Anda di halaman 1dari 103

DAFTAR ISI

1. Pengukuran dan Pemetaan


1.1. Pendahuluan
1.2. Jenis Peta
1.3. Susunan peta
1.4. Jenis Pengukuran
1.5. Layanan Peta On Line
1.6. Pengukuran dan Pemetaan dalam Daur Pekerjaan Teknik Sipil

2. Kerangka Dasar Pemetaan


2.1. Kerangka Peta
2.1.1. Titik Pengikat dan Pemeriksa
2.1.2. Kerangka Dasar Horizontal
2.1.3. Kerangka Dasar Vertikal
2.2. Poligon Kerangka Dasar
2.2.1. Ketentuan Poligon Kerangka Dasar
2.2.2. Tata Cara Poligon Kerangka Dasar
2.3. Sipat Datar Kerangka Dasar
2.3.1. Ketentuan Sipat Dasar Kerangka Dasar
2.3.2. Tata Cara Sipat Dasar Kerangka Dasar
2.4. Urutan Kegiatan Penyelenggaraan Kerangka Dasar Pemetaan

3. Pengukuran untuk Pembuatan Peta


3.1. Pengukuran Pembuatan Peta Cara Offset
3.1.1. Kerangka Dasar Cara Offset
3.1.2. Pengukuran Detil Cara Offset
3.1.3. Kesalahan Pengukuran Cara Offset
3.1.4. Ketelitian Pemetaan Cara Offset
3.1.5. Pencatatan dan Penggambaran Cara Offset
3.2. Pengukuran untuk Pembuatan Peta Topografi Cara Tachymetri
3.2.1.Tata Cara Pengukuran Detil Cara Tachymetri Mengg. Theodolit Berkompas
3.2.2 Kesalahan Pengukuran Cara Tachymetri Dengan Theodolit Berkompas
3.2.3. Pengukuran Tachymetri Untuk Pembuatan Peta Topografi Cara Polar
3.2.4 Pengukuran Tachymetri Untuk Pemb. Peta Topografi Cara Poligon Kompas

4. Garis Kontur
4.1. Kontur
4.2. Interval Kontur dan Indeks Kontur
4.3. Sifat Garis Kontur
4.4. Kemiringan Tanah dan Kontur Gradient
4.5. Kegunaan Garis Kontur
4.6. Penentuan dan Pengukuran Titik Detil Untuk Pembuatan Garis Kontur
4.6.1. Pengukuran Tidak Langsung
4.6.2 Pengukuran Langsung
4.7 Interpolasi Garis Kontur

5. Proyeksi Peta
5.1. Pengertian Proyeksi Peta
5.2. Tujuan dan Cara Proyeksi Peta
5.3. Pembagian Sistem Proyeksi Peta
5.3.1. Pertimbangan Ekstrinsink
5.3.2. Pertimbangan Intrinsink
5.4. Peristilahan dalam Proyeksi Peta
5.5. Proyeksi Polyeder
5.5.1. Penerapan Proyeksi Polyeder di Indonesia
5.5.2. Keuntungan dan Kerugian Sistem Proyeksi Polyeder
5.6. Proyeksi Universal Transverse Mercator
5.6.1. Ukuran Lembar Peta dan Cara Menghitung Titik Sudut Lembar Peta UTM
5.6.2. Kebaikan Proyeksi UTM
5.7 Proyeksi TM-3

6. Pematokan Alinyemen Rute dan Penampang


6.1. Lengkung Sederhana Lingkaran
6.1.1. Peristilahan pada Geometri Lingkaran Sederhana
6.1.2. Pematokan dan Cara Pematokan
6.2. Lengkung Peralihan Spiral
6.2.1. Model Lengkung Peralihan Spiral
6.2.2 Pematokan Titik Pada Lengkung Peralihan Spiral Cara Defleksi
6.3. Lengkung Parabola
6.3.1. Persamaan Umum Parabola
6.3.2. Lengkung Vertikal Parabola
6.3.3. Pematokan Parabola Vertikal Simetri
6.4. Superelevasi Dan Pelebaran Pada Lengkungan
6.4.1. Superelevasi
6.4.2. Pelebaran
6.5. Penampang
6.5.1. Penampang Memanjang
6.5.2. Penampang Melintang
6.5.3. Penampang Melintang Baku

7. Pengukuran Jalan dan Pengairan


7.1 Pengukuran dan Pemetaan Jalan
7.2 Pengukuran dan Pemetaan Pengairan

8. Luas dan Volume


8.1. Luas
8.1.1. Bentuk Dasar Beraturan
8.1.2. Bentuk Bentukan dari Bentuk Dasar Beraturan
8.1.3. Bentuk Segi Banyak Cara Koordinat
8.1.4. Bentuk Luas Berdasarkan Typical Cross-Section
BAB 1
Pengukuran dan Pemetaan

1.1 Pendahuluan

Kita umumnya mengenal peta sebagai gambar rupa muka bumi pada suatu
lembar kertas dengan ukuran yang lebih kecil. Rupa bumi yang digambarkan
pada peta meliputi: unsur-unsur alamiah dan unsur-unsur buatan manusia.
Kemajuan dalam bidang teknologi yang berbasiskan komputer telah
memperluas wahana dan wawasan mengenai peta. Peta tidak hanya dikenali
sebagai gambar pada lembar kertas, tetapi juga penyimpanan, pengelolaan,
pengolahan, analisa dan penyajiannya dalam bentuk dijital terpadu antara
gambar, citra dan teks. Peta yang terkelola dalam mode dijital mempunyai
keuntungan penyajian dan penggunaan secara konvensional peta garis
cetakan (hard copy) dan keluwesan, kemudahan penyimpanan, pengelolaan,
pengolahan, analisa dan penyajiannya secara interaktif bahkan real time pada
media komputer (soft copy).

Rupa bumi diperoleh dengan melakukan pengukuran-pengukuran pada dan di


antara titik-titik di permukaan bumi yang meliputi besaran-besaran: arah,
sudut, jarak dan ketinggian. Bila data besaran-besaran itu diperoleh: (1)
dari pengukuran-pengukuran langsung di lapangan maka dikatakan pemetaan
(dilakukan) dengan cara teristris dan (2) sebagian dari pengukuran tidak
langsung seperti cara fotogrametris dan penginderaan jauh dikatakan sebagai
pemetaan cara ekstrateristris. Data hasil pengukuran diolah, dihitung dan
direduksi ke bidang datum sebelum diproyeksikan ke dalam bentuk bidang
datar menjadi peta.

Prinsip kerja pengukuran untuk pembuatan peta adalah top down from the
whole to the part, yaitu pertama membuat kerangka dasar peta yang
mencakup seluruh daerah pemetaan dengan ketelitian pengukuran paling
tinggi dibandingkan dengan pengukuran lainnya, kemudian dilanjutkan
dengan pengukuran-pengukuran lainnya yang diikatkan ke kerangka dasar
peta untuk mendapatkan bentuk rupa bumi yang diinginkan. Berdasarkan
konsep ini maka titik-titik pengukuran dikelompokkan menjadi titik-titik
kerangka dasar dan titik-titik detil. Titik kerangka dasar digunakan untuk
rujukan pengikatan (reference) dan pemeriksaan (control) pengukuran titik
detil.

Pemetaan pada daerah yang tidak luas - sekitar (20' x 20') atau setara
dengan (37 km x 37 km), permukaan bumi yang lengkung bisa dianggap
datar, sehingga data ukuran di muka bumi sama dengan data di permukaan
peta. Tetapi bila pemetaan mencakup kawasan yang lebih luas, maka harus
diperhitungkan faktor kelengkungan bumi, data harus "dipindahkan" ke
bidang datum dan selanjutnya "dipindahkan" ke bidang proyeksi peta.

Dalam daur pekerjaan teknik sipil, peta dan pengukuran digunakan mulai dari
rencana dan tahap pemeriksaan pendahuluan hingga pelaksanaan pekerjaan
selesai. Berbagai pengukuran dan pemetaan dengan berbagai ketelitian -
bersama-sama dengan data pendukung lainnya, dilakukan untuk mendukung
pemodelan, pelaksanaan dan pengambilan keputusan dalam proses pekerjaan
teknik sipil.

1.2 Jenis Peta

Peta bisa dijeniskan berdasarkan isi, skala, penurunan serta penggunaannya.

 Peta berdasarkan isinya:

Peta hidrografi: memuat informasi tentang kedalaman dan keadaan


dasar laut serta informasi lainnya yang diperlukan untuk navigasi
pelayaran.

Peta geologi: memuat informasi tentang keadaan geologis suatu


daerah, bahan-bahan pembentuk tanah dll. Peta geologi umumnya
juga menyajikan unsur peta topografi.

Peta kadaster: memuat informasi tentang kepemilikan tanah beserta


batas dll-nya.

Peta irigasi: memuat informasi tentang jaringan irigasi pada suatu


wilayah.

Peta jalan: memuat informasi tentang jejaring jalan pada suatu


wilayah

Peta Kota: memuat informasi tentang jejaring transportasi, drainase,


sarana kota dll-nya.

Peta Relief: memuat informasi tentang bentuk permukaan tanah dan


kondisinya.

Peta Teknis: memuat informasi umum tentang tentang keadaan


permukaan bumi yang mencakup kawasan tidak luas. Peta ini dibuat
untuk pekerjaan perencanaan teknis skala
1 : 10 000 atau lebih besar.

Peta Topografi: memuat informasi umum tentang keadaan


permukaan bumi beserta informasi ketinggiannya menggunkan garis
kontur. Peta topografi juga disebut sebagai peta dasar.

Peta Geografi: memuat informasi tentang ikhtisar peta, dibuat


berwarna dengan skala lebih kecil dari 1 : 100 000.

 Peta berdasarkan skalanya:

Peta skala besar: skala peta 1 : 10 000 atau lebih besar.

Peta skala sedang: skala peta 1 : 10 000 - 1 : 100 000.


Peta skala kecil: skala peta lebih kecil dari 1 : 100 000.

Peta tanpa skala kurang atau bahkan tidak berguna. Skala peta
menunjukkan ketelitian dan kelengkapan informasi yang tersaji dalam
peta. Peta skala besar lebih teliti dan lebih lengkap dibandingkan peta
skala kecil. Skala peta bisa dinyatakan dengan: persamaan (engineer's
scale), perbandingan atau skala numeris (numerical or fractional scale)
atau skala fraksi dan grafis (graphical scale).

 Peta berdasarkan penurunan dan penggunaan:

Peta dasar: digunakan untuk membuat peta turunan dan


perencanaan umum maupun pengembangan suatu wilayah. Peta dasar
umunya menggunakan peta topografi.

Peta tematik: dibuat atau diturunkan berdasarkan peta dasar dan


memuat tema-tema tertentu.

1.3 Susunan Peta

Peta merupakan media untuk menyimpan dan menyajikan informasi tentang


rupa bumi dengan penyajian pada skala tertentu. Bila kawasan yang
dipetakan tidak luas, maka kemungkinan peta daerah itu bisa disajikan dalam
satu lembar peta saja pada skala tertentu, Tetapi bila kawasan pemetaan luas
atau skala penyajian besar, maka diperlukan beberapa lembar peta untuk
meyajikannya. Pembagian lembar peta bisa dibuat berdasarkan cakupan
kawasan administratif, batas cakupan geografis atau efisiensi penyajian
jumlah lembar. Untuk memudahkan pengelolaan dan pencarian, dibuat indeks
peta dalam bentuk teks atau grafis.

Lembar peta berdasarkan batas geografis pada berbagai skala - pada peta
topografi misalnya, disusun dengan pembagian 4 turun berulang. Misal pada
skala 1 : 100 000 tersajikan dalam satu lembar, maka pada skala 1 : 50 000
akan tersajikan dalam 4 lembar peta yang masing-masing menempati
lembar-lembar kanan atas, kanan bawah, kiri bawah dan kiri atas. Pembagian
lembar seperti ini juga dikaitkan dengan sistem proyeksi peta yang digunakan
untuk menggambarkan peta. Lembar peta geologi lebih mengutamakan
pembagian lembar peta berdasarkan kawasan atau tema tertentu. Pada
Gambar 1.1 berikut ditunjukkan contoh indeks lembar peta geologi skala 1 :
100 000 daerah pulau Jawa.

Gambar unsur rupa bumi pada skala tertentu tidak selalu dapat disajikan
sesuai ukurannya karena terlalu kecil untuk digambarkan. Bila unsur itu
dianggap penting untuk disajikan, maka penyajiannya menggunakan simbol
gambar tertentu.

Supaya peta mudah dibaca dan dipahami, maka aneka ragam informasi peta
pada skala tertentu harus disajikan dengan cara-cara tertentu, yaitu:
 Simbol: digunakan untuk membedakan berbagai obyek, misalnya jalan,
sungai, rel dan lain-lainnya.
Daftar kumpulan simbol pada suatu peta disebut legenda peta.
 Warna: digunakan untuk membedakan atau memerincikan lebih jauh dari
simbol suatu obyek, misalnya laut yang lebih dalam diberi warna lebih gelap,
berbagai kelas jalan diberi warna yang berbeda-beda dll.

Kumpulan simbol dan notasi pada suatu peta biasa disusun dalam satu
kelompok legenda peta yang selalu disajikan dalam setiap lembar peta. Unsur
legenda peta biasa dibakukan agar memudahkan pembacaan dan interpretasi
berbagai peta oleh berbagai pemakai dengan berbagai keperluan.

Indeks Jawa dan Madura Skala 1 : 100 000

1. Ujungkulon 31. Salatiga


2. Cikarang 32. Kudus
3. Anyer 33. Pacitan
4. Leuwidamar 34. Ponorogo
5. Serang 35. Ngawi
6. Jampang & Balekambang 36. Rambang
7. Bogor 37. Tulungagung
8. Jakarta 38. Madiun
9. Kep. Seribu 39. Bojonegoro
10. Sindangbarang & Bandarbaru 40. Jatirogo
11. Cianjur 41. Blitar
12. Karawang 42. Kediri
13. Garut & Pameungpeuk 43. Mojokerto
14. Bandung 44. Tuban
15. Pamanukan 45. Turen
16. Karangnunggal 46. Malang
17. Tasikmalaya 47. Surabaya & Sapulu
18. Arjawinangun 48. Bawean & Masalembo
19. Indramayu 49. Lumajang
20. Pangandaran 50. Probolinggo
21. Mejenang 51. Tg. Bumi & Pamekasan
22. Cirebon 52. Jember
23. Banyumas 53. Besuki
24. Purwokerto & Tegal 54. Waru & Sumenep
25. Kebumen 55. Blambangan
26. Pekalongan & Banjarnegara 56. Banyuwangi
27. Yogyakarta 57. Situbondo
28. Semarang & Magelang
29. Karimunjawa 58. Kangean & Sapudi

30. Surakarta & Giritontro


Gambar 1.1 : Lembar Peta Geologi Sistematik Pulau Jawa Skala 1 : 100 000.
(Sumber Direktorat Geologi, Bandung, 2000)

Selain skala peta, arah orientasi peta harus tersajikan dalam suatu lembar
peta. Bergantung pada kedekatan lokasi kawasan peta terhadap kutub utara
atau selatan bumi, maka orientasi peta akan dibuat ke arah mendekati arah
kutub. Di Indonesia, arah orientasi peta adalah arah kutub utara atau arah
utara peta. Arah utara peta pada peta topografi dibuat sejajar dengan tepi
lembar peta, tetapi pada peta tematik tidak selalu demikian - boleh
menyerong terhadap tepi lembar peta asal tidak terbalik. Arah utara peta bisa
dinyatakan dalam arah utara geografis berdasarkan: (1) sistem proyeksi peta
(sistem umum berlaku nasional), atau
(2) arah utara geografis berdasarkan satu titik sistem kerangka dasar
tertentu (sistem lokal), atau (3) arah utara magnet berdasarkan satu titik
sistem kerangka dasar tertentu (sistem lokal). Dalam sistem proyeksi peta
tertentu, arah utara peta menujukkan arah utara geografi yang melalui titik
awal (nol) sistem proyeksi peta. Arah utara peta di daerah sekitar ekuator
atau belahan utara bumi umumnya merupakan arah utara geografis.

1.4 Jenis Pengukuran

Pengukuran untuk pembuatan peta bisa dikelompokkan berdasarkan cakupan


elemen alam, tujuan, cara atau alat dan luas cakupan pengukuran.

 Berdasarkan alam:

Pengukuran daratan (land surveying): antara lain


pengukuran topografi, untuk pembuatan peta topografi, dan
pengukuran kadaster, untuk membuat peta kadaster.
Pengukuran perairan (marine or hydrographic surveying): antara
lainpengukuran muka dasar laut, pengukuran pasang surut,
pengukuran untuk pembuatan pelabuhan dll-nya.

Pengukuran astronomi (astronomical survey): untuk menentukan


posisi di muka bumi dengan melakukan pengukuran-pengukuran
terhadap benda langit.

 Berdasarkan tujuan:

Pengukuran teknik sipil (engineering survey): untuk memperoleh


data dan peta pada pekerjaan-pekerjaan teknik sipil.

Pengukuran untuk keperluan militer (miltary survey).

Pengukuran tambang (mining survey).

Pengukuran geologi (geological survey).

Pengukuran arkeologi (archeological survey).

 Berdasarkan cara dan alat:

a. Pengukuran triangulasi,

b. Pengukuran trilaterasi,

c. Pengukuran polygon,

d. Pengukuran offset,

e. Pengukuran tachymetri,

f. Pengukuran meja lapangan,

g. Aerial survey,

h. Remote Sensing, dan

i. GPS.

a, b, c dan i untuk pengukuran kerangka dasar, d, e, f, g dan h untuk


pengukuran detil.

 Berdasarkan luas cakupan daerah pengukuran:

Pengukuran tanah (plane surveying) atau ilmu ukur tanah dengan


cakupan pengukuran
37 km x 37 km. Rupa muka bumi bisa dianggap sebagai bidang datar.
Pengukuran geodesi (geodetic surveying) dengan cakupan yang
luas. Rupa muka bumi merupakan permukaan lengkung.

1.5 Layanan Peta On Line

Bila sejak pertengahan 1980-an ditandai dengan semakin banyaknya program


aplikasi peta dijital, maka sepuluh tahun kemudian - dengan berkembang
majunya teknologi internet, pada pertengahan 1990-an juga mulai
dikembangkan peta "on line" pada jejaring internet. Bila pada akhir dekade
1980-an peta dijital bisa digunakan sendiri atau bersama-sama dalam
jaringan yang terbatas, maka pada akhir 1990-an upaya pengembangan peta
dijital untuk pemakaian bersama dalam jaringan global on-line semakin nyata
seiring dengan maju kerkembangnya teknologi internet.

Organisasi penyaji peta di Indonesia pada awal tahun 2000 ini seperti
Bakosurtanal, Direktorat Geologi Bandung dan Meneg Pekerjaan Umum,
selain layanan peta konvensional juga sudah memproduksi peta-peta dijital
yang bisa dipesan lewat homepage masing-masing. Alamat situs organisasi
ini dan layanannya adalah:

Tabel 1.1: Organisasi penyedia layanan pengukuran, peta dan pemetaan.

No. Lembaga Homepage Layanan Peta

1. BAKOSURTANAL http://www.bakosurtanal.go.id Peta dasar rupa bumi

2. Dir. Geologi Bandung http://www.grdc.dpe.go.id Peta geologi

3. Meneg PU http://www.pu.go.id Peta tematik ke-PU-an

Peta geologi yang diterbitkan oleh Dir. Geologi Bandung umumnya


merupakan peta topografi yang disajikan bersama-sama dengan tema geologi
Indonesia.

1.6 Pengukuran dan Pemetaan dalam Daur Pekerjaan Teknik Sipil

Bangunan-bangunan teknik sipil bukanlah sistem yang mati. Jaringan jalan


misalnya, merupakan sistem yang mempunyai daur hidup, yaitu mempunyai
umur rencana dengan anggapan-anggapan tertentu, misalnya volume lalu-
lintas yang selalu berubah dari waktu ke waktu. Urutan daur pengembangan
sebetulnya tidak harus berupa langkah deskrit dari awal terus selesai, tetapi
lebih menyerupai proses yang melingkar dan mungkin meloncat.
Gambar 1.2: Daur pekerjaan teknik sipil dan hubungannya dengan
pengukuran
dan pemetaan. (Dikembangkan dari Sossrodrasono, hal. 246).

Dalam daur pekerjaan teknik sipil ini terlihat bahwa pengukuran dan
pemetaan terlibat dari awal perencanaan hingga selesainya pelaksanaan
pekerjaan. Pengukuran dan pemetaan khusus suatu pekerjaan baru dilakukan
pada tahapan perencanaan pendahuluan dan seterusnya hingga pembuatan
as bulid drawing pelaksanaan pekerjaan.

Pada tahapan pemeriksaan pendahuluan, rencana pokok dan rencana kasaran


hanyalah menggunakan data, gambar dan peta-peta yang sudah tersedia.
Setelah itu, dari rencana pendahuluan hingga pelaksanaan pekerjaan harus
dilakukan pengukuran dan pemetaan khusus. Dari diagram ini terlihat aneka
pengukuran dan pemetaan digunakan dalam daur pekrjaan teknik sipil
sebagai alat bantu: pemodelan dalam perencanaan dan perancangan
(planning and design), dalam pelaksanaan pekerjaan, dan pengambilan
keputusan.

Dalam khasanah perpetaan di Indonesia, peta dasar yang digunakan untuk


perencanaan pengembangan suatu wilayah dan pembuatan peta turuanan
adalah peta rupabumi (topografi) yang dibuat oleh BAKOSURTANAL. Untuk
wilayah kabupaten disediakan peta dasar skala
1 : 50 000 dan skala 1 : 25 000 untuk wilayah kota madya. Menggunakan
peta dasar: (1) dirancang dan dibuat peta turunan skala sama atau lebih kecil
dan (2) direncanakan dan dirancang pengukuran dan pembuatan peta
topografi dan peta turunan skala lebih besar.

Pertanyaan dan Soal Latihan

1. Bila bumi dianggap berbentuk bola dengan jejari 6 378 km, hitung
perbedaan panjang lengkung dan panjang lurus pada kawasan pengukuran
(20' x 20').

2. Jelaskan dan berikan beberapa contoh peta sebagai alat bantu pemodelan
dan pengambilan keputusan dalam pekerjaan rekayasa sipil.

3. Peta A skala 1 : 25 000, peta B skala 1 : 5 000 dan peta C skala 1 : 100
000.
Ukuran lembar peta A dan B sama.
a. Hitung perbandingan panjang satu satuan jarak peta di A dan B.
b. Hitung perbandingan luas satu satuan luas peta di A dan B.
c. Hitung jumlah lembar peta A bila dibuat dan digambar pada skala peta B.
d. Hitung unsur rupabumi terkecil yang bisa digambarkan bila kemampuan
gambar 0,5 mm.
e. Hitung kesalahan taksir jarak bila taksiran pembacaan jarak pada peta 0.1
mm.
f. Peta ..... disebut peta skala BESAR. karena .............. teliti dan ................
informasi.
g. Peta ..... disebut peta skala SEDANG karena .............. teliti
dan ................ informasi.
h. Peta ..... disebut peta skala KECIL karena .............. teliti dan ................
informasi.

4. Untuk pembuatan peta jalan skala 1 : 100 000 yang menunjukkan: (1)
jalan-jalan negara dan jalan penting lainnya, (2) lokasi rawan macet, dan (3)
lokasi rawan banjir di sekitar kotamadya Surakarta dan sekitarnya (Kodya
Surakarta dan sebagian pinggir Kab. Boyolali, Karanganyar dan Sukoharjo
yang bersisian dengan Kodya Surakarta):
a. Tentukan peta dasar yang akan digunakan.
b. Identifikasikan unsur-unsur rupabumi alamiah dan buatan manusia yang
perlu disajikan.

5. Untuk pembangunan kembali Pasar Gede Surakarta yang terbakar akan


dibuat gambar rancangan tapak bangunan skala 1 : 500. Identifikasikan
unsur-unsur rupabumi alamiah dan buatan manusia yang perlu diukur untuk
disajikan dalam pembuatan peta topografi skala
1 : 500 sebagai peta dasar.

Perhatian:
Soal 3b dan 4 merupakan soal tipe kajian dalam, pelajari lagi atau tanyakan dengan
dosen mata kuliah yang bersangkutan. Perhatikan ukuran-ukuran unsur yang bisa
disajikan dan atau perlu disajikan.

Rangkuman

Pengukuran dan pemetaan dengan berbagai produknya, merupakan alat bantu


dalam pemodelan, pelaksanaan dan pengambilan keputusan dalam pekerjaan teknik
sipil, dari pemeriksaan pendahuluan hingga selesainya pelaksanaan pekerjaan. Para
pembaca disarankan untuk menelusur lebih lanjut ke BAKOSURTANAL, Dir. Geologi
Bandung untuk mendapatkan informasi perpetaan di Indonesia dan ke ESRI untuk
melihat konsep lebih lanjut mengenai peta dijital dan terapannya di bidang teknik
sipil.

Daftar Pustaka

1. Purworhardjo, U.U., (1986), Ilmu Ukur Tanah Seri C - Pengukuran Topografi,


Jurusan Teknik Geodesi ITB, Bandung, Bab 1.
2. Sosrodarsono, S. dan Takasaki, M. (Editor), (1983), Pengukuran Topografi
dan Teknik Pemetaan, PT Pradnya Paramita, Jakarta, Bab 1 dan 7.
3. BAKOSURTANAL, http://www.bakosurtanal.go.id
4. Direktorat Geologi Bandung, http://www.grdc.dpe.go.id
5. Departemen PU (eks), http://www.pu.go.id
6. ESRI - GIS Vendor, http://www.esri.com

BAB 2
Kerangka Dasar Pemetaan
Kerangka dasar pemetaan untuk pekerjaan rekayasa sipil pada kawasan yang tidak
luas, sehingga bumi masih bisa dianggap sebagai bidang datar, umumnya
merupakan bagian pekerjaan pengukuran dan pemetaan dari satu kesatuan paket
pekerjaan perencanaan dan atau perancangan bangunan teknik sipil. Titik-titik
kerangka dasar pemetaan yang akan ditentukan lebih dahulu koordinat dan
ketinggiannya itu dibuat tersebar merata dengan kerapatan teretentu, permanen,
mudah dikenali dan didokumentasikan secara baik sehingga memudahkan
penggunaan selanjutnya.

Titik-titik ikat dan pemeriksaan ukuran untuk pembuatan kerangka dasar pemetaan
pada pekerjaan rekayasa sipil adalah titik-titik kerangka dasar pemetaan nasional
yang sekarang ini menjadi tugas dan wewenang BAKOSURTANAL. Pada tempat-
tempat yang belum tersedia titik-titik kerangka dasar pemetaan nasional, koordinat
dan ketinggian titik-titik kerangka dasar pemetaan ditentukan menggunakan sistem
lokal.

Pembuatan titik-titik kerangka dasar pemetaan nasional direncanakan dan dirancang


berjenjang berdasarkan cakupan terluas dan terteliti turun berulang memeperbanyak
atau merapatkannya pada sub-sub cakupan kawasan dengan ketelitian lebih rendah.

Bahasan kerangka dasar pemetaan berikut lebih mengutamakan teknik dan cara
pengukuran titik kerangka dasar pemetaan teristris, utamanya cara polygon dan
sipat datar.

2.1 Kerangka Peta

2.1.1 Titik Pengikat dan Pemeriksa

Titik pengikat (reference point) adalah titik dan atau titik-titik yang diketahui
posisi horizontal dan atau ketinggiannya dan digunakan sebagai rujukan atau
pengikatan untuk penentuan posisi titik yang lainnya. Dengan mengetahui
arah, sudut, jarak dan atau beda tinggi suatu titik terhadap titik pengikat,
maka dapat ditentukan koordinat dan atau ketinggian titik bersangkutan.

Titik pemeriksa (control point) adalah titik atau titik-titik yang diketahui posisi
horizontal dan atau ketinggiannya yang digunakan sebagai pemeriksa hasil
ukuran-ukuran yang dimulai dari suatu titik pemeriksa dan diakhiri pada titik
pemeriksa yang sama atau titik pemeriksa yang lain. Dengan demikian titik
pengikat juga bisa berfungsi sebagai titik pemeriksa.

Kedua pengertian tentang titik pengikat dan titik pemeriksa ini mensyaratkan
adanya sistem posisi horizontal dan atau ketinggian yang sama dan dengan
tingkat ketelitian yang sama pula pada titik pengikatan dan pemeriksa yang
digunakan pada suatu pengukuran. Selain itu juga perlu diperhatikan bahwa
ketelitian posisi titik pemeriksa harus lebih tinggi dibandingkan dengan
ketelitian pengukuran.

Lazim dilakukan dalam suatu sistem pengukuran dan pemetaan, titik pengikat
dan pemeriksa dibuat dan diukur berjenjang turun semakin rapat dari yang
paling teliti hingga ke yang paling kasar ketelitiannya. Sudah tentu titik
pengikat dan pemeriksa yang lebih rendah ketelitiannya diikatkan dan
diperiksa hasil pengukurannya ke titik pengikat dan pemeriksa yang lebih
tinggi ketelitiannya.

Titik-titik pengikat dan pemeriksa yang digunakan untuk pembuatan peta


disebut sebagai titik-titik kerangka dasar pemetaan.

Pembuatan titik-titik kerangka dasar pemetaan sebagai titik ikat dan


pemeriksaan di Indonesaia dimulai oleh Belanda dengan membuat titik-titik
triangulasi dan tinggi teliti.

2.1.2 Kerangka Dasar Horizontal

Kerangka dasar horizontal merupakan kumpulan titik-titik yang telah


diketahui atau ditentukan posisi horizontalnya berupa koordinat pada bidang
datar (X,Y) dalam sistem proyeksi tertentu. Bila dilakukan dengan cara
teristris, pengadaan kerangka horizontal bisa dilakukan menggunakan cara
triangulasi, trilaterasi atau poligon. Pemilihan cara dipengaruhi oleh bentuk
medan lapangan dan ketelitian yang dikehendaki.

Titik Triangulasi:

Pengadaan kerangka dasar horizontal di Indonesia dimulai di pulau Jawa oleh


Belanda pada tahun 1862. Titik-titik kerangka dasar horizontal buatan
Belanda ini dikenal sebagai titik triangulasi, karena pengukurannya
menggunakan cara triangulasi. Hingga tahun 1936, pengadaan titik
triangulasi oleh Belanda ini telah mencakup: pulau Jawa dengan datum
Gunung Genuk, pantai Barat Sumatra dengan datum Padang, Sumatra
Selatan dengan datum Gunung Dempo, pantai Timur Sumatra dengan datum
Serati, kepulauan Sunda Kecil, Bali dan Lombik dengan datum Gunung
Genuk, pulau Bangka dengan datum Gunung Limpuh, Sulawesi dengan datum
Moncong Lowe, kepulauan Riau dan Lingga dengan datum Gunung Limpuh
dan Kalimantan Tenggara dengan datum Gunung Segara. Posisi horizontal
(X,Y) titik triangulasi dibuat dalam sistem proyeksi Mercator, sedangkan
posisi horizontal peta topografi yang dibuat dengan ikatan dan pemeriksaan
ke titik triangulasi dibuat dalam sistem proyeksi Polyeder.

Titikk triangulasi buatan Belanda tersebut dibuat berjenjang turun berulang,


dari cakupan luas paling teliti dengan jarak antar titik 20 - 40 km hingga
paling kasar pada cakupan 1 - 3 km.

Tabel 2.1: Ketelitian posisi horizontral (X,Y) titik triangulasi.


Titik Jarak Ketelitian Metoda

P 20 - 40 km ± 0.07 m Triangulasi

S 10 - 20 km ± 0.53 m Triangulasi

T 3 - 10 km ± 3.30 m Mengikat

K 1 - 3 km - Polygon

Selain posisi horizontal (X,Y) dalam sistem proyeksi Mercator, titik-titik


triangulasi ini juga dilengkapi dengan informasi posisinya dalam sistem
geografis (j ,l ) dan ketinggiannya terhadap muka air laut rata-rata yang
ditentukan dengan cara trigonometris.

Pengunaan datum yang berlainan berakibat koordinat titik yang sama


menjadi berlainan bila dihitung dengan datum yang berlainan itu. Maka mulai
tahun 1974 mulai diupayakan satu datum nasional untuk pengukuran dan
pemetaan dalam satu sistem nasional yang terpadu oleh BAKOSURTANAL.

Jaring Kerangka Geodesi Nasional (JKGN)

Upaya pemaduan titik kerangka horizontal nasional oleh BAKOSURTANAL


dimulai tahun 1974 dengan menetapkan datum Padang sebagai Datum
Indonesia 1974 yang disingkat DI '74. Datum ini merupakan datum geodesi
relatif yang diwujudkan dalam bentuk titik Doppler sebagai titik rujukan
(ikatan) dan pemeriksaan (kontrol) dalam survai dan pemetaan di Indonesia.
Posisi pada bidang datar (X,Y) titik kerangka dan peta berdasarkan datum ini
menggunakan sistem proyeksi peta UTM (Universal Traverse Mercator).

Dalam pelaksanaannya jaring kontrol geodesi yang dengan menggunakan


cara doppler ini sudah merupakan satu kesatuan sistem, tetapi belum
homogen dalam ketelitian karena adanya perbedaan-perbedaan dalam cara
pengukuran maupun penghitungannya. Meski demikian ketelitian titik-titik
doppler ini memadai untuk pemetaan rupabumi skala 1 : 50 000.

Mulai tahun 1992, BAKOSURTANAL berhasil mewujudkan Jaring Kontrol


Geodesi (Horizontal) Nasional yang mencakup seluruh wilayah Indonesia,
berkesinambungan secara geometris, satu datum dan homogin dalam
ketelitian. Pengadaan JKG(H)N ini menggunakan teknologi Global Positioning
System (GPS).dan datum yang digunakan mengacu pada sistem ellipsoid
referensi WGS84. Ketelitian relatif jarak basis antar titik-titik JKG(H)N Orde 0
(nol) mencapai fraksi 1x10-7 hingga 1x10-8 ppm, dengan simpangan baku
dalam fraksi sentimeter. JKGN Orde 0 meliputi 60 titik/stasion.
Jejaring JKG(H)N Orde 0 diperapat dengan cara serupa dan disebut JKG(H)N
Orde 1 yang ditempatkan di setiap kabupaten dan mudah pencapaiannya.
Ketelitian relatif jarak basis antar titik-titik JKG(H)N Orde 1 ini mencapai
fraksi 2x10-6 hingga 1x10-7 ppm, dengan simpangan baku < 10 cm.

Penempatan JKG(H)N Orde 0 dan 1 ini juga menempati berberapa titik yang
telah diketahui posisi sebelumnya pada berbagai sistem datum. Dengan
demikian bisa ditentukan pula hubungan WGS84 terhadap datum yang ada.
Tahun 1996 BAKOSURTANAL menetapkan wilayah Republik Indonesia sebagai
satu kesatuan wilayah kegiatan survai dan pemetaan menggunakan Datum
Geodesi Nasional 1995 disingkat DGN-95 dan posisi pada bidang datar
berdasarkan sistem proyeksi peta UTM.

Jaring Kerangka Geodesi Nasional Orde 2 dan 3 (BPN)

Badan Pertanahan Nasional (BPN) mulai tahun 1996 menetapkan penggunaan


DGN-95 sebagai datum rujukan pengukuran dan pemetaan di lingkungan BPN
dengan pewujudannya berupa pengadaan Jaring Kontrol Geodesi Nasional
Orde 2, Orde 3 dan Orde 4.

Kerapatan titik-titik JKGN Orde 2 ± 10 km dan ± 1 - 2 km untuk JKGN orde


3. Kedua kelas JKGN BPN ini diukur dengan menggunakan teknik GPS,
diikatkan dan diperiksa hasil ukurannya ke titik-titik JKGN Bakosurtanal Orde
0 dan 1. Posisi horizontal (X,Y) JKGN BPN dalam bidang datar dinyatakan
dalam sistem proyeksi peta TM-3, yaitu sistem proyeksi transverse mercator
dengan lebar zone 3. Khusus untuk JKGN BPN Orde 4, dengan kerapatan
hingga 150 m, pengukurannya dilakukan dengan cara poligon yang terikat
dan terperiksa pada JKGN BPN Orde 3 serta hitungan perataannya
menggunakan cara Bowditch.

2.1.3 Kerangka Dasar Vertikal

Kerangka dasar vertikal merupakan kumpulan titik-titik yang telah diketahui


atau ditentukan posisi vertikalnya berupa ketinggiannya terhadap bidang
rujukan ketinggian tertentu. Bidang ketinggian rujukan ini bisa berupa
ketinggian muka air laut rata-rata (mean sea level - MSL) atau ditentukan
lokal. Umumnya titik kerangka dasar vertikal dibuat menyatu pada satu pilar
dengan titik kerangka dasar horizontal.

Pengadaan jaring kerangka dasar vertikal dimulai oleh Belanda dengan


menetapkan MSL di beberapa tempat dan diteruskan dengan pengukuran
sipat datar teliti. Bakosurtanal, mulai akhir tahun 1970-an memulai upaya
penyatuan sistem tinggi nasional dengan melakukan pengukuran sipat datar
teliti yang melewati titik-titik kerangka dasar yang telah ada maupun
pembuatan titik-titik baru pada kerapatan tertentu. Jejaring titik kerangka
dasar vertikal ini disebut sebagai Titik Tinggi Geodesi (TTG).

Hingga saat ini, pengukuran beda tinggi sipat datar masih merupakan cara
pengukuran beda tinggi yang paling teliti. Sehingga ketelitian kerangka dasar
vertikal (K) dinyatakan sebagai batas harga terbesar perbedaan tinggi hasil
pengukuran sipat datar pergi dan pulang. Pada Tabel 2.2 ditunjukkan contoh
ketentuan ketelitian sipat teliti untuk pengadaan kerangka dasar vertikal.
Untuk keperluan pengikatan ketinggian, bila pada suatu wilayah tidak
ditemukan TTG, maka bisa menggunakan ketinggian titik triangulasi sebagai
ikatan yang mendekati harga ketinggian teliti terhadap MSL.

Tabel 2.2 Tingkat ketelitian pengukuran sipat datar.

Tingkat / Orde K

I ± 3 mm

II ± 6 mm

III ± 8 mm

2.2 Polygon Kerangka Dasar

Cara pengukuran polygon merupakan cara yang umum dilakukan untuk


pengadaan kerangka dasar pemetaan pada daerah yang tidak terlalu luas -
sekitar (20 km x 20km). Berbagai bentuk polygon mudah dibentuk untuk
menyesuaikan dengan berbagai bentuk medan pemetaan dan keberadaan
titik-titik rujukan maupun pemeriksa.

2.2.1 Ketentuan Poligon Kerangka Dasar

Tingkat ketelitian, sistem koordinat yang diinginkan dan keadaan medan


lapangan pengukuran merupakan faktor-faktor yang menentukan dalam
menyusun ketentuan poligon kerangka dasar. Tingkat ketelitian umum
dikaitkan dengan jenis dan atau tahapan pekerjaan yang sedang dilakukan.
Sistem koordinat dikaitkan dengan keperluan pengukuran pengikatan. Medan
lapangan pengukuran menentukan bentuk konstruksi pilar atau patok sebagai
penanda titik di lapangan dan juga berkaitan dengan jarak selang
penempatan titik.

Contoh 2.1

Pada pekerjaan perancangan rinci (detailed design) peingkatan jalan


sepanjang 20 km di sekitar daerah padat hunian diperlukan:

a. Peta topografi skala 1 : 1 000,

b. Sistem koordinat nasional (umum),

c. BM dipasang setiap 2 km, dan


d. Salah penutup koordinat 1 : 10 000.

Berdasarkan keperluan peta ini, bila pemetaan dilakukan secara teristris,


diturunkan ketentuan poligon kerangka dasar:

 Alat ukur sudut yang digunakan dengan ketelitian satu sekon, dan sudut
diukur dalam
4 seri pengukuran.
 Alat ukur pengamatan matahari untuk menentukan jurusan awal dan jurusan
akhir.
 Jarak antar titik polygon 0.1 - 2 km dan ketelitian alat ukur jarak 10 ppm.
 Salah penutup sudut polygon = 10" Ö N, dengan N = jumlah titik poligon.
 Salah penutup koordinat 1 : 10 000:
Bila fx adalah salah penutup absis, fy adalah salah penutup ordinat dan D
adalah total jarak sisi-sisi poligon, maka salah penutup koordinat:
S = {(fx2 + fy2)/D}1/2 harus £ 1 : 10 000.
 Bakuan BM: ukuran, bahan, notasi.

2.2.2 Tata Cara Poligon Kerangka Dasar

Tata cara poligon kerangka dasar disusun berdasarkan ketentuan poligon


yang memenuhi kebutuhan pemetaan yang diperlukan. Secara umum, tata
cara meliputi: oragnisasi pelaksanaan secara umum, perlatan, pengukuran
dan pencatatan, hitungan perataan dan pelaporan.

Kasus:
Berdasarkan ketentuan poligon pada Contoh 2.1 di atas.

Gambar 2.1: Poligon terbuka terikat di ujung dan akhir untuk pembuatan
kerangka peta.

1. Diperlukan titik ikat dan pemeriksa di awal dan akhir lokasi pekerjaan:
a. Telah terdapat kedua titik ikat/pemeriksa: diperlukan pengamatan
azimuth,

b. Belum terdapat kedua titik: pengamatan (j , l ) dan posisinya dalam


sistem umum dan
serta pengamatan azimuth.

2. Pembuatan, pemasangan dan dokumentasi BM.

3. Penyiapan alat hingga siap untuk pengukuran dan tidak mengandung salah
sistematis.

4. Pengukuran yang menghilangkan atau meminimalkan pengaruh semua


kesalahan dan
dicapai ketelitian yang diinginkan.

5. Perekaman bersistem menggunakan media konvensioanal ataupun dijital.

6. Hitungan dan perataan koordinat cara BOWDITCH:

fa = (a AKHIR – a AWAL) - å b I + n ´ 180° dan fa £ ± 10" Ö N


fX = (XAKHIR – XAWAL) – å dI sin a I
fY = (YAKHIR – YAWAL) – å dI cos a I dan (fX2 + fY2) / å dI £ 1 : 10 000
d XI = (dI / S dI) ´ fX dan X2 = X1 + D X12 + d X12
d Y = (dI / S dI) ´ fY dan Y2 = Y1 + D Y12 + d Y12

7. Pelaporan dan penysunan daftar koordinat.

Sistem umum atau nasional adalah sistem yang berlaku secara nasional
menggunakan bidang datum dan sistem proyeksi peta yang berlaku umum
secara nasional.

Posisi (j ,l ) bisa diperoleh dengan cara pengamatan astronomis atau cara


GPS (global positioning systems) melalui pengamatan satelit.

2.3 Sipat Datar Kerangka Dasar

Pengukuran beda tinggi cara sipat datar mudah dilaksanakan pada daerah
relatif datar dan terbuka. Pada daerah pegunungan, terjal atau tertutup
berakibat jarak pandang yang semakin pendek. Jumlah pengamatan pada
selang pengukuran yang sama bertambah, sehingga memperbesar
kemungkinan dan besaran kesalahan atau mengurangi ketelitian. Bila titik
poligon sebagai titik kerangka horizontal juga merupakan titik tinggi kerangka
vertikal, maka penempatannya harus memungkinkan pelaksanaan
pengukuran sipat datar.

2.2.1 Ketentuan Sipat Datar Kerangka Dasar

Tingkat ketelitian ukuran beda tinggi sipat datar untuk kerangka dasar
pemetaan ditentukan oleh tahapan dan jenis pekerjaan. Ketelitian tinggi pada
perencanaan dan perancangan jalan secara umum tidak perlu seteliti untuk
pekerjaan pengairan. Keberadaan titik ikatan di lokasi berpengaruh pada
volume pekerjaan pengikatan.

Contoh:

Bila pada Contoh 2.1 di atas, titik-titik KDH yang dipasang juga merupakan
titik-titik KDV, maka diperlukan, misalnya:

a. Sistem tinggi menggunakan sistem nasional, dan

b. Kesalahan beda tinggi terbesar ± 6 Ö Dkm mm.

Berdasarkan keperluan ketelitian tinggi ini, diturunkan ketentuan sipat datar


kerangka dasar:

 Alat ukur sipat datar yang digunakan mampu untuk membaca sampai ke
fraksi mm, pengukuran beda tinggi dilakukan pergi pulang dan masing-
masing pengukuran dilakukan dua kali.
 Jarak alat ke rambu ukur 10 – 60 m.
 Salah penutup beda tinggi antar BM dan pengukuran kurang atau sama
dengan ± 6 Ö Dkm

2.2.2 Tata Cara Sipat Datar Kerangka Dasar

Tata cara sipat datar kerangka dasar harus sepadan dengan persayaratan
dalam ketentuan sipat datar yang memenuhi kebutuhan penentuan
ketinggian dalam sistem tinggi yang diinginkan. Tata caranya meliputi:
oragnisasi pelaksanaan secara umum, perlatan, pengukuran dan pencatatan,
hitungan perataan dan pelaporan.

Kasus:
Berdasarkan bentuk KDH pada Contoh 2.1 di atas.

1. Diperlukan titik ikat dan pemeriksa serta pengikatan di awal dan akhir
lokasi pekerjaan.

2. Penyiapan alat hingga siap untuk pengukuran dan tidak mengandung salah
sistematis.

3. Pengukuran yang menghilangkan atau meminimalkan pengaruh semua


kesalahan dan
dicapai ketelitian yang diinginkan.

5. Perekaman bersistem menggunakan media konvensioanal ataupun dijital.

6. Hitungan dan perataan beda tinggi:

fH = (HAKHIR – XAWAL) – å D H dan fH kurang dari ± 6 Ö Dkm


d H = (1 / n) ´ f H dan H2 = H1 + D H12 + d H12 dengan jarak ukur
seragam.
7. Pelaporan dan penysunan daftar koordinat.

2.3 Urutan Kegiatan Penyelenggaraan Kerangka Dasar Pemetaan

Urutan pekerjaan pengadaan kerangka dasar pemetaan secara umum:

 Peninjauan lapangan:

Pengumpulan informasi keadaaan lapangan seperti titik-titik yang


sudah ada, medan dan kesampaian lapangan, administrasi teknis dan
non-teknis seperti perijinan dan lain-lainnya.

 Perencanaan:
Bab 3
Pengukuran untuk Pembuatan Peta

Pengukuran untuk pembuatan peta juga biasa disebut pengukuran topografi, atau
pengukuran situasi, atau pengukuran detil, dilakukan untuk dapat menggambarkan
unsur-unsur: alam, buatan manusia dan bentuk permukaan tanah dengan sistem
dan cara tertentu. Di antara beberapa cara yang dibahas berikut adalah cara offset
dan tachymetry.

3.1 Pengukuran Pembuatan Peta Cara Offset

Pengukuran untuk pembuatan peta cara offset menggunakan alat utama pita
ukur, sehingga cara ini juga biasa disebut cara rantai (chain surveying). Alat
bantu lainnya adalah: (1) alat pembuat sudut siku cermin sudut dan prisma,
(2). jalon, dan (3) pen ukur.

Dari jenis peralatan yang digunakan ini, cara offset biasa digunakan untuk
daerah yang relatif datar dan tidak luas, sehingga kerangka dasar untuk
pemetaanya-pun juga dibuat dengan cara offset. Peta yang diperoleh dengan
cara offset tidak akan menyajikan informasi ketinggian rupa bumi yang
dipetakan.

Cara pengukuran titik detil dengan cara offset ada tiga cara: (1) Cara siku-
siku (cara garis tegak lurus ), (2) Cara mengikat (cara interpolasi), dan (3)
Cara gabungan keduanya.

Dalam bahasan berikut lebih mengutamakan pembahasan teknik cara offset,


sedangkan hal teknik pembuatan garis tegak lurus, perpanjangan garis dan
penggunaan prisma yang sudah diuraikan di bab sebelumnya tidak dibahas
lagi.

3.1.1 Kerangka Dasar Cara Offset

Kerangka dasar pemetaan harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga


setiap garis ukur yang terbentuk dapat digunakan untuk mengukur titik detil
sebanyak mungkin. Garis ukur adalah garis lurus yang menghubungkan dua
titik kerangka dasar. Jadi garis ukur berfungsi sebagai "garis dasar" untuk
pengikatan ukuran offset.

Kerangka dasar cara offset cara siku-siku:

Setiap garis ukur dibuat saling tegak lurus.


Gambar 3.1: Kerangka dasar cara offset cara siku-siku.

Titik-titik A, B, C dan D adalah titik kerangka dasar yang telah dipasang.

Andai akan digunakan garis AC sebagai garis ukur, maka dibuat garis ukur
BB' dan DD' tegak lurus garis ukur AC. Ukur jarak AC, AD', D'D, D'B', B'B dan
B'C. Sebagai kontrol, bila memungkinkan, diukur pula jarak AD, DC, CB dan
BA.

Kerangka dasar cara offset cara mengikat:

Setiap garis ukur diikatkan pada salah satu garis ukur.

Gambar 3.2: Kerangka dasar cara offset cara mengikat

Titik-titik A, B, C dan D adalah titik kerangka dasar yang telah dipasang.

Bila akan digunakan garis AC sebagai garis ukur, maka ditentukan sembarang
titik-titik D', D", B' dan B" pada garis ukur AC. Ukur jarak AC, AD', D'D", D'B',
B'B", B"C, D'D, D"D, B'B dan B"B. Sebagai kontrol, bila memungkinkan,
diukur pula jarak AD, DC, CB dan BA.

Kerangka dasar cara offset cara segitiga:

Titik A, B, C dan D adalah titik kerangka dasar yang telah dipasang seperti
ditunjukkan pada Gambar 3.2. Ukur jarak-jarak AB, BC, CD, DA dan AC yang
merupakan sisi-sisi segitiga ABC dan ADC sebagai garis ukur.

Karena garis ukur dibuat dengan membentuk segitiga-segitiga, maka cara ini
juga disebut cara trilaterasi.
3.1.2 Pengukuran Detil Cara Offset

Pengukuran detil cara offset cara ciku-siku:

Setiap titik detil diproyeksikan siku-siku terhadap garis ukur dan diukur
jaraknya.

Gambar 3.3: Pengukuran detil cara offset cara siku-siku.

A dan B adalah titik-titik kerangka dasar sehingga gari AB adalah garis ukur.
Titik-titik a, b, c dan d dadalah tittik-titik detil dan titik-titik a', b', c' dan d'
adalah proyeksi titik a, b, c dan d ke garis ukur AB.

Pengukuran detil cara offset cara mengikat

Setiap titik detil diikatkan dengan garis lurus ke garis ukur.

Gambar 3.4: Pengukuran detil cara offset cara mengikat.

A dan B adalah titik-titik kerangka dasar, sehingga gari AB adalah garis ukur.
Titik-titik a, b, c adalah tittik-titik detil dan titik-titik a', b', c' dan a", b", c"
adalah titik ikat a, b, dan c ke garis ukur AB. Diusahakan segi-3 aa'a", bb'b"
dan cc'c" samasisi atau sama kaki.

Pengikatan titik a, b, dan c ke garis ukur AB lebih sederhana bila dibuat


dengan memperpanjang garis detil hingga memotong ke garis ukur.
Gambar 3.5: Pengukuran detil cara offset cara mengikat dengan perpanjangan garis
titik detil.

Pengukuran detil cara offset cara kombinasi:

Setiap titik detil diproyeksikan atau diikatkan dengan garis lurus ke garis
ukur. Dipilih cara pengukuran yang lebih mudah di antara kedua cara.

Gambar 3.6: Pengukuran detil cara offset cara kombinasi.

Titik detil penting dianjurkan diukur dengan kedua cara untuk kontrol ukuran.

3.1.3 Kesalahan pengukuran cara offset

Kesalahan arah garis offset  dengan panjang l yang tidak benar-benar


tegak lurus berakibat:

1. Kesalahan arah sejajar garis ukur = l sin 

2. Kesalahan arah tegak lurus garis ukur = l - l cos 

Bila skala peta adalah 1 : S, maka akan terjadi salah plot sebesar 1/S x
kesalahan.

Bila kesalahan pengukuran jarak garis ofset  l, maka gabungan pengaruh


kesalahan pengukuran jarak dan sudut menjadi: {(l sin  ) 2 +  l 2}1/2.

3.1.4 Ketelitian Pemetaan Cara Offset

Upaya peningkatan ketelitian hasil ukur cara offset bisa dilakukan dengan :
1. Titik-titik kerangka dasar dipilih atau dibuat mendekati bentuk segitiga
sama sisi

2. Garis ukur:

a. Jumlah garis ukur sesedikit mungkin

b. Garis tegtak lurus garis ukur sependek mungkin

c. Garis ukur pada bagian yang datar

3. Garis offset pada cara siku-siku harus benar-benar tegak lurusgaris ukur

4. Pita ukur harus benar-benar mendatar dan diukur seteliti mungkin

5. Gunakan kertas gambar yang stabil untuk penggambaran

3.1.5 Pencatatan Dan Penggambaran Cara Offset

Pengukuran cara offset dicatat ke dalam buku ukur yang tiap halamannya
berbentuk tiga kolom. Kolom ke 1 – paling kiri, digunakan untuk
menggambar sket pengukuran. Kolom ke 2 digunakan untuk mencatat hasil
ukuran dengan paling bawah awal garis ukur, dan kolom ke 3 digunakan
untuk mencatatat deskripsi garis offset.

Tiada bakuan untuk penggambaran cara offset. Penggambaran biasa dibuat


dengan urutan pertama penggambaran garis ukur, kedua pengeplotan garis
offset yang disertai dengan penyajian penulisan angka jarak ukur tegak lurus
arah garis ukur.Sudut disiku diberi tanda siku.

3.2 Pengukuran Untuk Pembuatan Peta Topografi Cara Tachymetry

Salah satu unsur penting pada peta topografi adalah unsur ketinggian yang
biasanya disajikan dalam bentuk garis kontur. Menggunakan pengukuran cara
tachymetri, selain diperoleh unsur jarak, juga diperoleh beda tinggi. Bila
theodolit yang digunakan untuk pengukuran cara tachymetri juga dilengkapi
dengan kompas, maka sekaligus bisa dilakukan pengukuran untuk
pengukuran detil topografi dan pengukuran untuk pembuatan kerangka peta
pembantu pada pengukuran dengan kawasan yang luas secara efektif dan
efisien.

Alat ukur yang digunakan pada pengukuran untuk pembuatan peta topografi
cara tachymetry menggunakan theodolit berkompas adalah: theodolit
berkompas lengkap dengan statif dan unting-unting, rambu ukur yang
dilengkapi dengan nivo kotak dan pita ukur untuk mengukur tinggi alat.

Data yang harus diamati dari tempat berdiri alat ke titik bidik menggunakan
peralatan ini meliputi: azimuth magnet, benang atas, tengah dan bawah pada
rambu yang berdiri di atas titik bidik, sudut miring, dan tinggi alat ukur di
atas titik tempat berdiri alat.
Keseluruhan data ini dicatat dalam satu buku ukur.

Gambar 3.7: Pegukuran jarak dan beda tinggi cara tachymetry.

Jarak datar = dAB = 100 ´ (BA – BB) cos2m; m = sudut miring.

Beda tinggi = D HAB = 50 ´ (BA – BB) sin 2m + i – t; t = BT.

3.2.1 Tata Cara Pengukuran Detil Cara Tachymetri Menggunakan Theodolit


Berkompas

Pengukuran detil cara tachymetri dimulai dengan penyiapan alat ukur di atas
titik ikat dan penempatan rambu di titik bidik. Setelah alat siap untuk
pengukuran, dimulai dengan perekaman data di tempat alat berdiri,
pembidikan ke rambu ukur, pengamatan azimuth dan pencatatan data di
rambu BT, BA, BB serta sudut miring m.

 Tempatkan alat ukur di atas titik kerangka dasar atau titik kerangka penolong
dan atur sehingga alat siap untuk pengukuran, ukur dan catat tinggi alat di
atas titik ini.
 Dirikan rambu di atas titik bidik dan tegakkan rambu dengan bantuan nivo
kotak.
 Arahkan teropong ke rambu ukur sehingga bayangan tegak garis diafragma
berimpit dengan garis tengah rambu. Kemudian kencangkan kunci gerakan
mendatar teropong.
 Kendorkan kunci jarum magnet sehingga jarum bergerak bebas. Setelah
jarum setimbang tidak bergerak, baca dan catat azimuth magnetis dari
tempat alat ke titik bidik.
 Kencangkan kunci gerakan tegak teropong, kemudian baca bacaan benag
tengah, atas dan bawah serta cata dalam buku ukur. Bila memungkinkan,
atur bacaan benang tengah pada rambu di titik bidik setinggi alat, sehingga
beda tinggi yang diperoleh sudah merupakan beda tinggi antara titik
kerangka tempat berdiri alat dan titik detil yang dibidik.
 Titik detil yang harus diukur meliputi semua titik alam maupun buatan
manusia yang mempengaruhi bentuk topografi peta daerah pengukuran.
3.2.2 Kesalahan pengukuran cara tachymetri dengan theodolit berkompas
 Kesalahan alat, misalnya:
a. Jarum kompas tidak benar-benar lurus.
b. Jarum kompas tidak dapat bergerak bebas pada prosnya.
c. Garis bidik tidak tegak lurus sumbu mendatar (salah kolimasi).
d. Garis skala 0° - 180° atau 180° - 0° tidak sejajar garis bidik.
e. Letak teropong eksentris.
f. Poros penyangga magnet tidak sepusat dengan skala lingkaran mendatar.
 Kesalahan pengukur, misalnya:
a. Pengaturan alat tidak sempurna ( temporary adjustment ).
b. Salah taksir dalam pemacaan
c. Salah catat, dll. nya.
 Kesalahan akibat faktor alam, misalnya:
a. Deklinasi magnet.
b. atraksi lokal.

3.2.3 Pengukuran Tachymetri Untuk Pembuatan Peta Topografi Cara Polar.

Posisi horizontal dan vertikal titik detil diperoleh dari pengukuran cara polar
langsung diikatkan ke titik kerangka dasar pemetaan atau titik (kerangka)
penolong yang juga diikatkan langsung dengan cara polar ke titik kerangka
dasar pemetaan.

Unsur yang diukur:


a. Azimuth magnetis dari titik ikat ke titik detil,
b. Bacaan benang atas, tengah, dan bawah
c. Sudut miring, dan
d. Tinggi alat di atas titik ikat.

Gambar 3.8: Pengukuran topografi cara tachymetri-polar.

A dan B adalah titik kerangka dasar pemetaan,


H adalah titik penolong,
1, 2 ... adalah titik detil,
Um adalah arah utara magnet di tempat pengukuran.

Beradasar skema pada gambar, maka:


a. Titik 1 dan 2 diukur dan diikatkan langsung dari titik kerangka dasar A,
b. Titik H, diukur dan diikatkan langsung dari titik kerangka dasar B,
c. Titik 3 dan 4 diukur dan diikatkan langsung dari titik penolong H.

3.2.4 Pengukuran Tachymetri Untuk Pembuatan Peta Topografi Cara Poligon


Kompas.

Letak titik kerangka dasar pemetaan berjauhan, sehingga diperlukan titik


penolong yang banyak. Titik-titik penolong ini diukur dengan cara poligon
kompas yang titik awal dan titik akhirnya adalah titik kerangka dasar
pemetaan. Unsur jarak dan beda tinggi titik-titik penolong ini diukur dengan
menggunakan cara tachymetri.

Posisi horizontal dan vertikal titik detil diukur dengan cara polar dari titik-titik
penolong.

Gambar 3.8: Pengukuran topografi cara tachymetri-poligon kompas.

Berdasarkan skema pada gambar, maka:


a. Titik K1, K3, K5, K2, K4 dan K6 adalah titik-titik kerangka dasar pemetaan,
b. Titik H 1, H 2, H 3, H4 dan H5 adalah titik-titik penolong
c. Titik a, b, c, ... adalah titik detil.

Pengukuran poligon kompas K3, H1, H2, H3, H4 , H5, K4 dilakukan untuk
memperoleh posisi horizontal dan vertikal titik-titik penolong, sehingga ada
dua hitungan:
a. Hitungan poligon dan
b. Hitungan beda tinggi.

Tata cara pengukuran poligon kompas:


1. Pengukuran koreksi Boussole di titik K3 dan K4,

2. Pengukuran cara melompat (spring station) K3, H2, H4dan K4.

3. Pada setiap titik pengukuran dilakukan pengukuran:


a. Azimuth,
b. Bacaan benang tengah, atas dan bawah,
c. Sudut miring, dan
d. Tinggi alat.

Tata cara hitungan dan penggambaran poligon kompas:

1. Hitung koreksi Boussole di K3 = AzG. K31 - AzM K31


2. Hitung koreksi Boussole di K4 = AzG. K42 - AzM K42
3. Koreksi Boussole C = Rerata koreksi boussole di K3 dan K4
4. Hitung jarak dan azimuth geografis setiap sisi poligon.
5. Hitung koordinat H1, ... H5 dengan cara BOWDITH atau TRANSIT.
6. Plot poligon berdasarkan koordinat definitif.

Contoh hitungan ( polKompas ) menggunakan MS Excel terlampir.

Selain hitungan cara numeris, poligon kompas juga bisa digambar kesalahan
ukurnya dengan cara mengeplotkan langsung data yang diperoleh dari
tahapan hitungan 1, 2, 3 dan 4 di atas. Seharusnya, bila tidak ada kesalahan
ukur titik K4 hasil pengeplotan langsung berdasarkan koordinat dan
pengeplotan titik K4 dari polygon kompas seharusnya berimpit. Penyimpangan
grafis yang tidak terlalu besar atau dalam selang toleransi dikoreksikan
secara grafis pada masing-masing titik poligon sebanding jumlah jarak
poligon di titik poligon.

Tata cara hitungan beda tinggi pada poligon kompas:

1. Hitung beda tinggi antara titik-titik poligon,


2. Seharusnya jumlah beda tinggi = beda tinggi titik awal dan akhir
3. Bila terdapat selisih diratakan matematis ke setiap titik,
4. Hitung ketinggian definitif masing-masing titik poligon.

Pertanyaan dan Soal Latihan

1. Buat perbandingan pengukuran pengikatan cara offset dengan pengikatan


pada penentuan posisi cara mengikat ke muka dan ke belakang.

2. Apakah mungkin pada pengukuran tachymetri BT = (BA + BB)/2 ?


Apa keuntungan mengatur bacaan BT pada pengukuran tachymetri = tinggi
alat ?

3. Apa keuntungan dan kerugian pengikatan arah menggunakan arah utara


magnet ?

Rangkuman
Peta planimetris pada daerah datar dengan cakupan tidak luas bisa dibuat dengan
cara offset. Pengukuran untuk pembuatan peta cara tachymetri menggunakan
theodolite berkompas banyak digunakan untuk pembuatan peta topografi pada
berbagai jenis medan pengukuran. Pengukuran poligon cara tachymetri berbantukan
theodolite berkompas memungkinkan pengadaan KDH dan KDV pembantu dan
sekaligus pengukuran titik detil.

Daftar Pustaka

1. Purworhardjo, U., (1985), Menghilangkan Kesalahan Sistematik


Padapendapatan Ukuran Serta Penerapan Dalil-dalil Kesalahan dan Perataan
Kwadrat Terkecil, Jurusan Teknik Geodesi ITB, Bandung.
2. Purworhardjo, U., (1986), Ilmu Ukur Tanah Seri C - Pengukuran Topografi,
Jurusan Teknik Geodesi ITB, Bandung, Bab 4 dan 5.
3. Sosrodarsono, S. dan Takasaki, M. (Editor), (1983), Pengukuran Topografi
dan Teknik Pemetaan, PT Pradnya Paramita, Jakarta, Bab 5.
4. Wirshing, J.R. and Wirshing, R.H., (1985), Teori dan Soal Pengantar
Pemetaan – Terjemahan, Introductory Surveying, Schaum Series, Penerbit
Erlangga, Jakarta, 1995, Bab 14.
5. Wongsotjitro, Soetomo, (1980), Ilmu Ukur Tanah, Penerbit Kanisius,
Yogyakarta, Bab 4 dan 8.

[previous] [next] [daftar isi buku]


Bab 4
Garis Kontur

4.1 Kontur

Salah satu unsur yang penting pada suatu peta topografi adalah informasi
tentang tinggi suatu tempat terhadap rujukan tertentu. Untuk menyajikan
variasi ketinggian suatu tempat pada peta topografi, umumnya digunakan
garis kontur (contour-line).

Garis kontur adalah garis yang menghubungkan titik-titik dengan ketinggian


sama. Nama lain garis kontur adalah garis tranches, garis tinggi dan garis
lengkung horisontal.

Garis kontur + 25 m, artinya garis kontur ini menghubungkan titik-titik yang


mempunyai ketinggian sama + 25 m terhadap referensi tinggi tertentu.

Garis kontur dapat dibentuk dengan membuat proyeksi tegak garis-garis


perpotongan bidang mendatar dengan permukaan bumi ke bidang mendatar
peta. Karena peta umumnya dibuat dengan skala tertentu, maka bentuk garis
kontur ini juga akan mengalami pengecilan sesuai skala peta.

Gambar 4.1.: Pembentukan Garis Kontur dengan membuat proyeksi


tegak
garis perpotongan bidang mendatar dengan permukaan bumi

Dengan memahami bentuk-bentuk tampilan garis kontur pada peta, maka


dapat diketahui bentuk ketinggian permukaan tanah, yang selanjutnya
dengan bantuan pengetahuan lainnya bisa diinterpretasikan pula informasi
tentang bumi lainnya.

4.2 Interval Kontur dan Indeks Kontur

Interval kontur adalah jarak tegak antara dua garis kontur yang berdekatan.
Jadi juga merupakan jarak antara dua bidang mendatar yang berdekatan.
Pada suatu peta topografi interval kontur dibuat sama, berbanding terbalik
dengan skala peta. Semakin besar skala peta, jadi semakin banyak informasi
yang tersajikan, interval kontur semakin kecil.

Indeks kontur adalah garis kontur yang penyajiannya ditonjolkan setiap


kelipatan interval kontur tertentu; mis. Setiap 10 m atau yang lainnya.

Rumus untuk menentukan interval kontur pada suatu peta topografi adalah:

i = (25 / jumlah cm dalam 1 km) meter, atau

i = n log n tan a , dengan n = (0.01 S + 1)1/2 meter.

Contoh:

 Peta dibuat pada skala 1 : 5 000, sehingga 20 cm = 1 km,


maka i = 25 / 20 = 1.5 meter.
 Peta dibuat skala S = 1 : 5 000 dan a = 45° ,
maka i = 6.0 meter.

Berikut contoh interval kontur yang umum digunakan sesuai bentuk


permukaan tanah dan skala peta yang digunakan.

Tabel 4.1: Interval kontur berdasarkan skala dan bentuk medan

Skala Bentuk muka tanah Interval Kontur

1 : 1 000 Datar 0.2 - 0.5 m

dan Bergelombang 0.5 - 1.0 m

lebih besar Berbukit 1.0 - 2.0 m

1 : 1 000 Datar 0.5 - 1.5 m

s/d Bergelombang 1.0 - 2.0 m

1 : 10 000 Berbukit 2.0 - 3.0 m

1 : 10 000 Datar 1.0 - 3.0 m

dan Bergelombang 2.0 - 5.0 m

lebih kecil Berbukit 5.0 - 10.0 m

Bergunung 0.0 - 50.0 m


4.3 Sifat Garis Kontur

a. Garis-garis kontur saling melingkari satu sama lain dan tidak akan saling
berpotongan.
b. Pada daerah yang curam garis kontur lebih rapat dan pada daerah yang
landai lebih jarang.
c. Pada daerah yang sangat curam, garis-garis kontur membentuk satu garis.
d. Garis kontur pada curah yang sempit membentuk huruf V yang menghadap
ke bagian yang lebih rendah.
Garis kontur pada punggung bukit yang tajam membentuk huruf V yang
menghadap ke bagian yang lebih tinggi.
e. Garis kontur pada suatu punggung bukit yang membentuk sudut 90° dengan
kemiringan maksimumnya, akan membentuk huruf U menghadap ke bagian
yang lebih tinggi.
f. Garis kontur pada bukit atau cekungan membentuk garis-garis kontur yang
menutup-melingkar.
g. Garis kontur harus menutup pada dirinya sendiri.
h. Dua garis kontur yang mempunyai ketinggian sama tidak dapat dihubungkan
dan dilanjutkan menjadi satu garis kontur.

Gambar 4.2: Kerapatan garis kontur pada daerah curam dan daerah landai

Gambar 4.3: Garis kontur pada daerah sangat curam.


Gambar 4.4: Garis kontur pada curah dan punggung bukit.

Gambar 4.5: Garis kontur pada bukit dan cekungan.

4.4 Kemiringan Tanah dan Kontur Gradient

Kemiringan tanah  adalah sudut miring antara dua titik = tan-1( hAB/sAB).
Sedangkan kontur gradient  adalah sudut antara permukaan tanah dan
bidang mendatar.

Gambar 4.6: Kemiringan tanah dan kontur gradient

Titik-titik yang menggambarkan kontur gradient harus dipilih dalam


pengukuran titik detil sehingga dapat dibuat interpolasi linier dalam
penggambaran garis kontur di daerah pengukuran.

4.5 Kegunaan Garis Kontur

Selain menunjukkan bentuk ketinggian permukaan tanah, garis kontur juga


dapat digunakan untuk:
a. Menentukan potongan memanjang ( profile, longitudinal sections ) antara dua
tempat.
b. Menghitung luas daerah genangan dan volume suatu bendungan.
c. Menentukan route / trace dengan kelandaian tertentu.
d. Menentukan kemungkinan dua titik di langan sama tinggi dan saling terlihat.

Gambar 4.7: Potongan memanjang dari potongan garis kontur.

Gambar 4.8: Bentuk, luas dan volume daerah genangan berdasarkan garis kontur.

Gambar 4.9: Rute dengan kelandaian tertentu.


Gambar 4.10: Titik dengan ketinggian sama berdasarkan garis kontur.

4.6 Penentuan dan Pengukuran Titik Detil Untuk Pembuatan Garis Kontur

Semakin rapat titik detil yang diamati, maka semakin teliti informasi yang
tersajikan dalam peta.
Dalam batas ketelitian teknis tertentu, kerapatan titik detil ditentukan oleh
skala peta dan ketelitian (interval) kontur yang diinginkan.
Pengukuran titik-titik detil untuk penarikan garis kontur suatu peta dapat
dilakukan secara langsung dan tidak langsung.

4.6.1 Pengukuran tidak langsung

Titik-titik detil yang tidak harus sama tinggi, dipilih mengikuti pola tertentu,
yaitu: pola kotak-kotak (spot level), pola profil (grid) dan pola radial. Titik-
titik detil ini, posisi horizontal dan tingginya bisa diukur dengan cara
tachymetri - pada semua medan, sipat datar memanjang ataupun sipat datar
profil - pada daerah yang relatif datar.

Pola radial digunakan untuk pemetaan topografi pada daerah yang luas dan
permukaan tanahnya tidak beraturan.

Gambar 4.11: Pengukuran kontur pola spot level dan pola grid.
Gambar 4.12 Pengukuran kontur pola radial.

4.6.2 Pengukuran langsung

Titik-titik detil ditelusuri sehingga dapat ditentukan posisinya dalam peta dan
diukur pada ketinggian tertentu - ketinggian garis kontur. Cara
pengukurannya bisa menggunakan cara tachymetri atau cara sipat datar
memanjang dan diikuti dengan pengukuran polygon.

Cara pengukuran langsung lebih rumit dan sulit pelaksanaannya dibanding


dengan cara tidak langsung, namun ada jenis kebutuhan tertentu yang harus
menggunakan cara pengukuran kontur cara langsung, misalnya pengukuran
dan pemasangan tanda batas daerah genangan.

Gambar 4.13 Pengukuran kontur cara langsung.

4.7 Interpolasi Garis Kontur

Pada pengukuran garis kontur cara langsung, garis-garis kontur sudah


langsung merupakan garis penghubung titik-titik yang diamati dengan
ketinggian yang sama, sedangkan pada pengukuran garis kontur cara tidak
langsung umumnya titik-titik detil itu pada ketinggian sembarang yang tidak
sama. Bila titik-titik detil yang diperoleh belum mewujudkan titik-titik dengan
ketinggian yang sama, maka perlu dilakukan interpolasi linier untuk
mendapatkan titik-titik yang sama tinggi. Interpolasi linier bisa dilakukan
dengan cara: taksiran, hitungan dan grafis.

Cara taksiran (visual)

Titik-titik dengan ketinggian yang sama secara visual diinterpolasi dan


diinterpretasikan langsung di antara titik-titik yang diketahui ketinggiannya.
Gambar 4.14: Interpolasi kontur cara taksiran.

Cara hitungan (numeris)

Cara ini pada dasarnya juga menggunakan dua titik yang diketahui posisi dan
ketinggiannya, hanya saja hitungan interpolasinya dikerjakan secara numeris
(eksak) menggunakan perbandingan linier.

Pada Gambar 4.14 di atas, titik R yang terletak pada garis ketinggian + 600
berada pada
jarak BR =( hBR /  hBC)  jarakBC.

Cara grafis

Pada kertas transparan, buat interpolasi dengan membuat garis-garis sejajar


dengan interval tertentu pada selang antara dua titik yang sudah diketahui
ketinggiannya. Kemudian plot salah satu titik pada kertas transparan. Titik ini
kemudian diimpitkan dengan titik yang sama pada kertas gambar dan
keduanya ditahan berimpit sebagai sumbu putar. Selanjutnya putar kertas
transparan hingga arah titik yang lain yang diketahui ketinggiannya terletak
pada titik yang sama pada kertas gambar. Maka dengan menandai
perpotongan garis-garis sejajar denga garis yang diketahui ketinggiannya
diperoleh titik-titik dengan ketinggian pada interval tertentu.

Pertanyaan dan Soal Latihan

1. Dari sebuah peta topografi yang dibuat oleh BAKOSURTANAL atau peta
geologi dari Dir. Geologi di Bandung pada skala tertentu, misalnya 1 : 50
000:

a. Amati dan catat interval kontur yang ada serta catat jarak dua kontur di
peta.

b. Perbesar peta ini, misal dengan mesin copy hingga 200%.

c. Ulangi pengamatan seperti di 1.a. Apa yang terjadi ?

d. Bandingkan peta untuk tempat yang sama dengan peta rupabumi dari
BPN ?
Apa yang terlihat ? Kesimpulannya ?
2. Tarik garis kontur dengan interval 2.5 m dan indeks kontur tiap kelipatan
genap 10 m dari data ukur pengukuran kontur cara grid yang sudah diplot
pada sket berikut. Pada satu kotak = (1 cm x 1 cm) = (500 m x 500 m).

a. Apakah ada bukit dan cekungan ? Bila ada tunjukkan letaknya.

b. Berapa garis kontur terendah dan tertinggi ?

3. Buat pola garis kontur pada:


a. Sekitar suatu sungai bertanggul di kanan dan kiri.
b. Jalan menurun yang di salah satu sisinya terdapat sungai kecil dan sawah
di sisi lainnya.

4. Pada pengukuran batas genangan suatu bendung, akan ditentukan batas


genangan tertinggi pada ketinggian + 775.500 m. Bagaimana cara
menentukan lokasi titik-titik ini di lapangan bila pengukuran dimulai dari BM
(bench mark) BS-01 di dekat lokasi sumbu bendung dengan ketinggian +
774.795 m ?

Bila bacaan benang tengah sipat datar pada rambu di BM-01 = 1.937 m,
maka tentukan berapa seharusnya bacaan benang tengah pada rambu yang
berdiri tepat di ketinggian
+ 775.500 m.

Rangkuman

Garis kontur menghubungkan titik-titik dengan ketinggian sama. Pada daerah landai
garis kontur jarang dan semakin rapat pada derah yang semakin terjal. Interval
kontur dipengaruhi oleh bentuk medan dan skala peta yang berkaitan dengan tujuan
pemakaian peta. Membesarkan peta dari peta skala kecil menjadi peta skala besar
akan diperoleh peta dengan informasi yang "hilang" atau tidak tercakup, termasuk
garis kontur pada peta skala besar. Berdasarkan pola kontur bisa diinterpretasikan
kondisi fisik rupabumi dan dibuat keputusan-keputusan pada pekerjaan perencanaan
dan perancangan bangunan rekayasa sipil.

Daftar Pustaka

1. Purworhardjo, U.U., (1986), Ilmu Ukur Tanah Seri C - Pengukuran Topografi,


Jurusan Teknik Geodesi ITB, Bandung, Bab 5.
2. Sosrodarsono, S. dan Takasaki, M. (Editor), (1983), Pengukuran Topografi
dan Teknik Pemetaan, PT Pradnya Paramita, Jakarta, Bab 5.
3. Wirshing, J.R. and Wirshing, R.H., (1985), Teori dan Soal Pengantar
Pemetaan – Terjemahan, Introductory Surveying, Schaum Series, Penerbit
Erlangga, Jakarta, 1995, Bab 8.
4. Wongsotjitro, Soetomo, (1980), Ilmu Ukur Tanah, Penerbit Kanisius,
Yogyakarta, Bab 8.

[previous] [next] [daftar isi buku]


[previous] [next] [daftar isi buku]

Bab 5
Proyeksi Peta

5.1 Pengertian Proyeksi Peta

Persoalan ditemui dalam upaya menggambarkan garis yang nampak lurus


pada muka lengkungan bumi ke bidang datar peta. Bila cakupan daerah
pengukuran dan penggambaran tidak terlalu luas, seperti halnya dalam ilmu
ukur tanah (plane surveying) yang muka lengkungan bumi bisa dianggap
datar maka tidak ditemui perbedaan yang berarti antara unsur di muka bumi
dan gambarannya di peta.

Proyeksi peta adalah teknik-teknik yang digunakan untuk menggambarkan


sebagian atau keseluruhan permukaan tiga dimensi yang secara kasaran
berbentuk bola ke permukaan datar dua dimensi dengan distorsi sesedikit
mungkin. Dalam proyeksi peta diupayakan sistem yang memberikan
hubungan antara posisi titik-titik di muka bumi dan di peta.

Bentuk bumi bukanlah bola tetapi lebih menyerupai ellips 3 dimensi atau
ellipsoid. Istilah ini sinonim dengan istilah spheroid yang digunakan untuk
menyatakan bentuk bumi. Karena bumi tidak uniform, maka digunakan istilah
geoid untuk menyatakan bentuk bumi yang menyerupai ellipsoid tetapi
dengan bentuk muka yang sangat tidak beraturan.

Untuk menghindari kompleksitas model matematik geoid, maka dipilih model


ellipsoid terbaik pada daerah pemetaan, yaitu yang penyimpangannya terkecil
terhadap geoid. WGS-84 (World Geodetic System) dan GRS-1980
(Geodetic Reference System) adalah ellipsoid terbaik untuk keseluruhan
geoid. Penyimpangan terbesar antara geoid dengan ellipsoid WGS-84 adalah
60 m di atas dan 100 m di bawah-nya. Bila ukuran sumbu panjang ellipsoid
WGS-84 adalah 6 378 137 m dengan kegepengan 1/298.257, maka rasio
penyimpangan terbesar ini adalah 1 / 100 000. Indonesia, seperti halnya
negara lainnya, menggunakan ukuran ellipsoid ini untuk pengukuran dan
pemetaan di Indonesia. WGS-84 "diatur, diimpitkan" sedemikian rupa
diperoleh penyimpangan terkecil di kawasan Nusantara RI. Titik impit WGS-
84 dengan geoid di Indonesia dikenal sebagai datum Padang (datum
geodesi relatif) yang digunakan sebagai titik reference dalam pemetaan
nasional. Sebelumnya juga dikenal datum Genuk di daerah sekitar
Semarang untuk pemetaan yang dibuat Belanda. Menggunakan ER yang
sama – WGS 84, sejak 1995 pemetaan nasional di Indonesia menggunakan
datum geodesi absolut. DGN-95. Dalam sistem datum absolut ini, pusat ER
berimpit dengan pusat masa bumi.

Untuk memudahkan rekonstruksi proyeksi peta dari titik di muka bumi maka
digunakan model spheroid dengan volume yang sama dengan spheroid
terbaik. Rekonstruksi proyeksi peta yang baik adalah yang bisa meminimkan
distorsi dalam hal: luas, bentuk, arah dan jarak. Dalam praktek tak ada
satupun sistem proyeksi peta yang bisa menghasilkan peta dengan keempat
faktor luas, bentuk, arah dan jarak tidak mengalami distorsi. Upaya
mempertahan salah satu unsur berakibat terjadinya distorsi pada unsur yang
lain.

Sistem proyeksi peta dibuat untuk mereduksi sekecil mungkin distorsi


tersebut dengan:

 Membagi daerah yang dipetakan menjadi bagian-bagian yang tidak terlalu


luas, dan
 Menggunakan bidang peta berupa bidang datar atau bidang yang dapat
didatarkan tanpa mengalami distorsi seperti bidang kerucut dan bidang
silinder.

Kebanyakan orang enggan untuk berpindah atau ganti dari satu sistem
proyeksi peta ke sistem proyeksi peta yang lain. Namun dengan berkembang
majunya teknologi komputer dan komunikasi dengan terapannya dalam
bidang pemetaan, seperti GPS dan GIS, maka perpindahan sistem proyeksi
merupakan hal yang penting dan untuk dikerjakan.

5.2 Tujuan dan Cara Proyeksi Peta

Sistem Proyeksi Peta dibuat dan dipilih untuk:

 Menyatakan posisi titik-titik pada permukaan bumi ke dalam sistem koordinat


bidang datar yang nantinya bisa digunakan untuk perhitungan jarak dan arah
antar titik.
 Menyajikan secara grafis titik-titik pada permukaan bumi ke dalam sistem
koordinat bidang datar yang selanjutnya bisa digunakan untuk membantu
studi dan pengambilan keputusan berkaitan dengan topografi, iklim, vegetasi,
hunian dan lain-lainnya yang umumnya berkaitan dengan ruang yang luas.

Cara proyeksi peta bisa dipilah sebagai:

 Proyeksi langsung (direct projection): Dari ellipsoid langsung ke bidang


proyeksi.
 Proyeksi tidak langsung (double projection): Proyeksi dilakukan
menggunakan "bidang" antara, ellipsoid ke bola dan dari bola ke bidang
proyeksi.

Pemilihan sistem proyeksi peta ditentukan berdasarkan pada:

 Ciri-ciri tertentu atau asli yang ingin dipertahankan sesuai dengan tujuan
pembuatan / pemakaian peta,
 Ukuran dan bentuk daerah yang akan dipetakan,
 Letak daerah yang akan dipetakan.

5.3 Pembagian Sistem Proyeksi Peta

Secara garis besar sistem proyeksi peta bisa dikelompokkan berdasarkan


pertimbangan ekstrinsik dan intrinsik.
5.3.1 Pertimbangan Ekstrinsik:

Bidang proyeksi yang digunakan:

 Proyeksi azimutal / zenital: Bidang proyeksi bidang datar.


 Proyeksi kerucut: Bidang proyeksi bidang selimut kerucut.
 Proyeksi silinder: Bidang proyeksi bidang selimut silinder.

Persinggungan bidang proyeksi dengan bola bumi:

 Proyeksi Tangen: Bidang proyeksi bersinggungan dengan bola bumi.


 Proyeksi Secant: Bidang Proyeksi berpotongan dengan bola bumi.
 Proyeksi "Polysuperficial": Banyak bidang proyeksi

Posisi sumbu simetri bidang proyeksi terhadap sumbu bumi:

 Proyeksi Normal: Sumbu simetri bidang proyeksi berimpit dengan sumbu


bola bumi.
 Proyeksi Miring: Sumbu simetri bidang proyeksi miring terhadap sumbu
bola bumi.
 Proyeksi Traversal: Sumbu simetri bidang proyeksi ^ terhadap sumbu bola
bumi.

5.3.2 Pertimbangan Intrinsik:

Sifat asli yang dipertahankan:

 Proyeksi Ekuivalen: Luas daerah dipertahankan: luas pada peta setelah


disesuikan dengan skala peta = luas di asli pada muka bumi.

 Proyeksi Konform: Bentuk daerah dipertahankan, sehingga sudut-sudut


pada peta dipertahankan sama dengan sudut-sudut di muka bumi.
 Proyeksi Ekuidistan: Jarak antar titik di peta setelah disesuaikan dengan
skala peta sama dengan jarak asli di muka bumi.

Cara penurunan peta:

 Proyeksi Geometris: Proyeksi perspektif atau proyeksi sentral.


 Proyeksi Matematis: Semuanya diperoleh dengan hitungan matematis.
 Proyeksi Semi Geometris: Sebagian peta diperoleh dengan cara proyeksi
dan sebagian lainnya diperoleh dengan cara matematis.

Tabel 5.1: Kelas proyeksi peta

KELAS

Pertimbanga 1. Bid. Bid. Bid. Kerucut Bid. Silinder


Proyeksi Datar

2. Tangent Secant Polysuperfici


n Persinggunga al
EKSTRINSIK n

3. Posisi Normal Oblique/ Transversal


Miring

4. Sifat Ekuidista Ekuivalen Konform


n
Pertimbanga
n
INTRINSIK
5. Generasi Geometri Matematis Semi
s Geometris

Pertimbangan dalam pemilihan proyeksi peta untuk pembuatan peta skala


besar adalah:

 Distorsi pada peta berada pada batas-batas kesalahan grafis


 Sebanyak mungkin lembar peta yang bisa digabungkan
 Perhitungan plotting setiap lembar sesederhana mungkin
 Plotting manual bisa dibuat dengan cara semudah-mudahnya
 Menggunakan titik-titik kontrol sehingga posisinya segera bisa diplot.
Gambar 5.1: Jenis bidang proyeksi dan kedudukannya terhadap bidang datum

5.4 Peristilahan Dalam Proyeksi Peta

Beberapa ketentuan yang berhubungan dengan pemodelan bumi sebagai


spheroid adalah:

a. Meridian dan meridian utama

b. Paralel dan paralel NOL atau ekuator.

c. Bujur (longitude - j ), Bujur Barat (0° - 180° BB) dan Bujur Timur (0° -
180° BT)

d. Lintang ( latitude - l ), Lintang Utara (0° -90° LU) dan Lintang Selatan (0°
–90° LS)
Gambar 5.2: Bumi sebagai spheroid.

Bidang Datum Dan Bidang Proyeksi:


 Bidang datum adalah bidang yang akan digunakan untuk memproyeksikan
titik-titik yang diketahui koordinatnya (j ,l ).
 Bidang proyeksi adalah bidang yang akan digunakan untuk memproyeksikan
titik-titik yang diketahui koordinatnya (X,Y).

Ellipsoid:

a. Sumbu panjang (a) dan sumbu pendek (b)

b. Kegepengan ( flattening ) - f = (a - b)/b

Gambar 5.3: Geometri elipsoid.

c. Garis geodesic adalah kurva terpendek yang menghubungkan dua titik


pada permukaan
elipsoid.
d. Garis Orthodrome adalah proyeksi garis geodesic pada bidang proyeksi.

e. Garis Loxodrome ( Rhumbline) adalah garis (kurva) yang menghubungkan


titik-titik dengan
azimuth a yang tetap.

Gambar 5.4: Rhumbline atau loxodrome menghubungkan titik-titik dengan azimuth


 yang tetap.

Gambar 5.5: orthodrome dan loxodrome pada proyeksi gnomonis dan proyeksi
mercator.

5.5 Proyeksi Polyeder

Sistem proyeksi Kerucut, Normal, Tangent dan Konform


Gambar 5.6: Proyeksi kerucut: bidang datum dan bidang proyeksi.

Gambar 5.7: Proyeksi polyeder: bidang datum dan bidang proyeksi.

Digunakan untuk daerah 20' x 20' ( 37 km x 37 km ), sehingga bisa


memperkecil distorsi. Bumi dibagi dalam jalur-jalur yang dibatasi oleh dua
garis paralel dengan lintang sebesar 20' atau tiap jalur selebar 20'
diproyeksikan pada kerucut tersendiri. Bidang kerucut menyinggung pada
garis paralel tengah yang merupakan paralel baku - k = 1.

Meridian tergambar sebagai garis lurus yang konvergen ke arah kutub, ke


arah KU untuk daerah di sebelah utara ekuator dan ke arah KS untuk daerah
di selatan ekuator. Paralel-paralel tergambar sebagai lingkaran konsentris.
Untuk jarak-jarak kurang dari 30 km, koreksi jurusan kecil sekali sehingga
bisa diabaikan. Konvergensi meridian di tepi bagian derajat di wilayah
Indonesia maksimum 1.75'.

Gambar 5.8: Lembar proyeksi peta polyeder di bagian lintang utara dan
lintang selatan
Gambar 5.9: Konvergensi meridian pada proyeksi polyeder.

Secara praktis, pada kawasan 20' x 20', jarak hasil ukuran di muka bumi dan
jarak lurusnya di bidang proyeksi mendekati sama atau bisa dianggap sama.

Proyeksi polyeder di Indonesia digunakan untuk pemetaan topografi dengan


cakupan:
94° 40 BT - 141° BT, yang dibagi sama tiap 20' atau menjadi 139
bagian,
11° LS - 6° LU, yang diabgi tiap 20' atau menjadi 51 bagian.

Penomoran dari barat ke timur: 1, 2, 3, ... , 139,


dan penomoran dari LU ke LS: I, II, III, ... , LI.

5.5.1 Penerapan Proyeksi Polyeder di Indonesia

Sistem Penomoran Bagian Derajat Proyeksi Polyeder

Peta dengan proyeksi Polyeder dibuat di Indonesia sejak sebelum Perang


Dunia II, meliputi peta-peta di pulau Jawa, Bali dan Sulawesi.

Wilayah Indonesia dengan 94 40' BT - 141 BT dan 6 LU - 11 LS dibagi


dalam 139 x LI bagian derajat, masing-masing 20' x 20'.

Tergantung pada skala peta, tiap lembar bisa dibagi lagi dalam bagian yang
lebih kecil.

Cara Menghitung Pojok Lembar Peta Proyeksi Polyeder

Setiap bagian derajat mempunyai sistem koordinat masing-masing. Sumbu X


berimpit dengan meridian tengah dan sumbu Y tegak lurus sumbu X di titik
tengah bagian derajatnya. Sehingga titik tengah setiap bagian derajat
mempunyai koordinat O.

Koordinat titik-titik lain seperti titik triangualsi dan titik pojok lembar peta
dihitung dari titik pusat bagian derajat masin-masing bagian derajat.
Koordinat titik-titik sudut (titik pojok) geografis lembar peta dihitung
berdasarkan skala peta, misal 1 : 100 000, 1 : 50 000, 1 : 25 000 dan 1 : 5
000.

Pada skala 1 :50 000, satu bagian derajat proyeksi polyeder (20' x 20')
tergambar dalam 4 lembar peta dengan penomoran lembar A, B, C dan D.
Sumbu Y adalah meridian tengah dan sumbu X adalah garis tegak lurus
sumbu Y yang melalui perpotongan meridian tengah dan paralel tengah.
Setiap lembar peta mempunyai sistem sumbu koordinat yang melalui titik
tengah lembar dan sejajar sumbu X,Y dari sistem koordinat bagian derajat.

5.5.2 Keuntungan dan Kerugian Sistem Proyeksi Polyeder

Keuntungan proyeksi polyeder:


Kareana perubahan jarak dan sudut pada satu bagian derajat 20' x 20',
sekitar 37 km x 37 km bisa diabaikan, maka proykesi ini baik untuk
digunakan pada pemetaan teknis skala besar.

Kerugian proyeksi polyeder:

a. Untuk pemetaan daerah luas harus sering pindah bagian derajat,


memerlukan tranformasi
koordinat,

b. Grid kurang praktis karena dinyatakan dalam kilometer fiktif,

c. Tidak praktis untuk peta skala kecil dengan cakupan luas,

d. Kesalahan arah maksimum 15 m untuk jarak 15 km.

5.6 Proyeksi Universal Traverse Mercator ( UTM ):

UTM merupakan sistem proyeksi Silinder, Konform, Secant, Transversal

Ketentuan selanjutnya:

 Bidang silinder memotong bola bumi pada dua buah meridian yang disebut
meridian standar dengan faktor skala 1.
 Lebar zone 6° dihitung dari 180° BB dengan nomor zone 1 hingga ke 180° BT
dengan nomor zone 60. Tiap zone mempunyai meridian tengah sendiri
 Perbesaran di meridian tengah = 0.9996
 Batas paralel tepi atas dan tepi bawah adalah 84° LU dan 80° LS.

Pada Gambar 5.10 berikut ditunjukkan perpotongan silinder terhadap bola


bumi dan gambar XYZ menujukkan penggambaran proyeksi dari bidang
datum ke bidang proyeksi.
Gambar 5.10: Kedudukan bidang proyeksi silinder terhadap bola bumi pada
proyeksi UTM
Gambar 5.11: Proyeksi dari bidang datum ke bidang proyeksi.

Gambar 5.12: Pembagian zone global pada proyeksi UTM.

Pada kedua gambar tersebut, ekuator tergambar sebagai garis lurus dan
meridian-meridian tergambar sedikit melengkung. Karena proyeksi UTM
bersifat konform, maka paralel-paralel juga tergambar agak melengkung
sehingga perpotongannya dengan meridian membentuk sudut siku. Ekuator
tergambar sebagai garis lurus dan dipotong tegak lurus oleh proyeksi
meridian tengah yang juga terproyeksi sebagai garis lurus melalui titik V dan
VI. Kedua garis ini digunakan sebagai sumbu sistem koordinat (X,Y) proyeksi
pada setip zone.

Sistem grid pada proyeksi UTM terdiri dari garis lurus yang sejajar meridian
tengah. Lingkaran tempat perpotongan silinder dengan bola bumi tergambar
sebagai garis lurus. Pada daerah
I, V, II dan III, VI, IV gambar proyeksi mengalami pengecilan, sedangkan
pada daerah IA, IIB, IIIC dan IVD mengalami perbesaran. Garis tebal dan
garis putus-putus pada gambar menunjukkan proyeksi lingkaran-lingkaran
melalui I, II, III dan IV yang tidak mengalami distorsi setelah proyeksi.

Notasi sistem proyeksi UTM:

L Lintang, positif ke utara katulistiwa

L' Lintang titik kaki pada Meridian Tengah

B Bujur, positif ke timur Meridian Greenwich


B' Bujur Meridian Tengah

i Subskrip untuk menunjukkan nomor urutan titik

dL Li - Li-1

dB Bi - Bi-1

db B - B' , beda bujur dihitung dari Meridian Tengah.

U' Jarak grid suatu titik diukur dari katulistiwa

T' Jarak grid suatu titik diukur dari Meridian Tengah.

U Ordinat grid suatu titik,


jika titik di sebelah utara katulistiwa, U = U' m
jika titik di sebelah selatan katulistiwa, U = 10 000 000 - U' m

T Absis grid suatu titik,


jika titik di sebelah timur Meridian Tengah, T = 500 000 + T' m,
jika titik di sebelah barat Meridian Tengah, T = 500 000 - T' m.

N, M Jari-jari kelengkungan bidang normal dan jari-jari kelengkungan bidang


meridian.

A Azimuth geodesi, adalah sudut antara meridian spheroid dan garis geodesik
searah jarum jamdari utara sebenarnya sampai 360 .

Ag Azimuth grid, adalah sudut antara utara grid dan garis geodesik searah
jarum jamdari utara sebenarnya sampai 360 .

As Sudut jurusan grid, adalah sudut antara utara grid dan garis penghubung
lurus 2 titik searah jarum jam sampai 360 .

Kg Konvergensi grid, adalah sudut antara azimuth geodesi dan azimuth grid.

Km Konvergensi meridian adalah perubahan azimuth dari garis geodesi antara


dua titik di spheroid.
Azimuth belakang = Azimuth muka + Konvergensi meridian  180 .
A2-1 = A1-2 + Km  180 .

Kn Sudut kelengkungan garis adalah perubahan azimuth grid antara 2 titik pada
busur.
Ag i-1 = Ag i + K n  180 .

tmt Koreksi kelengkungan busur, adalah sudut antara busur dan garis lurus (arc-
to-chord).
As = Ag + tmt = A + Kg + tmt

s Jarak spheroid = jarak di atas spheroid sepanjang garis geodesi atau


sepanjang irisan normal busur.

S Jarak grid adalah panjang busur sebagai proyeksi dari jarak geodesi (jarak di
spheroid)

D Jarak di bidang datar, yaitu garis penghubung lurus antara dua titik di
bidang datar.

m Panjang meridian pada spheroid dihitung dari katulistiwa.

a, b Setengah sumbu panjang dan sumbu pendek ellipsoid

e2 Eksentrisitas ellipsoid = (a2 - b2)/a2

e'2 Eksentrisitas kedua = (a2 - b2)/b2

k0 Angka perbesaran (faktor skala) pada meridian tengah = 0.9996.

k Angka perbesaran titik di sembarang tempat.

K Angka perbesaran garis di sembarang tempat.

Konvergensi Meridian:
Gambar 5.13: Konvergensi Meridian pada proyeksi UTM

5.6.1 Ukuran Lembar Peta dan Cara Menghitung Titik Sudut Lembar Peta
UTM

Susunan Sistem Koordinat

Ukuran satu lembar bagian derajat adalah 6° arah meridian 8° arah paralel
(6° x 8° ) atau sekitar (665 km x 885 km).

Pusat koordinat tiap bagian lembar derajat adalah perpotongan meridian


tengah dengan "paralel" tengah. Absis dan ordinat semu di (0,0) adalah +
500 000 m, dan + 0 m untuk wilayah di sebelah utara ekuator atau + 10 000
000 m untuk wilayah di sebelah selatan ekuator.

Gambar 5.14 dan 5.15 menunjukkan sistem koordinat dan faktor skala pada
setiap lembar peta. Perhatikan pada absis antara 320 000 m – 500 000 m
dan 680 000 m – 500 000 m terjadi pengecilan faktor skala dari 1 ke 0.9996.
Sedangkan pada selang diluar kedua daerah ini terjadi perbesaran faktor
skala. Misalnya, pada tepi zone atau sekitar 300 km di sebelah barat dan
timur meriadian tengah, untuk jarak 1 000 m pada meridian tengah akan
tergambar 1.000 070 x 1 000 m = 1 000.70 m, atau terjadi distorsi sekitar 70
cm / 1 000 m.
Gambar 5.14: Sistem koordinat proyeksi peta UTM.
Gambar 5.15: Grafik faktor skala proyeksi peta UTM.

Lembar Peta UTM Global

Penomoran setiap lembar bujur 6° dari 180° BB – 180° BT menggunakan


angka Arab
1 – 60.

Penomoran setiap lembar arah paralel 80° LS – 84° LU menggunakan huruf


latin besar dimulai dengan huruf C dan berakhir huruf X dengan tidak
menggunakan huruf I dan O.
Selang seragam setiap 8° mulai 80° LS – 72° LU atau C – W.

Menggunakan cara penomoran seperti itu, secara global pada proyeksi UTM,
wilayah Indonesia di mulai pada zone 46 dengan meridian sentral 93° BT dan
berakhir pada zone 54 dengan meridian sentral 141° BT, serta 4 satuan arah
lintang, yaitu L, M, N dan P dimulai dari
15° LS – 10° LU.

Lembar Peta UTM Skala 1 : 250 000 di Indonesia


a. Ukuran 1 lembar peta skala 1 : 250 000 adalah 1 ½° x 1° .
Sehingga untuk satu bagian derajat 6° x 8° terbagi dalam 4 x 8 = 32
lembar.
b. Angka Arab 1 - 31 untuk penomoran bagian lembar setiap 1 ½°
pada arah 94½° BT – 141° BT.
c. Angka Romawi I – XVII untuk penomoran bagian lembar setiap 1°
pada arah
6° LU – 11° LS.

Lembar Peta UTM Skala 1 : 100 000 di Indonesia


a. Ukuran 1 lembar peta skala 1 : 100 000 adalah 30’ x 30’.
b. Satu lembar peta skala 1 : 250 000 dibagi menjadi 6 bagian lembar
peta skala 1 : 100 000.
c. Angka Arab 1 – 94 untuk penomoran bagian lembar setiap 30’ pada
arah
94° BT – 141° BT.
d. Angka Arab 1 - 36 untuk penomoran bagian lembar setiap 30’ pada
arah
6° LU – 12° LS.

Lembar Peta UTM Skala 1 : 50 000di Indonesia


a. Ukuran 1 lembar peta skala 1 : 50 000 adalah 15’ x 15’.
b. Satu lembar peta skala 1 : 100 000 dibagi menjadi 4 bagian lembar
peta skala 1 : 50 000.
c. Penomoran menggunakan angka Romawi I, II, III dan IV dimulai
dari pojok kanan atas searah jarum jam.

Lembar Peta UTM Skala 1 : 25 000 di Indonesia


a. Ukuran 1 lembar peta skala 1 : 25 000 adalah 7 ½ ’ x 7 ½ ’.
b. Satu lembar peta skala 1 : 50 000 dibagi menjadi 4 bagian lembar
peta skala 1 : 25 000.
c. Penomoran menggunakan huruf latin kecil a, b, c dan d dimulai dari
pojok kanan atas searah jarum jam.

5.6.2 Kebaikan Proyeksi UTM


a. Proyeksi simetris selebar 6° untuk setiap zone,
b. Transformasi koordinat dari zone ke zone dapat dikerjakan dengan rumus
yang sama untuk setiap zone di seluruh dunia,
c. Distorsi berkisar antara - 40 cm / 1 000 m dan 70 cm / 1 000 m.

5.7 Proyeksi TM-3

Sistem proyeksi peta TM-3° adalah sistem proyeksi Universal Tranverse


Mercator dengan ketentuan faktor skala di meridian sentral = 0.9999 dan
lebar zone = 3° . Sistem proyeksi ini, sejak tahun 1997 digunakan oleh bekas
Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai sistem koordinat nasional
menggunakan datum absolut DGN-95.

Penomoran lembar peta:


Penomoran zone sistem proyeksi TM-3 berbasis nomor zoner UTM 46 – 54.

Bujur
Meridian Batas Zone
Meridian Sentral
Nomor Zone

( B0 ) Barat Timur

46.2 94° 30’ 93° 96°

47.1 97 30 96 99

47.2 100 .0 99 102

48.1 103 30 102 105

48.2 106 30 105 108

49.1 109 30 108 111

49.2 112 30 111 114

50.1 115 30 114 117

50.2 118 30 117 120

51.1 121 30 120 123

51.2 124 30 123 126

52.1 127 30 126 129

52.2 130 30 129 132

53.1 133 30 132 135

53.2 136 30 135 138

54.1 139 30 138 141

Ketentuan sistem proyeksi peta TM-3° :


a. Proyeksi : TM dengan lebar zone 3°

b. Sumbu pertama (Y) : Meridian sentral dari setiap zone

c. Sumbu kedua (X) : Ekuator

d. Satuan : Meter

e. Absis semu (T) : 200 000 meter + X

f. Ordinat semu (U) : 1 500 000 meter + Y

g. Faktor skala pada meridian sentral : 0.9999

Peratanyaan dan Soal Latihan

1. Buat perbandingan antara sistem proyeksi Polyeder dan UTM.

2. Pada awal pemetaan di Indonesia, pernah digunakan titik (6° LS, 106° 48’
27.79’’ BT) sebagai titik pangkal koordinat.
Hitung posisi titik ini dalam lembar peta: Polyeder, UTM dan TM3 pada
bergaia skala yang anda ketahui.

Rangkuman

Sistem proyeksi peta dipilih untuk menggambarkan rupa bumi tiga dimensi ke muka
bidang datar atau bidang yang dapat didatarkan dua dimensi dengan distorsi
sesedikit mungkin. Tak ada satu sistem proyeksi peta-pun yang mampu
memproyeksikan ke bidang datar bentuk, luas dan jarak rupa bumi sama persis
tanpa distorsi. Sistem proyeksi peta yang sekarang umum digunakan adalah UTM. Di
Indonesia, UTM dimodifikasi dengan membagi lembar peta UTM menjadi (3 x 3).
Sistem proyeksi peta UTM digunakan oleh BAKOSURTANAL untuk JKGN Orde 0 dan
1, sedangkan TM3 digunakan oleh eks Badan Pertanahan Nasional untuk JKGN Orde
2 dan 3. Peta topografi Indonesia buatan Belanda menggunakan sistem proyeksi
Polyeder.

Daftar Pustaka

1. Aryono Prihandito, (1988), Proyeksi Peta, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

2. Sosrodarsono, S. dan Takasaki, M. (Editor), (1983), Pengukuran Topografi


dan Teknik Pemetaan, PT Pradnya Paramita, Jakarta, Bab 6.

3. KBK Pemetaan Sistematik dan Rekayasa, (1997), Buku Petunjuk


Penggunaan Proyeksi TM-3 Dalam Pengukuran dan Pemetaan Kadastral,
Jurusan Teknik Geodesi FTSP ITB, Bandung.

[previous] [next] [daftar isi buk]


[previous] [next] [daftar isi buku]

BAB 6
Pematokan Alinyemen Rute dan Penampang

Pematokan alinyemen rute (alignment) meliputi: alinyemen horizontal lingkaran


lingkaran dan spiral, alinyemen vertikal parabola, diagram superelevasi, diagram
pelebaran dan pengukuran penampang memanjang dan melintang. Pengukuran
penampang disatukan dalam pembahasan alinyemen karena alinyemen vertikal
selalu dikaitkan dengan bentuk penampang.

6.1 Lengkung Sederhana Lingkaran

6.1.1 Peristilahan pada geometri lingkaran sederhana

Gambar 6.1: Geometri lengkung horizontal lingkaran.

 Bagian lurus (tangent) bertemu pada titik potong V (point of intersection - PI


).
 Sudut perubahan arah bagian lurus (external angle of deflection), dari arah
sebelum dan sesudah PI disebut sudut persilangan D (intersection angle).
 Titik awal lingkaran A (point of curvature - PC ) dan titik akhir lingkaran B
(point of tangency - PT).
AV = VB disebut tangent T.
 Pusat lingkaran di O, dengan sudut pusat = D dan garis OV:
a. membagi sudut pusat di O sama besar = D / 2 ,
b. membagi dua sama panjang lengkung ( arc ) AB menjadi AC = CB,
c. membagi dua sama panjang penghubung lurus AB, AD = BD,
d. E = VC adalah jarak external dari PI ke lengkung lingkaran,
e. M = CD = jarak bagian tengah lengkung ke bagian tengah penghubung
lurus.
 Bila jari-jari lingkaran = R meter, maka
a. AV = VB = T = R tan D / 2 ,
b. Panjang lengkung AB = D rad x R,
c. Panjang lurus ( long chord - LC ) AB = 2 R sin R sin D / 2
d. E = T tan D / 4 ,
e. M = R ( 1 - cos = R ( 1 - cos D / 2 ),,
f. Sudut VAB = sudut defleksi dari arah tangent di A ke titik B = D / 2 ,
g. Sudut BVA = sudut defleksi dari arah tangent di B ke titik A = D / 2 ,
h. Sudut defleksi dari arah tangent di suatu titik = 1/2 sudut pusat.
 Stasioning titik utama pada lingkaran.
Jika suatu PI berjarak d meter dari suatu titik dengan stasion = S, maka:
a. Stasion PI = S + d,
b. Stasion PC = Sta PI - T = S + d - T,
c. Stasion PT = Sta PC + panjang lengkung AB = Sta PC + Drad x R.

Contoh hitungan (StakeCircle) geometri lengkung horizontal lingkaran


terlampir.

6.1.2 Pematokan dan Cara Pematokan ( Stake Out )

Pematokan sepanjang sumbu alignment horizontal biasanya selalu setiap


kelipatan jarak genap, misalnya setiap 100 m pada perencanaan
pendahuluan, setiap 50 m pada detailed design dan tiap 25 m pada saat
pelaksanaan konstruksi.

Pada bagian lurus, bila tidak ada halangan maka pematokan bisa dilakukan
langsung dengan menarik meteran mendatar. Misal stasion awal proyek
berada pada sta 12 + 357.50, maka patok pertama untuk pematokan tiap 50
meter adalah sta 12 + 400.00 yang berjarak 42.50 meter dari sta 12 +
357.50. Patok-patok berikutnya pada bagian lurus adalah
sta 12 + 450.00, 12 + 500.00 dst.

Persoalan muncul bila aliinyemen mulai memasuki bagian lingkaran. Stasion


PC tidak selalu pada stasion genap. Dalam hal ini, stasion awal dan akhir
lingkaran dan juga stasion tempat bangunan-bangunan khusus sepanjang
alinyemen tidak harus selalu kelipatan genap, tetapi harus muncul dalam
pematokan dan pengukuran.

Menggunakan ketentuan ini, maka pada lokasi sepanjang lingkaran ada:


a. Satu patok di PC,
b. Satu patok di PT,
c. Patok pertama SA stasion genap pertama sesudah PC berjarak d meter
dari PC,
d. Patok terakhir SK stasion genap terakhir sebelum PT berjarak d' meter
dari PT,
e. Patok lainnya setiap D (25 atau 50 atau 100) m antara SA dan SK.
Gambar 6.2: Pematokan sepanjang lengkung horizontal lingkaran.

Cara pematokan sepanjang bagian tangent dan sepanjang lengkung lingkaran


biasa dilakukan menggunakan theodolite, pita ukur, jalon, patok dan atau
paku untuk menandai dan membuat titik pengikatan patok stasion.

Cara pematokan pada bagian lingkaran:


Berdasarkan data stasion patok, pematokan pada bagian lingkaran dapat
dikerjakan dengan cara:
a. Cara defleksi
b. Cara Offset
c. Cara Polygon.
Bila tiada halangan di lapangan, cara defleksi paling umum digunakan.

Pematokan Lingkaran Cara Defleksi:


 Theodolite di PC:
Persiapan data:
1. Hitung sudut pusat berdasarkan panjang busur stasion d, D dan d' (arc) ,
2. Hitung sudut defleksi = 1/2 sudut pusat,
2.a Sudut defleksi 1 = 1/2 (d/R) rad.
2.b Sudut defleksi 2 = 1/2 ((d +D)/R) rad
2.c Sudut defleksi genap ke n = 1/2 ((d + nD))/R) rad, n stasion genap ke
1 ... n.
2.d Sudut defleksi terakhir = 1/2 D
2.e Konversikan sudut dalam radial ke derajat, menit dan sekon.
3. Hitung jarak lurus dari PC ke stasion = 2 R sin (sudut pusat/2).

Pelaksanaan:
1. Siapkan theodolite di atas PC,
2. Arahkan teropong ke PI, tempatkan diafragma tepat ke PI,
3. Geser teropong dari arah PI sebesar sudut defleksi,
4. Tarik jarak datar penghubung lurus PC ke stasion yang dipatok,
5. Ulangi 3 dan 4 hingga seluruh stasion terpasang patoknya,
6. Sebagai kontrol, bacaan ke PT = bacaan ke PC + D/2.

Contoh hitungan pematokan cara defleksi (StakeCircle ) terlampir.

 Theodolite di PT:
Persiapan dan pelaksanaan sama dengan cara theodolite di PC dengan
argumen dari PT.
Cara ini dilakukan untuk pemeriksaan pematokan sepanjang lingkaran cara
defleksi dengan theodolite di PC.

 Theodolite di titik antara di lengkungan:


Cara ini dilakukan karena ada halangan sehingga total cara defleksi dari PC
atau PT tidak bisa dilakukan.

a. Titik antara C terlihat dari PC.


Persiapan data:
1. Hitung sudut-sudut pembentuk sudut defleksi d, D dan d'
2. Susun data defleksi jarak tali busur dari PC ke patok-patok hingga ke
patok C
Pelaksanaan:
1. Siapkan theodolite di titik stasion C dan tepatkan garis bidik ke arah PC,
2. Putar teropong searah jarum jam sebesar sudut defleksi dari arah tangent
ke titik C (q),
3. Balikkan arah teropong. Arah ini merupakan arah tangent di C,
4. Lakukan pematokan cara defleksi ke titik berikutnya hingga PT.

Gambar 6.3: Pematokan lingkaran menggunakan titik antara yang terlihat dari PC.

b. Titik antara D tidak terlihat dari PC. Lihat Gambar 6.3, titik D
tidak terlihat PC
Persiapan data:
1. Hitung sudut-sudut pembentuk sudut defleksi d, D dan d'
2. Susun data defleksi jarak tali busur dari PC ke patok-patok hingga
ke patok C
3. Susun data defleksi jarak tali busur dari C ke patok D
4. Susun data defleksi jarak tali busur dari D ke patok-patok hingga ke
patok PT

Pelaksanaan:
1.Tempatkan dan siapkan theodolite di titik D serta tepatkan garis
bidik ke titik C
2. Putar teropong searah jarum jam sebesar arah defleksi dari PC-C
ke PC-D ( a ),
3. Balikkan teropong, maka diperoleh arah tangent di titik satsion D,
4. Lanjutkan pematokan dari D dengan argumen defleksi berikutnya.
 Theodolite di titik PI:
Cara ini dilakukan bila titik PI dapat ditempati alat seperti ditunjukkan pada
Gambar 6.4.

Gambar 6.4: Pematokan lingkaran cara defleksi dari titik PI

Persiapan data:
1. Susun data sudut pusat patok sepanjang lingkaran,
2. Sudut defleksi a dari arah PI-PT ke titik P = tan-1 {(1 – cos q
)/(tan D /2 – sin q )}
3. Hitung XP dan YP terhap PI dan PT (atau PC - tergantung posisi
titik).
3.a XP = T - 2 R sin q /2 cos q /2
3.b YP = R (1 – cos q )
4. Jarak dari PI ke P = (XP2 + YP2)1/2
Pelaksanaan:
1. Tempatkan dan siapkan theodolite di titik PI dan arahkan garis bidik
ke PT (atau PC)
2. Putar garis bidik sebesar a searah jarum jam dan pasang jarak PI
ke P, maka titik P
terpasang.

Pematokan Lingkaran Cara OFFSET:


 Offset Dari Tangent:
Gambar 6.5: Pematokan lingkaran cara offset dari tangen.

Pematokan titik sepanjang lengkung horizontal lingkaran dengan cara


offset menggunakan dasar hitungan yang sama dengan cara defleksi.
Seperti ditunjukkan pada Gambar XYZ, cara offset dari tangent
menggunakan besaran x dan y yang bisa diturunkan dari argumen c
dan q . Besaran c dan q adalah komponen pematokan dengan cara
defleksi.

Persiapan data:
1. Hitung sudut pusat q pada lingkaran dengan argumen panjang
lengkung lingkaran dari
PC / PT ke PI,
2. Hitung panjang lurus LC (long chord) = 2 R sin q/2.
3. Hitung x = LC cosq /2 dan y = LC sinq/2 ,
4. Ulangi hitungan 1, 2dan 3 untuk semua patok stasion.
Pelaksanaan:
Alat yang digunakan bisa menggunakan pasangan theodolite, jalon
dan pita ukur atau pasangan pita ukur dan jalon saja.
1. Tarik arah lurus dari PC/ PT ke PI,
2. Tarik jarak x,
3. Buat sudut siku di x ke arah pusat lingkaran,
4. Tarik jarak y sehingga diperoleh posisi patok pada lengkung
horizontal lingkaran,
5. Ulangi 2, 3 dan 4 untuk semua titik.

 Offset Dari Perpanjangan Chord

Gambar 6.6: Pematokan lingkaran cara offset dari perpenjangan chord.

Cara ini juga disebut cara defleksi jarak. Pada Gambar XYZ, PP' dan
QQ' disebut "jarak defleksi" dari perpanjangan bagian lurus (chord)
= 2y.

Persiapan data:
1. Hitung jarak defleksi (JD ) = 2y = 2 LC sinq/2,
2. Ulangi 1 untuk semua titik stasion. Perhatikan bila jarak stasion
tidak sama.
Pelaksanaan:
Alat yang digunkan adalah pita ukur dan jalon.
1. Perpanjang chord sepanjang c,
2. Buat segitiga sama kaki dengan sisi-sisinya c (perpanjangan
chord) , JD dan c (chord).

 Offset Dari Middle Ordinates

Gambar 6.6: Pematokan lingkaran cara offset dari middle ordinates.

Jika M adalah ordinat titik tengah dengan panjang chord = c dan


sudut pusat D , maka ordinat sembarang titik P pada arah tangen dari
ordinat titik tengah M adalah
y = {x/(c/2)}2

Persiapan data:
1. Hitung c,
2. Hitung x dan y,
3. Ulangi 1, 2 untuk semua titik patok stasion.
Pelaksanaan:
Alat yang digunakan pita ukur dan jalon.
1. Tentukan arah tangen di titik tengah,
2. Tarik panjang x,
3. Buat sudut siku ke arah dalam lingkaran di x, dan tarik y pada arah
ini dari x
sehingga diperoleh posisi P,
4. Ulangi 2 dan 3 untuk semua patok.

6.2 Lengkung Peralihan Spiral

 Merupakan lengkungan yang secara "sedikit demi sedikit" (gradual) jari-jari


kelengkungannya berubah dari tak berhingga (lurus) hingga menjadi jari-
jaring lengkung lingkaran.
 Lengkungan untuk memberikan kenyamanan, kemudahan dan keamanan.

Notasi:
Gambar 6.8: Geometri lengkung peralihan spiral

Gambar 6.9: Geometri lengkung peralihan spiral bersambung dengan circle.

TS Titik perubahan dari bagian lurus ke spiral,

SC Titik perubahan dari spiral ke circle

CS Titik perubahan dari circle ke spiral


ST Titik perubahan dari spiral ke bagian lurus

SS Titik perubahan dari spiral satu ke spiral yang lainnya


Panjang lengkung spiral dari TS ke sembarang titik di spiral
l

ls Panjang lengkung spiral total dari TS ke SC

q Sudut pusat spiral dengan panjang spiral l

qs Sudut pusat spiral dengan panjang spiral ls, disebut "sudut spiral"

f Sudut defleksi di titik TS dari arah tangent awal ke suatu titik di spiral
Sudut pusat total lengkungan
D
Sudut pusat lengkung lingkaran dari SC ke CS
D c c

Rc Jar-jari lengkung lingkaran

x Absis sembarang titik pada spiral terhadap sumbu dari TS arah awal tangen

xc Absis titik SC
Ordinat sembarang titik pada spiral terhadap sumbu dari TS arah awal tangen
y

yc Ordinat titik SC

p Offset dari awal tangent ke PC dari circle yang digeserkan


Absis PC dari circle yang digeserkan ke TS,
k
Jarak total tangent dari TS ke PI atau dari PI ke ST
Ts
Jarak eksternal total
Es

LC Jarak penghubung lurus dari TS ke SC

LT Tangen panjang, jarak lurus dari TS hingga perpotongan tangen spiral dan
tangent circle.
Tangen pendek, jarak lurus dari SC hingga perpotongan tangen spiral dan
ST tangen circle.

6.2.1 Model Lengkung Peralihan Spiral


 R = K/l; dengan K = konstanta.
Maka pada titik SC, Rc = K/ls, sehingga R = Rcls/l.
2
 q = l /2Rcls.
2
= l /2Rcls.
Pada titik SC, q = qs = ls/2Rc qs = ls/2Rc atau ls = 2 Rcqs
2
 Pada sembarang titik pada spiral q = (l/ls) qs
3
 Pendekatan: y = lq /3 = l /6Rcls,
lebih teliti: y = l(q /3-q 3/42+q 5/1320).
 Pendekatan x = l - (l = l - (lq 2
/10),
2 4
lebih teliti x = l(1-q /10+q /216).
 p = yc – Rc ( 1 – cos q s/2)
 k = xc – Rc sinq s
 Es = (Rc + p) sec D /2 - Rc
Es = E + p sec D /2
 Ts = (Rc + p) tan D /2 + k
Ts = T + p tan D /2 + k
 LT = AB = AD - BD = xc - yc cot qs
 ST = BC = yc / sin qs
 Bila q < 16° maka bisa dianggap f = q/3,
,
sehingga di titik SC : fc = = qs/3 /3
 D = Dc + 2 + 2qs

6.2.2 Pematokan Titik Pada Lengkung Peralihan Spiral Cara Defleksi

Persiapan Data:
Data perencanaan yang ada: D , ls dan Rc
a. Hitung qs

b. Hitung p dan k
c. Hitung Ts
d. Hitung Dc dan Lc
e. Hitung Sta TS, SC, CS dan ST
f. Susun data pematokan sesuai jarak antar patok ( 25, 50, atau 100 m ).
Contoh hitungan pematokan S-C-S simetri terlampir (stakeSpiral).

Pelaksanaan Pematokan:
Cara Defleksi:
a. Dirikan dan siapkan theodolite di TS,
b. Bidikkan teropong ke titik PI,
c. Geserkan teropong sebesar sudut defleksi,
d. Tarik jarak = jarak lurus ke titik patok dari TS,
e. Ulangi c dan d hingga seluruh patok terpasang hingga titik SC,
f. Pindahkan theodolite ke SC dan siapkan untuk pematokan,
g. Arahkan teropong ke TS,
h. Geser teropong searah jarum jam sebesar (q s - f f c) dan balikkan
teropong,
i. Arah teropong sekarang = arah tangent circle di titik SC,
j. Lakukan pematokan cara defleksi titik sepanjang circle hingga CS,
k. Pindahkan theodolit ke ST dan siapkan untuk pematokan,
l. Lakukan pematokan titik sepanjang spiral dari ST ke SC

6.3 Lengkung Parabola

6.3.1 Persamaan umum parabola:

Parabola mempunyai bentuk persamaan y = kx2. Perhatikan Gambar 6.10


berikut:

Gambar 6.10: Lengkung parabola.

Bila VM = e, maka LR/VC = (AL/AV)2 /VC = (AL/AV)2 atau LR = (AL/AV)2


= (AL/AV)2 ´ VC..

 Offset dari tangen ke bagian lengkung parabola sebanding dengan kuadrat


jarak dari titik tangen,
 Lengkung parabola membagi dua sama besar garis penghubung lurus titik
awal dan akhir tangen.

6.3.2 Lengkung Vertikal Parabola:

Ketentuan model parabola untuk menyambungkan dua bagian "lurus" pada


alignment vertikal:
a. Jarak sepanjang lengkung adalah jarak horizontal,
b. Offset dari lengkungan ke bagian lurus (grade) diukur arah vertikal.
Gambar 6.11: Alinyemen vertikal menggunakan parabola simetri.

Notasi:

PC Titik awal lengkung vertikal

PI Titik persilangan lengkung vertikal

PT Titik akhir lengkung vertikal

l Jarak horizontal dari PC ke PI = jarak horizontal dari PI ke PT

L Jarak horizontal dari PC ke PT = 2 ´ l

g1 Kemiringan tangent PC-PI dalam %, + bila menaik dan - bila menurun

g2 Kemiringan tangent PI-PT dalam %, + bila menaik dan - bila menurun

e Offset dari PI ke pertengahan lengkung vertikal = jarak dari titik pada


pertengahan lengkung ke bagian lurus penghubung PC - PT

Rumus Lengkung Vertikal Parabola Simetri:


 G = g2 - g1
 r = (g2 - g1)/L
 Andai ketinggian PC = 0, maka:
a. Ketinggian PI = g1 l,
b. Ketinggian PT = g1 l + g2 l;
c. Ketinggian M = 1/2 ketinggian (PI + PT) = 1/2 (g1 l + g2 l),
d. e = VC = 1/2 ketinggian (M - V) = 1/4l (g2 - g1) = 1/8L (g2 - g1) =
1/8LG,
e. DB = 4e = 1/2 LG
 Ketinggian sembarang titik berjarak x dari PC:
Ex = Ea + g1 x + (x/L)24e
atau
Ex = Ea + g1x + 1/2 rx2
 Empat kemungkinan lengkung vertikal parabola:
Gambar 6.12:
1."Summits", e minus, ada titik balik tertinggi
2. "Summits", e minus,
3: "Sags", e plus,
4: "Sags", e plus, ada titik balik terendah.

Gambar 6.12: Kemungkinan bentuk lengkung vertikal parabola.

 Titik balik tertinggi/terendah bila:


(g1 > 0 dan g2 < 0 dan g2 < 0) atau (g2 < 0 dan g1 > 0 dan g1 > 0),
dengan lokasi titik balik pada XTB = g1L/(g1 - g2).

6.3.3 Pematokan Parabola Vertikal Simetri

Titik PVI pada lengkung parabola vertikal tidaklah seperti PI pada lengkungan
horizontal yang dalam banyak hal masih bisa dipasang langsung di lapangan.
Titik PVI adalah titik model yang tidak mungkin di pasang di lapangan.

Patok ketinggian pada parabola vertikal adalah ketinggian renacana arah


vertikal pada sumbu alignment horizontal. Oleh karena itu masih harus
dihitung data lainnya agar bentuk bangunan rute bisa dipasang di lapangan.
Pada perencanaan jalan, ketinggian pada lengkung vertikal parabola adalah
ketinggian permukaan perkerasan - misalnya aspal, sehingga dengan
menggunakan tipikal perkerasan jalan harus dihitung dan dipasang patok-
patok petunjuk batas dan tinggi timbunan ataupun galian pada muka sub-
grade, titik batas dan tinggi muka sub-base dari muka subgrade, titik batas
dan tinggi muka basecoarse dari muka sub-base, titik batas dan tinggi muka
perkerasan dari muka basecoarse, titik batas dan tinggi muka bahu jalan.
Pemasangan patok-patok batas dan ketinggian ini dipasang pada arah
potongan melintang tegak lurus arah sumbu horizontal. Dengan analogi yang
sama berlaku untuk rel, saluran irigasi dan sungai.

Pematokan pada sumbu arah vertikal dilakukan dua tahap, pertama hitungan
tinggi titik pada permukaan sumbu dan kedua hitungan tinggi titik-titik dan
jaraknya dari sumbu sesuai dengan bentuk rencana potongan melintang
sumbu di stasion tersebut. Hitungan pada arah penampang melintang juga
harus digambarkan pada gambar penampang melintang tanah yang ada
(existing) untuk menghitung kuantitas pekerjaan. Gambar ini juga membantu
untuk pegangan bagi pelaksana di lapangan.

Persiapan data:
a. Hitung jarak patok x dari stasion PVC,
b. Hitung ketinggian titik, Ex = Ea + g1x + (x/L)24e atau Ex = Ea + g1x +
1/2 rx2
c. Hitungan (stakeParabola). dalam bentuk spread sheet MS Excel terlampir.

Pematokan:
a. Alat yang digunakan: sipat datar dengan sepasang rambu, pita ukur,
mistar, kuas dan cat
untuk penandaan,
b. Dirikan sipat datar di lokasi pematokan dan bidikkan ke titik rujukan
ketinggian,
c. Hitung ketinggian garis bidik,
d. Hitung bacaan rambu pada suatu titik rencana = tinggi garis bidik - tinggi
rencana,
e. Pasang tanda ketinggian pada patok pengikat sumbu di kanan dan kiri rute
sesuai tinggi
rencana.

6.4 Superelevasi Dan Pelebaran Pada Lengkungan.

6.4.1 Superelevasi:

Superelevasi merupakam upaya untuk melawan gaya sentrifugal yang


mengarah ke luar pada suatu belokan. Pengangkatan bagian luar
dimaksudkan agar pembelokan - pada jalan misalnya - terasa nyaman dan
aman. Superelevasi diberikan secara sedikit demi sedikit – linier (gradual),
sepanjang lengkungan horizontal.

Pada lengkungan S-C-S, superelevasi menaik sedikit demi sedikit dari normal
pada TS hingga maksimum pada SC dan konstan terus ke CS serta sedikit
demi sedikit menurun hingga normal di ST.

Misal pada suatu jalan mempunyai kemiringan potongan tipikal muka jalan
permukaan perkerasan normal - e% dan superelevasi + E%, maka:

a. Bagian luar diangkat sedikit demi sedikit linier dari - e% pada TS dan
maksimum + E%
pada SC.

b. Tentukan stasion tempat bagian kemiringan luar menjadi 0% dan + e%,

c. Kemiringan bagian dalam tetap -e% hingga stasion bagian luar menjadi +
e%,
d. Kemudian keduanya menaik/menurun hingga +E%/-E% di SC,

e. Setelah itu konstan + E%/-E% dari SC hingga CS,

f. Dari CS menurun/menaik kebalikan dari langkah a, b, c, d hingga normal -e


% di bagian
luar/dalam di ST.

Pada lengkungan horizontal circle saja, diberikan transisi seakan-akan


mempunyai bagian perubahan seperti pada S-C-S dan diberikan superelevasi
seperti pada S-C-S.

Gambar 6.13: Diagram superelevasi jalan pada lengkung horizontal S-C-S.

6.4.2 Pelebaran

Pada rute jalan, pelebaran pada lengkung horizontal dibuat untuk


memberikan ruang gerak kendaraan pada waktu membelok dan memberikan
jarak pandang bebas bagi pengemudi.

Pelebaran diberikan pada bagian dalam lengkungan. Pada S-C-S pelebaran


diberikan secara sedikit demi sedikit dari 0 pada TS hingga maksimum
pelebaran + m meter pada SC dan konstan hingga CS serta menurun sedikit
demi sedikit kembali 0 pada ST. Pada C saja, pelebaran diberikan seolah-olah
ada bagian transisi yang mendahului dan mengakhiri C dengan bagian
tangen.

Gambar 6.14: Diagram pelebaran jalan pada lengkung horizontal S-C-S.

6.5. Penampang

Penampang merupakan gambar irisan tegak. Bila pada peta topografi bisa
dilihat bentuk proyeksi tegak model bangunan, maka pada gambar
penampang bisa dilihat model potongan tegak bangunan dalam arah
memanjang ataupun melintang tegak lurus arah potongan memanjang. Bisa
dipahami bahwa gambar penampang merupakan gambaran dua dimensi
dengan elemen unsur jarak (datar) dan ketinggian. Unsur-unsur rupa bumi
alamiah ataupun unsur-unsur buatan manusia yang ada dan yang akan
dibuat disajikan dalam gambar penampang. Pada gambar penampang dibuat
dan disajikan rencana dan rancangan bangunan dalam arah tegak. Skala
horizontal pada gambar penampang umumnya lebih kecil dibandaing skala
tegak.

Pengukuran penampang bisa dilakukan dengan mode teristris, fotografis


ataupun ekstra teristris. Tergantung pada jenis pekerjaan dan kondisi
medannya, pengukuran penampang bisa dilakukan dengan cara langsung
ataupun tidak langsung menggunakan alat sipat datar, theodolite atau alat
sounding untuk pengukuran pada daerah berair yang dalam.

6.5.1 Penampang memanjang

Penampang memanjang umumnya dikaitkan dengan rencana dan rancangan


memanjang suatu rute jalan, rel, sungai atau saluran irigasi misalnya. Irisan
tegak penampang memanjang mengikuti sumbu rute.

Pada rencana jalan, potongan memanjang umumnya bisa diukur langsung


dengan cara sipat datar kecuali pada lokasi perpotongan dengan sungai, yaitu
potongan memanjang jalan merupakan potongan melintang sungai.. Pada
perencanaan sungai, potongan memanjang umumnya tidak diukur langsung
tetapi diturunkan dari data ukuran potongan melintang.

Skala jarak horizontal gambar penampang memanjang mengikuti skala peta


rencana rute sedangkan gambar skala tegak (ketinggian) dibuat pada skala
1 : 100 atau 1 : 200. Gambar potongan memanjang suatu rute umumnya
digambar pada satu lembar bersama-sama dengan peta rencana alignment
horizontal rute.

Gambar potongan memanjang pada perencanaan rute digunakan untuk


merencanakan alignment vertikal rute.

6.5.2 Penampang melintang

Penampang melintang merupakan gambar irisan tegak arah tegak lurus


potongan memanjang. Gambar penampang melintang secara rinci
menyajikan unsur alamiah dan unsur rancangan sehingga digunakan sebagai
dasar hitungan kuantitas pekerjaan.

Penampang melintang umumnya diukur selebar rencana melintang bangunan


ditambah daerah penguasaan bangunan atau hingga sejauh jarak tertentu di
kanan dan kiri rute agar bentuk dan kandungan elemen rupa bumi cukup
tersajikan untuk informasi perencanaan. Data ukuran penampang melintang
juga umum digunakan sebagai data penggambaran peta totografi sepanjang
rute.
Cara pengukuran penampang melintang bisa menggunakan alat sipat datar,
theodolite atau menggunakan echo sounder untuk sounding pada tempat
berair yang dalam. Pada pengukuran potongan melintang sungai bisa
dipahami bahwa sumbu sungai tidak selalu merupakan bagian terdalam
sungai. Data lain yang harus disajikan pada potongan melintang sungai
adalah ketinggian muka air terendah dan ketinggian muka air tertinggi atau
banjir.

Skala horintal dan vertikal gambar penampang melintang selalu dibuat dalam
skala besar
1 : 100/1 : 100, 1 : 200/1 : 100 atau 1 : 200/1 : 200.

6.5.3 Penampang melintang baku

Pada perencanaan rute juga dikenal gambar penampang melintang baku -


PMB (typical cross section), yaitu bakuan rancangan melintang yang
menunjukkan struktur rancangan arah melintang. PMB jalan misalnya,
menunjukkan tebal struktur perkerasan jalan, cara penggalian dan
penimbunan serta sarana drainase kanan/kiri jalan (side ditch) bila
diperlukan. Tergantung dari jenis tanah maka akan ada beberapa tipe
potongan normal.

Gambar 6.15: Potongan tipikal jalan normal.

Ketinggian sumbu pada permukaan tipe potongan normal adalah ketinggian


rencana arah vertikal. Berdasarkan tipe potongan normal yang digunakan,
dibuat gambar konstruksi melintang sehingga kelihatan bentuk gambar
konstruksi selengkapnya sesuai keadaan muka tanah setempat.

Gambar konstruksi pada potongan melintang ini harus dipatok di lapangan


untuk dikerjakan dan digunakan sebagai dasar hitungan volume pekerjaan.

Pertanyaan dan Soal Latihan

1. Buat perbandingan penentuan posisi (X,Y) cara polar dan penentuan posisi
patok stasion cara defleksi.
2. PI-10 terletak pada dinding bukit terjal. Untuk itu dibuat PI pembantu PI-10a
dan PI-10b. Bila PI-10a terletak 201.374 m dari PI-09, sudut defleksi PI-10a
= 2° 15’ 20" dan
PI-10b = 3° 10’ 15" dan jarak PI-10a – PI-10b = 75.555 m, maka hitung data
PI-10 itu.

3. PI-01 terletak 301.17 m dari awal proyek pada sta 35 + 063.91. Hitung
stasion tiap 50m dan pematokannya cara defleksi bila data perencanaan
geomtri jalan di PI ini adalah:

D 40° 20’ 0’’

q S 12° 0’ 0’’

D C 16° 20’ 0’’

Rc 300.00 m

ls 125.66 m

xc 125.11 m

yc 8.75 m

p 2.19 m

k 62.74 m

Ts 173.72 m

Es 21.926 m

Lc 85.52 m

L 336.85 m

4. Periksa bila pada PVI berikut terdapat titik belok. Bila terdapat tentukan
lokasi dan jenisnya sebagai titik terendah atau tertinggi.

PVI g1 % g2 % L m

17 - 3 + 1 150

23 - 3 - 1 150

35 + 2 + 5 150

45 + 3 - 4 150

55 - 2 + 3 150
5. Pada PI-02 stasion 112+246.35 direncanakan belokan ke kanan lengkung
horizontal S-C-S dengan panjang ls = 175 m, lc = 150 m, superelevasi + 5%
dan pelebaran + 1.00 m. Bila dianggap tanah asli sepanjang lengkungan ini
datar demikian juga rencana alignment vertikalnya, serta dianggap rencana
permukaan berada 1.00 meter di atas tanah asli maka:

a. Hitung lokasi tempat terjadinya kemiringan muka jalan ki/ka: 0%/-e%, +e


%/-e% dan
+E%/-E%

b. Gambar penampang jalan di lokasi soal a dengan anggapan:


1. Lebar perkerasan jalan 2 x 3.5 m dengan kemiringan muka normal -2%
2. Lebar bahu jalan 2 x 1.5 m dengan kemiringan muka bahu = kemiringan
muka jalan
3. Total tebal perkerasan 70 cm
4. Kemiringan badan jalan H/V = 3/2.

Rangkuman

Pematokan alinyemen horizontal pada dasarnya berbasis cara polar dan poligon.
Titik-titik patok alinyemen horizontal secara fisik bisa dipasang di lapangan dan
menjadi rujukan dalam pengukuran penampang dan pematokan alinyemen vertikal.
Pematokan alinyemen vertikal pada dasarnya berupa pemasangan ketinggian
rencana berbasis penampang melintang. Cara defleksi merupakan cara yang umum
digunakan untuk pematokan alinyemen horizontal pada medan yang terbuka atau
tanpa halangan.

Daftar Pustaka

1. Hickerson, T.F., (1953), Route Location and Surveying, McGraw-Hill, New


York, Chapter 2-7.
2. Sosrodarsono, S. dan Takasaki, M. (Editor), (1983), Pengukuran Topografi
dan Teknik Pemetaan, PT Pradnya Paramita, Jakarta, Bab 8.
3. Wirshing, J.R. and Wirshing, R.H., (1985), Teori dan Soal Pengantar
Pemetaan – Terjemahan, Introductory Surveying, Schaum Series, Penerbit
Erlangga, Jakarta, 1995, Bab 9,10,12,13.

[previous] [next] [daftar isi buku]


[previous] [next] [daftar isi buku]

BAB 7
Pengukuran Jalan dan Pengairan

Pengukuran dan pemetaan rute dimaksudkan untuk membahas penerapan


pengukuran dan pemetaan rute dalam bidang rekayasa teknik sipil, khususnya jalan
dan pengairan. Kajian lebih banyak mengacu pada terapan praktis berdasarkan
bakuan yang diterbitkan oleh bekas Departemen Pekerjaan Umum (PU).

7.1 Pengukuran dan Pemetaan Jalan

Survai jalan meliputi pengukuran dan pemetaan untuk perencanaan dan


pengembangan, perancangan, pelaksanaan pembangunan dan pemeliharaan
jalan. Perhatikan pada
Gambar 7.1 berikut, pengukuran dan pemetaan khusus untuk perencanaan
jalan baru dimulai pada tahapan rencana pendahuluan menggunakan peta
skala 1 : 50 000. Pada tahapan sebelumnya menggunakan peta dasar rupa
bumi (topografi) dan peta-peta lainnya yang sudah tersedia.
Gambar 7.1: Tahapan program perencanaan dan
pengembangan jalan.
(Disalin dari Suyono Sosrodarsono).
Gambar 7.2: Gambar rencanan
alignment horizontal jalan.
(Disalin dari Suyono Sosrodarsono.)
Gambar 7.3: Contoh gambar rencana
alinyemen vertikal jalan.
(Disalin dari Suyono Sosrodarsono).

Telah dibahas di Bab 1, produk pengukuran dan pemetaan di Indonesia


berupa peta dasar ataupun peta tematik lainnya bisa diperoleh dari
BAKOSURTANAL, Dir. Geologi Bandung dan PU.

Pemetaan skala besar 1 : 1 000 yang meliputi pembuatan peta topografi,


pematokan, pengukuran penampang dan pengukuran sekitar bangunan
khusus – misalnya jembatan, dilakukan untuk membuat rancangan detil
jalan. Susunan peta dan gambar pada tahapan ini adalah peta topografi
sekitar route dan penampang memanjang pada satu lembar gambar,
sedangkan gambar penampang melintang digambar tersendiri. Gambar ini
kemudian dilengkapi dengan gambar rencana alinyemen horizontal dan
vertikal – termasuk potongan melintang tipikal sesuai kondisi tanah lokasi.
Pada tahap pelaksanaan, gambar rancangan detil dipatok ulang ke lapangan.
Bila yidak ada penyimpangan yang berarti, maka tidak perlu dilakukan revisi.
Tetapi bila ditemui perubahan yang cukup berarti, maka dilakukan perubahan
rancangan alinyemen horizontal. Setelah dianggap tidak perlu ada perubahan
lagi, dilanjutkan dengan pematokan setiap 25 m dan pengukuran penampang
memanjang dan melintang. Bila rancangan alinyemen vertikal sudah sesuai
keadaan saat konstruksi, maka digambarkan potongan melintang rencana
jalan berdasarkan bentuk-bentuk potongan tipikal yang disepakati untuk
diterapkan. Berdasarkan gambar penampang ini dihitung volume pekerjaan.

Contoh skala peta dan gambar untuk pekerjaan jalan tahap perancangan rinci:

Jenis Peta atau Gambar Skala Catatan

Peta planimetri 1 : 500 Peta sepanjang rute,


s/d pengukuran berbasis sumbu
1 : 1 000 jalan
Pengukuran dan
pemetaan
Potongan memanjang H = skaa plan Perancangan alinyemen vertikal.
rancangan rinci.
setiap 50 m. V 1 : 100

Potongan melintang H/V 1 : 100 Volume perkerjaan

Pengukuran dan Sama seperti pada tahap perancangan rinci, hanya pengukuran penampang
pemetaan melintang dibuat lebih rapat.
untuk
pelaksanaan
Gambar 7.4: Penampang melintang pada berbagai
tipikal konstrusi jalan.
(Dialih dan dikembangkan berdasarkan Hickerson.)

7.2 Pengukuran dan Pemetaan Pengairan

Survai pengairan adalah survai untuk water resource engineering and


management, sehingga akan mencakup dari kawasan sumber air hingga
kawasan hilir di sekitar pantai. Objek yang diukur dan dipetakan bisa meliputi
sistem sungai, waduk dan bendungan, saluran irigasi dan bangunan sarana -
prasarana pengairan lainnya. Jenis pengukurannya - dengan anggapan peta
dasar sudah tersedia, meliputi pemetaan topografi skala 1 : 10 000 atau lebih
besar hingga pengukuran untuk pelaksanaan pekerjaan.

Departemen Pekerjaan Umum, sekarang menjadi Kementerian Negara


Pekerjaan Umum, pada tahun 1986 menerbitkan buku Standar Perencanaan
Irigasi yang meliputi:

 Kriteria Perencanaan:

KP - 01: Kriteria Perencanaan - Bagian Perencanaan Jaringan Irigasi


KP - 02: Kriteria Perencanaan -Bagian Bangunan Utama
KP - 03: Kriteria Perencanaan -Bagian Saluran
KP - 04: Kriteria Perencanaan -Bagian Bangunan
KP - 05: Kriteria Perencanaan -Bagian Petak Tersier
KP - 06: Kriteria Perencanaan -Bagian Parameter Bangunan
KP - 07: Kriteria Perencanaan -Bagian Standar Penggambaran
 Bangunan Irigasi:

BI - 01: Tipe Bangunan Irigasi


BI - 02: Standar Bangunan Irigasi
 Persyaratan Teknis:

PT - 01: Persyaratan Teknis - Bagian Perencanaan Jaringan Irigasi


PT - 02: Persyaratan Teknis - Bagian Pengukuran
PT - 03: Persyaratan Teknis - Bagian Penyelidikan Geoteknik
PT - 04: Persyaratan Teknis - Bagian Penyelidikan Model Hidrolis.
PT - 02 mencakup:
Bagian I : Pemotretan Udara Vertikal,
Bagian II : Pembuatan Peta Ortofoto,
Bagian III : Peta Garis Fotogrametris,
Bagian IV : Pemetaan Situasi Teristris Skala 1 : 5 000,
Bagian V : Pemetaan Situasi Teristris Skala 1 : 2 000,
Bagian VI : Pengukuran Sungai dan Lokasi Bendung,
Bagian VII : Pengukuran Trase Saluran Sistem Situasi,
Bagian VIII : Pengukuran Trase Saluran Sistem IP,
Bagian IX : Pengukuran Trase Saluran Tersier,
Bagian X : Pengukuran Situasi Lahan Bangunan Khusus

Persyaratan-persyaratan yang tercakup dalam PT-02 ini mengutamakan


pemetaan skala besar. Foto udara yang digunakan berskala 1 : 10 000 dan
peta serta gambar-gambar yang dihasilkan berskala ³ 1: 5 000. Sehingga PT-
02 disusun untuk pembuatan peta dan gambar pada tahapan pekerjaan
kajian kelayakan dan perencanaan untuk pelaksanaan.

Kajian survey dan pemetaan dalam PT-02 mencakup persyaratan pengadaan


data secara fotogrametris untuk pembuatan peta topografi jenis ortofoto
hingga pengukuran rincikan cara teristris untuk perencanaan saluran tersier.
Pengukuran dan pemetaan dimulai dengan cara pembuatan dan ketentuan
ketelitian kerangka, cara pengukuran dan pemetaan rinci, cara perekaman
data, cara pengolahan, cara penyajian dan ketentuan dokumentasi.

Contoh persyaratan-persyaratan pengukuran dan pemetaan dalam PT-02:

 Bench Mark:
BM merupakan titik rujukan dan pemeriksaan posisi horizontal (KDH) dan
vertikal (KDV) pengukuran dan pemetaan. Sepanjang rute sungai dan
saluran, BM dipasang setiap interval 2,5 km. BM terpasang dibuatkan
deskripsi.
Gambar 7.5: BM untuk
pengukuran pengairan.
(Disalin dari PT 02 PU)

 Poligon:
Poligon utama:
1. Poligon terikat sempurna,
2. Kesalahan penutup sudut lebih teliti atau sama dengan 10"Ö n; n = jumlah
titik sudut,
3. Kesalahan penutup linier poligon (jarak) £ 1: 10 000.
Poligon cabang:
1. Poligon terikat sempurna pada poligon utama,
2. Kesalahan penutup sudut lebih teliti atau sama dengan:
1. Poligon terikat sempurna pada poligon utama,
2. Kesalahan penutup sudut lebih teliti atau sama dengan 20"Ö n; n = jumlah
titik sudut,
3. Kesalahan penutup linier poligon (jarak) £ 1: 5 000.
 Sipat datar:
Kesalahan penutup sipat datar lebih teliti atau sama dengan 7Ö Dkm mm.
 Titik detil cara tachymetri:
Poligon pembantu:
1. Poligon pembantu terikat pada poligon utama atau poligon cabang,
2. Kesalahan penutup sudut lebih teliti atau sama dengan 24"Ö n; n = jumlah
titik sudut,
3. Kesalahan penutup linier poligon (jarak) £ 1: 2 000,
4. Kesalahan penutup ketinggian titik poligon pembantu £ ± 10Ö Dkm mm.
 Garis kontur:
1. Indeks kontur umumnya 5 m atau 10 m,
2. Inteval 0,25 m pada daerah datar hingga 10 m pada derah dengan
kecuraman > 20%.
 Proyeksi peta: UTM
 Kertas gambar:
1. Kertas gambar ukuran A1,
2. Wajah peta (50 cm x 80 cm),
3. Skala peta 1 : 2 000, 1 : 5 000, 1 : 10 000 dan 1 : 20 000.
Gambar 7.6: Contoh lembar peta
ortofoto pengairan.
(Disalin dari PT 02 PU)
 Stasion rute:
1. Stasion atau patok kilometer dimulai dari bagian hilir sungai atau awal
bendung,
2. Patok kilometer di pasang sebelah kanan/kiri sungai ataupun saluran.
 Penampang memanjang:
1. Penampang memanjang (PM) sepanjang sungai atau saluran,
2. PM menunjukkan kedalaman asli sumbu, bagian terdalam, tinggi muka air
terendah dan
tertinggi,
3. PM menunjukkan tinggi rencana muka air tertinggi, banjir, tinggi tanggul
kanan dan kiri,
4. PM dibuat berdasarkan data pengukuran penampang melintang,
4. Skala gambar H/V 1 : 2 000/1 : 200 atau 1 : 1 000/1 : 100.

Pengukuran penampang memanjang saluran dan sungai umumnya tidak


diukur tersendiri, tetapi merupakan bagian dari pengukuran penampang
melintang.
Gambar 7.7: Potongan memanjang
sungai.
(Disalin dari Suyono Sosrodarsono).

 Penampang melintang:
1. Penampang melintang tegak lurus sumbu sungai atau saluran,
2. Penampang dilihat dari arah hilir,
3. Selang pengukuran setiap 25, 50 atau 100 m,
4. Skala gambar H/V 1 : 200/1 : 200, 1 : 200/1 : 100 atau 1 : 100/1 : 100.
Gambar 7.8: Contoh tipe pengukuran
panampang sungai.
(Disalin dari Suyono Sosrodarsono)

Gambar 7.9: Bentuk pengukuran titik tinggi/titik


detil sungai.
(Disalin dari PT 02 PU)

 Bangunan Khusus:
1. Bendung/waduk peta topografi skala 1 : 500,
2. Bangunan lainnya skala peta topografi skala 1 : 500 atau 1 : 200.

Pertanyaan dan Soal Latihan

1. Sebutkan jenis dan skala serta pemakaian gambar dan peta pada berbagai
tahapan pekerjaan rekayasa sipil, khususnya jalan. Coba berikan alasan
pemakaian berbagai skala itu.
2. Gambar dan sebutkan elemen pengukuran penampang melintang pada
pengukuran jalan dan sungai. Bandinghkan cara dan peralatan pengukuran
yang mungkin diperlukan.

Rangkuman

Penerapan pengukuran dan pemetaan di bidang rekayasa sipil mulai dari pemetaan
skala kecil yang mencakup daerah luas hingga ke skala besar untuk pelaksanaan
pekerjaan. Pembuatan peta skala kecil dan peta dasar oleh lembaga khusus
pemetaan nasional. Pengukuran dan pemataan skala besar mulai dari tahap
perencanaan pendahuluan dilakukan khusus untuk lokasi pekerjaan.

Daftar Pustaka

1. Hickerson, T.F., (1953), Route Location and Surveying, McGraw-Hill, New


York, Chapter 2.
2. Sosrodarsono, S. dan Takasaki, M. (Editor), (1983), Pengukuran Topografi
dan Teknik Pemetaan, PT Pradnya Paramita, Jakarta, Bab 7 dan 8.
3. Departemen Pekerjaan Umum (1986), PT 02 Standar Perencanaan Irigasi,
Jakarta.

[previous] [next] [daftar isi buku]


BAB 8
Luas Dan Volume

Kemajuan dalam teknologi perangkat keras dan lunak komputer saat ini menjadikan
media dijital (soft copy) sebagai media pilihan untuk penggambaran dan pemetaan.
Bila gambar dan peta tersimpan dan tersajikan secara dijital menggunakan paket-
paket program terapan kelompok CAD (computer aided drafting/design) ataupun
GIS (geographical information systems), maka hitungan panjang, luas dan volume
dari suatu gambar ataupun peta bisa diperoleh dengan mudah menggunakan
program-program yang disediakan.

Gambar yang akan dihitung luasnya bisa berupa gambar potongan, gambar kawasan
yang dibatasi oleh poligon atau kawasan yang dibatasi oleh garis kontur.

Bila penyimpanan dan penyajian menggunakan media konvensional maka bisa


dilakukan hitungan luas cara numeris, grafis, mekanikal-grafis, mekanikal-grafis-
dijital. Hitungan luas cara grafis sangat dipengaruhi oleh kestabilan media dan
ketelitian gambar. Untuk pemakaian praktis sekarang ini dianjurkan hitungan
panjang, luas dan volume dilakukan secara numeris menggunakan kalkulator
berprogram ataupun komputer berprogram.

8.1 Luas

8.1.1 Bentuk dasar beraturan

Persegi empat

Bila panjang persegi empat P dan lebar L, maka luasnya LPE= P x L.

Segitiga

Bila panjang satu sisi b dan tinggi segitiga pada sisi itu = h,
maka luas segitiga LST = 1/2 bh

Bila sudut a diketahui dan sisi pengapitnya b dan c diketahui,


maka luas segitiga LST = 1/2 bc sin a

Bila ketiga sisi segitiga masing-masing a, b dan c diketahui,


maka luas segitiga LST = (s(s - a)(s - b)(s - c))1/2
dengan s = 1/2(a + b + c).

Trapesium

Bila kedua sisi sejajar trapesium b1 dan b2 serta tingginya h diketahui,


maka luas trapesium LTRP = 1/2(b1 + b2)h
8.1.2 Bentuk bentukan dari bentuk dasar beraturan

Bentuk turunan trapesium

Cara offset dengan interval tidak tetap:


A = 1/2(S1y1 + S2y2 + S3y3 + ... + Snyn),
dengan S1 = d1, S2 = d1 + d2, S3 = d2+ d3, S4 = d3 + d4 dan S5 = d4.

Gambar 8.1: Hitungan luas cara offset dengan interval tidak tetap.

Cara offset dengan interval tetap:


A = d{(y1+y2)/2 + y2 + y3 + ... + yn-1}, dengan d adalah interval yang
sama. Pada Gambar x.1 di atas, d1 = d2 = d3 = d4 =d.

Cara offset
A = l (h1 + h2 + h3 + ... + hn) = l S hi, dengan i = 1 ... n.

Gambar 8.2: Hitungan luas cara offset pusat

Bentuk turunan trapesium dan "parabola"

Trapesium dan parabola sebagai pendekatan bentuk yang dibatasi oleh


lengkungan polynomial:

Cara Simpson 1/3, dua bagian dianggap satu set:


A = l/3 (y0 + 4y1 + y2)
Gambar 8.3: Hitungan luas cara Simpson 1/3.

Cara Simpson 1/3 untuk offset ganda berulang:


A = l/3 {y0 + yn + 4(y2 + y4 +...+yn-1) + 2(y3 + y5 +...+ yn-2)}

8.1.3 Bentuk segi banyak cara koordinat

Bila koordinat (X,Y) suatu segi banyak diketahui, maka luasnya adalah:
A = 1/2 S X(Y+1 - Yi-1) atau A = 1/2 S Yi(Xi-1 - Xi+1).

Gambar 8.4: Hitungan luas cara koordinat.

8.1.4 Bentuk luas berdasarkan typical cross-section

Typical cross section adalah bentuk potongan baku yang menunjukkan bentuk
struktur bangunan pada arah potongan. Misal, pada konstruksi jalan beraspal,
typical cross section jalan menunjukkan struktur pelapisan perkerasan jalan
yang juga menunjukkan cara penimbunan ataupun penggalian bila
diperlukan.

Bentuk tanah asli beraturan:

Luas dihitung menggunakan rumus "typical" pada bentuk yang beraturan


tersebut.

Contoh:
Luas galian pada potongan yang ditunjukkan pada Gambar X.5 berikut
adalah
A = h(W + r1h)

Gambar 8.5: Luas galian pada bentuk tanah asli beraturan.

Bentuk tanah asli tidak beraturan.

Hitungan luas berdasarkan potongan lintang pada bentuk tanah asli tidak
beraturan menggunakan cara koordinat. Koordinat perpotongan typical cross
sections dengan tanah asli harus dihitung.

8.1.5 Luas Cara Grafis

Cara kisi-kisi

Bagian yang akan ditentukan luasnya "dirajah" dengan menempatkan kisi-kisi


transparan dengan ukuran tertentu di atasnya. Luas = jumlah kelipatan kisi-
kisi satuan.

Gambar 8.6: Hitungan luas cara grafis kisi-kisi.

Cara lajur

Bagian yang akan ditentukan luasnya "dirajah" dengan menempatkan lajur-


lajur transparan dengan ukuran tertentu di atasnya. Luas setiap lajur = dl,
bila d adalah lebar lajur dan l panjang lajur.
Gambar 8.7: Hitungan luas cara grafis lajur

8.1.6 Luas Cara Mekanis Grafis

Luas gambar diukur dengan menelusuri batas tepinya menggunakan pelacak


pada alat planimeter. Luas kawasan yang diukur diperoleh dengan
mengalikan bacaan manual luas planimeter dikalikan dengan skala gambar.
Pada planimeter dijital, bacaan luas planimeter secara dijital direkam dan
sisajikan langsung oleh alat.

8.2 VOLUME

8.2.1 Cara Potongan Melintang

Cara potongan melintang rata-rata

Bila A1 dan A2 merupakan luas dua buah penampang yang berjarak L, maka
volume yang dibatasi oleh kedua penampang ini:
V = 1/2(A1 + A2) L

Gambar 8.8: Volume cara potongan melintang rata-rata.

Cara jarak rata-rata dari penampang

V = 1/2(L1 + L2) Ao.


Gambar 8.9: Volume cara jarak rata-rata

8.2.2 Cara Prisma dan Piramida Kotak

Cara prisma

V = h/6(A1 + 4 Am + A2)

Gambar 8.10: Volume cara prisma.

Cara piramida kotak

V = h/3{A1 + (A1A2)1/2 + A2}

Gambar 8.11: Volume cara piramida kotak.


8.2.3 Cara Ketinggian Sama

Cara dasar ketinggian sama areal bujur sangkar

V = A/4( h1 + 2 S h2 + 3 S h3 + 4 S h4)

hI = ketinggian titik-titik yang digunakan i kali dalam hitungan volume

Gambar 8.12: Volume cara dasar sama – bujur sangkar.

Contoh, lihat Gambar XYZ. Titik-titik berurutan dari pojok kiri atas ke kanan
terus kebawah masing-masing digunakan dalam hitungan bujur sangkar: 1,
2, 2, 2, 1; 2, 4, 4, 3, 1 dan 1, 2, 2, 1 kali. Contoh hitungan (Volume tinggi
sama basis bujur sangkar). menggunakan spread sheet terlampir.

Cara dasar ketinggian sama areal segitiga

V = A/3(h1 + 2S h2 + 3S h3 + 4S h4 + 5S h5 + 6S h6 + 7S h7 + 8S h8)

hI = ketinggian titik-titik yang digunakan i kali dalam hitungan volume.

Pelaksanaan hitungan menggunakan cara sama dengan cara bujur sangkar

Gambar 8.13: Volume cara dasar sama – segitiga,


8.2.4 Cara Garis Kontur

Gambar 8.14: Volume cara kontur

Cara garis kontur dengan rumus prisma

V = h/3{ Ao + An + 4SA2r+1 + 2SA2r }

r pada 2r + 1 berselang 0 <= r <= 1/2(n - 2),

r pada 2r berselang 0 <= r <= 1/2(n - 2).

Untuk n = 2 diperoleh r = 0, sehingga V = h/3(Ao + A2 + 4A1) = h/3(Ao +


4A1 + A2).
Bila n adalah ganjil, bagian yang terakhir dihitung dengan cara piramida
kotak atau cara rerata luas penampang awal dan akhir.

Cara garis kontur dengan rumus piramida kotak

V = h/3{ Ao + An + 2SAr + S(Ar-1Ar)1/2 }

r pada 2SAr berselang 1 <= r <= n - 1,

r pada S(Ar-1Ar)1/2 berselang 1 <= r <= n.

Untuk n = 1 diperoleh V = h/3{Ao + A1 + (A0A1)1/2} = V = h/3{ Ao +


(A0A1)1/2 + A1 }

Cara garis kontur dengan luas rata-rata

V = h/2 { Ao + An + 2S Ar }

r bernilai 1 <= r <= n - 1.

Untuk n = 1 diperoleh V = h/2 ( Ao + A1 )

Pertanyaan dan Soal Latihan

1. Ambil suatu tipikal perkerasan jalan normal yang lapisan kekerasannya urut
dari atas terdiri dari aspal, base course, sub base dan timbunan atau galian
tanah asli.
a. Gambar tipikal perkerasan ini pada kondisi galian dan timbunan
b. Turunkan rumus untuk menghitung posisi perpotongan timbunan/galian
dengan tanah asli
Bila terjadi timbunan dan galian sekaligus, buat hitungan terpisah untuk
masing-masing.
2. Pada stasion A yang berjarak 50 meter dari stasion B terjadi penimbunan,
sedangkan pada stasion B terjadi penggalian. Buat analisa lokasi stasion
perubahan dari timbunan menjadi galian:
a. Bila galian dan timbunan seragam di kanan dan kiri
b. Bila galian dan timbunan tidak seragam di kanan dan kiri.

Rangkuman

Hitungan luas dan volume bisa dilakukan secara grafis dan numeris. Untuk gambar
yang dibatasi oleh titik-titik yang berkoordinat dianjurkan hitungan luas dan volume
dihitung secara numeris menggunakan kalkulator berprogram dan program
komputer.

Daftar Pustaka

1. Hickerson, T.F., (1953), Route Location and Surveying, McGraw-Hill, New


York, Chapter 9.
2. Sosrodarsono, S. dan Takasaki, M. (Editor), (1983), Pengukuran Topografi
dan Teknik Pemetaan, PT Pradnya Paramita, Jakarta, Bab 8.

Wirshing, J.R. and Wirshing, R.H., (1985), Teori dan Soal Pengantar Pemetaan –
Terjemahan, Introductory Surveying, Schaum Series, Penerbit

Anda mungkin juga menyukai