Anda di halaman 1dari 11

Ahmad fayat zabihullah 1905104010070

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Itik merupakan salah satu jenis unggas air yang sangat potensial dan cukup

dikenal masyarakat dibandingkan unggas air lainnya. Itik banyak dimanfaatkan

sebagai penghasil telur namun tidak sedikit yang menjadikan itik sebagai

penghasil daging dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat. Itik

yang dibudidayakan sebagian besar berasal dari itik lokal.

Itik lokal umumnya memiliki nama yang disesuaikan dengan asal itik

tersebut. Masing-masing itik memiliki sifat yang khas, baik dalam anatomi,

morfologi maupun produksi telur dan dagingnya. Beberapa itik lokal yang

banyak dipelihara antara lain yaitu Itik Tegal, Itik Mojosari, Itik Magelang, Itik

Cihateup dan Itik Rambon.

Itik Rambon adalah itik yang berasal dari daerah Cirebon Jawa Barat, hasil

persilangan antara Itik Tegal dan Itik Magelang. Itik ini memiliki ciri umum

seperti postur tubuh sedang, bulu berwarna coklat atau tutul coklat, paruh dan

sisik kaki (shank) berwarna hitam serta kulit tubuh berwarna putih. Selain

Cirebon, Itik Rambon banyak dipelihara di daerah Indramayu, Majalengka,

Kuningan, Subang, Karawang, Bekasi dan Banten (Setioko, dkk., 2005).

Itik Cihateup adalah itik yang berasal dari Desa Cihateup, Kecamatan

Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Selain

dikembangbiakkan di daerah asalnya, Itik Cihateup juga telah dikembangbiakkan

di daerah-daerah di sekitar Tasikmalaya seperti Garut. Itik Cihateup merupakan

salah satu kebanggaan peternak itik di Propinsi Jawa Barat di samping Itik

Rambon (Wulandari, dkk., 2005).

Itik Rambon dan Cihateup memiliki produksi telur yang tinggi sehingga

banyak dibudidayakan sebagai penghasil telur baik telur konsumsi maupun telur
tetas. Telur tetas yang banyak beredar saat ini secara umum dihasilkan melalui

kawin alam antara itik jantan dan betina yang dipelihara secara ekstensif.

Seiring peningkatan jumlah penduduk dan penyempitan lahan pertanian

yang dapat digunakan sebagai lahan penggembalaan, telah memaksa peternak itik

untuk menerapkan perubahan manajemen pemeliharaan dari ekstensif ke intensif.

Pemeliharaan itik secara intensif terutama pada kondisi minim air relatif masih

jarang dilakukan. Perubahan manajemen pemeliharaanpun akan mengubah

manajemen perkawinan itik dalam menghasilkan telur tetas. Produksi telur tetas

dipengaruhi oleh manajemen perkawinan diantaranya lama pencampuran jantan

dan betina. Lama waktu pencampuran antara itik jantan dan itik betina sangat

penting diperhatikan terutama untuk mengetahui kemampuan produksi individual

baik induk maupun pejantannya. Perbedaan lama waktu pencampuran antara

jantan dan betina pada sistem kawin alam diduga akan berpengaruh terhadap

produksi telur dan fertilitas telur.


BAB II

ASAL USUL ITIK ALABIO

1994; BPTP Kalimantan Selatan 2005;

1995). Keragaan itik alabio meliputi

2000). Namun demikian, pengembangan

3.487.002 ekor (Dinas Peternakan Provinsi

65 g/butir, konsumsi pakan 155−190 g/

antara lain penanganan bibit dan pascapanen yang belum optimal sehingga bibit

badan betina umur 6 bulan 1,60 kg dan

dan pascaproduksi yang belum memenuhi

daya manusia yang memadai (Fathurrahim

di Kalimantan Selatan tahun 2006 tercatat

di Kalimantan Selatan, terutama di

dihasilkan belum seragam, dan kerusakan

ditunjang dengan kemampuan sumber

ekor/hari, dewasa kelamin 179 hari, daya

hasil pascapanen belum banyak diminati

Hulu Sungai Tengah (HST), dan Hulu

ini telah lama dipelihara dan berkembang

Inutfah unggas lokal yang mempunyai tik alabio merupakan salah satu plasma

itik alabio berorientasi agribisnis spesifik

jantan 1,75 kg (Rohaeni dan Tarmudji

Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS),

Kalimantan Selatan 2006).

keunggulan sebagai penghasil telur. Itik

konsumsi protein hewani asal ternak,

lokasi menghadapai berbagai masalah,

mortalitas setelah menetas 0,75−1%, bobot


oleh konsumen. Penanganan praproduksi

pascaproduksi masih tinggi (Dinas

Pemeliharaan itik alabio mempunyai

Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan

produksi telur 220−250 butir/ekor/tahun,

prospek yang cerah seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya kesadaran
masyarakat akan

puncak produksi 92,70%, bobot telur 59−

standar mengakibatkan bibit itik yang

Sungai Utara (HSU). Populasi itik alabio

Suryana dan Tiro 2007).

tunas 90,38%, daya tetas 79,49−80%,

yang dihasilkan berkualitas rendah serta


BAB III
POPULASI ITIK ALABIO
Aktivitas beternak itik Alabio, sudah hampir merata di seluruh wilayah kecamatan yang di
Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) dan terpusat di kecamatan Sungai Pandan dan Sungai
Tabukan.
Bupati HSU Abdul Wahid mengatakan, di Kabupaten HSU ternak itik alabio memiliki tingkat
populasi ternak terbesar mencapai 1,3 juta ekor dengan tingkat produksi telor mencapai 7,7
juta kilogram dan tingkat produksi daging itik mencapai 303 ribu kilogram.
Demi mendukung pengembangan usaha peternakan di Kabupaten HSU, telah dialokasikan
anggaran pada tahun 2012 sebesar Rp 3,57 miliar lebih. Anggaran tersebut bersumber dari
dana tugas pembantuan APBN dan APBD I sebesar Rp 1,96 miliar lebih, ditambah APBD HSU
sebesar Rp 1,6 miliar lebih.
Alokasi dana tersebut, masih ditambah dari dana Kredit Ketahanan Pangan dan Energi
Peternakan (KKP-EP) dan kredit kemitraan dari pihak perbankan yang hingga September
2012 mencapai Rp 2,5 miliar.
Saat mendampingi tim penilai Lomba agribisnis ternak itik tingkat nasional, Direktorat
Jendral Peternakan saat melakukan penilaian di Provinsi Kalimantan Selatan tepatnya di
Desa Sungai Tabukan Kecamatan Sungai Tabukan, Bupati HSU Abdul Wahid memaparkan
wilayah HSU yang didominasi lahan rawa sangat potensial untuk pengembangan pertanian
dan peternakan, termasuk ternak itik alabio.
BAB IV
SISTEM PEMELIHARAAN
Itik alabio semula dipelihara dengan digembalakan di rawa-rawa, sungai atau

persawahan yang dikenal dengan "sistem

lanting”. Pola pemeliharaan ini terutama

dilakukan di Kabupaten HST dan HSU,

namun kini sudah mulai ditinggalkan

meskipun masih ada beberapa peternak di

Kabupaten HST yang melakukannya

(Rohaeni 2005). Pemeliharaan itik dengan

sistem lanting dilakukan pada rumah

terapung di atas rawa dengan balok-balok

kayu sebagai pengapung. Pada bagian

lantai dibuatkan kandang itik dengan

hanya dikelilingi pagar bambu. Kapasitas

kandang sekitar 150−200 ekor (Setioko

1990). Seiring dengan meningkatnya nilai

ekonomi itik alabio, pemeliharaannya telah

berubah ke sistem semi-intensif atau

intensif (Setioko 1997; Ketaren 1998; Dinas

Peternakan Kabupaten HSU 1999;

Biyatmoko 2005c).

Menurut Setioko (1997), itik Alabio

mempunyai kapasitas produksi telur yang

tinggi. Hal ini mungkin karena tersedianya

sumber pakan di rawa-rawa berupa ikanikan kecil, ganggang dan hijauan lain serta

binatang lainnya. Produksi telur itik yang

dipelihara dengan sistem lanting mencapai

60−90% selama periode bertelur, atau ratarata 70% (Setioko 1990; 1997), sementara

yang dipelihara secara tradisional produksinya hanya 130 butir/ekor/tahun

(Rohaeni dan Tarmudji 1994).


Rohaeni (2005) menyatakan bahwa

pemeliharaan itik alabio cukup beragam,

bergantung pada kebiasaan dan kondisi

alam. Di daerah sentra produksi seperti

Kabupaten HSU dan HST, pemeliharaan

itik dilakukan secara intensif dan semiintensif dengan skala pemeliharaan 500−

5.000 ekor/peternak. Menurut Setioko

(1997), usaha pemeliharaan itik secara

umum dapat dikelompokkan menjadi tiga,

yaitu 1) skala kecil, itik yang dipelihara

kurang dari 500 ekor dengan sistem

pemeliharaan tradisional atau dilepas di

lahan rawa atau sawah, 2) skala sedang dengan jumlah itik yang dipelihara 500−

5.000 ekor/peternak, dan 3) skala besar

dengan jumlah itik yang dipelihara lebih

dari 5.000 ekor/peternak dengan sistem

pemeliharaan secara intensif. Namun, ada

pula peternak yang memelihara itik alabio

secara semi-intensif, dengan skala usaha

25−200 ekor/kepala keluarga. Itik diumbar

atau dilepas dan diberi pakan tambahan

berupa cangkang udang, ikan rucah atau

rajungan untuk meningkatkan kualitas

warna kuning telur (Biyatmoko 2005c).

Pada sistem pemeliharaan secara intensif,

skala kepemilikan berkisar antara 200−7.000

ekor/kepala keluarga, dengan pemberian

pakan 2−3 kali sehari. Pakan terdiri atas

pakan komersial dicampur dedak, gabah,

sagu, ikan rucah, siput, dan hijauan rawa

atau ganggang
BAB V
CARA MENDAPATKAN RUMPUN

Untuk mengatasi kemunduran bibit akibat

penggunaan itik pejantan yang berkualitas

rendah, perlu dilakukan seleksi dan pemuliaan secara teratur, terarah, dan terencana sehingga
diperoleh bibit yang

sesuai standar. Selain itu, untuk pengembangan itik alabio secara khusus diperlukan pemetaan
daerah atau kawasan khusus bagi pengembangan dan pemurnian

itik alabio (Biyatmoko 2005a). Selain itu,

perlu dibuat standardisasi bibit, pencegahan kemungkinan tercemarnya itik

alabio oleh itik pendatang, dan pembangunan pusat perbibitan skala pedesaan atau village breeding
center,

sehingga diperoleh bibit itik yang murni

dengan kualitas yang dapat diandalkan

(Biyatmoko 2005c). Penyuluhan tentang

pentingnya pencatatan pada usaha pembesaran dan penghasil telur tetas perlu

diintensifkan untuk meningkatkan pengetahuan peternak tentang hal itu.

Untuk mengantisipasi harga pakan

komersial yang melambung tinggi, perlu

digalakkan pemanfaatan bahan pakan lokal

alternatif untuk menekan biaya produksi,

sehingga keuntungan peternak dapat

ditingkatkan. Standardisasi pakan itik

alabio juga diperlukan. Diversifikasi bahan

baku pakan lokal, terutama budi daya

tanaman sagu hendaknya direncanakan

secara baik dan berkesinambungan. Untuk

meningkatkan usaha itik alabio perlu

dibuat formulasi pakan murah dengan

memanfaatkan sumber protein lokal seperti

haliling, kalambuai atau keong dan remis,

serta beberapa gulma yang potensial dan


tersedia sepanjang tahun seperti eceng

gondok dan Azolla.

Selanjutnya dalam upaya mengatasi

rendahnya kualitas itik pejantan dan

betina penghasil telur tetas, perlu ada

standardisasi pejantan unggul agar telur

tetas yang dihasilkan berkualitas baik,

walaupun sampai saat ini daya tunasnya

mencapai 90,13% (Suryana dan Tiro 2007).

Penggunaan pejantan dalam kelompok

yang sama perlu dihindari agar tidak terjadi

in breeding pada kelompok tersebut.

Penanganan pascapanen itik alabio

perlu dilakukan lebih baik lagi agar produk

yang dihasilkan dapat bersaing di pasaran.

Pelatihan bagi peternak yang melaksanakan kegiatan pascapanen dapat mendukung upaya tersebut.

Untuk pencegahan dan pengendalian penyakit baik pada telur tetas, di tempat

penetasan, anak itik, itik dara dan dewasa

maupun lingkungannya, dapat dilakukan

peningkatan sanitasi dan fumigasi telur

tetas, mesin penetas, kandang dan perlengkapannya secara periodik. Istiana dan

Suryana (1993) mengemukakan bahwa

fumigasi pada telur tetas, ruang penetasan

dan lingkungannya dengan menggunakan

5% savlon dan 10% rodalon dapat menekan kehadiran bakteri Salmonella sp.

dan kapang. Untuk menghindari terjadinya penyakit aflaktosikosis yang disebab kan oleh racun
aflatoksin pada pakan,

hendaknya penyimpanan pakan tidak

terlalu lama. Dengan cara tersebut diharapkan produk yang dihasilkan bebas

cemaran mikroorganisme yang dapat merugikan kesehatan ternak dan manusia.


BAB VI

KESIMPULAN
Itik alabio mempunyai potensi sebagai
penghasil telur dan daging. Potensi itik
jantan sebagai sumber daging belum dimanfaatkan secara optimal. Usaha tani itik
alabio di Kalimantan Selatan sudah mengarah ke spesialisasi usaha yaitu penghasil
telur tetas, telur konsumsi, penetasan dan
pembesaran atau itik dara.
Masalah dalam pengembangan itik
alabio adalah: 1) belum adanya standardisasi mutu bibit, 2) harga pakan yang
berfluktuasi, 3) masa periode bertelur tidak
stabil dan belum adanya pencatatan yang
baik, 4) seleksi itik jantan masih didasarkan
pada pengalaman dan bukan pada kualitas
bibit yang baik, 5) penanganan pascapanen belum optimal sehingga produk
yang dihasilkan kurang disukai konsumen,
dan 6) gangguan penyakit. Untuk pencegahan dan pengendalian penyakit, baik
di tempat penetasan, pada telur tetas, anak
itik, itik dara, dan itik dewasa perlu digalakkan sanitasi dan fumigasi ruang penetasan, telur tetas, kandang dan
peralatan
serta lingkungannya secara periodik
BAB VII

DAFTAR PUSTAKA
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan. 2005. Analisis kebijakan pengembangan ternak itik
di Kabupaten Hulu
Sungai Utara. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan, Banjarbaru. 6 hlm.
Biyatmoko, D. 2005a. Petunjuk Teknis dan
Saran Pengembangan Itik Alabio. Dinas
Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan,
Banjarbaru. 9 hlm.
Biyatmoko, D. 2005b. Disain pengembangan itik
di Kalimantan Selatan tahun 2006-2010.
Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan, Banjarbaru. 23 hlm.
Biyatmoko, D. 2005c. Kajian arah pengembangan itik Alabio di masa depan. Makalah disampaikan pada
Ekspose Konsultan Pengembangan Ternak Kerbau dan Itik serta
Diseminasi Teknologi Peternakan Tahun
2005. Banjarbaru, 11 Juli 2005. Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan, Banjarbaru. 13 hlm.
Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan.
19932006. Laporan Tahunan. Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan,
Banjarbaru. 57 hlm.
Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan.
2006. Evaluasi kinerja pembangunan peternakan 2006 dan rencana kegiatan 2007.
Makalah disampaikan pada Rapat Evaluasi
Pembangunan Peternakan Kalimantan Selatan, Banjarbaru, 16 Januari 2007. 18 hlm.
Dinas Peternakan Kabupaten Hulu Sungai Utara.
1999. Laporan Tahunan. Dinas Peternakan
Kabupaten Hulu Sungai Utara, Amuntai. 59
hlm.
Fathurrahim, A.H. 2000. Prospek dan kebutuhan
teknologi sistem usaha tani itik Alabio di
lahan lebak Kalimantan Selatan. Makalah
disampaikan pada Temu Informasi Teknologi Pertanian, Banjarbaru, 1920 Juli 2000.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan, Banjarbaru. 7 hlm.
Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi
Pertanian Banjarbaru. 1996. Pengkajian
daya tunas pada telur tetas itik Alabio betina
pascaproduksi dan pemanfaatan limbahnya.
Laporan Hasil Penelitian. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian,
Banjarbaru. 17 hlm.
Istiana. 1994. Kematian embrio akibat infeksi
bakteri pada telur tetas di penetasan itik
Alabio dan perkiraan kerugian ekonominya.
Penyakit Hewan XXVI(45): 3640.
Istiana dan Suryana. 1993. Pengendalian salmonellosis di tempat penetasan telur itik Alabio
dan lingkungannya. Laporan Hasil Penelitian. Sub Balai Penelitian Veteriner Banjarbaru. 42 hlm.
Istiana dan Suryana. 1997. Pemeriksaan bakteriologik terhadap anak dan telur itik, pakan
dan dedak yang berasal dari pasar Alabio
Kalimantan Selatan. Jurnal Ilmu Ternak dan
Veteriner 2(3): 208211.

Anda mungkin juga menyukai