Anda di halaman 1dari 12

KORELASI STATUS GIZI BERDASARKAN ANTROPOMETRI DAN

BIOELECTRICAL IMPEDANCE ANALYSIS DENGAN KUALITAS HIDUP


SUBYEK YANG MENJALANI HEMODIALISIS REGULER

CORELLATION OF NUTRITIONAL STATUS BY ANTROPOMETRIC AND


BIOELECTRICAL IMPEDANCE ANALYSIS WITH QUALITY OF LIFE IN
MAINTENANCE HEMODIALYSIS SUBJECT

Fitryani, Agussalim Bukhari, Nurpudji A.Taslim


Bagian Ilmu Gizi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

Alamat Korespondensi:
Fitryani
Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin
Makassar
Hp: 085396179221
Email: rinimed@yahoo.com
ABSTRAK
Pasien gagal ginjal tahap akhir (GGTA) yang menjalani hemodialisis (HD) reguler terbukti sebagian besar
mengalami malnutrisi energi protein yang dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup mereka. Penelitian
ini bertujuan untuk menilai korelasi status gizi berdasarkan antropometri dan bioimpedance analysis (BIA)
dengan kualitas hidup kesehatan fisik dan mental berdasarkan format short-form 36 (SF-36) yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Penelitian dilakukan di unit hemodialisis RSUP DR Wahidin
Sudirohusodo dan rumah-rumah sakit lainnya dalam wilayah kota Makassar. Metode penelitian yang digunakan
adalah potong lintang (cross sectional) yang bersifat analisis deskriptif (descriptive analytic) pada 57 subyek
GGTA-HD yang memenuhi kriteria inklusi. Wawancara dengan responden untuk pengisian kuesioner SF-36 dan
menilai asupan 24 jam (food-recall 24h) dilakukan pada saat sesi hemodialisis berlangsung, sedangkan
pengukuran parameter status gizi dengan menggunakan antropometri, BIA (SF-BIA Tanita BC-541®), dan
laboratorium dilakukan sesaat setelah hemodialisis. Kalkulasi skoring SF-36 dilakukan secara on-line melalui
internet sehingga didapatkan jumlah komponen kesehatan fisik dan mental secara terpisah. Karakteristik subyek
penelitian menunjukkan jumlah sampel laki-laki lebih banyak daripada perempuan (61,4% : 38,6%), dengan
umur rata-rata 49.04 ± 7.98 tahun, IMT rata-rata 21,91 kg/m2, komposisi tubuh FM 20.06 ± 10.78%, TBW 57.00
± 7.98 kg, MM 41.90 ± 8.75 kg, FFM 43.66 kg, FFMI 19.21, nilai kualitas hidup kesehatan fisik 32,7 dan
kesehatan mental 44,7. Terdapat perbedaan signifikan pada dry weight (p<0,05) dan seluruh komponen
komposisi tubuh (p<0,01) antara laki-laki dan perempuan subyek GGTA-HD, namun tidak ada perbedaan
signifikan pada IMT, kualitas hidup fisik maupun mental. Perbedaan signifikan juga nampak pada seluruh
parameter komposisi tubuh (p<0,05) di antara 3 kelompok IMT (IMT kurang, normal dan lebih), dengan
komponen FFMI dan TBW menunjukkan nilai paling signifikan (p<0,01), kualitas hidup kesehatan fisik juga
berbeda signifikan pada kelompok IMT kurang dan normal (p<0,05), . Analisis data juga menunjukkan korelasi
yang signifikan antara status gizi berdasarkan BIA dengan kualitas hidup kesehatan fisik subyek GGTA-HD (r =
0,29 ; p = 0,02), sedangkan dengan kesehatan mental tidak berkorelasi signifikan. Dari penelitian ini
disimpulkan bahwa status gizi berdasarkan BIA berkorelasi dengan kualitas hidup kesehatan fisik, sedangkan
status gizi berdasarkan antropometri berkorelasi pula dengan kualitas hidup kesehatan fisik namun hanya pada
kelompok IMT kurang dan normal.

Kata kunci : antropometri, BIA, kualitas hidup kesehatan fisik, kualitas hidup kesehatan mental

Abstract
End-stage renal failure patients (ESRF) undergoing hemodialysis (HD) proved to be the most regular protein
energy malnutrition that can affect their quality of life decline. This study aimed to assess the correlation of
nutritional status by anthropometry and bioimpedance analysis (BIA) with the quality of life on physical and
mental health based on the format of the short-form 36 (SF-36) which has been translated into Indonesian. The
study was conducted in the hemodialysis unit RSUP DR Wahidin Sudirohusodo and other hospitals in the
Makassar. The research method used was a cross-sectional (cross-sectional) that are descriptive analysis at 57
GGTA-HD subjects who meet the inclusion criteria. Interviews with respondents to questionnaires SF-36 and
assess intake for 24 hours (24h food recall) made during hemodialysis sessions, while the measurement
parameters of nutritional status using anthropometry, BIA (SF-BIA Tanita BC-541®), and laboratory performed
shortly after hemodialysis. SF-36 scoring calculation done on-line via the internet to obtain the amount of
physical and mental health components separately. Characteristics of the study subjects showed the sample of
men more than women (61.4%: 38.6%), with an average age of 49.04 ± 7.98 years, BMI 21.91 kg/m2 on
average, body composition FM 20:06 ± 10.78%, 57.00 ± 7.98 kg TBW, MM 41.90 ± 8.75 kg, FFM 43.66 kg,
FFMI 19,21, the value of the physical health quality of life is 32.7 and mental health 44.7. There are significant
differences in dry weight (p <0.05) and all components of body composition (p <0.01) between male and female
subjects GGTA-HD, but no significant differences in BMI, physical and mental quality of life. Significant
differences were also evident in all body composition parameters (p <0.05) among the 3 BMI groups (BMI less,
normal, and more), with components FFMI and TBW demonstrated the most significant values (p <0.01),
physical health quality of life also differed significantly on less and normal BMI groups (p <0.05). Analysis of
the data also showed a significant correlation between nutritional status by the BIA to the physical health
quality of life of GGTA-HD subjects (r = 0.29, p = 0.02), whereas no significant correlation with mental health.
This study suggests that the nutritional status by BIA correlated with physical health quality of life, while the
nutritional status by anthropometric correlates well with quality of life in physical health, but only on less and
normal BMI groups.

Keywords: anthropometry, BIA, the quality of life of physical health, mental health quality of life
PENDAHULUAN
Insiden dan prevalensi Penyakit Ginjal Kronik (PGK) semakin meningkat di seluruh
dunia dan sangat berkaitan dengan luaran yang buruk. CDC (Centers for Disease Control)
melaporkan bahwa dalam kurun waktu tahun 1999 hingga 2004, 16.8% dari populasi
penduduk usia di atas 20 tahun mengalami PGK. Persentase ini meningkat bila dibandingkan
data pada 6 tahun sebelumnya, yakni 14.5% (Saydah, 2007). Di negara-negara berkembang,
insiden ini diperkirakan sekitar 40 – 60 kasus per juta penduduk per tahun. Di Indonesia,
dari data di beberapa bagian nefrologi, diperkirakan insidens PGK berkisar 100-150 per 1 juta
penduduk dan prevalensi mencapai 200-250 kasus per juta penduduk (Bakri, 2005).
PGK yang tidak ditatalaksana dengan baik dapat memburuk ke arah gagal ginjal tahap
akhir (GGTA) atau dikenal sebagai End Stage Renal Disease. Stadium akhir ini yang juga
disebut sebagai gagal ginjal, membutuhkan terapi pengganti ginjal permanen berupa dialisis
atau transplantasi ginjal. Malnutrisi sering terjadi pada pasien GGTA yang menjalani
hemodialisis (HD) reguler, dimana banyak faktor yang mempengaruhi, di antaranya gejala
uremia yang menyebabkan asupan protein dan kalori yang menurun, inflamasi kronik, dan
komorbid akut atau kronik (Dumler, 2003). Sehingga mereka mengalami berat badan
menurun, kehilangan simpanan energi (jaringan lemak) dan protein tubuh juga albumin
serum, transferin dan protein viseral lainnya (Stenvinkel, 2000).
Ada beberapa cara penilaian status gizi seperti antropometri (berat badan, lingkaran
lengan, triceps skinfold thickness), laboratorium (seperti albumin serum, transferin), DEXA
dan BIA. Cara menilai status gizi (nutritional assessment) seperti antropometri, hasilnya
bisa menjadi salah karena adanya perubahan hidrasi jaringan pada pasien gagal ginjal
(Dumler, 2003). Pemeriksaan antropometri memerlukan waktu yang lama dan
keterampilan khusus, penilaian indeks massa tubuh (IMT) memiliki keterbatasan dalam
menilai lemak tubuh dan sangat dipengaruhi oleh hidrasi jaringan (Gupta, 2004). Analisis
komposisi tubuh penting untuk menilai status gizi karena penilaian berat badan saja
tidak akan memberikan informasi tentang kurangnya Body Cell Mass (BCM). Perubahan
extracellular water (ECW) dapat menutupi tanda kehilangan BCM. Orang yang memiliki
IMT yang sama belum tentu memiliki komposisi tubuh yang sama (Kaysen, 2005). Dumler
dkk (1992) melakukan studi terhadap 39 pasien HD yang difollow-up selama 5-12 bulan
dengan antropometri dan BIA, ternyata pengukuran berat badan serial tidak berkorelasi
dengan perubahan FFM yang diukur dengan BIA, ini menunjukkan bahwa perubahan status
hidrasi dan FM inilah yang menyebabkan perbedaan tersebut. Selama lebih dari 20 tahun,
bioelectrical impedance analysis (BIA) telah dikenal sebagai suatu teknik yang non-invasif
dan sederhana untuk mengukur status hidrasi tubuh pasien dan telah berhasil digunakan untuk
menentukan berat badan kering pada pasien HD (Zhu F, 2004).
Kualitas hidup (KH) penderita GGTA yang menjalani HD reguler di berbagai tempat
telah diteliti dan hasilnya pada umumnya menunjukkan penurunan kualitas hidup. Tujuan
menilai KH sebagai indikator tambahan dari outcome terapi adalah untuk mengetahui efek
keseluruhan dari terapi. 36-Item Short-Form Health Survey (SF-36) secara luas telah dipakai
untuk mengevaluasi kualitas hidup pada penyakit GGTA (Zadeh, 2001).
Tattersall (2009) telah melakukan studi penggunaan single-frequency (SF) BIA dan
multi-frequency (MF) BIA untuk menilai status nutrisi dan cairan pasien HD. Hasilnya
menunjukkan SF-BIA memiliki keunggulan dari segi harga dan penggunaan yang lebih
praktis dibandingkan MF-BIA. SF-BIA dapat memberikan informasi tentang jumlah cairan
tubuh, nutrisi dan komposisi tubuh pasien, namun MF-BIA selain itu dapat pula mengukur
kelebihan cairan tubuh pasien sebanyak 1-2 liter dan output MF-BIA juga lebih mudah
diinterpretasikan. MF-BIA tidak cocok untuk penggunaan rutin tetapi dapat dipertimbangkan
sebagai gold standard untuk pemakaian klinis BIA sekali-kali (Tattersall, 2009).
Penelitian Zadeh, dkk (2006) menunjukkan kualitas hidup yang cenderung menurun
pada pasien HD reguler dengan persentase lemak tubuh yang rendah, sehingga manajemen
obesitas pada pasien dialysis mesti dipertimbangkan sebaik-baiknya (Zadeh, 2006).
Studi yang dilakukan oleh Chiang (2004) menunjukkan aspek kesehatan fisik dan
mental dari kualitas hidup pasien HD reguler di Taiwan secara substansial lebih rendah,
kecuali toleransi nyeri tubuh yang tinggi. Sejumlah karakterisitik demografik dan klinis
mempunyai dampak yang signifikan terhadap kualitas hidup pasien HD reguler di Taiwan
(Chiang, 2004).
Penelitian yang menggunakan metode BIA untuk menilai status gizi pasien GGTA
yang menjalani HD telah banyak dilakukan di Indonesia, Namun, penelitian yang
menghubungkan status gizi berdasarkan antropometri dan BIA dengan kualitas hidup
sepengetahuan kami belum pernah dilakukan di Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan.
Atas dasar inilah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk melihat korelasi status gizi
berdasarkan antropometri dan BIA dengan kualitas hidup yang menggunakan SF-36.

BAHAN DAN METODE


Desain Penelitian
Penelitian dengan metode potong lintang (cross sectional) yang bersifat analisis
deskriptif (descriptive analytic) dilakukan di instalasi Hemodialisis RSUP Wahidin
Sudirohusodo dan rumah-rumah sakit dalam wilayah kota Makassar mulai bulan Mei 2012.
Populasi terjangkau adalah pasien GGTA yang menjalani HD di instalasi Hemodialisis RSUP
Wahidin Sudirohusodo dan rumah-rumah sakit dalam wilayah kota Makassar yang berumur
18 sampai 60 tahun.
Metode Pengumpulan Data
Pada saat masuk Instalasi Hemodialisis pasien berumur 18-60 tahun yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi dilakukan pencatatan nama, umur, jenis kelamin, berat badan
aktual dan tinggi badan, tanda vital (suhu, nadi, tekanan darah, pernapasan); gejala klinis
terutama gastro intestinal dan anoreksia; diagnosis (penyakit infeksi atau non infeksi, CVD,
DM, keganasan. Kemudian dilakukan wawancara dengan responden untuk pengisian kuesioner
SF-36 dan menilai asupan (24h-food recall) selama sesi HD berlangsung. Pengambilan sampel
darah untuk pemeriksaan laboratorium dilakukan sesaat setelah sesi HD, selanjutnya sampel
darah diuji di Laboratorium Kesehatan Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan.
Pengukuran berat badan menggunakan timbangan injak yang sudah ditera dengan ketelitian
500 gram, sampel menggunakan pakaian setipis mungkin. Pengukuran tinggi badan
menggunakan pita ukur plastik dengan ketelitian 0,1 cm stadiometer dengan cara berdiri
tegak, punggung menempel pada dinding, kepala lurus ke depan dengan puncak kepala berada
tepat pada bagian bawah skala pengukur stadiometer. Pengukuran komposisi tubuh dengan
BIA dilakukan pada suhu kamar, dengan frekuensi 50-kHz dan amplitude 800-µA,
elektroda ditempelkan pada kaki. Dengan mencatat umur, jenis kelamin, berat badan dan
tinggi badan pada alat, secara automatis akan dihasilkan kalkulasi dari parameter-
parameter komposisi tubuh. Semua pengukuran dilakukan 15 menit setelah HD
Analisis Data
Data yang diperoleh diolah menggunakan analisis statistik dengan menggunakan
SPSS 19. Data mengenai karakteristik demografi disajikan dalam bentuk deskriptif. Untuk
menganalisis korelasi antara 2 variabel digunakan uji korelasi Pearson jika data berdistribusi
normal dan Spearman untuk data yang berdistribusi tidak normal. Untuk menganalisis
perbandingan dua kelompok data numerik tidak berpasangan digunakan uji T-independent.
Perbandingan lebih dari dua kelompok data numerik tidak berpasangan digunakan uji One-
way ANOVA yang dilanjutkan dengan analisis Post Hoc jika menghasilkan nilai p < 0,05.
Batas kemaknaan yang digunakan adalah 5% dengan derajat interval kepercayaan 95%
dengan ketentuan bermakna bila p < 0,05 dan tidak bermakna bila p > 0,05.
HASIL PENELITIAN
Karakteristik Data Dasar
Tabel 1 menunjukkan karakteristik 57 subyek GGTA-HD berdasarkan umur, lama
HD, jenis kelamin, pemeriksaan antropometri, BIA, laboratorium dan asupan.
Perbandingan Parameter Status gizi dan Kualitas Hidup berdasarkan Jenis Kelamin
Tidak ada perbedaan yang bermakna pada umur, lama menjalani HD, IMT,
laboratorium dan asupan, demikian pula pada kualitas hidup kesehatan fisik (PCS) dan
kesehatan mental (MCS) antara laki dan perempuan subyek GGTA-HD. Namun, terdapat
gambaran subyek laki-laki lebih lama menjalani HD daripada subyek perempuan, dengan dry-
weight yang berbeda bermakna antara ke-2 kelompok tersebut. Status gizi berdasarkan BIA
terdapat perbedaan yang bermakna pada hampir semua parameter komposisi tubuh antara
laki-laki dan perempuan subyek GGTA-HD (Tabel 2).
Perbandingan variabel status gizi dan Kualitas hidup berdasarkan klasifikasi IMT
Tidak ada perbedaan bermakna pada umur, laboratorium dan asupan di antara
kelompok IMT, sedangkan lama HD walaupun tidak berbeda secara bermakna namun
menunjukkan kecenderungan hubungan makin lama HD maka IMT makin menurun. Semua
parameter BIA menunjukkan perbedaan yang signifikan di antara kelompok IMT, dimana
sebagian besar meningkat sesuai peningkatan IMT, kecuali TBW yang makin menurun
dengan peningkatan IMT. Kualitas hidup kesehatan fisik berbeda bermakna di antara ke-3
kelompok IMT, sedangkan skala kesehatan mental (MCS) tidak berbeda bermakna di antara
ke-3 kelompok IMT tersebut (Tabel 3).
Korelasi Status Gizi berdasarkan Antropometri dan BIA dengan Kualitas Hidup
berdasarkan SF-36
Tabel 4 menunjukkan korelasi positif bermakna antara parameter komposisi tubuh FM
dan MM dengan kualitas hidup kesehatan fisik, yang berarti makin besar FM dan MM maka
kualitas hidup kesehatan fisik juga akan makin meningkat, sedangkan korelasi dengan
kualitas hidup kesehatan mental tidak bermakna. Parameter TBW, LBM, BCM dan FFMI
juga berkorelasi dengan kualitas hidup kesehatan fisik tetapi arahnya negatif, yang berarti
makin besar TBW, LBM, BCM dan FFMI maka kualitas hidup kesehatan fisik makin
menurun, namun dengan kualitas hidup kesehatan mental tidak berkorelasi signifikan.
Variabel umur, lama HD, albumin dan asupan tidak berkorelasi signifikan dengan kualitas
hidup kesehatan fisik dan mental.
PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini menunjukkan korelasi positif bermakna antara kualitas hidup
kesehatan fisik berdasarkan SF-36 dengan status gizi berdasarkan BIA, yaitu komponen
massa lemak (r = .264* ; p = .047) dan massa otot (r = 0.273* ; p = 0.040), yang berarti bila
massa lemak dan massa otot meningkat maka diharapkan kualitas hidup kesehatan fisik juga
akan meningkat pada subyek GGTA-HD. Sedangkan komponen cairan tubuh, massa tubuh
bebas lemak dan indeks massa tubuh bebas lemak berkorelasi negatif bermakna dengan
kesehatan fisik, artinya kualitas hidup kesehatan fisik mungkin akan menurun bila cairan
tubuh, massa tubuh bebas lemak dan indeks massa tubuh bebas lemak meningkat.
Hal ini dapat dijelaskan oleh banyak studi epidemiologi yang menunjukkan bahwa
kelebihan berat badan dan obesitas, yaitu IMT >25 kg/m2, terkait dengan kelangsungan hidup
yang lebih baik pada pasien GGTA-HD, sedangkan IMT normal atau rendah mengakibatkan
berbagai risiko penyebab kematian dan penyakit kardiovaskular yang tinggi (Port FK, 2002).
Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang meneliti tentang hubungan antara
lemak tubuh dengan kualitas hidup dan mortalitas pada pasien HD (Zadeh, 2001). Hasil
penelitian tersebut menunjukkan persentase lemak tubuh yang rendah dan kehilangan lemak
setelah beberapa waktu berhubungan dengan mortalitas yang tinggi pada pasien GGTA-HD
dan kualitas hidup yang cenderung menurun meskipun telah dilakukan penyesuaian
demografik dan massa otot serta inflamasi,.
Bagaimana lemak dapat menjadi faktor protektif pada pasien GGTA-HD dapat
dijelaskan sebagai berikut. Pada suatu penelitian terbaru dimana lemak tubuh diukur kembali
(dengan cara near infrared interactance) pada 411 pasien GGTA-HD setelah 6 bulan. Setelah
penyesuaian demografi, massa otot (MM) serta inflamasi (yaitu mid-arm muscle
circumference, kreatinin serum, dan sitokin proinflamasi), penurunan lemak > 1% dikaitkan
dengan risiko kematian 2 kali (p = 0,004) dibandingkan pasien dengan peningkatan lemak (>
1%). Hal ini mengejutkan karena adipositas abdomen memiliki asosiasi dengan inflamasi dan
aterosklerosis pada pasien GGTA-HD, seperti pada populasi umum. Selain itu, jaringan
adiposa viseral (VAT) dikaitkan dengan prevalensi aterosklerosis karotid pada pasien GGTA-
HD (Yamauchi T, 2003). Namun, tidak ada studi pada pasien HD yang melaporkan tentang
efek yang berbeda antara VAT dan jaringan adiposa subkutan (SAT) pada kelangsungan
hidup jangka panjang.
Kelangsungan hidup yang menurun pada pasien GGTA-HD dengan IMT yang rendah
baru-baru ini telah dijelaskan oleh hipotesis yang terkini. Secara singkat, baik pada subyek
sehat dan GGTA-HD, organ visceral (yaitu kompartemen metabolisme tingkat tinggi/
HMRC) relatif terhadap seluruh massa tubuh (BW% HMRC) adalah terbalik berkaitan
dengan berat dan volume distribusi urea (V). V, sebagaimana ditentukan oleh model urea
kinetik, terkait erat dengan MM (gbr.1), sedangkan massa lemak memberikan kontribusi
hanya sedikit. Visera merupakan sumber yang paling mungkin dari toksin uremik, dan massa
dan aktivitas metabolik mereka akan menyebabkan peningkatan toksin uremik. Menurut
hipotesis tersebut, konsentrasi toksin uremik di V adalah lebih tinggi pada subyek dengan V
rendah (dengan demikian MM rendah dan IMT rendah), hasil pada pasien dialisis dengan
IMT rendah jika dihitung dengan Kt / V (Sarkar SR, 2006).
Pembentukan toksin uremik dalam organ visceral dan relatif massanya terhadap berat
badan lebih tinggi secara konsekuen pada orang yang lebih kecil, tingkat pembentukan toksin
uremik per unit berat badan (atau IMT) lebih tinggi pada pasien dengan berat badan kurang
(atau IMT). Cairan tubuh, yang volumenya terutama ditentukan oleh massa otot, berfungsi
sebagai kompartemen cairan toksin uremik. Selain itu, toksin uremik (lipofilik >>hidrofilik)
yang diambil oleh jaringan adiposa dan otot, kemudian dimetabolisme dan disimpan. Dengan
demikian, semakin besar rasio massa lemak dan massa otot visceral, semakin rendah
konsentrasi toksin uremik (Slowick, 2006)
Adapun keterbatasan penelitian ini adalah tidak dilakukannya pengukuran massa
lemak tubuh secara antropometri sehingga metode antropometri dapat dibandingkan dengan
metode BIA untuk penilaian komposisi tubuh agar dapat menentukan gold-standard metode
penilaian status gizi. Selain itu, jumlah sampel sangat terbatas untuk mengembangkan data
berdasarkan karakteristik demografi. Pemeriksaan laboratorium juga sangat terbatas karena
hanya diperiksa satu indikator kondisi malnutrisi, sedangkan masih ada indikator-indikator
lain yang lebih spesifik.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kami menyimpulkan bahwa status gizi berdasarkan metode BIA berkorelasi dengan
kualitas hidup kesehatan fisik, yaitu dengan meningkatnya massa lemak dan massa otot maka
diharapkan kualitas hidup kesehatan fisik juga akan meningkat, sebaliknya kualitas hidup
kesehatan fisik mungkin akan menurun bila cairan tubuh, massa tubuh bebas lemak dan
indeks massa tubuh bebas lemak meningkat pada subyek GGTA-HD.
Disarankan penelitian selanjutnya dengan jumlah sampel yang lebih banyak dan
metode penilaian status gizi yang lebih terkini dan lebih komplit. Penilaian kualitas hidup
sebaiknya dilakukan secara reguler bersamaan dengan penilaian status gizi pasien GGTA-HD
dalam rangka upaya pencegahan morbiditas dan mortalitas.
DAFTAR PUSTAKA

Bakri S. 2005. Deteksi dini dan upaya-upaya pencegahan progresifitas penyakit ginjal
kronik. Jurnal Medika Nusantara. 26(3): 36-40.
Chih-Kang Chiang, Yu-Sen Peng, Shou-Shan Chiang, Chwei-Shiun Yang. 2004. Health-
Related Quality of Life of Hemodialysis Patients in Taiwan: A Multicenter Study.
Blood Purif. 22 : 490–498
Dumler, Kilate C. 2003. Body Composition Analysis by Bioelectrical Impedance in Chronic
Dialysis Patients: Comparison to the National Health and Nutrition Chronic
Dialysis Patients: Comparison to the National Health and Nutrition Examination
Survey III. J of Renal Nutrition. 13(2):166-172.
Gupta D, Lammersfeld C. 2004. Bioelectrical Impedance Phase Angle in Clinical Practice:
Implications for Prognosis in Advanced Colorectal Cancer. Am J Nutrition. 80 :
1634-1638.
James Tattersall. 2009. Bioimpedance Analysis in Dialysis: State of the Art and What We
Can Expect. Blood Purif. 27 : 70–74.
Kalantar Zadeh, Kopple J. 2001. Association Among SF36, Quality of Life Measures and
Nutrition, Hospitalization and Mortality in Hemodialysis. J of the American Society
of Nephrology. 12 : 2797- 806.
Kamyar Kalantar-Zadeh, Noriko Kuwae, Dennis Y Wu, Ronney S Shantouf, Denis Fouque,
Stefan D Anker, Gladys Block, and Joel D Kopple. 2006. Associations of body fat and
its changes over time with quality of life and prospective mortality in hemodialysis
patients. Am J Clin Nutr. 83 : 202–10.
Kaysen, Fansan Z, et al. 2005. Estimation of Total Body and Limb Muscle Mass in
Hemodialysis Patients by Using Multifrequency Bioimpedance Spectroscopy. Am J
Nutrition. 82 : 988-995.
Port, Ashby VB, Dhingra RK, Roys EC,Wolfe RA. 2002. Dialysis dose and body mass index
are strongly associated with survival in hemodialysis patients. J Am Soc Nephrol. 13 :
1061–1066.
Sarkar SR, Kuhlmann MK, Kotanko P, Zhu F, Heymsfield SB, Wang J, Meisels IS, Gotch
FA, Kaysen GA, Levin NW. 2006. Metabolic consequences of body size and body
composition in hemodialysis patients. Kidney Int. 70 : 1832–1839.
Saydah, Burrows NR, Williams DGL. 2007. Prevalence of chronic kidney disease and
associated risk factors—United States,1999-2004. JAMA. 297(16) : 1767-1768.
Slowick, Safranow K, Dziedziejko V, Dutkiewicz G, Ciechanowski K, Chlubek D. 2006: The
influence of gender, weight, height and BMI on pentosidine concentrations in plasma
of hemodialyzed patients. J Nephrol. 19 : 65–69.
Stenvinkel P, Heimburger O, Lindhom B. 2000. Are There Two Types of Malnutrition in
Chronic Renal Failure? Evidence for Relationships between Malnutrition,
Inflammation and Atherosclerosclerosis (MIA syndrome). Nephrol Dial Transplant.
15 : 953-960.
Yamauchi T, Kuno T, Takada H, Nagura Y, Kanmatsuse K, Takahashi S. 2003. The impact of
visceral fat on multiple risk factors and carotid atherosclerosis in chronic
haemodialysis patients. Nephrol Dial Transplant. 18 : 1842–1847.
Zhu F, Kuhlmann MK, Sarkar S, Kaitwatcharachai C, Khilnani R, Leonard EF, Greenwood
R, Levin NW. 2004. Adjustment of dry weight in hemodialysis patients using
intradialytic continuous multifrequency bioimpedance of the calf. Int J Artif Organs.
27 : 104–109.
Tabel 1. Karakteristik subyek penelitian

Karakteristik (n = 57) Rata-rata

Umur (tahun)¹ 49.04 ± 7.98


Laki-laki/Perempuan (%)² 35/22 (61.4/38.6)
3
Lama HD (bulan) 12.00 (3.00-84.00)
Dry weight (kg)3 55.50 (37.00-87.00)
3
Indeks Massa Tubuh (kg/m²) 21.91 (15.20-35.69)
Komposisi tubuh BIA
FM (%)1 20.06 ± 10.78
1
TBW (kg) 57.00 ± 7.98
MM1 41.90 ± 8.75
3
BM 2.10 (1.00-5.80)
VF3 5.00 (1.00-17.00)
3
LBM (kg) 43.66 (28.49-72.96)
3
BCM (kg) 41.66 (27.49-69.46)
FFMI3 19.21 (13.07-25.83)
Laboratorium
Albumin1 5.57 ± 2.68
1
Asupan Energi (kkal) 1119.09 ± 382.40
3
Asupan Protein (gr) 43.00 (18.00-108.00)
Skor kualitas hidup
PCS3 32.70 (19.70-53.20)
MCS3 44.70 (21.20-65.20)
¹ Data ditampilkan dalam mean ± SD.
² Data ditampilkan dalam n (%) frekuensi.
³ Data ditampilkan dalam median (minimum-maksimum).
Tabel 2. Perbandingan Parameter Status gizi dan Kualitas Hidup berdasarkan Jenis
Kelamin

Variabel Laki-laki Perempuan p


(n = 35) (n = 22)
Umur 48.43 ± 8.17 50.00 ± 7.76 .474
Lama HD 20.69 ± 19.68 18.50 ± 24.17 .710
Antropometri
Dry weight 59.46 ± 9.69 53.59 ± 10.48 .040*
IMT 22.40 ± 3.41 23.07 ± 4.59 .530
Komposisi Tubuh
FM 14.83 ± 7.93 28.36 ± 9.48 .000*
TBW 61.20 ± 5.89 51.28 ± 7.07 .000*
MM 47.07 ± 7.56 34.95 ± 4.12 .000*
BM 2.36 ± .40 2.13 ± 1.10 .363
VF 6.22 ± 4.62 5.50 ± 2.97 .472
LBM 50.38 ± 7.71 37.65 ± 4.54 .000*
BCM 48.02 ± 7.49 35.52 ± 4.04 .000*
FFMI 20.04 ± 2.58 17.90 ± 1.61 .000*
Albumin 6.13 ± 2.74 4.67 ± 2.36 .039
Asupan :
Kalori 1189.94 ± 388.31 1006.38 ± 352.34 .072
Protein 46.40 ± 17.39 40.96 ± 17.33 .255
PCS 32.60 ± 8.57 36.28 ± 9.07 .129
MCS 46.47 ± 11.12 41.77 ± 14.97 .213
*P < 0.05 = signifikan : T-independent sample test

Tabel 3. Perbandingan variabel status gizi dan Kualitas hidup berdasarkan klasifikasi
IMT
Variabel IMT < 18.49 IMT 18.5–24.9 IMT >25.0 p
(n = 7) (n = 36) (n = 14)
Umur 46.28 ± 13.71 49.61 ± 7.30 48.92 ± 6.25 .609
Lama HD 27.42 ± 30.78 20.25 ± 22.51 15.00 ± 10.15 .777
Komposisi
Tubuh
FM 46.28 ± 13.71 49.61 ± 7.30 48.92 ± 6.25 .002*
TBW 27.42 ± 30.78 20.25 ± 22.51 15.00 ± 10.15 .000*
BM 1.64 ± 0.60 2.39 ± 0.79 2.29 ± 0.61 .021*
MM 41.31 ± 6.42 43.32 ± 7.02 44.44 ± 11.35 .009*
VF 2.29 ± 1.38 5.44 ± 3.23 9.07 ± 4.02 .001*
LBM 35.80 ± 6.31 46.31 ± 7.01 48.13 ± 12.12 .002*
BCM 34.17 ± 5.75 43.92 ± 7.01 45.85 ± 11.62 .003*
FFMI 15.86 ± 1.97 19.20 ± 1.78 20.94 ± 2.61 .000*
Albumin 4.79 ± 1.89 5.72 ± 2.88 5.59± 2.57 .709
Asupan
Kalori 944.86±226.86 1183.32±413.33 1041.07±334.49 .220
Protein 34.33 ± 8.96 47.41 ± 19.63 41.31 ± 11.97 .146
PCS 41.32 ± 9.98 31.84 ± 7.51 35.99 ± 9.77 .020*
MCS 44.97± 13.89 44.16 ± 12.34 45.79 ± 14.41 .923
*P < 0.05 = signifikan : One way ANOVA test
Tabel 4. Korelasi Status Gizi berdasarkan Antropometri dan BIA dengan Kualitas
Hidup berdasarkan SF-36
Variabel Kes. Fisik SF-36 (PCS) Kes. Mental SF-36 (MCS)
r;p r;p
Umur -.059 ; .6621 .184 ; .1701
Lama HD -.052 ; .7022 .140 ; .2992
IMT -.089 ; .5112 .100 ; .4612
Komposisi Tubuh
FM .264* ; .0472 .016 ; .9062
TBW -.269* ; .0431 -.006 ; .9661
MM .273* ; . 0401 . .084 ; .5341
BM -.033 ; .8082 -.144 ; .2852
VF -.034 ; .8042 .095 ; .4802
LBM -.322* ; .0151 .115 ; .3961
BCM -.323* ; .0141 .131 ; .3301
FFMI -.284* ; .0322 .067 ; .6222
Albumin -.013 ; .9241 -.093 ; .4921
Asupan
Kalori -.154 ; .2541 .249 ; .0621
Protein -.086 ; .5242 .105 ; .4392
1
Pearson correlation test; 2 Spearman test *P < 0,05 = signifikan

Anda mungkin juga menyukai