diabetes yang hanya terjadi


pada ibu hamil. Diabetes Mellitus (DM) Gestasional dapat
mengancam keadaan ibu karena dapat menyebabkan beberapa
komplikasi pada saat kehamilan, pada saat melahirkan, dan setelah
melahirkan. DM Gestasional pun dapat mengancam keadaan bayi
bahkan sampai menyebabkan kematian. Peningkatan produksi
hormon pada saat kehamilan menyebabkan terjadinya resistensi
insulin dan peningkatan kadar gula darah (Rahmawati et al., 2016).

4) Diabetes Melitus Tipe lain

Diabetes Melitus tipe lain dapat dikelompokan sebagai berikut :


A. Kelainan genetik fungsi sel beta

Kelainan genetik ini dapat menyebabkan terjadinya diabetes


melitus yang dipengaruhi sekresi atau kerja insulin, kelainan
metabolik yang mengakibatkan seseorang tidak dapat
mentoleransi glukosa.

B. Kelainan genetik pada insulin

Mutasi pada reseptor insulin mengakibatkan sekumpulan kelainan


jarang yang dikarakteristikkan dengan resistensi insulin berat.
Mutasi ini dapat terjadi pada kelainan seperti resistensi insulin
tipe A, diabetes lipoatropik.

C. Penyakit eksokrin pankreas

Diabetes melitus dapat diakibatkan oleh penyakit eksokrin


pankreas ketika terjadi kerusakan pada sel islet pankreatik
(>80%). Penyakit-penyakit eksokrin pankreas yang dapat
mengakibatkan Diabetes Melitus antara lain: Pankreatitis,
Neoplasma,Cystic fibrosis, Hemochromatosis,
Trauma/Pankreatektomi.

D. Diabetes imunologi

Kelainan ini antara lain:”stiff- man”syndrome, dan anti-insulin


receptor antibodies.

E. Obat-obatan

Penggunaan obat-obatan tertentu dapat mengakibatkan diabetes


melitus. Obat-obat tersebut antara lain: vacor, streptozotocin,
alloxan,hormon tiroid, diazoxide, kontrasepsi oral

F. Endokrinopati
Hormon yang kerjanya antagonis dengan insulin dapat
mengakibatkan diabetes melitus. Sehingga diabetes melitus dapat
disertai dengan endokrinopati. Endokrinopati yang dapat
mengakibatkan DM antara lain: Cushing sydrome, akromegali,
aldesteronoma, Feokromositoma, Hipertiroidisme.

G. Infeksi

Infeksi virus dapat menyebabkan kerusakan pada sel islet


pankreas namun namun kejadian ini sangatlah jarang
menyebabkan DM. Kongenital rubella meningkatkan risiko untuk
terkena diabetes melitus.

H. Sindrom genetik lain

Sindrom genetik lain yang dapat mengakibatkan diabetes melitus


yaitu Down’s syndrome, Turner’s syndrome, dan lain-lain.

2. Masalah Fisik Pasien dengan Gangguan Kebutuhan Nutrisi pada


Penyakit Diabetes Melitus Tipe 2
Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit menahun yang
ditandai dengan glukosa darah atau gula darah melebihi nilai normal, sama
atau lebih dari 200 mg/dl, dan kadar gula puasa diatas atau sama dengan
126 mg/dl. Berikut ini adalah urutan yang menunjukkan siapa saja yang
mempunyai kemungkinan akan menderita penyakit DM. yaitu:
1. Kedua orang tuanya mengidap penyakit DM
2. Salah satu orangtuanya atau saudara kandungnya mengidap penyakit
3. Salah satu anggota keluarga (nenek, paman, bibi, keponakan, sepupu)
mengidap DM
4. Pernah melahirkan bayi dengan berat badan lahir > 4 kg
5. Pada waktu pemeriksaan kesehatan pernah ditemukan kadar glukosa
darah melebihi antara 140-200 mg/dl
6. Menderita penyakit liver (hati) kronik atau agak berat
7. Terlalu lama minum obat-obatan, mendapat suntikan atau minum tablet
golongan kortikosteroid (sering digunakan oleh penderita asma, penyakit
kulit, penyakit rematik, dan lain-lain) misalnya prednison, oradexon.
kenacort reumasil, kortison, hidrokortison,
8. Terkena infeksi virus tertentu misalnya virus morbili, virus yang
menyerang kelenjar ludah, dan lain-lain.
9. Terkena obat-obatan anti serangga (insektisida)

Diagnosa khas DM pada umumnya terdapat poliuria (banyak


kencing), polidipsia (banyak minum), polifagia (banyak makan),
penurunan berat badan yang diketahui spesifik alasanya, dan beberapa
keluhan lainya.
A. Poliuria
Poliuria didefinisikan sebagai berkemih dengan sejumlah urine
yang banyak secara abnormal, biasanya terjadi peningkatan rasa
haus. Pada kondisi abnormal didapatkan, setiap hari volume urine
melebihi 1000 ml pada anak pra sekolah, 2000 ml pada anak
sekolah dan 3000 ml pada dewasa. Definisi yang lebih tepat pada
poliuria ialah volume urine setiap hari melebihi 2000 ml/m2
permukaan tubuh. Poliuria sering disertai polidipsi. Kadar glukosa
darah yang tinggi akan dikeluarkan melalui air kemih, jika semakin
tinggi kadar glukosa darah maka ginjal menghasilkan air kemih
dalam jumlah yang banyak. Akibatnya penderita diabetes sering
berkemih dalam jumlah banyak. Keluarnya urine dalam jumlah
besar dapat mengakibatkan hiponatermia, atau rendahnya kadar
natrium dalam darah. Untuk menegakkan diagnosis poliuria maka
perlu dilakukan water deprivation test (uji haus). Untuk melakukan
tes ini seseorang harus cukup dehidrasi untuk menstimulasi
produksi ADH dan mengukur volumenya.
B. Polifagi
Polifagi adalah suatu keadaan dimana terdapat kelainan pada
sistem metabolisme tubuh yang menyebabkan seorang penderita
diabetes melitus sering merasa lapar atau nafsu makan meningkat
akibat glukosa tidak dapat masuk ke sel untuk digunakan sebagai
energi, sehingga tubuh gagal memproduksi insulin secara optimal,
yang menyebabkan kebutuhan energi penderita pun tidak akan
terpenuhi meskipun sudah makan (Lathifah, 2017). Poliuri juga
menjadi salah satu penyebab rasa lapar yang berkelanjutan karena
buang air kecil secara terus-menerus dapat menyebabkan
terbuangnya kalori dalam tubuh. Pada penderita diabetes yang
kondisinya sulit dikontrol, mengkonsumsi banyak makanan hanya
akan membuat kadar gula darah semakin tinggi.
Adapun gejala polifagi yang dapat dilihat pada penderita diabetes,
antara lain sebagai berikut :
1. Meningkatnya rasa lapar dan keinginan untuk makan
semakin besar
2. Penglihatan tiba-tiba kabur dan buram
3. Sering sakit kepala, pusing, dan muntah setelah melakukan
aktivitas sedang seperti olahraga
4. Tubuh berkeringat dan gemetar
5. Alami perubahan perilaku

C. Polidipsi
Polidipsia adalah kondisi di mana seseorang merasa haus secara
berlebihan akibat kadar gula berlebih dalam darah menyerap air
terus menerus dari jaringan tubuh sehingga membuat penderita
diabetes mudah dehidrasi. Diabetes melitus menyebabkan
komplikasi yang berakhir pada kematian (Lathifah, 2017). Saat
tubuh penderita diabetes tidak dapat menurunkan level gula di
dalam darah, maka level gula tersebut akan semakin meningkat
secara abnormal. Hal inilah yang menyebabkan rasa haus ekstrem.
D. Badan Lemas
Rasa lemah disebabkan karena glukosa tidak dapat masuk kedalam
sel, sehingga sel kekurangan bahan bakar untuk menghasilkan
energi. Glukosa yang ada dalam darah tidak bisa masuk ke dalam
sel sehingga sel kekurangan bahan bakar untuk menghasilkan
energi. Karena untuk bertahan hidup, energi harus diperoleh dari
cadangan lain yaitu sel lemak dan otot. Akibatnya, penderita
kehilangan jaringan lemak dan otot dan menjadi lebih kurus
(Wijaya, 2013).

E. Penurunan Berat Badan


Penurunan berat badan terjadi karena tubuh memecah
cadangan energi lain dalam tubuh seperti lemak. Penyandang DM
akan mengalami defisiensi insulin, sehingga terganggunya
metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan penurunan
berat badan. Penurunan berat badan ini akan mengakibatkan
berkurangnya jumlah simpanan kalori. Penyandang DM dalam
keadaan stres fisiologis dan emosional dapat terjadi hiperglikemia,
sehingga meningkatkan produksi glukosa oleh hati dan
mengganggu penggunaan glukosa dalam jaringan otot serta lemak
dengan cara melawan kerja insulin. Keadaan stres menyebabkan
peningkatan sekresi hormon epineprin dan kortisol yang
meningkatkan kadar glukosa darah.
Menurut America Diabetic Asociation (ADA) penyakit DM
dapat ditandai dengan banyak minum, banyak makan, sering buang
air kecil dan terjadi penurunan berat badan. Penurunan berat badan
dapat terjadi penurunan massa otot yang berada di tubuh. Apabila
terjadi penurunan massa otot di pada nasofaring dan orofaring
dapat terjadi Obstructive Sleep Apnea (OSA). Penurunan berat
badan dapat terjadi penurunan massa otot yang berada di tubuh.
Penurunan berat badan secara signifikan berhubungan dengan
adanya penurunan glukosa darah.
Namun, dalam kasus tertentu dengan karena tidak sesegera
mungkin di berikan penanganan, kondisi 3P dapat berubah dan
hanya 2P (polidipsia dan poliuria) dan beberapa keluhan lain
seperti nafsu makan mulai berkurang, dan timbuknya rasa mual
jika kadar glukosa melebihi 500mg/dl, dengan disertai oleh ;
banyak minum, banyak kencing, berat badan turun dengan cepat
hingga 5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu, mudah lelah. Jika tidak
diobati akan timbul rasa mual, bahkan penderita akan jatuh koma
dan tifak sadarkan diri, kasus ini disebut dengan koma diabetik.
Koma diabetik adalah koma pada penderita DM akibat dari kadar
glukosa darah yang terlalu tinggi diatas 600 mg/dl.

F. Intoleransi Aktivitas
Intoleransi aktivitas adalah ketidak efektifan energy untuk
melakukan aktivitas sehari-hari (Tim Pokja SDKI DPP PPNI,
2017).
Intoleransi aktivitas pada diabetes merupakan suatu kondisi
dimana seseorang mengalami keterbatasan/penurunan dalam
aktivitas fisik dibandingkan biasanya karena kelemahan akibat
penurunan atau hilangnya jumlah protein dalam tubuh dan juga
penggunaan penggunaan karbohidrat untuk energi. Menurut (Tim
Pokja SDKI DPP PPNI, 2017) penyebab intoleransi aktivitas pada
penderita diabetes melitus adalah kelemahan.
Diabetes adalah kumpulan gejala kronis dan sistemik
ditandai dengan gula darah tinggi atau disebabkan hiperglikemia
karena penurunan sekresi atau kerja insulin, yang mengakibatkan
terhambatnya metabolisme karbohidrat, protein dan lemak.
Glukosa biasa bersirkulasi dalam jumlah tertentu di dalam darah
dan diperlukan untuk kebutuhan sel dan jaringan. Glukosa
terbentuk di hati dari makanan dikonsumsi, makanan yang masuk
digunakan sebagian untuk kebutuhan energi dan beberapa
disimpan sebagai glikogen di hati dan jaringan lain dengan bantuan
insulin. Insulin adalah hormon yang diproduksi oleh sel beta pulau
Langerhans pankreas, yang diproduksi kemudian memasuki aliran
darah bersama dalam jumlah kecil kemudian akan meningkat jika
ada makanan masuk. Produksi insulin rata-rata orang dewasa
sekitar 40 hingga 50 unit, untuk menjaga kadar gula darah stabil
pada kisaran 70 hingga 120 mg/dL. Insulin disekresi oleh sel beta,
yang merupakan hormon anabolik, yaitu hormon yang dapat
membantu memindahkan glukosa dari darah ke dalam tubuh
seperti otot, hati dan lemak (Tarwoto dkk, 2016)
Pada diabetes, insulin rendah atau tidak ada insulin sama
sekali menyebabkan tiga gangguan metabolik yaitu penurunan
penggunaan glukosa, meningkatnya mobilisasi lemak dan
meningkatnya pemanfaatan protein. Pada DM tipe 2, masalah
utamanya terkait dengan resistensi insulin dan gangguan sekresi
insulin. Resistensi insulin menunjukkan penurunan sensitivitas
jaringan terhadap insulin. Biasanya, insulin berikatan dengan
reseptor khusus di permukaan sel dan memulai rangkaian berantai
yang terlibat dalam metabolisme glukosa. Sel-sel tubuh
membutuhkan Insulin untuk mengangkut glukosa sekitar 25%
untuk energi. Tidak adekuatnya insulin mengakibatkan banyak
glukosa tidak dapat digunakan , kemudian gula darah naik karena
hati tidak dapat menyimpan glukosa dalam glikogen. Untuk
keseimbangan agar gula darah kembali normal, kemudian tubuh
akan mengeluarkan glukosa melalui ginjal sehingga glukosa
menjadi banyak dalam urin (glikosuria). Glukosa tidak bisa
masuk ke dalam sel menyebabkan kekurangan energi yang
tersimpan, kelaparan sel, hilangnya kalium karena pasien merasa
lemah dan mudah lelah (Tarwoto dkk, 2016).

Faktor yang mempengaruhi intoleransi aktivitas pada penderita


diabetes melitus :
1. Usia
Usia di atas 45 tahun merupakan faktor predisposisi
terjadinya intoleransi aktivitas pada pasien diabetes melitus.
Proses bertambahnya usia dapat mempengaruhi homeostatis
tubuh, termasuk perubahan fungsi sel beta pankreas yang
memproduksi insulin akan mengganggu sekresi hormonal
atau pemanfaatan glukosa yang tidak memadai pada tingkat
sel menyebabkan peningkatan kadar gula darah (Jeanny
Rantung dkk, 2015). Kurangnya insulin yang menstimulasi
glukosa untuk masuk ke jaringan dan mengatur pelepasan
glukosa hati mengakibatkan berkurangnya energi yang
tersimpan, sel-sel kelaparan, kehilangan kalium. Hal ini
membuat pasien mudah merasa lemas dan lelah (Tarwoto
dkk, 2016)
2. Kesehatan Fisik (Proses Penyakit/Cidera)
Luka kecil pada penderita diabetes bisa menjadi besar dan
serius karena sirkulasi darahnya juga sudah tidak terlalu
baik, sehingga menyebabkan keterlambatan proses
penyembuhan (Peter C. Kurniali, 2013). Komplikasi jangka
panjang akan membawa perubahan besar pada diri
penderita, sehingga mengalami keterbatasan dalam
menjalankan fungsi sehari-hari hari bahkan tidak bisa
menikmati aktivitas yang menyenangkan. Perubahan
gaya hidup, akan membatasi kinerja aktivitas sehari-hari.
Gangguan fungsional atau gangguan fisik, psikologis atau
sosial akan mengakibatkan perubahan dan keadaan yang
akan mempengaruhi kualitas hidup penderita (Jeanny
Rantung dkk, 2015)

Tanda dan Gejala Intoleransi Aktivitas Pada Diabetes


Melitus menurut (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017) antara
lain sebagai berikut :
1. Mengeluh Lelah
Kurangnya cadangan energi, adanya kelaparan sel,
kehilangan potassium menjadi akibat pasien mudah
merasa lelah (Tarwoto dkk, 2016)
2. Dispnea sesaat/setelah melakukan aktivitas
Dispnea terjadi karena suplai oksigen ke sel dan
saluran napas terhambat karena hormon insulin
tidak dapat membantu masuknya gula darah ke
dalam sel. Sulit untuk bernapas terjadi pada pasien
diabetes dengan komplikasi ginjal, karena
kebocoran yang berlebihan. Kreatinin dan ureum
darah semakin meningkat dan tekanan darah tetap
tinggi, sehingga pasien menjadi sesak napas.
3. Merasa tidak nyaman setelah beraktivitas
Pada penderita diabetes dengan komplikasi kaki
diabetik akan merasakan kesemutan, rasa tertusuk
dan penurunan kepekaan terhadap sentuhan ringan
dapat mengakibatkan gaya berjalan yang terhuyung-
huyung dan penderita cenderung merasa tidak
nyaman.
4. Merasa lemah
Karena kekurangan cadangan energi, sel-sel
menjadi kelaparan dan menurunnya peredaran darah
terutama ke daerah perifer menyebabkan terjadinya
penghantaran oksigen terganggu
5. Frekuensi jantung meningkat lebih 20% dari kondisi
istirahat
Peningkatan detak jantung adalah respons pertama
jantung terhadap stres. Hiperglikemia terjadi pada
penderita dapat menyebabkan sel-sel tubuh
kelaparan yang dapat berakibat fatal kerusakan sel
dan kemudian kematian sel, ketika sel mati maka
jaringan tubuh yang menyusun berbagai organ
tersebut akan terganggu, termasuk jantung.
6. Tekanan darah berubah lebih 20% dari kondisi
istirahat
Tekanan darah biasanya meningkat karena
peningkatan volume cairan. pada penderita
Diabetes akan terjadi peningkatan jumlah total
cairan dalam tubuh yang cenderung meningkatkan
tekanan darah.
7. Sianosis
Sianosis sering terjadi pada pasien diabetes
komplikasi kaki diabetik yang disebabkan
berkurangnya suplai darah ke ekstremitas bawah,
sehingga akan menyebabkan perubahan warna kulit
menjadi pucat atau kebiruan.

G. Luka
Diabetes melitus (DM) apabila tidak dikendalikan, penyakit ini
mampu menimbulkan penyakit-penyakit yang dapat berakibat fatal,
termasuk amputasi pada penyakit kaki diabetes (gangren diabet).
Bagi penyandang diabetes, luka kaki yang sukar sembuh
merupakan komplikasi kronis yang bisa muncul bila kadar gula
darah tidak dikontrol dengan baik. Klien diabetes sangat beresiko
terhadap kejadian luka kaki (Litzelman, 1993).
Menurut beberapa literatur DM, kaki diabetes adalah suatu
penyakit pada penderita diabetes bagian kaki, dengan gejala dan
tanda sebagai berikut:
a. Sering kesemutan/gringgingen (asimptomatis).
b. Jarak tampak menjadi lebih pendek (klaudilasio intermii).
c. Nyeri saat istirahat.
d. Kerusakan jaringan (necrosis, ulkus).

H. Baal
Kesemutan pada kaki penderita diabetes bisa jadi
merupakan kondisi neuropati diabetik, salah satu komplikasi
diabetes (Suyono, 2018).. Kondisi ini merupakan kelainan saraf
yang ditandai dengan rasa kesemutan, nyeri, atau mati rasa.
Neuropati diabetik paling sering menyerang saraf di kaki.
Kerusakan saraf disebabkan oleh tingginya kadar gula
darah. Adanya gula darah yang tinggi dapat melemahkan dinding
pembuluh darah yang menyuplai oksigen dan nutrisi ke sel saraf,
kondisi ini dapat mengganggu fungsi saraf (Tjandrawinata, 2016).
Risiko neuropati diabetik dapat meningkat jika gula darah tidak
terkontrol, diabetes dalam waktu lama, obesitas hingga penyakit
ginjal
Mendiagnosis Neuropati Diabetik dapat dilakukan
berdasarkan konsensus San Antonio, hal ini dianjurkan minimal 1
dari 5 kriteria dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis.
Seperti Pemeriksaan symptom scoring dan physical examination
scoring yang telah terbukti memiliki sensitifitas dan spesifitas
tinggi untuk mendiagnosis neuropati atau polineuropati diabetik
adalah skor Diabetic Neuropathy Symptom/DNS dan skor Diabetic
Neuropathy Examination/DNE (Asad et al. 2009)
Skor DNS merupakan 4 poin yang bernilai untuk skor
gejala dengan estimasi nilai yang tinggi untuk menyaring
polineuropati pada diabetes. Gejala yang dinilai meliputi: jalan
tidak stabil, kesemutan atau rasa kebas, nyeri seperti ditusuk jarum,
nyeri terbakar atau nyeri tekan
Skor DNE adalah sebuah sistem skor untuk mendiagnosis
polineuropati distal pada diabetes melitus. Skor DNE merupakan
sistem skor yang sensitif dan telah diuji dengan baik dan dapat
dilakukan secara cepat dan mudah dipraktekkan. Skor DNE terdiri
dari 8 item, yaitu:
a) Kekuatan otot: (1) quadriceps femoris
(ekstensi sendi lutut); (2) tibialis anterior (dorsofleksi
kaki)
b) Reflek : (3) triceps surae/tendo achilles
c) Sensibilitas jari telunjuk : (4) sensitivitas terhadap
tusukan jarum
d) Sensibilitas ibu jari kaki: (5) sensitivitas terhadap tusukan
jarum; (6) Sensitivitas terhadap sentuhan; (7) persepsi
getar; dan (8) sensitivitas terhadap posisi sendi.

3. Masalah Psikososial dan spiritual pasien dengan gangguan kebutuhan


nutrisi pada penyakit diabetes melitus dengan obesitas
Psikososial merupakan suatu kondisi yang terjadi pada individu yang
mencakup aspek psikis dan sosial atau sebaliknya. Psikososial menunjuk pada
hubungan yang dinamis antar faktor psikis dan sosial yang saling berkaitan.
Hubungan antara stres psikologis dan dampak diabetes terbukti dalam beberapa
penelitian cross-sectional dan longitudinal. Beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa tekanan emosional pada pasien diabetes dikaitkan dengan
kontrol glikemik yang buruk, kurangnya perilaku perawatan diri, dan hasil akhir
diabetes yang buruk.
Beeney dkk. menemukan bahwa pasien merasa tertekan pada saat
diagnosis dengan emosi mulai dari kecemasan, syok, marah, atau penolakan.
Adapun reaksi emosional pada saat diagnosis diantaranya yaitu :
a. Penyangkalan
Sebagai tindakan pertahanan, pasien mungkin menolak untuk percaya pada
metode diagnostik dan mencoba menghindari komplikasi jangka panjang.
Secara khusus, penolakan mengganggu kemampuan pasien untuk
memantau kondisinya, mengambil inisiatif dalam mencari pengobatan, dan
penanganan penyakitnya. Hal ini menyebabkan pengasingan diri pada
klien. Aspek penting mengenai penolakan pada pasien DMT2 sebagai
reaksi pertama juga dapat dijelaskan dengan tidak adanya gejala fisik atau
komplikasi yang signifikan..
b. Amarah
Merupakan perasaan kebencian, ketidaknyamanan, ketidaksenangan, dan
permusuhan yang kuat dan sering muncul sebagai respons terhadap
tindakan yang dianggap salah. Setelah didiagnosis menderita diabetes,
pasien mungkin mengungkapkan kesedihannya atas perkembangan kondisi
klinis yang tidak terduga tersebut. Selain itu, orang tersebut mungkin
merasa frustasi karena menderita diabetes. Keadaan emosi seperti itu dapat
mengganggu mekanisme koping alami tubuh yang selanjutnya dapat
memperburuk kondisi.
c. Kesalahan
Merupakan emosi alami terhadap pekerjaan yang salah dan sering muncul
setelah didiagnosis menderita diabetes. Pasien akan memiliki rasa bersalah
serta tidak menghargai dirinya sendiri.
d. Kesedihan/depresi
Depresi adalah gangguan kejiwaan yang paling umum terjadi pada
penderita diabetes, dengan perkiraan 41% pasien menderita kesejahteraan
psikologis yang buruk dan peningkatan tingkat depresi dan gangguan
kecemasan. Orang dengan diabetes tipe 2 memiliki 24% risiko lebih tinggi
terkena depresi.
Depresi seringkali ditandai dengan perubahan berkelanjutan seperti tidur,
kelelahan, gangguan nafsu makan, dan ketidaktertarikan dalam aktivitas
sehari-hari selama beberapa minggu. Hal ini dapat mengganggu perawatan
diri penderita diabetes dan dapat dikelola dengan memberikan konseling
kepada pasien dan melibatkannya dalam aktivitas yang menyenangkan.
e. Penerimaan
Penerimaan mungkin memakan waktu hingga satu tahun, namun pada
akhirnya, pasien akan menerima keadaannya dan mempersiapkan dirinya
untuk hidup dengan diabetes. Namun langkah ini membutuhkan
kesabaran, bantuan orang lain, pemahaman penuh tentang diabetes, dan
pendekatan manajemennya untuk memasukkan diabetes ke dalam gaya
hidupnya.

Adapun gangguan kejiwaan lainnya pada diabetes yaitu:


a. Delirium
Merupakan gangguan kejiwaan lain yang terkait dengan diabetes dan
ditandai dengan ekspresi hipoglikemia dan ketoasidosis diabetikum. Hal
ini terkait dengan peningkatan rawat inap di rumah sakit, peningkatan
penurunan kognitif dan fungsional, serta morbiditas dan mortalitas. Selain
itu, hasil seperti disorientasi, kebingungan, dan perubahan sensorium
sering terlihat pada pasien ini.
b. Gangguan makan
Gangguan ini dapat berdampak signifikan pada kontrol glikemik dan
meningkatkan kemungkinan komplikasi diabetes. Dalam sebuah penelitian
terhadap 714 pasien diabetes, ditemukan bahwa dilaporkan bahwa 9,7%
pasien menderita sindrom makan malam (NES). Selain itu, pasien ini
cenderung mengalami obesitas dan depresi dengan kontrol glikemik yang
buruk dan insiden komplikasi diabetes yang lebih tinggi.
c. Depresi
Depresi, obesitas, dan diabetes tipe 2 lebih sering terjadi bersamaan
dibandingkan secara kebetulan. Namun, hubungan sebab akibat masih
kurang jelas: depresi dapat menyebabkan obesitas dan diabetes melalui
faktor gaya hidup seperti kurang tidur, kebiasaan kurang gerak, makan
berlebihan, dan perawatan diri yang buruk; diabetes, di sisi lain, dapat
dikaitkan dengan depresi karena beban emosional, sosial, medis, dan
keuangan yang besar dalam pengelolaannya, kehilangan kontrol pada
lingkungan. Selain itu, penggunaan obat antidepresan, khususnya obat
generasi baru, meningkatkan berat badan dan menginduksi resistensi
insulin sehingga menyebabkan DM tipe 2.
d. Spiritual Pain
Spiritual merupakan suatu keyakinan pendekatan, harapan, dan
kepercayaan pada Tuhan serta kebutuhan untuk menjalankan agama yang
dianut. Kebutuhan untuk dicintai dan diampuni oleh Tuhan yang
seluruhnya dimiliki dan harus dipertahankan oleh seseorang sampai
kapanpun agar memperoleh pertolongan, ketenangan, keselamatan,
kekuatan, penghiburan serta kesembuhan. Klien dengan gangguan DM II
dengan obesitas kehilangan makna hidup yang menyebabkan putus asa
hingga menyebabkan ancaman kematian atau bunuh diri.

4. Penatalaksanaan (Mandiri/Kolaborasi)
Permasalahan pasien yang menderita diabetes melitus tipe 2 ini perlu
dilakukannya penatalaksanaan yang bertujuan untuk menormalkan
produksi insulin dan kadar glukosa dalam darah sehingga dapat mengatasi
munculnya komplikasi neropatik dan vaskular serta tidak terganggunya
aktivitas pasien dalam kehidupan sehari-harinya. Dalam jangka pendek,
penatalaksanaan bertujuan untuk mengendalikan glukosa darah, hilangnya
keluhan, berkurangnya tanda-tanda diabetes melitus, dan mempertahankan
rasa aman nyaman pasien. Terdapat lima komponen penatalaksanaan
terhadap diabetes melitus seperti penatalaksanaan :
1. Nutrisi
Pada pasien diabetes melitus mengalami penurunan produksi
insulin sehingga pasien membutuhkan pemenuhan insulin guna
mengontrol kadar glukosa dalam darah. Pemenuhan jumlah kalori,
karbohidrat, protein, dan lemak yang dikonsumsi harus dilakukan
secara konsisten supaya produksi insulin terpenuhi. Pemenuhan
kebutuhan nutrisi bertujuan untuk pemenuhan nutrisi pasien,
menormalkan kadar glukosa dalam darah, menormalkan tekanan darah,
profil lipid dan lipoprotein yang dapat mencegah atau memperlambat
risiko penyakit vaskular. Terdapat beberapa hal yang harus
dipertimbangkan dalam memberikan pemenuhan nutrisi pasien, seperti:
mempertimbangkan latar belakang budaya pasien, gaya hidup pasien,
kesukaan pasien, dan jadwal makan pasien.
Pada pasien penderita diabetes melitus lanjut usia, terutama yang
memiliki berat badan berlebih dapat dikendalikan dengan pengaturan
diet dan olahraga ringan. Perencanaan makanan merupakan salah satu
pilar dalam pengelolaan diabetes. Namun, perencanaan makan ini tidak
ada satupun yang sesuai dengan setiap pasien. Hal ini disesuaikan
dengan kebiasaan masing-masing pasien. Adapun standar yang
dianjurkan adalah makanan dengan kandungan karbohidrat (60-70%),
Protein (10-15%), dan lemak (20-25%). Petunjuk umum asuhan diet
pada pasien diabetes:
a. Menghindari produk lain sebagai cemilan pada waktu makan
seperti cake, biskuit, dan sebagainya.
b. Minum air dalam jumlah yang banyak, susu skim, dan minuman
yang memiliki kalori rendah pada saat makan.
c. Waktu makan yang teratur
d. Menghindari makan makanan yang manis dan gorengan
e. Meningkatkan asupan sayuran setiap dua kali makan
f. Menu utama saat makan berupa nasi, kentang, dan sereal
g. Saat haus minum air atau minuman yang bebas gula
h. Makan daging, telur, dan dan kacang-kacangan dalam porsi kecil.
2. Olahraga
Olahraga untuk pasien diabetes melitus dapat dilakukan secara teratur
(3-4 kali dalam seminggu) berupa jalan kaki, jogging, berenang, sepeda
santai, yoga, dan senam diabetes (Putra dan Berawi, 2015).
3. Pemantauan
Pemantauan dapat dilakukan dengan pemeriksaan gula darah puasa
(GDP), pemeriksaan gula darah sewaktu (GDS), pemeriksaan hBa1c,
pemeriksaan gula darah 2 jam prandial (GD2PP), dan pemeriksaan
toleransi glukosa oral (TTGO) yang dilakukan secara rutin (Lestari dan
Zulkarnain, 2021). Diagnosis dapat ditegakkan jika hasil dalam
pemeriksaan gula darah sebagai berikut:
1. Gula darah puasa > 126 mg/dl
2. Gula darah 2 jam > 200 mg/dl
3. Gula darah acak > 200 mg/dl.
4. Mengukur HbA1c > 6,5%
4. Terapi farmakologi
Terapi farmakologi dapat dilakukan secara bersama-sama dengan
olahraga dan pemenuhan nutrisi. Terapi farmakologi terdiri dari
pemberian obat bentuk suntikan dan obat oral (Putra dan Berawi, 2015).
Berdasarkan cara kerjanya obat hipoglikemik oral yang dibagi menjadi
5 golongan yaitu, Pemicu sekresi insulin sulfonilurea dan glinid,
Peningkat sensitivitas terhadap insulin metformin dan tiazolidindion.
Penghambat glukoneogenesis. Penghambat absorpsi glukosa,
Penghambat glukosidase. Obat yang dapat dikonsumsi bagi penderita
diabetes melitus tipe 2 yang termasuk dalam obat anti diabetes non-
insulin umum seperti golongan biguanida yang didalamnya terdapat
metrofin (obat yang paling populer di kalangan penderita diabetes
melitus tipe 2 karena dapat menurunkan glukosa dalam darah,
meningkatkan sensitivitas insulin, dan menekan risiko hipoglikemia
(Sanchez-Rangel , et al., 2017). Selanjutnya terdapat obat sulfonilurea
yang sering digunakan juga dalam terapi lini kedua pasien diabetes
melitus tipe 2 tanpa mengalami obesitas berat. yang memiliki efek
samping bekerja langsung pada sel pulau yang dapat menutup saluran
K+ yang sangat sensitif terhadap ATP, dan merangsang insulin
(Widiasari, et al., 2021).
5. Edukasi
Pemberian edukasi pada pasien diabetes melitus sangat penting karena
segala informasi yang awalnya tidak tahu atau salah persepsi dapat
terjawabkan pada sesi edukasi ini dan merupakan upaya dari
pencegahan diabetes melitus serta pengelolaan diabetes melitus secara
holistik. Selain pemberian pemenuhan nutrisi pada pasien diabetes
melitus, terdapat pula pemberian edukasi kepada pasien mengenai
pentingnya menjaga pola makan, keterkaitan kebutuhan nutrisi dengan
insulin, dan membuat jadwal rencana makan. Contoh edukasi yang
dapat diberikan seperti cara merawat kaki yang terdapat ulkus dan
selalu menggunakan alas kaki (Widiasari, et al., 2021)

Penanganan pasien penderita diabetes melitus tipe 2 ini membutuhkan


asuhan keperawatan selama proses penyembuhannya. Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
menyatakan bahwa asuhan keperawatan merupakan suatu rangkaian
interaksi dengan klien dan lingkungan untuk mencapai tujuan pemenuhan
kebutuhan dan kemandirian dalam merawat dirinya (Pemerintah Republik
Indonesia, 2014).
Asuhan Keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan
pada praktik keperawatan yang langsung diberikan kepada klien pada
berbagai tatanan pelayanan kesehatan, dalam upaya pemenuhan
Kebutuhan Dasar Manusia (KDM), dengan menggunakan metodologi
proses keperawatan dan berpedoman pada standar keperawatan,dilandasi
kode etik dan etika keperawatan, dalam lingkup wewenang serta tanggung
jawab keperawatan (DPP PPNI, 1999). Pembuatan asuhan keperawatan
dapat dilakukan jika seorang perawat mempunyai pengetahuan dan
kemampuan yang cukup mengenai masalah keperawatan yang ada pada
klien. Asuhan keperawatan terdiri dari rangkaian proses keperawatan yaitu
dari mulai pengkajian, diagnosa, perencanaan, implementasi, hingga
evaluasi. Pengkajian dilakukan agar dapat ditentukan diagnosa dan dapat
digunakan untuk menangani masalah dengan melakukan perencanaan
terlebih dahulu. Pengkajian dalam asuhan keperawatan dilakukan untuk
mengumpulkan data klinis agar dapat diketahui masalah keperawatan yang
ada pada klien.
Pengumpulan data/informasi dalam pengkajian dapat dilakukan
dengan menggunakan pedoman 11 pola perilaku fungsional menurut
Gordon untuk mengetahui pola perilaku fungsional maupun disfungsional
klien. Data pengkajian pola perilaku bisa didapat langsung dari klien. Ada
tiga sasaran hasil yaitu: menawarkan kesempatan kepada klien untuk
menambahkan informasi lebih lanjut atau mengekspresikan tambahan
informasi yang berhubungan dengan kesehatan, meringkas pengkajian, dan
membuat rencana untuk perawatan dari masalah (Kasiati, et al., 2016).
Berikut 11 Pola perilaku fungsional menurut Gordon adalah sebagai
berikut:
1. Pola persepsi – manajemen kesehatan
Menunjukan pengertian/pemahaman dan manajemen kesehatan
terkait dengan pemeliharaan dan penanganan kesehatan oleh
pasien. Dalam pola ini termasuk didalamnya yaitu kemampuan
untuk menyusun rencana praktik kesehatannya. Kebutuhan pola
persepsi dan manajemen kesehatan ini dapat dipenuhi dengan
adanya peran perawat untuk memberikan informasi dan berdiskusi
mengenai konsep sehat – sakit bersama dengan pasien serta
memberikan perawatan sesuai kebutuhan pasien.

2. Pola nutrisi – metabolik

Menunjukan intake nutrisi, cairan, dan elektrolit pasien, termasuk


bagaimana nafsu makan, pola makan, diet, berat badan yang tidak
stabil (dalam 6 bulan terakhir), kesulitan menelan, dan lain – lain
(yang berkaitan dengan sistem pencernaan manusia). Kebutuhan
dasar ini dapat dicapai apabila perawat memiliki cukup
pengetahuan mengenai nutrisi, mengidentifikasi kebutuhan pasien
tentang pola nutrisi-metabolik, serta mengidentifikasi masalah lain
yang mungkin muncul dari permasalahan yang telah ditunjukan
pasien.

3. Pola eliminasi

Mengenai sistem eliminasi manusia (kandung kemih, kulit, dll).


Pola ini menunjukan kebiasaan buang air, apakah ada masalah saat
buang air, serta masalah sistem eliminasi lainnya. Kebutuhan ini
dapat dipenuhi dengan cara perawat melakukan kontrol secara
berkala kepada pasien (rentang pasien buang air, frekuensi,
karakteristik, input cairan, apakah ada masalah atau tidak, dan lain
– lain).

4. Pola latihan – aktivitas

Menggambarkan pola latihan – aktivitas yang berkaitan dengan


sistem pernapasan dan sistem kardiovaskular. Kebutuhan ini dapat
terpenuhi apabila perawat dapat memberikan informasi mengenai
pentingnya melakukan latihan dan aktivitas, memberikan motivasi,
dan bantuan (contoh: ROM pada pasien yang mengalami stroke).

5. Pola kognitif perseptual

Meliputi sensorik (penglihatan, pendengaran, perasaan, pembau


serta bagaimana tubuh melakukan kompensasi) dan kognitif
(kemampuan daya ingat dan orientasi klien terhadap waktu,
tempat, dll). Kebutuhan ini dapat dipenuhi apabila perawat dapat
mengidentifikasi kesadaran, masalah pasien, memberikan alat
bantu, dll. Contoh konkrit peran perawat dengan menanyakan
nama, alamat, dan hal lainya yang dapat membantu meningkatkan
pola kognitif perseptual pasien. Selain itu, perawat dapat
melakukan kontrol terhadap 5 indera yang dimiliki oleh pasien
untuk memastikan bahwa kelima indera tersebut bekerja dengan
baik.

6. Pola istirahat – tidur

Pola ini menunjukan kebutuhan pasien untuk melakukan istirahat –


tidur secara efektif (durasi tidur, masalah selama tidur : insomnia;
mimpi buruk; dll, penggunaan obat tidur dan lain sebagainya).
Kebutuhan ini juga sangat berkaitan dengan pengadaan energi
pasien untuk melakukan hal – hal positif terkait kesehatannya.
Peran perawat dalam pemenuhan kebutuhan ini adalah memastikan
pasien memiliki istirahat – tidur yang efektif dan efisien serta
terbebas dari masalah.

7. Pola konsep diri – persepsi diri

Kebutuhan ini meliputi harga diri, gambaran diri, peran, identitas


pasien. Pola konsep dan persepsi diri berkaitan dengan bagaimana
pasien memberikan pandangan terhadap dirinya sendiri. Dalam hal
ini peran perawat adalah mensuplai hal – hal positif yang dapat
memperbaiki mindset negatif pasien tentang dirinya menjadi
pikiran yang lebih positif. Selain itu perawat dapat memberi
dukungan motivasi, semangat, dan lain sebagainya.

8. Pola peran dan hubungan

Kebutuhan dasar ini meliputi hubungan pasien dengan lingkungan


sosial: keluarga, lingkungan kerja, teman, pasangan, dll. Peran
perawat yaitu mengidentifikasi hubungan sosial pasien dan
menentukan kebutuhan pasien mengenai cara penyelesaian
masalah yang ada dalam pola peran dan hubungan pasien.
Kemudian membantu pasien untuk menemukan solusi yang tepat.
Dalam pemenuhan kebutuhan ini, perawat harus memiliki
kesadaran bahwa pasien membutuhkan dukungan dari
lingkungannya untuk dapat kembali memperoleh kesehatan.

9. Pola reproduksi/seksual

Kebutuhan dasar sebagai laki-laki/perempuan dalam pola


reproduksinya. Termasuk didalamnya adalah riwayat haid,
pemeriksaan genital, riwayat penyakit hubungan seksual, dan lain
sebagainya. Peran perawat adalah untuk mengidentifikasi masalah
dan memberikan informasi yang dibutuhkan pasien.

10. Pola pertahanan diri

Kebutuhan pasien dalam menangani stress/tekanan dalam proses


penyembuhannya, dapat menggunakan obat, terapi, berkomunikasi
dengan orang yang dipercaya, dan lain sebagainya. Seorang
perawat diharapkan dapat mengidentifikasi kebutuhan klien
mengenai pola pertahanan diri ini supaya pasien mendapat
penanganan yang tepat. Selain itu, peran perawat adalah untuk
memberikan opsi bagaimana untuk menangani stress, memberikan
semangat, serta selalu ada untuk pasien.

11. Pola keyakinan dan nilai

Kebutuhan mengenai keyakinan dan spiritual pasien. Peran


perawat adalah mendorong pasien untuk mencari bantuan spiritual
dengan berdoa kepada Tuhan, meminta penyertaan, pertolongan,
kesabaran dalam menghadapi kenyataan, serta semangat dan
harapan untuk sembuh.
KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

1. Asad A, Hameed MA, Khan UA, Butt MRA, Ahmed N, Nadeem A.


Comparison of Nerve Conduction Studies with Diabetic Neuropathy
Symptom Score and Diabetic Neuropathy Examination Score in Type 2
Diabetics for detection Of Sensorimotor Polyneuropathy. Journal of the
Pakistan Medical Association. 2009;59(9):594-8.
2. Faida, A. N., & Santik, Y. D. P. (2020). Kejadian Diabetes Melitus Tipe I pada
Usia 10-30 Tahun. Higeia Journal of Public Health Research and Development,
4(1), 33–42.
3. Fatimah, R. (2015). Diabetes Melitus Tipe 2. Article Review. Medical Faculty:
Lampung University, 4(5), 93-101.
4. Jeanny Rantung dkk. (2015). Hubungan self-care dengan kualitas hidup
pasien diabetes melitus (dm) di persatuan diabetes indonesia (persadia)
cabang cimahi, 1(1), 38–51.
5. Kurniawaty, E. (2014). Diabetes Mellitus. Evi Kurniawaty JUKE, 4(7), 114–
119.
6. Lathifah, N. L. (2017) 'Hubungan durasi penyakit dan kadar gula darah
dengan keluhan subyektif penderita diabetes melitus', J. Berk. Epidemiol.,
5, 231–239.
7. Peter C. Kurniali. (2013). HIDUP BERSAMA DIABETES. Jakarta: PT Elex
Media Komputindo Kelompok Gramedia.
8. Rochmah, N., Faizi, M., & Anindita, A. N. POLIURIA PADA DIABETES
INSIPIDUS.
9. Rofi’i, M. (2015). Buku Ajar Ketrampilan Dasar Dalam Keperawatan.
Semarang: Universitas Diponegoro.
10. Suyono S, et al. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu: Panduan
Penatalaksanaan Diabetes Melitus Bagi Dokter Dan Edukator. Edisi 2.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2018.
11. Tarwoto dkk. (2012). KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH Gangguan Sistem
Endokrin. Jakarta: CV.Trans Info Media.
12. Tarwoto, & Martonah. (2015). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses
Keperawatan. (Peni Puji Lestari, Ed.) (5th ed.). Jakarta: Salemba Medika.
13. Tjandrawinata RR. Patogenesis Diabetes Tipe 2: Resistensi Defisiensi
Insulin. Tangerang: Dexa Medica. 2016.
14. Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan
Indonesia (1st ed). Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat PPNI
15. Lestari, L., & Zulkarnain, Z. (2021, November). Diabetes Melitus: Review
etiologi, patofisiologi, gejala, penyebab, cara pemeriksaan, cara
pengobatan dan cara pencegahan. In Prosiding Seminar Nasional Biologi
(Vol. 7, No. 1, pp. 237-241).
16. Putra, I. W. A., & Berawi, K. (2015). Empat pilar penatalaksanaan pasien
diabetes mellitus tipe 2. Jurnal Majority, 4(9), 8-12.
17. Rahmawati, F., Natosba, J., & Jaji, J. (2016). Skrining Diabetes Mellitus
Gestasional dan Faktor Risiko yang Mempengaruhinya. Jurnal
Keperawatan Sriwijaya, 3(2), 33–43.
18. Widiasari, K. R., Wijaya, I. M. K., & Suputra, P. A. (2021). Diabetes Melitus
Tipe 2: Faktor Risiko, Diagnosis, Dan Tatalaksana. Ganesha Medicina, 1(2),
114-120.
19. Wistiani, W. 2016. Studi Kasus: Manifestasi Klinis Beberapa Penyakit
dengan Konfirmasi Diagnostik Lupus Erimatosus Sistemik (Pengamatan
Laporan awakl serial kasus). Sari Pediatri, 13(2): 85
20. Sanchez-Rangel E, Inzucchi SE. Metformin: clinical use in type 2 diabetes.
Diabetologia. 2017;60(9):1586–93.
21. Kasiati, NS dan Ni Wayan Dwi Rosmalawati. 2016. Kebutuhan Dasar
Manusia 1. Jakarta:Pusdik SDM Kesehatan
22. Kebutuhan, P., Agus, N., Purwoko, B., Fakhrudin, ), & Sani, N.
(2013). ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DIABETES
MELLITUS DALAM Mahasiswa Prodi D3 Keperawatan STIKes
Kusuma Husada Surakarta 1) Dosen Prodi D3 Keperawatan STIKes
Kusuma Husada Surakarta 2).
23. Mardalena, I. (2021). Dasar-dasar Ilmu Gizi dalam Keperawatan
Konsep dan Penerapan pada Asuhan Keperawatan. In Pustaka Baru
press. http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/7975/1/Buku Dasar-Dasar
Ilmu Gizi Dalam Keperawatan.pdf

Anda mungkin juga menyukai