Anda di halaman 1dari 51

BUDAYA UPACARA ADAT MANTU KUCING DI DESA PURWOREJO

KABUPATEN PACITAN TAHUN 1954-2014

SKRIPSI

Oleh:

RAFI PANDU WIJAYA

NIM. 1687201008

Skripsi Ditulis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Pada Program Studi Pendidikan Sejarah

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA

PACITAN

2020

1
BUDAYA UPACARA ADAT MANTU KUCING DI DESA PURWOREJO

KABUPATEN PACITAN TAHUN 1954-2014

SKRIPSI

Oleh:

RAFI PANDU WIJAYA

NIM. 1687201008

Skripsi Ditulis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Pada Program Studi Pendidikan Sejarah

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA

PACITAN

2020

2
ABSTRAK

Rafi Pandu Wijaya. Budaya Upacara Adat Mantu Kucing di Desa Purworejo

Kabupaten Pacitan Tahun 1954-2014. Skripsi. STKIP PGRI Pacitan, 2020.

Penelitian ini didasarkan pada......... Tujuan dari Penelitian ini adalah .......

Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah yang meliputi langkah-

langkah: 1). Heuristik, 2). Kritik, 3) interpretasi, dan 4). Historiografi.

Hasil penelitian menunjukkan

Kata Kunci:

3
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Rafi Pandu Wijaya

NIM : 1687201008

Program Studi : Pendidikan Sejarah

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini merupakan hasil saya sendiri dan

belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan

Tinggi dan sepanjang pengetahuan saya dalam skripsi ini tidak terdapat karya atau

pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain. Kecuali yang secara

tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Pacitan, 6 Agutsus 2020

Yang Menyatakan,

Rafi Pandu Wijaya

4
LEMBAR PERSETUJUAN

BUDAYA UPACARA ADAT MANTU KUCING DI DESA PURWOREJO


KABUPATEN PACITAN TAHUN 1954

Oleh:
Rafi Pandu Wijaya
NIM. 1687201008

Skripsi ini ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan


memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Sejarah
STKIP PGRI Pacitan

Pacitan, 6 Agustus 2020

Menyetujui:
Pembimbing I Pembimbing II

Heru Arif Pianto, S.Pd., M.Hum. Dra. Martini, M.Pd.


NIDN. 0723048402 NIDN. 0715126503

Mengetahui,
Ketua Program Studi Pendidikan sejarah
STKIP PGRI Pacitan

Sri Dwi Ratnasari, S. Sos., M. Hum.


NIDN. 0701078701

5
LEMBAR PENGESAHAN

BUDAYA UPACARA ADAT MANTU KUCING DI DESA PURWOREJO


KABUPATEN PACITAN TAHUN 1954

Oleh:
Rafi Pandu Wijaya
NIM. 1687201008

Dipertahankan di Depan Panitia Penguji Skripsi


Program Studi Pendidikan Sejarah
STKIP PGRI Pacitan
Tanggal: 6 Agustus 2020

TIM PENGUJI
Ketua :

NIDN. (..................................................)

Penguji 1 :

NIDN. (..................................................)

Penguji 2 :

NIDN. (..................................................)

Pacitan, 6 Agustus 2020


Mengetahui,
Ketua STKIP PGRI Pacitan,

Hj. SRI IRIYANTI, M. Pd.


NIDN. 0722066401

6
MOTTO

7
HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan kepada:

1. Kedua orang tua beserta keluarga yang dengan ikhlas berdoa,

membimbing, dan berjuang dengan sekuat tenaga untuk memberikan masa

depan yang terbaik hingga saya memperoleh gelar sarjana.

2. Bapak Ibu dosen yang dengan kesabaran dan ketulusannya membimbing

dan memberikan motivasinya.

3. Teman-teman seperjuangan Program Studi Pendidikan Sejarah Angkatan

2020/2021.

4. Edi Sutrisno, teman seperjuangan yang rela mengorbankan waktu dan

tenaga dalam proses penelitian skripsi ini.

5. Bapak Samuri selaku narasumber yang telah membantu memberikan

informasi yang dibutuhkan dalam penelitian.

6. Edi Sukarni (Kabid. Kebudayaan Kabupaten Pacian) selaku narasumber

yang telah membantu memberikan informasi yang dibutuhkan dalam

penelitian.

7. Samsudin (Sekretaris Desa Purworejo) selaku narasumber yang telah

membantu memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian.

8. Almamater tercinta STKIP PGRI Pacitan

8
KATA PENGANTAR

Alhamdulilah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT,

sebagai ungkapan rasa bahagia, yang telah memberikan taufik dan hidayah-Nya,

sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan karya ini.

Skripsi dengan judul “Budaya Upacara Adat Mantu Kucing di Desa

Purworejo Kabupaten Pacitan Tahun 1954-2014”, akhirnya dapat penulis

selesaikan. Skripsi ini merupakan salah satu tugas akhir dalam menyelesaikan

kuliah Program Studi Satu (S1) pada Program Studi Pendidikan Sejarah STKIP

PGRI Pacitan.

Sebagaimana karya pada umumnya, banyak pihak yang terlibat dalam

penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih

setulus-tulusnya kepada:

1. Hj. Sri Iriyanti, M. Pd selaku Ketua STKIP PGRI Pacitan.

2. Sri Dwi Ratnasari, S. Sos., M. Hum selaku Ketua Program Studi

Pendidikan Sejarah Sejarah STKIP PGRI Pacitan.

3. Heru Arif Pianto, S. Pd., M. Hum selaku Dosen Pembimbing I yang

dengan ketulusan dan kearifan telah membimbing dan mengarahkan

penelitian demi menyelesaikannya skripsi ini.

4. Dra. Martini, M. Pd selaku Dosen Pembimbing II atas kesediaannya

memberikan saran dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini.

9
DAFTAR ISTILAH

10
DAFTAR ISI

JUDUL ...................................................................................................................i
ABSTRAK ............................................................................................................ii
LEMBAR PERSETUJUAN ...............................................................................iii
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................iv
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...............................................v
KATA PENGANTAR .........................................................................................vi
DAFTAR ISI .......................................................................................................vii
BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................1
A. Latar Belakang dan Masalah ......................................................................1
B. Ruang Lingkup ..........................................................................................1
C. Tinjauan Pustaka ........................................................................................1
D. Kerangka Konseptual dan Pendekatan ......................................................1
E. Metode Penelitian ......................................................................................1
F. Sistematika Penulisan ................................................................................1
BAB II GAMBARAN UMUM KABUPATEN PACITAN ..............................1
A. Sejarah Singkat Kabupaten Pacitan ...........................................................1
B. Kondisi Geografis Kabupaten Pacitan .......................................................1
C. Kondisi Perekonomian Kabupaten Pacitan ................................................1
D. Kondisi Sosial dan Budaya Kabupaten Pacitan .........................................1
BAB III UPACARA ADAT MANTU KUCING ...............................................1
A. Sejarah Upacara Adat Mantu Kucing ........................................................1
B. Prosesi Pelaksanaan Upacara Adat Mantu Kucing ....................................1
C. Makna Upacara Adat Mantu Kucing .........................................................1
BAB IV UPAYA PELESTARIAN .....................................................................1
A. Pemerintah Desa Purworejo .......................................................................1
B. Pemerintah Kabupaten Pacitan ..................................................................1
BAB V PENUTUP ...............................................................................................1
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................1
LAMPIRAN-LAMPIRAN ..................................................................................1

11
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Masalah

1. Latar Belakang

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, salah satu akibat

dari kemajemukan tersebut adalah terdapat beraneka ragam ritual

keagamaan yang dilaksanakan dan dilestarikan oleh masing-masing

pendukungnya. Ritual keagamaan tersebut mempunyai bentuk atau cara

melestarikan serta maksud dan tujuan yang berbeda-beda antara kelompok

masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya. Hal ini disebabkan

oleh adanya perbedaan lingkungan tempat tinggal, adat serta tradisi yang

diwariskan secara turun temurun. Upacara keagamaan dalam kebudayaan

suku bangsa biasanya merupakan unsur kebudayaan yang paling tampak

lahir.1

Hampir setiap daerah di Indonesia mempunyai suatu kebudayaan lokal

yang menggambarkan identitas daerah setempat. Kebudayaan tersebut

mempunyai latar belakang dan sejarah masing-masing dalam konteks sosial

yang berbeda.2 Budaya tercipta dari kegiatan sehari-hari dan juga kejadian-

kejadian yang sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Kebudayaan meliputi
1
Trisna Sri Wardani dan Soebijantoro, "Upacara Adat Mantu Kucing Di Desa
Purworejo Kabupaten Pacitan (Makna Simbolis Dan Potensinya Sebagai Sumber
Pembelajaran Sejarah)", Jurnal Agastya. Vol. 7 No. 1, Januari 2017 (Madiun: Universitas
PGRI Madiun, 2017) hlm 66
2
FISH UNESA,”Prosiding Seminar Nasional : Revitalisasi Kearifan Lokal Untuk
Membangun Martabat Bangsa” (Surabaya:UNESA UNIVERSITY PRESS, 2016) hlm 164
(Menurut Sidi Gazaiba dalam bukunya yang berjudul “Pandangan Islam Tentang
Kesenian”)

12
segala segi dan aspek dari manusia sebagai makhluk sosial. Salah satunya

yaitu kebudayaan upacara tradisonal jawa. Upacara tradisional merupakan

salah satu wujud peninggalan kebudayaan yang merupakan nilai tradisi yang

diwariskan kepada masyarakat penerusnya. Lahirnya budaya lokal tersebut

menjadi nilai-nilai yang menjadi pedoman hidup masyarakat tertentu.3

Budaya-budaya yang ada ini merupakan aset bangsa yang harus

dilestarikan serta dikembangkan demi meningkatkan citra dan identitas

bangsa Indonesia.4 Namun, seiring dengan berkembangnya arus globalisasi

mengakibatkan masuknya pengaruh luar terhadap aspek kehidupan bangsa,

salah satunya adalah aspek kebudayaan sehingga berujung terhadap

ketidaktahuan masyarakat akan kebudayaan-kebudayaan tradisional yang

ada di sekitar mereka. Salah satunya adalah Upacara Adat Mantu Kucing

yang terdapat di Desa Purworejo, Kecamatan Pacitan, Kabupaten Pacitan.

Upacara adat mantu kucing merupakan upacara adat tradisional untuk

memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar menurunkan hujan di daerah

orang-orang yang mengadakan upacara tersebut. Upacara adat ini diangkat

dari tradisi masyarakat desa Purworejo. Kondisi wilayahnya didominasi

persawahan dan bukit serta beberapa aliran sungai sebagai anak sungai

Grindulu, sungai terbesar di Kabupaten Pacitan yang seharusnya

menjadikan desa ini tidak kekeringan. Namun, kenyataannya hampir setiap

tahun mengalami kekeringan pada musim kemarau panjang. 5 Hal inilah


3
Sri Iriyanti, dkk,” Pemanfaatan Budaya Lokal Kabupaten Pacitan “Tetaken”
Sebagai Sumber Belajar”(Surakarta:Oase Pustaka, 2014) hlm 1
4
Heru Arif Pianto, “Tradisi Upacara Adat Ceprotan di Desa Sekar Kecamatan
Donorojo Kabupaten Pacitan Tahun 1981-2015”, Jurnal Humaniora, Vol. 03, No. 02,
Februari 2016 (Pacitan: LPPM STKIP PGRI Pacitan, 2016) Hlm 333-395
5
Trisna Sri Wardani dan Soebijantoro, Op.Cit., hlm 73

13
yang menjadi latar belakang masyarakat Desa Purworejo melakukan ritual

yang disebut Upacara Adat Mantu Kucing.

Penyelenggaraan Upacara Adat Mantu Kucing ini mempunyai

kandungan nilai yang penting bagi kehidupan masyarakat pendukungnya,

karena dianggap sebagai suatu nilai budaya yang dapat membawa

keberuntungan diantara sekian banyak unsur budaya yang ada pada

masyarakat. Petani dan alam adalah sebuah kesatuan. Petani harus

memahami alam dan menjadikan alam sebagai faktor pendukung dalam

menjalankan profesi di bidang agraria ini.6

Melalui budaya lokal, dapat menambah kekayaan berupa sumber

belajar bagi dunia pendidikan. Kebudayaan dapat mengembangkan

kreativitas individu apabila kebudayaan itu memberi kesempatan yang adil

bagi pengembangan kreativitas potensial yang dimiliki oleh anggota

masyarakat.7 Alasan peneliti mengambil judul ” Budaya Upacara Adat

Mantu Kucing Desa Purworejo Kabupaten Pacitan Tahun 1954-2014”

tidak lain adalah untuk menambah pengetahuan masyarakat, khususnya di

Desa Purworejo dan umumnya di Kabupaten Pacitan tentang Kebudayaan

Lokal Upacara Adat Mantu Kucing. Dapat diketahui bahwa

berkembangnya arus globalisasi juga mengakibatkan pengetahuan

masyarakat tentang Kebudayaan Lokal menjadi semakin rendah. Oleh

karena itu, melalui penelitian ini diharapkan mampu menambah

pengetahuan masyarakat, khususnya di Desa Purworejo dan umumnya di

6
Trisna Sri Wardani dan Soebijantoro, Op.Cit,. hlm 67
7
Sri Iriyanti, dkk, Op.Cit., hlm 5

14
Kabupaten Pacitan, serta dapat ikut berpatisipasi dalam melestarikan

keberadaan Upacara Adat Mantu Kucing sebagai aset Kebudayaan

Pacitan.

2. Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah adalah

sebagai berikut:

1. Bagaimana sejarah munculnya Upacara Adat Mantu Kucing di Desa

Desa Purworejo Kabupaten Pacitan ?

2. Bagaimanakah pelaksanaan dan makna yang terkandung dalam Upacara

Adat Mantu Kucing di Desa Desa Purworejo Kabupaten Pacitan ?

3. Bagaimana upaya pelestarian Upacara Adat Mantu Kucing di Desa

Purworejo Kabupaten Pacitan ?

B. Ruang Lingkup

Skripsi ini berjudul “Budaya Upacara Adat Mantu Kucing di Desa

Purworejo Kabupaten Pacitan Tahun 1954-2014”. Penelitian ini supaya

pembahasannya dapat berfokus, maka perlu adanya pembatasan baik dari ruang

lingkup spasial (wilayah) maupun ruang lingkup temporal (waktu) serta ruang

lingkup keilmuan. Adapun yang dimaksud ruang lingkup spasial adalah seluruh

daerah atau wilayah yang dijadikan sebagai obyek penelitian. Ruang lingkup

temporal adalah sebagai batasan waktu dalam suatu peristiwa sejarah. Ruang

lingkup keilmuan adalah ilmu yang digunakan dalam penelitian sejarah.

15
Ruang lingkup spasial dalam penelitian ini dilakukan di Desa

Purworejo Kecamatan Pacitan Kabupaten Pacitan. Upacara Adat Mantu

Kucing ini diangkat dari tradisi masyarakat desa Purworejo yang kondisi

wilayahnya didominasi persawahan dan bukit serta beberapa aliran sungai

sebagai anak sungai Grindulu, sungai terbesar di Kabupaten Pacitan yang

seharusnya menjadikan desa ini tidak kekeringan. Namun, kenyataannya

hampir setiap tahun mengalami kekeringan pada musim kemarau panjang.

Ruang lingkup temporal yang digunakan dalam penelitian ini meliputi

kurun waktu antara tahun 1954-2014. Penelitian di awali pada tahun 1954,

dikarenakan pada tahun 1954 merupakan pertama kali Upacara Adat Mantu

Kucing di Desa Purworejo tersebut dilaksanakan. Tahun 1954 menjadi awal

dari penelitian terhadap penelitian Upacara Adat Mantu Kucing yang pada

tahun tersebut Desa Purworejo mengalami peristiwa kemarau panjang.

Penelitian di akhiri pada tahun 2014, dikarenakan pada tahun 2014 merupakan

tahap selanjutnya terhadap penelitian Upacara Adat Mantu Kucing di Desa

Purworejo. Pada tahun 2014 ini merupakan pelaksanaan Upacara Adat Mantu

Kucing di Desa Purworejo untuk kedua kalinya setelah tahun 1954. Upacara ini

tidak bisa dipastikan tanggal pelaksanaannya, karena semua tergantung situasi

dan kondisi dari alam. Selain itu, pada tahun 2014, Desa Purworejo sedang

berpartisipasi dalam agenda Lomba Gotong Royong antar Desa tingkat

Kabupaten, sehingga menggunakan Upacara Adat Mantu Kucing dijadikan

sebagai icon kebudayaan lokal dari Desa Purworejo. Oleh karena itu, dari

16
rentang tahun 1954-2014 Upacara Adat Mantu Kucing ini baru dilaksanakan

dua kali yaitu pada tahun 1954 dan pada tahun 2014.

Ruang lingkup keilmuan menggunakan Ilmu Sejarah. Ilmu Sejarah

merupakan cabang ilmu pengetahun yang mengkaji tentang perkembangan

masyarakat pada masa lalu dan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu

guna dijadikan pedoman penilaian keadaan sekarang dan kedepannya. Dalam

ruang lingkup ini Upacara Adat Mantu Kucing merupakan bagian dari sebuah

kebudayaan yang diciptakan oleh masyarakat lokal pada masa lalu.

Kebudayaan sendiri berasal dari sebuah kebiasaan masyarakat yang mendiami

suatu wilayah tertentu dan berkembang menjadi suatu kebudayaan.

C. Tinjauan Pustaka

Buku-buku referensi yang peneliti gunakan dalam melakukan penelitian ini

berdasarkan sumber buku yang berjudul:

Pertama, buku yang berjudul “Sejarah Lokal : Konsep, Metode, dan

Tantangannya” yang ditulis oleh Sugeng Priyadi. Buku ini diterbitkan oleh

Ombak pada tahun 2012. Di dalam buku ini membahas tentang Sejarah Lokal

dan pentingnya memahami ilmu sejarah lokal. Manfaat buku ini bagi peneliti

adalah buku ini memiliki keterkaitan dengan tema yang sedang penulis kaji

yaitu Upacara Adat Mantu Kucing yang merupakan kebudayaan lokal di

Kabupetan Pacitan. 8

8
Sugeng Riyadi, Sejarah Lokal : Konsep, Metode, dan Tantangannya (Yogyakarta:
Ombak, 2012)

17
Kedua, Jurnal yang berjudul “Tradisi Upacara Adat Ceprotan di Desa

Sekar Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan Tahun 1981-2015” yang

ditulis oleh Heru Arif Pianto. Jurnal ini diterbitkan oleh LPPM STKIP PGRI

Pacitan pada tahun 2016. Di dalam jurnal ini membahas tentang Kebudayaan

Lokal yang ada di Kabupaten Pacitan tepatnya di Desa Sekar Kecamatan

Donorojo yaitu Upacara Adat Ceprotan yang mencakup sejarah kemunculan

budaya ceprotan, perkembangan, hingga nilai yang terkandung di dalamnya.

Manfaat bagi peneliti adalah jurnal ini memiliki keterkaitan dengan tema yang

sedang penulis kaji yaitu Upacara Adat Mantu Kucing yang merupakan

kebudayaan lokal Pacitan. Dalam hal ini, peneliti juga akan membahas tentang

sejarah, perkembangan, dan juga makna yang terkandung di dalam Upacara

Adat Mantu Kucing ini. 9

Ketiga, Jurnal yang berjudul ”Kearifan Budaya Lokal Perekat

Identitas Bangsa” yang ditulis oleh Ida Bagus Brata. Jurnal ini diterbitkan

oleh Universitas Mahasaraswati Denpasar pada tahun 2016. Di dalam jurnal

ini membahas tentang Kearifan kebudayaan lokal yang menjadi perekat dan

pemersatu bangsa Indonesia yang memiliki keanekaragaman suku dan

kebudayaan. Selain itu, jurnal ini juga menyampaikan bahwa Kearifan Lokal

yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dapat diangkat sebagai aset kekayaan

kebudayaan bangsa dan dapat dijadikan sebagai perekat sekaligus sebagai

modal dasar untuk memperkokoh identitas / jati diri bangsa. Manfaat bagi

peneliti adalah jurnal ini memiliki keterkaitan dengan tema yang sedang
9
Heru Arif Pianto, “Tradisi Upacara Adat Ceprotan di Desa Sekar Kecamatan
Donorojo Kabupaten Pacitan Tahun 1981-2015”, Jurnal Humaniora, Vol. 03, No. 02, Februari
2016 (Pacitan: LPPM STKIP PGRI Pacitan, 2016)

18
penulis kaji yaitu Upacara Adat Mantu Kucing yang terdapat di Kabupaten

Pacitan merupakan salah satu dari kearifan kebudayaan lokal yang dimiliki

oleh Indonesia. 10

Keempat, Jurnal yang berjudul “Pentingnya Penulisan Sejarah Lokal Di

Pacitan Tahun 1999-2014” yang ditulis oleh Heru Arif Pianto. Jurnal ini

diterbitkan oleh LPPM UNIVERITAS SARJANAWIYATA TAMANSISWA

pada tahun 2016. Di dalam jurnal ini membahas tentang pentingnya penulisan

sejarah lokal guna agar kisah sejarah yang ditulis dapat dengan mudah untuk

dipahami dan tidak menghilangkan mutu cerita sejarah yang ditulis . Manfaat

bagi peneliti adalah jurnal ini memiliki keterkaitan dengan tema yang sedang

penulis kaji yaitu Upacara Adat Mantu Kucing yang merupakan kebudayaan

lokal Pacitan. Dalam penulisan Kebudayaan Lokal Upacara Adat Mantu

Kucing juga harus diperhatikan dalam hal penulisan sehingga cerita sejarah

lokal yang ditulis dapat dengan mudah dipahami. 11

Kelima, Jurnal yang berjudul ” Mempertahankan Tradisi, Melestarikan

Budaya” (Kajian Historis dan Nilai Budaya Lokal Kesenian Terebang Gede di

Kota Serang)” yang ditulis oleh Rizky Fauzan dan Nashar. Jurnal ini

diterbitkan oleh Universitas Sultan Ageng Tirtayasa pada tahun 2017. Di dalam

jurnal ini membahas tentang Kebudayaan Lokal Seni Terebang Gede dan

upaya pelestariannya. Berkembangnya arus globalisasi dan semakin maraknya

seni budaya modern kesenian Terebang Gede masih dapat eksis dan bertahan

10
Ida Agus Brata, Kearifan Budaya Lokal Perekat Identitas Bangsa, Jurnal Bakti
Saraswati, Vol. 5 No 1 (Denpasar: Universitas Mahasaraswati, 2016)
11
Heru Arif Pianto, Pentingnya Penulisan Sejarah Lokal di Pacitan Tahun 1999-
2014, Jurnal Sosiohumaniora, Vol. 2 No. 2 (Yogyakarta: LPPM UST Yogyakarta, 2016)

19
sebagai salah satu warisan budaya leluhur yang mengandung nilai-nilai budaya

lokal yang harus terus dipertahankan dan dilestarikan oleh masyarakat

setempat sebagai bagian dari sebuah seni pertunjukan. Manfaat bagi peneliti

adalah jurnal ini memiliki keterkaitan dengan tema yang sedang penulis kaji

yaitu Upacara Adat Mantu Kucing yang merupakan kebudayaan lokal Pacitan.

Dalam perkembangannya, budaya lokal di era sekarang mengalami suatu

pergeseran akibat semakin kuatnya pengaruh budaya dari luar, sehingga

banyak masyarakat jawa terutama generasi muda lebih memilih untuk

mengikuti pengaruh budaya luar yang terlihat lebih modern dibandingkan

mengikuti pengaruh kebudayaan lokal yang dianggap kuno. 12

D. Kerangka Konseptual dan Pendekatan

Kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu buddhayah yang merupakan

bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) yang diartikan sebagai hal-hal yang

berkaitan dengan budi dan akal. Budi merupakan unsur rohani, sedangkan daya

adalah unsur jasmani manusia. Dengan demikian, budaya merupakan hasil budi

dan daya dari manusia. 13

Pendapat beberapa ahli yang memberikan pengertian kebudayaan

sebagaimana dikutip Setiadi (2009:28) yaitu :

1) Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah

sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.

12
Rikza Fauzan dan Nashar, Mempertahankan Tradisi, Melestarikan Budaya”
(Kajian Historis dan Nilai Budaya Lokal Kesenian Terebang Gede di Kota Serang), Jurnal
Candrasangkala, Vol. 3 No. 1 (Banten: Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, 2017)
13
Herimanto dan Winarni, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (Jakarta:PT Bumu Aksara,
2009) hlm 24

20
2) Krober dan Khlukhon berpendapat bahwa kebudayaan terdiri berbagai

pola, bertingkah laku mantap, pikiran, perasaan, reaksi yang diperoleh dan

diturunkan oleh simbol-simbol yang menyusun pencapaiannya secara

tersendiri dari kelompok-kelompok manusia, termasuk di dalamnya

perwujudan benda-benda materi.

Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai

kebudayaan, yaitu sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan

meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia sehingga

kebudayaan itu bersifat abstrak, selanjutnya diwujudkan dalam aktivitas dan

benda-benda yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. 14

Budaya lokal sebagai hasil kebudayaan adalah segala hal yang dimiliki

manusia melalui proses belajar dan menggunakan akal budinya. Budaya lokal

terbentuk dari segala pikiran dan perilaku manusia pada suatu wilayah dalam

waktu lama menjadi tatanan dalam suatu masyarakat. Budaya lokal mempunyai

karakter tersendiri dan menjadi kekayaan suatu wilayah atau masyarakat

tertentu. Terdapat ciri-ciri budaya lokal yang dapat dilihat dari kelembagaan

sosial. Artinya, budaya lokal mencirikan tentang ikatan sosial di antara

masyarakat yang mengorganisasikan budaya tersebut. Ikatan sosial tersebut

mengalami perkembangan sosial seiring dengan interaksi masyarakat tersebut

dengan masyarakat lain atau telah mengadaptasi dan mengadopsi perilaku

masyarakat lain. 15

14
Sri Iriyanti, dkk, Op.Cit., hlm 10
15
Sri Iriyanti, dkk, Op.Cit., hlm 15

21
Upacara Adat merupakan salah satu wujud kebudayaan yang menjadi

tradisi pada suatu masyarakat tertentu, seperti halnya di Pacitan, Jawa Timur.

Upacara Adat diwujudkan sebagai bentuk penyelenggaraan upacara tradisional

yang perlu adanya pembinaan sosial budaya bagi warga masyarakat yang

bersangkutan. Salah satu fungsi upacara tradisional yaitu untuk pengokoh

norma-norma, serta nilai-nilai budaya yang telah berlaku secara turun-

temurun.16

Upacara Adat Mantu Kucing dilaksanakan untuk memohon kepada

Tuhan Yang Maha Esa agar menurunkan hujan di daerah orang-orang yang

mengadakan upacara tersebut. Upacara ini dilaksanakan pada saat musim

kemarau yang berkepanjangan dan berdampak negatif terhadap warga

masyarakat yang masih agraris. Upacara adat ini diangkat dari tradisi

masyarakat desa Purworejo yang kondisi wilayahnya didominasi persawahan

dan bukit serta beberapa aliran sungai sebagai anak sungai Grindulu, sungai

terbesar di Kabupaten Pacitan seharusnya menjadikan desa ini tidak

kekeringan. Namun, kenyataannya hampir setiap tahun mengalami kekeringan

pada musim kemarau panjang.17

Pendekatan yang dipakai peneliti adalah pendekatan Kebudayaan.

Pendekatan Kebudayaan digunakan untuk membantu memahami tentang

konsep kebudayaan. Kebudayaan merupakan sesuatu yang akan mempengaruhi

tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam

pikiran manusia sehingga kebudayaan itu bersifat abstrak, selanjutnya

16
Sri Iriyanti, dkk, Op.Cit., hlm 17
17
Trisna Sri Wardani dan Soebijantoro, Loc.Cit., hlm 73

22
diwujudkan dalam aktivitas dan benda-benda yang digunakan dalam kehidupan

sehari-hari. Kebudayaan yang dimaksud disini adalah Budaya Upacara Adat

Mantu Kucing yang berada di Desa Purworejo, Kecamatan Pacitan, Kabupaten

Pacitan.

Kebudayaan memiliki unsur-unsur yang menjadi isi pokok dari setiap

kebudayaan di dunia. Unsur-unsur tersebut diantaranya adalah :

a. Bahasa

b. Sistem Pengetahuan

c. Organisasi Sosial

d. Sistem peralatan hidup dan teknologi

e. Sistem mata pencaharian hidup

f. Sistem religi

g. Kesenian.18

Perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia

sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang

bersifat nyata terkait dengan tujuh unsur kebudayaan tersebut di atas yang

kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan

kehidupan bermasyarakat. 19

C. Metode Penelitian

Skripsi yang berjudul “Budaya Upacara Adat Mantu Kucing di Desa

Purworejo Kabupaten Pacitan Tahun 1954-2014” peneliti menggunakan

18
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Aksara Baru, 1983) hlm. 206
19
Sri Iriyanti, dkk, Op.Cit., hlm 16

23
metode penelitan sejarah. Adapun data yang diperoleh dari lapangan dengan

cara observasi dan wawancara. Metode penelitian sejarah terbagi menjadi

empat tahap yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi.

1. Heuristik. Heuristik, menurut terminologinya berasal dari bahasa Yunani

heuristiken yaitu mengumpulkan atau menemukan sumber. Yang dimaksud

dengan sumber atau sumber sejarah adalah sejumlah materi sejarah yang

tersebar dan teridentifikasi. Catatan, tradisi lisan, runtuhan atau bekas-

bekas bangunan, dan inskripsi kuno adalah sumber sejarah20. Dalam

pengumpulan sumber sejarah, peneliti menggunakan sumber primer dan

sumber sekunder.

a. Sumber Primer adalah kesaksian daripada seorang saksi dengan mata

kepala sendiri atau saksi dengan pancaindera yang lain, atau dengan alat

mekanis seperti diktafon, yakni orang atau alat yang hadir pada

peristiwa yang diceritakannya (disini selanjutnya secara singkat disebut

saksi pandangan-mata).21 Untuk memperoleh sumber primer tersebut,

peneliti melakukan wawancara secara langsung dengan orang yang

berkompeten, yaitu Bapak Samuri yang mengetahui tentang Sejarah

Upacara Adat Mantu Kucing di Desa Purworejo dan proses

pelaksanannya dari tahun 1954-2014. Selain itu, peneliti juga

memperoleh sumber informasi melalui buku koleksi Bapak Samuri

yang berjudul “Upacara Adat Jawa Timur” disunting oleh Henri

Supriyanto tahun 1996. Dalam Buku tersebut berisi Ragam Upacara


20
Louis Gostschalk, Mengerti Sejarah (terjemahan Nugroho Notosusanto. Jakarta:
Universitas Indonesia Press, 2008) hlm. 39.
21
Ibid,. hlm. 35

24
Adat yang terdapat di Jawa Timur termasuk Upacara Adat Mantu

Kucing yang terdapat di Desa Purworejo.

b. Sumber Sekunder merupakan kesaksian daripada siapapun yang bukan

merupakan saksi pandangan-mata, yakni dari seseorang yang tidak

hadir pada peristiwa yang dikisahnya.22 Sumber sekunder ini peneliti

peroleh melalui buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang

penulis kaji seperti; buku tentang Upacara Adat Jawa Timur, Sejarah

Lokal (Konsep, Metode, dan Tantangannya), Pemanfaatan Budaya

Lokal Kabupaten Pacitan “TETAKEN” sebagai sumber belajar, dan

buku lain yang berkaitan dengan masalah yang dikaji. Peneliti

memperoleh data-data berupa buku dengan mengunjungi Perpustakaan

STKIP PGRI Pacitan dan koleksi buku dari Bapak Samuri. .

2. Kritik Sumber, merupakan upaya untuk mendapatkan otentisitas dan

kredibilitas sumber. Adapun caranya, yaitu dengan melakukan kritik. Yang

dimaksud kritik adalah kerja intelektual dan rasional yang mengikuti

metodologi sejarah guna mendapatkan objektivitas suatu kejadian.23 Dalam

penelitian sejarah terdapat dua langkah dalam melakukan kritik yaitu

meliputi kritik internal dan kritik eksternal.

a. Kritik Internal

Pada tahap titik internal, peneliti melakukan pengecekan dan

pembuktian terhadap sumber-sumber yang diperoleh. Apakah sumber-

sumber tersebut, isinya dapat diterima sebagai sebuah kebenaran atau

22
Ibid,.
23
Ibid,. hlm. 29

25
belum. Hal ini dapat dibuktikan dengan cara membandingkan antara

sumber satu dengan sumber yang lain, dimana sumber tersebut sama-

sama berkaitan dengan masalah yang dikaji. Sebagai contoh, peneliti

melakukan pengecekan mengenai hasil wawancara antara satu orang

dengan orang lain, apakah semuanya dapat memberikan informasi yang

benar dan dapat dipercaya berkaitan dengan masalah yang sedang

dikaji. Apabila kedua sumber tersebut menyatakan bukti yang sama

yaitu memberikan informasi yang sesuai dengan masalah yang sedang

dikaji, maka kedua sumber tersebut dapat dikatakan credible atau benar.

b. Kritik Eksternal

Pada tahap kritik eksternal, peneliti melakukan pengecekan terhadap

objek penelitian dari kegiatan observasi dan wawancara untuk melihat

dan membandingkan data yang dikehendaki sehingga menghasilkan

kebenaran data dalam penyusunan fakta.

3. Interpretasi. Interpretasi merupakan kegiatan penafsiran dari berbagai

sumber untuk dijadikan sebagai bahan rumusan penulisan yang sistematis.

Dalam hal ini, ada dua metode yang digunakan yaitu analisis dan sintesis.

Analisis berarti menguraikan sedangkan sintesis berarti menyatukan. 24 Pada

penelitian ini, peneliti membandingkan dan menganalisis fakta yang satu

dengan fakta yang lain, sehingga dapat ditemukan fakta untuk menjawab

permasalahan yang ada.

24
Dudung Abdurahman, Metodologi Penelitian Sejarah (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2007) Hlm. 63

26
4. Historiografi. Historiografi merupakan tahap terakhir dalam metode

sejarah. Historiografi merupakan langkah untuk menyampaikan atau

menyajikan sintesa yang telah diperoleh dalam bentuk tulisan. Rekontruksi

yang imajinatif dan pada data yang diperoleh tersebut, kebenaran datanya

diharapkan bersifat objektif, dalam arti maknanya berupa cerita sejarah

kritis25

D. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan penelitian yang berjudul “Budaya Upacara Adat Mantu

Kucing di Pacitan Tahun 1954-2017” yaitu :

Bab pertama berisi pendahuluan yang mencakup latar belakang

permasalahan, ruang lingkup, tinjauan pustaka, kerangka konseptual dan

pendekatan, metode penelitian, dan sistematika penulisan

Bab kedua, menguraikan tentang gambaran umum Kabupaten Pacitan

yang mencakup tentang sejarah singkat Kabupaten Pacitan, kondisi geografi,

kondisi perekonomian, kondisi sosial, dan kondisi kebudayaan.

Bab ketiga, menguraikan tentang Upacara Adat Mantu Kucing yang

mencakup Sejarah Upacara Adat Mantu Kucing, Prosesi Pelaksanaan Upacara

Adat Mantu Kucing, dan Makna simbolis Upacara Adat Mantu Kucing.

Bab Keempat menguraikan tentang Upaya Pelestarian Upacara Adat

Mantu Kucing di Desa Purworejo Kabupaten Pacitan yang mencakup tentang

Upaya pelestarian Upacara Adat Mantu Kucing dari Pemerintah Desa

Purworejo dan Upaya pelestarian dari Pemerintah Kabupaten Pacitan.


25
Louis Gottschalk, Op.Cit,. hlm. 29

27
Bab V Penutup. Merupakan bab terakhir yang berisi jawaban atas

seluruh permasalahan di Bab I.

BAB II

GAMBARAN UMUM KABUPATEN PACITAN

28
A. Sejarah Singkat Kabupaten Pacitan

Kabupaten Pacitan terletak di ujung barat daya Provinsi Jawa Timur.

Wilayahnya berbatasan dengan Kabupaten Ponorogo di utara, Kabupaten

Trenggalek di timur, Samudra Hindia di selatan, serta Kabupaten Wonogiri

(Jawa Tengah) di barat. Sebagian besar wilayahnya berupa pegunungan

kapur, yakni bagian dari rangkaian Pegunungan Kidul.

Banyak cerita, mitos, dan legenda yang muncul terkait sejarah dan asal

usul pacitan ini. Meskipun demikian, beberapa mitos dan legenda yang ada

ini saling berkaitan dan memiliki sisi historis yang kuat. Berbagai temuan

arkeologi juga menunjukkan bahwa ternyata Pacitan sudah dihuni pada masa-

masa pra sejarah. Benda-benda yang ditemukan tersebut diduga merupakan

alat-alat kerja tingkat sederhana jaman Prasejarah yang digunakan pada masa

berburu dan mengumpulkan makanan.

Menurut berbagai sumber yang ada tentang fakta sejarah Pacitan,

dijelaskan bahwa asal nama Pacitan berasal dari bahasa Jawa, Pacewetan,

Pace dan Wetan. Pace adalah salah satu nama buah, sedangkan wetan adalah

arah angin yang berarti timur. Selain itu, terdapat referensi lain yang

menyebutkan bahwa kata Pacitan berasal dari kata Pacitan yang berarti

camilan, yaitu berupa makanan ringan atau makanan kecil yang tidak sampai

mengenyangkan perut. Fakta ini menjadi alasan cukup logis mengingat

bahwa kondisi daerah Pacitan merupakan daerah minus, sehingga untuk

29
memenuhi kebutuhan pangan warganya tidak sampai mengenyangkan,

artinya tidak bisa lebih, atau dengan kata lain adalah pas-pasan.26

Pada abad ke XV di pacitan sudah berkembang agama hindu dan Budha

yang berkiblat kepada Kerajaaan Majapahit yang dipimpin oleh Ki Ageng

Buwono Keling yang bertempat tinggal di Jati Kecamatan Kebonagung.

Sedangkan Agama Islam dipacitan dibawa oleh Ki Ageng Petung (Kyai Siti

Geseng) bersama Syeh Maulana Magribi dan Kyai Ampok Boyo (Kyai

Ageng Posong) dibantu Kyai Menaksopal dari Trenggalek. Prasasti Jawa

Kuno “JA PURA PURAKSARA ERESTHA BHUWANA KELING ABHIYANA

JUWANA SIDDHIM SAMAGANAYA BHIJNA TABHA MINIGVAZAH

RATNA KARA PRAMANANTU” mengartikan bahwa pada zaman dahulu ada

seorang pendekar ternama bernama Buwono Keling yang telah mencapai

kesempurnaan dalam ilmu kebathinan dan kekebalan. Negeri Buwana Keling

terletak di Jati Kecamatan Kebonagung) ± 7 km dari ibukota Pacitan sekarang

yang disebut daerah wengker kidul atau daerah pesisir selatan.27

Perkembangan sejarah wengker kidul dari jaman hindu budha hingga

masuknya Islam ke bumi nusantara yang disertai dengan sejarah kolonial

belanda, yaitu terjadinya perang gerilya pada tahun 1747-1749 (Perang

Palihan Nagari (1746-1755) ) melawan VOC. Perang inilah yang kemudian

memunculkan istilah nama Pacitan untuk pertama kalinya. Perang ini terjadi

di Pacitan pada waktu Pangeran Mangkubumi dari keraton Surakarta dalam

peperangannya sampai ke wilayah pesisir selatan di Pacitan. Dalam


26
Humas Pacitan, “Sejarah dan Asal-Usul Nama Pacitan ” (Pacitan: GERBANG
PACITAN, 2019) Edisi 2. hlm 12
27
Ibid., hlm 14

30
pertempuran tersebut, Pangeran Mangkubumi mengalami kekalahan dan

terpukul mundur, sehingga beliau beserta pasukan yang tersisa menggunakan

strategi melarikan diri ke dalam hutan (saat ini adalah Desa Nanggungan)

dengan kondisi tubuh lelah, lemah dan lesu akibat dari perbekalan yang

mereka bawa habis.

Pada 25 Desember 1749, rombongan tersebut lemah lunglai, namun

pada akhirnya kekuatan Pangeran menjadi pulih berkat pertolongan abdinya

bernama Setraketipa dengan memberikan buah mengkudu (Pace) yang

direndam dengan legen28 buah kelapa. Daerah itu kemudian diingat dengan

nama “Pace Sapengetan” yang kemudian disingkat menjadi pace-tan lalu

munculah sebuah nama yaitu Kabupaten Pacitan. Setelah Pangeran

Mangkubumi menjadi Hamengku Buwono I, beliau memenuhi janjinya

kepada para pengikutnya yang pada waktu itu ikut bergerilya. Setroketipo

diangkat menjadi Bupati Pacitan ke-2 setelah sebelumnya dijabat oleh Raden

Ngabehi Tumenggung Notopoero29.

Sampai sekarang, hutan dimana Setraketipa memberikan minuman dari

buah Pace ini dikenal dengan nama Desa Nanggungan. Desa Nanggungan

sendiri dulunya adalah sebuah kerajaan yang dipimpin oleh Tumenggung

Setroketipo dan Desa Sukoharjo dipimpin oleh Tumenggung Notopuro.


28
Nama legen berasal dari kata dasar legi dalam bahasa Jawa yang berarti manis.
Legen kebanyakan dibuat dari bunga pohon lontar atau siwalan jenis perempuan yang
bunganya berbentuk sulur.
29
Raden Ngabehi Tumenggung Notopiro adalah Bupati pertama Pacitan dalam
sejarah Pacitan setelah menggunakan sistem pemerintahan yang baru, tepatnya tahun 1750-
1757. Beliau diangkat oleh Pangeran Mangkubumi pada tanggal 17 Januari 1750 setelah
beliau banyak membantu Pangeran Mangkubumi ketika bergerilya didaerah pacitan. Ketika
itu Ngabehi Suromarto menjabat demang Nanggungan dan ketika diangkat bupati bergelar
Raden Ngabehi Notopoero

31
Menurut sejarah Tumenggung Notopuro adalah bupati pertama yang diangkat

langsung oleh Kesultanan Solo dan Tumenggung Setroketipo adalah

tumenggung kedua yang diangkat langsung oleh Kesultanan Yogyakarta.

Berbeda dengan Desa Nanggungan, di Desa Sukoharjo diadakan ritual

pengambilan air di sumur njero yang biasa disebut Ritual Tirtowening. Sumur

njero adalah sumur peninggalan Tumenggung Notopuro yang selalu

digunakan dalam memperingati Hari jadi Pacitan dan hanya digunakan

setahun sekali yaitu setiap diadakan Ritual Tirtowening tersebut. Sumur

Njero terletak di dusun Ngerjoso desa Sukoharjo dan merupakan salah satu

peninggalan sejarah yang masih tersisa hingga saat ini. Dinamakan Sumur

Njero karena Sumur tersebut berada di dalam lingkup Kabupaten. Menurut

istilah, arti dari Tumenggung adalah Kabupaten. Tumenggung Notopoero saat

itu berada di Dusun Ngrejoso atau Nerjoso di Desa Sukoharjo. Namun

makam Notopoero ini terletak di Dusun Prambon. Sampai saat ini dikedua

dusun ini, Prambon dan Ngrejoso masih dapat kita jumpai bukti sejarah

bahwa dulu pernah ada sebuah tumenggungan di lokasi ini. Salah satunya

selain makam Notoepoero adalah ompak30 yang merupakan bekas salah satu

bangunan dari kabupaten yang masih tersisa. Ompak ini berada tak jauh dari

Sumur Njero yaitu di dusun Ngerjoso desa Sukoharjo Ompak bisa disebut

dengan penyangga suatu tiang atau soko istilah jawanya.31

B. Kondisi Geografis Kabupaten Pacitan


30
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Ompak adalah alas tiang rumah yang
biasanya terbuat dari batu.
31
Gerbang Pacitan. Ibid., hlm 15

32
Pacitan merupakan salah satu dari 38 Kabupaten / Kota di Propinsi Jawa

Timur yang berada di bagian Barat Daya Propinsi Jawa Timur. Kabupaten

Pacitan terletak di antara 07˚ 55˚-08˚17˚ Lintang Selatan 110˚55˚-111˚25˚

Bujur Timur dengan luas wilayah 1.389,8716 km² atau 138.987,16 Ha, yang

sebagian besar berupa bukit, gunung, dan jurang terjal. Batas wilayah

Kabupaten Pacitan sebagai berikut: sebelah Utara berbatasan dengan

Kabupaten Ponorogo (Jawa Timur) dan Kabupaten Wonogiri (Jawa Tengan),

sebelah Selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia, sebelah Barat

berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri (Jawa Tengah) dan sebelah Timur

berbatasan dengan Kabupaten Trenggalek.32

Wilayah Kabupaten Pacitan sebagian besar berupa bukit dan gunung,

jurang terjal dan termasuk deretan Pegunungan Seribu yang membujur

sepanjang Pulau Jawa. Wilayah administrasi Kabupaten Pacitan terbagi dalam

12 kecamatan, 19 kota dan 152 desa.33 Luas Kabupaten Pacitan adalah

1.389,87 Km² dengan luas tanah sawah sebesar 130,15 Km² atau sekitar

9,36% dan luas tanah kering adalah 1.259,72 Km² atau sekitar 90,64%.

Sebagian besar dari tanah sawah adalah sawah tadah hujan yang sebesar

51,53%, dan sebagian besar dari tanah kering adalah untuk tanaman kayu-

kayuan yang sebesar 35,89%.34

Gambar 2.1. Peta Administrasi Kabupaten Pacitan

32
Kutipan Pemkab Pacitan dalam Skripsi Ira Wulandari, “Kebijakan Bupati Indartato
Dalam Pengembangan Pariwisata Kabupaten Pacitan” (Pacitan: STKIP PGRI Pacitan,
2018), hln. 44
33
BPS Kabupaten Pacitan, “Pacitan Dalam Angka 2014” (Pacitan: BPS Kabupaten
Pacitan, 2014) hlm 3
34
Ibid., hlm 4

33
S

umber: https://4.bp.blogspot.com/

Kemudian lokasi Kabupaten Pacitan jika dihitung jarak dengan kota-kota

besar di daerah sekitar adalah sebagai berikut: Surabaya: ± 262 km, Yogjakarta: ±

130 km, dan Surakarta: ±156 km. Kota Pacitan dikenal dengan sebutan “Kota 1001

Goa”, hal ini dikarena banyak ditemukan goa-goa di daerah tersebut seperti Goa

Tabuhan, Goa Putri, dan Goa Gong diKecamatan Punung, Goa Dadali di

KecamatanTulakan, dan lainya. Selain pesona goa,banyak pantai di Pacitan juga

terkenalkeindahannya seperti Pantai Teleng Ria didesa Sidoharjo Pacitan, Pantai

Klayar di desaWidoro Donorojo, Pantai Watu Karung diKecamatan Pringkuku, dan

sebagainya.35

C. Kondisi Perekonomian Kabupaten Pacitan

Kabupaten Pacitan memiliki beragam potensi yang mampu menunjang

pegembangan dan pembangunan daerah. Potensi-potensi tersebut adalah

mencakup bidang ekonomi, perdagangan, indutri, pariwisata, pendidikan, dan


35
Hartati Dyah, “Kontribusi Program Pariwisata Dalam Meningkatkan Taraf Hidup
Pengrajin Gerabah di Kabupaten Pacitan”, Jurnal Ilmiah Go Infotech. Vol. 20 No. 3,
September 2014 (Surakarta: STMIK AUB Surakarta, 2014) hlm. 22

34
jasa. Melalui modal kultur dan potensi yang dimiliki, Pacitan telah menjadi

sebuah daerah yang dinamis dan terus berkembang.36

Sebagai kota yang menghadap ke Teluk Pacitan, menjadikan Pacitan

mempunyai daya tarik tersendiri. Pantai-pantai dan di wilayah Tamperan

yang dibangun Dermaga / Pelabuhan menjadi tempat pendaratan perahu

nelayan dan tempat pelelangan ikan. Di dermaga tersebut dibangun

Breakwater37 sebagai pemecah ombak, diharapkan bisa memberikan nilai

tambah bagi pariwisata dan perekonomian terutama bagi yang memiliki

hobby memancing ikan. Berbagai hotel dan tempat penginapan yang sejak

dahulu sudah ada, memberikan akomodasi yang memadai bagi wisatawan

dengan harga yang terjangkau dan pelayanan yang optimal. Pada malam hari

di sekitaran Alun-alun Kota Pacitan dapat dijumpai para pedagang kaki lima

yang menyediakan berbagai sajian makanan khas Pacitan.38

Kabupaten Pacitan merupakan salah satu Kabupaten dari 38 Kabupaten

di Provinsi Jawa Timur. Lokasi Kabupaten Pacitan sangat jauh dari Ibukota

Provinsi. Jumlah penduduk usia produktif Kabupaten Pacitan yang mencapai

357.510 ribu jiwa menunjukkan bahwa Kabupaten Pacitan cukup memiliki

Sumber Daya Manusia yang potensial untuk menggerakkan berbagai sektor

ekonomi. Sektor lapangan usaha utama di Kabupaten Pacitan meliputi

36
www.pacitantrip.com./sekilas profil kab.pacitan dalam skripsi Ira Wulandari,
Op.Cit,. hlm. 29
37
Pemecah gelombang (breakwater) adalah bagunan yang digunakan untuk
melindungi daerah perairan pelabuhan dari gangguan gelombang. Bangunan ini memisahkan
daerah perairan dari laut lepas, sehingga perairan pelabuhan tidak banyak dipengaruhi oleh
gelombang besar di laut.
38

35
pertanian khususnya padi, singkong, cengkeh, dan kelapa serta

pertambangan.39

D. Kondisi Sosial dan Budaya Kabupaten Pacitan

Terpenuhinya pendidikan yang layak bagi setiap penduduk erat kaitannya

dengan kualitas sumber daya manusia. Hal ini sangatlah disadari oleh

pemerintah. Sejalan dengan hal tersebut, baik pemerintah pusat maupun

daerah terus berusaha untuk meningkatkan sarana dan prasarana fisik beserta

tenaga guru. Secara umum jumlah sekolah di Kabupaten Pacitan tidak

mengalami perubahan. Penambahan terjadi pada jenjang Taman Kanak-

kanak, SMTP swasta,Madrasah Tsanawiyah Swasta dan Madrasah Aliyah

Swasta. Namun demikian ada juga yang mengalami penurunan yaitu SDN

dan MI Swasta. Untuk jumlah guru terjadi kenaikan yang cukup signifikan

pada guru SD yaitu sebesar 68,03 %.

Kunci keberhasilan pembangunan lainnya adalah derajat kesehatan

penduduk. Ketersediaan sarana dan prasarana fisik beserta tenaga medis yang

profesional akan dapat menunjang peningkatan derajat kesehatan penduduk.

Di tahun 2013, jumlah fasilitas kesehatan RSU, praktek dokter , balai

pengobatan dan posyandu mengalami kenaikan,terutama praktek dokter naik

sebesar 64,7%. Dari sisi tenaga kesehatan, jumlah perawat, dan tenaga

kesehatan lainnya yang mengalami kenaikan. Tenaga medis dan non

paramedic yang mengalami penurunan sebesar 8,89% dan 39,29%. Salah satu

program yang digalakkan pemerintah dalam rangka menciptakan keluarga

39
www.pacitantrip.com./sekilas profil kab.pacitan dalam skripsi Ira Wulandari,
Loc.Cit,. hlm. 29

36
yang bahagia adalah dengan mengikuti program Keluarga Berencana dengan

slogannya ”Dua anak cukup”. Pencapaian target jumlah peserta KB aktif di

Kabupaten Pacitan mencapai 79,16% mengalami penurunan dibanding tahun

2012 yang sebesar 79,22%

Mayoritas penduduk Kabupaten Pacitan merupakan pemeluk agama

Islam yaitu sebesar 99,85% diikuti dengan Kristen dan Katholik masing–

masing sebesar 0,10% dan 0,05% sedang sisanya yang hanya 0,01%

beragama Hindu, Budha dan pemeluk lainnya. Hal ini sebanding dengan

jumlah tempat peribadatan yang ada dimana jumlah masjid, langgar dan

musholla mencapai 99,80% dan sisanya 0,20% adalah gereja. Sampai saat ini

tidak ada pura dan wihara di Kabupaten Pacitan. Hal ini senada juga dengan

jumlah pemuka agama yang ada dimana terdapat sekitar 2.403 Kyai dan

Ulama, sedangkan jumlah pastur dan pendeta hanya 4 orang.40

Kondisi sosial dari masyarakat Pacitan tercermin dalam konteks rasa

kebersamaan dalam melestarikan kebudayaan. Kebudayaan yang berada di

Kabupaten Pacitan sangat beragam. Dengan banyaknya kebiasan yang telah

di turunkan oleh leluhur terdahulu, masyarakat Pacitan sangat memegang erat

budaya atau tradisi. Masyarakat Kabupaten Pacitan masih memegang kultur

budaya yang cukup kental. Ini bisa dilihat dari berbagai kebiasaan masyarakat

yang masih di uri-uri menurut orang jawa. Kebiasaan leluhur yang terus

dijaga sehingga masyarakat masih kental dengan urusan kejawenya. Seperti

contoh di Desa Nanggungan setiap tahun dilakukan pemandian pusaka.

Kemudian dari sisi kebudayaan masih dijaga seperti pertunjukan upacara


40
BPS Kabupaten Pacitan, Op.Cit., hlm 106-107

37
Mantu Kucing dari Desa Purworejo, pertunjukan Wayang Beber dari

Kecamatan Donorojo, dan Upacara Adat Mantu kucing di Desa Purworejo

Kabupaten Pacitan41

BAB III
UPACARA ADAT MANTU KUCING DESA PURWOREJO

41
Dio Dwi Aditya, Op.Cit., hlm. 45

38
KABUPATEN PACITAN

A. Sejarah Upacara Adat Mantu Kucing

Upacara adat mantu kucing merupakan upacara adat tradisional untuk


memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar menurunkan hujan di daerah
orang-orang yang mengadakan upacara tersebut. Upacara ini dilaksanakan
bila tiba musim kemarau yang berkepanjangan dan berdampak negatif
terhadap masyarakat yang masih agraris. Upacara adat Mantu Kucing sudah
ada sejak sekitar tahun 1954 dan tidak bisa dipastikan tanggal
pelaksanaannya, karena semua tergantung situasi dan kondisi dari alam.42
Upacara Adat Mantu Kucing diangkat dari tradisi masyarakat Desa
Purworejo. Hal tersebut dikisahkan seorang warga desa dusun Jati yang
memperoleh wisik (petunjuk dari Alloh) yaitu agar turun hujan, maka mereka
harus melaksanakan upacara mantu kucing. Waktu itu para sesepuh desa
segera mengadakan musyawarah untuk melaksanakan upacara mantu kucing,
sebagai bukti kepercayaan dan kepatuhan mereka terhadap Sang Maha
Pencipta sesuai wisik yang diperoleh.43
Istilah Mantu Kucing tiada ubahnya seperti orang mengadakan upacara
pernikahan dua anak manusia. Hanya khusus dalam keperluan ini yang
dinikahkan adalah dua ekor kucing, yaitu kucing jantan dan kucing betina.
Untuk mempelai atau kucingnya, kucing betina dari Desa Purworejo
sedangkan kucing jantannya dari Desa Arjowinangun. Setelah dua ekor
kucing sudah disepakati maka para warga mulai menyiapkan semua
kebutuhan untuk upacara tersebut. Biasanya lagu yang sering dinyanyikan
untuk mengiringi upacara ini adalah lagu dandang gulo dan lagu-lagu
bernuansa agama. Upacara ini secara tradisional diadakan di tepi sebuah
aliran sungai, tempat kucing betina yang dinikahkan dipelihara. Upacara Adat
Mantu Kucing ditradisikan di Pacitan, dalam satu kegiatan untuk meminta

42
Trisna Sri Wardani dan Soebijantoro, Loc.Cit., hlm 73
43
Henri Supriyanto, Upacara Adat Jawa Timur (Surabaya: Dinas P dan K Daerah
Tingkat I, 1996) hlm. 44

39
hujan kepada Tuhan pencipta langit dan bumi yang diadakan apabila wilayah
tersebut dilanda musim kemarau panjang.44
Kisah yang terdapat dalam Upacara Adat Mantu Kucing hampir
menyerupai upacara adat di Kerajaan Yunani purba, yaitu ketika musim
kemarau panjang rakyat Kerajaan Yunani mengadakan sebuah upacara
dengan menyembelih seekor kambing jantan (tragos). Upacara tersebut
dilaksanakan dengan tujuan agar supaya Dewa Zeus45 berkenan untuk
menurunkan hujan di daerah yang dilanda kemarau panjang. Meskipun dalam
pelaksaanaan Upacara Adat Mantu Kucing adalah menikahkan dua ekor
kucing, masyarakat Pacitan menyebut dua ekor kucing yang dinikahkan
dengan istilah “Penganten”46.

B. Prosesi Pelaksanaan Upacara Adat Mantu Kucing

Upacara mantu kucing ini ditradisikan di desa Purworejo Kabupaten Pacitan


dalam suatu kegiatan untuk meminta hujan kepada Tuhan pencipta langit dan
bumi. Upacara ini diadakan bila wilayah tersebut dilanda musim kemarau
yang berkepanjangan. Mantu kucing tiada ubahnya seperti orang mengadakan
upacara pernikahan dua anak manusia. Hanya khusus dalam keperluan ini
yang dinikahkan adalah dua ekor kucing dan tidak didudukkan di kursi
pelaminan melainkan di dalam tandu, namun demikian pengantin juga dihias
walaupun hanya dipakaikan mahkota dari janur kuning. Selain itu kedua
mempelai juga tidak mengucapkan ijab qobul sendiri melainkan diwakili oleh
masing-masing kepala desa dimana kucing yang dinikahkan berasal.47
Berdasarkan hasil wawancara dari Bapak Samuri sebagai saksi
pelaksanaan Upacara Adat Mantu Kucing pada tahun 1954, Upacara Adat

44
Henri Supriyanto, Op.Cit., hlm 45
45
Zeus atau Dias adalah raja para dewa dalam mitologi Yunani. Yang
dalam Theogonia karya Hesiodos disebut sebagai "Ayah para Dewa dan manusia
(Wikipedia Bahasa Indonesia)
46
“Penganten” atau “Pengantin” adalah orang yang sedang melangsungkan
perkawinannya (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
47
Trisna Sri Wardani dan Soebijantoro, Op.Cit., hlm 75

40
Mantu Kucing, dilakukan beberapa tahapan-tahapan prosesi, diantaranya
adalah :
1. Pada hari yang telah ditetapkan, pengantin perempuan dinaikkan tandu 48,

diarak dan dibawa ke tempat upacara pernikahan. Tempat yang dimaksud

berada di batas desa asal kucing betina dan dipilih di tepi sungai. Di

tempat inilah calon pengantin perempuan (kucing betina) menanti

kedatangan calon pengantin laki-laki (kucing jantan) yang berasal dari

desa Arjowinangun.

2. Upacara Temu Temanten

Setelah penganten laki-laki datang di tempat tersebut diadakan upacara


temu penganten. Penganten laki-laki diarak dengan pengiring yang
membawa sesaji dan seperangkat barang sasrahan (barang yang
diserahterimakan atau biasa disebut mahar) dari pihak besan laki-laki
kepada besan pihak perempuan. Mahar dalam perkawinan kucing ini
biasanya berupa pedaringan (dalam bahasa Jawa disebut genthong) yaitu
sebuah wadah terbuat dari tanah liat yang digunakan untuk tandon air,
menurut warga desa hal ini mengisyaratkan warga sudah siap menadah
hujan yang turun dengan menggunakan tandon tersebut.
Dalam upaca serah terima ini pengantin laki-laki (kucing jantan)
diwakili oleh seorang wanita (ibu kepala desa Arjowinangun). Pihak
penerima adalah wakil pengantin perempuan yang diwakili oleh seorang
bapak (kepala desa Purworejo). Temu penganten itu disebut jemuk Setelah
upacara serah terima penganten laki-laki dan perempuan didudukkan
bersanding di dalam tandu penganten perempuan kemudian kedua
penganten diarak menuju ke tepi sungai.
Calon mempelai perempuan dipilih kucing betina yang sudah
dewasa tapi belum pernah beranak, berbulu coklat halus dan sehat serta
48
Tandu merupakan usungan berupa kursi atau rumah-rumahan kecil, terbuat dari
terpal dan sebagainya, untuk tempat duduk dan sebagainya, disangga atau digantungkan
pada pikulan. (Kamus Besar Bahasa Indonesia)

41
asli dipelihara oleh warga desa Purworejo. Sedangkan calon mempelai
laki-laki dipilih kucing jantan yang sudah dewasa dan diperkirakan belum
pernah bersama kucing betina, berbulu coklat halus dan sehat serta
dipelihara di desa Arjowinangun.
3. Upacara Memandikan Penganten

Sebagaimana pengantin manusia, pengantin kucing ini juga dimandikan


untuk mensucikan diri sebelum memasuki akad nikah. Di tepi sungai
tempat pesta pernikahan berlangsung, kepala desa Purworejo menyerahkan
kedua penganten kepada sesepuh desa (dukun yang bernama mbah
Dullah). Kakek inilah yang memimpin upacara memandikan pengantin
dengan air bunga, sekaligus upacara akad nikah dimana ijab kabulnya
diucapkan oleh kepala desa Purworejo dan diterima oleh sesepuh yang
memimpin upacara ini. Kakek sesepuh desa kemudian mengucapkan doa
dan mantra, dengan perantaraan dua ekor kucing (sepasang penganten)
yang dimandikan, sang Kakek memohon kepada Tuhan agar diturunkan
hujan yang berkah.
4. Upacara Ngalap Berkah

Upacara ngalap berkah berupa selamatan dengan tumpeng nasi kuning.


Sesudah dipanjatkan doa, warga masyarakat mengadakan makan bersama
yang disebut “kembul bujana punar” artinya secara bergantian warga desa
yang ngestreni (menghadiri) mengambil nasi kuning. Tumpeng nasi
kuning dipersiapkan pihak penganten perempuan (kepala desa Purworejo).
5. Upacara Penutup – Sungkeman

Setelah selesai upacara ngalap berkah, rangkaian upacara dilanjutkan


dengan sungkeman. Pihak keluarga penganten laki-laki dan perempuan
bergantian melakukan sungkeman sebagai tanda akhir upacara mantu
kucing. Kakek dukun meminta kepada segenap warga desa yang mengikuti
upacara agar dengan segera meninggalkan tempat upacara, menuju
kerumah masing-masing karena diyakini setelah itu akan turun hujan yang
deras. Sepasang pengantin kucing yang telah dinikahkan kemudian dibawa

42
pulang oleh kepala desa Purworejo dan dipingit didalam kandang selama 7
hari atau sampai hujan turun dan setelah itu dipelihara biasa selayaknya
kucing piaraan.49
Upacara adat Mantu kucing menggunakan musik pengiring
selawatan yang ritual dan mengacu ke tradisi Khataman Nabi. Selain
tahapan-tahapan prosesi pelaksanaann Upacara Adat Mantu Kucing,
terdapat beberapa dialog-dialog khas yang diucapkan, diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Dialog pasrah pihak penganten wanita yang diucapkan oleh Ibu

Kepala Desa Arjowinangun, ditujukan kepada Bapak Penganten

laki-laki (Kepala Desa Purworejo)

2. Dialog “Penampi” (penerimaan) yang diucapkan oleh Ibu Kepala

Desa Arjowinangun, ditujukan kepada Bapak Penganten laki-laki

(Kepala Desa Purworejo)

3. Dialog pasrah pihak penganten (Kepala Desa Purworejo) kepada

sesepuh desa/kakek/Mbah Dullah

4. Monolog sesepuh desa yang memimpin Upacara Adat Mantu

Kucing dan disaksikan oleh seluruh warga masyarakat. Rangkaian

kata-kata doa / pengucapan mantra-mantra menjelang

pelaksanaan “Kembul Bujana Punaru”. Pernyataan sesepuh desa

bahwa upacara telah selesai, segenap warga diminta pulang dan

kembali ke rumah masing-masing dengan selamat (Raharjo

Slamet, ora ono alangan apa-apa)

49
Wawancara dengan Bapak Samuri, tanggal 12 Maret 2020 di Kediaman Bapak
Samuri.

43
C. Makna Simbolis Upacara Adat Mantu Kucing

Dari sudut pandang sosiologis, kebudayaan meliputi segala segi dan aspek
dari hidup manusia sebagai makhluk sosial. Ide dan gagasan dari manusia
banyak yang hidup bersama dalam suatu masyarakat, memberi jiwa kepada
masyarakat itu sendiri. Adanya kebudayaan dalam masyarakat juga
membentuk suatu sistem sosial atau social system mengenai tindakan berpola
dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas
manusia yang berinteraksi, berhubungan, dan bergaul satu sama lain dari
detik ke detik, dari hari ke hari, dan dari tahun ke tahun, selalu menurut pada
polapola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan.
Wujud dari ide gagasan dan sistem sosial membentuk kebudayaan
fisik yang berupa seluruh hasil fisik dan aktivitas, perbuatan, dan karya semua
manusia dalam masyarakat. Kebudayaan dan adat-istiadat memberi arah
kepada manusia. Baik pikiran-pikiran dan ide-ide, maupun tindakan dan
karya manusia, menghasilkan benda-benda kebudayaan fisiknya. Sebaliknya
kebudayaan fisik membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang makin
lama makin menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya sehingga
mempengaruhi pula pola-pola perbuatannya, bahkan juga cara berpikirnya.50
Menurut Koentjaraningrat pada tahun 1980, Upacara adalah sistem
aktivitas atau rangkaian atau tindakan yang diatata oleh adat atau hukum yang
berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam
peristiwa tetap yang biasanya terjadi dalam masayarakat yang bersangkutan
Upacara pada umumnya memiliki nilai sakral oleh masyarakat pendukung
kebudayaan tersebut. Upacara adat adalah suatu upacara turun temurun
dilakukan oleh pendukungnya di suatu daerah.51 Dalam penelitian ini, Mantu
Kucing juga memiliki sebuah makna yang terkandung di dalamnya. Makna
Simbolis sendiri adalah suatu tata pemikiran atau paham makna yang
menekankan atau mengikuti pola-pola yang mendasar pada simbol-simbol.
50
Reizya Gesleoda Axiaverona dan RB. Soemanto, “Nilai Sosial Budaya Dalam
Upacara Adat Tetaken”, Journal of Development and Social Change. Vol. 1 No. 1, April
2018 (Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2018) hlm. 19
51
Reizya Gesleoda Axiaverona dan RB. Soemanto, Op.Cit., hlm 20

44
Manusia yang hidup dalam kehidupan masyarakat erat hubungannya dengan
budaya, sehingga manusia disebut makhluk budaya.
Makna simbolis yang terdapat dalam upacara adat Mantu Kucing di
Desa Purworejo tersebut bermakna bahwa sebagai manusia kita diwajibkan
untuk selalu menjaga keseimbangan alam, saling menghormati terlebih pada
leluhur kita dan ketika kita meminta sesuatu kepada Tuhan Yang Maha Esa
jangan lupa untuk senantiasa selalu mengucap syukur atas apa yang sudah
diberikan.52

BAB IV
UPAYA PELESTARIAN UPACARA ADAT MANTU KUCING

Saat ini semua bangsa sedang berada di tengah era globalisasi. Perkembangan
budaya modern yang berciri khas budaya barat masuk dan mempengaruhi

52
Trisna Sri Wardhani dan Soebijantoro, Op.Cit., hlm 77

45
segala aspek kehidupan masyarakat, baik itu di bidang politik, ekonomi,
teknologi informasi, sosial, budaya dan seni. Hal tersebut tentunya akan
membawa dampak positif maupun dampak negatif dalam berbagai bidang dan
nilai-nilai budaya barat dengan mudahnya masuk melalui berbagai media
informasi.53
Dalam era globalisasi informasi juga menjadi kekuatan yang sangat
dahsyat dalam mempengaruhi pola pikir manusia. Budaya barat saat ini
diidentikkan dengan modernitas (modernisasi), dan budaya timur
diidentikkan dengan tradisional atau konvensional. Orang tidak saja
mengadopsi ilmu pengetahuan dan teknologi Barat sebagai bagian dari
kebudayaan tetapi juga meniru semua gaya orang Barat, sampai-sampai yang
di Barat dianggap sebagai budaya yang tidak baik tetapi setelah sampai di
Timur diadopsi secara membabi buta.
Menurut Koentjaraningrat (2015: 146) kebudayaan diartikan sebagai
keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan
belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu. Banyak berbagai
definisi dari kebudayaan, namun terlepas dari itu semua kebudayaan pada
hekekatnya mempunyai jiwa yang akan terus hidup, karena kebudayaan terus
mengalir pada diri manusia dalam kehidupannya. Kebudayaan akan terus
tercipta, dari tempat ketempat, dari individu ke individu dan dari masa ke
masa. Berdasarkan pendapat Koentjaraningrat diatas menggambarkan bahwa
kebudayaan selalu akan mengalami perubahan-perubahan dari waktu ke
waktu sehingga masyarakat yang memiliki kebudayaan itu harus tetap
mengenal, memelihara dan melestarikan kebudayaan yang dimiliki agar
setiap perubahan yang terjadi tidak menghilangkan karakter asli dari
kebudayaan itu sendiri.54

53
Pryo Sularso dan Yuli Maria, “Upaya Pelestarian Kearifan Lokal Melalui
Ekstrakurikuler Karawitan Di Smp Negeri 1 Jiwan Tahun 2016”, Jurnal Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan. Vol. 5 No. 1, April 2017 (Madiun: Universitas PGRI
Madiun, 2016), hlm 2
54
Hildigardis M. I. Nahak, “Upaya Melestarikan Budaya Indonesia Di Era
Globalisasi”, Jurnal Sosiologi Nusantara. Vol. 5 No. 1, 2019 (Kupang: Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Nusa Cendana) hlm 169

46
Kesadaran masyarakat untuk menjaga budaya lokal sekarang ini
terbilang masih sangat minim. Masyarakat lebih memilih budaya asing yang
lebih praktis dan sesuaidengan perkembangan zaman. Hal ini bukan berarti
bahwa tidak boleh mengadopsi budaya asing, namun banyak budaya asing
yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Oleh karena itu, Pembelajaran
tentang budaya, harus ditanamkan sejak dini.
Selain itu, upaya pelestarian kebudayaan lokal sebagai kegiatan yang
dilaksanankan secara terus menerus, terarah dan terpadu harus dilakukan
guna mewujudkan tujuan tertentu yang mencerminkan adanya sesuatu yang
tetap dan abadi, bersifat dinamis, luwes, dan selektif. Pelestarian budaya
sendiri adalah upaya untuk mempertahankan nilai-nilai seni budaya, nilai
tradisional dengan mengembangkan perwujudan yang bersifat dinamis, luwes
dan selektif, serta menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang selalu
berubah dan berkembang.55
Melalui budaya lokal, dapat menambah kekayaan berupa sumber
belajar bagi dunia pendidikan. Kebudayaan dapat mengembangkan kreatifitas
individu apabila kebudayaan tersebut memberikan kesempatan yang adil bagi
pengembangan kreatifitas potensial yang dimiliki oleh anggota masyarakat. 56
Kebudayaan Lokal agar tidak terkikis oleh kemajuan zaman, harus ada
pelestarian dari berbagai pihak yaitu Pemerintah Desa Purworejo dan juga
Pemerintah Kabupaten Pacitan. Dalam hal ini, Upacara Adat Mantu Kucing
yang juga menjadi salah satu kebudayaan lokal di Desa Purworejo Kabupaten
Pacitan juga harus tetap dilestarikan.

D. Pemerintah Desa Purworejo

Upacara adat mantu kucing merupakan upacara adat tradisional untuk


memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar menurunkan hujan di daerah
orang-orang yang mengadakan upacara tersebut. Upacara adat Mantu Kucing
sudah ada sejak sekitar tahun 1954 dan tidak bisa dipastikan tanggal

55
Ibid., hlm 171
56
Sri Iriyanti, dkk, Loc.Cit., hlm 5

47
pelaksanaannya, karena semua tergantung situasi dan kondisi dari alam. 57
Upacara Adat Mantu Kucing diangkat dari tradisi masyarakat Desa
Purworejo. Hal tersebut dikisahkan seorang warga desa dusun Jati yang
memperoleh wisik (petunjuk dari Alloh) yaitu agar turun hujan, maka mereka
harus melaksanakan upacara mantu kucing. Waktu itu para sesepuh desa
segera mengadakan musyawarah untuk melaksanakan upacara mantu kucing,
sebagai bukti kepercayaan dan kepatuhan mereka terhadap Sang Maha
Pencipta sesuai wisik yang diperoleh.58
Menurut penjelasan dari Bapak Samsudin (Sekretaris Desa
Purworejo), bahwa Upacara Adat Mantu Kucing ini harus tetap dijaga
kelestariannya. Selain untuk menguri-nguri kebudayaan dan mengenang
sejarah, Upacara Adat Mantu Kucing ini menjadi salah satu icon kebudayaan
lokal yang tidak dimiliki oleh desa lain khususnya di Kabupaten Pacitan.
Oleh karena itu, Pemerintah Desa Purworejo berupaya agar Budaya Upacara
Adat Mantu Kucing ini bisa tetap lestari. Dalam pelaksanaan upaya
pelestarian Upacara Adat Mantu Kucing, tidak sepenuhnya berjalan dengan
mulus. Hal tersebut dikarenakan Mantu Kucing merupakan kebudayaan lokal
yang bersifat Adat dan pastinya terdapat unsur-unsur yang mengandung Pro
dan Kontra dalam masyarakat. Pro dan Kontra tersebut adalah cara pemujaan
/ berdoa. Dapat diketahui bahwa Upacara Adat Mantu Kucing merupakan
Upacara Adat yang bertujuan untuk meminta kepada Tuhan Yang Maha Esa
agar menurunkan hujan, sehingga masih terdapat beberapa masyarakat yang
memiliki persepsi yang berbeda tentang pelaksanaan Upacara Adat Mantu
Kucing ini.
Upaya yang dilakukan oleh pemerintah Desa Purworejo guna menjaga
kelestarian Upacara Adat Mantu Kucing adalah melaksanakan kembali
Upacara Adat Mantu Kucing pada tahun 2014 dan pada tahun 2017.
Pelaksanaan Upacara Adat Mantu Kucing pada tahun 2014 dilaksanakan
ketika Desa Purworejo berpartisipasi dalam agenda Lomba Gotong Royong
57
Trisna Sri Wardani dan Soebijantoro, Loc.Cit., hlm 73
58
Henri Supriyanto, Upacara Adat Jawa Timur (Surabaya: Dinas P dan K Daerah
Tingkat I, 1996) hlm. 44

48
dan Lomba Desa tingkat Kabupaten, sehingga melakasanakan Upacara Adat
Mantu Kucing sebagai icon kebudayaan lokal dari Desa Purworejo. Pada
tahun 2014 ini, pelaksanaan Upacara Adat Mantu Kucing berlokasi di RT 03
Dusun Jati tepatnya di dekat Sumber Mata Air Hangat. Kemudian
Pelaksanaan Upacara Adat Mantu Kucing pada tahun 2017, dilakukan untuk
mengisi agenda kegiatan dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan
Indonesia yang ke-72. Pada tahun 2017 ini, pelaksanaan Upacara Adat Mantu
Kucing dilakukan di RT 02 Dusun Jati , lebih tepatnya di dekat Jembatan
yang oleh masyarakat biasa disebut “Pleret”. Menurut cerita, di jembatan ini
merupakan tempat pelaksanaan Upacara Adat Mantu Kucing yang pertama
kali yaitu tahun 1954.59
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Samsudin terdapat
beberapa kendala yang dialami dalam pelaksanaan Upacara Adat Mantu
Kucing ini. Beberapa kendala tersebut diantaranya adalah Pertama, persepsi
masyarakat tentang pelaksanaan Upacara Adat Mantu Kucing. Ada yang
menganggap bahwa pelaksanaan Mantu Kucing tidak sesuai dengan ajaran
Agama Islam. Kedua, Anggaran Dana yang digunakan untuk melaksanakan
Upacara Adat Mantu Kucing. Dalam melaksanakan sebuah agenda kegiatan ,
tentunya harus memperhatikan anggaran dana terlebih lagi agenda kegiatan
yang akan dilaksanakan merupakan kegiatan yang cukup membutuhkan dana
yang tidak sedikit, oleh karena itu masalah anggaran dana menjadi salah satu
kendala dalam upaya pelestaria Upacara Adat Mantu Kucing ini.

E. Pemerintah Kabupaten Pacitan

Kebudayaan yang berada di Kabupaten Pacitan sangat beragam. Dengan


banyaknya kebiasan yang telah di turunkan oleh leluhur terdahulu,
masyarakat Pacitan sangat memegang erat budaya atau tradisi. Masyarakat
Kabupaten Pacitan masih memegang kultur budaya yang cukup kental. Ini
bisa dilihat dari berbagai kebiasaan masyarakat yang masih di uri-uri menurut

59
Wawancara dengan Bapak Samsudin (Sekdes Purworejo), tanggal 17 Juli 2020 di
Kantor Balai Desa Purworejo

49
orang jawa. Kebiasaan leluhur yang terus dijaga sehingga masyarakat masih
kental dengan urusan kejawenya. Seperti contoh di Desa Nanggungan setiap
tahun dilakukan pemandian pusaka. Kemudian dari sisi kebudayaan masih
dijaga seperti pertunjukan upacara Mantu Kucing dari Desa Purworejo,
pertunjukan Wayang Beber dari Kecamatan Donorojo, dan Upacara Adat
Mantu kucing di Desa Purworejo Kabupaten Pacitan60
Upacara mantu kucing ini ditradisikan di desa Purworejo Kabupaten
Pacitan dalam suatu kegiatan untuk meminta hujan kepada Tuhan pencipta
langit dan bumi. Upacara ini diadakan bila wilayah tersebut dilanda musim
kemarau yang berkepanjangan. Mantu kucing tiada ubahnya seperti orang
mengadakan upacara pernikahan dua anak manusia. Hanya khusus dalam
keperluan ini yang dinikahkan adalah dua ekor kucing dan tidak didudukkan
di kursi pelaminan melainkan di dalam tandu, namun demikian pengantin
juga dihias walaupun hanya dipakaikan mahkota dari janur kuning. Selain itu
kedua mempelai juga tidak mengucapkan ijab qobul sendiri melainkan
diwakili oleh masing-masing kepala desa dimana kucing yang dinikahkan
berasal.61
Menurut Penjelasan dari Bapak Edi Sukarni (Kabid Kebudayaan
Kabupaten Pacitan), melestarikan kebudayaan lokal sangatlah penting. Beliau
menganggap bahwa kebudayaan dan tradisi merupakan warisan dari nenek
moyang pada zaman dahulu, dimana di dalamnya mengandung nilai-nilai
luhur yang bermanfaat dan berguna di masa sekarang sehingga sangat perlu
dan penting untuk dilestarikan. Suatu Bangsa dapat berdiri kokoh apabila
mampu mempertahankan nilai-nilai luhurnya.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan
Kebudayaan, Pemerintah Kabupaten Pacitan bertanggung jawab dalam upaya
memberikan perlindungan agar budaya dan tradisi yang dimiliki oleh
Kabupaten Pacitan tidak hilang dan luntur seiring berkembangnya zaman,
memanfaatkan kebudayaan dan tradisi budaya lokal di Pacitan sebagai ucapan

60
Dio Dwi Aditya, Loc.Cit., hlm. 45
61
Trisna Sri Wardani dan Soebijantoro, Loc.Cit., hlm 75

50
rasa syukur dan mengadopsi nilai-nilai luhur yang terkadung di dalamnya
guna diterpakan dalam kehidupan bermasyarakat, memberikan perawatan,
dan melestarikan kebudayaan serta tradisi yang dimiliki oleh Kabupaten
Pacitan dengan memberikan bantuan dan fasilitas kepada daerah di
Kabupaten Pacitan yang memiliki kebudayaan lokal tersebut khususnya di
Kabupaten Pacitan.
Dalam upaya melestarikan kebudayaan dan tradisi di Kabupaten
Pacitan, beliau mengakui bahwa terdapat juga beberapa kendala yang terjadi.
Beberapa diantaranya adalah Persepsi masyarakat terhadap Kebudayaan
Lokal di Kabupaten Pacitan yang semakin lama semakin berubah serta
perbedaan pemahaman masyarakat terutama generasi muda yang
menganggap bahwa kebudayaan lokal itu bersifat kuno atau jadul dan lebih
tertarik kepada budaya-budaya barat yang lebih modern.

51

Anda mungkin juga menyukai