Paper ini bertujuan untuk menganalisis komponen dan model komunikasi massa dengan
menerapkan studi kasus pada media cetak koran. Media cetak koran telah menjadi salah satu
saluran komunikasi massa yang penting dan berpengaruh dalam menyampaikan informasi
kepada masyarakat. Dalam paper ini, kami fokus pada komponen- komponen utama dalam
komunikasi massa yang terdapat dalam konteks media cetak koran. Kami juga menerapkan
beberapa model komunikasi massa yang relevan untuk menganalisis bagaimana media cetak
koran beroperasi.
Dalam paper ini, kami mengulas komponen-komponen utama dalam konteks media cetak
koran, seperti sumber informasi, pesan, dan saluran komunikasi. Kami juga menerapkan
beberapa model komunikasi massa untuk memahami proses komunikasi massa dalam produksi
dan penyampaian berita. Analisis ini memberikan wawasan mendalam tentang operasi media
cetak koran, pengaruh komponen dan model komunikasi massa pada pembaca dan masyarakat
secara keseluruhan, serta strategi yang digunakan dalam distribusi dan pemasaran koran untuk
mencapai audiens yang lebih luas.
I. PENDAHULUAN
Komunikasi massa adalah prosespenyampaian pesan dan informasi kepada khalayak yang
luas melalui media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan internet. Komunikasi
massa memiliki peran penting dalam membentuk opini publik, menyebarkan informasi,
mempengaruhi perilaku, dan membentuk budaya. Dalam pengertian ini, pemahaman tentang
komponen dan model komunikasi massa menjadi sangat penting untuk memahami dan
menganalisis proses komunikasi yang terjadi melalui media massa.
Komunikasi massa adalah bidang yang signifikan dalam studi komunikasi dan media, yang
melibatkan proses penyampaian informasi, pesan, dan ide kepada masyarakat luas melalui
berbagai saluran komunikasi. Komunikasi massa memiliki peran penting dalam membentuk
opini publik, mempengaruhi perilaku, dan membangun kesadaran tentang isu-isu sosial,
politik, dan budaya.
Studi tentang komponen dan model komunikasi massa sangat penting untuk memahami
bagaimana informasi disampaikan melalui media massa dan bagaimana hal itu mempengaruhi
audiens dan masyarakat pada umumnya. Komponen-komponen utama dalam komunikasi
massa meliputi sumber informasi, pesan, saluran komunikasi, penerima, dan pengaruh sosial.
Memahami karakteristik dan peran setiap komponen ini membantu dalam memahami
kompleksitas proses komunikasi massa.
Selain komponen-komponen, pemahaman tentang model komunikasi massa juga penting.
Model-model ini adalah kerangka kerja yang membantu menjelaskan bagaimana informasi
disampaikan, diterima, dan diproses dalam komunikasi massa. Beberapa model yang dikenal
dalam studi komunikasi massa termasuk Model Lasswell, Model Shannon-Weaver, Model
Gerbner, dan banyak lagi. Studi tentang model-model ini membantu dalam menganalisis dan
menjelaskan efek komunikasi massa pada audiens.
Penelitian dan analisis terkait komponen dan model komunikasi massa memberikan
wawasan tentang dinamika media massa, pengaruhnya terhadap masyarakat, serta
perkembangan dan perubahan dalam industri media. Ini juga membantu para profesional di
bidang komunikasi, jurnalis, dan pengambil keputusan untuk memahami bagaimana
meningkatkan efektivitas komunikasi dan menyampaikan pesan yang relevan kepada publik.
Dalam paper dengan tema komponen dan model komunikasi massa, fokus utama adalah untuk
membahas komponen-komponen utama dalam komunikasi massa dan analisis model-model
yang relevan. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan tentang
pentingnya komunikasi massa dalam masyarakat modern, serta dampaknya dalam membentuk
persepsi, sikap, dan perilaku audiens.
II. METODOLOGI
Penelitian ini bertujuan untuk memahami cara koran sebagai media cetak menyampaikan
berita kepada pembaca dan bagaimana hal tersebut memengaruhi persepsi masyarakat. Kami
akan mengumpulkan data melalui analisis konten, mencakup identifikasi, kategorisasi, dan
analisis berita yang ada dalam koran. Kategori yang akan kami tinjau mencakup genre berita,
gaya penulisan, penggunaan gambar, dan aspek lain yang relevan. Data yang terkumpul akan
dianalisis menggunakan pendekatan kualitatif, yang melibatkan pembacaan dan interpretasi
teks berita, serta pengidentifikasian pola, tema, dan tren dalam peliputan berita.
Analisis konten: Metode analisis konten digunakan untuk menganalisis isi koran. Peneliti
akan mengumpulkan data berupa artikel, editorial, atau iklan dalam koran yang berkaitan
dengan komunikasi massa. Data ini kemudian akan dianalisis untuk mengidentifkasi dan
mengkategorikan komponen komunikasi massa yang terdapat dalam koran tersebut.
Metode analisis konten juga dapat membantu dalam memahami tren atau pola yang ada
dalam media massa terkait komunikasi massa
Observasi: Metode observasi digunakan untuk mengamati perilaku komunikan yang
terhubung dengan komunikasi massa. Peneliti dapat melakukan pengamatan langsung
terhadap kelompok tertentu yang terpengaruh oleh media massa atau dapat pula
menggunakan teknik observasi tak langsung, seperti melalui survei atau wawancara.
Observasi ini akan membantu peneliti untuk mendapatkan pemahaman tentang bagaimana
komunikasi massa mempengaruhi perilaku komunikan.
Kombinasi dari kedua metode tersebut (analisis konten dan observasi) akan membantu
peneliti untuk menjelaskan komponen dan model komunikasi massa yang ada dalam koran
serta memahami dampaknya terhadap perilaku komunikan.
III. PEMBAHASAN
3.1 Komunikasi Massa
Komunikasi massa adalah istilah yang berasal dari Bahasa Inggris dan merupakan
singkatan dari "mass media communication," yang mengacu pada komunikasi yang
menggunakan media massa modern seperti radio, televisi, film, dan surat kabar. Penting
untuk memahami bahwa istilah "massa" dalam komunikasi massa berbeda dari maknanya
dalam konteks umum. Secara sosial, "massa" merujuk pada sekelompok individu yang
berada di lokasi tertentu. Namun, dalam konteks komunikasi massa, istilah "massa" lebih
terkait dengan mereka yang menjadi target dari media massa atau penerima pesan media
massa. Mereka digambarkan sebagai sekelompok besar yang tidak perlu berada di lokasi
yang sama, tetapi dapat tersebar di berbagai lokasi yang berbeda, menerima pesan
komunikasi massa yang sama. Istilah lain yang digunakan untuk menggambarkan "massa"
sesuai dengan media yang digunakan, seperti penonton/pemirsa untuk media televisi dan
film, pembaca untuk media cetak, dan pendengar untuk media radio.
Berikut adalah beberapa definisi komunikasi massa yang diberikan oleh ahli-ahli
komunikasi massa:
1. George Gerbner (1967): "Komunikasi massa adalah produksi dan distribusi berbasis
teknologi dan lembaga dari aliran pesan yang berkelanjutan serta paling luas dibagikan
dalam masyarakat industri.". Gerbner mengemukakan bahwa media massa memiliki
peran yang sangat penting dalam membentuk persepsi, nilai-nilai, dan sikap
masyarakat. Ia juga menekankan bahwa media massa tidak hanya mentransfer
informasi, tetapi juga secara aktif menghasilkan konten yang dapat memengaruhi
persepsi dan konstruksi sosial khalayaknya. Dalam pandangan Gerbner, komunikasi
massa berfungsi sebagai alat untuk menyebarkan budaya, mempengaruhi aspek-aspek
kehidupan sosial, dan memainkan peran penting dalam pembentukan opini publik. Ia
juga mengemukakan konsep “cultivation theory” yang menyatakan bahwa paparan
yang berkelanjutan terhadap pesan-pesan media massa dapat membentuk persepsi dan
realitas sosial khalayaknya.
2. Janowitz (1968): "Komunikasi massa terdiri atas lembaga dan teknik dari kelompok
tertentu yang menggunakan alat teknologi (pers, radio, film, dan sebagainya) untuk
menyebarkan konten simbolis kepada khalayak yang besar, heterogen, dan sangat
tersebar.". Menurut Janowitz, komunikasi massa dapat didefinisikan sebagai proses
penyampaian pesan atau informasi kepada khalayak yang sangat luas melalui media
massa, seperti surat kabar, majalah, radio, televisi, dan internet. Komunikasi massa
membantu menyebarkan ide, opini, fakta, dan hiburan kepada masyarakat secara
massal. Hal ini melibatkan produksi, distribusi, dan konsumsi konten media untuk
mencapai efek yang diinginkan pada khalayak yang luas.
3. John R. Bittner (1980): "Komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan
melalui media massa pada sejumlah besar orang."
4. Jay Black dan Frederick C. Whitney (1988): "Komunikasi massa adalah sebuah proses
dimana pesan-pesan yang diproduksi secara massal/tidak sedikit itu disebarkan kepada
massa penerima pesan yang luas, anonim dan heterogen."
5. Onong Uchjana Effendy (2000): "Komunikasi massa ialah penyebaran pesan dengan
menggunakan media yang ditujukan kepada massa yang abstrak, yakni sejumlah orang
yang tidak tampak oleh si penyampai pesan."
6. Apriadi Tamburaka (2010): "Komunikasi massa adalah proses komunikasi yang
dilakukan melalui media massa dengan berbagai tujuan komunikasi dan untuk
menyampaikan informasi kepada khalayak luas."
7. Alex Sobur (2014): "Proses dimana para komunikator professional menggunakan
media secara cepat dan periodik menyebarluaskan pesan untuk menginformasikan,
mempengaruhi, atau memacu perubahan di antara hadirin yang beragam."
Dari berbagai definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa komunikasi massa adalah
jenis komunikasi yang menggunakan media massa modern untuk menyampaikan pesan
kepada khalayak yang luas, anonim, dan heterogen.
3.2.4 GATEKEEPER
Gatekeeper pada media massa menentukan penilaian apakah suatu informasi
penting atau tidak, ia menaikkan berita yang penting dan menghapus informasi yang
tidak memiliki nilai berita (Elvinaro, hal 36:2007). Gatekeeper adalah penjaga
gerbang, dimana dia seperti penjaga, hanya informasi yang baik dan penting yang
boleh melewati gerbang informasi menuju audiance. Ia bertanggung jawab terhadap
seluruh informasi yang disampaikan oleh media, seluruh informasi harus melalui
gatekeeper sebelum diubah menjadi pesan.
Di dalam media massa, gatekeeper memiliki jabatan sebagai pemimpin redaksi, ia
bertanggung jawab secara formal dan informal terhadap seluruh pesan yang
disampaikan oleh media, pemimpin redaksi bisa ditangkap dan dipidanakan bila
pesan yang disebarkan oleh media melanggar peraturan, dia juga memiliki taggung
jawab moral kepada seluruh khalayak yang membaca media, karena pesan tidak dapat
lolos sebelum persetujuan seorang pemimpin redaksi gatekeeper.
Menurut Khomsahrial Romli dalam buku Komunikasi Massa (2016), gatekeeper
adalah penjaga gerbang, di mana orang atau kelompok yang berperan sebagai
gatekeeper bertugas menjaga arus informasi menuju khalayak. Supaya hanya
informasi benar, baik, dan penting yang bisa disampaikan kepada khalayak.
Adapun tanggung jawab gatekeeper dalam media massa.Selain itu yang berperan
sebagai gatekeeper bertanggung jawab atas segala informasi yang disampaikan
media. Berarti informasi yang akan disebarluaskan harus melalui gatekeeper terlebih
dahulu sebelum diubah menjadi pesan berita.Dalam konteks media massa, biasanya
gatekeeper merupakan pemimpin redaksi, editor, dan wartawan. Walau begitu, tiap
perusahaan media memiliki kebijakannya masing-masing mengenai penentuan
gatekeeper. Dikutip dari Buku Ajar Komunikasi Politik (2020) karya Khoirul
Muslimin, gatekeeper juga bertanggung jawab dalam memastikan bahwa informasi
yang akan disampaikan adalah informasi yang berkualitas, diyakini kebenarannya,
layak, dan memang penting untuk disampaikan kepada masyarakat.
Teori-teori yang berkaitan dengan konsep “gatekeeper” dapat merujuk pada
beberapa konteks, tergantung pada bidang studi atau domain tertentu. Secara umum,
“gatekeeper” mengacu pada individu atau entitas yang mengontrol akses atau
pengaruh terhadap informasi atau sumber daya tertentu.
1. Teori Agenda Setting: Teori ini menyatakan bahwa media massa memiliki
kemampuan untuk mengatur agenda publik dengan menentukan topik yang
penting atau relevan dalam masyarakat.
2. Teori Framing: Teori ini berkaitan dengan bagaimana media massa dapat
memengaruhi persepsi masyarakat dengan cara mereka membingkai atau
menyajikan cerita atau isu tertentu.
3. Teori Sosial Konstruksi Realitas: Teori ini mengajukan bahwa realitas sosial
dibangun melalui interaksi sosial dan media massa. Gatekeeper, dalam konteks
ini, dapat memengaruhi bagaimana konstruksi realitas dilakukan melalui
pemilihan, penyajian, dan interpretasi informasi.
4. Teori Pintu Masuk: Teori ini berkaitan dengan pengaruh gatekeeper dalam proses
pengambilan keputusan dalam organisasi. Mereka berfungsi sebagai pengontrol
yang menentukan apakah suatu usulan atau informasi akan mencapai level yang
lebih tinggi dalam hierarki.
5. Teori Seleksi: Teori ini mengajukan bahwa individu memiliki kecenderungan
untuk memilih informasi yang sesuai dengan kepercayaan atau preferensi mereka.
Gatekeeper (misalnya, editor media) dapat mempengaruhi informasi yang tersedia
untuk dipilih oleh individu.
Analisis korelasi pada berita : Gegara Tunjangan Dokter Pasang Aksi
Sebelum kasus tersebut disebarluaskan kepada khalayak tentunya informasi-
informasi tersebut harus terlebih dahulu disaring. Nah dari kasus tersebut orang
yang bertugas untuk menyaring informasi sebelum berita tersebut disebarluaskan
yaitu Yes Balle. Beliau adalah salah satu editor dari media Victory News dan juga
editor dari berita tersebut yang berperan sebagai gatekeeper.
3.2.5 EFEK
Terdapat tiga dimensi efek komunikasi massa yaitu: kognitif, afektif, dan konatif.
Efek kognitif meliputi peningkatan kesadaran, belajar, dan tambahan pengetahuan.
Efek efektif berhubungan dengan emosi, perasaan, dan attitude (sikap). Sedangkan
efek konatif berhubungan dengan perilaku dan niat untuyk melakukan sesuatu
menurut cara tertentu (Amri, 1988).
1. Efek Kognitif
Efek kognitif adalah akibat yang timbul pada diri komunikan yang sifatnya
informatif bagi dirinya. Dalam efek kognitif membahas tentang bagaimana media
massa dapat membantu khalayak dalam mempelajari informasi yang bermanfaat
dan mengembangkan keterampilan kognitif. Melalui media massa, seseorang
dapat memperoleh informasi tentang benda, orang atau tempat yang belum pernah
dikunjungi secara langsung (Karlinah, 1999).
Menurut Mc. Luhan (Antoni, 2004), media massa adalah perpanjangan alat
indera kita (sense extention theory; teori perpanjangan alat indera (Rakhmat,
2007). Dengan media massa seseorang memperoleh informasi tentang benda,
orang atau tempat yang belum pernah kita lihat atau belum pernah kita kunjungi
secara langsung. Realitas yang ditampilkan oleh media massa adalah realitas yang
sudah diseleksi.
Media massa tidak memberikan efek kognitif semata, namun ia memberikan
manfaat yang dikehendaki masyarakat. Inilah efek prososial.
2. Efek Afektif
Efek ini memiliki kadar yang lebih tinggi daripada Efek Kognitif. Tujuan dari
komunikasi massa bukan hanya sekedar memberitahu kepada khalayak agar
menjadi tahu tentang sesuatu, melainkan lebih dari itu, setelah mengetahui
informasi yang diterimanya, khalayak diharapkan dapat merasakannya (Karlinah,
1999). Berikut ini faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya efek afektif dari
komunikasi massa.
a) Suasana emosional; respons kita terhadap sebuah film, iklan, ataupun sebuah
informasi, akan dipengaruhi oleh suasana emosional seseorang;
b) Skema kognitif; merupakan naskah yang ada dalam pikiran kita yang
menjelaskan tentang alur peristiwa;
c) Situasi terpaan (setting of exposure); seseorang akan sangat ketakutan
menonton film horor, misalnya, bila menontontonnya sendirian di rumah tua,
ketika hujan lebat, dan tiang-tiang rumah berderik;
d) Faktor predisposisi individual; Faktor ini menunjukkan sejauh mana orang
merasa terlibat dengan tokoh yang ditampilkan dalam media massa.
3. Efek Behavioral
Efek behavioral merupakan akibat yang timbul pada diri khalayak dalam
bentuk perilaku, tindakan atau kegiatan. Adegan kekerasan dalam televisi atau
film akan menyebabkan orang menjadi beringas. Program acara memasak, akan
menyebabkan para ibu rumah tangga mengikuti resep-resep baru, dan lain
sebagainya.
Selain itu, efek komunikasi menurut Steven A. Chafee adalah sebagai berikut:
3.2.6 HAMBATAN/GANGGUAN
Hambatan dalam komunikasi massa dikelompokan menjadi tiga hal, yakni
psikologis, sosiokultural, dan interaksi verbal. Berikut ini adalah pembahasan
mengenai ketiga hal tersebut.
1. Hambatan Psikologis
Alasan mengapa disebut hambatan psikologis karena hambatan tersebut
merupakan unsur-unsur dari kegiatan psikis manusia (Ardianto, 2014, hal. 89).
Terdiri dari subpembahasan yakni kepentingan, prasangka, stereotip, dan
motivasi.
Pemaparan dari kepentingan adalah bahwa manusia hanya akan
memperhatikan stimulus yang ada hubungannya dengan kepentingannya. Jika
tidak ada kepentingan, maka itu akan dilewati begitu saja. Ditambah lagi bahwa
komunikan dalam komunikasi massa bersifat heterogen. Sangat kompleks sekali
karena kita bisa mengelompokannya dari usia, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan, dan lainnya. Tentu saja perbedaan itu berpengaruh terhadap
kepentingan-kepentingan mereka saat berkomunikasi massa. Karena pada setiap
pesan di dalam komunikasi massa akan mendapatkan persepsi yang berbeda-beda
dari komunikannya terutama dari segi manfaat atau kegunannya. Maka, seleksi
pun akan secara otomatis terjadi dalam kegiatan komunikasi massa.
Prasangka berkaitan dengan persepsi orang tentang seseorang atau kelompok
lain, dan sikap serta perilakunya terhadap mereka. Persepsi adalah pengalaman
tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan
menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan (Rakhmat, 2003, hal. 51).
Terdapat faktor fungsional dan faktor struktural yang merupakan penentu dari
persepsi. Pada umumnya, prasangka dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat
tertentu terhadap kelompok masyarakat lainnya karena perbedaan suku ras dan
agama (Ardianto, 2014, hal. 92). Prasangka merupakan salah satu rintangan atau
hambatan bagi tercapainya suatu tujuan dalam komunikasi. Menurut (Effendy,
2002, hal. 44) prasangka melibatkan emosi yang memaksa kita untuk menarik
kesimpulan atas dasar prasangka tanpa menggunakan pikiran yang rasional.
Emosi seringkali membutakan pikiran dan pandangan kita terhadap fakta yang
nyata. Untuk mengatasi hambatan prasangka, komunikator dalam komunikasi
massa diharapkan berada di posisi yang netral. Juga harus memiliki reputasi yang
baik, artinya dia tidak pernah terlibat dalam suatu perkara yang telah menyakiti
sekelompok komunikaan tertentu. Kesimpulannya, komunikator dalam
komunikasi massa harus bersipat acceptable.
Stereotip merupakan gambaran atau tanggapan tertentu mengenai sifat-sifat
dan watak pribadi orang atau golongan lain yang bercorak negatif. Stereotip ini
merupakan hal yang harus diwaspadai komunikator komunikasi massa.
Mengingat apabila dalam proses komunikasi massa ada komunikan yang
memiliki stereotip tertentu pada komunikannya, maka dapat dipastikan pesan apa
pun tidak akan bisa diterima oleh komunikan.
Motivasi komunikan juga berpengaruh kepada efektivitas komunikasi massa.
Saking berpengaruhnya, motivasi lebih dianggap sebagai penghambat dalam
proses komunikasi massa. Setiap manusia pada hakikatnya memiliki motif
tertentu. Motif merupakan suatu pengertian yang melingkupi semua penggerak,
alasan-alasan atau dorongan-dorongan dari dalam diri manusia yang
menyebabkan manusia berbuat sesuatu. Kita mengetahui bahwa heterogenitas
manusia membentuk motif yang beraneka ragam dalam kegiatan komunikasi
massa. Melihat berbagai motif yang berbeda antara orang perorang, maka
identitas tanggapan seseorang terhadap pesan komunikasi pun berbeda sesuai
dengan jenis motifnya. Semakin sesuai pesan komunikasi dengan motivasi
seseorang, maka semakin besar kemungkinan komunikasi itu dapat diterima
dengan baik oleh komunikan. Sebaliknya, komunikan akan mengabaikan suatu
pesan dalam komunikasi massa yang tidak sesuai dengan motivasinya (Ardianto,
2014: 94).
2. Hambatan sosiokultural
Tentunya hambatan ini melibatkan lingkungan sosial dan budaya seorang
komunikan. Ardianto (2014) membagi hambatan ini menjadi beberapa aspek,
yakni keberagaman etnik, perbedaan norma sosial, kurang mampunya berbahasa,
faktor semantik, kurang meratanya pendidikan, dan berbagai hambatan mekanis.
Perlu diperhatikan dalam proses pengkajian perbedaan norma sosial adalah
hakikat dari norma sosial itu sendiri. Norma sosial erupakan suatu cara,
kebiasaan, tata krama dan adat istiadat yang disampaikan secara turun-temurun,
yang dapat memberikan petunjuk bagi seseorang untuk bersikap dan bertingkah
laku dalam masyarakat. Beragamnya norma sosial yang berlaku di Indonesia
harus menjadi perhatian bagi komunikator komunikasi massa. Pasalnya,
kemungkinan adanya pertentangan nilai, dalam arti kebiasaan dan adat istiadat
yang dianggap baik bagi suatu masyarakat, dan sebaliknya yaitu dianggap tidak
baik bagi masyarakat. Solusinya adalah komunikator harus mengaji dengan
seksama pada setiap pesan yang akan disebarkan. Apakah pesan itu melanggar
norma sosial tertentu atau tidak? Perlu adanya kehati-hatian bagi komunikator
komunikasi massa karena komunikator yang baik adalah komunikator yang
memahami budaya masyarakatnya.
Beragamnya suku bangsa membuat bahasa daerah yang beraneka ragam.
Masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak mampu berbahasa nasional yaitu
Bahasa Indonesia. Sedangkan kita mengetahui bahwa bahasa adalah penghubung
pemikiran dan realitas.
Semantik merupakan pengetahuan tentang pengertian atau makna kata yang
sebenarnya. Jadi, alasan mengapa semantik dianggap sebagai hambatan dalam
proses komunikasi massa terletak pada bahasa yang digunakan oleh komunikan.
Hambatan semantis dalam suatu proses komunikasi dapat terjadi dalam beberapa
hal: Pertama, komunikator salah mengucapkan kata-kata atau istilah sebagai
akibat berbicara terlalu cepat. Kedua, adanya perbedaan makna dan pengertian
untuk kata atau istilah yang sama sebagai akibat aspek psikologis. Ketiga, adanya
pengertian yang konotatif. Inilah mungkin yang menjadi penghambat yang
menjadi penyebab dari berbgai aspek di atas. Yaitu kurang meratanya pendidikan
di Indonesia. Mengingat pada jumlah penduduk Indonesia saat ini sudah
mencapai 210 Juta jiwa dan tersebar di seluruh pulau dan kepualauan nusantara.
Ditinjau dari sudut pendidikan, maka tingkat pendidikan di Indonesia belum
merata. Adanya kesenjangan pendidikan antara penduduk perkotaan dan pedesaan
(misalnya) telah menjadikan penghambat dalam proses komunikasi massa.
Heterogenitas komunikan, terutama dalam tingkat pendidikan, akan menyulitkan
komunikator dalam menyusun dan menyampaikan pesan. Masalah akan timbul
manakala komunikan yang berpendidikan rendah tidak dapat menerima pesan
secara benar karena keterbatasan daya nalarnya atau daya tangkapnya.
Komunikator komunikasi massa harus mampu mengantisipasi hal-hal tersebut
dengan cara menggunakan tokoh pemuka, penerjemah, dan orang lain yang
dianggap mampu mengomunikasikan kembali supaya lebih mudah dicerna oleh
masyarakat sasaran.
Hambatan komunikasi lainnya adalah hambatan mekanis. Hambatan mekanis
adalah hambatan teknis sebagai konsekuensi penggunaan media massa.
3. Hambatan Interaksi Verbal
Jenis-jenis hambatan interaksi verbal terdiri dari polarisasi, orientasi
intensional, evaluasi statis, dan indiskriminasi. Polarisasi merupakan
kecenderungan untuk melihat dunia dalam bentuk lawan kata dan
menguraikannya dalam bentuk ekstrem, seperti baik atau buruk, positif atau
negatif, sehat atau sakit, pandai atau bodoh, dan lain-lain. Kita mempunyai
kecenderungan kuat untuk melihat titik-titik ekstrem dan mengelompokan
manusia, objek, dan kejadian dalam bentuk lawan kata yang ekstrem.
Orientasi intensional mengacu pada kecenderungan kita untuk melihat
manusia, objek dan kejadian sesuai dengan ciri yang melekat pada mereka.
Orientasi intensional terjadi bila kita bertindak seakan-akan label adalah lebih
penting daripada orangnya sendiri. Dalam proses komunikasi massa, orientasi
intensional biasanya dilakukan oleh komunikan terhadap komunikator, bukan
sebaliknya. Cara mengatasi orientasi intensional adalah dengan ekstensionalisasi,
yaitu dengan memberikan perhatian utama kita pada manusia, benda, atau
kejadian-kejadian di dunia ini sesuai dengan apa yang kita lihat.
Evaluasi statis merupakan resiko yang perlu diketahui komunikator
komunikasi massa. Pasalnya, evaluasi ini ditentukan oleh momen pertama proses
komunikasi massa. Jika pada saat pertama komunikan menganggap
komunikatornya tidak memiliki sesuatu hal yang baik, maka tanggapan dia akan
terus berkelanjutan.
Indiskriminasi terjadi bila kita memusatkan perhatian pada kelompok orang,
benda atau kejadian dan tidak mampu melihat bahwa masing-masing bersifat unik
atau khas dan perlu diamati secara individual. Indiskriminasi merupakan inti dari
stereotip. Jadi, dalam indiskriminasi, jika komunikan dihadapkan dengan seorang
komunikator, reaksi pertama komunikan itu adalah memasukan komunikator itu
ke dalam kategori tertentu, mungkin menurut kebangsaan, agama, atau disiplin
ilmu.
3.2.7 KHALAYAK
Khalayak biasa disebut dengan istilah penerima, sasaran, pem baca, pendengar,
pemirsa, audience, decoder, atau komunikan. Khalayak adalah salah satu unsur dari
proses komunikasi. Oleh karena itu, khalayak tidak boleh diabaikan sebab berhasil
tidak nya suatu proses komunikasi sangat ditentukan oleh khalayak (Cangara, 2010:
157). Bagi komunikator, komunikasi dikata kan berhasil apabila pesan yang
disampaikan melalui suatu saluran atau media dapat diterima, dipahami, dan ditang
gapi secara positif oleh khalayak sasaran, dalam arti sesuai dengan harapan yang
diinginkan komunikator (Sendjaja, 2005: 24). Menurut pengertian yang dipakai
secara umum dalam komunikasi, pihak yang menjadi tujuan disampaikannya suatu
pesan disebut sebagai penerima (receiver), khalayak (audience), atau komunikan.
Walaupun demikian, khalayak sebenarnya hanyalah suatu peran yang bersifat
sementara. Pada giliran beri kut nya, penerima pesan akan memprakarsai penyampai
an suatu pesan berikutnya dan pada saat itu khalayak telah berubah peran menjadi
komunikator. Pengertian yang sama berlaku pula dalam komunikasi politik. Pihak
yang tadinya dikenal sebagai komunikator atau saluran, pada saat yang lain dapat
pula diidentifikasi sebagai Khalayak adalah salah satu unsur dari proses komunikasi.
Oleh karena itu, khalayak tidak boleh diabaikan sebab berhasil tidak nya suatu proses
komunikasi sangat ditentukan oleh khalayak (Cangara, 2010: 157).
Karakteristik khalayak
Karakteristik khalayak mengacu pada sifat dan ciri-ciri yang dapat digunakan
untuk menggambarkan atau mengidentifikasi suatu kelompok orang atau audiens.
Karakteristiknya bisa mencakup berbagai hal seperti usia, jenis kelamin, latar
belakang sosial, minat, dan banyak lagi. Karakteristik khalayak ini sering digunakan
dalam bidang seperti pemasaran, media, dan komunikasi untuk memahami target
sasaran dan merancang pesan atau produk yang sesuai dengan mereka.
Analisis korelasi pada berita
Khalayak utama adalah masyarakat luas yang mengakses berita tersebut
melalui berbagai platform media, terutama media sosial seperti TikTok,
WhatsApp, dan platform lainnya. Dalam konteks ini, masyarakat luas yang
membaca, menonton, atau mendengarkan berita ini dianggap sebagai khalayak.
Mereka adalah orang-orang yang menerima dan merespons informasi yang
disampaikan oleh para dokter ASN RSUD Soe melalui aksi mogok pelayanan
mereka.
3.2.8 MODEL KOMUNIKASI ALIR DUA TAHAP
Model alir dua tahap diperkenalkan oleh Paul Lazafield, Bernard Berelson, dan H.
Gaudet pada tahun 1944. Dalam penelitian yang mereka lakukan, mereka menemukan
bahwa terpaan media memiliki sedikit pengaruh terhadap calon presiden yang dipilih
masyarakat. Masyarakat lebih mendengarkan pendapat pemimpin opini (opinion
leader). Jadi media massa membawa pengaruh kepada pemimpin opini yang
mempengaruhi pendapat pengikutnya yang bersifat antarpribadi (Josep A. Devito,
1997)
Dalam konteks berita yang diberikan, model satu tahap atau "one step flow of
communication" menggambarkan bahwa pengaruh media massa terhadap masyarakat
lebih melalui pemimpin opini atau opinion leader daripada secara langsung
memengaruhi pendapat calon presiden yang dipilih oleh masyarakat. Mari kita
analisis bagaimana berita tersebut dapat dilihat dalam kerangka model ini:
1. Berita di Media Massa: Berita tentang aksi mogok dokter ASN di RSUD Soe
yang tersebar di media sosial seperti grup WhatsApp dan TikTok menjadi
perhatian publik. Media massa memainkan peran penting dalam
menginformasikan masyarakat tentang aksi tersebut.
2. Opinion Leader: Dalam hal ini, Opinion Leader mungkin adalah para dokter ASN
yang melakukan aksi mogok. Mereka adalah pemimpin opini di dalam profesi
medis dan memiliki pengaruh signifikan terhadap rekan-rekan mereka dan
mungkin juga pasien mereka.
3. Pengaruh Terhadap Opinion Leader: Berita ini mungkin tidak secara langsung
memengaruhi calon presiden yang dipilih masyarakat. Namun, berita ini dapat
mempengaruhi opinion leader, yaitu para dokter ASN di RSUD Soe, yang telah
mengambil sikap untuk mogok karena pembayaran tunjangan tambahan
penghasilan (TTP) mereka yang tertunda.
4. Pengaruh Opinion Leader Terhadap Pengikut: Opinion leader seperti dokter ASN
dapat mempengaruhi pendapat rekan-rekan mereka dan pasien mereka. Dalam
konteks ini, mereka mengumumkan bahwa mereka tidak akan memberikan
pelayanan kepada pasien sampai hak-hak mereka dibayarkan. Hal ini dapat
mempengaruhi pasien dan masyarakat secara lebih langsung daripada berita itu
sendiri.
5. Komunikasi Antarpribadi: Pengaruh terbesar mungkin terjadi melalui komunikasi
antarpribadi antara opinion leader (dokter ASN) dan pasien mereka atau rekan-
rekan mereka. Ketika opinion leader menjelaskan alasan-aasan mogok kepada
individu-individu ini secara langsung, hal ini dapat memengaruhi pendapat
mereka terhadap situasi tersebut dan bahkan terhadap kebijakan pemerintah yang
terkait.
Dalam model satu tahap ini, media massa berperan sebagai sarana untuk
menyebarkan informasi, tetapi pengaruh terbesar terjadi melalui pemimpin opini
(opinion leader) yang memiliki akses dan kredibilitas untuk memengaruhi orang lain
secara antarpribadi. Dalam konteks berita ini, reaksi dokter ASN terhadap
keterlambatan pembayaran TTP mereka dapat memengaruhi pandangan pasien dan
masyarakat secara lebih langsung daripada pengaruh media massa itu sendiri terhadap
pemilihan calon presiden.