Anda di halaman 1dari 10

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB V

PEMBAHASAN

A. Perbandingan Kualitas Hidup Pasien PGK yang Menjalani Terapi

HD dengan CAPD

Studi ini bertujuan untuk menggambarkan efektivitas terapi yang

didapatkan pasien terhadap kondisi kesehatan pasien yang dilihat dari kualitas

hidup pasien menggunakan kuesioner KDQOL.SF (Kidney Disease Quality

of Life Short Form). Pada hasil penelitian ini, didapatkan bahwa berdasarkan

mean kelompok terapi HD dan CAPD (tabel 4.1), kualitas hidup pasien

CAPD lebih baik daripada kualitas hidup pasien HD. Hasil ini sesuai dengan

penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Putri et al (2014) bahwa sebagian

besar pasien PGK dengan terapi CAPD memiliki kualitas hidup yang baik.

Kualitas hidup baik pasien CAPD ini dapat disebabkan oleh keuntungan

utama terapi CAPD, yaitu kebebasan dan kemandirian pasien untuk

melakukan terapi CAPD. Keuntungan ini menyebabkan pasien dapat

beraktivitas secara optimal.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Widiyatmoko (2009) didapatkan

bahwa proses pembuangan cairan dan racun pada terapi CAPD bersifat lebih

stabil. Sehingga pasien dengan terapi CAPD dapat mempertahankan keadaan

klinis yang baik. Kedua hal tersebut dapat ditunjukkan pada hasil penelitian
commit to user
kualitas hidup pasien PGK berdasarkan faktor sosial pekerjaan. Pada faktor

50
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
51

ini, akan dibahas mengenai kemampuan tubuh pasien dalam melakukan

aktivitas untuk mengetahui efek komplikasi terapi. Pada pasien CAPD tidak

ditemukan adanya keterbatasan baik dari segi waktu maupun kemampuan

tubuh untuk melakukan aktivitas. Sedangkan pada pasien HD didapatkan

adanya keterbatasan pasien dalam melakukan aktivitas.

Kemandirian terapi yang tidak ditemukan pada terapi HD,

menyebabkan pasien harus menyesuaikan aktivitasnya dengan jadwal HD

yang ditentukan. Terapi HD perlu dilakukan secara rutin. Frekuensi terapi HD

dapat dilakukan sebanyak 1 kali per minggu untuk stadium gagal ginjal awal,

dan 2 kali per minggu untuk gagal ginjal akhir (Smeltzer et al., 2008 dalam

Suparti dan Solikhah 2016). Dalam 1 kali terapi HD dapat berlangsung

sekitar 3-4 jam. Terapi HD yang rutin ini dapat mempengaruhi kualitas hidup

pasien GGK (Sagala, 2015). Selain itu, pada terapi HD ditemukan adanya

komplikasi seperti kram otot, nyeri dada dan mual muntah pada pasien (Al-

hilali, 2009 dalam Nurani dan Mariyanti, 2013). Komplikasi tersebut dapat

mempengaruhi kemampuan tubuh pasien HD dalam melakukan aktivitas.

Adanya keterbatasan beraktivitas dan komplikasi terapi HD inilah yang dapat

menyebabkan pasien HD memiliki kualitas hidup yang lebih buruk daripada

pasien CAPD.

Selain itu, status nutrisi dan kondisi komorbid dapat juga

mempengaruhi kualitas hidup pasien PGK. Menurut penelitian yang

dilakukan oleh Sagala (2015), didapatkan status nutrisi yang buruk pada
commit to user
pasien (terutama pasien HD) dapat menurunkan kualitas hidup pasien. Hal ini
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
52

terjadi karena selama proses dialisis terjadi pengeluaran protein, vitamin dan

glukosa dalam jumlah banyak, sehingga pasien dapat mengalami malnutrisi.

Diketahui kondisi komorbid juga merupakan faktor yang dapat mepengaruhi

kualitas hidup pasien GGK (Yuwono, 2000 dalam Sagala, 2015). Proses

dialisis yang inadekuat menyebabkan toksin uremi dalam tubuh tidak

terbuang sempurna. Toksin ini dapat mempengaruhi beberapa system organ,

seperti system cardiovascular, gastrointestinal, musculoskeletal, dan lain-lain.

Kedua faktor ini termasuk ke dalam kriteria eksklusi penelitian. Hal ini

dikarenakan, faktor tersebut tidak dapat menggambarkan perbedaan kualitas

hidup pasien akibat terapi HD maupun CAPD.

Pada penelitian ini akan dibahas mengenai perbandingan kualitas

hidup pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani terapi HD dengan CAPD

berdasarkan 2 faktor. Faktor pertama adalah faktor fisik yang terdiri dari jenis

kelamin dan usia pasien PGK, kemudian faktor kedua adalah faktor sosial

yang terdiri dari tingkat pendidikan dan pekerjaan pasien PGK. Pertama hasil

penelitian mengenai perbandingan profil pasien PGK dengan terapi HD dan

CAPD berdasarkan faktor fisik jenis kelamin (tabel 4.2), didapatkan bahwa

pasien HD dan CAPD laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Hasil ini

sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Putri et al (2014)

dan Anggraini (2016) bahwa didapatkan angka kejadian PGK dengan terapi

HD dan CAPD pasien laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Pada hasil

kualitas hidup berdasarkan jenis kelamin, pasien HD dan CAPD yang

commit to ditemukan
memiliki kualitas hidup baik terbanyak user pada pasien laki-laki.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
53

Penelitian yang dilakukan oleh Rahman (2014) menyatakan bahwa,

tingginya prevalensi pasien laki-laki dapat disebabkan oleh pekerjaan, gaya

hidup, genetika dan kondisi fisiologis. Menurut Putri et al (2014) diketahui

pekerjaan laki-laki lebih berat daripada perempuan baik secara mental

maupun fisik. Gaya hidup merokok dan kebiasaan minum minuman berenergi

pada laki-laki dapat memicu terjadinya GGK (Rahman, 2014). Selain itu,

menurut Astrini (2013) dalam Anggarini (2016), menyatakan bahwa

kecenderungan kejadian pada laki-laki dapat disebabkan oleh tingginya

pasien laki-laki yang menderita hipertensi, diabetes mellitus dan obesitas.

Penyakit tersebut merupakan faktor risiko terjadinya GGK. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa tingginya angka kejadian PGK pada pasien laki-laki

dengan terapi HD dan CAPD dapat disebabkan oleh faktor risiko yang

cenderung lebih tinggi pada pasien laki-laki. Namun, tidak ditemukan adanya

pengaruh jenis kelamin terhadap kualitas hidup pasien PGK dengan terapi

HD maupun terapi CAPD.

Pada hasil perbandingan profil pasien PGK dengan terapi HD dan

CAPD berdasarkan faktor fisik usia (tabel 4.3), didapatkan bahwa pasien HD

dan CAPD terbanyak terdapat pada kelompok usia 41-60 tahun. Tingginya

angka kejadian terapi HD dan CAPD pada kelompok usia 41-60 tahun, dapat

disebabkan karena adanya penurunan fungsi-fungsi organ tubuh. Penurunan

fungsi ini dapat menyebabkan terjadinya kerentanan tubuh terhadap suatu

penyakit (Putri et al, 2014). Sehingga, dapat dikatakan bahwa semakin

commit to (fungsi)
meningkatnya usia, maka kemampuan user ginjal akan semakin menurun
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
54

pula. Didapatkan bahwa sesudah usia 40-70 tahun akan terjadi penurunan

LFG secara progresif, sekitar 50% dari nilai normal LFG (Smeltzer et al.,

2008 dalam Suparti dan Solikhah 2016). Penurunan fungsi ginjal ini

kemudian dapat memicu terjadinya penyakit ginjal kronik yang

membutuhkan adanya terapi pengganti ginjal.

Pada hasil kualitas hidup berdasarkan usia, pasien HD dan CAPD

dengan kualitas hidup baik terbanyak terdapat pada kelompok usia 41-60

tahun. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Putri et al (2014), didapatkan

bahwa semakin bertambahnya usia maka semakin baik kualitas hidup

seseorang. Hal ini dikarenakan semakin meningkatnya usia, pasien juga

semakin banyak memiliki pengalaman hidup mengenai kondisi kesehatannya.

Sehingga dapat membantu pasien dalam meningkatkan kualitas hidupnya.

Kualitas hidup pasien juga dipengaruhi oleh komplikasi yang dapat terjadi.

Menurut Anggraini (2016) pasien dengan usia di atas 55 tahun memiliki

kecenderungan untuk mengalami komplikasi. Komplikasi ini dapat

memperberat fungsi ginjal dan dapat memperburuk prognosis penyakit

pasien. Sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor usia dapat mempengaruhi

kualitas hidup pasien PGK dengan terapi HD maupun CAPD.

Pada tabel 4.4 mengenai perbandingan profil pasien PGK dengan

terapi HD dan CAPD berdasarkan faktor sosial tingkat pendidikan,

didapatkan bahwa pasien HD dan CAPD terbanyak adalah pasien dengan

tingkat pendidikan S1/D3. Hal ini tidak sesuai dengan teori yang menyatakan,
commit to user
semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin tinggi pula
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
55

pemahaman seseorang dalam menjaga kesehatannya (Putri et al., 2014).

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa orang dengan tingkat pendidikan yang

rendah, kurang mampu untuk memahami berbagai tindakan dalam menjaga

kesehatan dan pencegahan terhadap terjadinya suatu penyakit. Namun,

tingginya angka kejadian PGK pada tingkat pendidikan S1/D3 ini dapat pula

disebabkan oleh tingkat kesibukan yang tinggi. Sehingga seseorang tidak

memiliki waktu untuk mengurus kesehatannya, yang dalam jangka waktu

panjang seseorang dapat menderita suatu penyakit kronis tertentu seperti

PGK.

Pada kualitas hidup berdasarkan tingkat pendidikan, didapatkan

kualitas hidup baik terbanyak pada pasien HD dan CAPD, terdapat pada

kelompok tingkat pendidikan S1/D3. Hal ini didasarkan pada pemahaman,

semakin tinggi tingkat pendidikan pasien, maka semakin luas tingkat

pengetahuan, berpengalaman dan mempunyai perkiraan yang tepat dalam

mengatasi masalah. Pasien juga mudah mengerti terhadap penjelasan petugas

kesehatan, sehingga dapat membantu pasien dalam mengontrol diri dan

kecemasan atas kondisi kesehatannya. Selain itu, pasien juga dapat lebih

mudah dalam mengambil keputusan atas pengobatan yang diperlukan

(Yuliaw, 2009 dalam Suparti dan Sholikhah, 2016). Tingkat pendidikan

seseorang juga dapat berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi seseorang

(Putri et al., 2014). Sehingga didapatkan bahwa orang dengan tingkat

pendidikan yang lebih tinggi, memiliki kondisi sosial ekonomi yang lebih

commit
baik. Kondisi sosial ekonomi yangto baik
user dapat membantu pasien dalam
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
56

mempersiapkan dan memilih pengobatan yang diperlukan. Pada faktor tingkat

pendidikan ini dapat disimpulkan bahwa angka kejadian PGK, tidak

dipengaruhi oleh tingginya tingkat pendidikan pasien. Namun tingkat

pendidikan pasien dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien.

Pada hasil perbandingan profil pasien PGK dengan terapi HD dan

CAPD berdasarkan faktor sosial pekerjaan (tabel 4.5), didapatkan bahwa

pasien HD terbanyak adalah kelompok pasien yang tidak bekerja, sedangkan

pasien CAPD terbanyak bekerja sebagai PNS. Hal ini berkaitan dengan

kemampuan tubuh pasien dalam melakukan aktivitas. Kondisi kesehatan

pasien menyebabkan pasien membutuhkan usaha yang lebih dalam

melakukan kegiatan yang berat. Selain itu, pasien juga merasa lebih mudah

lelah, sehingga tidak dapat bekerja terlalu lama (Butar, 2013 dalam

Anggraini, 2016). Beberapa hal yang menjadi bukti adanya penurunan

aktivitas pasien adalah sebagian besar pasien mengaku telah mengurangi

waktu dalam bekerja. Pasien juga menyatakan adanya penurunan target

capaian pada pekerjaan yang biasa dilakukan oleh pasien.

Sementara itu, sebagian besar pasien CAPD terdiri dari kelompok

PNS, hal ini dapat berkaitan dengan kemandirian pasien dalam melakukan

CAPD. Terapi CAPD yang dapat dilakukan dimanapun, menyebabkan pasien

tidak terbatas dalam beraktivitas. Pasien yang bekerja sebagai PNS juga

memiliki kondisi sosial ekonomi yang baik. Sehingga pasien dapat

memberikan pengobatan terbaik untuk meningkatkan kualitas hidupnya


commit to user
(Butar, 2013 dalam Anggraini, 2016). Travallaii (2009) dalam Sulistini et al
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
57

(2012) menyatakan bahwa pasien hemodialisis cenderung membatasi hidup

dan aktivitas sosialnya. Sehingga dapat mempengaruhi kondisi sosial

ekonomi pasien yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien.

Selain itu, frekuensi dialisis pada HD yang tidak sesering CAPD,

membuat pasien dengan terapi HD tidak dapat segera mengeluarkan zat

toksik dan cairan berlebih dalam tubuh. Diketahui bahwa proses tersebut

bersifat lebih stabil pada pasien CAPD (Widiyatmoko, 2009). Oleh karena

itu, pada pasien HD terdapat pembatasan asupan cairan dan makanan. Hal ini

berkaitan dengan penambahan berat badan di antara dua waktu dialisis yang

dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien HD (Riyanto, 2011). Keadaan

inilah yang kemudian dapat mempengaruhi kemampuan tubuh dalam

melakukan aktivitas. Pada kualitas hidup berdasarkan pekerjaan, didapatkan

pasien HD dengan kualitas hidup baik terbanyak terdapat pada kelompok

tidak bekerja, sedangkan pasien CAPD terdapat pada kelompok PNS. Pada

faktor pekerjaan ini dapat disimpulkan bahwa faktor pekerjaan pada pasien

HD dipengaruhi oleh kondisi kesehatan pasien. Sedangkan pada pasien

CAPD faktor pekerjaan tidak dipengaruhi oleh kondisi kesehatan pasien.

Kualitas hidup pasien HD dan CAPD tidak berkaitan dengan faktor pekerjaan

pasien.

Pada hasil uji t-test independent untuk kelompok terapi HD dan

CAPD yang memiliki varian berbeda (tabel 4.6), didapatkan hasil bahwa nilai

p hasil uji sebesar 0,424. Hasil p >0.05, maka dapat dinyatakan bahwa
commit to user
hipotesis ditolak sehingga tidak terdapat perbedaan antara kualitas hidup
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
58

pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK) yang menjalani terapi Hemodialisis

dengan CAPD. Dari hasil wawancara dengan responden, peneliti

menyimpulkan bahwa tidak terdapatnya perbedaan antara kualitas hidup

pasien PGK yang menjalani terapi HD dengan CAPD ini, disebabkan oleh

sebagian besar responden dari pasien HD sudah menjalani terapi HD cukup

lama. Semakin lama terapi yang dijalani oleh pasien, maka pasien semakin

beradaptasi dengan aktivitas rutin yang dapat mendukung kualitas hidupnya

(Sapri, 2008 dalam Sagala, 2015). Sehingga didapatkan hasil penelitian

bahwa sebagian besar pasien HD dan CAPD memiliki kualitas hidup yang

baik.

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa baik berdasarkan usia, jenis

kelamin, pendidikan dan pekerjaan pada pasien HD dan CAPD, sebanyak 30

pasien memiliki kualitas hidup yang baik, sedangkan sebanyak 24 pasien

memiliki kualitas hidup yang buruk. Meskipun sebagian besar pasien HD dan

CAPD memiliki kualitas hidup yang baik, namun adanya penurunan

kemampuan tubuh dan komplikasi pada pasien dengan terapi HD,

menyebabkan pasien dengan terapi CAPD memiliki kualitas hidup yang lebih

baik.

commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
59

B. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional yang merupakan

penelitian terhadap suatu variable yang dilakukan untuk mendapatkan

keterangan tanpa memberikan perlakuan yang hanya dilakukan satu kali.

Pendekatan ini menyebabkan penilaian kualitas hidup pasien tidak dapat

menggambarkan keseluruhan siklus kondisi kesehatan pasien. Pada pasien

yang sedang mengalami peningkatan kondisi kesehatan maka didapatkan

hasil kualitas hidup yang baik, sedangkan pada pasien yang sedang

mengalami penurunan kondisi kesehatan, maka akan didapatkan hasil kualitas

baik yang buruk. Sampel penelitian yang terdiri dari pasien dengan terapi

yang telah cukup lama (≥ 1 ℎ ) baik HD maupun CAPD, menyebabkan

sebagian besar pasien PGK memiliki kualitas hidup yang baik karena pasien

sudah lebih memahami kondisi kesehatannya dan dapat menanggulangi

berbagai masalah kesehatan yang dapat memperburuk kualitas hidup pasien.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai