Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pola Hidup

2.2.1 Pengertian Pola Hidup

Pola hidup adalah aturan pola hidup seseorang di dunia yang diekspresikan

dalam aktifitas, minat dan opininya (Kotler, 2009). Gaya hidup menggambarkan

keseluruhan diri seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungan. Menurut Minor

dan Mowen Pola hidup adalah menunjukkan bagaimana orang hidup, bagaimana

orang membelanjakan uangnya dan bagaimana mengalokasikan waktu (Tamher,

2009).

Pola hidup individu, yang dicirikan dengan pola perilaku individu, akan

memberi dampak pada kesehatan individu dan selanjutnya pada kesehatan orang

lain. Dalam kesehatan, Pola hidup seseorang dapat diubah dengan cara

memberdayakan individu agar merubah pola hidupnya, tetapi merubahnya bukan

pada si individu saja, tetapi juga merubah lingkungan sosial dan kondisi

kehidupan yang memengaruhi pola perilakunya. Tidak ada aturan ketentuan baku

tentang pola hidup yang berlaku untuk semua orang. Budaya, pendapatan, struktur

keluarga, umur, kemampuan fisik, lingkungan rumah dan lingkungan tempat kerja

yang berbeda, menciptakan berbagai gaya yang berbeda pula (Hadywinoto, 1999).

2.2.2 Pola Hidup Yang Mempengaruhi Kesehatan

Menurut Potter dan Perry (2005) mengemukakan bahwa ada kegiatan dan

perilaku yang dapat memberikan efek terhadap kesehatan. Cara pelaksanaan

kegiatan yang berpotensi memberikan efek negatif antara lain makan berlebihan

7
8

atau nutrisi yang buruk, kurang tidur dan istirahat, dan kebersihan pribadi yang

buruk. Kebiasaan lain yang beresiko menyebabkan seseorang menderita penyakit

yaitu kebiasaan merokok atau minum-minuman beralkohol, penyalahgunaan obat,

dan kegiatan berbahaya seperti skydiving serta mendaki gunung. Individu dengan

kebiasaan yang dapat pula menimbulkan sakit yaitu kebiasaan berjemur di bawah

matahari yang meningkatkan resiko kanker kulit, dan kelebihan berat badan dapat

meningkatkan risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler.

Menurut Ayers, Bruno dan Langford (1999) menyatakan bahwa pola hidup

merupakan wilayah yang paling dapat dikontrol oleh seseorang dan memiliki

beberapa aturan agar dapat memelihara dan meningkatkan kesehatan. Perilaku

yang termasuk dalam pola hidup sangat mungkin diubah. Faktor-faktor yang

tergolong dalam wilayah gaya hidup diantaranya adalah :

1. Pola makan dan minum

Gaya hidup pada zaman modern ini telah mendorong orang mengubah

gaya hidup seperti makan makanan siap saji, makanan kalengan, sambal botolan,

minuman kaleng, buah dan sayur yang memakai bahan pengawet, makanan kaya

lemak, makanan kaya kolesterol. Gaya hidup seperti ini tidak baik untuk tubuh

dan kesehatan karena tubuh kita menjadi rusak karena makanan yang tidak sehat

sehingga tubuh menjadi rentan penyakit (Depkes RI, 2008).

Seseorang yang tidak memperhatikan komposisi nutrisi yang terkandung

dalam makanan sehari-hari, akan lebih mudah terserang penyakit dibandingkan

yang berhati-hati dalam mengkonsumsi makanan. Intake makanan yang

mengandung kadar karbohidrat tinggi namun minim serat seperti makanan cepat

saji, mempercepat penimbunan lemak di dalam tubuh yang memicu obesitas.


9

Individu yang mengalami obesitas rentan terhadap penyakit diabetes mellitus tipe

2 dan penyakit kardiovaskular. Penumpukan lemak di daerah perut merupakan

salah satu faktor risiko yang memicu timbulnya diabetes mellitus. Peningkatan

penderita diabetes akan meningkatkan jumlah penderita penyakit ginjal akibat

komplikasi dari diabetes yaitu nefropati diabetes (Francis, 2008).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam merencanakan makan adalah:

porsi makan jangan terlalu kenyang akan lebih baik jika porsi makannya sedikit

tapi sering, banyak minum air putih sekitar 7-8 gelas/hari dan batasi minum kopi

dan teh, kurangi garam, makanan hendaknya mudah dicerna, lembek tidak keras,

hindari makanan yang terlalu manis, terlalu asin dan yang terlalu gurih/gorengan

(Rimbana 2004; Sunita, 2003).

Hal yang senada dikemukakan oleh Iseki (2005) yang melakukan

investigasi terhadap faktor-faktor yang mendukung terjadinya gagal ginjal

terminal melalui pemeriksaan status ginjal (renal outcome). Pemeriksaan tersebut

menemukan bahwa nutrisi yang berlebihan menjadi salah satu faktor risiko yang

mendukung timbulnya gagal ginjal kronik dan gagal ginjal terminal. Konsumsi

diet yang berlebihan menyebabkan kenaikan berat badan yang tidak terkontrol

dimana merupakan faktor resiko timbulnya berbagai penyakit.

Studi di Jepang menunjukkan bahwa kenaikan berat badan yang diukur

dengan Body Mass Index (BMI) merupakan parameter yang signifikan

berhubungan dengan kejadian gagal ginjal kronik. Hal ini disebabkan setiap

kenaikan dari BMI akan diikuti oleh kenaikan tekanan darah, lipid serum serta

kadar glukosa darah. Setiap peningkatan BMI akan diikuti dengan peningkatan

risiko mengalami gagal ginjal kronik. Walaupun mekanisme yang mendasari


10

hubungan peningkatan BMI dengan gagal ginjal kronik tidak begitu dimengerti

namun diestimasi bahwa kejadian tersebut ada kaitannya dengan aktivasi sistem

renin angiotensin, peningkatan aktifitas nervus simpatis, terjadi resistensi insulin

atau hiperinsulinemia dan dislipidemia. Kerusakan toleransi glukosa ini yang

diduga berhubungan dengan kejadian gagal ginjal kronik (Nomura dkk, 2009).

Peningkatan berat badan atau obesitas khususnya obesitas abdominal dapat

merupakan faktor resiko gagal ginjal kronik karena dapat memicu peningkatan

tekanan darah. Selain itu penderita obesitas lebih resisten terhadap pengobatan

untuk menurunkan tekanan darah. Peningkatan berat badan yang berlebihan telah

mendukung peningkatan kadar leptin, volume ekspansi, sesak waktu tidur dan bila

peningkatan tekanan darah tidak dikontrol akan mempercepat ginjal kehilangan

fungsinya (Iseki, 2005).

Peningkatan risiko gagal ginjal kronik pada individu obesitas terjadi

melalui beberapa mekanisme. Salah satu mekanisme yang berhubungan adalah

peningkatan kadar leptin menyebabkan kerusakan dari sistem kardiovaskuler

ginjal yang merupakan kontribusi signifikan dari patogenesis hipertensi dan

diabetes karena obesitas (Ronco dkk, 2008).

Individu yang memiliki berat badan yang berlebihan atau overweight

karena pola diet yang tidak tepat ditemukan lebih banyak yang menjalani terapi

hemodialisa karena gagal ginjal terminal dibandingkan pasien yang memiliki berat

badan normal atau kurang. Studi yang dilakukan terhadap 1010 pasien

memperlihatkan, bila dilihat dari berat badan maka 47,9% pasien mempunyai

kelebihan berat badan, 40,2% memiliki berat badan normal dan 11,9% memiliki
11

berat badan di bawah standar untuk usia dan jenis kelaminnya (Salahudeen dkk,

2004).

2. Pola Aktifitas fisik/olahraga

Manfaat yang dapat diperoleh dari aktifitas fisik yang dilakukan secara

teratur telah banyak dilaporkan. Aktifitas fisik yang dilakukan secara teratur

selama 30 menit setiap hari minimal 3 kali dalam seminggu akan membantu

memperpanjang umur harapan hidup dan menurunkan angka kesakitan dan

kematian karena penyakit (Ramadhan, 2008).

Olah raga yang teratur akan membantu menjaga tubuh tetap sehat dan

bugar karena kalori terbakar setiap hari serta mengendurkan semua otot yang

kaku. Olahraga dapat membantu meningkatkan kekuatan tulang, kekebalan tubuh,

menguatkan paru-paru, menurunkan emosi negatif, mempercantik tubuh dan kulit,

menambah tenaga, mengurangi dampak proses penuaan, serta membantu tidur

nyenyak. Dampak olah raga tersebut akan dirasakan bila olah raga minimal

aerobik dilakukan 3-5 kali seminggu selama 30 menit dengan pemanasan terlebih

dahulu (Ramadhan, 2008).

Sesuai dengan pernyataan Ayers, Bruno dan Langford (1999) bahwa pola

hidup yang cenderung meningkatkan resiko menderita penyakit dilihat dari

aktifitas fisik adalah individu yang lebih banyak duduk, tidak berolah raga atau

melakukan olah raga tidak teratur atau frekuensi latihan fisik tidak mencapai 30

menit dengan aktifitas minimal 3 kali dalam satu minggu. Individu yang memiliki

aktifitas fisik rendah beresiko mengalami beragam penyakit seperti diabetes,

hiperlipidemia, hipertensi, dan obesitas yang merupakan faktor-faktor risiko

terhadap penyakit kardiovaskuler, gagal ginjal kronik dan gagal ginjal terminal.
12

Hal ini diestimasi berdasarkan studi epidemiologi terhadap faktor risiko

penyakit tidak menular dan serangkaian pemeriksaan kesehatan terhadap individu

yang mengalami penyakit ginjal terkait dengan peningkatkan prevalensi penyakit

gagal ginjal kronik di Jepang. Adanya hubungan antara gagal ginjal kronik dan

gaya hidup yang berisiko akan membantu dalam meningkatkan upaya-upaya

pencegahan penyakit gagal ginjal kronik dan gagal ginjal terminal (Iseki, 2005).

3. Penggunaan zat

Penggunaan zat baik legal maupun ilegal, memiliki resiko serius terhadap

kesehatan. Salah satu perilaku yang tergolong penggunaan zat adalah merokok.

Beragam penyakit dapat menyerang perokok diantaranya yaitu gagal ginjal

kronik. Gangguan ini pada perokok, berawal dari gangguan fungsi ginjal karena

terjadinya nepfrosklerosis dan glomerulonefrritis yang disebabkan kandungan zat

dalam rokok. Seorang perokok diperkirakan beresiko mengalami kejadian tersebut

1,2 kali lebih tinggi dari individu yang tidak merokok. Risiko ini lebih tinggi bila

jumlah rokok yang dihisap lebih dari 20 batang perhari. Individu yang merokok >

20 batang rokok perhari diperkirakan 2,3 kali lebih mungkin mengalami gagal

ginjal kronik dibandingkan yang merokok 1-20 batang sehari (Bénédicte dkk,

2003).

Pernyataan Ayers, Bruno dan Langford (1999) bahwa pola hidup yang

tidak baik dilihat dari penggunaan zat adalah perilaku beresiko seperti merokok,

menggunakan obat-obatan tidak sesuai dengan aturan yang telah diberikan,

penggunaan zat kimia yang berbahaya bagi tubuh, dan sebagainya. Perilaku ini

bila dilakukan oleh individu dalam jangka panjang dapat mengakibatkan

gangguan kerja ginjal yang berakhir dengan gagal ginjal kronik. Pendapat lain
13

yang juga mengemukakan, individu yang merokok beresiko menderita gagal

ginjal kronik 2,2 kali lebih tinggi dibandingkan individu yang tidak merokok.

Risiko menderita gagal ginjal kronik ini tetap lebih tinggi pada perokok,

meskipun kemudian memutuskan untuk berhenti merokok. Namun masih lebih

rendah bila dibandingkan dengan individu yang memutuskan untuk. tetap

merokok. Perokok yang telah berhenti berisiko 1,08 kali menderita gagal ginjal

kronik sedangkan yang memilih untuk tetap merokok 2,4 kali lebih mungkin

mengalami gagal ginjal kronik (Shankar dkk, 2006).

Mekanisme seseorang mengalami gagal ginjal kronik yang berlanjut

menjadi gagal ginjal terminal yang diinduksi oleh rokok, terjadi melalui tiga cara.

Mekanisme pertama yaitu melalui nonhemodinamik (Nonhemodynamic

mechanisms as potential mediators of smoking-induced renal damage). Secara

sederhana dapat dideskripsikan bahwa zat-zat racun yang terkandung di dalam

rokok telah mengakibatkan terjadinya disfungsi endotelial. Nikotin menyebabkan

sel manusia mengalami proliferasi disamping meningkatkan fibronectin sampai

50%. Hal ini menginduksi ginjal mengalami fibrosis yang pada akhirnya

mengurangi kerja ginjal dalam mengeksresikan urin.

Zat lain yang turut merusak ginjal yaitu cadmium (Cd) yang terkandung di

dalam rokok dimana penumpukan zat ini di korteks ginjal mengakibatkan

kerusakan jaringan karena toksisitas zat tersebut yang akan menimbulkan jaringan

parut pada ginjal. Mekanisme selanjutnya yaitu terjadi secara hemodinamik

(Hemodynamic mechanisms as potential mediators of smoking-induced renal

damage). Zat-zat berbahaya di dalam rokok selain memicu perubahan secara

langsung pada organ ginjal, beresiko meningkatkan tekanan darah dan jantung.
14

Selain rokok, menurut studi terhadap pasien yang menderita gagal ginjal

kronik yang kemudian mengalami gagal ginjal terminal, ditemukan zat-zat lain

yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan ginjal. Zat tersebut diantaranya

yaitu obat anti nyeri (Steenland dkk, 2005).

Observasi yang dilakukan selama 2 tahun memperlihatkan pasien yang

telah mengkonsumsi obat anti nyeri secara tidak tepat (lebih dari satu pil dalam

seminggu) sepanjang kurun waktu 2 tahun atau lebih untuk menghilangkan rasa

sakit beresiko mengalami kerusakan ginjal. Lebih lanjut ditemukan, pasien yang

bekerja dalam waktu lama pada sektor industri, lebih mungkin mengalami gagal

ginjal dibandingkan sektor lain. Sektor industri yang paling tinggi frekuensi

penderitanya yaitu automobil (51%), diikuti pekerja konstruksi (17%), pengecoran

logam (9%) dan pekerja rumah sakit (6%) (Steenland dkk, 2005).

2.2 Konsep Gagal Ginjal Kronik

2.1.1 Definisi Gagal Ginjal Kronik

Gagal ginjal adalah suatu kondisi dimana ginjal tidak dapat menjalankan

fungsinya secara normal. Gagal ginjal di bagi menjadi dua bagian besar yakni

gagal ginjal akut dan gagal ginjal kronik. Gagal Ginjal Akut yaitu penurunan

aliran darah ke ginjal. Hal ini dapat terjadi karena kehilangan darah, operasi, atau

syok. Sedangkan pada gagal ginjal kronik, penurunan fungsi ginjal terjadi secara

berlahan–lahan. Proses penurunan fungsi ginjal dapat berlangsung terus selama

berbulan–bulan atau bertahun– tahun sampai ginjal tidak dapat berfungsi sama

sekali atau end stage renal disease (Soemantri, 2012).

Adapun kriteria CKD yaitu terdapat satu atau lebih penanda kerusakan

ginjal- albuminuria (Albumin Excretion Rate ≥30 mg/24 jam; Albumin/Creatinine


15

Ratio ≥30 mg/g atau ≥3 mg/mmol), abnormalitas sedimen urin, elektrolit dan

kelainan yang berhubungan dengan penyakit tubular, kelainan histologi, kelainan

struktur yang dideteksi dengan pencitraan (imaging), riwayat transplantasi ginjal

dan penurunan laju filtrasi glomerulus menjadi <60 ml/menit/1.73 m2 (KDIGO,

2012).

2.1.2 Klasifikasi

Panduan Praktik Klinis KDIGO (2012 untuk Evaluasi dan Penanganan

Penyakit Ginjal Kronis merekomendasikan agar CKD diklasifikasikan

berdasarkan penyebab, kategori LFG (Laju Filtrasi Glomerulus), dan kategori

albuminuria. Menurut penyebabnya, CKD didasarkan pada ada tidaknya penyakit

sistemik dan temuan patologi anatomi pada bagian ginjal yang diduga mengalami

kerusakan dari hasil biopsy maupun imaging.

1. Klasifikasi CKD berdasarkan kategori LFG

Tabel 2.2
Klasifikasi CKD Menurut Kategori LFG

LFG
Kategori Deskripsi
(ml/menit/1.73 m2)
G1 ≥90 LFG normal atau tinggi
G2 60-89 Penurunan LFG ringan*
G3a 45-59 Penurunan LFG ringan sampai sedang
G3b 30-44 Penurunan LFG sedang sampai berat
G4 15-29 Penurunan LFG berat
G5 <15 Gagal ginjal
*Relatif pada dewasa muda

CKD stage 5 disebut juga dengan ESRD (End Stage Renal Disease) di mana

fungsi ginjal sangat menurun (LFG <15ml/mnt/1.73m2), sehingga terjadi uremia

dan dibutuhkan terapi ginjal pengganti untuk mengambil alih fungsi ginjal dalam
16

mengeliminasi toksin tubuh (IRR, 2014).

2. Klasifikasi CKD berdasarkan kategori albumin

Tabel 2.3
Klasifikasi CKD Menurut Kategori Albumin

AER ACR ACR


Katagori
(mg/24jam) (mg/mmol) (mg/g) Deskripsi
A1 0 <3 <30 Peningkatan normal sampai
sedang
A2 30-300 3-30 30-300 Peningkatan sedang*

A3 >300 >30 >300 Peningkatan berat**

*Relatif pada dewasa muda


**Termasuk sindrom nefrotik
2.1.3 Manifestasi Klinis

Selama tahap awal CKD, pasien cenderung asimtomatik. Pada saat fungsi

ginjal semakin memburuk, racun uremik akan mulai menumpuk dan

menyebabkan gejala seperti kelelahan, mual, anoreksia, kelesuan, penurunan berat

badan dan pruritus (Popat, 2011).

Menurut Brunner & Suddarth (2001) pada gagal ginjal kronis setiap sistem

tubuh dipengaruhi oleh kondisi uremia, oleh karena itu pasien akan

memperlihatkan sejumlah tanda dan gejala. Keparahan tanda dan gejala

tergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal, kondisi lain yang mendasari

adalah usia pasien. Berikut merupakan tanda dan gejala CKD:

1. Kardiovaskuler yaitu yang ditandai dengan adanya hipertensi, pitting edema

(kaki, tangan, sacrum), edema periorbital, friction rub pericardial, serta

pembesaran vena Integumen yaitu yang ditandai dengan warna kulit abu-abu

mengkilat, kulit kering dan bersisik, pruritus, ekimosis, kuku tipis dan rapuh

serta rambut tipis dan kasar.

2. Pulmoner yaitu yang ditandai dengan krekeis, sputum kental dan liat, napas
17

dangkal seta pernapasan kussmaul.

3. Gastrointestinal yaitu yang ditandai dengan napas berbau ammonia, ulserasi

dan perdarahan pada mulut, anoreksia, mual dan muntah, konstipasi dan diare,

serta perdarahan dari saluran gastrointestinal.

4. Neurologi yaitu yang ditandai dengan kelemahan dan keletihan, konfusi,

disorientasi, kejang, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki,

serta perubahan perilaku.

5. Muskuloskletal yaitu yang ditandai dengan kram otot, kekuatan otot hilang,

fraktur tulang serta foot drop.

6. Reproduktif yaitu yang ditandai dengan amenore dan atrofi testikuler.

2.1.4 Patofisiologi

Patofisiologi penyakit ginjal kronik meliputi dua tahapan kerusakan ginjal:

(1) mekanisme awal tergantung dari etiologi yang mendasarinya dan (2)

mekanisme progresivitas, termasuk hipertrofi dan hiperfiltrasi nefron yang tersisa

yang merupakan konsekuensi masa panjang penurunan massa ginjal (Fauci et al.,

2012).

Pengurangan massa ginjal menyebabkan hipertrofi struktural dan

fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephron) sebagai kompensasi.

Respon terhadap penurunan jumlah nefron ini dimediasi oleh hormon vasoaktif,

sitokin dan faktor pertumbuhan. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi,

yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses

adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa

sklerosis nefron yang tersisa. Proses ini akan diikuti oleh penurunan fungsi nefron

yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi (Suwitra,
18

2009).

Ginjal tidak dapat mempertahankan homeostasis sehingga terjadi

peningkatan kadar ureum dan kreatinin dalam darah, terjadi penimbunan cairan

tubuh dan ketidakseimbangan elektrolit serta asam basa, akibatnya timbul

berbagai manifestasi klinik dan komplikasi pada seluruh sistem tubuh. Semakin

banyak sisa akhir metabolisme yang tertimbun, maka gejala akan semakin berat

(Ignatavicius & Workman, 2006).

Penatalaksanaan Tujuan penatalaksanaan penyakit ginjal kronik adalah

untuk mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis. Penatalaksanaan dibagi

menjadi dua tahap. Tahap pertama adalah tindakan konservatif untuk

memperlambat gangguan fungsi ginjal progresif, pencegahan dan pengobatan

kondisi komorbid, penyakit kardiovaskuler dan komplikasi yang terjadi (Suwitra,

2006). Penanganan konservatif meliputi :

1. Pencegahan dan pengobatan terhadap kondisi komorbid antara lain gangguan

keseimbangan cairan, hipertensi, infeksi dan obstruksi traktus urinarius, obat-

obat nefrotoksid;

2. Menghambat perburukan fungsi ginjal / mengurangi hiperfiltrasi glomerolus

dengan diet, seperti pembatasan asupan protein, fosfat;

3. Terapi farmakologis dan pencegahan serta pengobatan terhadap komplikasi,

bertujuan untuk mengurangi hipertensi intraglomerolus dan memperkecil

risiko terhadap penyakit kardiovaskuler seperti pengendalian diabetes,

hipertensi, dislipidemia, anemia, hiperfosfatemia, asidosis, neuropati perifer,

kelebihan cairan dan keseimbangan elektrolit (Suwitra, 2009; Price & Wilson,

2005).
19

Tahap kedua dilakukan ketika tindakan konservatif tidak lagi efektif

(LeMone & Burke, 2008). Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal

tahap akhir, yang bertujuan untuk menghindari komplikasi dan memperpanjang

usia pasien (Shahgholian et al, 2008). Ada 2 terapi pengganti ginjal yaitu dialysis

(Hemodialisis dan Peritoneal Dialisis) dan transplantasi ginjal. Hemodialisis

merupakan terapi pengganti ginjal yang paling banyak dilakukan di dunia dan

jumlahnya dari tahun ke tahun terus meningkat (Shahgholian, et al, 2008).

2.1 Konsep Hemodialisis

2.2.1 Definisi Hemodialisis

Pengertian hemodialisis Dialisis didefinisikan sebagai difusi molekul

dalam cairan yang melalui membran semipermeabel sesuai dengan gradien

konsentrasi elektrokimia (Cahyaning, 2009). Hemodialisis merupakan suatu

proses terapi pengganti ginjal dengan menggunakan selaput membran semi

permeabel (dialiser), yang berfungsi seperti nefron sehingga dapat mengeluarkan

produk sisa metabolisme dan mengoreksi gangguan keseimbangan cairan dan

elektrolit pada pasien gagal ginjal (Black & Hawks, 2005; Ignatavicius, 2006).

Dengan kata lain, hemodialisis adalah proses pembersihan darah dari

akumulasi sampah buangan, digunakan bagi pasien dengan gagal ginjal tahap

akhir atau pasien dengan penyakit akut yang membutuhkan dialisis dalam waktu

singkat. Pada penderita gagal ginjal kronis, hemodialisis akan mencegah

kematian. Hemodialisis tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal

dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik yang dilaksanakan

ginjal dan dampak dari gagal ginjal serta terapinya terhadap kualitas hidup pasien

(Brunner & Suddarth, 2006).


20

2.2.2 Tujuan Terapi

Terapi hemodialisis mempunyai beberapa tujuan. Tujuan tersebut

diantaranya adalah menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi (membuang

sisa-sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme

yang lain), menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang

seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal dalam keadaan sehat,

meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal serta

Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain

(Suharyanto dan Madjid, 2009).

Dialisis didefinisikan sebagai difusi molekul dalam cairan yang melalui

membran semipermeabel sesuai dengan gradien konsentrasi elektrokimia. Tujuan

utama hemodialisis adalah untuk mengembalikan suasana cairan ekstra dan

intrasel yang sebenarnya merupakan fungsi dari ginjal normal. Dialisis dilakukan

dengan memindahkan beberapa zat terlarut seperti urea dari darah ke dialisat. dan

dengan memindahkan zat terlarut lain seperti bikarbonat dari dialisat ke dalam

darah (Cahyaning, 2009).

Konsentrasi zat terlarut dan berat molekul merupakan penentu utama laju

difusi. Molekul kecil, seperti urea, cepat berdifusi, sedangkan molekul yang

susunan yang kompleks serta molekul besar, seperti fosfat, β2- mikroglobulin dan

albumin, serta zat terlarut yang terikat protein seperti p- cresol, lebih lambat

berdifusi. Disamping difusi, zat terlarut dapat melalui lubang kecil (pori-pori) di

membran dengan bantuan proses konveksi yang ditentukan oleh gradien tekanan

hidrostatik dan osmotik – sebuah proses yang dinamakan ultrafiltrasi (Cahyaning,

2009).
21

Saat ultrafiltrasi berlangsung, tidak ada perubahan dalam konsentrasi zat

terlarut; tujuan utama dari ultrafiltrasi ini adalah untuk membuang kelebihan

cairan tubuh total. Dialisis ditujukan untuk menghilangkan kumpulan gejala yang

dikenal sebagai sindrom uremik (uremic syndrome), walaupun sulit membuktikan

bahwa disfungsi sel ataupun organ tertentu merupakan penyebab dari akumulasi

zat terlarut pada kasus uremia (Lindley, 2011).

2.2.3 Indikasi Hemodialisis

Hemodialisa diindikasikan pada klien dalam keadaan akut yang

memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa

minggu) atau klien dengan penyakit ginjal tahap akhir yang membutuhkan terapi

jangka panjang/permanen (Smeltzer et al., 2008).

Indikasi hemodialisis dibedakan menjadi 2 yaitu : hemodialisis emergensi

atau hemodialisis segera dan hemodialisis kronik. Keadaan akut yang

membutuhkan tindakan dialisis dilakukan pada kegawatan ginjal dengan keadaan

klinis uremik berat, overhidrasi, oliguria (produksi urine 6,5 mmol/I), asidosis

berat (PH 150 mg/dL), ensefalopati uremikum, neuropati/miopati uremikum,

perikarditis uremikum, disnatremia berat (Na>160 atau hemodialisis, yaitu difusi,

osmosis dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah yang merupakan sisa hasil

metabolisme di dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi dengan cara

bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat dengan

konsentrasi yang lebih rendah (Smeltzer et al., 2008).

2.2.4 Prinsip dasar hemodialisis

Aliran darah yang penuh dengan toksin akan dialihkan dari tubuh pasien

ke dializer tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke


22

tubuh pasien (Brunner & Suddarth, 2006). Ada tiga prinsip yang mendasari kerja

hemodialisis, yaitu difusi, osmosis dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah yang

merupakan sisa hasil metabolisme di dalam darah dikeluarkan melalui proses

difusi dengan cara bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi tinggi, ke cairan

dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah (Smeltzer et al., 2008).

Ureum, kreatinin, asam urat dan fosfat dapat berdifusi dengan mudah dari

darah ke cairan dialisat karena unsurunsur ini tidak terdapat dalam dialisat.

Natrium asetat atau bicarbonat yang lebih tinggi konsentrasinya dalam dialisat

akan berdifusi kedalam darah. Kecepatan difusi solut tergantung kepada koefesien

difusi, luas permukaan membran dialiser dan perbedaan konsentrasi serta

perbedaan tekanan hidrostatik diantara membran dialisis (Price & Wilson, 2005).

Air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis.

Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan; dengan

kata lain air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh klien)

ke tekanan yang lebih rendah (dialisat). Gradien ini dapat ditingkatkan melalui

penambahan tekanan negatif yang dikenal dengan ultrafiltrasi pada mesin

hemodialisis. Tekanan negatif sebagai kekuatan penghisap pada membran dan

memfasilitasi pengeluaran air, sehingga tercapai keseimbangan cairan (Price &

Wilson, 2005).

Efektifitas HD tercapai bila dilakukan 2 - 3 kali dalam seminggu selama 4-

5 jam, atau paling sedikit 10 – 12 jam seminggu (Australia and New Zealand

Dialysis and Transplant Registry, 2005; Black & Hawk, 2005). Hemodialisis di

Indonesia biasanya dilakukan 2 kali seminggu dengan lama hemodialisis 5 jam,


23

atau dilakukan 3 kali dalam seminggu dengan lama hemodialisis 4 jam (Rahardjo,

Susalit & Suharjono, 2009).

2.2.5 Komplikasi Hemodialisis

Hemodialisis merupakan tindakan untuk mengganti sebagian dari fungsi

ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita penyakit ginjal tahap akhir

stadium akhir. Walaupun tindakan hemodialisis saat ini mengalami perkembangan

yang cukup pesat, namun masih banyak penderita yang mengalami masalah medis

saat menjalani hemodialisis. Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang

menjalani hemodialisis adalah gangguan hemodinamik. Tekanan darah umumnya

menurun dengan dilakukannya ultrafiltrasi atau penarikan cairan saat

hemodialisis. Hipotensi intradialitik terjadi pada 5-40% penderita yang menjalani

hemodialisis regular, namun sekitar 5-15% dari pasien hemodialisis tekanan

darahnya justru meningkat. Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik atau

intradialytic hypertension (Agarwal & Light, 2010).

1. Komplikasi akut

Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama

hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya adalah

hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung,

gatal, demam, dan menggigil (Bieber & Himmelfarb, 2013).

Tabel 2.4 Komplikasi Akut Hemodialisis

Komplikasi Penyebab

Hipotensi Penarikan cairan yang berlebihan,


terapi antihipertensi, infark jantung,
tamponade, reaksi anafilaksis
24

Hipertensi Kelebihan natrium dan air,


ultrafiltrasi yang tidak adekuat

Reaksi alergi Reaksi alergi, dialiser, tabung,


heparin, besi, lateks

Aritmia Gangguan elektrolit, perpindahan


cairan yang terlalu cepat, obat
aritmia yang terdialisis

Kram otot Ultrafiltrasi terlalu cepat, gangguan


elektrolit

Emboli udara Udara memasuki sirkuit darah

Dialysis disequilibrium Perpindahan osmosis antara intrasel


dan ekstrasel menyebabkan sel
menjadi bengkak, edema cerebral.
Penurunan konsentrasi urea plasma
terlalu cepat

Masalah pada dialisat klorin Hemolisis oleh karena menurunnya


kolom charcoal

Kontaminasi fluoride Gatal, gangguan gastrointestinal,


sinkop, tetanus, gejala neurologi,
aritmia

Kontaminasi bakteri/endotoksin Demam, menggigil, hipotensi oleh


karena kontaminasi dari dialisat
maupun sirkuit air

Sumber : Bieber dan Himmelfarb, 2013

Komplikasi yang cukup sering terjadi adalah gangguan hemodinamik, baik

hipotensi maupun hipertensi saat hemodialisis atau hipertensi intradialisis.

Komplikasi yang jarang terjadi adalah sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser,

aritmia, tamponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, emboli

udara, neutropenia, aktivasi komplemen, hipoksemia (Daurgirdas et al., 2007).

2. Komplikasi kronik
25

Komplikasi kronik yang terjadi pada pasien hemodialisis yaitu penyakit

jantung, malnutrisi, hipertensi, anemia, renal osteodystrophy, neuropati, disfungsi

reproduksi, gangguan perdarahan, infeksi, amiloidosis, dan acquired cystic kidney

disease. Terjadinya gangguan pada fungsi tubuh pasien hemodialisis,

menyebabkan pasien harus melakukan penyesuaian diri secara terus menerus

selama sisa hidupnya. Bagi pasien hemodialisis, penyesuaian ini mencakup

keterbatasan dalam memanfaatkan kemampuan fisik dan motorik, penyesuaian

terhadap perubahan fisik dan pola hidup, ketergantungan secara fisik dan ekonomi

pada orang lain serta ketergantungan pada mesin dialisa selama sisa hidup (Bieber

& Himmelfarb, 2013).

2.5 Landasan Teori

pasien gagal ginjal


kronik

Pola hidup yang Penatalaksanaan Gagal Ginjal


mempengaruhi kesehatan: Kronik:
1) Pola makan dan minum 1) Diet (rendah rendah garam,
(Nutrisi) rendah kolesterol, rendah kalori,
2) Pola aktifitas tinggi serat, membatasi minum
3) Penggunaan Zat alkohol, berhenti merokok)
2) Terapi obat
3) Olah raga rutin

Pelaksanaan hemodialisa

Skema 2.1 Kerangka Konsep


26

2.6 Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah suatu hubungan atau kaitan antara konsep satu

terhadap konsep yang lainnya dari masalah yang diteliti (Notoatmodjo, 2010).

Pola Hidup Gambaran Pola Hidup - Baik


Pasien Gagal Ginjal - Cukup
1. Pola makan Kronik Selama - Kurang
2. Pola minum
Menjalani Terapi
3. Pola aktifitas
Hemodialisa

Skema 2.2
Kerangka Konsep Penelitian

Keterangan :

: Tidak di teliti

: Diteliti

: Berhubungan

Anda mungkin juga menyukai