Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

PRAKTIK PROFESI KEPERAWATAN DASAR


ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN FRACTURE OF NECK
FEMUR DEXTRA (FRACTURE CLOSED) DENGAN GANGGUAN RASA
NYAMAN DAN GANGGUAN MOBILITAS
DI RUANG LAVENDER RSUD TARAKAN JAKARTA

Dosen Pembimbing :
Ns. Indah Permatasari, M.Kep

Disusun Oleh :
Muhammad Helmy Maulani
2310721035

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
2023
BAB 1
KONSEP DASAR KEBUTUHAN DASAR

A. Definisi
Patah tulang pinggul adalah cedera yang umum terjadi, terutama pada orang tua dalam
keadaan darurat. Hal ini juga terlihat pada pasien muda yang melakukan olahraga atletik
atau trauma berenergi tinggi. Diagnosis dan penanganan segera diperlukan untuk
mencegah komplikasi sendi yang mengancam. Di Amerika Serikat, beban ekonomi akibat
patah tulang pinggul termasuk di antara 20 diagnosis termahal, dengan sekitar 20 miliar
dolar dihabiskan untuk penanganan cedera ini. Diperkirakan akan ada sekitar 300.000
kasus patah tulang pinggul setiap tahunnya di Amerika Serikat pada tahun 2030 (Kazley
and Bagchi, 2023).
Fraktur leher femoralis adalah jenis spesifik dari fraktur pinggul intrakapsular. Leher
femoralis menghubungkan poros femoralis dengan kepala femoralis. Sendi panggul
adalah artikulasi kepala femoralis dengan asetabulum. Lokasi junctional membuat leher
femoralis rentan terhadap fraktur. Pasokan darah kepala femoral merupakan pertimbangan
penting dalam fraktur yang bergeser karena mengalir di sepanjang leher femoralis (Kazley
and Bagchi, 2023).
Femur atau tulang paha merupakkan tulang terbesar dan terkuat pada tubuh manusia.
Fraktur femur adalah hilangnya kontiunitas tulang paha, kondisi fraktur femur secara
klinis bisa berupa fraktur femur terbuka disertai adanya kerusakan jaringan lunak (otot,
kulit, jaringan saraf dan pembuluh darah) dan fraktur femur tertutup yang dapat
disebabkan oleh trauma pada paha (Noor, 2016).
B. Anatomi Fisiologi
a. Anatomi
Femur adalah tulang terpanjang dan terberat dalam tubuh, meneruskan berat tubuh
dari os coxae kepada tibia sewaktu kita berdiri. Tulang femur merupakan tulang pipa
dan terbesar di dalam tulang kerangka pada bagian pangkal yang berhubungan dengan
asetabulum membentuk kepala sendi yang disebut yang di kaput femoris, di sebelah
atas dan bawah dari kolumna femoris terdapat tahu yang disebut trokanter mayor dan
trokanter minor. Di bagian ujung membentuk persendian lutut, terdapat dua buah
tonjolan yang disebut kondilus lateralis dan medialis. Di antara dua kondilus ini
terdapat lekukan tempat letaknya tulang tempurung lutut (patella) yang disebut dengan
fosa kondilus.

b. Fisiologi
Secara umum fungsi tulang menurut Price dan Wilson (2006) antara lain:
1. Sebagai kerangka tubuh
Tulang sebagai kerangka yang menyokong dan memberi bentuk tubuh
2. Proteksi
System musculoskeletal melindungi organ-organ penting, misalnya otak dilindungi
oleh tulang-tulang tengkorak, jantung dan paru-paru terdapat pada rongga dada
(cavun thorax) yang di bentuk oleh tulang-tulang kostae (iga).
3. Ambulasi dan mobilisasi
Adanya tulang dan otot memungkinkan terjadinya pergerakan tubuh dan
perpindahan tempat, tulang memberikan suatu system pengungkit yang di gerakan
oleh otot-otot yang melekat pada tulang tersebut; sebagai suatu system pengungkit
yang digerakan oleh kerja otot-otot yang melekat padanya.
4. Deposit mineral
Sebagai reservoir kalsium, fosfor, natrium, dan elemen-elemen lain. Tulang
mengandung 99% kalsium, dan 90% fosfor tubuh.
5. Hemopoiesis
Berperan dalam pembentukan sel darah pada red marrow. Untuk menghasilkan
sel-sel darah merah dan putih dan trombosi dalam sumsum merah tulang tertentu.

C. Patofisiologi & Patoflow


Fraktur leher femur dikaitkan dengan jatuh dengan energi rendah pada orang tua. Pada
pasien yang lebih muda yang mengalami patah tulang leher femur, penyebabnya biasanya
sekunder akibat trauma berenergi tinggi seperti jatuh dari ketinggian yang cukup tinggi
atau kecelakaan kendaraan bermotor. Faktor risiko fraktur leher femur meliputi jenis
kelamin perempuan, penurunan mobilitas, dan kepadatan tulang yang rendah (Kazley and
Bagchi, 2023).
Sumber utama suplai vaskular ke kepala femoralis adalah arteri sirkumfleksa femoralis
medial, yang berjalan di bawah quadratus femoris. Fraktur leher femoralis yang bergeser
membuat suplai darah berisiko, biasanya merobek cabang serviks asendens yang
memotong suplai cincin arteri yang dibentuk oleh arteri sirkumfleks. Hal ini dapat
mengganggu kemampuan penyembuhan fraktur, yang akhirnya menyebabkan tidak
menyatunya tulang atau osteonekrosis. Hal ini sangat penting ketika mempertimbangkan
populasi yang lebih muda yang mengalami fraktur ini, di mana artroplasti tidak sesuai.
Pada pasien yang dirawat melalui fiksasi internal reduksi terbuka, nekrosis avaskular
adalah komplikasi yang paling umum (Kazley and Bagchi, 2023).
D. Pemeriksaan Penunjang
Jenis Pemeriksaan Tujuan Pemeriksaan
Pemeriksaan X-ray Untuk menentukan lokasi/luasnya fraktur
Scan Tulang Untuk memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi
kerusakan jaringan lunak
Arteriogram Untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler
Hitung darah Pada kasus closed fracture hemokonsentrasi mungkin akan
lengkap meningkat, menurun pada perdarahan, peningkatan leukosit
sebagai respon terhadap peradangan.
Profil koagulasi Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfuse atau
cidera hati.

kreatinin Trauma pada otot dapat meningkatkan kreatinin untuk klirens


ginjal.
Sumber : PERKENI, 2021.
E. Penatalaksanaan
Prinsip penanganan fraktur yaitu reduksi imobilisasi, dan pengembalian fungsi serta
kekuatan normal dengan rehabilitasi. Reduksi yaitu mengembalikan fragmen tulang
pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Metode yang dipilih untuk mereduksi
fraktur bergantung pada sifat frakturnya. Metode reduksi fraktur adalah reduksi
tertutup, traksi, dan reduksi terbuka. Reduksi tertutup dilakukan dengan
mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan)
dengan manipulasi dan traksi manual. Selanjutnya, traksi dapat dilakukan untuk
mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya traksi harus disesuaikan dengan
spasme otot yang terjadi. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka dengan
pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin,
kawat, sekrup, plat, paku, atau batangan logam dapat digunakan untuk
mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang solid
terjadi. Tahap selanjutnya yang dilakukan setelah reduksi fraktur, adalah
mengimobilisasi dan mempertahankan fragmen tulang dalam posisi kesejajaran yang
benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi ini dapat dilakukan dengan fiksasi interna
dan eksterna. Mempertahankan dan mengembalikan fragmen tulang, daoat dilakukan
dengan reduksi dan imobilisasi. Status neurovascular dipantau, latihan ismetrik dan
setting otot, serta partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan untuk
memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri (Brunner & Suddart, 2013).
Prinsip penanganan fraktur dikenal dengan “4R” yaitu:
1) Rekognisi, yaitu menyangkut diagnosis fraktur pada tempat kejadian dan
kemudian di rumah sakit
2) Reduksi, yaitu usaha serta tindakan memanipulasi fragmen tulang yang patah
sedapat mungkin untuk kembali seperti letak asalnya
3) Retensi, yaitu aturan umum dalam pemasangan gips, yang dipasang untuk
mempertahankan reduksi harus melewati sendi di atas dan sendi di bawah fraktur.
4) Rehabilitasi, yaitu pengobatan dan penyembuhan fraktur.

Terapi pada fraktur tertutup mencakup reduksi, mempertahankan kembali, dan latihan
untuk mempertahankan.
1) Reduksi dilakukan untuk memperbaiki posisi fragmen
2) Kemudian mempertahankannya sebelum fragmen menyatu, dengan metode traksi
terus menerus, pembatasan dengan gips, pemakaian penahan fungsional, fiksasi
internal, dan fiksasi eksternal.
3) Latihan yang lebih tepatnya memulihkan fungsi, gerakan sendi, mengurangi
edema, memulihkan tenaga otot agar pasien dapat kembali ke aktivitas normal.
Penyembuhan fraktur dibantu oleh pembebanan fisiologis pada tulang, oleh karena itu
sangat dianjurkan untuk melakukan aktivitas otot dan penahanan beban lebih awal
agar dapat mencapai tujuan-tujuan tersebut (Apley & Solomon, 2013).
Prinsipnya, penatalaksaan dari closed fracture dilakukan dengan terapi farmakologi
dan non-farmakologi. Terapi non-farmakologi meliputi reduksi fraktur dimana terjadi
pengembalian fragmen tulang pada posisi sebenarnya sesuai anatomis. Metode reduksi
terdiri atas dua cara yaitu reduksi tertutup dan reduksi terbuka, untuk reduksi tertutup
dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya
saling berhubungan). Setelah reduksi fraktur, lalu dipertahankan posisi dan
kesejajarannya yang tepat sampai terjadi penyatuan. Tahap berikutnya yaitu
mempertahankan dan mengembalikan fungsi (Duckworth, 2010).

F. Konsep Kebutuhan Dasar Manusia Berkaitan Dengan Pertrochanteric Fracture


Closed
Kebutuhan rasa aman dan nyaman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia
yang bersifat subjektif, dimana manusia perlu merasakan aman sebagai sesuatu kebutuhan
untuk mendorong manusia memperoleh ketentraman, kepastian, dan keteraturan dari
keadaan lingkungan yang dijalani, agar bebas dari cedera fisik dan psikologis. Selain itu
perlu juga merasa nyaman akan kebutuhan dasar manusia yang terpenuhi, seperti
ketentraman (suatu kepuasan yang meningkatkan pengalaman sehari-hari), kelegaan
(kebutuhan telah terpenuhi), serta transeden (keadaan tentang sesuatu yang melebihi
masalah dan nyeri). (Potter and Perry, 2006).

a. Prinsip kebutuhan rasa aman dan nyaman


Kebutuhan rasa aman dan nyaman memiliki 4 aspek sebagai prinsipnya, yaitu:
a) Fisik, berhubungan dengan sensasi yang tubuh
b) Sosial, berhunungan dengan hubungan interpersonal keluarga dan sosial
c) Psikospiritual, berhubungan dengan kewaspadaan internal dalam diri sendiri yang
meliputi harga diri, seksualitas, dan makna kehidupan)
d) Lingkungan, berhubungan dengan latar belakang pengalaman eksternal manusia
seperti cahaya, bunyi, temperatur, warna dan unsur alamiah lainnya
b. Faktor yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan rasa aman dan
nyaman
a) Emosi
Kondisi psikis dengan kecemasan, depresi, dan marah akan mudah mempengaruhi
keamanan dan kenyamanan. Status emosi yang ekstrim dapat mengganggu
kemampuan klien menerima bahaya lingkungan. Contohnya situasi penuh stres
dapat menurunkan konsentrasi dan menurunkan kepekaan pada stimulus eksternal.
Klien dengan depresi cenderung lambat berfikir dan bereaksi terhadap stimulus
lingkungan.
b) Status Mobilisasi
Klien dengan kerusakan mobilitas akibat paralis, kelemahan otot, gangguan
keseimbangan/koordinasi memiliki risiko untuk terjadinya cidera.
c) Gangguan Persepsi Sensori
Adanya gangguan persepsi sensori akan mempengaruhi adaptasi terhadap
rangsangan yang berbahaya seperti gangguan penciuman dan penglihatan. Sensori
persepsi yang akurat terhadap stimulus lingkungan sangat penting bagi kemananan
seseorang. Klien dengan gangguan persepsi rasa, dengar, raba, cium, dan lihat,
memiliki risiko tinggi untuk cidera.
d) Tingkat kesadaran
Kesadaran adalah kemampuan untuk menerima stimulus lingkungan, reaksi tubuh
dan berespon tepat melalui proses berfikir dan tindakan.
e) Keadaan Imunitas
Daya tahan tubuh kurang memudahkan terserang penyakit
f) Informasi atau Komunikasi
Gangguan komunikasi dapat menimbulkan informasi tidak diterima dengan baik.
Klien dengan penurunan kemampuan untuk menerima dan mengemukakan
informasi juga berisiko untuk cidera. Klien afasia, klien dengan keterbatasan
bahasa, dan klien yang buta huruf, atau tidak bisa mengartikan simbol-simbol
tanda bahaya.
g) Status nutrisi
Keadaan kurang nutrisi dapat menimbulkan kelemahan dan mudah menimbulkan
penyakit, demikian sebaliknya dapat beresiko terhadap penyakit tertentu.
h) Usia
Ini erat kaitannya dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki individu.
Anak-anak biasanya belum mengetahui tingkat kebahayaan dari suatu lingkungan
yang dapat menyebabkan cedera pada mereka. Sedangkan lansia umumnya akan
mengalami penurunan sejumlah fungsi organ yang dapat 6 menghambat
kemampuan mereka untuk melindungi diri, salah satunya adalah kemampuan
persepsi-sensorik. Anak-anak juga cenderung memiliki toleransi yang lebih rendah
jika berkaitan dengan kenyamanan

c. Gangguan kebutuhan rasa aman dan nyaman pada pasien Pertrochanteric


Fracture Closed
Gangguan rasa nyaman merupakan salah satu diagnosis keperawatan yang
didefinisikan sebagai perasaan kurang senang, lega, dan sempurna dalam dimensi
fisik, psikospiritual, lingkungan, dan sosial (PPNI, 2017). Pada kasus Pertrochanteric
Fracture Closed, pasien dapat mengalami gangguan rasa nyaman serta nyeri akibat
patah tulang yang dialami yang disebabkan oleh adanya agen pencedera fisiologis
serta fisik. Dimana pasien akan mengalami jepitan saraf yang diakibatkan oleh tulang
yang patah, yang akhirnya akan menstimulus transmitter nyeri dan menyebebkan nyeri
akut. Ketidaknyamanan akan dimensi fisik seperti perasaan kurang senang, lega,
kesakitan, dan sempurna akan kondisi frakturnya dapat dialami pula oleh pasien.
Nyeri akut pada pasien juga dapat terjadi, dimana kerusakan jaringan actual serta
fungsional yang dialami oleh pasien akan mengakibatkan pasien mengalami
pengalaman sensorik serta emosional terhadap prosedur tersebut (PPNI, 2017).

d. Jenis gangguan rasa aman dan nyaman


a) Nyeri akut
Nyeri akut merupakan diagnosis keperawatan yang didefinisikan sebagai
pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan
aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas
ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan.
a. Penyebab
Agen pencedera fisiologis (mis: inflamasi, iskemia, neoplasma), Agen
pencedera kimiawi (mis: terbakar, bahan kimia iritan), Agen pencedera fisik
(mis: abses, amputasi, terbakar, terpotong, mengangkat berat, prosedur
operasi, trauma, Latihan fisik berlebihan).

b. Gejala dan tanda


Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif Objektif
1. Mengeluh nyeri 1. Tampak meringis
2. Bersifat protektif (misalnya
waspada, posisi menghindari nyeri)
3. Gelisah
4. Frekuensi nadi meningkat
5. Sulit tidur
Gejala dan Tanda Minor
Subjektif Objektif
Tidak ditemukan data subjektif 1. Tekanan darah meningkat
2. Pola nafas berubah
3. Nafsu makan berubah
4. Proses berpikir terganggu
5. Menarik diri
6. Berfokus pada diri sendiri
7. Diaforesis
Sumber : (PPNI, 2017)

b) Nyeri kronis
Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan keruskan jaringan
aktual tau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan
hingga berat dan konstan, yang berlangsung lebih dari 3 bulan.
a. Penyebab
Kondisi muskuloskeletal kronis, Kerusakn sistem saraf, Penekanan saraf,
Infiltrasi tumor, Ketidakseimbangan neurotransmiter, neuromodulator, dan
reseptor, Gangguan imuntas (mis. neuropati terkait HIV, virus varicella-
zoster), Gangguan fungsi metabolic, Riwayat posisi kerja statis, Peningkatan
indeks massa tubuh, kondisi pasca trauma, Tekanan emosional, Riwayat
penganiayaan (mis. fisik, psikologis, seksual), Riwayat penyalahgunaan
obat/zat.
b. Gejala dan tanda
Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif Objektif
1. Mengeluh nyeri 1. Tampak meringis
2. Merasa depresi (tertekan) 2. Gelisah
3. Tidak mampu menuntaskan
aktivitas
Gejala dan Tanda Minor
Subjektif Objektif
1. Merasa takut mengalami cedera 1. Bersikap protektif (mis. posisi
berulang menghindari nyeri)
2. Waspada
3. Pola tidur berubah
4. Anoreksia
5. Fokus menyempit
6. Berfokus pada disi sendiri
Sumber : (PPNI, 2017)
BAB 2
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI
A. Pengkajian keperawatan
Menurut Doenges (2000) data pengkajian pada pasien dengan Diabetes Mellitus
bergantung pada berat dan lamanya ketidakseimbangan metabolik dan pengaruh
fungsi pada organ, data yang perlu dikaji meliputi :
a. Aktivitas / istirahat
Gejala : Lemah, letih, sulit bergerak / berjalan, kram otot
Tanda : Penurunan kekuatan otot, latergi, disorientasi, koma
b. Sirkulasi
Gejala : Adanya riwayat hipertensi, ulkus pada kaki, IM akut
Tanda : Nadi yang menurun, disritmia, bola mata cekung
c. Eliminasi
Gejala : Perubahan pola berkemih ( poliuri ), nyeri tekan abdomen
Tanda : Urine berkabut, bau busuk ( infeksi ), adanya asites.
d. Makanan / cairan
Gejala : Hilang nafsu makan, mual / muntah, penurunan BB, haus
Tanda : Turgor kulit jelek dan bersisik, distensi abdomen
e. Neurosensori
Gejala : Pusing, sakit kepala, gangguan penglihan
Tanda : Disorientasi, mengantuk, latergi, aktivitas kejang
f. Nyeri / kenyamanan
Gejala : Nyeri pada ulkus, nyeri tekan pada abdomen
Tanda : Wajah meringis dengan palpitasi
g. Pernafasan
Gejala : Merasa kekurangan oksigen, batu dengan / tanpa sputum
Tanda : Lapar udara, frekuensi pernafasn
h. Seksualitas
Gejala : Impoten pada pria, kesulitan orgasme pada wanita
i. Penyuluhan / pembelajaran
Gejala : Faktor resiko keluarga DM, penyakit jantung, strok, hipertensi
j. Pola-pola fungsi kesehatan
1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada fracture biasanya klien merasa takut akan mengalami kecacatan,maka
klien harus menjalani penatalaksanaan untuk membantu penyembuhan
tulangnya.Selain itu diperlukan pengkajian yang meliputi kebiasaan hidup
klien,seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme
kalsium,penggunaan alkohol, klien melakukan olahraga atau tidak.
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Klien fracture harus mengkonsumsi nutrisi yang lebih dari kebutuhan sehari-
hari seperti : kalsium,zat besi,protein,vitamin C untuk membantu proses
penyembuhan.
3) Pola eliminasi
Perlu dikaji frekuensi,kepekatan,warna,bau untuk mengetahui adanya
kesulitan atau tidak. Hal yang perlu dikaji dalam eliminasi berupa buang air
besar (BAB) dan buang air kecil (BAK).
4) Pola tidur dan istirahat
Klien biasanya merasa nyeri dan gerakannya terbatas sehingga dapat
mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien.
5) Pola aktifitas
Adanya nyeri dan gerak yang terbatas, aktifitas klien menjadi berkurang dan
butuh bantuan dari orang lain.
6) Pola hubungan dan peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan masyarakat karena menjalani
perawatan di rumah sakit.
7) Pola persepsi dan konsep diri
Klien fracture akan timbul ketakutan akan kecacatan akibat fracture, rasa
cemas, rasa ketidak mampuan melakukan aktifitas secara optimal dan
gangguan citra tubuh.
8) Pola sensori dan kognitif
Berkurangnya daya raba terutama pada bagian distal fracture
9) Pola reproduksi seksual
Klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat
inap dan keterbatasan gerak serta nyeri
10) Pola penanggulangan stress
Pada klien fracture timbul rasa cemas akan keadaan dirinya, takut mengalami
kecacatan dan fungsi tubuh.
11) Pola tata nilai dan keyakinan
Klien tidak bisa melaksanakan ibadah dengan baik karena rasa nyeri dan
keterbatasan fisik.
12) Pemeriksaan Fisik
Terdapat dua pemeriksaan umum pada fracture yaitu gambaran umum dan
keadaan lokal berupa :
a) Gambaran umum Pemeriksa perlu memperhatikan pemeriksaan secara
umum meliputi hal-hal sebagai berikut
(1) Keadaan umum yaitu baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-
tanda seperti berikut ini:
(a) Kesadaran klien yaitu apatis, sopor, koma, gelisah dan
komposmentis.
(b) Kesakitan, keadaan penyakit yaitu akut, kronik, ringan, sedang,
berat, dan pada kasus fracture biasanya akut.
(2) Tanda- tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.
(3) Pemeriksaan dari kepala ke ujung jari kaki atau tangan harus
diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama
mengenai status neurovaskuler.
b) Keadaan lokal
(1) Look yaitu melihat adanya suatu deformitas (angulasi atau membentuk
sudut, rotasi atau pemutaran dan pemendekan), jejas, tulang yang
keluar dari jaringan lunak, sikatrik (jaringan parut baik yang alami
maupun buatan seperti bekas operasi), warna kulit, benjolan,
pembengkakan atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa
(abnormal) serta posisi dan bentuk dari ekstremitas (deformitas).
(2) Feel yaitu adanya respon nyeri atau ketidak nyamanan, suhu disekitar
trauma, fluktuasi pada pembengkakan, nyeri tekan (tenderness),
krepitasi, letak kelainan (sepertiga proksimal, tengah atau distal).
(3) Move yaitu gerakan abnormal ketika menggerakkan bagan yang
cedera dan kemampuan Range Of Motion (ROM) mengalami
gangguan.
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan keputusan klinik tentang respon individu, keluarga
dan masyarakat tentang masalah kesehatan actual atau potensial, dimana berdasarkan
pendidikan dan pengalamannya, perawat secara akuntabilitas dapat mengidentifikasi
dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga, menurunkan, membatasi,
mencegah dan merubah status kesehatan klien (Herdman and K., 2018).
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (trauma, prosedur operasi)
b. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanis
c. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri dan restriktif imobilisasi
d. Resiko infeksi berhubungn dengan efek prosedur invasive
e. Defisit perawatan diri berhubungan dengan gangguan musculoskeletal

C. Rencana Keperawatan
Perencanaan keperawatan adalah suatu proses di dalam pemecahan masalah yang
merupakan keputusan awal tentang sesuatu apa yang akan dilakukan, bagaimana
dilakukan, kapan dilakukan, dan siapa yang melakukan dari semua tindakan
keperawatan (Dermawan, 2012).
Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi Keperawatan
Keperawatan Hasil
Nyeri akut Setelah dilakukan 1. Manajemen Nyeri
berhubungan agen tindakan keperawatan Observasi
pencedera fisik selama 3x24 jam - Identifikasi lokasi,
(SDKI, D.0077) diharapkan masalah karakteristik, durasi,
nyeri akut dapat frekuensi, kualitas,
teratasi dengan intensitas nyeri
kriteria hasil: - Identifikasi skala nyeri
1. Keluhan nyeri - Identifikasi respon nyeri
menurun non verbal
2. Sikap protektif - Identifikasi faktor yang
menurun memperberat nyeri
3. Gelisah berkurang - Monitor keberhasilan
4. Sulit tidur tidak terapi komplementer
ada yang sudah diberikan
5. Frekuensi nadi Terapeutik
dalam batas - Berikan teknik
normal (60- nonfarmakologis unuk
100x/menit) mengurangi nyeri
6. Skala nyeri - Kontrol lingkungan yang
menurun memperberat nyeri
- Fasilitasi istirahat dan
tidur
Edukasi
- Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
- Jelaskan strategi
meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri
- Anjurkan menggunakan
analgetic secara tepat
- Ajarkan teknik non
farmakologis untuk
mengurangi nyeri
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
analgesic, jika perlu
Gangguan Setelah dilakukan 1. Perawatan Integritas
integritas kulit tindakan keperawatan Kulit
berhubungan selama 3x24 jam Observasi
dengan faktor diharapkan masalah - Identifikasi oenyebab
mekanis (SDKI, gangguan integritas gangguan integritas kulit
D.0129) kulit dapat teratasi Terapeutik
dengan kriteria hasil: - Ubah posisi tiap 2jam
1. Kerusakan tirah baring
jaringan - Gunakan produk
menurun berbahan minyak untuk
2. Kerusakan kulit kering
lapisan kulit Edukasi
menurun - Anjurkan menggunakan
3. Nyeri menurun pelembab
4. Perdarahan - Anjurkan meningkatkan
menurun asupan nutrisi

2. Perawatan Luka
Observasi
- Monitor karakteristik
luka
- Monitor tanda-tanda
infeksi
Terapeutik
- Lepaskan balutan dan
plester secara perlahan
- Pasang balutan sesuai
jenis luka
- Ganti balutan
Edukasi
- Jelaskan tanda dan
gejala infeksi
- Anjurkan konsumsi
makanan tinggi kalori
dan protein
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
antibiotic bila perlu
Gangguan Setelah dilakukan 1. Dukungan Mobilisasi
mobilitas fisik tindakan keperawatan Observasi
berhubungan selama 3x24 jam - Identifikasi adanya nyeri
dengan nyeri diharapkan masalah atau keluhan fisik
gangguan mobilitas
(SDKI, D.0054) fisik dapat teratasi lainnya
dengan kriteria hasil: - Identifikasi toleransi
1. Pergerakan fisik melakukan
ekstremitas pergerakan
meningkat - Monitor kondisi umum
2. Kekuatan otot selama melakukan
meningkat mobilisasi
3. Rentang gerak Terapeutik
(ROM) - Fasilitasi aktivitas
meningkat mobilisasi dengan alat
4. Nyeri tidak ada bantu
5. Kelemahan fisik - Fasilitasi melakukan
tidak ada pergerakan
- Libatkan keluarga untuk
membantu pasien dalam
meningkatkan
pergerakan
Edukasi
- Jelaskan tujuan dan
prosedur mobilisasi
- Anjurkan melakukan
mobilisasi dini
- Ajarkan mobilisasi
sederhana yang harus
dilakukan misalnya
duduk di tempat tidur,
duduk di sisi tempat
tidur, pindah dari tempat
tidur ke kursi)
Resiko infeksi Setelah dilakukan 1. Pencegahan Infeksi
berhubungan tindakan keperawatan Observasi
dengan efek selama 3x24 jam - Monitor tanda dan gejala
prosedur invasive diharapkan masalah infeksi local dan
resiko infeksi dapat
(SDKI, D.0142) teratasi dengan sistemik
kriteria hasil: Terapeutik
1. Demam tidak ada - Batasi jumlah
2. Nyeri tidak ada pengunjung
3. Bengkak tidak - Berikan perawatan kulit
ada pada area edema
4. Kadar sel darah - Cuci tangan sebelum dan
putih dalam batas sesudah kontak dengan
normal pasien dan lingkungan
5. Kemerahan tidak pasien
ada - Pertahankan teknik
aseptic pada pasien
beresiko tinggi
Edukasi
- Jelaskan tanda dan
gejala infeksi
- Ajarkan cara mencuci
tangan dengan benar
- Ajarkan cara memeriksa
kondisi luka atau luka
operasi
- Anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi
- Anjurkan meningkatkan
asupan cairan
Defisit perawatan Setelah dilakukan 1. Dukungan Perawatan
diri berhubungan tindakan keperawatan Diri
dengan gangguan selama 3x24 jam Observasi
musculoskeletal diharapkan masalah - Identifikasi kebutuhan
(SDKI, D.0109) defisit perawatan diri alat bantu kebersihan
dapat teratasi dengan diri, berpakaian, berhias,
kriteria hasil: dan makan
1. Kemampuan - Monitor tingkat
mandi meningkat
2. Kemampuan kemandirian
mengenakan Terapeutik
pakaian - Identifikasi kebutuhan
meningkat alat bantu kebersihan
3. Melakukan diri, berpakaian, berhias,
perawatan diri dan makan
meningkat Edukasi
4. Minat - Anjurkan melakukan
melakukan perawatan diri secara
perawatan diri konsisten sesuai
meningkat kemampuan
5. Mempertahankan
kebersihan diri
meningkat

D. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan adalah mengkaji respon pasien setelah dilakukan
intervensi keperawatan dan mengkaji ulang asuhan keperawatan yang telah diberikan.
(Deswani, 2009). Evaluasi keperawatan adalah kegiatan yang terus menerus dilakukan
untuk menentukan apakah rencana keperawatan efektif dan bagaimana rencana
keperawatan dilanjutkan, merevisi rencana atau menghentikan rencana (Manurung,
2011).

DAFTAR PUSTAKA

Dermawan (2012) Proses Keperawatan Penerapan Konsep & Kerangka Kerja. Yogyakarta:
Gosyen Publishing.
Deswani (2009) Proses Keperawatan dan Berpikir Kritis. Jakarta: Salemba Medika.
Doenges (2000) ‘Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien’.
Herdman, T. H. and K., S. (2018) Nanda Internasional Diagnosis Keperawatan: Definisi dan
Klasifikasi 2018-2020. 11th edn. Jakarta: EGC.
Kazley, J. and Bagchi, K. (2023) Femoral Neck Fractures, StatPearls Publishing.
Manurung (2011) Keperawatan Professional. Jakarta: Trans Info Media.
PERKENI (2021) ‘Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Dewasa di
Indonesia 2021’, Global Initiative for Asthma, p. 46.
Potter, P. and Perry, A. (2006) Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, Dan
Praktik. 4th edn. Jakarta: EGC.
PPNI (2017) Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. 1st edn. Jakarta: PPNI.

Anda mungkin juga menyukai