Anda di halaman 1dari 4

Fadila Amalia

1238010110

Administrasi Publik C’23

BIOGRAFI SELO SOEMARDJAN

Selo Soemardjan adalah seorang sosiolog asal Yogyakarta yang dikenal sebagai
Bapak Sosiologi Indonesia. Sebagai seorang ilmuwan, ia melakukan penelitian ekstensif di
beberapa daerah di Indonesia dan menghasilkan beberapa karya di bidang sosiologi. Selo
Soemardjan juga merupakan pendiri dan dekan pertama Fakultas Ilmu Pengetahuan
Kemasyarakatan (sekarang FISIP) Universitas Indonesia. Semasa hidupnya, ia juga banyak
menduduki jabatan pemerintahan, termasuk jabatan ahli Presiden Soeharto. Atas
kontribusinya, Selo Soemardjan mendapatkan beberapa penghargaan, antara lain Bintang
Mahaputra Utama dari pemerintah dan gelar Ilmuwan Besar Sosiologi. Nama lengkap Selo
Soemardjan adalah Kanjeng Pangeran Haryo Selo Soemardjan. Ia lahir di Yogyakarta pada
tanggal 23 Mei 1915. Selo Soemardjan dibesarkan di kalangan abdi dalem Kesultanan
Yogyakarta. Hal itu dikarenakan ia merupakan anak sulung Raden Ngabehi Sastrodjemiko,
abdi sekretaris Keraton Yogyakarta. Sedangkan kakeknya, Kanjeng Raden Tumenggung
Padmonegoro, adalah seorang pejabat tinggi di kantor Kerajaan Yogyakarta. Berkat keadaan
keluarganya, Soemardjan tidak mengalami kesulitan dalam belajar. Mengawali studi di HIS
(1921-1928) dan MULO (1928-1931) Yogyakarta, kemudian melanjutkan studi di MOSVIA
di Magelang (1931-1934). Nama Selo sendiri didapat setelah menjabat sebagai wakil distrik
di Kabupaten Kulonprogo. Ini merupakan cara khusus Sultan Yogyakarta dalam
membedakan nama pejabat menurut daerahnya masing-masing. Pengabdiannya sebagai wakil
daerah menjadikan dirinya sebagai peneliti yang mampu memberikan alternatif solusi
terhadap berbagai permasalahan sosial.

Selo Soemardjan dikenal sebagai bapak sosiologi Indonesia setelah tahun 1959 –
setelah meraih gelar doktor di Cornell University, AS – dan mengajar sosiologi di Universitas
Indonesia (UI). Beliau merupakan pendiri dan dekan pertama Fakultas Ilmu Pengetahan
Kemasyarakatan UI (sekarang FISIP). Pada tanggal 17 Agustus 1944, Selo Soemardjan
menerima Penghargaan Bintang Mahaputra dari pemerintah dan pada tanggal 30 Agustus
dianugerahi gelar Ilmuwan Besar Sosiologi dan pada tanggal 19 Januari 2002 menerima
Penghargaan Hamengkubuwono IX dari Universitas Gadjah Mada. Meski merupakan pendiri
FISIP UI, ia meraih jabatan guru besar di Jurusan Ekonomi UI dan mengajar di Fakultas
Hukum UI seumur hidupnya. Selo Soemardjan telah melakukan penelitian ekstensif di
beberapa daerah di Indonesia, khususnya di bidang sosiologi. Menggali ilmu langsung dari
kehidupan manusia untuk dimanfaatkan guna mencapai kesejahteraan umum.

Selo Soemardjan disebut-sebut pernah menduduki beberapa jabatan pemerintahan


seperti pegawai Kesultanan/Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta, Kepala Staf Sipil
Gubernur Militer Jakarta Raya, Kepala Sekretariat Staf Keamanan Kabinet Perdana Menteri,
Kepala Biro III Sekretariat Negara merangkap Sekretaris Umum Badan Pemeriksa Keuangan,
Sekretaris Wakil Presiden RI, Sultan Hamengkubuwono IX (1973-1978), Asisten Wakil
Presiden Urusan Kesejahteraan Rakyat (1978-1983) dan Staf Ahli Presiden Soeharto.

Pemikiran Selo Soemardjan salah satunya menyangkut perubahan sosial. Menurutnya,


perubahan sosial adalah perubahan berbagai pranata sosial yang mempengaruhi sistem sosial
masyarakat, termasuk nilai, sikap, pola dan perilaku kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Perubahan sosial yang digagas oleh Selo Soemardjan sangat menitikberatkan pada perubahan
pranata sosial yang mempengaruhi sistem sosial meliputi nilai, norma, sikap dan perilaku.
Perubahan penyelenggaraan pemerintahan DIY dari tingkat atas hingga tingkat desa
dilakukan oleh pemerintah daerah, khususnya Sultan. Sultan Hamengkubuwono IX
melanjutkan kebijakan desentralisasi yang diharapkan dari pemerintah pusat Indonesia.
Perubahan serupa juga terjadi pada institusi ekonomi masyarakat, pendidikan, dan sistem
kelas.

Berikut ciri-ciri perubahan sosial menurut Selo Soemardjan yang tertuang dalam karyanya
yang berjudul “Perubahan Sosial di Yogyakarta (1981)”:

1. Hasrat akan perubahan sosial bisa berubah menjadi tindakan untuk mengubah kalau
ada rangsangan yang cukup kuat untuk mengatasi hambatan-hambatan yang
merintangi tahap permulaan proses perubahan.
2. Orang-orang yang mengalami tekanan kuat dari luar cenderung untuk mengalihkan
agresi balasan mereka dari sumber tekanan yang sebenarnya ke sasaran-sasaran
meteriil yang ada sangkut pautnya dengan sumber itu.
3. Rakyat yang tertekan oleh kekuatan luar cenderung untuk bekerjasama dengan
kekuatan luar, tetapi hanya untuk mempertahankan ketentraman jiwa mereka.
4. Orang-orang yang tertekan cenderung untuk menjadi lebih agresif begitu mereka
semakin menyadari adanya kesenjangan antara keadaan hidup mereka sekarang
dengan yang mereka inginkan.
5. Proses perubahan sosial di kalangan para pelopor – pelopornya bermula dari
pemikiran ke sesuatu di luar (eksternal). Di kalangan para warga masyarakat lainnya,
proses itu berlangsung dari sesuatu di luar
6. Harta kekayaan yang diinginkan, tetapi tidak bisa lagi diperoleh karena jalan itu
tertutup oleh kekuatan – kekuatan luar sehingga telah kehilangan nilai sosialnya oleh
rasionalisasi. Dalam hal yang ekstrim, harta kekayaan itu tidak dihargai.
7. Rakyat menolak perubahan karena berbagai alasan, antara lain: 1) Mereka tak
memahaminya. 2) Perubahan itu bertentangan dengan nilai – nili serta norma – norma
yang ada. 3) Para anggota masyarakat yang berkepentingan dengan keadaan yang ada
cukup kuat menolak perubahan. 4) Resiko yang terkandung dalam perubahan itu lebih
besar dari pada jaminan sosial dan ekonomi yang bisa diusahakan. 5) Pelopor
perubahan ditolak.
8. Perubahan – perubahan yang tidak merata pada berbagai sektor kebudayaan
masyarakat cenderung menimbulkan ketegangan – ketegangan yang mengganggu
keseimbangan sosial.
9. Dalam proses perubahan sosial, kebiasaan – kebiasaan lama dipertahankan dan
diterapkan pada inovasi sehingga tiba saatnya kebiasaan – kebiasaan baru yang lebih
menguntungkan menggantikan yang lama.
10. Kalau rakyat terus menerus tidak diberi kesempatan untuk memuaskan kebutuhan –
kebutuhan sosialnya, mereka cenderung beralih merenungkan hal bukan keduniawian
untuk mendapatkan ketentraman jiwa. Dalam hal sebaliknya, mereka cenderung untuk
menjadi lebih sekuler dalam sistem kepercayaan.
11. Suatu perubahan sosial yang diprakarsai dan dilaksanakan oleh pelopor yang
berlawanan dengan kepentingan – kepentingan pribadi (vested interests) cenderung
untuk berhasil.
12. Perubahan yang dimulai dengan pertukaran pikiran secara bebas diantara para warga
masyarakat yang terlibat, cenderung mencapai sukses yang lebih lama daripada
perubahan yang dipaksakan dengan dekrit pada mereka.
13. Perubahan dari sistem kelas tertutup ke kelas terbuka akan disertai dengan perubahan
dari sistem komunikasi vertikal satu arah ke sistem komunikasi vertikal dua arah.
14. Perubahan dari sistem kelas tertutup ke kelas terbuka cenderung untuk mengalihkan
orientasi rakyat dari tradisi. Maka, mereka menjadi lebih mudah menerima perubahan
– perubahan lainnya.
15. Semakin lama dan semakin berat penderitaan yang telah dialami oleh rakyat karena
berbagai ketegangan psikologis dan frustasi, maka semakin tersebar luas dan cepat
kecenderungan perubahan yang menuju pada kelegaan.

Anda mungkin juga menyukai