Anda di halaman 1dari 22

INFEKSI DAN IMUNOLOGI SEGMEN POSTERIOR

3. Konsep dasar imunologi


Respons imun adalah serangkaian peristiwa molekuler dan seluler yang dimaksudkan
untuk membersihkan inang dari ancaman: organisme patogen yang menyinggung, zat
beracun, puing-puing seluler, atau sel neoplastik. Terdapat 2 kategori besar respons
imun, yaitu bawaan dan adaptif.
a. Sistem imun bawaan
Sistem kekebalan tubuh bawaan adalah kekuatan reaksi cepat yang bekerja relatif
luas yang mengenali zat asing, protein, atau lipopolisakarida yang bukan dirinya
sendiri. Respons bawaan dapat dianggap sebagai reaksi terprogram yang bersifat
langsung, tidak memerlukan paparan sebelumnya terhadap zat asing, dan serupa
untuk semua pemicu yang ditemui. Hasilnya adalah dihasilkannya mediator
biokimia dan sitokin yang merekrut sel efektor bawaan, terutama makrofag dan
neutrofil, untuk menghilangkan rangsangan yang menyinggung melalui fagositosis
atau degradasi enzimatik. Respons bawaan juga memberi tahu sel-sel sistem
kekebalan adaptif untuk memperkuat dan menyempurnakan serangan. Pada
endoftalmitis, racun yang berasal dari bakteri atau debris sel inang menstimulasi
perekrutan neutrofil dan monosit, yang mengarah pada produksi mediator inflamasi
dan fagositosis bakteri. Respons terhadap organisme Staphylococcus hampir sama
dengan respons terhadap bakteri lain.
b. Sistem imun adaptif

4. Gambaran klinis segmen posterior fokal dan difus


1. Korioretinopati non infeksius

a. White Dot Syndrome

Acute posterior multifocal placoid pigment epitheliopathy Inflamasi akut bilateral


yang dapat menyebabkan penurunan visus pada satu mata dahulu beberapa hari
kemudian baru mata kedua. Lesi placoid, berwarna krem kuning pada makula
pada RPE. Terjadi pada orang muda dekade kedua dan ketiga. Etiologinya tidak
diketahui, pada sepertiga pasien disebabkan karena viral. FFA pada fase akut
terdapat blok floresein. Tidak memerlukan terapi.
b. Multiple evanescent white dot syndrome

Sindrom akut yang ditandai dengan bintik kecil multipel putih keabuan
pada bagian dalam retina / RPE. Jarang terdapat bintik orange kuning pada
RPE. Mungkin bisa atau tidak terdapat vitritis. 80 % terjadi penurunan visus
unilateral. Sering terjadi pada wanita. Etiologi tidak diketahui, 50%
disebabkan oleh virus. FFA terdapat multipel hiperfloresein. ERG terjadi
penurunan amplitudo a wave. Tidak memrlukan terapi.

c. Serpiginous choroidopathy

Penyakit inflamasi rekuren yang menyebabkan sikatrik berbentuk


serpiginous atau geografik pada fundus poterior. Pasien mengeluh
penurunan visus dan skotoma sentral atau parasentra. Lesi akut mempunyai
zona geografik berwarna kuning keabuan pada RPE menyebar sentrifugal
dari optik disc dan makula berbentuk jigsaw. FFA pada fase awal
hipofloresein dan staining pada fase akhir. Area aktif dapat menjadi atrofi
dalam beberapa minggu sampai bulan dan lesi baru dapat terbentuk pada
tempat lain atau pada daerah yang atrofi. Jarang terjadi neovaskularisasi
koroid pada atrofi korioretinal. Terapi dengan imunosupresif,steroid,
acyclovir tetapi hasilnya buruk. Imunosupresi yang lebih poten seperti
cyclosporine, azathioprine, prednison dapat menghentikan penyaktnya.

d. Birdshot retinochoroidopathy
Terjadi pada pasien dekade ke 4 sampai ke 6. Sering terjadi pada wanita.
Gejalanya floaters, penglihatan kabur, fotopsia perifer. Nyctalopia dan
kehilangan penglihatan warna dapat terjadi kemudian. Terdapat vitritis,
edema disc, vascular sheating, ditandai dengan lesi korioretina birdshot
ovoid kekuningan pada retina bagian nasal. Terjadi penurunan ERG.
Gambaran FFA quenching dimana zat warna menghilang dengan cepat dari
sirkulasi retina. 90% Pasien dengan HLA-A 29 positif. Terapi dengan
periokuler dan sistemik kortikosteroid atau imunosupresan.
e. Punctate inner choroidopathy

Terjadi pada penderita muda dengan miopia. Lebih dari 90% wanita.
Gejalanya kehilangan visus sentral bilateral, fotopsia, skotoma. Pada fase
akut terdapat lesi kuning bulat kecil (100-300µm) yang bergabung pada
RPE atau koroid bagian dalam dan membentuk retina detachment serous.
Terdapat edema optik disc ringan. FFA pada fase akhir terdapat gambaran
staining. Lesi akan menjadi atrofi membentuk sikatrik berwarna putih
kuning, dan menjadi berpigmentasi dan bertambah besar. Terapi dengan oral
atau regional kortikosteroid. Korioretinopati Noninfeksius lainnya

f. Acute zonal occult outer retinopathy

Inflamasi yang mengakibatkan kerusakan pada bagian luar retina pada satu
atau kedua mata. Biasanya terjadi pada wanita muda dengan gejala akut
pada satu mata. Gejalnya fotopsia, gangguan lapangan pandang,
membesarnya bintik buta. Dapat terlihat vitritis ringan. FFA menunjukkan
kebocoran retina dan nervus optik. ERG terdapat penurunan amplitudo rod
dan cone. Tidak membutuhkan terapi.

g. Sarcoid panuveitis
Manifestasinya non spesifik dapat terjadi uveitis intermediat dengan bentuk
snowbank, vitritis dengan snowball di perifer inferior, periplebitis retina,
koroiditis multifokal, pembengkakan nervus optik. Behcet syndrome.
Penyakit sistemik rekuren kronik dengan 3 trias yaitu aphthous oral ulcers,
genital ulcers, akut iritis dengan hipopion. Manifestasi sistemik yang lain
yaitu artritis, epididimitis, ulkus intestinal. Dapat terjadi oklusi vaskulitis
pada kulit, sistim sirkulasi, sistim saraf sentral. Sering terjadi pada laki-laki
berhubungan dengan HLA-B5101.Segmen anterior dapat terlihat uveitis
berat dengan hipopion. Segmen posterior dapat terjadi vaskulitis retina
oklusi, perdarahan intraretinal, edema makula, nekrosis retina fokal,
neuropati optik iskemik, vitritis. Terapi dengan kortikosteroid pada kasus
berat dengan imunosupresan seperti cyclosporine. Vogt-Koyanagi-Harada
syndrome
Merupakan penyakit inflamasi yang sering pada wanita dengan pigmentasi
pada kulit. Gambaran segmen posterior pada fase akut terdapat eksudat
putih kekuningan pada RPE dengan retinal detachment serous.Pada stadium
lanjut dapat terjadi atrofi RPE yang memberikan gambaran sunsetglow. FFA
terdapat gambaran hiperfloresein pungtata multipel dengan kebocoran di
subretina. Echography menunjukkan penebalan koroid pada fase akut.
Terapi dengan steroid.

h. Pars planitis

Merupakan uveitis intermediat bilateral pada dewasa muda dan anak.


Manifestasi pada mata termasuk eksudat pada inferior pars plana
(snowbanking), vitreous sel (snowball), vitritis difuse. FFA menunjukkan
kebocoran venula difus dan late staining. Dapat terjadi membran epiretina
makula dan retinal detachment. Penyakit ini dapat kronik, sembuh sendiri
dandapat exaserbasi yang berespon dengan pemberian topikal dan subtenon
kortikosteroid.

i. Intraocular lymphoma
Terjadi pada dekade ke 6 dan ke 7 dengan bilateral iritis, vitritis, vaskulitis
retina, infiltrat pada sub RPE berwarna kuning. Diagnosis ditegakkan jika
terdapat solid RPE detachment. Meskipun diberikan terapi dengan
kemoterapi dan radiasi prognosanya buruk.
2. Korioretinopati infeksius
a. Endogenous Bacterial Endopthalmitis

Lesi korioretinal pada endogenous bacterial endopthalmitis fokal


dan multifokal menyebar ke vitreous. Lesi berwarna putih kekuningan,
datar atau sedikit meninggi pada seluruh ketebalan retina dan RPE yang
bervariasi. Lesi kecil, lesi yang besar mengakibatkan infeksi yang difus.
Penyebabnya adalah Streptococcus spp, Staphylococcus aureus, Serratia,
Bacillus.
Sumber infeksi ekstraokuler harus ditemukan dan diberikan terapi
sistemik. Etiologi yang utama adalah endokarditis, infeksi gastrointestinal,
atau traktus urinari. Pemeriksaan penunjang dengan kultur vitreous dan
ekstraokuler. Terapi dengan intravena antibiotik dan intravitreal antibiotik.
b. Tuberculosis

Mycobacterium tuberculosis menyebar ke mata secara hematogen,


terutama pada koroid.
Infeksi mycobacterium meningkat pada AIDS. Gejalanya
penurunan visus jika melibatkan makula dan vitritis. Pada pemeriksaan
segmen posterior terdapat tuberkel pada koroid, berupa lesi polimorfik
putih kekuningan dengan batas tidak jelas. Tuberkel datar, satu atau
beberapa diameter disc dan terdapat pigmentasi. Sering terdapat vitritis,
papilitis, retinal detachment serous. Terapi dengan isoniazid,
rifampicin,pyrazinamide, treptomycin, ethambutol.

c. Cat -scratch Disease

Gejalanya adalah limfadenopati regional, demam, malaise terjadi 2


minggu setelah cat scratch. Parinaud oculoglandular syndrome terjadi pada
7 % pasien. Penyebabnya adalah Bartonella henselae. Lesi milier putih
kekuningan iregular. Sering berhubungan dengan oklusi arteri dan vena
cabang, neuroretinitis. Pemeriksaan penunjang dengan tes serologi untuk B
henselae. Terapi dengan doxycycline (100 mg bid) atau ciprofloxacin
(750mg bid).
d. Necrotizing Herpetic Retinitis

Penyebabnya adalah virus herpes simplex dan herpes


zoster.Gejalanya nyeri pada mata, penurunan visus, iritis, episkleritis,
vitritis. 20 % Pasien bilateral.
Terdapat daerah retina yang nekrosis berwarna putih di perifer yang
menyebar sentripetal. Sering terdapat neuritis optik, arteriolitis, oklusi
vaskuler. Terjadinya retinal detachment tinggi karena robekan pada daerah
yang nekrosis. Dapat dilakukan laser profilaksis pada area yang nekrosis.
Terapi IV Acyclovir (800 mg 5 kali sehari) atau oral famciclovir
(500 mg tid). Oral Acyclovir (800 mg 5 kali sehari selama 5 bulan) dapat
menurunkan infeksi pada mata kedua. Pasien dengan imunokompeten yang
tidak berespon dengan pemberian sistemik dapat diberikan injeksi
intravitreal foscarnet dan ganciclovir.

e. Toxoplasmic Chorioretinitis

Toxoplasmic chorioretinitis merupakan penyebab tersering infeksi


segmen posterior di dunia. Penyebabnya adalah parasit obligat intraseluler
yang menyebabkan korioretinitis nekrotik.
Gejala tersering adalah penurunan visus unilateral. Daerah unifokal
dari lesi yang akut berbatasan dengan sikatrik korioretinal yang lama
merupakan tanda dari korioretinitis toxoplasma. Kondensasi fokal dari
vitreous dan sel inflamasi terlihat di atas lesi yang berwarna kuning atau
putih keabuan. Sering terlihat perivaskulitis dan penyempitan arteri pada
daerah yang mengalami inflamasi.
29% Pasien dengan toxoplasma intrakranial pada AIDS menderita
korioretinitis toxoplasma. Lesi kecil ekstramakula tidak memerlukan terapi.
Lesi yang mengancam penglihatan diberikan terapi 5-6 minggu dengan
pyrimethamine, sulfadiazine, asam folat. Prednison dosis rendah 30-40
mg untuk 2-3 minggu berguna untuk mengurangi inflamasi pada makula
dan nervus optik, tetapi pemberian harus bersama dengan antibiotik. Juga
dapat diberikan Bactrim dan clindamycin.

f. Endogenous Yeast Endopthalmitis

Penyebabnya adalah Candida spp. Pasien yang terkena mempunyai


riwayat pemakaian kateter, pemkaian antibiotik kronik, operasi abdominal,
imunosupresan, diabetes melitus. Inflamasi intraokuler ringan sampai
moderat, berupa lesi koroidal putih kekuningan singel atau multipel.
Infiltrat subretinal dapat bergabung membentuk nodul keputihan seperti
jamur melalui retina ke vitreous. Kultur intraokuler dan sistemik
diperlukan untuk menegakkan diagnosis klinis.Terapi dengan fluconazole.
g. Endogenous Yeast Endopthalmitis

Sangat jarang terjadi tetapi infeksi ini sangat menghancurkan


terjadi pada pasien imunosupresi dan penggunaan obat intravena.Gejala
akut yaitu sakit pada mata dan kehilangan penglihatan. Terdapat infiltrat
kuning yang besar berada dekat makula.Terdapat hipopion subretina dan
subhyaloid, vitritis, vaskulitis, nekrosis retina. Dapat dilakukan vitrektomi
pars plana untuk kultur dan injeksi intravitreal amphotericin B.

h. Diffuse Unilateral Subacute Neuroretinitis

Sering terjadi pada pasien yang muda dan sehat dan terdapat
subretinal nematode.Pada fase akut terdapat penurunan visus, vitritis,
papilitis, lesi putih keabuan dan putih kekuningan di luar retina.
Pengelompokan lesi retina sangat penting dalam membantu lokalisasi lesi
dari nematode. Penyebabnya adalah Toxacara canis, Baylisascaris
procyonis, Ancylostoma caninum. Jika nematode dapat terlihat maka
dilakukan fotokoagulasi.

i. Syphilitic Chorioretinitis

Terjadi pada stadium sekunder dari syphilis dan sering


berhubungan dengan VDRL positif. Gejalanya termasuk choroiditis,
retinitis, vaskulitis retina, neuritis optik, neuroretinitis, retinal detachment
exudative. Dengan karakteristik lesi placoid kekuningan pada polus
posterior. Terapi sama dengan neurosyphilis. Kortikosteroid kurang
bermanfaat untuk menurunkan inflamasi segmen posterior.

j. Lyme disease

Penyebabnya adalah Borrelia burgdorferi melalui kutu yang


terdapat pada binatang pengerat, rusa, burumg, kucing, anjing. Pada
stadium awal terdapat
konjungtivitis folikular. Pada stadium awal terdapat manifestasi
sistemik berupa myalgia, arthralgia, demam, sakit kepala , malaise,
dengan lesi kulit erithematous anular pada tempat gigitan kutu. Pada
stadium lanjut terdapat manifestasi neurologi dan muskuloskeletal,
keratitis, uveitis, vitritis optik neuritis. Kronik iridosikllitis dan vitritis
dapat terjadi pada daerah endemi.
Terapi pada stadium awal dengan tetracyclin, doxycyclin, penicillin, pada
stadium lanjut dengan intravena ceftraxone, penicillin.

k. Toxocariasis

Biasanya sebagai inflamasi intraokular yang berat pada anak dan


dewasa muda. Penyebabnya Toxacara canis. Manifestasi sistemik yaitu
visceral larva migrans, demam, eosinofilia.
Manifestasi okular termasuk uveitis berat, granuloma segmen
posterior, dengan tangkai fibrovaskular yang memanjang dari disc ke
granuloma posterior. Terapi antihelmintik kurang bermanfaat.
Kortikosteroid lokal dan sistemik dapat berguna untuk mengontrol
inflamasi.

l. Cytomegalovirus

Sering terjadi pada pasien dengan AIDS. Manifestasi pada retina


terjadi jika CD 4 turun dibawah 50. Gejalanya penurunan visus dan
floaters. Kekeruhan pada retina dengan daerah perdarahan, eksudat,
nekrosis.
Terapi dengan intravena ganciclovir atau foscarnet. Setelah dosis
tinggi 5 mg/kg 2 kali sehari ganciclovir atau 90 mg/kg 2 kali sehari
foscarnet untuk 2 minggu jika berespon baik maka diganti dengan dosis
rendah intravena atau oral ganciclovir.Obat lainnya adalah Cidofovir
dapat diberikan 1 kali perminggu untuk 2 dosis dan untuk pemeliharaan
tiap 2 minggu. Jika mengenai makula lebih baik diberikan fomiversen
intravitreal. Ganciclovir implan dapat bertahan 8 bulan. Pada periferal
detachment dapat dilakukan laser.

5. Fundus fluorescein angiogram (FFA)


Teknik untuk memeriksa sirkulasi retina dan koroid dengan menggunakan
pewarna fluoresen dan kamera khusus, studi aliran dinamis integritas pembuluh darah
retina pada beberapa kasus, studi integritas pembuluh darah segmen anterior. Setelah
injeksi natrium fluorescein intravena, serangkaian gambar segmen posterior yang
disaring memberikan gambaran fungsional dan struktural pembuluh darah dan
anatomi retina (dan pada tingkat tertentu koroid). fluorescein angiografi dapat
mendeteksi edema makula, vaskulitis retina, neovaskularisasi koroid atau retina
sekunder, dan area saraf optik. beberapa retinochoroidopathies, atau sindrom titik
putih, memiliki tampilan yang khas pada FA. FA bidang lebar dan ultra lebar dapat
mengidentifikasi patologi vaskular retina yang tidak terlihat pada pemeriksaan klinis.
Fluorescein yaitu :
 Sebuah hydrocarbon kristalin orange kemerahan
 Berat molecular 376 dalton
 2 – 3 mL (25%) / 5 mL (10%)
 Eleminasi : Liver dan Ginjal 24 – 36 jam via urine
 80 % protein albumin terikat
 20 % tidak terikat
Fase dari Fundus Fluoresceins Angiografi :
Abnormalitas dari Fundus Fluoresceins Angiography (FFA) :

1. Autofluorescence
 Emisi cahaya fluoresensi tanpa fluoresensi
 Drusen saraf kepala optic
 Hamartoma astrositik

 Masalah filter (jarang terjadi)


2. Hypofluorescence
 Defek pengisian pembuluh darah
a) Non perfusi
b) Penundaan atau tidak adanya pengisian pembuluh darah
 Fluoresensi yang diblokir

Visualization of fluorescein is blocked by

o Fibrous tissue

o Pigment

o blood
3. Hyperfluorescence
a) Kebocoran
o Peningkatan fluoresensi yang nyata
 Merembes melalui RPE ke dalam ruang sub retina atau retina
 Keluar dari pembuluh darah retina ke dalam retina
o Dari retina NV ke dalam vitreous
o Batas menjadi semakin kabur
o Intensitas terbesar pada fase akhir
b) Pewarnaan
o Meningkatkan intensitas dan bertahan dalam tampilan akhir
o Margin tetap tetap sepanjang fase
o Masuknya fluorescein ke jaringan padat
Bekas luka
I. Drusen
II. AKTIF
III. Sklera
c) Window Defect
o Tampilan fluoresensi koroid normal melalui defek RPE
o Meningkatkan intensitas dengan puncak pengisian koroid
o Tidak bertambah besar dan memudar pada fase akhir

6. Pemeriksaan laboratorium / Pemeriksaan Penunjang


o Pencitraan Mata dan Tes Fungsional
Pencitraan mata dan tes fungsional berguna untuk diagnostik dan memantau
respons pasien terhadap terapi. Kedua tes ini dapat memberikan informasi yang
tidak dapat diperoleh dari pemeriksaan biomikroskopis atau fundus. Penggunaan
modalitas pencitraan gabungan, yang disebut pencitraan multimodal, dapat saling
melengkapi dan menambah dalam tugas ini. Untuk pembahasan mengenai
modalitas pencitraan oftalmologis dan pengujian electroretinogram
o Tomografi koherensi optik
Tomografi koherensi optik (OCT) menghasilkan serangkaian gambar
penampang melintang beresolusi tinggi dari retina dan koroid, serta digunakan
untuk mengidentifikasi perubahan morfologi yang terlihat pada mata yang
mengalami uveitis. Sebagai teknik pencitraan non-kontak, OCT telah menjadi
metode pemeriksaan standar untuk memastikan edema makula uveitis (Gbr. 59),
penebalan retina, cairan subretina dan intraretina yang berhubungan dengan
neovaskularisasi koroid, dan ablasio retina yang serius. Meskipun terkadang
berguna ketika fundus dilihat pada mata dengan pupil yang lebih kecil, kekeruhan
media dapat membatasi kejernihan OCT. OCT juga bermanfaat untuk memantau
lapisan serabut saraf pada pasien dengan glaukoma uveitis. OCT segmen anterior
dapat berguna untuk mengevaluasi mata terhadap fragmen lensa yang tertahan
atau gesekan IOL pada uveitis pasca operasi. Terdapat upaya berkelanjutan untuk
mengembangkan penilaian objektif berbasis OCT terhadap sel/peradangan
intraokular. OCT dengan pencitraan kedalaman yang disempurnakan (EDIOCT;
Gbr. 510) memberikan penetrasi jaringan yang lebih dalam. Teknik ini
memungkinkan visualisasi koroid, yang dapat mengalami perubahan struktural
pada beberapa penyakit uveitis, terutama sindrom Vogt-Koyanagi-Harada,
simpatisoftalmia, dan birdshotkorioretinopati.
OCT angiography (OCTA) mengandalkan pemindaian resolusi tinggi yang
berulang-ulang pada area yang sama untuk menilai perbedaan aliran darah,
menghasilkan gambar struktural pembuluh darah yang diperfusi pada jaringan
mata. Laporan kasus dan seri kasus yang menggambarkan karakteristik OCTA
dari lesi korioretinal aktif dan tidak aktif mulai bermunculan. Hal ini akan
memiliki implikasi yang semakin meningkat untuk diagnosis dan pengobatan
uveitis posterior dari waktu ke waktu.
o Angiografi fluorescein
Angiografi fluorescein adalah modalitas pencitraan yang penting untuk
mengevaluasi mata dengan penyakit koroid dan komplikasi struktural yang
disebabkan oleh uveitis posterior. Setelah injeksi natrium fluorescein secara
intravena, serangkaian gambar segmen posterior yang telah difilter akan
memberikan gambaran fungsional dan struktural pembuluh darah retina (dan pada
tingkat tertentu, koroid) dan anatomi. Angiografi fluorescein dapat mendeteksi
edema makula (Gbr. 511), vaskulitis retina, neovaskularisasi koroid atau retina
sekunder, dan area peradangan saraf optik, retina, dan koroid. Beberapa
retinochoroidopati, atau sindrom titik putih, memiliki tampilan yang khas pada
FA. FA yang luas dan lebar dapat mengidentifikasi patologi vaskular retina yang
tidak terlihat pada pemeriksaan klinis.
o Fotografi berwarna
Digunakan sendiri atau bersama dengan pencitraan lainnya, grafik foto
berwarna dari segmen anterior atau posterior mendokumentasikan ukuran lesi,
warna, lokasi, dan karakteristik morfologi yang digunakan untuk menilai
perkembangan klinis atau regresi penyakit. Gambar-gambar ini dapat berguna
untuk menentukan garis dasar saat menilai proses inflamasi yang kambuh dan
sembuh (misalnya, adanya sinekia posterior baru pada uveitis anterior, atau
menangkap karakteristik inflamasi segmen posterior yang bersifat sementara pada
penyakit Behçet).
o Fundus autofluoresensi
Fundus autofluoresensi (FAF) adalah teknik pencitraan non-invasif lainnya
untuk menganalisis segmen posterior. Teknik ini memetakan sifat fluoresensi
lipofuscin, produk pemecahan protein retina, di dalam epitel pigmen retina
(RPE). Hiperautofluoresensi berhubungan dengan peningkatan aktivitas
metabolisme RPE, atau cacat win dow karena hilangnya fotoreseptor, sedangkan
hipoautofluoresensi terjadi dengan hilangnya atau penyumbatan sel RPE.
Pencitraan FAF berguna pada uveitis posterior yang melibatkan retina bagian
luar, RPE, dan koroid bagian dalam. Pola autofluoresensi bervariasi di antara
berbagai jenis uveitis, tetapi pada banyak kasus, hiperautofluoresensi terjadi
seiring dengan peningkatan aktivitas penyakit dan memudar serta menggelap
seiring dengan meredanya peradangan.
o Angiografi hijau indosianin
Seperti FA, pencitraan hijau indosianin (ICG) menggunakan suntikan
intravena yang digabungkan dengan gambar retina serial untuk memberikan data
tentang pembuluh darah dan anatomi segmen posterior, sifat ICG memungkinkan
pencitraan khusus sirkulasi koroid, pada penyakit inflamasi yang melibatkan
retina luar dan koroid, temuan pada ICG sering kali lebih baik daripada temuan
pada fundoskopi maupun FA, yang dapat memberikan implikasi diagnostik dan
terapeutik. Penggunaannya sangat bermanfaat dalam evaluasi inflamasi
korioretinopati yang tidak diketahui etiologinya (sindrom titik putih), Sindrom
Vogt-Koyanagi-Harada, oftalmia simpatis, dan sarkoidosis segmen posterior, dan
dalam evaluasi membran neovaskular koroid.
o Ultrasonografi
Biomikroskopi ultrasonografi segmen anterior dapat bermanfaat dalam
mendiagnosis patologi tubuh siliaris, iris, dan sudut iridokornea pada uveitis.
Ultrasonografi segmen posterior, atau Bscanultrasound, dapat berguna untuk
menunjukkan kekeruhan vitreus, penebalan koroid atau elevasi koroid, ablasi
retina, dan pembentukan membran siklitik, serta untuk menyingkirkan benda
asing yang tidak terlihat, terutama jika kekeruhan media menghalangi pandangan
ke segmen posterior. Fragmen IOL yang tertahan dapat divisualisasikan pada
segmen anterior atau posterior, pencitraan ultrasonografi dapat menjadi
diagnostik untuk skleritis posterior (lihat Bab 7).
o Elektroretinografi
Elektroretinografi medan penuh (ERG) dapat digunakan untuk memantau
perkembangan korioretinopati birdshot, mendiagnosis penyakit kompleks
retinopati luar okuli zonular akut (AZOOR), dan mendiagnosis retinopati
autoimun. Temuan elektroretinogram juga dapat berguna dalam pemeriksaan
uveitis ketika mencoba membedakan distrofi retina tertentu dari uveitis posterior.
o Pengujian/perimetri bidang visual
Perimetri kinetik dan nonkinetik digunakan untuk memantau perkembangan
dan respons terhadap pengobatan penyakit korioretinopati birdshot dan penyakit
kompleks AZOOR. Teknik ini juga digunakan untuk memantau cacat lapang
pandang pada glaukoma uveitis atau neuritis optik inflamasi. Mikroperimetri
dapat membantu pada penyakit yang melibatkan makula, seperti koroiditis
belang-belang.
 Pengambilan Sampel Cairan dan Jaringan Mata
o Pengujian reaksi berantai polimerase pada cairan berair dan cairan vitreous
Pengujian reaksi berantai polimerase (PCR) untuk diagnosis uveitis infeksius
sangat sensitif dan spesifik. Tes ini dapat secara langsung mengamplifikasi DNA
patogen yang dicurigai dari sejumlah kecil sampel cairan oftalmik, sehingga ideal
untuk diaplikasikan pada jaringan mata. Pengujian PCR humor aqueous yang
spesifik untuk virus herpes simpleks tipe 1 atau 2, varicellazostervirus, dan
cytomegalovirus memiliki sensitivitas dan spesifisitas diagnostik yang tinggi pada
tingkat yang mirip dengan biopsi vitreous. Paracentesis ruang anterior umumnya
lebih aman dan lebih mudah dilakukan daripada pengambilan sampel vitreous.
Pada kasus-kasus yang dicurigai sebagai toksoplasmosis retina, seseorang dapat
melakukan paracentesis ruang anterior untuk PCR, meskipun hasil diagnostiknya
mungkin lebih rendah daripada pengambilan sampel vitreous. Pada
toksoplasmosis, hasil PCR ruang anterior yang positif lebih mungkin terjadi pada
pasien dengan lesi yang besar atau pasien yang mengalami gangguan kekebalan.
Kemampuan diagnostik pengujian PCR berair yang terisolasi untuk dugaan
uveitis anterior virus jauh lebih rendah. Dalam kasus-kasus di mana spesiasi virus
sangat penting untuk manajemen, pengambilan sampel berulang dapat
meningkatkan hasil.
Hingga saat ini, PCR tidak praktis untuk diagnosis uveitis bakteri dan jamur
karena harus menentukan patogen yang dipilih untuk amplifikasi. Sekarang,
berdasarkan subunit ge ne tik yang terkonservasi dalam bakteri (16S) dan jamur
(5,8S/18S/28S), tes PCR panbakteri dan panjamur memiliki kinerja yang sama
atau lebih baik daripada kultur. Teknik berbasis PCR untuk pengujian genom
sampel vitreous digunakan dalam diagnosis intraokular primer. Kekurangan dari
PCR adalah biaya, keterbatasan dalam pengujian untuk beberapa entitas karena
ukuran sampel cairan yang kecil, risiko amplifikasi kontaminan yang tidak tepat,
dan risiko kegagalan identifikasi ketika ada kekurangan bahan seluler.
o Serologi mata/produksi antibodi lokal
Negara-negara Uni Eropa menganggap evaluasi produksi antibodi air
berdasarkan koefisien Goldmann-Witmer (GW) sebagai standar baku untuk
diagnosis toksoplasmosis; namun, ini tidak tersedia secara komersial di Amerika
Serikat. (Bab 2 menjelaskan perhitungan GW.) Hasil diagnostik dapat meningkat
ketika PCR dan koefisien GW digunakan bersama, terutama pada infeksi virus.
Produksi antibodi berair dapat bertahan meskipun tidak ada bahan seluler,
sehingga memberikan keuntungan tertentu dibandingkan PCR pada
anterioruveitis virus.
o Kultur dan pewarnaan penting
Kultur sel dan pewarnaan bakteri dan jamur berguna dalam kasus dugaan
endoftalmitis bakteri atau jamur. Isolasi memakan waktu dan kurang sensitif
karena rendahnya beban patogen dalam sampel okular. Namun, teknik ini
merupakan pengujian lini pertama yang tradisional, tersedia secara luas, dan
murah untuk dilakukan.
o Sitologi dan Patologi
Parsentesis ruang anterior untuk studi sitologi dapat bersifat diagnostik pada
kasus-kasus yang melibatkan segmen anterior atau terkadang segmen posterior.
Paracentesis ruang anterior yang dicurigai sebagai leukemia atau limfoma dikirim
untuk analisis sitologi. Jika ada kekhawatiran akan limfoma vitreoretal primer,
cairan biopsi vitreus yang tidak diencerkan dikirim untuk pemeriksaan sitologi
dan flow cytometry dengan studi penataan ulang gen dan analisis sitokin. biopsi
vitreus untuk patologi secara teknis cukup menantang dan membutuhkan ahli
bedah vitreus yang berpengalaman. Biopsi ini mungkin berguna pada uveitis
posterior yang progresif dengan cepat, yang etiologinya tidak diketahui dan
rejimen terapeutiknya belum ditentukan, dugaan limfoma intraokular yang
terbatas pada ruang subretina juga merupakan indikasi untuk dilakukannya biopsi
korioretal. Biopsi ini biasanya dilakukan hanya jika diagnosis tidak dapat
dipastikan setelah semua pemeriksaan non-invasif lainnya. Biopsi konjungtiva
terarah pada lesi yang terlihat jelas dapat bermanfaat pada limfoma, pemfigoid
sikatrik, dan sarkoidosis. Jarang, biopsi sklera dapat bermanfaat ketika
mempertimbangkan etiologi infeksi untuk skleritis (lihat Bab 7). Biopsi vitreus
juga dapat dilakukan untuk mengidentifikasi etiologi uveitis tertentu, terutama
pada kasus yang dicurigai sebagai korioretinitis infeksi.
o Teknik paracentesis ruang anterior
Paracentesis melibatkan penggunaan teknik steril pada lampu celah atau
dengan pasien terlentang di brankar atau kursi perawatan. Tetes anestesi topikal
diberikan; mata disiapkan dengan larutan povidoneiodinesol topikal; dan
spekulum penutup dapat dipasang. Jarum suntik tuberkulin (1 mL) dipasang pada
jarum suntik steril berukuran 30 gauge. Jarum suntik kemudian dimajukan di
bawah visualisasi celah celah ke dalam ruang anterior melalui limbus temporal
atau kornea yang sejajar dengan bidang iris. Sebanyak mungkin cairan yang
disedot sesuai dengan jumlah yang aman (biasanya 0,1-0,2 mL), hindari kontak
dengan iris dan lensa. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah perdarahan bilik
mata depan, infeksi, dan kerusakan pada iris atau lensa.
o Teknik biopsi vitreus
Spesimen vitreus dapat diperoleh dengan menggunakan jarum atau dengan
menggunakan instrumen vitrektomi, jika diinginkan sampel yang kecil, biasanya
dilakukan dengan menggunakan jarum pada vitreus dengan posisi pasien
berbaring di kursi ruang pemeriksaan. Pemberian anestesi topikal dan
subkonjungtiva diberikan; mata disiapkan dengan larutan povidoneiodinesol
topikal, dan spekulum penutup dipasang. Biasanya, jarum berukuran 25 gauge, 1
inci pada jarum suntik 3 mL (untuk memberikan ruang hampa udara yang lebih
besar) dimasukkan melalui pars plana, diarahkan ke rongga vitreus, dan
digunakan untuk mengaspirasi sampel vitreus. Vitrektomi diagnostik dilakukan
melalui vitrektomi pars plana 3 porta standar (lihat BCSC Bagian 12, Retina dan
Vitreous). Indikasi yang paling umum untuk biopsi vitreus termasuk dugaan
infeksi, limfoma intraokular primer atau keganasan intraokular lainnya, dan
etiologi infeksi uveitis posterior atau panuveitis. (Endoftalmitis dibahas secara
rinci pada Bab 12, dan limfoma intraokular pada Bab 13). Selain itu, uveitis
kronis yang memiliki pre sentasi atrofi atau respon yang tidak adekuat terhadap
terapi konvensional mungkin memerlukan vitrektomi diagnostik.
Dalam semua skenario ini, pengujian biasanya membutuhkan spesimen
vitreous yang tidak diencerkan. Diperlukan 0,5-1,0 mL vitreus murni untuk
evaluasi menggunakan teknik vitrektomi standar. Komplikasi vitrektomi
diagnostik pada mata uveitis dapat berupa robekan atau pelepasan retina,
perdarahan suprakoroid atau vitreus, perburukan katarak atau inflamasi, dan, yang
jarang terjadi, oftalmia simpatis. Meskipun pembedahan vitreus dapat bersifat
terapeutik dan diagnostik pada kasus uveitis, farmakokinetik obat intravitreal
yang diberikan secara nyata berubah pada mata yang telah menjalani vitrektomi
pars plana; waktu paruh kortikosteroid intravitreal, sebagai contohnya, secara
signifikan berkurang pada mata yang telah divitrektomi.

XVIII. KEPUSTAKAAN

1. American Academy of Ophthalmology, Basic and Clinical Science


Course, Retina and Vitreous, Section 12.
2. Kanski J.J : Clinical Ophthalmology, a systematic approach.

3. Regillo C.D : Vitreoretinal Disease, The Essentials

4. American Academy of Ophthalmology, Basic and Clinical Science


Course, Intraocular Inflamation and Uveitis, Section 9.

Anda mungkin juga menyukai