Anda di halaman 1dari 3

MAKALAH

SEJARAH KESENIAN DEBUS BANTEN

Disusun oleh Kelompok 1 :


 Tazqira
 Etnika
 Alya keisya
 Khoirul tamam
 Gerald
 Elifa
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga makalah yang berjudul
“Sejarah Masjid Jami’ Kalipasir” ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Makalah disusun
untuk memenuhi tugas Mata Pelajaran Sejarah. Selain itu, makalah ini bertujuan menambah
wawasan tentang sejarah Masjid Jami’ Kalipasir dan peninggalan-peninggalan sejarah dahulu
di Masjid Jami’ Kalipasir untuk para pembaca dan juga bagi peneliti. Peneliti mengucapkan
terima kasih kepada Ibu Desti Milawati selaku guru Mata Pelajaran Sejarah. Ucapan terima
kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dengan memberikan
sumbangan baik pikiran maupun materinya sehingga dapat terselesaikannya makalah ini
termasuk narasumber. Bagi saya sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan
dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman saya.
Untuk itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Tangerang, 16 Januari 2022

Peneliti ..
BAB I

PENDAHULUAN

Latar belakang

Debus berasal dari kata “Dabus” yang artinya paku atau peniti, yakni suatu “permainan” dengan
senjata tajam yang dengan keras ditikamkan ketubuh para pemainnya. Debus lebih dikenal sebagai
kesenian asli masyarakat Banten, yang berkembang kira-kira sejak abad ke 16- 18. Debus dalam
bahasa arab yang berarti senjata tajam yang terbuat dari besi, mempunyai ujung yang runcing dan
sedikit berbentuk bundar. Debus adalah seni pertunjukan yang memperlihatkan permainan
kekebalan tubuh. Debus menjadi salah satu bagian ragam seni budaya masyarakat Banten sehingga
kesenian ini banyak digemari oleh masyarakat sebagai hiburan yang langka dan menarik. Menurut
sejarahnya, debus ada hubungannya dengan tarikat Rifaaiah. Tarikat ini dibawa oleh Nurradin Ar-
Raniry ke Aceh pada abad 16. Tarikat ini ketika melakukan suatu ritual sedang dalam kondisi
epiphany (kegembiraan yang tak terhingga karena “bertatap muka” dengan Tuhan). Mereka tetap
menghantamkan berbagai benda tajam ke tubuh mereka. Filosofi sederhananya adalah “la haula
wala Quwwata illa billah al-aliyy al-adzhim” atau tiada daya upaya melainkan karena allah. Jadi jika
allah tidak mengizinkan pisau, golok, parang atau peluru sekalipun melukai mereka. Maka mereka tak
akan terluka. Pada kelanjutannya, tarikat ini sampai ke daerah Minang dan di Minangpun dikenal
dengan istilah “Dabuih”. (Said,2016:122-124). Jadi Badabuih adalah suatu kegiatan yang dilakukan
beberapa orang yang menusuk-nusukan besi atau benda tajam lainnya ke badan atau anggota tubuh
dari orang tersebut.

Anda mungkin juga menyukai