KATA PENGANTAR
Om Swastyastu
Puji syukur kami panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas
Asungkertawaranugraha-Nya kami dapat menyelesaikan Buku Ajar Ilmu Ukur Tanah ini
tepat pada waktunya. Buku Ajar Ilmu Ukur Tanah ini merupakan buku yang disusun oleh
Putu Aryastana. Tujuan penyusunan buku ini yakni sebagai buku panduan perkuliahan
Ilmu Ukur Tanah yang dapat digunakan oleh mahasiswa.
Dalam buku ini disajikan materi serta contoh soal tentang Ilmu Ukur Tanah yang
dapat dipelajari oleh mahasiswa guna membantu pemahaman mahasiswa dalam mata
kuliah tersebut. Materi-materi tersebut juga dilengkapi dengan gambar yang berguna bagi
pembaca dalam membayangkan hal-hal yang berkaitan dengan ukur tanah.
Dalam penyusunan Buku Ilmu Ukur Tanah ini, penulis menyadari bahwa buku ini
masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis mohon kritik dan saran dari
pembaca guna menjadikan buku ini lebih baik lagi.
Om Santhi, Santhi, Santhi, Om
Denpasar, 2018
Putu Aryastana
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................................................. 1
2
5.5 Sumber Kesalahan pada Pengukuran Jarak ........................................................................ 47
BAB VI PENGUKURAN SIPAT DATAR ............................................................................................. 48
3
10.1 Definisi Peta Situasi.................................................................................................................91
4
14.7 Sumber dan Jenis Data dalam SIG........................................................................................135
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................................137
5
BAB I
SURVEYING
6
No Nama Tempat Alat & Kegunaan Tahun
2 Perancis a. Teleskop dan Vernier digunakan Lippershey 1607
sebagai alat pembagian skala yang dan Pierre
akurat Vernier 1631
7
Gambar I-1 Groma
(Sumber: Syaifullah, 2014)
8
Gambar I-3 Circumferentor
(Sumber: Syaifullah, 2014)
9
Gambar I-5 Theodolit Pertama
(Sumber: Syaifullah, 2014)
10
Gambar I-7 Laser Scanning 3D
(Sumber: Syaifullah, 2014)
11
2. Survei Atas Dasar Metode Penentuan Posisi
Survei ini dibedakan menjadi:
a. Metoda terestris
Metode terestis dilakukan berdasarkan pengukuran dan pengamatan yang
semuanya dilakukan di permukaan bumi.
b. Metoda ekstraterestris
Metode ekstraterestris dilakukan berdasarkan pengukuran dan pengamatan
dilakukan ke objek atau benda angkasa, baik yang alamiah (bulan, bintang,
quasar) maupun yang buatan (satelit).
3. Survei Atas Dasar Instrument
Survei atas dasar instrument dibedakan menjadi:
a. Survei Chain.
Survei ini dilakukan pada luasan yang sempit-terbuka dan pekerjaan
lapangannya hanya dilakukan dengan pengukuran-pengukuran linear
(jarak-jarak dengan alat meteran).
b. Survei Traverse.
Istilah traverse digunakan untuk pengukuran yang melibatkan pengukuran
jarak-jarak dengan meteran atau chain, arah-arah dan sudut-sudut dengan
kompas, atau teodolit.
c. Survei Tacimetri.
Istilah ini digunakan untuk survei-survei yang menggunakan metoda
pengukuran jarak-jarak horisontal dan vertikal dengan pengamatan rambu
melalui teodolit berteleskop khusus yang dilengkapi benang-benang stadia
dan lens lensa analitis.
d. Survei Penyipat Datar (leveling).
Istilah ini digunakan untuk survey pengukuran ketinggian vertikal relatif
titik-titik dengan suatu sipatdatar (waterpass) dan rambu.
e. Plane Tabling.
Istilah ini digunakan untuk pengukuran grafis yang dilakukan secara
serentak antara pekerjaan lapangan dan ploting.
f. Survei Triangulasi.
Jika dilakukan pengembangan wilayah, survey triangulasi diadakan.
12
4. Survei Atas Dasar Tujuan
Survei ini dibedakan menjadi:
a. Survei Rekayasa.
Survei dilakukan untuk penyediaan data yang lengkap untuk desain
rekayasa, seperti: jalan layang, rel kereta, saluran air, saluran limbah,
bendungan, jembatan, dsb.
b. Survei Pertahanan.
Survei ini menjadi bagian sangat penting bagi militer. Hasil survei ini
menyediakan informasi strategis yang dapat dijadikan putusan kebijakan
jalannya peperangan. Peta, foto udara dan topografi mengindikasikan jalur-
jalur penting, bandara, pabrik-pabrik, tempat peluncuran rudal, pemantau atau
radar, posisi penangkis serangan udara, dan kenampakankenampakan
topografis lainnya dapat disiapkan melaui survei ini.
c. Survei Geologi.
Survei ini dilakukan baik dipermukaan maupun sub-permukaan bumi
untuk menentukan lokasi, volume dan cadangan mineral-mineral dan tipe-
tipe batuan. Dengan penentuan perbedaan struktur, seperti lipatan-lipatan,
patahanpatahan dan keganjilan-keganjilan formasi, dapat ditentukan
kemungkinan adanya mineral-mineral berharga.
d. Survei Geografi.
Survei ini dilakukan untuk penyediaan data-data dalam rangka pembuatan
peta-peta geografi.
e. Survei Tambang.
Suatu survei diperlukan juga pada permukaaan maupun bawah permukaan.
f. Survei Arkeologi.
Survei ini dilakukan untuk pengungkapan relik-relik (barang peninggalan)
antik, peradaban, kerajaan, kota, kampung, benteng, candi dsb, yang
terkubur akibat gempa bumi, longsor, atau bencana lainnya, dan semuanya
itu dilokalisir, ditandai dan diidentifikasi.
g. Survei Route.
Survei ini dilakukan untuk menempatkan dan mengeset garisgaris di
permukaan tanah untuk keperluan jalan raya, rel kereta dan untuk
mengambil data-data yang perlu.
13
5. Survei Atas Dasar Tempat
Survei ini dibedakan menjadi:
a. Survei tanah.
Beberapa contoh survei ini di antaranya adalah pengukuran garis batas
tanah, penentuan jarak dan asimutnya, pembagian tanah atas dasar bentuk,
ukuran, penghitungan luas, pemasangan patok batas bidang tanah dan
penentuan lokasinya.
b. Survei hidrografi.
Survei ini berkaitan dengan badan air, seperti sungai, danau, perairan
pantai, dan pengambilan dat.data garis pasang surut (pantai) dari badan-
badan air tersebut.
c. Survei bawah tanah.
Survei ini dipersiapkan untuk perencanaan bawah tanah, penempatan titik-
titik, dan arah terowongan, lubang udara, arah aliran, dsb.
d. Survei udara.
Survei ini dilakukan dengan pemotretan dari pesawat berkamera. Survei
ini sangat berguna untuk pengadaan peta skala besar.
14
Dibidang teknik sipil sangat diperlukan data yang akurat tentang untuk pembangunan
jalan, jembatan, saluran irigasi, lapangan udara, pehubungan cepat, sistem penyediaan air
bersih pengkaplingan tanah perkotaan, jalur pipa, penambngan, terowongan. Semua itu
diperlukan pengukuran tanah yang hasilnya berupa peta untuk perencanaan. Agar hasilnya
dapat dipertanggungjawabkan maka pengukuran harus dilakukan secara benar.
15
BAB II
SATUAN DAN UKURAN SURVEYING
16
a. 1 km = 1000 m
b. 1 hm = 100 m
c. 1 dam = 10 m
d. 1m = 100 cm
e. 1 dm = 0,1 m
f. 1 cm = 0,01 m
g. 1 mm= 0,001 mm
2. Massa
Satuan massa dinyatakan dengan kg dan biasanya mengukur massa
menggunakan neraca misalnya Ohauss atau timbangan. Contoh konversi satuannya:
a. 1 ton = 1.000 kg kg
= 103
b. 1 ton = 10 kuintal kg
= 103
c. 1 kuintal = 100 kg kg
= 102
d. 1 kg = 2 pon
e. 1 pon = 5 ons
f. 1 kg = 10 ons
g. 1 kg = 0,001 ton
= 10−3 ton
h. 1 gram = 0,001 kg
= 10−3 kg
i. 1 miligram = 0,001 gram = 10−3 gram
3. Waktu
Waktu adalah besaran yang juga menjadi bagian yang tidak terlepas dari
kehidupan kita sehari-hari. Untuk mengukur waktu dengan ketelitian tinggi
diperlukan alat ukur yang baik misalnya stopwatch. Sekon didefinisikan
didefinisikan secara presisi dalam bentuk frekuensi radiasi yang dipancarkan oleh
atom sesium ketika atom tersebut berpindah di antara dua keadaan tertentu. Contoh
konversi satuan waktu:
17
a. 1 hari = 24 jam
b. 1 jam = 60 menit
c. 1 menit = 60 sekon
d. 1 sekon = 1/ 60 menit
e. 1 menit = 1/ 60 jam
4. Luas
Satuan luas sering diakhiri dengan kata persegi, seperti kilometer persegi dan
meter persegi. Kata persegi dapat ditulis dengan angka pangkat dua, seperti meter
persegi dapat ditulis dengan m2. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh konversi
satuan luas di bawah ini:
a. 1 2 2 2
= 1.000.000 = 106
b. 1 = 10.000
ℎ2 2
= 104 2
c. 1
2 2 2
= 100 = 102
d. 1
2 2
= 0,01 = 10−2 2
e. 1 = 0,0001 2
2
= 10−4 2
f. 1
2 2
= 0,000001 = 10−6 2
g. 1 2
= 100 2
= 102 2
h. 1 = 10.000
2 2
= 104 2
18
koordinat polar. Menurut teori, sudut jurusan adalah sudut yang dimulai dari arah utara
geografis, maka arah utara diambil sebagai suatu salib sumbu. Pada waktu kaki bergerak
OP (Purwamijaya, 2008) :
19
dikenal dengan istilah Lintang Selatan yang besarnya dari 0 derajat sampai dengan 90
derajat Lintang Selatan. Pengukuran tempat titik – titik (Purwamijaya, 2008)
1. Menggunakan garis lurus Apabila titik – titik tersebut terdapat pada satu garis
lurus, dengan titik dasar 0 dimana sebelah kanan dari titik nol bertanda positif
dan sebelah kiri dari titik nol bertanda negatif.
2. Menggunakan sumbu koordinat, Apabila terdapat dua titik tidak pada satu garis
lurus, dengan titik O sebagai pusat dari perpotongan garis mendatar X (Absis)
dan garis tegak lurus Y (Ordinat). Dimana pada sumbu X kesebelah kanan dari
titik O bertanda positif dan sebelah kiri dari titik O bertanda negatif. Pada
sumbu Y kearah utara dari titik O bertanda positif dan kearah selatan dari titik
O bertanda negatif.
Pada sistem salib sumbu kartesian dua dimensi, setiap titik secara unik didefinisikan posisinya
dengan koordinat berupa absis (X) dan ordinat (Y). Koordinat suatu titik dapat dihitung jika diketahui asimut
dan jaraknya dari titik referensi. Asimutnya mungkin diketahui dengan pengukuran sudut, sementara
jaraknya mungkin diukur secara langsung di lapangan. Jika titik A diketahui koordinatnya. Titik B diukur
asimut dan jaraknya dari titik A, maka koordinat titik B dapat dihitung, (Syaifullah, Modul Ilmu Ukur Tanah,
2014)
20
Keterangan:
αAB : Asimut Garis AB
DAB : Jarak dari A ke B
XB : Absis Titik B
XA : Absis Titik A
YB : Ordinat Titik B
YA : Ordinat Titik A
Contoh:
0
Diketahui jarak titik AB 56,55 m, asimut AB = 60 52’, XA=100,34 m dan YA= 200,97 m
Maka,
0
XB = XA + DAB Sin (αAB) = 100,34 + 56,55 Sin (60 52’) = 149,7 m YB
0
= YA + DAB Cos (αAB) = 200,97 + 56,55 Cos (60 52’) = 228,5 m
h = 90° - z
21
3. Sudut Jurusan (α)
Selisih dua buah arah antara arah Utara dengan arah titik yang bersangkutan
dititik pengamatan. Sudut ini juga sering disebut sebagai azimuth dan
dinyatakan dengan huruf Yunani pertama yaitu α.
22
2.4.2 Arah
Sudut arah dalam ilmu ukur tanah tidak sama dengan dengan sudut arah dalam ilmu
ukur sudut (gineometri). Dalam ilmu ukur tanah, sudut dimulai dari arah utara (sumbu Y
positif) ke arah timur searah putaran jarum jam, sedang dengan ilmu ukur sudut dimulai
dari arah timur (sumbu X positif) berputar berlawanan arah putaran jarum jam. Demikian
pula dengan posisi kuadran.
y + 90 y+
I
II I IV
a a
x - 180 x-270 90 x+
o x+
IV II
III III
270 180
a. Arah Sudut Ilmu Ukur Sudut b. Arah Sudut Ilmu Ukur Tanah
23
2.4.3 Azimuth
Azimuth antar dua titik adalah besarnya sudut (bearing) yang dibentuk dari suatu
referensi (meridian atau utara) searah jarum jam sampai ke garis penghubung dua titik itu.
Karena berputar satu lingkaran penuh, besarnya asimut pada satuan derajat mulai nol
derajat sampai dengan tigaratus enampuluh derajat (00 s.d. 3600). Arah utara ditunjukkan
dengan asimut nol derajat, arah timur ditunjukkan dengan asimut sembilan puluh derajat,
arah selatan ditunjukkan dengan asimut seratus delapan puluh derajat, arah barat
ditunjukkan dengan asimut dua ratus tujuh puluh derajat, arah timur laut ditunjukkan
dengan asimut empat puluh lima derajat, arah tenggara ditunjukkan dengan asimut seratus
tiga puluh lima derajat, arah barat daya ditunjukkan dengan asimut dua ratus lima belas
derajat dan arah barat laut ditunjukkan dengan asimut dua ratus lima belas derajat.
Dalam hal ini, asimut yang berputar berlawanan arah jarum jam bukanlah disebut
sebagai asimut. Asimut ditampilkan dari 00 s.d. 3600. Asimut negatif atau lebih dari 3600
maka perlu diubah menjadi besaran positif antara 00 s.d. 3600. Pada salib sumbu kartesian
dengan pusat salib sumbu O, terdapat perbedaan antara ukur tanah dengan matematika
dalam hal putaran dan kuadran. Sudut pada matematika dihitung dari sumbu X berlawanan
arah dengan jarum jam. Sedangkan sudut (dalam hal ini asimut) dihitung dari sumbu Y
searah dengan jarum jam. (Tafesse & Gobena, 2005) Contoh:
24
BAB III
SURVEY PENENTUAN POSISI
25
3.1.1 Metode Collins
Cara pengikatan ke belakang metode Collins merupakan salah satu model
perhitungan yang berfungsi untuk menentukan suatu titik koordinat, yang dapat dicari dari
titik-titik koordinat lain yang sudah diketahui. (Purwaamijaya, 2008)
Titik P diikat dengan cara ke belakang pada titik A, B, dan C. Buatlah sekarang
suatu lingkaran sebagai tempat kedudukan melalui titik-titk A, B dan P hubungkanlah titik
P dengan titik C maka garis CP dimisalkan memotong lingkaran tadi di titik H yang di
namakan titik penolong Collins. Untuk menentukan koordinat-koordinat titik H yang telah
di gabungkan dengan titik tertentu C, tariklah garis AH dan BH. Maka sudut BAH = E dan
sudut ABH sebagai sudut segiempat tali busur dalam lingkaran sama dengan 1800 - (D +
E) dengan demikian sudut-sudut pada titik pengikat A dan B diketahui, hingga titik H
diikat dengan cara kemuka pada titik-titik A dan B. Sekarang akan dicari koordinat-
koordinat titik P sendiri. Supaya titik P diikat dengan cara ke muka pada titik A dan B,
maka haruslah diketahui sudut BAP dan sudut ABP, ialah sudut-sudut yang ada pada titik
yang telah tentu. Sudut ABP akan dapat di hitung bila diketahui sudut BAP.
Gambar III-3 Penentuan titik penolong Collins dan Besar sudut α dan β
(Sumber: Purwaamijaya, 2008)
Untuk menentukan koordinat P dari A, B dan C dipergunakan metoda perpotongan ke
belakang secara numeris Collins dan cara grafis. Lingkaran melalui A, B dan P memotong
garis PC di H, yang selanjutnya disebut titik penolong Collins. Titik penolong Collins ini dapat
pula terletak pada garis PB atau PA. Masing-masing lingkaran. Lingkaran melalui A, B dan P
memotong garis PC di H, yang selanjutnya disebut titik penolong Collins. Titik penolong
Collins ini dapat pula terletak pada garis PB atau PA masing-masing lingkaran.
26
Gambar III-4 Garis bantu metode Collins
(Sumber: Purwaamijaya, 2008)
Melalui titik A, C dan P serta melalui titik B, C dan P dengan data pada segitiga ABH dapat dihitung.
Titik A telah diketahui koordinatnya yaitu (Xa, Ya). Selanjutnya akan dicari koordinat titik H. Apabila jarak
kedua koordinat tersebut adalah dah, dan sudut jurusan yang
dibentuk oleh kedua titik tersebut adalah D ah. Maka koordinat titik H tersebut adalah
Xh = Xa + dah sin α ah .......................................................................... (3.1)
Yh = Ya + dah cos α ah .......................................................................... (3.2)
27
D ah dapat dicari dengan rumus: D ah = D ab + E seperti terlihat pada gambar berikut:
........ .... .... .... .... .... .... .... .... .... .... .... .... .... .... .... .... .... .... .... ...
(3.3)
( − )
Untuk mencari dah, diperlukan nilai dab sehingga dah dapat ditentukan dengan
menggunakan perbandingan antara sinus sudut dengan garis sehadap sudut tersebut. Dari
gambar di bawah dapat dijelaskan bahwa terdapat persamaan sebagai berikut:
Sehingga
= . {180 – ( + )} ..............................................................
(3.5)
sin
28
Sedangkan dab dicari dengan rumus:
( − )
...........................................................................................
(3.6)
=
sin
sin
Perhitungan diatas untuk menentukan titik H yang dicari dari titik A, yang sebetulnya dapat
pula dicari dari titik B, yaitu dengan rumus:
Xh = Xb + dbh sin α bh ........................................................................... (3.8)
Yh = Yb + dbh cos α bh .......................................................................... (3.9)
αbh dapat dicari dengan rumus αbh = α ab + (α + β ) seperti terlihat pada gambar :
Untuk mencari dbh, diperlukan nilai dab sehingga dbh dapat ditentukan dengan menggunakan
perbandingan antara sinus sudut dengan garis sehadap sudut tersebut. Dari gambar berikut dapat dijelaskan
bahwa terdapat persamaan:
ℎ
= .................................................................................................(3.5)
sin sin
29
Sehingga:
(3.6)
ℎ = . sin .....................................................................................
sin
Setelah koordinat titik penolong Collins H diketahui, selanjutnya menentukan koordinat titik P, yang
dapat dicari dari titik A maupun B. Bila dicari dari titik A, maka rumusnya adalah
= +
.............................................................................(3.7)
=+
(3.8)
. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
30
α ap dapat dicari dengan rumus: α ap = α ab + γ seperti terlihat pada gambar:
Mengikuti aturan sudut, Maka besarnya sudut γ sama dengan sudut BHC, seperti
terlihat pada gambar berikut ini. Dari gambar disamping besar γ dapat disusun dengan
rumus:
=
( − ℎ) ...................................................................................... (3.10)
( − ℎ)
31
Kembali pada segitiga ABP, dap dapat ditentukan dengan rumus:
+
sin( + ) sin
Sehingga:
=
(3.11)
. sin( + )..........................................................................
sin
Bila menentukan koordinat titik P dari titik B, mempunyai rumus sebagai berikut:
32
α bp dapat dicari dengan rumus: αbp = α ab + (α + γ) seperti terlihat pada gambar berikut:
=
sin sin
sehingga
=
. sin ....................................................................................
(3.15)
sin
sehingga
=
(3.16)
. sin ...................................................................................
sin
33
3.1.2 Metode Cassini
Cara pengikatan ke belakang metode cassini merupakan salah satu model
perhitungan yang berfungsi untuk mengetahui suatu titik koordinat, yang dapat di cari dari
titik koordinat yang sudah di ketahui. (Purwaamijaya, 2008)
1. Peralatan Dan Bahan
Peralatan yang digunakan antara lain sebagai berikut:
a. Theodolite
b. Rambu ukur
c. Statif
d. Unting-unting
e. Benang
f. Formulir ukur dan alat tulis
2. Pengukuran Di Lapangan
Pada pelaksanaan pengukuran di lapangan yang datanya akan diolah dengan
menggunakan metode Cassini sama halnya pada praktek pengukuran metode Collins, yaitu
sebagai berikut. Terdapat 3 titik koordinat yang telah diketahui berapa koordinat masing-
masing. Misalkan titik-titik yang telah diketahui tersebut adalah A, B dan C. Akan dicari
suatu koordinat titik tambahan diluar titik A, B, dan C untuk keperluan tertentu yang
sebelumnya tidak diukur, misalkan titik tersebut adalah titik P. Alat theodolite dipasang
tepat diatas titik P yang akan dicari koordinatnya dengan bantuan statif. Pasang rambu ukur
yang berfungsi sebagai patok tepat pada titik yang telah diketahui yaitu titik A, B, dan C,
sehingga terdapat 3 patok dan 2 ruang antar patok yaitu ruang AB dan BC. Baca
sudutmendatar yang dibentuk oleh titik A, B dan titik B, C. Sudut yang dibentuk oleh titik
A dan B kita sebut sebagai sudut alfa (α) sedangkan sudut yang dibentuk oleh titik B dan C
kita sebut sudut beta (β). Untuk menghitung titik koordinat dengan menggunakan
pengikatan ke belakang cara Collins data yang diukur di lapangan adalah besarnya sudut α
dan sudut β. Koordinat titik A, B, dan C telah ditentukan dari pengukuran sebelumnya.
Sehingga data awal yang harus tersedia adalah sebagai berikut:
1. titik koordinat A (Xa, Ya)
2. titik koordinat B (Xb, Yb)
3. titik koordinat C (Xc, Yc)
4. besar sudut α dan besar sudut
34
3.2 Menentukan Tititik dengan Cara Mengikat ke Muka
Pengikatan ke muka adalah suatu metode pengukuran data dari dua buah titik di
lapangan tempat berdiri alat untuk memperoleh suatu titik lain di lapangan tempat berdiri
target (rambu ukur/benang, unting–unting) yang akan diketahui koordinatnya dari titik
tersebut. Jadi dua titik yang diketahui koordinatnya digunakan untuk menentukan letak
koordinat suatu titik yang akan di cari. Misalnya kita akan menentukan koordinat titik R
yang diukur dari Titik P(Xp;Yp) dan Titik Q(Xq;Yq). Alat ditempatkan di kedua titik yang
sudah diketahui (Ratriwidya, 2012).
. R?
d
pr
pq
p pr d
qr
qr
(Xp;Yp)
d
pq
Q
( Xq;Yq )
35
BAB IV
PENENTUAN LUAS AREA
Penentuan luas area dapat dilakukan dengan beberapa metode, seperti menghitung
luas dengan segitiga, koordinat, dan maridian ganda. Ada beberapa metode penghitungan
di bawah ini, yaitu:
36
Persamaan di atas dapat di sederhanakan lagi menjadi:
2 × luas = + + + + - - - - - ....(4.2)
Contoh soal
Gambar 4-1 melukiskan polygon yang juga digunakan untuk contoh 1 dan 2, tetapi
dengan koordinat titik-titik direduksi sehingga = 0,00 (A adalah stasiun paling barat) dan =
0,00 (D adalah stasiun paling selatan); jadi semua koordinat positif. Hitunglah luas
polygon dengan metode koordinat.
Penyelesaian:
Hitungan-hitungan ini sebaiknya juga dengan penyelesaian yang memakai tabel.
Tabel IV-1 memperlihatkan prosedur itu dan hasil-hasilnya.
Gambar IV-2 Hasil Perhitungan
(Sumber: Brinker, C Rusel, Walijatum, & Paul R, 200)
Rumus lain yang sudah dipakai, mudah dijabarkan untuk menghitung luas polygon segi banyak
tertutup adalah
Luas = 1
[ ( - ) +( - ) + ( - )+ ( - )+ ( - ) ............ (4.3)
2
37
Tabel IV-1 Hitungan Luas Dengan Koordinat
TITIK Y X MINUS PLUS
A 591.64 0.00
B 847.60 125.66 74.345 0
C 694.07 716.31 607.144 87.216
D 0.00 523.62 363.429 0
E 202.97 517.55 0 106.279
A 591.64 0.00 0 306.203
-1.044.918 +499.698
499.698
2545.20
272.610 2
=
1
( + +) .................................................................................................... (4.5)
2
38
Contoh soal
Hitunglah luas sebuah segitiga sembarang yang memiliki panjang sisi 10 m,13 m, dan 17 m.
Jawaban:
Kita hitung nilai s = ½ (10 + 13 + 17) = 20
L = √ ( − )( − )( − )
L = √20(20 − 10)(20 − 13)(20 − 17)
L = √20.10.7.3
L = √4200
L = 10√42 2
39
4.4 Menghitung Luas dengan Jarak Meridian Ganda (DMD)
Pada gambar dibawah ini, jarak-jarak meridian jurusan AB, BC, CD, DE dan EA
adalah MM’, PP’, QQ’, RR’ dan TT’ berturut- turut. Untuk menyatakan PP’ dalam jarak
yang mudah, dibuat MF dan BG tegak lurus PP’. (Brinker & Wolf, 2000)
PP’ = P’F + FG + GP = jarak meridian AB + ½ ∆XAB + ½ ∆XBC ...............................
(4.6)
Wilayah yang dibatasi oleh poligon ABCDEA pada gambar IV-4 dapat dinyatakan
berdasarkan luas trapesium-trapesium:
B’BCC’ + C’CDD’ – (AB’B + DD’E’E + AEE’) ........................................................... (4.7)
Luas masing-masing bentuk sama dengan jarak meridian sebuah jurusan dikalikan selisih
ordinat jurusan itu sendiri. Misalnya luas trapesium C’CDD’ = Q’Q x C’D’, dimana Q’Q
dan C’D’ berturut-turut adalah jarak meridian dan selisih ordinat garis CD.
40
panjang EF harus diketahui atau di hitung agar luas sektor EGF dapat dihitung. Jika R dan
2 ° °
sudut pusat diketahui, maka luas sektor EGF = x ( /360 ). Jika panjang tali busur EF
diketahui, sudut = arc sin (EF/2R) dan persamaan sebelumnya dipakai untuk menghitung
luas sektor. Untuk rnemperoleh luas seluruh wilayah, luas sektor ditambahkan pada luas
ABCDEGFA, yang dihitung dengan DMD atau metode koordinat. Sebagai keragaman,
panjang dan arah tali busur EF dapat dihitung dan luas segmen EF ditambahkan pada luas
ABCDEFA. Perhatikan bahwa sudut XFE sama dengan setengah sudut EGF. (Brinker &
Wolf, 2000)
41
BAB V
PENGUKURAN JARAK
42
pengembangan dari theodolit manual, dimana adanya penambahan panel
tampilan secara digital (Umaryono, 1986).
43
Tancapkan anjir di A dan B, orang pertama membawa anjir menempati C1 dan
melihat ke B. Beri aba-aba agar orang kedua mendirikan anjir di D1 segaris dengan C1B.
Gambar V-3 Pelurusan yang Terhalang Bukit Kecil dan Pengukuran Jarak
Langsung Menyeberang Sungai
(Sumber: Basuki, 2016)
Kemudian orang kedua di D1 melihat ke A, memberi aba-aba agar orang pertama
mendirikan rambu di C2 segaris dengan D1A. Demikian berganti-ganti sehingga orang
pertama melihat ke orang kedua segaris dengan CB, demikian pula orang kedua melihat ke
orang pertama kelihatan segaris dengan DA.
Pada kasus pengukuran jarak langsung dari A ke C yang menyeberang sungai,
dilakukan pertolongan dengan membuat garis AB tegak lurus AC dengan prisma sudut,
kemudian dengan cara yang sama membuat garis tegak lurus BC di titik B hingga
memotong perpanjangan garis CA di titik D. Jarak-jarak AD=b, AB=d, dapat diukur
langsung, sehingga dapat dihitung jarak BD=a.
Dengan rumus Pitagoras maka dapat ditentukan panjang AC yaitu:
44
2 2 2
AC = BC – AB ............................................................................................ (5.1)
2 2 2 2 2
BC = CD – BD = (AC+AD) – BD
2 2 2
= AC + 2.AC AD + AD – BD .......................................................... (5.2)
Subtitusi dari persamaan (2) ke (1):
2 2 2 2 2
AC = AC 2.AC AD + AD – BD – AB
Sehingga:
2
AC = 2− 2+ 2
............................................................................................
(5.3)
2.
Gambar V-4 Kayu Ukur yang Diletakkan Mendatar pada Lapangan Miring (Sumber:
Wongsojitro, 1980)
Pada cara pertama kayu ukur harus di letakan mendatar. Kayu ukur pertama ujung
belakangnya di sentuhkan pada titik p, diletakan mendatar dengan perantaraan sebuah nivo dan
ujung mukanya diletakan tali unting unting yang akan menggantung tegak lurus. Dengan
demikian dapatlah di ukur jarak mendatar antara dua titik P dan Q. Diperlukan pada cara ini:
dua kayu ukur, sebuah nivo dan satu atau dua unting-unting. (Wongsojitro, 1980)
45
Gambar V-5 Kayu Ukur yang Diletakkan Datar di Atas Tanah
(Sumber: Wongsojitro, 1980)
Pada cara kedua kayu ukur seperti pada lapangan datar diletakkan di atas tanah,
sehingga di ukur jarak miring antara dua titik P dan Q, bila sudut miring lapangan anatar P
dan Q sama dengan α, maka tiap tiap kayu ukur yang panjangnya L dan yang di letakan di
atas tanah akan menyatakan jarak mendatar sama dengan L cos α, sehingga untuk
mendapat jarak mendatar tiap- tiap kayu ukur harus di kurangi dengan:
21
∆= − cos = (1 − cos ) = 2 ⁄2
Dengan rumus ini dapatlah di buat suatu daftar untuk menentukan ∆ dengan berbagai harga α sudut miring α
dapat di ukur dengan alat pengukur sudut miring. Pada cara ini di perlukan dua kayu ukur dan sebuah alat pengukur
sudut miring.
Gambar V-6 Kayu Ukur yang Diletakkan Datar di Atas Tanah yang Tidak di
Impitkan
(Sumber: Wongsojitro, 1980)
Pada cara ketiga kayu ukur di letakan lagi di atas tanah sedemikian rupa, hingga ujung-ujung dua kayu
ukur tidak diimpitkan, tetapi di letakan dengan suatu jarak ∆. Bila diingat, bahwa tiap tiap kayu ukur harus di
kurangi dengan ∆ untuk mendapatkan jarak data, mendatar, maka dari Gambar V-6 dapat di cari demgan
mudah bahwa jarak antar dua ujung dua kayu ukur sama dengan:
∆ − cos
∆= = = (sec − 1)
cos
46
5.5 Sumber Kesalahan pada Pengukuran Jarak
Walaupun sebelum pengukuran telah dipersiapkan segala sesuatunya, namun karena
sebab-sebab yang tidak terduga sebelumnya dan lain-lain hal, dalam pengukuran akan
terjadi juga kesalahan-kesalahan. Adapun sumber-sumber kesalahan dalam pengukuran
jarak langsung antara lain adalah (Basuki, 2016):
1. Pita ukur tidak betul-betul mendatar.
2. Unting-unting tidak vertical betul karena hembusan angin.
3. Pelurusan yang tidak sama.
4. Panjang pita ukur tidak standar.
5. Kesalahan menghitung jumlah bentangan.
6. Kesalahan membaca angka pada pita ukur dan pencatatannya.
47
BAB VI
PENGUKURAN SIPAT DATAR
48
Pada penentuan beda tinggi dua titik yang jauh, pengukuran dengan sipat kayu menjadi sukar
dan kurang teliti. Jika kita mencari beda tinggi antara titik B dan C, pelaksanaannya dapat kita
lakukan menurut gambar 6.1.2 dengan hasil perhitungan -0.80 - 1.15 - l.50 + 1.00 + 0.40
= -2.05m. Tetapi kayu sipat dipakai lima kali dan di horisontalkan dengan nivo tabung juga
lima kali. Kita dapat juga memasang sebuah kayu sipat dengan nivo tabung pada titik B
dan menyipat sepanjang sisi kayu sipat dan membaca rambu ukur yang didirikan pada titik
C. sasaran itu rebih mudah kita capai dengan alat bidik sederhana atau dengan cerah pejera
dan pejera seperti pada sebuah bedir. Arat ini dapat dipasang pada suaiu statif (kaki tiga)
atau dipegang tangan saja. pada alat bidik yang dipegang tangan kita harus memperhatikan
sasaran dan nivo sekaligus. Akan tetapi alat bidik ini masih kurang teriti karena kita
membaca rambu ukur langsung (tanpa teropong). Jaraknya agak terbatas.
49
Gambar VI-4 Alat Pengukuran Beda Tinggi
(Sumber: Frick, 1979)
1. lingkaran horisontal berskala
2. skala pada lingkaran horisontal
3. okuler teropong
4. alat bidik dengan celah pejera
5. cermin nivo
6. sekrup penyetel fokus
7. sekrup penggerak horisontal
8. sekrup ungkit
9. sekrup pendalar
10. obyektif teropong
11. nivo tabung
12. nivo kotak
13. kepala kaki tiga
Alat-alat penyipat datar yang sederhana dilihat garnbar VI-3 dan VI-4 di atas terdiri
dari sebuah teropong dengan garis bidiknya (garis vizier) dapat dibuat horisontal dengan
sebuah nivo tabung (11). Untuk mencari sasaran sembarang keliling alat penyipat datar,
maka teropong dan nivo tabung dapat diputar pada sumbu pertama yang dapat diatur pada
tiga sekrup pendatar (9). Dengan sekrup penyetel fokus (6) bayangan rambu ukur dapat
disetel tajam Dengan sekrup penggerak horisontal (7) bayangan dapat disetel tajam. cermin
yang dapat diputar ke atas (5) memungkinkan kita mengawasi nivo tabung dari okuler
teropong (3). Dalam keadaan tertutup cermin itu melindungi nivo tabung.
50
6.3 Metode Pengukuran Sipat Datar
6.3.1 Pengukuran Sipat Datar Berantai
Jika jarak antar titik kontrol pemetaan relatif jauh, pengukuran beda tinggi dengan
penyipat datar tak dapat dilakukan dengan satu kali berdiri alat. Oleh karena itu antara dua
buah titik kontrol yang berurutan dibuat beberapa slag dengan titik-titik bantu dan
pengukurannya dibuat secara berantai (differential levelling). (Basuki, 2016)
Seperti halnya pengukuran jarak dan sudut, pengukuran beda tinggi juga tidak
cukup dilakukan dengan sekali jalan, tetapi dibuat pengukuran pergi-pulang, yang
pelaksanaanya dapat dilakukan dalam satu hari (dinamakan seksi), serta dimulai dan
diakhiri pada titik tetap. Gabungan beberapa seksi dinamakan trayek.
51
Rambu invar adalah rambu yang garis-garis angkanya dituliskan pada plat invar
(campuran besi dan nikel). Plat ini tahap terhadap perubahan suhu udara karena koefisien
muainya sangat kecil. Pada rambu ini angka rambu terdiri dari dua sisi kanan dan kiri,
sehingga saat pembidikan ke rambu akan didapat dua bacaan kanan dan kiri, sekaligus
dipakai sebagai control pembacaan. (Basuki, 2016)
52
sebagai sumbu putar, dapat pula di putar dengan suatu sumbu yang letak searah
dengan garis bidik. Sumbu putar ini dinamakn sumbu mekanis teropong.
Teropong dapat diangkat dari bagian bawah alat ukur penyipat datar.
3. Alat ukur penyipat datar dengan teropong yang mempunyai sumbu mekanis,
tetapi nivo tidak diletakan pada terompong, melainkan ditemapatkan dibawah,
lepas dari teropong. Teropong dapat diangkat dari bagian bawah alat ukur
penyipat datar;
4. Alat ukur penyipat datar dengan teropong yang dapat diangkat dari bagian
bawah alat ukur penyipat datar dan dapat diletakaan dibagian bawah degan
landasan yang berbentuk persegi, sedang nivo ditempatkan pada teropong.
Karena konstruksi berbeda, maka cara pengaturan pada tiap-tiap macam alat ukur
penyipat datar akan berbeda pula, meskipun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk
semua macam sama. Dalam konstruksi yang modern, hanyalah macam kesatuan dan kedua
yang dapat mempertahankan diri, dengan perkataan lain: semua alat ukur penyipat datar
yang modern hanya dibuat dalam macam kesatu atau kedua saja. (Wongsojitro, 1980)
53
Gambar VI-8 Penempatkan Alat Penyipat Datar Antara Dua Titik
(Sumber: Frick, 1979)
Pada cara kedua lihat gambar diatas kita menempatkan alat penyipat datar antara
kedua titik sebaiknya demikian rupa, sehingga jarak dari alat penyipat datar ke kedua
rambu ukur masing_masing hampir sama, tanpa memperhatikan apakah alat penyipat datar
diletakan pada garis lurus antara dua titik itu. Kemudian pada titik A kita membaca nilai R
(pembacaan belakang) dan tanpa mengubah pendirian arat penyipat datar, kita baca nilai V
(pembacaan muka) pada mistar yang didirikan pada titik B. Maka serisih tingginya titik A
dan titik B menjadi h = R-V. (Frick H. , 1979)
Gambar VI-9 Penempatkan Alat Penyipat Datar Di Sebelah Kanan Titik B (Sumber:
Frick, 1979)
Pada cara ke-tiga menurut gambar di atas, tidak mungkin kita menempatkan alat
penyipat datar pada di atas titik A atau B, maupun di antaranya. Kita harus menempatkan
alat penyipat datar di sebelah kanan titik B. Pembacaan rambu ukur dilakukan pada titik A
(R) dan pada titik B (V), maka selisih tingginya titik A dan titik B menjadi juga h = R –V.
Dari tiga cara menyipat datar, cara dengan alat penyipat datar yang diletakkan antara
dua titik (cara ke-dua) yang memberi hasil yang paling teliti, karena kesalahan yang mungkin
54
masih ada pada pengaturan dapat saling memperkecil. Apa lagi jikalau jarak antara alat
penyipat datar ke kedua titik dibuat sama, kesalahan pada garis bidik yang tidak horisontal
(garis sumbu Z-Z tidak sejajar pada L-L, pada pembacaan rambu ukur timbul sebelah-
menyebelah dengan nilai yang sama. Dengan demikian perbedaan antara pembacaan mistar
belakang dan rambu ukur muka (R-V) menjadi berbedaan tingginya dua titik yang
sebenarnya.
Cara ini juga dapat dinamakan 'menyipat datar dari tengah-tengah' dan dapat
dilakukan sebagai pengetahuan dasar pada menyipat datar memanjang. Bila kita ingin
mengetahui tinggi titik-titik yang diletakkan di sekitar titik yang ditempati oleh alat
penyipat datar kita menyipat datar pada bidang. Atas dasar pengetahuan dasar mengenai
teknik menyipat datar dan alatalat penyipat datar akan dibicarakan cara menyipat datar
memanjang dan menyipat datar pada bidang.
Jikalau kita mengukur sudut vertikal antara titik 6 dan titik / bolak-balik maka kita
mendapatkan contoh berikut (Frick H. , 1979):
55
Contoh:
-Dari titik 6 ke 11 -Dari titik 6 ke 11
o o o o
= + 7 47’30” = 7,7917 = - 7 44’40” = 7,7444
I = 1.40 m I = 1.25 m
Z = 2.00 m Z = 2.80 m
D = 1944.04 m
D . tan = D . tan =
1944,04 . 0,136835 = 1944,04 . 0,135994 =
D . tan + 266.01 m - 264.38 m
2
−
.D + . + .
+ . − .
∆H
+ 265.67 m - 265.67 m
56
6.8 Sumber Kesalahan pada Pengukuran Beda Tinggi
Kesalahan itu dan usaha supaya pengaruh kesalahan itu diperkecilkan atau bila
mungkinpengaruh kesalahan pengaruh kesalahan dihilangkan sama sekali. Kesalahan-
kesalahan pengukuran dapat disebabkan (Frick H. , 1979):
1. Kerena kesalahan yang ada pada alat yang digunakan, kesalahan itu ialah: garis
bidik tidak sejajar dengan garis arah nivo
57
BAB VII
PENGUKURAN SUDUT
58
7.2.2 Theodolit
Secara umum dibagi menjadi 3 bagian utama:
59
d. Klem teropong dan penggerak halus, klem teropong untuk mematikan
gerakan teropong, sedangkan skrup penggerak halus dipakai untuk gerakan
halus.
e. Alhidade vertikal dan nivo.
f. Nivo Teropong, untuk membuat garis bidik mendatar.
2. Bagian Tengah
a. Kaki penyangga sumbu 2 (sumbu mendatar)
b. Alhidade horizontal, sebagai pemersatu dari kaki penyangga sumbu 2 dan
pelindung lingkaran horizontal
c. Piringan lingkaran horizontal merupakan tempat skala lingkaran
horizontal, terbuat dari metal atau kaca.
d. Klem dan penggerak halus alhidade horizontal, seperti halnya teropong
klem ini digunakan untuk mematikan gerakan sumbu 1 (sumbu tegak).
60
b. Nivo kotak, digunakan sebagai penolong dalam pengaturan sumbu 1
vertikal secara pendekatan.
c. Skrup penyetel ABC, terdiri dari 3 bh skrup sebagai pengatur sumbu 1
agar vertical
d. Pelat dasar, digunakan sebagai penyatu alat dengan statif.
e. Alat sentering optis (pada alat baru), pada alat lama piranti ini berupa alat
penggantung tali unting-unting yang berada pada baut instrumen. Beberapa
alat buatan Kern menggunakan sentering dengan tongkat teleskopic.
f. Statif, sebagai piranti mendirikan alat di lapangan.
61
7.2.3 Theodolit Digital
62
2. Garis lurus dan skala
Pada sistem ini pembagian terkecil dari piringan pembacaan hanya sampai
dalam derajat. Sebagai garis indeks adalah garis derajat dan piringan lingkaran.
63
7.2.4 Mikrometer
Mikrometer sebenarnya berupa prisma yang dipasang di depan lensa mikroskop
pembacaan. Prisma ini dapat diputar kedudukannya dengan skrup pemutar (sekrup
mikrometer). Sedangkan sistem pembacaannya sebenarnya sistem nonius, pembacaan
dapat dilakukan bila salah satu garis skala lingkaran telah masuk di tengah antara dua garis
indeks tersebut. Untuk memasukkannya gunakan skrup mikrometer.
64
Gambar VII-12. Leveling dan Centering Alat
(Sumber: Umaryono, 1986)
65
7.3 Metode Pengukuran Sudut
7.3.1 Pengukuran Sudut Horizontal
Sudut horizontal adalah selisih dari dua arah. Sudut horizontal pada suatu titik di
lapangan dapat dibagi dalam sudut tunggal dan sudut yang lebih dari satu sehingga teknik
pengukurannya juga berbeda (Basuki, Ilmu Ukur Tanah (Edisi Revisi), 2016).
7.3.2 Pengukuran Sudut Tunggal
Pengukuran sudut tunggal dapat dilakukan dengan 4 cara yaitu:
1. Pengukuran tunggal
Misal akan diukur sudut B yang arah-arahnya A dan C. Langkah-langkahnya
sebagai berikut:
a. Stel (dirikan) alat ukur teodolit di atas titik B dengan bantuan alat
senteringnya.
b. Buat sumbu I vertikal. Bidikkan teropong pada target di A dengan cara
mengarahkan teropong pada target. Apabila bidikan telah mendekati target,
matikan klem horizontal dan vertikal dan tepatkan garis bidik pada target
dengan memutar skrup penggerak halusnya. Baca lingkaran horizontalnya,
missal R₁.
A= R ₁
B ᵝ
C=R₂
66
seri yang akan dilakukan. Sedangkan untuk seri rangkap, pengukurannya dilakukan
dengan posisi teropong biasa dan luar biasa. Adapun caranya sebagai berikut:
Setelah langkah 3 di atas, teropong diputar balik menjadi kedudukan luar biasa dan
bidikkan kembali pada target di titik C dan baca lingkaran horizontalnya, misal R’₂,
dan kemudian dengan cara yang sama bidikkan pada target di titik A dan baca
lingkaran horizontalnya, misal R’₁,
Besarnya sudut ukuran: β (B = biasa) = R₂ - R₁
β (LB = luar biasa) = R’₂ - R’₁
β= ( )+ ( )
3. Pengukuran Repetisi
Cara ini hanya dapat dilakukan dengan alat teodolit tipe repetisi atau teodolit
yang mempunyai sumbu vertikal ganda. Langkah-langkahnya adalah sebagai
berikut:
a. Stel teodolit di titik B, buat sumbu I vertikal.
b. Bidik titik A. dengan skrup klem dan penggerak halus limbus, bacaan pada
titik A dapat diatur agar menjadi nol atau angka yang lain. Catat
pembacaan ini = p
c. Matikan klem limbus dan buka klem horinzontal. Bidik teropong pada titik
C. Setelah tepat, matikan klem horizontal. Baca q, diperoleh sudut β.
d. Bawa pembacaan q ke pembidik A dengan cara membuka klem limbus.
Setelah tepat, matikan klem limbus.
e. Buka klem horizontal, bidikkan teropong pada titik C. dengan cara ini, akan
didapatkan sudut β lagi. Bila ini diulang n kali, akan diperoleh n.β kali
A
B ᵝ
67
Pada cara ini cukup dicatat pembaca awal p, pembacan kedua q dan pembacaan
terakhir r.
β = − + .360˚
4. Pengukuran reiterasi
Cara reiterasi sebenarnya mirip dengan repetisi, yaitu setelah mengukur sudut β,
pembacaan q ditambah dengan besaran sudut tertentu, missal 30˚. Pembacaan ini
kemudian dibawa ke A dan klem limbus dimatikan lagi. Selanjutnya klem horizontal dibuka dan
teropong dibidikkan ke C lagi. Pekerjaan diulang-ulang sampai n kali.
Besarnya sudut β = 1
Ʃ − Ʃ₁
Atau β= Ʃ( ₁− ₁
A=R1
ᵝ
C=R2
30˚
R2+30˚
68
A
α B
0 ᵝ C
γ
ϑ D
E
0 C
69
teropong pada arah horizontal. Sedangkan kolimasi vertikal terjadi jika garis bidik tidak
berhimpit dengan sumbu datar teropong pada arah vertikal (Ratriwidya, 2012).
7.4.2 Kesalahan Akibat Keadaan Alam
Kesalahan yang disebabkan oleh alam adalah sebagai berikut:
1 Karena lengkungnya permukaan bumi
2 Karena melengkungnya sinar cahaya (refraksi)
3 Karena getaran udara
4 Karena perubahan arah garis nivo
7.4.3 Kesalahan Akibat Si Pengukur Sendiri
Kesalahan-kesalahan yang disebabkan oleh pengukur adalah sebagai berikut:
1 Kesalahan pada mata
2 Kesalahan pada pembacaan
3 Kesalahan yang kasar
70
Fungsinya adalah:
a. Untuk membuat kerangka
b. Pengukuran titik tetap (bench mark).
c. Pengukuran rencana jalan raya, kereta api, irigasi, daerah industri,
perumahan.
d. Sebagai dasar untuk tempat pelaksanaan pengukuran yang lainnya.
Σ β + fx = (n – 2).180
71
Keterangan:
Σ β, Σ β’ = Jumlah sudut dalam, jumlah sudut luar
fx = besarnya kesalahan
n = jumlah titik
72
Gambar VII-18. Poligon Terbuka Tidak Terikat
(Sumber: Frick, 1979)
73
b. Koreksi Koordinat
Kesalahan ini dapat diuraikan dalam unsur absis dan ordinat. Selanjutnya dari gambar
7.13 terlihat, bahwa untuk masing-masing penggal jarak azimuth didapat hubungan:
= . sin (i+1,i) ................................................................................. (7.4)
= . cos (i+1,i)
Dengan demikian untuk semua harga i:i = 1,2,… n akan didapatkan, bahwa jumlah absis
dan ordinatnya tidak lain dari absis dan ordinat dari titik akhir terhadap titik awal, atau
dapat ditulis sebagai :
kx = ∑ . sin (i+1,i) = (Xakhir – Xawal) .................................................... (7.5)
ky = ∑ . cos (i+1,i) = (Xakhir – Xawal)
ky(i) ky
∑
74
BAB VIII
TOTAL STATION
vertikal) secara otomatis. Alat ini dilengkapi dengan chip memori, sehingga data
pengukuran sudut dan jarak dapat disimpan untuk kemudian didownload dan diolah secara
computerize. Total Station merupakan alat yang mengkombinasikan tiga komponen dasar
menjadi satu alat yaitu (Usman, 2016):
75
Gambar VIII-2 Mendirikan Statif
(Sumber: Usman, 2016)
2. Memasang Alat Pada Tripod
a. Letakkan alat pada kepala tripod
b. Kunci dengan skrup centering
c. Masukkan batere ke alat sebelum melakukan levelling
d. Fokuskan optikal plummet pada titik pengukuran
76
Gambar VIII-4 Memfocuskan untuk Titik Pengukuran
(Sumber: Usman, 2016)
c. Kendurkan klem horizontal dan putar alat sampai plat level paraparalel
terhadap 2 leveling foot screw.
e. Putar alat 90⁰ dan atur posisi leveling dengan menggunakan skrup
leveling yang ketiga
f. Amati survey point pada optical plummet dan atur posisinya agar ke
tengah-tengah titik dengan cara mengendurkan skrup centering dan
menggeser masuknya alat
77
Gambar VIII-5 Meletakkan Gelembung dengan cara Menyetel Kaki Tripod
(Sumber: Usman, 2016)
78
4. Verifikasi leveling secara elektronik
a. Nyalakan alat Total station melalui tombol “on”
b. Layar akan menampilkan “MEAS”.
c. Pilih [Tilt] function
d. Setting level foot screw ke pusat gelembung elektronic dengan tepat.
e. Putar alat 90⁰ dan ulangi
79
8.2.2 Prosedur Pemetaan Dengan Total Station
1. Masukan Data Awal
Setelah alat ukur terpasang di atas stasiun dan dibuat sumbu 1 vertikal, pada
layer monitor LCD akan tampil menu-menu yang harus diisi oleh operator alat,
dengan cara (Usman, 2016):
a. Koordinat dari stasiun tempat berdiri alat dan koordinat atau azimuth
stasiun sebelumnya.
b. Deskripsi atau keterangan dari proyek
c. Tanggal pengukuran
d. Temperatur udara
e. Tekanan udara saat itu.
f. Konstanta prisma
g. Penyetelan haraga kelengkungan bumi
h. Koreksi permukaan laut
i. Pemilihan pengukuran (biasa atau luar biasa)
j. Penomoran secara otomatis pada obyek yang akan dibidik
k. Memilih unit atau satuan jarak
80
d. Kode identitas titik stasiun
e. Koordinat titik stasiun (fiktif sistem lokal atau UTM)
f. Koordinat stasiun di belakangnya (stasiun BS) atau azimuth ke titik stasiun
BS
3. Data Masukan Dari Titik Detail
Dari titik detail yang dibidik, data yang dimasukkan antara lain:
a. Kode operasi (misal 20,30 atau 40 untuk bs, fs atau is)
b. Ketinggian dari prisma pemantul atau reflektor
c. Nomor titik detail sebagai contoh 114 (bs)
d. Kode identifikasi stasiun, mis. 02 (cm)
4. Transfer Data Dan Prosesing Data
a. Program untuk memindahkan data telah disiapkan dengan kabel khusus
b. Sebelum data dimasukkan, pastikan format data sesuai dengan program
yang ada di komputer sehingga dapat dibaca.
81
2. Dialog Drawing Project Based
a. Klik Nama Gambar
b. Klik Browser, cari Lokasi Penyimpanan
c. Untuk mengisi Project Name klik Create Project
d. Pada Prototype: Pilih Meter
e. Pada Name: ketik Nama Proyek
f. Klik OK
g. Pada Select Drawing: pilih Acad dwt.
h. Klik OK
3. Dialog Load Setting, klik Next
4. Dialog Unit
a. Pada Linear Unit pilih Meter
b. Pada Angle Display Style, pilih North Azimuth
c. Klik Next
5. Dialog scale
a. Skala Horizontalnya
b. Skala Vertikalnya
c. Skala Kertas
d. Klik Next
6. Dialog Zone
a. Pada Categories, pilih Indonesia
b. CS Code: IN-SAM
c. Klik Next
7. Dialog Orientation, klik Next
8. Dialog Text Style, klik Next
a. Klik Standard saja
9. Dialog Border, klik Next
10. Dialog Save Setting, klik Finish
11. Dialog Finish, klik OK
12. Dialog Create Point Database, Centang Use Point Names lalu klik OK
Input Data (Import/Export Point)
82
b. Pilih Marker kemudian atur Skala Marker
c. Pilih Text, kemudian atur Skala Textnya
2. Import Point, Menu Points – Import/Export Points – Import
Points Data yang perlu disiapkan sebelum mengIMPORT POINT
a. Masukan data dari survey kedalam Program Ms. Excel, (mengetik ulang
data koordinat yang didapat dari survey)
b. Copykan data tersebut kedalam Text Document/Notpad
c. Simpanlah data tersebut dalam Folder tersendiri, sesuaikan dengan nama
proyeknya
d. Dan keluarlah/Close data tersebut
e. MengIMPORT POINT data yang sudah dalam bentuk Notpad diatas
f. Dialog point, pilih Format: PENZD (Space Delimited), lalu pada Source
File: carilah File data Countour yang sudah dalam bentuk Notpad,
kemudian klik OK
g. Dialog COGO Database Import Options, lalu klik OK. Setelah klik OK
tunggu loadingnya kemudian Zoom Extenlah supaya data yang dimport
terlihat dengan jelas.
83
BAB IX
GARIS KONTUR
Gambar IX-1 Pembentukkan Garis Kontur Dengan Membuat Proyeksi Tegak Garis
Perpotongan Bidang Mendatar Dengan Permukaan Bumi (Sumber: Purwaamijaya,
2008)
Garis-garis kontur merupakan cara yang banyak dilakukan untuk melukiskan bentuk
permukaan tanah dan ketinggian pada peta, karena memberikan ketelitian yang lebih baik.
84
Cara lain untuk melukiskan bentuk permukaan tanah yaitu dengan cara hachures dan
shading. Bentuk garis kontur dalam 3 dimensi.
85
Gambar IX-3 Kerapatan Garis Kontur Pada Daerah Curam Dan Daerah Landai
(Sumber: Purwaamijaya, 2008)
11. Penyajian indeks garis kontur pada daerah datar adalah setiap selisih 3 garis
kontur, pada daerah berbukit setiap selisih 4 garis kontur sedangkan pada
daerah bergunung setiap selisih 5 garis kontur.
12. Satu garis kontur mewakili satu ketinggian tertentu.
13. Garis kontur berharga lebih rendah mengelilingi garis kontur yang lebih tinggi.
14. Rangkaian garis kontur yang berbentuk huruf "U" menandakan punggungan
gunung.
15. Rangkaian garis kontur yang berbentuk huruf "V" menandakan suatu
lembah/jurang.
86
Gambar IX-5 Garis Kontur Pada Curah Dan Punggung Bukit
(Sumber: Purwaamijaya, 2008)
87
Gambar IX-8 Bentuk, Luas, dan Volume Daerah Genangan Berdasarkan Garis Kontur
(Sumber: Purwaamijaya, 2008)
Gambar IX-10 Titik dengan Ketinggian Sama Berdasarkan Garis Kontur (Sumber:
Purwaamijaya, 2008)
88
4. Lalu, hubungkan titik – titik yang telah diperoleh dari hasil interpolasi yang
ukurannya sama, dengan menggunakan garis – garis.
5. Apabila garis – garis kontur yang telah didapatkan memotong lembah,
walaupun lembah tersebut tidak memiliki harga ketinggian tertentu, maka garis
kontur tersebut dibuat meruncing ke arah hulu. Kemudian, spasi atau jarak
garis kontur disesuaikan denga bentuk – bentuk lereng.
Peta kontur dibuat dengan mengambil citra permukaan bumi dari pesawat udara
atau satelit. Proses pencitraan akan menghasilkan sebuah gambar permukaan bumi
dengan warna–warna yang menunjukkan ketinggian tiap permukaan bumi yang
dicitrakan. Gambar berwarna tersebut kemudian diolah dengan memberi batas
berupa polyline untuk tiap permukaan bumi yang memiliki ketinggian yang sama
(memiliki warna yang sama). Tiap garis dalam polyline akan menggambarkan
ketinggian permukaan bumi yang sama. Tiap polyline yang menggambarkan
ketinggian permukaan bumi tertentu disebut sebagai kontur.
Garis-garis kontur pada peta topografi dapat digunakan untuk menghitung volume,
baik volume bahan galian (gunung kapur, bukit, dan lain-lain). Luas yang dikelilingi oleh
masing-masing garis kontur diukur luasnya dengan planimeter dengan interval h. Volume
total V dapat dihitung. Garis-garis kontur pada peta topografi dapat digunakan untuk
menghitung volume, baik volume bahan galian (gunung kapur, bukit, dan lain-lain). Luas
89
yang dikelilingi oleh masing-masing garis kontur diukur luasnya dengan planimeter
dengan interval h. Volume total ∑V dapat dihitung.
Rumus umum:
−2
ℎ
∑v = [ + +4
∑ = 2
] ………………………………………. (9.1)
3 0 =0 2
Atau
−2 1
∑v = ℎ
[ + +4 ∑
=
2 + ∑=( . ) 2
]…………………(9.2)
3
0 =0 =1 −1
Atau
−2
ℎ
∑v = [ + +2
∑ = 2
] …………………………..……………(9.3)
3
0 =0
90
BAB X
PETA SITUASI
91
1. Pemetaan Situasi
Membuat gambaran situasi dari suatu daerah ke atas bidang datar dengan skala
tertentu dengan menggambarkan adanya: rumah, sungai, jembatan, batas pagar,
tanaman serta keadaan reliefnya sebagai peta dasar untuk berbagai keperluan teknis.
2. Peta Potensi Pariwisata
Bagi para wisatawan, peta potensi pariwisata akan sangat penting untuk
membantu mereka mencapai lokasi destinasi wisata yang hendak dikunjunginya.
Secara sederhana, jenis peta tematik ini juga dapat dikategorikan sebagai peta
distribusi kualitatif.
92
Gambar X-2 Peta Potensi Gempa Republik Indonesia
(Sumber: Muda, 2008)
93
2 Tachemetry.
3 Pengukuran kerangka horizontal, kerangka vertikal dan detail
semuanya dilakukan tlengan metode Tacheometry.
94
2. Peta skala adalah angka dengan perbandingan jarak peta dengan jarak yang
sebenarnya. Skala Peta tidak hanya menunjukkan perbandingan jarak di peta
dengan jarak yang ada di lapangan. Seperti untuk mengukur jarak di lapangan
atau menghitung luas suatu areal, tetapi dengan menunjukkan ketelitian
geometris dan detail dari unsur dan informasi yang d isajikan. Semakin besar
suatu skala peta, maka semakin teliti dan detair unsur informasi yang disajikan
95
BAB XI
PHOTO UDARA
Foto udara paling berguna ketika detail spasial yang baik lebih penting daripada
spektral informasi, karena resolusi spektral umumnya kasar bila dibandingkan dengan
data yang diambil dengan perangkat penginderaan elektronik. Geometri foto vertikal
dipahami dengan baik dan mungkin untuk membuat pengukuran yang sangat akurat,
untuk berbagai perbedaan aplikasi (geologi, kehutanan, pemetaan, dll.). Ilmu membuat
ukuran dari foto-foto disebut fotogrametri dan telah dilakukan secara luas sejak semula
awal fotografi udara. Foto paling sering ditafsirkan secara manual oleh manusia analis
(sering dilihat secara stereoscopically). Juga dapat dipindai untuk membuat gambar
digital dan kemudian dianalisis dalam lingkungan komputer digital
97
hasil (baik hard copy dan soft copy). Pengadaan data awal sangat menentukan kualitas
dan ragam hasil nantinya, maka persoalan utama adalah perencanaan yang seksama serta
melalui dasar kecermatan pemikiran yang terpadu. Sementara ragam pilihan dan pola
pengadaan data awal (data akuisisi dalam fotogrametri) sangat terpancang kepada
masalah keamanan (security).
Pemotretan udara pada dasarnya harus melalui proses perijinan setelah
perencanaan jalur terbang dibuat. Instansi pemberi ijin adalah pihak Pusat Survei dan
pemetaan (Pussurta) TNI-AU di bawah Departemen Pertahanan. Selalu dibutuhkan
adalah S.C atau “Security Clearance” yang dalam pelaksanaannya berdasar SNI
Pemotretan Udara Standar; sementara untuk pengadaan data non fotografi (pengadaan
citra satelit) dan pembelian data lain tanpa SC. Pemotretan udara dengan mempergunakan
wahana pesawat berawak (PB) mutlak dibawah koordinasi yang berwenang, hal ini
mengingat selama ini wilayah kesatuan NKRI ada dalam wawasan dan pengawasan matra
udara oleh TNI-AU (termasuk pemakaian fasilitas landasan atau pangkalan pesawat
terbang selama proses pemotretan) (Bambang, 2014).
Sebelum melakukan pemotretan udara / Photo Udara, beberapa hal harus
diperhatikan, yaitu:
1. Faktor cuaca selama kurun waktu pemotretan (prediksi cuaca yang kadang
dapat meleset, serta perlu ada kelonggaran waktu)
2. Masalah non teknis terkait kondisi ijin operasional harian, sebab tidak selama
cuaca baik dapat langsung terbang dan memotret, ada kalanya harus mengalami
“delay” atau bahkan “cancellation” atau pembatalan untuk take off pada hari-
H. Tergantung keperluan sesaat, misalnya ada penutupan landasan karena
akan ada tamu Negara (orang VVIP, dll)
3. Masalah pengulangan karena ada beberapa foto yang “rejected” atau harus
diulang setelah selesai satu penerbangan, karena hasil yang tidak memenuhi
standar kualitas. Perlu pemeriksaan on line (sesaat setelah dicuci dan cetak
navigasi), apakah ada kesalahan data atau tidak.
4. Masalah pengadaan logistik bahan bakar di tempat landasan dan lain sebab
yang bisa menyebabkan penguluran waktu (“technical delay”).
Pada bagian berikut ini disajikan urutan prosedur berdasar SNI Pemotretan udara
berdasarkan langkah-langkah:
98
1. Ketentuan Umum.
a. Dalam permohonan ijin pemotretan atau permohonan SC harus jelas
mencantumkan lokasi proyek atau informasi letak, luasan daerah yang
dipotret (di Kabupaten, Provinsi mana) serta dilampirkan pada bagian
mana dari lembar Peta Topografi sebagai lampiran. Untuk daerah yang
belum ada data peta (atau daerah baru sekali) dinyatakan dimana posisi
sebenarnya atau lewat penunjukan koordinat (bacaan dari survey
lapangan, data GPS misalnya).
b. Skala foto atau skala negatif yang diperoleh dalam pemotretannya harus
dicantumkan; hal ini terkait nantinya dengan kemampuan wahana atau
PB (pesawat berawak) yang terbang pada hitungan berdasarkan skala foto
dan jenis kamera yang dipakai (berapa harga focus kamera).
c. Peralatan dasar / media perekam yang dipergunakan, serta jenisnya apakah
kamera analog, format negatif, serta apakah memakai media perekam lain
yang diperbolehkan. Bila memakai kamera analog standar harus diperiksa
(cek ulang) apakah masih layak dipakai, tergantung data kalibrasi kamera.
Periksa Sertifikat Kamera, apakah masih berlaku (masih dalam masa
berlaku), termasuk PB yang dipergunakan, apakah masih layak terbang.
d. Jenis film yang digunakan, apakah hitam putih (black & white,
panchromatic, atau color photo) yang ada dipasaran / berlaku umum.
e. Format foto udara yang memenuhi kualitas geometrinya, rona yang layak
untuk keperluan pemetaan secara fotogrametris; serta bila dipakai hasil
lanjut masih sesuai (selain peta, bisa berupa mosaic, data interpretasi).
Dikenal macam dan ukuran format analog (standar kamera normal metrik
23 cm X 23 cm) serta dapat pula memakai kamera medium metrik (dan
juga non metrik) ukuran 6 cm X 6 cm. Dengan teknologi pemetaan
(melibatkan software mapping yang canggih) dapat dipakai pemotretan
dengan kamera format kecil, SFAP atau small format aerial photography.
f. Security Clearance (S.C) menyatakan ijin pemotretan yang harus dipatuhi
dalam hal: batas waktu operasional pemotretan udara, dan syarat2
teknis untuk jenis wahana (P.B.) serta kelayakan terbangnya.
g. Tahap awal terkait pula dengan masalah: ”Pre marking” atau tahap
signyalisasi (penandaan di lapangan) bersamaan waktu pemasangan tugu
ikatan atau GCP (ground control point). GCP dapat memanfaatkan titik
99
dasar yang ada, misalnya TDT (Titik Dasar Teknik) orde 2 atau orde-3
yang telah ada. Premarks harus dipasang sebelum pemotretan.
h. Hasil akhir pada tahap pertama ini, berupa negatif film dan tatacara
penyimpanan sesuai peraturan yang ada (sesuai SNI) serta index foto
berdasar hasil pemotretan. Selain foto, juga diserahkan data diskripsi
letak semua titik ikat (GCP atau TDT) yang telah dilakukan pengukuran
dan pemasangan tanda sebelum pemotretan. Bila ada premark (s) yang
hilang atau rusak, setelah pemotretan dapat dilakukan identifikasi atau
penggantian tanda pada foto hasil, yang dikenal dengan proses “post
marking” maka titik ikatan melengkapi data awal.
2. Peralatan Pendukung.
Ragam perangkat dalam pemotretan udara serta sasaran hasil untuk tujuan
pemetaan dapat dikemukakan sebagai persyaratan yang ditetapkan pula dalam
SNI, baik menyangkut masalah kamera, data kalibrasi, serta pola penerbangan
yang dapat dikemukan apakah memakai alat Bantu navigasi GPS.
a. Bila memakai PB (Pesawat Berawak) maka dudukan kamera di badan
pesawat harus ada ijin dan sesuai standar keselamatan terbang (letak
camera mounting) dan kondisi pesawat sebelum operasi lapangan hal ini
menyangkut apakah ada efek yang akan mempengaruhi “tilt” dan “drift”
pesawat selama di udara
b. Kamera harus dilengkapi filter tertentu sesuai sifatnya dan kondisi lokasi
pemotretan (areal proyek); khususnya memperhatikan tinggi terbang,
pengatur diapragma otomatik, serta tujuan hasil pemotretan yang tepat.
c. Apakah memenuhi syarat perlengkapan mekanik yang mendukung
kamera, yang dipergunakan, dan masih bekerja normal.
d. Harus dapat menunjukkan sertifikat kamera serta masa berlakunya bila
memakai jenis kamera metrik. Sementara untuk pemakaian SFAP atau
penggunaan jenis kamera komersial, belum ada keharusan data kalibrasi.
e. Untuk pemotretan udara dengan memakai sarana GPS-navigasi atau
secara GPS-kinematik harus direncang khusus sehingga ada interface
dengan peralatan GPS agar posisi titik pusat tiap foto (kedudukan pusat
foto) dapat ditentukan (diketahui koordinatnya, berdasdar bacaan GPS).
100
3. Media Perekam.
a. Film yang dipergunakan dalam pemotretan udara harus jenis film yang
mudah diperoleh di pasaran.
b. Penyinaran (exposure) dengan pemilihan celah diafragma dan kecepatan
rona atau shutter sedemikian rupa sehingga diperoleh bayangan yang
tajam. Pergerakan bayangan (image motion) yang diperoleh pada skala
1:5000 atau lebih kecil, tidak melebihi 25 mikronmeter. Untuk
pemotretan pada skala foto yang lebih besar dari 1:5000 harus kurang
dari 50 mikronmeter
c. Kualitas kontras pada negatif maupun positif harus memenuhi
persyaratan produksi foto
d. Dalam proses pengembangan (development) harus dilakukan hati-hati
untuk menghindari penyusutan & pengembangan dan perolehan tone
serta brightness range yang relatif mendekati, dengan brightness range
permukaan tanah / topografi.
e. Proses penetapan (fixation) harus dilakukan secara sempurna agar tidak
ada unexposed silver yang tertinggal, film bersih.
f. Hasil harus menunjukkan bebas noda dan goresan (selama proses).
g. Cakupan awan tidak menutupi obyek penting serta kurang dari 5% per
lembar foto hasilnya.
h. Perlu dilakukan uji fotogrametris yang ditetapkan khusus dalam proyek.
4. Pembuatan Jalur Terbang (Flight Planning).
Persyaratan teknis pembuatan FP (Flight Planning) dibuat dan ditetapkan
berdasarkan sasaran hasil akhir proyek, serta persyaratan skala foto, pertampalan
dan proses atas dasar analog atau digital. Untuk pembuatan FP dimulai dari teori
dasar dengan metode analog, sehingga bila ingin memakai bantuan software lain
selama pemotretan (terutama PGS-navigasi) mudah penggunaannya bila telah
dipahami dasar-dasarnya.
Dasar dasar perencanaan jalur terbang juga merupakan syarat untuk
disertakan sebagai lampiran ijin/ permohonan Security Clearance (S.C.) kepada
pihak yang berwenang oleh (Pussurta TNI-AU, Dep. Hankam). Beberapa hal
antara lain perlu dicermati dasar-dasar FP adalah:
a. Peta jalur terbang, atau FP (flight plan) merupakan pedoman arah jalur
pemotretan, saat mulai dan berakhirnya titik bukaan (exposure station)
per 101
lintasan jalurnya, meliputi seluruh luasan proyek. FP adalah bagan jalur
lengkap dengan letak dan koordinat tiap titik bukaan (exposure) selama
proses pemotretan berlangsung. FP diplot (digambarkan) pada peta
topografi atau peta lain yang sesuai skalanya (untuk pedoman kerja kru
udara / air crew).
b. Keberhasilan pemotretan sangat menentukan kualitas foto-udara dan hasil
olahan akhir (peta-peta serta produk lain). Manfaat FP adalah untuk
menghitung total biaya dan kebutuhan logistic selama penerbangan
(selain untuk lampiran permohonan ijin, atau perolehan S.C)
c. Dengan pola FP yang efeisien (pengaturan arah terbang yang cocok
dengan lokasi) dapat dipergunakan sebagai entry data bila ingin memakai
pola pemotretan GPS-navigasi atau pemotretan udara kinematika.
d. Dengan melihat pola FP, lebih mudah ditentukan pemakaian (pemilihan)
wahana dan kombinasi kamera yang cocok dengan jangkauan luasan
proyek dan kondisi logistic bahan bakar setempat.
e. Ada keterkaitan erat antara penetapan skala foto, tempat, dan kemampuan
tinggi terbang wahana yang dipilih; jumlah foto juga tergantung skala
foto dan pertampalan yang direncanakan (sesuai kondisi daerah dan
keadaan topografi).
f. Khusus melihat kondisi topografi daerah, serta penentuan skala foto
maka tinggi terbang sangat tergantung berapa panjang fokus kamera (tipe
kamera yang dipilih), terutama lebar cakupan dan kemungkinan
terjadinya VS (Variasi Skala) untuk ketinggian tertentu. Kesalahan VS
untuk tiap jalur tidak boleh lebih dari toleransi 10%.
g. Parameter perencanaan dalam pembuatan FP dipergunakan lebih lanjut
dalam hitungan biaya dan jumlah material selama proses (dibahas dalam
materi selanjutnya).
104
Demikian dari berbagai kegunaan Photo Udaara. Masih sangat banyak
kegunaan/aplikasi/pemanfaatan dari Photo Udara terutama untuk aspek-aspek
pembangunan yang memerlukan informasi ukuran dari unsur fisik permukaan bumi.
105
BAB XII
PENGINDERAAN JAUH / REMOTE SENSING
106
12.2 Konsep Dasar Penginderaan Jauh
Deteksi dan diskriminasi objek atau fitur permukaan berarti mendeteksi dan
merekam energi pancaran yang dipantulkan atau dipancarkan oleh benda atau permukaan
material . Benda benda yang berbeda mengembalikan jumlah energi yang berbeda-beda
dari spektrum elektromagnetik. Ini tergantung pada material (struktural, kimia, dan fisik),
kekasaran permukaan, sudut insidensi, intensitas, dan panjang gelombang energi radiasi.
Remote Sensing pada dasarnya adalah ilmu multi-disiplin yang mencakup
kombinasi berbagai disiplin ilmu seperti optik, spektroskopi, fotografi, komputer,
elektronik dan telekomunikasi, peluncuran satelit, dan lainnya. Semua ini teknologi
terintegrasi untuk bertindak sebagai satu sistem yang lengkap dalam dirinya sendiri, yang
dikenal sebagai Sistem Penginderaan Jauh. Ada sejumlah tahapan dalam Penginderaan
Jauh proses, dan masing-masing penting untuk operasi yang sukses.
Tahapan singkat penginderaan jauh:
1. Emisi radiasi elektromagnetik, atau EMR (matahari / self-emission)
2. Transmisi energi dari sumber ke permukaan bumi, juga sebagai absorpsi dan
hamburan
3. Interaksi EMR dengan permukaan bumi: refleksi dan emisi
4. Transmisi energi dari permukaan ke sensor jarak jauh
5. Output data sensor
6. Transmisi, pemrosesan, dan analisis data
107
Pada suhu di atas nol mutlak, semua benda memancarkan elektromagnetik energi
berdasarkan osilasi atom dan molekuler mereka. Jumlah total radiasi yang dipancarkan
meningkat dengan suhu dan puncak absolut tubuh pada panjang gelombang yang semakin
pendek. Matahari, menjadi sumber energi utamsa, radiasi dan pencahayaan,
memungkinkan menangkap cahaya yang dipantulkan dengan konvensional (dan beberapa
kamera dan film yang tidak biasa). Strategi dasar untuk merasakan radiasi
elektromagnetik jelas. Segala sesuatu di alam memiliki distribusi unik seolah olah
tercermin, dipancarkan dan diserap radiasi. Karakteristik spektral ini, jika dieksploitasi
secara cerdik, dapat digunakan untuk membedakan satu hal dari yang lain atau untuk
memperoleh informasi tentang bentuk, ukuran dan sifat fisik dan kimia lainnya tanpa
melakukan kontak langsung terhadap obyek tersebut (Aggarwal, n.d).
109
Radiasi elektromagnetik merupakan bentuk energi yang kehadirannya dapat
dinyatakan oleh pengaruhnya ketika menyetuh materi. EMR yang bergerak dengan
kecepatan cahaya ini berdomain tertentu di dalam spektrum gelombang cahaya. Spektrum
ini dapat dituliskan dalam bentuk tabel seperti berikut:
Tabel XII-1 Spektrum Gelombang Elektromagnetik
Radio >109
>10 <3 x 109 <10−5
0.01- 7x 10
1014
10−5 1014
1019
110
Microwave
Radiometer
Non- Magnetic sensor
Imaging Gravimeter
Non- Fourier Spectrometer
Monochrom
e
Scannin
g
Natural
Color
Imaging Camera Infrared
Color
Infrared
Passive
Others
Image Plane TV Camera
Scanning Solid
Scanning Imaging Scanner
Sensor Object Plane Optical Mechanical Scanner
Microwave
Radiometer
Non Non Imaging Microwave Altimeter
Scanning Laser Water Depth
Meter
Active Laser Distance Meter
Object Plane Real Aperture Radar
114
dan letaknya, obyek yang tampak pada sungai tersebut disimpulkan sebagai
perahu motor.
3. Analisisadalah pengumpulan keterangan lebih lanjut. Misalnya dengan
mengamati jumlah penumpangnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa perahu
tersebut perahu motor yang berisi dua belas orang.
Setelah melalui tahapan tersebut, citra dapat diterjemahkan dan digunakan ke
dalam berbagai kepentingan seperti dalam: geografi, geologi, lingkungan hidup, dan
sebagainya. Pada dasarnya kegiatan interpretasi citra terdiri dari 2 proses, yaitu melalui
pengenalan objek melalui proses deteksi dan penilaian atas fungsi objek.
1. Pengenalan Objek Melalui Proses Deteksi
Yaitu pengamatan atas adanya suatu objek, berarti penentuan ada atau
tidaknya sesuatu pada citra atau upaya untuk mengetahui benda dan gejala di
sekitar kita dengan menggunakan alat pengindera (sensor). Untuk mendeteksi
benda dan gejala di sekitar kita, penginderaannya tidak dilakukan secara langsung
atas benda, melainkan dengan mengkaji hasil rekaman dari foto udara atau satelit.
Setelah melakukan deteksi, selanjutnya dilakukan proses indentifikasi (untuk
mengetahua ciri utama benda pada gambar). Ada tiga jenis identifikasi:
a. Spektoral
Ciri spektoral ialah ciri yang dihasilkan oleh interaksi antara tenaga
elektromagnetik dan benda yang dinyatakan dengan rona dan warna.
b. Spatial
Ciri spatial ialah ciri yang terkait dengan ruang yang meliputi bentuk,
ukuran, bayangan, pola, tekstur, situs, dan asosiasi.
c. Temporal
Ciri temporal ialah ciri yang terkait dengan umur benda atau saat
perekaman.
2. Penilaian Atas Fungsi Objek
Penilaian atas fungsi objek dan kaitan antar objek dengan menginterpretasi dan
menganalisis citra yang hasilnya berupa klasifikasi yang menuju ke arah teorisasi
dan akhirnya dapat ditarik kesimpulan dari penilaian tersebut. Pada tahapan ini,
interpretasi dilakukan oleh seorang yang sangat ahli pada bidangnya, karena
hasilnya sangat tergantung pada kemampuan penafsir citra.
115
Selain memiliki 2 proses interpretasi, dalam pelaksanaannya, memiliki 2
kegiatan penting yaitu yaitu perekaman data dari citra dan penggunaan data
tersebut untuk tujuan tertentu.
116
c. Mendeteksi lahan kritis
d. Dan lain-lain
5. Manfaat di bidang angkasa luar (Ranger, Viking, Luna, Venera)
a. Penelitian tentang planet-planet (Jupiter, Mars, dan lain-lain)
b. Pengamatan benda-benda angkasa
c. Dan lain-lain.
Berikut dihadirkan sebagian spesifikasi citra dari beberapa satelit penginderaan
jauh, sistem sensor, dan produk citra digital (perekaman sensor platform satelit) yang pada
umumnya bersifat komersial.
1. Landsat-7
Landsat-7 merupakan wujud lanjut dari seri satelit sebelumnya (program satelit
ERTS yang dinamakan “Landsat”). Satelit yang berorbit sirkular dan sun-
synchronous ini diluncurkan oleh Amerika Serikat pada 15 April 1999 dengan sudut
inklinasi antara 98.2° hingga 99.1°, ketinggian 705 km diatas ekuator, periode orbit
setiap 99 menit, dapat mencapai lokasi yang sama setiap 16 hari (repeat cycle), dan
beresolusi radiometric 8-bit (DN). Landsat-7 hanya dilengkapi dengan sensor
ETM+ buatan Raytheon Santa Barbara Remote Sensing di Santa Barbara,
California.
Tabel XII-2 Sensor ETM+
Band Keterangan Domain Resolusi
Spektral Spasial
1 Biru (-hijau) 0.45 - 0.52 μm 30 meter
2 Hijau 0.52 - 0.60 μm 30 meter
3 Merah 0.63 - 0.69 μm 30 meter
4 NIR 0.76 - 0.90 μm 30 meter
5 SWIR 1.55 - 1.75 μm 30 meter
6 TIR 10.40 - 12.50 μm 60 meter
7 SWIR 2.08 - 2.35 μm 30 meter
Pan VNIR / False 0.52 - 0.90 μm 15 meter
color
117
pengaruh memori, dan lain sejenisnya masih masih tersisa pada kelas ini.
Citra dijital kelas ini memang diperuntukkan bagi pengguna yang mampu
melakukan semua pemrosesan lanjutan secara lengkap.
b. Level 1, Radiometrically Corrected (1R, RadCor)
Citra dijital telah dikoreksi terhadap kesalahan radiometric (noise,
banding, striping, dropped lines/pixels, dan kalibrasi ke satuan radian).
Produk citra dijital kelas ini juga masih memerlukan pemrosesan lebih
lanjut yang intensif.
c. Level 1, System Corrected (1G)
Kelas ini dianggap sebagai produk standar bagi kebanyakan pengguna.
Citra dijital kelas ini telah terkoreksi radiometric, geometric, dan bebas
dari distorsi sensor (pengaruh sudut pandang), satelit (deviasi ketinggian
dari nominalnya), dan bumi (rotasi & kelengkungan). Walaupun
demikian, belum terkoreksi dari pengaruh atmosfir.
2. SPOT – 5
Satelit SPOT-5 (Systeme Pour l’Observation de la Terre) merupakan
kelanjutan dari program seri satelit remote sensing komersial Perancis. Satelit
yang dikembangkan oleh CNES yang bekerja sama dengan beberapa
organisasi di Eropa ini diluncurkan pada 3 Mei 2002 dengan orbit sun-
synchronous, ketinggian 832 km diatas ekuator, ukuran scene 60kmx60km,
sudut inklinasi 98°, periode orbit 101 menit, dan repeat cycle setiap 26 hari.
Satelit ini dilengkapi dengan beberapa sistem sensor seperti berikut.
a. Sensor HRG (High Resolution Geometric)
Tabel XII-3 Sensor HRG (High Resolution Geometric)
Band Keterangan Domain Resolusi
Spektral Spasial
1 Hijau 0.50 - 0.59 μm 10 meter
2 Merah 0.61 - 0.68 μm 10 meter
3 NIR 0.79 - 0.89 μm 10 meter
4 SWIR 1.58 - 1.75 μm 30 meter
Pan Visible (hijau-merah) (mode P) 0.48 - 0.71μm 5 atau 2.5 meter
118
b. Sensor Vegetation-2
Tabel XII-4 Sensor Vegetation-2
Domain Resolusi
Band Keterangan Spektral Spasial
1 BO, Biru 0.43 - 0.47 μm 1165 m
2 B2, Merah 0.61 - 0.68 μm 1165 m
3 B3, NIR 0.79 - 0.89 μm 1165 m
4 SWIR 1.58 - 1.75 μm 1165 m
Citra digital rekaman sistem sensor seri satelit Spot yang beresolusi radometrik 8-
bit ini tersedia dalam beberapa kelas (level processing):
a. Level 1A
Pada kelas ini, citra dijital telah terkoreksi radiometric (meskipun
minimum). Produk ini pada dasarnya ditujukan untuk pengolahan lebih
lanjut.
b. Level 1B
Pada kelas ini, citra dijital telah terkoreksi radiometric standar &
geometric (basic preprocessing level).
c. Level 2
Pada kelas ini, citra dijital telah mengalami sejumlah koreksi sedemikian
rupa (precision level) hingga secara khusus ditujukan bagi pengguna bagi
yang memerlukan akurasi kartografis atau untuk memenuhikebutuhan
penggabungan data yang berasal dari berbagai sumber.
d. Level S
Pada kelas ini, citra dijital sudah memungkinkan untuk proses registrasi
citra yang terdapat pada lokasi yang mendekati dengan waktu yang
berlainan (registrasi citra time-series) (Prahasta, 2014).
3. Ikonos-2
Satelit Ikonos-2 merupakan satelit resolusi tinggi yang dioprasikan oleh
Geoeye. Satelit yang diluncurkan pada 24 September 1999 di Vandenberg Air
Force Base, California, Amerika Serikat ini berorbit sunssynchronous, sudut
inklinasi 98.1 , priode orbit 98 menit, ketinggian orbit 681 km, dan revisi time 1
sampai 3 hari ini memiliki resolusi spasial yang bervariasi dan masa oprasionalnya
selama 8.5 tahun. Sementara itu, aplikasi output satelit ini mencakup pemetaan
sumber daya alam perkotaan dan pedesaan, pemetaan
119
perpajakan, analisa pertanian dan kehutanan, pertambangan, rekayasa &
konstruksi, dan deteksi perubahan
Tabel XII-4 Sensor OSA
(optical sensor assembly & Model 1000 TM of OSA)
Band Keterangan Domain Resolusi
Spektral Spasial
121
Produk sensor satelit QuickBird tersedia dalam beberapa kelas (level
processing) sebagai berikut:
a. Basic. Pada kelas ini, citra dijital dalam kondisi mentah (belum terkoreksi
geometri). Produk kelas ini ditunjukan bagi pengguna yang ingin
melakuakn digital image processing sendiri.
b. Standard. Pada kelas ini, citra dijital telah terkoreksi radiometrik,
geometrik, dan diserahkan pada pemesannya dalam kondisi berkordinat
proyeksi peta.
c. Orthorectified. Pada kelas ini, Citra dijital telah trerkoreksi radiometrik,
geometrik, dan topografi.
122
Sensor Modis (moderate-resolution) imanging spectro radiometer). Sensor yang
menghasilkan resolusi radiometric 16-bit perpiksel ini menghasilkan citra dijital
dalam beberapa band: biru (band 3), merah (band 1), hijau (band 4), near-infrared
(band 2, 5, dan 16-19), SWIR (band 6&7), visible (band 8-15), MWIR (band 20-26),
dan TIR (band 27-37). Sementara resolusi spasialnya bervariasi antara 250m hingga
1000m: band 1&2 250m, band 3-7 500m, dan band 8-36 1000m.
Tabel XII-7 Sensor Modis (moderate-resolution)
Band Keterangan Domain Spektral Resolusi Spasial
1 Merah 0.62 – 0.67 µm 250 m
2 NIR 0.84 – 0.87 µm 250 m
3 Biru 0.46 – 0.48 µm 500 m
4 Hijau 0.55 – 0.57 µm 500 m
band 10-14
123
Citra digital rekaman sensor Aster ini tersedia dalam beberapa kelas:
a. 1A. Pada kelas ini, citra dijital dilengkapi dengan koefisien koreksi
geometric & kalibrasi radiometric. Tetapi, koefisien ini belum benar –
benar diaplikasikan pada data citranya. Oleh karena itu, produk ini belum
terkait dengan proyeksi peta.
b. 1B. Pada kelas ini, citra dijital telah terkoreksi geometric & terkalibrasi
radiometric berdasarkan koefisien yang tersedia di citra kelas 1A. Oleh
karena itu, produk ini memiliki rujukan proyeksi peta sesuai dengan
permintaan pengguna.
c. 2A02 (relative emissivity), 2A03 (land surface radiance), 2B01 (land
surface radiance), 2B03 (earth surface temperature), 2B04 (earth surface
emissivity), 2B05 (land surface reflectance), 2A01 (orthogonal image),
dan 4A01 (DEM).
124
BAB XIII
GLOBAL POSITIONING SISTEM
Gambar XIII-1 Prinsip dasar penentuan posisi dengan GPS (pendekatan vektor)
(Sumber: Abidin D. Z., 2000)
Pada pengamatan dengan GPS, yang bisa diukur banyaklah jarak antara pengamat
dengan satelit dan bukan vektornya. Oleh sebab itu rumus yang tercantum pada Gambar
XIII-1 tidak dapat diterapkan. Untuk mengatasi hal ini, penentuan posisi pengamat
dilakukan dengan melakukan pengamatan terhadap beberapa satelit sekaligus secara
simultan, dan tidak hanya terhadap satu satelit, seperti yang ditunjukkan pada Gambar
XIII-2. Pada operasionalisasinya, prinsip penentuan posisi dasar dengan GPS, tergantung
125
pada mekanisme pengaplikasiannya dapat diklasifikasikan atas beberapa metode
penentuan posisi.
Setiap daerah di atas permukaan bumi ini minimal terjangkau oleh 3-4 satelit.
Pada prakteknya, setiap GPS terbaru bisa menerima sampai dengan 12 chanel satelit
sekaligus. Kondisi langit yang cerah dan bebas dari halangan membuat GPS dapat
dengan mudah menangkap sinyal yang dikirimkan oleh satelit. Semakin banyak satelit
yang diterima oleh GPS, maka akurasi yang diberikan juga akan semakin tinggi. Cara
kerja GPS secara sederhana ada 5 langkah, yaitu (Abidin, 2000):
126
3. Untuk mengukur travel time, GPS memerlukan memerlukan akurasi
waktu yang tinggi.
4. Terakhir harus menggoreksi delay sinyal waktu perjalanan di atmosfer sampai
diterima receiver
128
Gambar XIII-5 Strategi Pengolahan pada RTKLIB
(Sumber: Abidin D. Z., 2000)
2. Pengolahan Data dengan RTKLIB
Secara umum, data pengamatan GPS biasanya akan dipengaruhi oleh
kesalahan dan bisa yang terkait dengan satelit (kesalahan orbit dan kesalahan jam
satelit), receiver (kesalahan jam receiver, kesalahan pusat antena dan noise) dan
data pengamatan (ambiguitas fase serta kesalahan dan bias lingkungan sekitar
pengamatan GPS). Pada RTKLIB, terdapat beberapa opsi yang dapat dilakukan
dalam mengolah data pengamatan GPS secara statik agar didapatkan hasil yang
kesalahan dan biasnya dapat tereduksi dengan baik. Pengolahan data pengamatan
GPS dengan RTKLIB dilaksanakan melalui 3 tahapan, yaitu tahap input data,
tahap pengaturan strategi pengolahan, dan tahap pemrosesan dan output. Hasil
akhir dari pengolahan data pengamatan GPS dengan RTKLIB berupa koordinat
hasil titik rover beserta nilai standar deviasi titik dan jarak baseline dari titik base
terhadap koordinat rover.
3. Pengolahan Data GPS dengan TTC (Trimble Total Control)
TTC (Trimble Total Control) merupakan perangkat yang digunakan sebagai
pembanding terhadap hasil pengolahan data GPS yang diperoleh dengan
menggunakan RTKLIB. Dengan menerapkan konsep GPS kinematic, perangkat
lunak ini dapat dijalankan untuk melakukan pengolahan data GPS kontiyu pada
129
beberapa baseline pengamatan GPS yang dipilih. TTC didesain untuk melakukan
perhitungan baseline secara otomatis. Hasil dari pengolahan data GPS dengan
menggunakan TTC menghasilkan tingkat keakurasian 1ppm dan bahkan lebih baik
dari itu tergantung keakurasian ephemeris yang digunakan. Pengolahan data
dengan TTC dilaksanakan melalui 3 tahapan yaitu tahap pra pengolahan data,
tahap pemrosesan data, dan tahap export data.
2. Pengolahan Data dengan Topcon Tools
Topcon Tools adalah perangkat lunak yang digunakan untuk mengolah data
secara postprocessing, analisa jaringan dan perataan yang dikeluarkan oleh salah
satu perusahaan alat pengukuran Topcon. Topcon Tools adalah produk modular,
dimana setiap modul memiliki tujuan khusus yang memungkinkan pengguna
untuk menyelesaikan tugas yang berbeda (Topcon, 2009). Pengolahan data
pengamatan GPS dengan Topcon Tools dilaksanakan melalui 5 tahapan
pengolahan, yaitu setting job, import file, data selection, setting control dan
antenna, dan GPS+PostProcessing. Hasil akhir dari pengolahan data pengamatan
GPS dengan Topcon Tools berupa koordinat dan standar deviasi beserta baseline
dan precision titik.
130
1. Lokasi digunakan untuk menentukan dimana lokasi suatu titik dipermukaan
bumi berada.
2. Navigasi, membantu mencari lokasi suatu titik di bumi
3. Tracking, membantu untuk memonitoring pergerakan obyek dan membantu
memetakan posisi tertentu, dan perhitungan jaringan terdekat
4 . Timin, dapat dijadikan dasar penentuan jam seluruh dunia, karena
memakai jam atom yang jauh lebih presesi di banding dengan jam biasa.
GPS telah banyak diaplikasikan, terutama di Amerika Utara, Erop, Australia, dan
Jepang, untuk keperluan-keperluan dan proyek-proyek yang khususnya memerlukan
informasi mengenai posisi. Saat ini GPS telah banyak digunakan di Asia dan Afrika,
termasuk juga di Indonesia. Meskipun GPS awalnya direncanakan untuk melayani
kebutuhan militer Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya, justru pada saat ini aplikasi
GPS lebih luas dan lebih banyak di kalangan sipil dibandingkan di lingkungan militer.
Berikut ini beberapa aplikasi GPS yaitu:
1. Android
Telepon pintar sudah tidak asing lagi bagi pengguna telepon seluler, Telepon
pintar (smartphone) adalah telepon genggam yang mempunyai kemampuan
tingkat tinggi, terkadang dengan fungsi yang menyerupai komputer. Belum ada
standar pabrik yang menentukan definisi telepon pintar. Bagi beberapa orang,
telepon pintar merupakan telepon yang bekerja menggunakan seluruh piranti
lunak sistem operasi yang menyediakan hubungan standar dan mendasar bagi
pengembang aplikasi. Bagi yang lainnya, telepon pintar hanyalah merupakan
sebuah telepon yang menyajikan fitur canggih seperti surel (surat elektronik),
internet dan kemampuan membaca buku elektronik (e-book) atau terdapat papan
ketik (baik built-in maupun eksternal) dan konektor VGA. Dengan kata lain,
telepon pintar merupakan komputer mini yang mempunyai kapabilitas sebuah
telepon. Pertumbuhan permintaan akan alat canggih yang mudah dibawa kemana-
mana membuat kemajuan besar dalam prosesor, memori, layar dan sistem operasi
yang diluar dari jalur telepon genggam sejak beberapa tahun ini.
2. Telepon Seluler
Konsep dasar yang sangat penting dalam sebuah ponsel adalah kenyataan bahwa
teknologi yang digunakan pada telepon seluler/ponsel sebenarnya merupakan
perkembangan dari teknologi radio yang digabungkan dengan teknologi
131
komunikasi telepon. Telepon pertama kali ditemukan dan diciptakan Alexander
Graham Bell pada tahun 1876. Sedangkan komunikasi tanpa kabel (wireless)
ditemukan oleh Nikolai Tesla pada tahun 1880 dan diperkenalkan oleh Guglielmo
Marconi. Telepon genggam sering juga disebut handphone (disingkat HP) atau
disebut pula sebagai telepon seluler (disingkat ponsel) adalah perangkat
telekomunikasi elektronik yang mempunyai kemampuan dasar yang sama dengan
telepon konvensional saluran tetap, namun dapat dibawa ke mana-mana (portable,
22 mobile) dan tidak perlu disambungkan dengan jaringan telepon menggunakan
kabel (nirkabel wireless). Saat ini Indonesia mempunyai dua jaringan telepon
nirkabel yaitu sistem GSM (Global System for Mobile Telecommunications) dan
sistem CDMA (Code Division Multiple Access). Telepon seluler atau yang lebih
dikenal dengan ponsel dari dulu sampai sekarang telah mengalami perubahan baik
teknologinya yang dulu hanya dapat untuk berbicara sekarang telah mengalami
banyak perubahan seperti teknologi yang dipakai untuk bertukar data atau bahkan
untuk memotret, sedangkan dari bentuk fisiknya dari mulai berat dan besar hingga
yang kecil ataupun yang tipis.
132
BAB XIV
SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS
133
ada Google, OpenMaps, dll. Demikian pula dengan data citra yang sudah banyak tersedia
online Perkembangan teknologi SIG secara pesat terjadi pada tahun 1980-an sampai
dengan sekarang dan berbagai macam system perangkat lunak SIG telah bermunculan
seperti ERDAS, ILWIS, ARC/INFO, dan lain-lain
Perkembangan sekarang menunjukkan bahwa para ahli lingkungan dalam
mengelola sumberdaya alam telah banyak menggunakan data spasial dibanding waktu
sebelumnya. Naibitt, (1984) dalam Star dan Ester (1990) memperkirakan bahwa
informasi ilmu berlipat ganda setiap lima tahun, untuk mengantisipasi lonjakan data
seperti ini maka diperlukan suatu system, yaitu sistem informasi yang dapat menganalisis,
menyimpan dan menyajikan data dalam bentuk spasial (Andre Ekadinata, 2008)
134
ini umumnya dibangun pada perusahaan perusahaan retail seperti. Pizza Hut
dan Bogasari.
3. Independent SIG jika penerapan SIG hanya berada di departemen tunggal dan
SIG hanya akan melayani kebutuhan host dalam departemen tersebut. Sistem
dapat mengadopsi cepat dan menangani pekerjaan spesifik dan diasanya
dibangun pada perusahaan telekomunikasi untuk kontrol jaringan.
135
Gambar XIV-1 Data Dalam Sistem Informasi Geografis
(Sumber: Andre Ekadinata, 2008)
136
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, D. Z. (2000). Penentuan Posisi Dengan GPS dan Aplikasinya. Jakarta: Pradnya
Paramita.
Aggarwal, S. (n.d). Principles Of Remote Sensing. Photogrammetry and Remote Sensing
Division Indian Institute of Remote Sensing, Dehra Dun.
Andre Ekadinata, d. (2008). Sistem Informasi Geografis Untuk Pengolahan Bentang
Lahan Berbasis Sumber Daya Alam. Bogor: ICRAF South East Asia Regional
Office.
Anggoro Pratomo Adi, Y. P. (2017). Pengujian Akurasi Dan Ketelitian Planimetrik. Jurnal
Geodesi Undip, 3.
Anonim. (2013). Dasar-Dasar Penginderaan Jarak Jauh. BANDUNG: Pusat
Pengembangan Dan Pemberdayaan Pendidik Dan Tenaga Kependidikan Bidang
Mesin Dan Teknik Industri Bandung.
Anonim. (n.d.). Fundamentals Of Remote Sensing. Canada: A Canada Centre for Remote
Sensing Remote Sensing Tutorial.
Bambang Syaeful Hadi, M. (2007). Dasar-Dasar Fotogrametri. Yogyakarta: Jurusan
Pendidikan Geografi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ekonomi Universitas Negeri
Yogyakarta.
Bambang, S. (2014). Fotogrametri Dan Penginderaan Jauh. Kementrian Agraria Dan Tata
Ruang / Badan Pertanahan Nasional.
Basuki, S. (2016). Ilmu Ukur Tanah (Edisi Revisi). Yogyakarta: Gadjah Mada Press.
Brinker, R. C., & Wolf, P. R. (2000). Dasar - Dasar Pengukuran Tanah. Jakarta: Erlangga.
El-Hallaq, D. M. (2003). Total Station. Gaza: The Islamic University of GAZA.
Frick, H. (1979). Ilmu dan Alat Ukur Tanah. Yogyakarta: Kanisius.
Hudaiyah, S. (2017). Pengukuran Poligon. Jogja: Universitas Gajah Mada.
Lwin, K. K. (2008). Fundamentals of Remote Sensing. Division of Spatial Information
Science University of Tsukuba.
Prahasta, E. (2014). Sistem Informasi Geografis Konsep Konsep Dasar (Perspektif
Geodesi
& Geomatika. Bandung: Informatika Bandung.
Purwaamijaya, I. M. (2008). Teknik Survei Dan Pemetaan. Jakarta: Direktorat Pembinaan
Sekolah Menengah Kejuruan.
Ramlawati, Hamka, Saenab, S., & Yunus, S. R. (2017). Modul Satuan dan Pengukuran.
Kementrian dan Kebudayaan Direktorat Jendral Tenaga Guru dan Tenaga Kerja.
137
Ratriwidya. (2012). Kesalahan Pengukuran. Retrieved from Institut Teknologi Bandung:
http://digilib.itb.ac.id/files/disk1/455/jbptitbpp-gdl-ratriwidya-22714-3-2012ta-
2.pdf
Rendioktav. (2012). Metode Penentuan Sudut. Retrieved from Institut Teknologi Bandung:
http://digilib.itb.ac.id/files/disk1/455/jbptitbpp-gdl-rendioktav-22712-3-2012ta-
2.pdf
Sinaga, I. (1997). Pengukuran dan Pemetaan Pekerjaan Kontruksi. Jakarta: Sinar Harapan.
Syaifullah, A. (2014). Modul Ilmu Ukur Tanah. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertahanan
Nasional.
Tafesse, W., & Gobena, T. (2005). Surveying. USA: EPHTI.
Umaryono. (1986). Pengukuran Sudut. Tangerang Selatan: Universitas Pembangunan Jaya.
Usman, A. (2016). total station nikon DTM series. Retrieved from slide share:
https://www.slideshare.net/mobile/oesaman/tutorial-pengukuran-dengan-total-
station-nikon
Wongsojitro, S. (1980). Ilmu Ukur Tanah. Yogyakarta: Kanisius.
Yusuf, H., & Halim, H. (2014). Buku Ajar Survey dan Pemetaan. Yogyakarta: Deepublish.
138