Anda di halaman 1dari 64

MODUL 1

PENDAHULUAN

Jurusan Teknik Sipil FTSPUSAKTI

Tujuan Pembelajaran Umum:


Pemahaman terhadap pengertian dasar ilmu surveying dan perpetaan.

Tujuan Pembelajaran Khusus:


1. Agar mahasiswa dapat memahami difinisi-definisi dan pengertian-pengertian
dibidang pemetaan.
2. Agar mahasiswa mengerti berbagai jenis survey dan jenis peta.

1.1. Definisi, lingkup, dan jenis surveying


Surveying didefinisikan sebagai ilmu dan seni untuk menentukan posisi
titik-titik diatas, pada, atau di bawah

permukaan bumi; atau sebaliknya, yaitu

memasang titik-titik tersebut di lapangan. Metode pelaksanaan di darat (survai


terestris) paling sering dilakukan, tetapi metode survai di udara (aerial surveying) dan
survai dengan satelit (satellite surveying) juga umum digunakan.
Surveying

dapat

dibagi

dalam:

(a)

Geodetic

surveying,

disini

memperhitungkan adanya kelengkungan bumi, sehingga dibutuhkan pengetahuan


ilmu ukur sferis (spherical geometry) untuk perhitungannya; dan (b) Plane
surveying, disini tidak memperhitungkan adanya kelengkungan bumi, sehingga
semua hasil ukuran akan digambarkan pada bidang datar berdasarkan rumusan ilmu
ukur bidang datar. Plane surveying inilah yang dikenal sebagai ilmu ukur tanah, dan
geodetic surveying sebagai ilmu geodesi.
Di dalam Ilmu ukur tanah jarak-jarak yang diukur dianggap sebagai garis lurus
dan sudut antara dua garis dianggap terletak pada bidang datar. Ilmu ukur tanah
digunakan hanya untuk daerah yang relatif sempit yaitu kurang dari 260 km2, karena
perbedaan jarak lurus dan lengkung di permukaan bumi sejauh 18,2 km hanya
Dasar Pemetaan

sekitar 0,10 meter (Agor, 1982). Dengan demikian untuk bidang enjiniring yang
biasanya dibutuhkan peta-peta skala besar dan cakupan wilayahnya relatif sempit,
lebih tepat menggunakan rumusan ilmu ukur tanah ini.
Hasil pengukuran dewasa ini digunakan untuk: (a) memetakan bumi diatas
dan dibawah permukaan laut; (b) menyiapkan peta navigasi untuk penggunaan di
udara, darat dan di laut; (c) penentuan batas-batas pemilikan tanah; (d)
pengembangan bank data informasi geografi; (e) penentuan ukuran, bentuk,
gravitasi, medan magnit bumi, dan (f) menyiapkan peta-peta bulan dan planet.
Surveying atau metode surveying sering digunakan dan sangat membantu di
bidang geografi, geologi, astronomi, pertanian, kehutanan, archeologi, arsitektur dan
teknik sipil. Di bidang teknik sipil, surveying memainkan peranan penting selama dan
sesudah tahap perencanaan, dan pada tahap pelaksanaan konstruksi dalam
berbagai proyek jalan raya, jalan rel, gedung, perumahan, jembatan, terowongan,
irigasi, bendungan, pekerjaan pipa, dll.

1.2. Jenis survai


Ada beberapa jenis survai yang masing-masing jenis mempunyai
kekhususan tersendiri terutama dalam hal maksud dan tujuannya. Dari tujuan survai
akan dapat ditentukan mengenai metode pelaksanaan, ketelitian atau toleransi yang
diperbolehkan, dan jenis alat yang akan digunakan.
Jenis survai ini antara lain: (a) 'control survey' yaitu penentuan titik kontrol
horisontal dan vertikal yang berguna sebagai kerangka acuan untuk pengukuran
lain; (b) 'property survey' atau 'cadastral survey' yaitu pengukuran batas pemilikan
dan luas persil tanah; (c) 'topographic survey' yaitu survai untuk pembuatan peta
yang menggambarkan kenampakan alamiah dan buatan serta 4ketinggian
tanahnya; (d) 'construction survey' atau 'engineering survey' yaitu menetapkan
titik-titik dan elevasi untuk bangunan; (e) 'route survey' yaitu survai untuk proyek
jalan raya, jalan rel, jalur pipa, jalur listrik, saluran, dll.; (f) 'hydrographic survey'
yaitu pembuatan peta garis pantai dan kedalaman danau, sungai, waduk, dan massa
air lainnya; (g) 'photogrammetric surveying' yaitu pengukuran melalui media foto
Dasar Pemetaan

atau citra yang direkam oleh kamera atau sensor lainnya dari pesawat udara atau
satelit.

1.3. Arti dan jenis peta


Peta adalah gambaran dari permukaan bumi pada bidang datar yang
digambarkan dengan sistem proyeksi dan skala tertentu.

Sistem proyeksi ini

diperlukan karena permukaan bumi berbentuk lengkung, sedangkan permukaan


peta merupakan bidang datar. Dengan demikian setiap peta sebenarnya
mengandung distorsi.
Bidang proyeksi yang digunakan dalam proyeksi peta adalah bidang-bidang
yang bisa didatarkan yaitu kerucut, silinder dan bidang datar. Ilmu ukur tanah
menganggap bahwa bidang permukaan bumi berbentuk datar, kerena itu bidang
proyeksi yang digunakan adalah bidang datar dan dengan sistem
(garis proyeksi saling sejajar), dan posisi titik-titik digambarkan dengan sistem
koordinat tegaklurus (

).

Skala selalu dicantumkan didalam peta dan merupakan informasi yang


sangat penting guna mengetahui gambaran sebenarnya dilapangan. Skala adalah
perbandingan antara jarak di peta dan jarak di lapangan, dan cara penulisannnya
dapat dengan cara menuliskan perbandingan angka yang disebut skala angka
(numerical scale), atau dengan cara grafik yang disebut skala grafik (graphical
scale). Skala angka dapat dibagi dalam dua jenis yaitu: (a) 'Engineer's scale' yaitu
pernyataan 1 cm di peta menggambarkan berapa meter di lapangan, misalnya: 1 cm
= 10 m; (b) 'Fraction scale' yang menyatakan perbandingan jarak di peta dan di
lapangan dalam satuan yang sama, misalnya: 1:500, 1:1.000.
Peta bisa dibagi dalam dua bagian umum yaitu peta planimetri dan peta
topografi. Peta planimetri menggambarkan kenampakan alami dan buatan seperti
sungai , danau, batas-batas, sawah, jalan, pemukiman, dll. Sedangkan peta
topografi selain menggambarkan kenampakan alami dan buatan manusia, juga
menggambarkan keadaan relief atau tinggi-rendah permukaan tanah. (Anderson,
1985).
Dasar Pemetaan

Peta yang menyangkut daerah luas seperti negara dan menggambarkan


kota, sungai, danau, dan batas administrasi pemerintahan disebut peta geografi.
Selain itu ada lagi jenis peta yang menggambarkan obyek-obyek tertentu atau
dengan kata lain mempunyai tema tertentu seperti peta irigasi yang menggambarkan
jaringan irigasi yang ada, peta pariwisata yang menggambarkan obyek-obyek wisata
yang ada. Peta jenis ini yang merupakan peta dengan tema khusus disebut peta
tematik.
Peta dapat digolongkan pula dalam: (a) peta garis ('line-drawn map') yaitu
peta yang digambarkan dengan simbol garis, dan (b) peta foto ('pictorial map') yaitu
peta yang dihasilkan dari foto udara atau foto satelit.
Bila ditinjau dari jenis survainya, peta dapat dikelompokkan dalam: (a) peta
topografi, (b) peta kadaster, (c) peta enjiniring, (d) foto udara. Peta kadaster adalah
peta planimetri yang terutama menggambarkan batas-batas pemilikan lahan, batasbatas pemerintahan dan kenampakan penting lainnya seperti: jalan, sungai, dan lainlain, dan biasanya digambar dengan skala besar. Peta enjiniring merupakan peta
kerja yang dipersiapkan untuk proyek enjiniring yang biasa digunakan pada tahap
perencanaan, disain, ataupun pada tahap konstruksi. Peta enjiniring biasa digambar
dengan skala besar, ketelitian tinggi, garis kontur dan menggambarkan batas-batas
pemilikan tanah dan obyek atau kenampakan yang penting.

Dasar Pemetaan

MODUL 2

PENGETAHUAN ALAT UKUR TANAH

Jurusan Teknik Sipil FTSPUSAKTI

Tujuan Pembelajaran Umum:


Pemahaman terhadap peralatan ukur tanah yang biasanya digunakan dalam
proyek konstruksi.

Tujuan Pembelajaran Khusus:


1. Agar mahasiswa dapat mengenal dan memahami bagian-bagian dari alat
ukur tanah.
2. Agar mahasiswa dapat mengerti kegunaan dari alat-alat ukur tanah.

Alat ukur tanah yang utama adalah: teodolit dan level atau penyipat datar
atau waterpas, serta alat pengukur jarak.

2.1. Teodolit
bagian-bagian alat teodolit (lihat gambar di buku)
Fungsi:

1. mengukur arah/ sudut


2. mengkur beda tinggi/ tinggi
3. mengukur jarak

Dasar Pemetaan

Keterangan:
1. Okuler teropong
2. Obyektif teropong
3. Pengatur focus
4. Alat pembaca micrometer
5. Alat pemutar micrometer
6. Penggerak halus horizontal atas
7. Penggerak halus horizontal bawah
8. Penggerak halus vertical
9. Pengunci putaran horizontal atas
10. Pengunci putaran horizontal bawah
11. Pengunci putaran vertikal
12. Nivo tabung
13. Nivo kotak
14. Skrup penyetel
15. Lingkaran horizontal
16. Lingkaran vertikal
17. Loop centering optic
18. Kaca pemantul cahaya

5
11

16

18

1
8
12

17

13

15
10

14

Gambar 1. Teodolit dan bagian-bagiannya


Dasar Pemetaan

2.2. Level/ waterpas/ penyipat datar


bagian-bagian alat level (lihat gambar)
fungsi : mengukur beda tinggi/ tinggi

Keterangan:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Okuler teropong
Obyektif teropong
Tombol pemfokus
Penggerak halus horizontal
Nivo kotak
Skrup penyetel
Lingkaran horizontal

2
1
5

4
6
7

Gambar 2. Level dan bagian-bagiannya

2.3. Alat pengukur jarak


electromagnetic distance measurement (EDM)
- electro-optical distance measuring
- microwave distance measuring

pita ukur
- dibedakan menurut bahannya: kain, fiberglas, steelon, steel/ baja, dan invar.
Invar tape terbuat dari campuran nickel (36%) dan baja, dan mempunyai
koefisien muai panas/ thermal expansion yang sangat

rendah

(0,000000122 per 1o C).

Dasar Pemetaan

2.4. Alat ukur lain


altimeter: alat pengukur ketinggian; clinometer: alat pengukur lereng/ slope;
kompas: alat penunjuk arah dengan magnit; optical square/ prisma
(pentagonal prism dan double prism): alat untuk membuat sudut siku-siku;
planimeter: alat pengukur luasan; pantograf: alat untuk memperbesar
atau memperkecil peta/ gambar; curvimeter: alat untuk mengukur panjang
kurva/ garis di peta; plane table: alat ukur tanah (mirip teodolit) yang
dilengkapi meja gambar untuk membuat peta yang digambar langsung di
lapangan.

Dasar Pemetaan

MODUL 3
Jurusan Teknik Sipil FTSPUSAKTI

PENGUKURAN JARAK DAN SUDUT

Tujuan Pembelajaran Umum:


Pemahaman terhadap pengertian jarak dan sudut dalam perpetaan.

Tujuan Pembelajaran Khusus:


1. Agar mahasiswa dapat memahami pengertian jarak dan sudut.
2. Agar mahasiswa mengerti metode pengukuran jarak dan sudut.

3.1. Pengertian jarak dan metode pengukuran


Jarak antara dua buah titik dapat berupa jarak miring yaitu panjang langsung
yang menghubungkan kedua titik tersebut, jarak vertikal atau tegak yang
merupakan beda tinggi antara kedua titik, dan jarak horisontal atau datar yaitu
panjang di bidang proyeksi dari kedua titik tersebut. Dalam ilmu ukur tanah bidang
proyeksi yang digunakan adalah bidang datar, sehingga jarak yang digunakan
adalah jarak horisontal. Jarak horisontal antara dua titik yang berbeda tingginya
dapat ditentukan dengan mengukur bagian demi bagian jarak datarnya, atau
mengukur langsung jarak miringnya dan dihitung jarak datarnya dari sudut miringnya
atau beda tingginya.
Beberapa metode pengukuran jarak adalah: (a) langkah, (b) roda ukur, (c)
takhimetri, (d) subtense bar, (e) pita ukur, (f) EDM, dan (g) sistem satelit. Ketelitian,
penggunaannya dan peralatan yang digunakan dapat dilihat pada tabel berikut.
Sedangkan sistem satelit dapat juga digunakan untuk menentukan jarak, misalnya
GPS (Global Positioning System) dapat menentukan jarak karena dengan alat GPS
akan diketahui koordinat suatu titik, dan jarak dihitung dari koordinatnya.

Dasar Pemetaan

3.2. Pengertian sudut


Sudut dibedakan dalam dua macam yaitu sudut horisontal dan sudut
vertikal. Sudut horisontal adalah sudut di bidang horisontal yang dibentuk oleh
perpotongan dua bidang vertikal, dan vertex atau titik sudut terletak pada garis
vertikal di perpotongan dua bidang. Dalam ilmu ukur tanah sudut horisontal juga
merupakan selisih antara dua buah arah yaitu arah depan (foresight) dan arah
belakang (backsight).
Sudut horisontal dapat diukur secara langsung yaitu dengan mengukur arah
belakang dan arah depan dengan alat teodolit yang dipasang di titik sudut, dan dapat
pula diukur secara tidak langsung yaitu dengan penggukuran jarak-jarak
horisontalnya.

Dasar Pemetaan

10

Jurusan Teknik Sipil FTSPUSAKTI

MODUL 4
SISTEM KOORDINAT

Tujuan Pembelajaran Umum:


Pemahaman terhadap pengertian sistem koordinat dalam perpetaan.

Tujuan Pembelajaran Khusus:


1. Agar mahasiswa dapat memahami pengertian sistem koordinat, posisi titik di
muka bumi dan pengertian asimut.
2. Agar mahasiswa dapat melakukan perhitungan koordinat titik.

4.1. Posisi titik


Telah diterangkan pada bab sebelumnya bahwa, maksud pengukuran tanah
adalah menentukan posisi/ lokasi titik-titik dibawah, pada, atau diatas permukaan
bumi. Karena bumi berdimensi tiga, maka lokasi sebuah titik dinyatakan dalam
sistem koordinat tiga dimensi yang mengacu pada sistem koordinat tertentu.

Posisi suatu titik di permukaan bumi umumnya ditetapkan dalam suatu


sistem koordinat teristris. Titik nol dari sistem koordinat teristris ini dapat berlokasi
di titik pusat massa bumi (sistem koordinat geosentris) atau di suatu titik di
permukaan bumi (sistem koordinat toposentris).

Pada sistem geosentris dikenal dua sistem koordinat yang umum digunakan
yaitu sistem koordinat kartesian (X,Y,Z) dan sistem koordinat geodetik atau
sferik (L,B,h) seperti dilukiskan pada gambar 3. Koordinat suatu titik juga dapat
dinyatakan dalam sistem koordinat toposentris yang umumnya dalam bentuk sistem
koordinat kartesian (N,E,U) seperti dilukiskan pada gambar 4.
Dasar Pemetaan

11

Gambar 3. Posisi titik P dalam sistem geosentrik (a),


dan sistem koordinat lokal (b).

Sistem koordinat kartesian tiga dimensi X'Y'Z' yang geosentrik tersebut


ditetapkan dengan sunbu X' melalui Greenwich di Inggris, dan Z' melalui kutub utara
(Y' adalah sumbu yang dibentuk dengan sudut tegaklurus sumbu X' dan Z'). Dalam
sistem X'Y'Z' ini suatu titik dapat ditentukan pula lokasinya dengan sistem koordinat
sferik yaitu latitude/ lintang ( ), longitude/ bujur ( ), dan jarak R + h sepanjang
garis normal ke ellipsoid bumi. Sistem ini digunakan dalam pekerjaan survai geodesi
dan tidak digunakan dalam ilmu ukur tanah.
Dalam ilmu ukur tanah digunakan sistem koordinat kartesian atau tegak lurus
(rektangular) XYZ seperti dilukiskan pada gambar 6.2. Pusat salib sumbu ('origin')
biasanya berada di dekat daerah yang disurvai, dan bidang yang melalui sumbu X
dan Y merupakan bidang datar yang menyinggumg ellipsoid referensi di origin, dan
sumbu Y pada umumnya mengarah ke kutub utara. Suatu titik P posisinya dapat
ditunjukkan dengan koordinat Xp,Yp,Zp; di mana Xp sebagai absis atau 'easting', Yp
sebagai ordinat atau 'northing', dan Zp merupakan elevasi atau ketinggian dari suatu
bidang referensi (datum). Posisi titik P dapat pula ditunjukkan posisinya dengan
sistem koordinat polar (kutub) p, p, rp, dimana p adalah sudut horisontal di

Dasar Pemetaan

12

bidang datar XY, p adalah sudut vertikal, dan rp adalah jarak dari O ke P seperti
dilukiskan pada gambar 4.

Gambar 4. Posisi titik dalam sistem koordinat lokal

4.2. Pengertian arah utara dan asimut

Ada 3 macam arah utara yang dikenal yaitu:


- arah utara magnet (magnetic north)
- arah utara sebenarnya (true north), dan
- arah utara grid (grid north).

Arah utara magnet mengarah ke pusat magnet bumi dan arah utara
sebenarnya mengarah ke kutub utara bumi sebagai pusat sumbu putar bumi. Letak
pusat magnet bumi dan kutub utara tidaklah berimpit, sehingga disetiap daerah di
permukaan bumi besar sudut penyimpangan terhadap arah utara sebenarnya

Dasar Pemetaan

13

berbeda-beda. Sedangkan arah utara grid merupakan garis searah dengan arah grid
yang digunakan di peta.

Asimut suatu garis:

Asimut adalah sudut yang diukur searah jarum jam dari arah utara (sumbu
+Y) atau arah selatan (sumbu -Y), dan besarnya antara 0o - 360o. Pada umumnya
asimut ditentukan dari arah utara.
Dalam ilmu ukur tanah dikenal pula istilah bearing yang merupakan sudut
arah suatu garis yang diukur dari arah utara (sumbu +Y) atau selatan (sumbu -Y)
dan besarnya selalu positip antara 0o - 90o . Penulisan bearing diawali dengan huruf
U atau S yang merupakan awal sudut diukur (utara atau selatan), kemudian besar
sudut dan diakhiri huruf B atau T (barat atau timur) yang merupakan akhir besaran
sudut.

4.3. Perhitungan dengan koordinat


Besaran jarak, asimut, sudut dan koordinat selain dapat diukur dan ditentukan
di lapangan, dapat pula diukur diukur di peta yaitu dengan menggunakan penggaris
skala dan busur derajad. Selain itu dapat pula dilakukan perhitungan berdasarkan
koordinatnya.
Rumus-rumus yang digunakan adalah sbb:

Jarak dan slope antara 2 titik:


Pada gambar terdapat dua titik P1 dan P2 dengan koordinat X1,Y1 dan X2,Y2. Jarak
P1-P2 yang disingkat dengan J12 dapat diuraikan dari rumus Pythagoras untuk
segitiga P1P2P atau

Dasar Pemetaan

14

(P1 P2)2 = (P1P) 2 + (P2P) 2


atau

J 12 X 2 X 1 Y2 Y1
2

maka

J 12

X 1 Y2 Y1
2

Gambar 5.

Slope suatu garis ( P1P2 ) sama dengan tangent dari sudut yang dibentuk oleh suatu
garis terhadap sumbu X. Sudut slope () diukur dari sumbu +X dengan arah
berlawanan arah jarum jam sampai garis yang bersangkutan.
Slope m12 dari garis P1P2 adalah:

m12 tan 12

Y2 Y1
X 2 X1

dan untuk garis P2P1 adalah:

m21 tan 21

Dasar Pemetaan

Y1 Y2
X1 X 2

15

Gambar 6.

Hitungan asimut garis:

tan

X 2 X1
Y2 Y1

tan 1

X 2 X1
Y2 Y1

Hitungan koordinat titik:

Dasar Pemetaan

16

MODUL 5
Jurusan Teknik Sipil FTSPUSAKTI

TAKHIMETRI

Tujuan Pembelajaran Umum:


Pemahaman terhadap metode pengukuran takhimetri.

Tujuan Pembelajaran Khusus:


1. Agar mahasiswa dapat memahami penjabaran rumus takhimetri.
2. Agar mahasiswa dapat menghitung jarak dan tinggi dengan metode
takhimetri.

Takhimetri atau 'tacheometry' adalah suatu metode penentuan jarak


horisontal dan beda tinggi secara tidak langsung dengan menggunakan alat teodolit
yang digunakan untuk mengukur sudut vertikal dan interval pembacaan rambu ukur.
Jarak dan ketinggian yang diperoleh dengan metode ini ketelitiannya lebih rendah
dari pada pengukuran dengan pita ukur, EDM, ataupun levelling, namun metode ini
banyak manfaatnya dan sering digunakan terutama dalam pemetaan topografi yaitu
untuk penentuan lokasi titik-titik detail.
Pengukuran takhimetri yang disebut juga dengan metode 'stadia',
menggunakan jarak dua benang horisontal ('stadia hairs') dan skala pada rambu
ukur ('stadia rod') sebagai perlengkapan utamanya. Dalam pengukurannya, tiga
benang horisontal yaitu benang atas, benang tengah dan benang bawah dibaca
pada rambu ukur. Jarak benang atas dan benang bawah ('stadia interval')
mempunyai perbandingan langsung dengan jarak datarnya (gambar 7), dan bila
posisi teropong tidak mendatar maka ada perbandingan juga dengan sudut
vertikalnya.

Dasar Pemetaan

17

5.1. Prinsip takhimetri


Metode takhimetri didasarkan pada perbandingan jarak-jarak dalam geometri
yang terbentuk oleh sistem optik seperti yang dilukiskan pada gambar 7. Posisi
teropong pada gambar tersebut mendatar yang berarti garis bidiknya juga mendatar,
dan sebuah rambu ukur yang tegak. Jarak benang ditunjukkan oleh titik a dan b yang
berjarak i, dan yang terbaca di rambu ukur adalah A dan B yang berjarak s.
rambu ukur

teropong

A
D

Gambar 7. Takhimetri dengan bidikan mendatar

Sinar dari a yang melalui pusat lensa O dan titik fokus F akan sampai di A
atau sebaliknya. Dari perbandingan dalam segitiga sebangun a'b'F dan ABF, dan
karena a'b'= i, maka:

f d

i
s

di mana:

Dasar Pemetaan

atau

f
i

f
s Ks
i

adalah koefisien pengali ('stadia interval factor)

18

dan biasanya konstante ini besarnya 100. Dengan demikian jarak bidikan horisontal
dari titik fokus ke rambu ukur diperoleh dengan mengalikan konstante pengali
dengan selisih pembacaan rambu.

Jarak horisontal dari pusat instrumen ke rambu ukur adalah:

D=Ks+(f+c)=Ks+C

.................................................................... (5.1)

di mana C sebagai konstante penambah yaitu jarak dari pusat instrumen ke titik
fokus. Biasanya C = f + c ditentukan oleh pabrik dan tertera pada kotak instrumen.
Untuk 'external focusing telescopes' panjang C sekitar 1 feet atau 0,30 meter, dan
untuk 'internal-focusing telescope' panjang C = nol atau mendekati nol.

5.2. Rumus takhimetri


Dalam pengukuran takhimetri, pada umumnya garis bidik tidaklah mendatar
tetapi membentuk sudut vertikal (), dan yang ingin diketahui adalah jarak
horisontal antara pusat instrumen ke rambu ukur (= H) dan jarak vertikal dari
instrumen ke titik terbidik pada rambu ukur (= V).
rambu
z

Gambar 8. Takhimetri dengan bidikan miring

Dasar Pemetaan

19

Pada gambar 8, A B adalah jarak benang pada rambu ukur yang berdiri
vertikal dan A'B' adalah garis yang tegak lurus garis bidik FE. Panjang garis bidik
miring dari pusat instrumen adalah:

f
Di = ( A' B' ) + C

.................................................................................(5.2)

i
Untuk keperluan praktis, sudut-sudut di A' dan B' dianggap 90o, sehingga bila AB =
s maka A'B' = s cos di mana adalah sudut vertikal garis bidik. Apabila ini
disubstitusi ke persamaan (5.2) dan K = f / i, maka jarak miring :
Di = K s Cos + C

...................................................................................(5.3)

dan komponen horisontal dan vertikalnya adalah:


H = K s Cos2 + C Cos

......................................................................(5.4)

dan
V = K s Cos Sin + C Sin

............................................................(5.4a)

atau
V = 1/2 K s Sin 2 + C Sin

...................................................................(5.5)

Apabila sudut terukur adalah sudut zenit, maka rumus (5.4) dan (5.5) menjadi:
H = K s Sin2 z + C Sin z

.........................................................................(5.5a)

dan
V = 1/2 K s Sin 2 z + C Sin z

Dasar Pemetaan

..................................................................(5.5b)

20

5.3. Rumus pendekatan


Untuk pengukuran yang tidak dibutuhkan ketelitian tinggi, dapat digunakan
rumus-rumus pendekatannya yaitu dengan mengabaikan konstante penambah C
atau menganggap C = 0, sehingga persamaam (5.4) akan menjadi:
H = K s Cos2

........................................................................................(5.6)

H = K s Sin2 z

........................................................................................(5.6a)

atau

di mana adalah sudut vertikal dan z adalah sudut zenit.


Begitu pula persamaan (5.5), bila C dianggap nol akan menjadi:
V = 1/2 K s Sin 2

...................................................................................(5.7)

atau
V = 1/2 K s Sin 2 z

...................................................................................(5.7a)

5.4. Pengukuran beda tinggi dengan takhimetri


Beda tinggi antara dua buah titik dapat ditentukan dengan mendirikan
instrumen (teodolit) di salah satu titik, misalnya di titik A, dan melakukan pengukuran
takhimetri yaitu mengukur sudut vertikal, interval bacaan rambu dan tinggi instrumen.

Pada gambar 9, instrumen didirikan di titik A dengan tinggi instrumen = Ti dan


rambu ukur yang didirikan di titik B. Pembacaan sudut vertikalnya = dan
pembacaan benang pada rambu ukur adalah: benang atas = Ba, benang tengah =
Bt dan benang bawah = Bb. Dengan menggunakan rumus (5.5) atau (5.7) dapat
dihitung besarnya V. Dengan demikian beda tinggi antara A dan B:
H AB = V + Ti - Bt

Dasar Pemetaan

.......................................................................................(5.8)

21

V
D

Ti

Hi

A
DATUM / MSL

Gambar 9. Pengukuran beda tinggi dengan takhimetri

Apabila tinggi titik A (HA) diketahui, maka tinggi titik B (HB) dapat dihitung yaitu:
HB = HA + HAB

atau

HB = HA + V + Ti - Bt .......(5.9)

Pengukuran ketinggian dengan takhimetri ini sering digunakan dalam


pengukuran detail pada pemetaan topografi.

Pengukuran beda tinggi antara dua titik dapat pula ditentukan dengan
menempatkan instrumen tidak pada salah satu titik tersebut, tetapi didirikan di tempat
lain atau di antaranya (Gambar 10).

Dasar Pemetaan

22

G
B

Gambar 10. Pengukuran beda tinggi antara dua titik


Dari titik G akan melakukan pengukuran-pengukuran A, BaA, BtA, dan BbA
terhadap titik A, dan juga B, BaB, BtB, dan BbB terhadap titik B. Dengan
menggunakan rumus (5.8) dapat dihitung beda tingginya dengan titik G yaitu:
H GA = VA + Ti - BtA

dan

H GB = VB + Ti - BtB,

sehingga beda tinggi antara titik A dan B adalah:


H AB = (VA - VB) - (BtA - BtB) ......................................................................(5.10)

Dasar Pemetaan

23

MODUL 6
Jurusan Teknik Sipil FTSPUSAKTI

POLIGON

Tujuan Pembelajaran Umum:


Pemahaman terhadap pengertian pengukuran poligon.

Tujuan Pembelajaran Khusus:


1. Agar mahasiswa dapat memahami difinisi-definisi dan maksud dari
pengukuran poligon.
2. Agar mahasiswa dapat melakukan perhitungan koordinat dari pengukuran
poligon.

6.1. Definisi dan maksud pengukuran poligon


Poligon atau "traverse" merupakan rangkaian garis lurus yang dihubungkan
oleh titik-titik di sepanjang jalur survei. Garis-garis lurus tersebut disebut sisi poligon
dan titik-titik di ujung garis disebut titik poligon atau stasion poligon, serta sudut
yang dibentuk oleh dua sisi poligon disebut sudut poligon.
Pengukuran poligon dimaksudkan untuk menentukan koordinat titik-titik
poligon (absis dan ordinat), dan dari titik-titik poligon itu dapat dilakukan pengukuranpengukuran untuk menentukan posisi atau koordinat titik-titik yang lain misalnya
batas-batas persil tanah, sudut-sudut bangunan, atau titik-titik lainnya yang
diperlukan. Dengan demikian poligon dapat digunakan untuk: (a) pengukuran batas
lahan atau pengukuran luasan, (b) kerangka dasar dalam pemetaan topografi, (c)
penentuan posisi titik kontrol (bench mark), dan (d) menentukan lokasi atau posisi
dari hasil perencanaan atau disain ke lapangan, misalnya dalan pekerjaan
penentuan lajur jalan raya, jalan rel, transmisi dan pekerjaan teknik sipil lainnya.
Dasar Pemetaan

24

6.2. Macam poligon


Secara umum poligon dibedakan dalam dua macam yaitu (a) poligon terbuka
dan (b) poligon tertutup. Penggolongan poligon tersebut terutama didasarkan atas
hubungan posisi titik awal dan titik akhir poligon. Apabila titik awal dan titik akhirnya
tidak menyatu atau bila titik awal diketahui posisinya dan titik akhirnya tidak diketahui,
maka poligonnya disebut poligon terbuka. Dan apabila titik awal dan titik akhir telah
diketahui posisinya, atau titik awal juga sebagai titik akhir (menyatu), maka disebut
poligon tertutup.
Pada poligon terbuka, sudut-sudut dan jarak-jarak terukur tidak mempunyai
alat kontrol untuk mendeteksi adanya kesalahan pengukuran (error atau blunder),
karena berdasarkan bentuk geometrisnya tidak ada hubungan matematiknya. Oleh
karena itu untuk memperkecil kesalahannya atau untuk menghindari adanya
blunder, maka pengukuran jarak perlu diukur lebih dari satu kali dan pengukuran
sudutnya diukur dengan metode repetisi serta diadakan pengukuran asimut di
beberapa titik poligon untuk menggontrol sudut-sudut terukurnya. Poligon terbuka
dengan titik akhir yang tidak diketahui posisinya sering disebut poligon lepas.

6.3. Persyaratan poligon


6.3.1. Poligon tertutup

1. Syarat sudut
S = (n - 2) 180

......................... (untuk sudut dalam)

S = (n+ 2) 180

......................... (untuk sudut luar)

dimana: S = jumlah sudut


n

Dasar Pemetaan

= jumlah titik poligon

25

2. Syarat sisi
J. Sin = 0
J. Cos = 0
dimana: J = jarak sisi poligon

= asimut
6.3.2. Poligon terbuka

.. (tidak dibahas disini)

1. Syarat sudut
2. Syarat sisi

6.4. Cara pengukuran poligon


Pada poligon selalu diukur:
a. semua sudut
b. semua sisi
c. asimut awal.

6.5. Perhitungan poligon


Perhitungan poligon yang akan diuraikan disini adalah perhitungan dengan
metode Boudith.

Tahapan perhitungannya adalah sbb:


A. Perhitungan sudut terkoreksi
- Hitung sudut rata-rata tiap titik (S1, S2, S3, ........, Sn)
- Hitung koreksi sudut dengan aturan : kesalahan sudut dibagi rata ke tiap titik, dan
apabila ada angka koreksi yang tidak sama, berikan pada sudut dengan sisi
terpendek.
- Hitung sudut terkoreksi.
Dasar Pemetaan

26

B. Perhitungan asimut

Asimut dihitung berdasarkan sudut terkoreksi dan asimut awal atau asimut
sisi sebelumnya.

2 = 1 + 180 - S2 ..................... (bila diukur sudut dalam)


2 = 1 - 180 + S2 ..................... (bila diukur sudut dalam)
C. Perataan selisih absis (J.sin ) dan selisih ordinat (J.cos )
- Hitung: J.Sin dan J.Cos

- Hitung koreksinya

Xi =

Yi =

J1
.J . sin
J
J1
.J . cos
J

- Hitung: J.Sin dan J.Cos terkoreksi: ( J.Sin ) dan ( J.Cos )


( J. Sin ) = J. Sin + Xi
( J. Cos )

= J. Cos + Yi

- Cek : ( J. Sin ) dan ( J.Cos ) harus = 0

Dasar Pemetaan

27

D. Perhitungan koordinat
Xi+1 = Xi + ( Ji . Sin )
Yi+1 = Yi + ( Ji . Sin )

Dasar Pemetaan

28

HITUNGAN POLYGON
SUDUT LUAR
Sudut
STA
rata-rata
BM.1

277.0028

LOKASI : Jl. Anggrek Nelly Murni


2007

Koreksi

Sudut

Azimut

Jarak

Sudut

Terkoreksi

-0.0087

268.8917

-0.0087

249.0611

P.2

P.3

194.7139

190.9667

281.4861

-0.0087

200.1528

137.7944

0.006

0.001

Azimuth

Terkoreksi

Terkoreksi

(m)

(m)

(m)

Terkoreksi

95.368

-95.368

0.000

500.000

500.000

50.000

-95.362

0.001

-0.0087

79.556

-1.551

79.541

0.005

0.001

-1.546

42.546

39.430

15.983

0.003

0.000

39.433

82.6406

41.768

41.424

5.350

0.003

0.000

41.426

5.351

93.5986

40.350

40.271

-2.533

0.002

0.000

40.273

-2.532

-30.698

0.002

0.000

-8.267

-0.0087

-29.278

0.002

0.000

-20.666

4.707

-38.369

0.002

0.000

4.710

-0.0434

1800.0000

Kesalahan penutup linier


Ketelitian
poligon
Rumus Asimut Sudut dalam

Dasar Pemetaan

405.877

-0.025

-0.004

0.025

0.004

=
0.025
:
405.877
=
1
:
16.033
= Asimut awal - Sudut dalam + 180

29

0.000

49.845

567.646

49.357
215.2176

538.369

49.624
173.0023

500.000
1800.0694

598.345

-38.369

BM.1
JUMLAH

48.844

195.0728

495.290
38.657

600.877

-29.277

137.7858
173.0059

48.632

93.5978

515.957
-20.669

595.526

-30.698

200.1441
35.838

49.658

82.6405

524.224
-8.269

579.543

67.9362

483.951

281.4774

-0.0087

358.8865

442.525

31.793

49.317

15.983

190.9580

-0.0087

500.001

79.542

194.7052

-0.0087

270.0006

403.092

215.2201
P.5

dy

J Cos A

249.0524

195.0760
P.4

dx

J Sin A

404.638

67.9354
P.1

Koreksi

268.8830
358.8830

BM.3

J Cos A

276.9941
270.0000

BM.2

J Sin A

0.000

500.000

50.000

Rumus Asimut Sudut luar

Dasar Pemetaan

= Asimut awal + Sudut luar - 180

30

MODUL 7

LEVELLING

Jurusan Teknik Sipil FTSPUSAKTI

Tujuan Pembelajaran Umum:


Pemahaman terhadap pengukuran levelling.

Tujuan Pembelajaran Khusus:


1. Agar mahasiswa dapat memahami difinisi-definisi dan maksud dari
pengukuran levelling.
2. Agar mahasiswa dapat melakukan perhitungan ketinggian dari pengukuran
levelling.

Ada beberapa metode penentuan ketinggian (elevasi) suatu tempat yaitu: (a)
trigonometri, (b) barometrik dan (c) levelling. Metode trigonometri, disebut juga
dengan indirect levelling, menggunakan prinsip ilmu ukur segitiga dan dilakukan
dengan pengukuran sudut vertikal dan jarak, dan metode barometrik (barometric
levelling) menggunakan prinsip perubahan tekanan udara yang dipengaruhi oleh
ketinggian

tempatnya.

Levelling,

disebut

juga

sebagai

direct

levelling,

memanfaatkan sifat-sifat alami benda cair yang selalu membentuk sipatan mendatar
di permukaannya, dan levelling merupakan metode penentuan ketinggian yang
paling teliti dari pada metode penentuan tinggi yang lain.

7.1. Pengertian dan prinsip pengukuran sipat datar


Levelling adalah metode penentuan tinggi titik-titik di permukaan bumi.
Tinggi/ elevasi sebuah titik di permukaan bumi adalah jarak vertikal di atas atau di
bawah suatu bidang yang disebut level surface, yaitu permukaan lengkung yang di
setiap elemennya tegaklurus garis unting-unting (plumb line). Level surface yang
dipakai sebagai referensi disebut datum, dan datum yang digunakan pada
umumnya adalah permukaan laut rata-rata atau Mean Sea Level (MSL).
Dasar Pemetaan

31

Garis level (level line) adalah suatu garis yang berjarak tetap terhadap
permukaan laut rata-rata, dan ini merupakan garis yang berbentuk kurva yang
terletak pada level surface. Sedangkan garis horisontal (horizontal line) merupakan
garis singgung terhadap garis level di suatu titik, dan karena itu garis ini akan tegak
lurus arah gravitasi bumi di titik tersebut.
Untuk jarak relatif pendek, garis level dan garis horisontal dianggap berimpit,
tetapi untuk jarak yang jauh diperlukan adanya koreksi akibat kelengkungan bumi.
Koreksi kelengkungan bumi untuk jarak 100 meter adalah kurang dari 1 milimeter.

Prinsip dasar pengukuran levelling:


Pengukuran levelling dilaksanakan dengan alat yang disebut level atau
waterpass. Alat ini jenisnya ada beberapa macam, dan yang membedakan terutama
dalam hal konstruksinya dan cara pengaturannya, namun penggunaannya pada
prinsipnya sama. Karena itu para Surveyor dan pemakai alat level dituntut untuk
memahami prinsip dan konstruksi alat level, cara pengaturannya, test atau
memeriksa kondisi alat (kelaikannya) dan koreksinya (adjustment) bila ada
kesalahan.
Level pada prinsipnya adalah alat untuk membentuk bidang horisontal atau
alat yang garis bidiknya (line of collimation) selalu membentuk garis horisontal.
Prinsip dasar pengukurannya seperti dilukiskan pada gambar berikut ini.

LEVEL

Hab = a-b

B
Hab
A

Gambar 11. Prinsip pengukuran sipat datar

Dasar Pemetaan

32

Pengukuran levelling antara dua buah titik (A dan B) pada dasarnya adalah
mengukur beda tinggi antara dua titik tersebut, dan alat level biasanya didirikan di
antaranya. Apabila pada rambu ukur di titik A (backsight) dibaca a, dan pada rambu
ukur di titik B (foresight) dibaca b, maka beda tinggi ( Hab) = a - b atau sama
dengan bacaan rambu belakang dikurangi bacaan rambu depan.

Hab
Hb
A
Ha
MSL

Gambar 12. Pengertian tinggi titik

7.2. Macam dan kegunaan pengukuran sipat datar


1. Sipat datar memanjang
3
2

B
2

2
A

Gambar 13. Pengukuran sipat datar memanjang

Dasar Pemetaan

33

Pengukuran sipat datar memanjang dilakukan untuk menentukan ketinggian


suatu titik atau beberapa titik yang jaraknya relatif jauh, sehingga jalur pengukuran
perlu dibagi dalam beberapa bagian (jaraknya maksimum 50 meter).
Hab = Ha1 + H12 + H23 + H3b
= (a 1) + (1- 2) + (2- 3) + (3- b)
atau
Hab = (a+1+2+3) (1+2+3+b)
(Selisih dari jumlah bacaan rambu belakang dan jumlah bacaan rambu
depan)

2. Sipat datar profil


Pengukuran sipat datar profil dilakukan untuk tujuan memperoleh gambar
profil atau gambar potongan (cross-section). Gambar potongan diperlukan pada
proyek yang bentuk wilayahnya memanjang, seperti proyek jalan, sungai/ saluran,
transmisi listrik, dll.
Gambar profil terdiri dari profil memanjang (long-section) dan profil
melintang (cross-section). Dalam menggambarkan gambar profil biasanya
dilengkapi pula dengan Plan atau peta situasi, atau dilengkapi dengan peta
topografi (peta kontur).

3. Sipat datar luas/ contouring


Pengukuran sipat datar luas dilakukan untuk tujuan memperoleh gambar
situasi ketinggian dari suatu bidang tanah.
Dengan membaca rambu ukur yang dipasang di beberapa tempat, maka
ketinggiannya dapat dihitung/ diketahui, dan agar titik-titik yang diukur dapat
digambarkan maka harus pula diukur sudut horisontalnya dan jarak-jaraknya.
Pengukuran jaraknya dapat secara optik (dengan membaca benang atas dan
benang bawah) atau dengan meteran.
Dasar Pemetaan

34

MODUL 8

PEMETAAN TOPOGRAFI

Jurusan Teknik Sipil FTSPUSAKTI

Tujuan Pembelajaran Umum:


Pemahaman terhadap pengertian pemetaan topografi.

Tujuan Pembelajaran Khusus:


1. Agar mahasiswa dapat memahami difinisi-definisi dan pengertian-pengertian
dibidang pemetaan topografi.
2. Agar mahasiswa dapat membaca peta dan melakukan pengukuran diatas
peta.

8.1. Datum pemetaan


1. Datum horisontal
yaitu bidang referensi untuk hitungan posisi horisontal.

Ini didefinisikan oleh titik awal:


* phi, lamda dan Asimut
* bidang referensi: - bidang datar
- bola
- elepsoid
- spheroid
2. Datum vertikal
Datum vertikal adalah bidang permukaan yang digunakan untuk referensi
ketinggian ataupun kedalaman, dan datum vertikal yang biasanya dipakai
adalah permukaan laut rata-rata (mean sea-level/ MSL). Untuk tingkat
regional kadang-kadang memiliki sistem datum vertikal tersendiri. Misalnya
untuk DKI telah memiliki datum vertikal yaitu sistem PP (Peil Priok).
Dasar Pemetaan

35

8.2. Skala peta dan garis kontur


A. Skala peta

Skala peta dapat dikelompokkan dalam 3 golongan:

a. Skala besar: 1:100 s/d 1:2.000;


interval kontur: 0,1 s/d 2 meter.
b. Skala sedang: 1:2.000 s/d 1:10.000;
interval kontur: 0,2 s/d 5 meter.
c. Skala kecil: 1:10.000 s/d 1:100.000.000;
interval kontur: 5 s/d 200 meter.

Pemilihan skala peta tergantung pada tujuan pembuatan peta tersebut.


American Society of Civil Engineer (ASCE) mengkelompokkan peta dalam:

a. Design maps.
Peta ini digunakan dalam kegiatan design dan konstruksi berbagai
pekerjaan enginiring. Skala peta bervariasi antara 1:100 s/d 1:2.000
dengan interval kontur antara 0,1 s/d 1 meter, tergantung pada tipe
proyek, land use dan keadaan lapangan.

b. Planning maps.
Peta ini digunakan dalam pekerjaan teknik perencanaan atau untuk
perencanaan tingkat urban, regional, nasional, dan internasional.
Penggunaan peta ini bisa untuk studi geologi, land use, produksi
pertanian, dan studi populasi; untuk perencanaan public servise; dan
untuk atlas. Skala peta berkisar antara 1:1.000 s/d 1:100.000.000 dan
interval kontur dari 0,2 s/d 200 meter. (Anderson,1985).

Dasar Pemetaan

36

B. Garis kontur
adalah garis yang menghubungkan titik-titik yang mempunyai ketinggian
sama.
a. Karakteristik garis kontur

1). kontur dari ketinggian berbeda tidak akan berpotongan kecuali di


daerah yang bertebing tegak ataupun bergoa.
2). kontur akan menutup atau digambar sampai tepi gambar.
3). kontur akan rapat di daerah curam, dan jarang di daerah landai.
4). bila kontur memotong sungai akan membentuk lengkung kearah hulu
sungai.
5). bila lerengnya tetap, maka jarak horisontal kontur akan tetap pula.

b. Interval kontur

Interval kontur adalah jarak vertikal antara dua kontur.


Besarnya interval kontur tergantung beberapa hal yaitu:
a. Skala peta
b. Maksud pemetaan
c. Keadaan lapangan
d. Pertimbangan waktu dan biaya

Pedoman penentuan interval kontur pada umumnya adalah sbb;


Interval kontur = 1/2.000 x angka skala peta (meter).
Misalnya:
- pada peta topografi skala 1:50.000, maka interval konturnya = 1/2.000 x
50.000 = 25 meter.
- pada peta topografi untuk keperluan teknik skala 1:1.000,
konturnya =

maka interval

1/2.000 x 1.000 = 0,5 meter. Tetapi apabila keadaan

reliefnya berbukit atau lerengnya besar, maka interval konturnya akan


lebih tepat 1,0 meter.
Dasar Pemetaan

37

Dalam penggambaran kontur pada umumnya ketebalan garisnya ada dua


macam, misalnya 0,2 mm dan 0,5 mm. Kontur yang tebal digambar setiap
kelipatan 5 dan disebut dengan indeks kontur.

8.3. Pembuatan peta topografi :


1. Pengambilan data
a. Pengukuran kerangka peta
* kerangka horisontal
* kerangka vertikal: + levelling utama
+ levelling cabang
b. Pengukuran detail

Tujuan pengukuran detail adalah untuk memperoleh posisi horisontal dan


vertikal dari titik-titik di permukaan tanah, bangunan, dan obyek lain yang
diperlukan. Posisi horisontal dalam pengukuran detail digunakan untuk
penggambaran dan biasanya tidak dihitung sampai diketahui koordinatnya
(X,Y).
Metode pengukuran detail yang biasa dilaksanakan dilapangan adalah:

1). Square method/ kisi/ grid


2). Cross Section Method
3). Tacheometric Method/ radial

2. Pengolahan data
a. Perhitungan kerangka peta
b. Perhitungan detail

3. Penyajian informasi:
a. Penggambaran kerangka peta
b. Penggambaran detail
Dasar Pemetaan

38

c. Penggambaran kontur
d. Penyajian informasi tepi
- Skala peta
- Simbol atau legenda.

8.4. Contouring
Garis kontur digambar berdasarkan elevasi titik-titik detail yang telah
digambar, dan cara penarikan garisnya adalah dengan cara interpolasi linier.
Ini berarti ada anggapan bahwa lereng diantara dua titik detail adalah uniform/
tetap.

30
.00

30
.00
23.3 mm

30
.00

(20.0 M)
40.0 mm

16.7 mm

30.00

30.00

0
30.0

30.00

30.00

Gambar 14. Interpolasi kontur

Metode penggambaran kontur:


1). Estimation
2). Arithmetical calculation
3). Graphical method
a). dengan garis sejajar
b). dengan garis memusat
Dasar Pemetaan

39

8.5. Pengukuran diatas peta


1. Pengukuran jarak
2. Pengukuran tinggi
3. Penentuan koordinat
4. Pengukuran lereng/ slope
5. Pengukuran luas dan volume

8.6. Manfaat peta topografi


Peta topografi dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan terutama dalam
kegiatan perencanaan proyek yang membutuhkan informasi tentang obyek yang
ada di suatu daerah dan kebutuhan akan berbagai besaran atau dimensinya
seperti jarak, tinggi, lereng, arah aliran air, dll.

Gambar 15. Peta topografi

Dasar Pemetaan

40

MODUL 9
Jurusan Teknik Sipil FTSPUSAKTI

PERHITUNGAN LUAS DAN VOLUME

Tujuan Pembelajaran Umum:


Pemahaman terhadap metode perhitungan luas dan volume.

Tujuan Pembelajaran Khusus:


1. Agar mahasiswa dapat memahami metode perhitungan luas dan volume
dibidang perpetaan.
2. Agar mahasiswa dapat melakukan perhitungan luas dan volume dibidang
perpetaan.

Metode perhitungan luas dapat dikelompokkan dalam dua golongan:

1. luasan yang dibatasi garis lurus


2. luasan yang tidak teratur bentuknya.

9.1. Luasan yang dibatasi garis lurus


a. Metode segitiga

Luasan segibanyak dapat dibagi-bagi dalam bentuk geometri yang lebih


sederhana, misalnya segitiga, sehingga luas segibanyak sama dengan
jumlah dari luas tiap-tiap segitiga. Panjang masing-masing sisi segitiga
dapat diperoleh dari pengukuran di lapangan atau di atas peta tergantung
keadaan dan keperluannya.
Dasar Pemetaan

41

C
B

t
E
A

(a)

(b)

Ganbar 16. Segitiga ABC (a) dan segibanyak ABCDE (b)

Luas = 1/2 x alas x tinggi

Luas = 1/2 ab sin C = 1/2 bc sin A = 1/2 x ac sin B

Luas =

s(s a)(s b)(s c)

dimana s = 1/2 (a+b+c)

b. Luas dengan koordinat

Luas segibanyak ABCDE = jumlah luas trapesium PABQ, QBCR dan RCDT
dikurangi jumlah luas trapesium SEDT dan PAES.

Luas =1/2(Ya+Yb)(Xb-Xa)+1/2(Yb+Yc)(Xc-Xb)+1/2(Yc+Yd)(Xd-Xc)
- 1/2(Ye+Yd)(Xd-Xe) - 1/2(Ya+Ye)(Xe-Xa)

Luas =1/2(Ya+Yb)(Xb-Xa)+1/2(Yb+Yc)(Xc-Xb)+1/2(Yc+Yd)(Xd-Xc)
+ 1/2(Ye+Yd)(Xe-Xd) + 1/2(Ya+Ye)(Xa-Xe)

Dasar Pemetaan

42

B
A

Gambar 17. Segiempat ABCD


Contoh:

Hitung luas segibanyak ABCD dimana koordinat A(420, 1296); B(898,


1452); C(1026, 1064); D(688, 646) meter.

Luas = 1/2 (1296+1452) (898-420)+(1452+1064) (1026-898)


+(1064+646) (688- 1026)+(646+1296) (420-688)
= 268.578 meter2
= 26,8578 hektar.

Rumus diatas dapat juga ditulis:


2 Luas

= (Ya+Yb)(Xb-Xa)+(Yb+Yc)(Xc-Xb)+(Yc+Yd)(Xd-Xc) +
(Ye+Yd)(Xe-Xd)+(Ya+Ye)(Xa-Xe)

= YaXb-YaXa+YbXb-YbXa+YbXc-YbXb+YcXc-YcXb+YcXd YcXc+YdXd-YdXc+YeXe-YeXd+YdXe-YdXd+YaXa YaXe+YeXa-YeXe


= (YaXb+YbXc+YcXd+YdXe+YeXa)
(YbXa+YcXb+YdXc+YeXd+YaXe)
Dasar Pemetaan

43

Untuk mempermudah dalam menyusun dan mengingat rumus tersebut,


maka dapat disusun diagram sbb:

STASION

ABSIS

ORDINAT

Xa

Ya

Xb

Yb

Xc

Yc

Xd

Yd

Xe

Ye

Xa

Ya

9.2. Luasan yang tidak teratur bentuknya


a. Trapezoidal rule
Pada gambar dibawah menggambarkan luasan yang dibatasi oleh sisi
poligon dan garis batas yang tidak teratur CD, ofset h1, h2, ..., hn yang berjarak
tetap sebesar d. Luasan terbagi-bagi oleh ofset dalam beberapa bagian yang
dianggap sebagai trapesium.

h1

h2
d

h3
d

hn
d

Gambar 18. Luasan dengan trapezoidal rule

Luas

h h3
h hn
h1 h2
d 2
d ............. n1
d
2
2
2
d(

Dasar Pemetaan

h1 hn
h2 h3 ............... hn 1 )
2
44

Contoh:

Hitung luas daerah seperti tergambar dibawah ini, jika diukur ofsetnya tiap jarak
5 m:

OFSET

h1

h2

h3

h4

h5

JARAK ( M )

3,2

10,4

12,8

11,2

4,4

3,4 4,4

Luas 10
10,4 12,8 11,2 191m 2
2

b. Simson's rule
Pada gambar di bawah, AB adalah bagian dari sisi poligon, DFC
adalah batas luasan yang dianggap sebagai busur parabola, dan h1, h2, h3,
adalah garis yang tegak lurus sisi poligon ke garis batas dengan jarak tetap yaitu
d.
Luasan antara sisi poligon dan busur sama dengan luas trapesium
ABCD ditambah dengan segmen yang dibentuk busur parabola DFC dan
talibusur CD. Luas segmen dari busur parabola (DFC) sama dengan 2/3 luas
belah-ketupat yang dibentuknya (CDEFG). Dengan demikian luas antara sisi
poligon dan busur batas dengan jarak 2d adalah:

Luas1, 2

h1 h3
h h3 2
2d h2 1
2d
2
2 3

d
h1 4h2 h3
3

Dasar Pemetaan

45

G
C

D
h1

h2

h3

Gambar 19. Luasan dengan Simson's rule

Dengan cara sama untuk 2 interval berikutnya:

d
Luas 3,4 = --- ( h3 + 4h4 + h5 )
3

Jumlah luas untuk (n-1) interval, n adalah jumlah offset:

d
Luas = ---- h1+hn+2(h3+h5+...+h(n-2))+4(h3+h5+...+h(n-1))
3

Contoh:
Pada soal diatas apabila dihitung dengan rumus Simson's akan diperoleh hasil:

5
Luas = --- 3,2 + 4,4 + 2(12,8) + 4(10,4+11,2) = 199 m2.
3

Dasar Pemetaan

46

c. 'Counting square'

Metode ini dilakukan dengan menggunakan kertas transparan kotak-kotak


(milimeter atau grid), dengan cara menumpang-tindihkan (overlay) diatas
gambar yang akan diukur luasnya. Kotak yang masuk dalam gambar dihitung
cacahnya, kemudian dengan mengetahui skala gambar dan ukuran kotak maka
luasnya dapat dihitung.

d. 'Give and take line'

Pada garis batas yang tidak teratur bentuknya dibuat garis lurus sebagai garis
pendekatan yang diperkirakan akan memberikan tambahan dan pengurangan
luas yang sama. Pada gambar dibawah, luasan ABCD (CD garis tidak teratur)
didekati luasnya dengan membuat garis lurus EF sebagai 'give and take line',
sehingga luas bidang ABCD dianggap sama dengan luas bidang ABEF.
Perhitungan luas bidang ABEF dapat dilakukan dengan metode segitiga atau
yang lainnya.

Garis grid

Give and take line

Gambar 20. Metode 'Counting square' dan 'give and take line'

d. Planimeter

Dasar Pemetaan

47

9.2. Perhitungan volume


1. Rumus dasar perhitungan volume

a. Mean area method


Dalam metode ini volume ditentukan dengan mengalikan luas rata-rata
luasan potongan melintang dengan jaraknya/ total jarak. Jika luas tiap
potongan adalah: L1, L2, L3, ...., An-1, An, dan jarak potongan L1 dan Ln
adalah L, maka:
L1 + L2 + L3 + ..... + Ln-1 + Ln
Volume = -------------------------------------------. L
n
Metode ini paling tidak teliti dibandingkan dengan metode yang lain.

b. End area method


Jika L1 dan L2 adalah luas dua potongan melintang yang berjarak D, maka
volume diantaranya adalah:

L1 + L2
V = D. -----------2

Apabila luasan potongan melintangnya banyak, maka:

D1(L1+L2)

D2(L2+LA3)

D3(L3+L4)

Volume = V = -------------- + ------------------ + --------------- + ...


2

Jika : D1=D2=D3 dst. = D

Dasar Pemetaan

48

A1+An
V = D ( --------- + A2+ A3 +.....+ An-1 )
2

c. Prismoidal formula

Rumus prismoidal digunakan untuk perhitungan volume yang lebih teliti


dibanding cara yang lain. Sebuah prisma dibentuk oleh dua bidang datar
yang paralel/ sejajar dan sisi-sisi kedua penghubung tersebut yang saling
sejajar. Bila sisi penghubung tersebut tidak saling sejajar disebut prismoida.

Rumus volume prismoida:

D
V = ---- ( L1 + 4M + L2 )
6
dimana L1 dan L2 adalah luas dua bidang yang berhadapan dan berjarak D,
M adalah luas potongan ditengah.

- prismoidal correction

2. Volume dari cross section

Metode ini banyak dipakai pada proyek konstruksi yang memanjang misalnya:
jalan dan saluran. Penampang melintang dibuat tegak lurus sumbu jalan/
saluran, dan pada sumbu atau sejajar sumbu sering pula dibuat penampang
memanjangnya.

Variasi bentuk permukaan tanah dapat dikelompokkan sbb:


Dasar Pemetaan

49

a. Level section
b. Two level section
c. Three level section
d. Side-hill two level section
e. Multi level section

3. Volume dari spot level

Disini diperlukan peta topografi dengan data elevasi yang membentuk segi
empat atau segi tiga, dengan demikian benda yang akan dihitung volumenya
merupakan kumpulan dari beberapa prisma.

Gambar 21.

Volume setiap prisma sama dengan perkalian antara luas bidang


mendatarnya (segitiga atau segiempat) dengan tinggi rata-rata dari prisma. Ini
secara matematis dapat ditulis sbb:
ha+hb+hc
- volume prisma triangular = L ( -------------- )
3

ha+hb+hc+hd
- volume prisma rektangular = L ( -------------------- )
4
Total volume dihitung dengan memperhatihan:
Dasar Pemetaan

50

- cacah segitiga atau segiempat pada setiap titik potong, dan


- tinggi di setiap titik potong.
Berdasarkan rumus diatas maka total volume:
- dengan bentuk dasar prisma persegi empat=

h1 + 2 h2 + 3 h3 + 4 h4
V = L ( -------------------------------- )
4
- dengan bentuk dasar prisma segitiga=

h1 + 2 h2 + 3 h3 + 4 h4 + 5 h5 + 6 h6 + 7 h7 + 8 h8
V = L (------------------------------------------------------------------)
3
Contoh:

Pada gambar tampak daerah yang dibagi dalam 4 kotak dan terdapat 9 titik
sudut (A s/d J). Di setiap titik sudut akan digali dengan kedalaman hn, hitunglah
volume galiannya.
A

10 M

10 M

10 M

10 M

Gambar 22.

Dasar Pemetaan

51

Apabila

luasan

dasarnya

dianggap

berbentuk

persegiempat,

maka

perhitungannya sbb:

Station

Tinggi (m)

Jumlah segi 4

( ha )

(n)

3,15

3,15

3,70

7,40

4,33

4,33

3,94

7,88

4,80

19,20

4,97

9,94

5,17

5,17

6,10

12,20

4,67

4,67

Jumlah

hn x n

73,94

Jumlah (hn x n) = 73,94

73,94
Volume = 15,0 x 12,5 x -------4
= 3.466 meter3

Dasar Pemetaan

52

Apabila luasan dasarnya dianggap berbentuk segitiga, maka perhitungannya


sbb:

Station

Tinggi (m)

Jumlah segi 3

( ha )

(n)

3,15

3,15

3,70

11,10

4,33

8,66

3,94

11,82

4,80

28,80

4,97

14,91

5,17

10,34

6,10

18,30

4,67

4,67

Jumlah

ha x n

111,75

111,75
Volume = 0,5 (15,0 x 12,5) x -----------3
= 3.492 meter3

4. Volume dari garis kontur

Ini digunakan misalnya untuk menentukan volume waduk.


Rumus dasar yang digunakan bisa dengan 'end area method' atau 'prismoidal
formula', dan luas penampangnya yang dibatasi oleh garis kontur diukur dengan
planimeter.

Dasar Pemetaan

53

V = volume air atau material antara kontur x dan y

L1 + L2
= D ------------ , dimana D adalah interval kontur.
2

Jika perhitungannya dengan rumus prismoidal, maka diperlukan tiga


penampang/ kontur karena diperlukan adanya luasan tengah.

190

BENDUNG

186
182

Gambar 23. Peta topografi waduk

Contoh:

Berapa volume air waduk yang dibatasi oleh kontur 182 m s/d 190 m, bila data
kontur dan luasnya seperti dibawah ini:

Contur ( m )

190

188

186

184

182

Luas ( m 2 )

3150

2460

1630

840

210

Dasar Pemetaan

54

Volume air dalam waduk antara kontur 182 m dan 190 m:

a. Dengan 'end area':

2
V = --- 3150+2(2460+1630+840) + 210
2
= 13,220 m3
b. Dengan 'prismoidal formula':

4
V = --- 3150+4(2460+840)+2x1630+210
6
= 13,213 m3.

Dasar Pemetaan

55

MODUL 10
Jurusan Teknik Sipil FTSPUSAKTI

SURVEI KONSTRUKSI

Tujuan Pembelajaran Umum:


Pemahaman terhadap survei dibidang konstruksi atau bangunan gedung.

Tujuan Pembelajaran Khusus:


1. Agar mahasiswa dapat memahami jenis pekerjaan survei dibidang konstruksi
bangunan gedung.
2. Agar mahasiswa mengerti metode pengukuran dan peralatan yang
digunakan pada proyek konstruksi bangunan gedung.

10.1. Setting-out / pematokan


Setting-out didefinisikan sebagai pekerjaan memasang suatu rencana di
lapangan dan pemeriksaan ukuran/ dimensi selama pelaksanaan konstruksi.
Pekerjaan pemasangan rencana di lapangan dilaksanakan berdasarkan gambargambar rencana, dan pemeriksaan selama pelaksanaan konstruksi akan disajikan
dalam gambar yang disebut as build drawing. Dalam gambar ini akan tampak
besarnya penyimpangan yang terjadi di lapangan.
Pada bangunan sederhana biasanya tidak diperlukan ketelitian tinggi,
misalnya kesalahan 5 - 10 mm tidak akan menimbulkan persoalan, tetapi untuk jenis
bangunan tertentu seperti pabrik (posisi pondasi mesin), bangunan mewah,
biasanya diperlukan ketelitian tinggi.

Tugas pekerjaan setting-out meliputi 3 hal yaitu:


a. menempatkan letak yang benar (kebenaran posisi horisontal)
b. menempatkan elevasi/ level yang benar (kebenaran posisi vertikal)
c. memasang letak arah tegak yang benar.
Dasar Pemetaan

56

10.2. Perlengkapan dan metode


Perlengkapan:
1. perlengkapan ukur
a. teodolit
b. level
c. pita ukur/ meteran
d. unting-unting (plumb-bob / lood)

2. perlengkapan pendukung
a. patok kayu (50 mm x 50 mm), panjang patok bervariasi tergantung kondisi
tanahnya dan keperluannya.
b. benang untuk membentuk tanda garis lurus.
c. papan kayu (profile boards/ bouwplank)
d. paku

10.3. Plan control


a. setting-out dengan pita ukur
b. setting-out dengan pengukur jarak dan sudut
c. menggunakan dua garis referensi
d. setting-out busur
e. aspek lain dari plan control

10.4. Height control


- pasang level yang berlaku untuk proyek (sistem lokal)

Dasar Pemetaan

57

10.5. Vertical-alignment control


Tugas ini dapat dibagi 2:

a. Pemindahan titik secara vertikal ke posisi yang lebih tinggi atau lebih rendah.

b. Pemasangan ketegakan unsur bangunan (verticality of building elements)


seperti: ketegakan tiang pancang, kolom, dinding.

10.5.1. Vertical trasfer

10.5.2. Vertical control and checking for verticality

10.6. Exavation control

Exavation = earthwork = pekerjaan tanah


lihat bab : perhitungan luas dan volume.

Dasar Pemetaan

58

DAFTAR PUSTAKA
Jurusan Teknik Sipil FTSPUSAKTI

1.

Agor, R. A Text Book of Surveying and Levelling. Delhi:Khanna Publishers,


1982.

2.

Anderson, J.M., and Edward M. Mikhail. Introduction to Surveying. New York:


McGraw-Hill, Inc., 1985.

3.

Barry, B. Austin. Construction Measurements. New York: John Willey & Son,
Inc., 1973.

4.

Benton, Arthur R., and Philip J. Taetz. Elements of Plane Surveying. Singapore:
McGraw-Hill, Inc., 1991.

5.

Brinker, Russell C., and Paul R. Wolf. Elementary Surveying, 6thed. New
York: Harper & Row, Publisher, Inc., 1977.

6.

Clancy, John. Site Surveying and Levelling. London: Edward Arnold, 1991.

7.

Irvin, William. Surveying for Construction. London: McGraw-Hill,Inc., 1988.

8.

Liem Tumewu. Engineering Survey. ITB, 1981.Mueller, Ivan I., and Karl H.
Ramsayer. Introduction to Surveying. New York: Frederick Unar Publising Co.,
Inc., 1979.

9.

Parker,Harry, and John W. MacGuire. Simplified Site Engineering for Architects


and Builders. New York: John Willy & Son, Inc., 1954.

10. Roberts, J ack. Construction Surveying, Layout, and Dimention Control. Delmar
Publishers Inc., 1995

Dasar Pemetaan

59

MODUL

DASAR DASAR PEMETAAN

Disusun oleh:

Ir. Heru Pambudi, MS.

UNIVERSITAS TRISAKTI
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
JURUSAN TEKNIK SIPIL
2008
Dasar Pemetaan

60

KATA PENGANTAR
Jurusan Teknik Sipil FTSPUSAKTI

Modul Dasar Dasar Pemetaan ini merupakan buku pegangan bagi


mahasiswa Jurusan Teknik Sipil FTSP Universitas Trisakti yang mengikuti mata
kuliah Dasar Dasar Pemetaan.
Untuk memahami seluruh materi perkuliahan, mahasiswa belum cukup untuk
menguasainya hanya dengan mempelajari buku ini, tetapi harus dengan mengikuti
kuliahnya karena beberapa hal belum dituliskan dengan jelas. Selain itu masih
banyak soal-soal hitungan (tidak dimuat dalam buku ini) yang bisa dikuasai hanya
dengan latihan mengerjakan soal dengan bimbingan Dosen/ pengajar.
Setelah selesai mengikuti mata kuliah ini, pada semester berikutnya
mahasiswa dianjurkan mengambil mata kuliah Aplikasi Dasar Dasar Pemetaan yang
merupakan kegiatan praktikum yang dilaksanakan di Laboratorium Ukur Tanah dan
di lapangan. Mahasiswa yang akan mengikuti praktikum harus sudah resmi
mengambil di Kartu Rencana Studinya (KRS) dan mendaftar di Laboratorium Ukur
Tanah, karena pelaksanaan praktikum akan dikelompokkan dalam beberapa regu
dan akan dibimbing oleh Asisten Praktikum.
Puji syukur kami kepada Tuhan atas selesainya buku ini dan juga ucapan
terima kasih kami kepada rekan-rekan sejawat dan para asisten yang telah
membantu dalam pelalaksanaan penyusunan buku ini. Buku ini belum seluruhnya
terselesaikan dan masih akan ditambahkan beberapa hal yang masih kurang. Kritik
dan saran akan kami sambut dengan senang hati dan semoga buku ini bermanfaat.

April 2008

PENYUSUN

Dasar Pemetaan

61

DESKRIPSI MATA KULIAH


Jurusan Teknik Sipil FTSPUSAKTI

1.1.
1.2.
1.3.
1.4.
1.5.
1.6.
1.7.

Identitas Mata Kuliah


Bobot
Kode mata kuliah
Semester
Prasyarat
Kegiatan
Tujuan pembelajaran

1.8. Materi

:
:
:
:
:
:
:

Dasar Dasar Pemetaan


2 sks
PUP 201
2 (dua)
tidak ada
kuliah, tugas
Memberikan
pengenalan,
tugas-tugas
surveying dan mapping sehingga mahasiswa
dapat membaca peta pada umumnya,
khususnya peta topografi. Memberikan bekal
agar mahasiswa dapat membaca dan
menggambar peta teknik untuk mendukung
pelaksanaan tugas dalam bidang Teknik Sipil.

:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

Dasar Pemetaan

Pendahuluan
Pengetahuan alat ukur tanah
Pengukuran sudut dan jarak
Sistem koordinat dan penentuan asimut
Pengukuran takhimetri
Poligon
Levelling
Pemetaan topografi
Perhitungan luas dan volume
Survei konstruksi

62

DAFTAR ISI
Jurusan Teknik Sipil FTSPUSAKTI

Halaman
KATA PENGANTAR

DESKRIPSI MATA KULIAH

ii

DAFTAR ISI

iii

DAFTAR ISTILAH

iv

Modul 1

Pendahuluan

Modul 2

Pengetaguan alat ukur tanah

Modul 3

Pengukuran jarak dan sudut

Modul 4

Sistem koordinat dan penentuan asimut

11

Modul 5

Pengukuran takhimetri

17

Modul 6

Poligon

24

Modul 7

Levelling

30

Modul 8

Pemetaan topografi

34

Modul 9

Perhitungan luas dan volume

40

Modul 10

Survei konstruksi

55

DAFTAR PUSTAKA

58

LAMPIRAN

59

Dasar Pemetaan

63

DAFTAR ISI
1. Pendahuluan
Definisi dan lingkup surveying; jenis survei; arti dan jenis peta
2. Pengetahuan peralatan ukur tanah
Teodolit; level, alat pengukur jarak; alat ukur tanah lain
3. Pengukuran jarak dan sudut
Pengertian jarak dan metode pengukuran; pengertian sudut
4. Sistem koordinat dan penentuan asimut
Posisi titik; pengertian arah utara dan asimut; perhitungan dengan koordinat
5. Pengukuran takhimetri
Prinsip takhimetri; rumus takhimetri; pengukuran beda tinggi dengan takhimetri
6. Poligon
Definisi dan maksud pengukuran poligon; macam poligon; persyaratan poligon;
cara pengukuran polygon; perhitungan poligon
7. Levelling
Pengertian dan prinsip levelling; macam dan kegunaan levelling
8. Pemetaan topografi
Datum pemetaan; skala peta dan garis kontur; pembuatan peta topografi;
penggambaran kontur; pengukuran diatas peta; manfaat peta topografi
9. Perhitungan luas
Luasan yang dibatasi garis lurus; luasan yang tidak teratur bentuknya
10. Survei konstruksi
Setting-out; perlengkapan dan metode; plan control; height control; verticalalignment control; exavation control.

Dasar Pemetaan

64

Anda mungkin juga menyukai