Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Persalinan Normal

2.1.1 Pengertian

Persalinan adalah proses dimana bayi, plasenta dan selaput ketuban keluar

dari uterus ibu. Persalinan dianggap normal jika prosesnya terjadi pada usia

kehamilan cukup bulan (setelah 37 minggu) tanpa disertai adanya penyulit.

Persalinan dimulai (inpartu) sejak uterus berkontraksi dan menyebabkan

perubahan pada serviks (membuka dan menipis) dan berakhir dengan lahirnya

plasenta secara lengkap. Ibu belum inpartu jika kontraksi uterus tidak

mengakibatkan perubahan serviks (JNPK-KR, 2007).

Persalinan adalah suatu proses yang dimulai dengan adanya kontraksi

uterus yang menyebabkan terjadinya dilatasi progresif dari serviks, kelahiran bayi,

dan kelahiran plasenta, dan proses tersebut merupakan proses alamiah (Rohani,

dkk, 2011).

Bentuk persalinan berdasarkan teknik :

1. Persalinan spontan, yaitu persalinan berlangsung dengan kekuatan ibu sendiri

dan melalui jalan lahir.

2. Persalinan buatan, yaitu persalinan dengan tenaga dari luar dengan ekstraksi

forceps, ekstraksi vakum dan sectio sesaria.

7
8

3. Persalinan anjuran yaitu bila kekuatan yang diperlukan untuk persalinan

ditimbulkan dari luar dengan jalan pemberian rangsang. (Rukhiyah, Ai

Yeyen, & Yulianti, 2009).

Persalinan berdasarkan umur kehamilan:

1. Abortus adalah terhentinya proses kehamilan sebelum janin dapat hidup

(viable), berat janin di bawah 1.000 gram atau usia kehamilan di bawah 28

minggu.

2. Partus prematurus adalah persalinan dari hasil konsepsi pada umur kehamilan

28-36 minggu. Janin dapat hidup, tetapi prematur; berat janin antara 1.000-

2.500 gram.

3. Partus matures/aterm (cukup bulan) adalah partus pada umur kehamilan 37-

40 minggu, janin matur, berat badan di atas 2.500 gram.

4. Partus postmaturus (serotinus) adalah persalinan yang terjadi 2 minggu atau

lebih dari waktu partus yang ditaksir, janin disebut postmatur.

5. Partus presipitatus adalah partus yang berlangsung cepat, mungkin di kamar

mandi, di atas kenderaan, dan sebagainya.

6. Partus percobaan adalah suatu penilaian kemajuan persalinan untuk

memperoleh bukti tentang ada atau tidaknya Cephalo pelvic Disproportion

(CPD) (Rohani, dkk, 2011).

2.1.2 Tahap Persalinan

Persalinan dibagi menjadi 4 tahap. Pada kala I serviks membuka dari 0

sampai 10 cm. Kala I dinamakan juga kala pembukaan. Kala II disebut juga

dengan kala pengeluaran, oleh karena kekuatan his dan kekuatan mengedan, janin
9

di dorong keluar sampai lahir. Dalam kala III atau disebut juga kala uri, plasenta

terlepas dari dinding uterus dan dilahirkan. Kala IV mulai dari lahirnya plasenta

sampai 2 jam kemudian. Dalam kala tersebut diobservasi apakah terjadi

perdarahan post partum (Rohani, dkk, 2011).

Menurut Rohani, dkk (2011) tahapan persalinan dibagi atas sebagai

berikut:

2.1.2.1 Kala I (Kala Pembukaan)

Inpartu ditandai dengan keluarnya lendir bercampur darah karena serviks

mulai membuka dan mendatar. Darah berasal dari pecahnya pembuluh darah

kapiler sekitar kanalis servikalis karena pergeseran-pergeseran, ketika serviks

mendatar dan membuka. Kala I persalinan dimulai sejak terjadinya kontraksi

uterus dan pembukaan serviks, hingga mencapai pembukaan lengkap (10 cm).

Persalinan kala I dibagi menjadi 2 fase, yaitu fase laten dan fase aktif

1) Fase laten, dimana pembukaan serviks berlangsung lambat dimulai sejak awal

kontraksi yang menyebabkan penipisan dan pembukaan secara bertahap

sampai pembukaan 3 cm, berlangsung dalam 7-8 jam.

2) Fase aktif (pembukaan serviks 4-10 cm), berlangsung selama 6 jam dan

dibagi dalam 3 subfase.

a. Periode akselerasi: berlangsung selama 2 jam, pembukaan menjadi 4 cm.

b. Periode dilatasi maksimal: berlangsung selama 2 jam, pembukaan

berlangsung cepat menjadi 9 cm.

c. Periode deselerasi: berlangsung lambat, dalam 2 jam pembukaan jadi 10

cm atau lengkap.
10

Pada fase aktif persalinan, frekuensi dan lama kontraksi uterus umumnya

meningkat (kontraksi dianggap adekuat jika terjadi tiga kali atau lebih dalam

waktu 10 menit dan berlangsung selama 40 detik atau lebih) dan terjadi penurunan

bagian terbawah janin. Berdasarkan kurve Friedman, diperhitungkan pembukaan

pada primigravida 1 cm/jam dan pembukaan multigravida 2 cm/ jam.

Mekanisme membukanya serviks berbeda antara primigravida dan

multigravida. Pada primigravida, ostium uteri internum akan membuka lebih dulu,

sehingga serviks akan mendatar dan menipis, kemudian ostium internum sudah

sedikit terbuka. Ostium uteri internum dan eksternum serta penipisan dan

pendataran serviks terjadi dalam waktu yang sama.

2.1.2.2 Kala II (Kala Pengeluaran Janin)

Kala II persalinan dimulai ketika pembukaan serviks sudah lengkap (10

cm) dan berakhir dengan lahirnya bayi. Kala II pada primipara berlangsung

selama 2 jam dan pada multipara 1 jam.

Tanda dan gejala kala II:

1) His semakin kuat, dengan interval 2 sampai 3 menit.

2) Ibu merasa ingin meneran bersamaan dengan terjadinya kontraksi.

3) Ibu merasakan makin meningkatnya tekanan pada rektum dan/atau vagina.

4) Perineum terlihat menonjol.

5) Vulva-vagina dan sfingter ani terlihat membuka.

6) Peningkatan pengeluaran lendir dan darah.

Diagnosis kala II ditegakkan atas dasar pemeriksaan dalam yang

menunjukkan:
11

1) Pembukaan serviks telah lengkap.

2) Terlihat bagian kepala bayi pada introitus vagina.

2.1.2.3 Kala III (Kala Pengeluaran Plasenta)

Kala III persalinan dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir dengan

lahirnya plasenta dan selaput ketuban. Seluruh proses biasanya berlangsung 5-30

menit setelah bayi lahir.

Perubahan psikologis kala III:

1) Ibu ingin melihat, menyentuh, dan memeluk bayinya.

2) Merasa gembira, lega, dan bangga akan dirinya; juga merasa sangat lelah.

3) Memusatkan diri dan kerap bertanya apakah vagina perlu dijahit.

4) Menaruh perhatian terhadap plasenta

2.1.2.4 Kala IV (Kala Pengawasan)

Kala IV dimulai setelah lahirnya plasenta dan berakhir 2 jam setelah

proses tersebut. Observasi yang harus dilakukan pada kala IV :

1) Tingkat kesadaran.

2) Pemeriksaan tanda-tanda vital: tekanan darah, nadi,dan pernapasan.

3) Kontraksi uterus.

4) Terjadinya perdarahan. Perdarahan dianggap masih normal jika jumlahnya

tidak melebihi 400 samapai 500 cc.

Asuhan dan pemantauan pada kala IV:

1) Lakukan rangsangan taktil (seperti pemijatan) pada uterus, untuk merangsang

uterus berkontraksi.
12

2) Evaluasi tinggi fundus dengan meletakkan jari tangan secara melintang antara

pusat dan fundus uteri.

3) Perkirakan kehilangan darah secara keseluruhan.

4) Periksa perineum dari perdarahan aktif (misalnya apakah ada laserasi atau

episiotomi).

5) Evaluasi kondisi ibu secara umum.

6) Dokumentasikan semua asuhan dan temuan selama kala IV persalinan di

halaman belakang partograf segera setelah asuhan diberikan atau setelah

penilaian dilakukan.

2.1.3 Asuhan Persalinan

Tujuan asuhan persalinan adalah memberikan asuhan yang memadai

selama persalinan, dalam upaya mencapai pertolongan persalinan yang bersih dan

aman dengan memperhatikan aspek sayang ibu dan sayang bayi.

Kebijakan pelayanan asuhan persalinan :

1) Semua persalinan harus dihindari dan dipantau oleh petugas kesehatan

terlatih.

2) Rumah bersalin dan tempat rujukan dengan fasilitas memadai untuk

menangani kegawatdaruratan obstetrik dan neonatal harus tersedia 24 jam.

3) Obat-obatan esensial, bahan, dan perlengkapan harus tersedia bagi seluruh

petugas terlatih.

2.1.4 Tanda-tanda Persalinan

Tanda dan gejala inpartu:

1) Timbul rasa sakit oleh adanya his yang datang lebih kuat, sering, dan teratur.
13

2) Keluar lendir bercampur darah (bloody show) yang lebih banyak karena

robekan kecil pada serviks. Sumbatan mukus yang berasal dari sekresi

servikal dari proliferasi kelenjar mukosa servikal pada awal kehamilan,

berperan sebagai barier protektif dan menutup servikal selama kehamilan.

Bloody show adalah pengeluaran dari mukus.

3) Kadang-kadang ketuban pecah dengan sendirinya. Pemecahan membran yang

normal terjadi pada kala I persalinan. Hal ini terjadi pada 12% wanita, dan

lebih dari 80% wanita akan memulai persalinan secara spontan dalam 24 jam.

4) Pada pemeriksaan dalam: serviks mendatar dan pembukaan telah ada. Berikut

ini adalah perbedaan penipisan dan dilatasi serviks antara nulipara dan

multipara.

a. Nulipara

Biasanya sebelum persalinan, serviks menipis sekitar 50-60% dan

pembukaan sampai 1 cm; dan dengan dimulainya persalinan, biasanya

ibu nulipara mengalami penipisan serviks 50-100%, kemudian terjadi

pembukaan.

b. Multipara

Pada multipara sering kali serviks tidak menipis pada awal persalinan,

tetapi hanya membuka 1-2 cm. Biasanya pada multipara serviks akan

membuka, kemudian diteruskan dengan penipisan.

5) Kontraksi uterus mengakibatkan perubahan pada serviks (frekuensi minimal 2

kali dalam 10 menit)


14

2.2 Konsep Nyeri

2.2.1 Pengertian Nyeri

Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan yang tidak menyenangkan,

bersifat sangat subjektif. Perasaan nyeri pada setiap orang berbeda dalam hal skala

ataupun tingkatannya, dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan atau

mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya (Tetty, 2015). Menurut The

International Association for the Study of Pain (2012) nyeri didefenisikan sebagai

perasaan sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan

dengan kerusakan jaringan atau potensial yang menyebabkan kerusakan jaringan.

Menurut Smeltzer & Bare (2002), definisi keperawatan tentang nyeri

adalah apapun yang menyakitkan tubuh yang dikatakan individu yang

mengalaminya, yang ada kapanpun individu mengatakannya.

Nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak

menyenangkan sebagai akibat dari kerusakan jaringan yang aktual dan potensial,

yang menyakitkan tubuh serta diungkapkan oleh individu yang mengalaminya.

Ketika suatu jaringan mengalami cedera, atau kerusakan mengakibatkan

dilepasnya bahan – bahan yang dapat menstimulus reseptor nyeri seperti

serotonin, histamin, ion kalium, bradikinin, prostaglandin, dan substansi P yang

akan mengakibatkan respon nyeri (Kozier et al., 2010). Kebanyakan sensasi nyeri

adalah akibat dari stimulasi fisik dan mental atau stimuli emosional (Potter &

Perry, 2006).
15

2.2.2 Teori Nyeri

2.2.2.1 Teori intensitas (The Intensity Theory)

Nyeri adalah hasil rangsangan yang berlebihan pada receptor. Setiap

rangsangan sensori punya potensi untuk menimbulkan nyeri jika intensitasnya

cukup kuat (Saifullah, 2015).

2.2.2.2 Teori kontrol gerbang (The Gate Control Theory)

Teori pola diperkenalkan oleh Goldscheider pada tahun 1989, teori ini

menjelaskan bahwa nyeri di sebabkan oleh berbagai reseptor sensori yang di

rangsang oleh pola tertentu, dimana nyeri ini merupakan akibat dari stimulasi

reseptor yang menghasilkan pola dari impuls saraf (Saifullah, 2015). Teori pola

adalah rangsangan nyeri masuk melalui akar ganglion dorsal medulla spinalis dan

rangsangan aktifitas sel T. Hal ini mengakibatkan suatu respon yang merangsang

bagian yang lebih tinggi yaitu korteks serebri dan menimbulkan persepsi, lalu otot

berkontraksi sehingga menimbulkan nyeri. Persepsi dipengaruhi oleh modalitas

respon dari reaksi sel T (Margono, 2014).

2.2.2.3 Teori pola (Pattern theory)

Teori pola diperkenalkan oleh Goldscheider (1989), teori ini menjelaskan

bahwa nyeri di sebabkan oleh berbagai reseptor sensori yang di rangsang oleh

pola tertentu, dimana nyeri ini merupakan akibat dari stimulasi reseptor yang

menghasilkan pola dari impuls saraf (Saifullah, 2015). Teori pola adalah

rangsangan nyeri masuk melalui akar ganglion dorsal medulla spinalis dan

rangsangan aktifitas sel T. Hal ini mengakibatkan suatu respon yang merangsang

bagian yang lebih tinggi yaitu korteks serebri dan menimbulkan persepsi, lalu otot
16

berkontraksi sehingga menimbulkan nyeri. Persepsi dipengaruhi oleh modalitas

respon dari reaksi sel T (Margono, 2014).

2.2.3 Klasifikasi Nyeri

Nyeri dapat diklasifikasikan berdasarkan durasi nyeri, lokasi, sifat, dan

berat ringannya nyeri.

2.2.3.1 Berdasarkan durasi nyeri

2.2.3.1.1 Nyeri akut

Nyeri akut adalah nyeri yang timbul secara mendadak dan berlangsung

dalam waktu singkat kurang dari 6 bulan (Black & Hawks, 2014). Nyeri akut

bersifat melindungi, penyebabnya dapat diidentifikasi,berdurasi pendek dan

memiliki sedikit kerusakan jaringan serta respon emosional (Potter & Perry,

2009). Nyeri akut biasanya disebabkan oleh trauma, bedah, atau inflamasi

(Prasetyo, 2010). Durasi nyeri akut berkaitan dengan faktor penyebab dan

umumnya dapat diperkirakan (Price & Wilson, 2006). Nyeri akut dapat diredakan

dan perlahan-lahan akan menghilang ketika kelainan yang mendasarinya

disembuhkan (Robinson & Saputra, 2016).

2.2.3.1.2 Nyeri kronis

Nyeri Kronis adalah nyeri yang berlangsung lebih lama dibandingkan

nyeri akut (Hariyanto & Sulistyowati, 2015). Nyeri kronis merupakan nyeri yang

timbul secara perlahan-lahan dan berlangsung dalam waktu yang cukup lama

yaitu lebih dari 6 bulan (Hidayat, 2009). Nyeri dapat berupa hal yang bersifat

kanker atau bukan. Contoh dari nyeri yang bersifat bukan kanker termasuk artritis,

nyeri punggung (low back pain), nyeri miofasial, sakit kepala dan neuropatik
17

perifer. Nyeri kronis yang bersifat bukan kanker biasanya tidak mengancam

hidup. Terkadang area yang terkena cedera telah sembuh bertahuntahun lalu,

namun nyeri yang dirasakan masih tetap berlanjut dan menunjukkan tidak adanya

respon terhadap pengobatan (Potter & Perry, 2009). Nyeri kronis berlangsung

lebih lama dari yang diharapkan,tidak selalu memiliki penyebab yang dapat

diidentifikasi, dan dapat memicu penderitaan yang teramat sangat bagi seseorang

(Potter & Perry, 2009). Berbeda dengan nyeri akut, nyeri kronis memiliki

neurofisiologis dan tujuan yang lebih kompleks dan sulit dipahami (Lemone,

2015). Pasien dengan nyeri kronis tidak atau kurang memperlihatkan

hiperaktivitas autonom tetapi memperlihatkan gejala irritabilitas, kehilangan

semangat, dan gangguan kemampuan berkonsentrasi.

Nyeri kronis ini sering mempengaruhi semua aspek kehidupan

penderitanya, menimbulkan distress, kegalauan emosi, dan mengganggu fungsi

fisik dan sosial (Price & Wilson, 2006). Pasien dengan nyeri kronis mungkin

menunjukkan suasana hati depresif dan memperlihatkan perilaku individu dengan

penyakit kronis. Seiring berjalannya waktu dan berlanjutnya manifestasi, kondisi

ini menjadi lebih kompleks dan faktor lain yang memengaruhi

manifestasi,perilaku,gejala klien dengan nyeri kronis (Black & Hawks, 2014).

Nyeri kronis dapat dibagi menjadi 3 kategori :

1. Nyeri kronis intermitten

Nyeri kronis intermitten (hilang- timbul) yaitu nyeri yang muncul pada

periode tertentu, di waktu yang lain, klien tidak merasakan nyeri. Contohnya
18

sakit kepala migrain dan nyeri abdomen intermitten yang dihubungkan

dengan gangguan sindrom iritasi bowel (Black & Hawks, 2014).

2. Nyeri maligna kronis

Nyeri maligna kronis disebabkan oleh berkembangnya penyakit yang

mengancam jiwa atau berhubungan dengan terapi. Nyeri kanker merupakan

jenis nyeri maligna kronis (Lemone, 2015).

3. Nyeri nonmaligna kronis

Nyeri nonmaligna kronis merupakan nyeri yang tidak mengancam jiwa dan

tidak terjadi melebihi waktu penyembuhan yang diharapkan. Nyeri punggung

bawah (low back pain),penyebab utama penderitaan dan merupakan penyita

waktu kerja masuk dalam kategori ini (Lemone, 2015).

2.2.3.2 Berdasarkan lokasi nyeri

2.2.3.2.1 Nyeri superficial

Ada dua macam bentuk nyeri superficial. Bentuk yang pertama adalah

nyeri dengan onset yang tiba-tiba dan mempunyai kualitas yang tajam dan bentuk

kedua adalah nyeri dengan onset yang lambat disertai rasa terbakar. Nyeri

superficial dapat dirasakan pada seluruh permukaan kulit klien. Trauma

gesekan,suhu yang terlalu panas dapat menjadi penyebab timbulnya nyeri

superficial ini (Prasetyo, 2010). Contohnya klien dengan luka sayatan dengan

mudah menunjukkan lokasi nyeri (Black & Hawks, 2014).

2.2.3.2.2 Nyeri somatik dalam

Nyeri somatik dalam mengacu kepada nyeri yang berasal dari otot, tendon,

ligamentum, tulang, sendi, dan arteri. Struktur-struktur ini memiliki lebih sedikit
19

reseptor nyeri sehingga lokalisasi nyeri sering tidak jelas. Nyeri dirasakan lebih

difus (menyebar) berbeda dengan nyeri superficial yang mudah untuk dilokalisir

(Price & Wilson, 2006).

2.2.3.2.3 Nyeri visceral

Nyeri visceral mengacu kepada nyeri yang berasal dari organ-organ tubuh.

Nosiseptor visera terletak didalam bagian organ dan celah bagian dalam.

Terbatasnya jumlah nosiseptor di area ini menghasilkan nyeri yang biasanya lebih

menyakitkan dan berlangsung lebih lama dari nyeri somatik. Nyeri visera sangat

sulit untuk dilokalisasi dan beberapa cedera pada jaringan visera mengakibatkan

terjadi nyeri yang menjalar,dimana sensasi nyeri berada dia area yang sebenarnya

tidak berkaitan dengan lokasi cedera (Black & Hawks, 2014). Contoh dari nyeri

visceral yaitu apendisitis akut, cholecytitis, penyakit kardiovaskuler, renal kolik

uretra dan lain-lain (Prasetyo, 2010).

2.2.3.2.4 Reffered pain

Reffered pain adalah nyeri dalam yang disebabkan karena penyakit

organ/struktur dalam tubuh yang ditransmisikan ke bagian tubuh di daerah yang

berbeda, bukan dari daerah asal nyeri. Misalnya, nyeri pada lengan kiri atau

rahang berkaitan dengan iskemia jantung atau serangan jantung (Smeltzer & Bare,

2002).

2.2.3.2.5 Central pain

Central pain adalah nyeri yang terjadi karena perangsangan pada sistem

saraf pusat, spinal cord, batang otak, talamus, dan lain-lain (Luckmann &

Sorensen’s, 1987).
20

2.2.3.3 Nyeri berdasarkan sifat

2.2.3.3.1 Incidental pain

Incidental pain adalah yaitu nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu

menghilang. Incidental ini terjadi pada pasien yang mengalami nyeri kanker

tulang (IASP, 2012).

2.2.3.3.2 Steady pain

Steady pain adalah nyeri yang timbul dan menetap serta dirasakan dalam

waktu yang lama. Pada distensi renal kapsul dan iskemik ginjal akut merupakan

salah satu jenis steady pain. Tingkatan nyeri yang konstan pada obstruksi dan

distensi (Gillenwater et al., 1996).

2.2.3.3.3 Proximal pain

Proximal pain adalah nyeri yang dirasakan berintensitas tinggi dan kuat

sekali. Nyeri tersebut biasanya menetap ±10-15 menit, lalu menghilang, kemudian

timbul lagi. Nyeri ini terjadi pada pasien yang mengalami Carpal Tunnel

Syndrome (Cherington, 1974).

2.2.4 Fisiologi nyeri

Organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsangan nyeri disebut

reseptor nyeri (Tamsuri, 2004). Reseptor nyeri atau sering disebut nosiceptif

adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang berespon hanya pada stimulus yang

kuat, yang secara potensial merusak (Smeltzer & Bare, 2002).

Reseptor pada bagian kutaneus terbagi dalam dua komponen, yaitu:

serabut A delta dan serabut C. Serabut A delta merupakan serabut komponen

cepat yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam, yang akan cepat hilang.
21

Sementara serabut C merupakan serabut komponen lambat yang terdapat pada

daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya tumpul dan sulit dilokalisasi (Tamsuri,

2004).

Fisiologi nyeri melalui proses-proses berikut:

2.2.4.1 Proses transduksi

Proses transduksi merupakan proses dimana suatu stimuli nyeri diubah

menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf. Stimuli ini

dapat berupa stimuli fisik (tekanan), suhu (panas) atau kimia (substansi nyeri)

(Luckmann & Sorensen’s, 1987).

2.2.4.2 Proses transmisi

Proses transisi dimaksudkan sebagai penyaluran impuls melalui saraf

sensoris menyusul proses transduksi. Impuls ini akan disalurkan oleh serabut saraf

A delta dan serabut C sebagai neuron pertama, dari perifer ke medulla spinalis

dimana impuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh

traktus sphinotalamikus sebagai neuron kedua. Dari thalamus selanjutnya impuls

disalurkan ke daerah somato sensoris di korteks serebri melalui neuron ketiga,

dimana impuls tersebut diterjemahkan dan dirasakan sebagai persepsi nyeri

(Luckmann & Sorensen’s, 1987).

2.2.4.3 Proses modulasi

Proses modulasi adalah proses dimana terjadi interaksi antara sistem

analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh pada saat nyeri masuk ke kornu

posterior medula spinalis. Proses acenden ini di kontrol oleh otak. Sistem

analgesik endogen ini meliputi enkefalin, endorfin, serotonin, dan noradrenalin


22

memiliki efek yang dapat menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla

spinalis. Kornu posterior ini dapat diibaratkan sebagai pintu yang dapat tertutup

atau terbukanya pintu nyeri tersebut diperankan oleh sistem analgesik endogen

tersebut di atas. Proses modulasi inilah yang menyebabkan persepsi nyeri menjadi

sangat subyektif pada setiap orang (Luckmann & Sorensen’s, 1987).

2.2.4.4 Persepsi

Persepsi merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri. Pada saat

individu menjadi sadar akan nyeri, maka akan terjadi reaksi yang kompleks

(Potter & Perry, 2006).

2.2.5 Pengkajian nyeri

Adapun yang ditanyakan dalam mengkaji pasien nyeri yaitu

(BCGuidelines.ca, 2011):

1. Onset: Kapan nyeri muncul?, Berapa lama nyeri?, Berapa sering nyeri

muncul?

2. Proviking: Apa yang menyebabkan nyeri?, Apa yang membuatnya

berkurang?, Apa yang membuat nyeri bertambah parah?

3. Quality: Bagaimana rasa nyeri yang dirasakan?, Bisakan di gambarkan?

4. Region: Dimanakah lokasinya?, Apakah menyebar?

5. Severity: Berapa skala nyerinya? (dari 0-10)

6. Treatment: Pengobatan atau terapi apa yang digunakan?

7. Understanding: Apa yang anda percayai tentang penyebab nyeri ini?,

Bagaimana nyeri ini mempengaruhi anda atau keluarga anda?

8. Values: Apa pencapaian anda untuk nyeri ini?


23

2.2.6 Pengukuran intensitas nyeri

2.2.6.1 Skala Deskriptif Verbal (VDS)

Skala deskriptif verbal (VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari

tiga sampai lima kata pendeskripsian yang tersusun dengan jarak yang sama di

sepanjang garis. Pendeskripsian ini dirangking dari “tidak nyeri” sampai “nyeri

tidak tertahankan”. Perawat menunjukan klien skala tersebut dan meminta klien

untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan (Potter & Perry, 2006).

Deskriptif

Tidak Nyeri Nyeri Nyeri Nyeri tidak


Nyeri Ringan Sedang Berat Tertahankan

Gambar 2.1 Skala Deskriptif Verbal (Potter & Perry, 2006)

2.2.6.2 Skala Penilaian Numerik (NRS)

Numerical Pain Rating Scale (NPRS) digunakan untuk mengukur

intensitas nyeri. Skala terdiri dari 11 poin yang mana 0 menunjukkan “tidak ada

nyeri” dan 10 menunjukkan “nyeri sangat berat”, penilaian dari 1-4 disamakan

dengan nyeri ringan, 5-6 untuk nyeri sedang, dan 7-10 untuk nyeri berat

(McCafferey & Beebe,1993 dalam Phonna, 2015).

Gambar 2.2 Skala Nyeri Numerik (McCafferey & Beebe, 1993 dalam Phonna,

2015)
24

2.2.6.3 Skala Analog Visual (VAS)

VAS adalah suatu garis lurus yang mewakili intensitas nyeri yang terus

menerus dan memiliki alat pendeskripsi verbal pada ujungnya. Skala ini memberi

klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri (Potter & Perry,

2006).

Gambar 2.3 Visual Analog Scale (Potter & Perry, 2006)

2.2.6.4 Skala Nyeri Wajah

Skala wajah terdiri atas enam wajah dengan profil kartun yang

menggambarkan wajah yang sedang tersenyum (tidak merasa nyeri), kemudian

secara bertahap meningkat menjadi wajah kurang bahagia, wajah yang sangat

sedih sampai wajah yang sangat ketakutan (nyeri yang sangat) (Potter & Perry,

2006).

Gambar 2.4 Skala Nyeri Wajah (Potter & Perry, 2006)

2.2.7 Penanganan Nyeri

Untuk mengatasi nyeri beberapa penanganan nyeri yang dapat dilakukan

adalah dengan farmakologis maupun non farmakologis.


25

2.2.7.1 Farmakologis

Penatalaksanaan farmakologis merupakan penanganan nyeri dengan

menggunakan agen farmakologis. Analgesik merupakan metode penanganan nyeri

yang paling umum dan efektif. Analgesik adalah medikasi yang dikembangkan

untuk meredakan nyeri. World Health Organization (WHO) merekomendasikan

petunjuk untuk penanganan nyeri dalam bentuk tangga analgesik yang membantu

perawatan klien dengan nyeri (Black & Hawks, 2014). Penggunaan analgesik

ditentukan oleh tingkat keparahan dari nyeri yang dirasakan. Untuk nyeri ringan

maka disarankan penggunaan non-opiod (Prasetyo, 2010). Non-opiod mencakup

asetaminofen dan obat anti-inflamasi nonsteroid (nonsteroid anti-inflammatory

drugs/NSAID) disarankan sebagai langkah utama. Jika nyeri berlanjut dilakukan

penggunaan opiod. Opiod (disebut juga narkotik) merupakan turunan tumbuhan

opium. Obat ini merupakan turunan tumbuhan opium. Obat ini pereda nyeri yang

paling kuat yang tersedia dan terapi pilihan untuk nyeri sedang hingga berat

(Lemone, 2015). Langkah kedua disarankan penggunaan opiod ringan (seperti

kodein) ditambah analgesik non-opiod. Apabila nyeri masih menetap atau

meningkat, langkah ketiga menyarankan penggunaan opiod kuat (seperti morfin)

dengan atau tanpa non-opiod. Medikasi adjuvan (pembantu) dapat ditambahkan

dibagian langkah manapun pada tahap (Black & Hawks, 2014).

2.2.7.2 Non Farmakologis

Penanganan non farmakologis digunakan untuk meredakan nyeri terutama

ketika dikombinasikan dengan obat-obat farmakologi. Penanganan non

farmakologis mencakup terapi modalitas fisik dan perilaku kognitif. Terapi


26

modalitas fisik memberikan kenyamanan, meningkatkan mobilitas dan membantu

respon fisiologis. Terapi perilaku kognitif bertujuan untuk mengubah persepsi dan

perilaku klien terhadap nyeri,menurunkan ketakutan dan memberikan klien

kontrol diri yang lebih (Black & Hawks, 2014).

2.2.7.2.1 Stimulasi kutaneus

Stimulasi kutaneus adalah stimulasi pada kulit membantu untuk

mengurangi nyeri. Masase/pijatan, mandi dengan air hangat, kantong es dan

stimulasi elektrik pada saraf transkuteneus menstimulasi kulit untuk mengurangi

persepsi nyeri. Stimulasi kutaneus memberikan klien dan keluarga rasa kontrol

terhadap nyeri dan pengobatan dirumah. Penggunaan yang tepat dari stimulasi

kutaneus membantu mengurangi ketegangan otot yang meningkatkan nyeri (Potter

& Perry, 2009).

2.2.7.2.2 Distraksi

Distraksi adalah suatu tindakan pengalihan perhatian pasien ke hal-hal lain

diluar nyeri,yang diharapkan dapat menurunkan kewaspadaan pasien terhadap

nyeri bahkan meningkatkan toleransi terhadap nyeri (Prasetyo, 2010). Contoh

distraksi adalah mendengarkan musik dan menonton TV, melihat pemandangan.

Misalnya, pasien yang menggunakan rekaman musik untuk distraksi dapat

dinyanyikan disertai lagu,ketukkan irama dengan jari atau kaki,nyalakan musik

(Lemone, 2015).

Beberapa sumber-sumber penelitian terkait tentang teknik distraksi yang

ditemukan peneliti sejauh ini efektif diterapkan pada pasien anak-anak terutama

usia prasekolah sebagaimana dalam penelitian Panggabean pada tahun (2014),


27

menurut Panggabean salah satu teknik distraksi adalah dengan bercerita, dimana

teknik distraksi bercerita merupakan salah satu strategi non farmakologi yang

dapat menurunkan nyeri. Hal ini terbukti pada penelitiannya dimana teknik

distraksi dengan bercerita efektif dalam menurunkan nyeri anak usia prasekolah

pada pemasangan infus yakni dari nyeri skala 3 ke nyeri skala 2. Sarfika, Yanti,

Winda (2015), menambahkan salah satu teknik distraksi yang dapat dilakukan

dalam penatalaksanaan nyeri lainnya adalah dengan menonton film cartun

animasi, dimana ini terbukti dalam penelitiannya bahwa dengan diberikan

distraksi berupa menonton film kartun animasi efektif dalam menurunkan nyeri

anak usia prasekolah saat pemasangan infus.

2.2.7.2.3 Relaksasi

Relaksasi adalah suatu tindakan membebaskan mental dan fisik dari

ketegangan dan stres, sehingga dapat meningkatkan toleransi terhadap nyeri

(Prasetyo, 2010), mengurangi efek stres terhadap nyeri, dan meningkatkan

persepsi pengendalian nyeri. Contoh tindakan relaksasi yang dapat dilakukan

untuk menurunkan nyeri adalah napas dalam dan relaksasi progresif. Teknik napas

dalam efektif dilakukan ketika klien berbaring atau duduk dengan nyaman,tetap

berada di lingkungan yang tenang. Klien memejamkan mata kemudian menarik

nafas dalam dengan pelan,menahan beberapa detik dan menghembuskan secara

perlahan (Lemone, 2015). Relaksasi progresif mengajarkan klien untuk secara

bertahap mengencangkan kemudian merelaksasi beberapa kelompok otot, dimulai

secara sistemik dari satu area tubuh ke area berikutnya (Black & Hawks, 2014).

Klien diajarkan merapatkan satu kelompok otot (seperti otot wajah), menahan
28

tegangan selama beberapa detik dan merelaksasikan kelompok otot secara

lengkap, mengulangi aktivitas tersebut ke seluruh tubuh (Lemone, 2015).

2.2.7.2.4 Terapi kognitif

Apa yang dipikirkan seseorang tentang nyeri yang dialami memberikan

pengaruh terhadap kehidupannya dan terhadap seberapa besar nyeri yang dia

rasakan. Pikiran yang negatif tentang nyeri akan memfokuskan perhatian

seseorang terhadap aspek yang tidak menyenangkan dan membuat nyeri yang

dirasakan bertambah buruk (DiMetteo, 1991 dalam Pasaribu, 2016). Keyakinan

klien terhadap efektivitas intervensi yang didapat memengaruhi derajat turun atau

redanya nyeri yang dirasakan. Kepercayaan diri yang ditampilkan mengenai

potensi efektifitas dari intervensi yang diberikan akan memberikan efek yang

signifikan pada kemampuan klien untuk mendapatkan hasil positif dari proses

atau menurunkan nyeri (Black & Hawks, 2014). Pemberian intervensi terapi

kognitif ini adalah meningkatkan cara berfikir klien dengan mengarahkan klien

untuk memahami masalah yang dihadapinya. Klien diyakinkan bahwa ia memiliki

kemampuan untuk berperilaku normal Tailor (1995 dalam Pasaribu, 2016).Tehnik

kognitif ini salah satunya dengan meningkatkan self efficacy (Brannon & Jeist,

2007 dalam Pasaribu, 2016).

2.2.7.3 Pembedahan

Pembedahan ini dilakukan hanya ketika pengobatan yang sebelumnya

tidak dapat atau tidak berhasil untuk menangani nyeri (Robinson & Saputra,

2016). Intervensi pembedahan adalah tindakan yang biasa dilakukan bagi pasien

yang mengalami nyeri saraf, misalnya; sindrom nyeri regional kompleks, nyeri
29

terkait cedera saraf spinal, atau cedera medula spinalis. Klien membutuhkan

pengetahuan yang utuh terkait implikasi dilakukannya pembedahan terhadap

peredaan nyeri. Misalnya kehilangan fungsi motorik merupakan efek samping

yang tidak diinginkan dari tindakan pembedahan (Lemone, 2015).

2.3 Terapi Musik Klasik

2.3.1 Pengertian

Terapi musik terdiri dari dua kata, yaitu “terapi” dan “musik”. Kata

“terapi” berkaitan dengan serangkaian upaya yang dirancang untuk membantu

atau menolong orang. Biasanya kata tersebut digunakan dalam konteks masalah

fisik atau mental. Dalam kehidupan sehari-hari, terapi terjadi dalam berbagai

bentuk. Misalnya, para psikolog akan mendengar dan berbicara dengan klien

melalui tahapan konseling yang kadang-kadang perlu disertai terapi, ahli nutrisi

akan mengajarkan tentang asupan nutrisi yang tepat, ahli fisioterapi akan

memberikan berbagai latihan fisik untuk mengembalikan fungsi otot tertentu

(Djohan, 2006).

Kata “musik” dalam “terapi musik” digunakan untuk menjelaskan media

yang digunakan secara khusus dalam rangkaian terapi (Djohan, 2006). Musik

merupakan sebuah rangsangan pendengaran yang terorganisasi, yang terdiri atas

melodi, ritme, harmoni, timbre, bentuk dan gaya (Aizid, 2011). Terapi musik

adalah terapi yang bersifat non verbal. Dengan bantuan musik, pikiran-

pikiran seseorang dibiarkan mengembara, baik untuk mengenang hal-hal yang

menyenangkan, mengangankan hal-hal yang diimpikan dan dicita-citakan, atau


30

langsung mencoba menguraikan permasalahan yang sedang dihadapi (Djohan,

2006). Ketika musik diaplikasikan menjadi sebuah terapi, maka ia dapat

meningkatkan, memulihkan, serta memelihara kesehatan fisik, mental, emosional,

sosial dan spiritual setiap individu (Aizid, 2011).

2.3.2 Cara Kerja Musik

Terapi musik dapat mengatasi stres pada bayi dan anak-anak setelah

diputarkan musik yang menenangkan dan lembut pada mereka, setidaknya selama

20-30 menit, tetapi lebih lama lebih baik (Aizid, 2011).

Beberapa cara kerja musik sehingga dapat mempengaruhi kondisi tubuh,

antara lain :

1. Menurunkan hormon-hormon yang berhubungan dengan stres;

2. Mengalihkan perhatian seseorang dari rasa takut, cemas, tegang dan masalah

sehari-hari lainnya;

3. Mengaktifkan hormon endorfin (semacam protein yang dihasilkan di dalam

otak dan berfungsi untuk menghilangkan rasa sakit);

4. Meningkatkan perasaan rileks;

5. Menyediakan “liburan mental mini” yang bahkan dapat membawa pikiran

seseorang menjauh dari rasa sakit fisik selama periode waktu tertentu;

6. Secara fisiologis memperbaiki sistem kimia tubuh, sehingga mampu

menurunkan tekanan darah serta memperlambat pernafasan, detak jantung,

denyut nadi, dan aktivitas gelombang otak (Aizid, 2011).

Menurut Turana dalam Aizid (2011) semua jenis musik sebenarnya dapat

digunakan sebagai terapi, seperti lagu-lagu relaksasi, lagu populer, maupun musik
31

klasik. Akan tetapi, yang paling dianjurkan menurutnya adalah musik atau lagu

dengan tempo sekitar 60 ketukan per menit yang bersifat rileks seperti musik

klasik. Sebab, apabila temponya terlalu cepat, maka secara tidak sadar, stimulus

yang masuk akan membuat seseorang mengikuti irama tersebut, sehingga keadaan

istirahat yang optimal tidak tercapai. Di antara musik-musik klasik tersebut yang

sering kali menjadi acuan untuk terapi musik adalah musik klasik Mozart.

2.3.3 Tata Cara Pemberian Terapi Musik

Belum ada rekomendasi mengenai durasi yang optimal dalam pemberian

terapi musik. Seringkali durasi yang diberikan dalam pemberian terapi musik

adalah selama 20-35 menit, tetapi untuk masalah kesehatan yang lebih spesifik

terapi musik diberikan dengan durasi 30 sampai 45 menit. Ketika mendengarkan

terapi musik klien berbaring dengan posisi yang nyaman, sedangkan tempo harus

sedikit lebih lambat, 50-70 ketukan/menit, menggunakan irama yang tenang

(Mahanani, 2013).

2.3.4 Musik Klasik Mozart

Musik klasik Mozart merupakan musik klasik hasil karya seorang

komponis Wolfgang Amadeus Mozart (bahasa Jerman) yang bernama asli

Johannes Chrysostomus Wolfgangus Gottlieb Mozart. Wolfgang Amadeus

Mozart dianggap sebagai salah satu dari komponis musik klasik Eropa yang

terpenting dan paling terkenal dalam sejarah (Latifah, 2006).

Selain menciptakan musik klasik yang sejalan dieranya, Mozart juga

merupakan komponis serba bisa dan menciptakan musik hampir di setiap genre

yang ada pada saat itu, termasuk simfoni, opera, konser solo, piano sonata, dan
32

musik paduan suara. Mozart turut mengembangkan dan mempopulerkan konser

piano yang saat itu masih tergolong baru. Mozart juga ikut menciptakan beberapa

musik religius, dansa, serenade, dan berbagai bentuk musik ringan yang

menghibur (Tanjung, 2014).

Ciri khas dari musik yang diciptakan Mozart dapat ditemukan pada setiap

karyanya. Kejernihan, keseimbangan, dan transparansi merupakan nuansa yang

selalu diangkat oleh Mozart, meskipun kadang hanya menggunakan nada-nada

yang sederhana. Saat mendengar lagu Mozart, pendengar bisa merasakan

kejeniusan bermusik lewat setiap nada yang dipilih. Mozart menyampaikan

emosiyang kuat dengan musik bernuansa kontras antara semangat dan ketenangan

(Tanjung, 2014).

Banyak komponis yang begitu mengapresiasi musik karya Mozart.

Gioacinno Rossini, komponis musik klasik dari Italia, menegaskan bahwa Mozart

merupakan satu-satunya musisi yang memiliki banyak ilmu lewat kejeniusannya.

Musisi klasik lainnya seperti Ludwig van Beethoven juga menyatakan

kekagumannya kepada Mozart. Beethoven sering menggunakan Mozart sebagai

panutan dalam musiknya (Tanjung, 2014).

Di era musik klasik, tidak hanya Beethoven, seluruh musisi klasik yang

terkenal menaruh hormat atas karya yang diciptakan Mozart. Karya-karyanya

(sekitar 700 lagu) secara luas diakui sebagai puncak karya musik simfoni, musik

kamar, musik piano, musik opera, dan musik paduan suara. Banyak dari karya

Mozart dianggap sebagai standar konser klasik dan diakui sebagai mahakarya

musik zaman klasik (Rauscher, et al, 1993).


33

2.4 Kerangka Teoritis

Ibu persalinan Peningkatan Masuk


normal (Kala I Kontraksi Peningkatan Musik ketelinga
Fase Aktif) uterus Nyeri klasik (saraf
pendengaran)

Menghasilkan suatu
perasaan & Mempengaruhi Sistem saraf otonom Otak merespon
kinerja seluruh (kontrol perasaan & dan terstimulasi
mengembangkan
organ tubuh emosi)
imajinasi

Membuat tubuh
Mengalihkan perhatian pada musik rileks secara fisik
dan mental

Skema 2.1 Kerangka teoritis (Aizid, 2010; Rohani, dkk, 2011; Mahanani, 2013,

McCafferey & Beebe,1993 dalam Phonna, 2015)

2.5 Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah bagian penelitian yang menyajikan konsep atau

teori dalam bentuk kerangka konsep. Pembuatan mengacu pada masalah-masalah

yang diteliti dan dibuat dalam bentuk diagram (Hidayat, 2007). Jadi kerangka

konsep adalah suatu hubungan atau kaitan antara konsep-konsep atau variabel-

variabel yang akan diamati atau diukur melalui penelitian yang akan

dilaksanakan. Kerangka konsep pada penelitian ini adalah:

Variabel Indepnden Variabel Dependen

pemberian musik klasik Mengurangi Nyeri Persalinan Normal


34

Skema 2.2 Kerangka konsep penelitian

2.6 Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban atau dalil sementara yang kebenarannya

akan dibuktikan melalui hasil penelitian. Hipotesis ditarik dari serangkaian fakta

yang muncul sehubungan dengan masalah yang diteliti (Sastroasmoro & Ismael,

2011). Hipotesis pada penelitian ini adalah:

1. Hipotesis alternatif

Diduga ada perbedaan efektifitas musik klasik untuk mengurangi nyeri pada

ibu bersalin normal di RS Syafira..

2. Hipotesis nol (H0)

Diduga tidak ada perbedaan efektifitas musik klasik untuk mengurangi nyeri

pada ibu bersalin normal di RS Syafira.

Anda mungkin juga menyukai