Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Remaja

2.1.1 Pengertian

Remaja atau adolescence adalah periode perkembangan selama di mana

individu mengalami perubahan dari masa kanak–kanak menuju masa dewasa,

biasanya antara usia 13–20 tahun. Menurut WHO (2012) dan Pinem (2009)

remaja adalah seseorang yang berusia 10–19 tahun, sedangkan menurut

Soetjiingsih (2004) remaja berusia 11–20 tahun yang dibagi menjadi 3 tahap

remaja awal (11–13 tahun), remaja tengah (14–16 tahun), dan remaja akhir (17 -

20 tahun). Istilah adolescence biasanya menunjukkan maturasi psikologis

individu, ketika pubertas menunjukkan titik dimana reproduksi mungkin dapat

terjadi. Perubahan hormonal pubertas mengakibatkan perubahan penampilan pada

orang muda, dan perkembangan mental mengakibatkan kemampuan untuk

menghipotesis berhadapan dengan abstraksi (Potter & Perry, 2005).

2.1.2 Tahapan Remaja

Menurut Santrock (2003) masa remaja dibagi menjadi beberapa tahap

yaitu:

1. Remaja awal (early adolescent) pada usia 11-14 tahun. Remaja awal biasanya

berada pada tingkat SMP, perubahan yang terjadi pada masa ini sangat cepat,

baik pertumbuhan fisik dan kapasitas intelektual. Pada masa ini tugas

perkembangannya lebih dipengaruhi oleh perubahan fisik dan mental yang

10
11

cepat, yaitu adaptasi dan penerimaan keadaan tubuh yang berubah.

2. Remaja pertengahan (middle adolescent) pada usia 15-18 tahun, biasanya

duduk di bangku SMU. Pada masa ini remaja secara fisik menjadi percaya

diri dan mendapatkan kebebasan secara psikologi dari orang tua, memperluas

pergaulan dengan teman sebaya dan mulai mengembangkan persahabatan dan

keterkaitan dengan lawan jenis.

3. Remaja akhir (late adolescent) pada usia 18-22 tahun. Umumnya terjadi pada

akhir SMU dan universitas sampai individu mencapai kematangan fisik,

emosi dan kesadaran akan keadaan sosialnya, memiliki identitas personal

dalam relasinya dengan orang lain, mengetahui peran sosial, sistem nilai, dan

tujuan dalam hidupnya.

2.1.3 Remaja Putri

Remaja merupakan periode yang penting pada pertumbuhan dan

kematangan manusia. Pada periode ini banyak terjadi perubahan unik, serta

banyak pula pemantapan pola-pola dewasa. Dekatnya masa remaja dengan

kematangan biologi dan orang dewasa memberikan peluang untuk melaksanakan

kegiatan tertentu yang dirancang untuk mencegah munculnya rnasalah-masalah

kesehatan pada masa dewasa nanti.

Remaja putri adalah individu yang memilki rentang usia 12 tahun sampai

dengan 21 tahun yang memiliki minat-minat pribadi dimana salah satunya adalah

minat pada penampilan dirinya sendiri khusuanya remaja berusia 16 tahun samapi

19 tahun (Riyadi, 2001). Menurut (Hall, 1991) masa remaja merupakan masa

dimana dianggap sebagai masa topan badai dan stress (Storm and Stress). Karena
12

mereka mereka telah memiliki keinginan bebas untuk menentukan nasib sendiri,

kalau terarah dengan baik maka ia akan menjadi seorang individu yang memiliki

rasa tanggung jawab, tetapi kalau tidak terbimbing maka bisa menjadi seorang

yang tak memiliki masa depan dengan baik.

Menurut (Gunarsa & Gunarsa, 1991) istilah asing yang sering digunakan

untuk menunjukkan masa remaja antara lain :

1. Puberty (bahasa Inggris) berasal dari istilah latin pubertas yang berarti kelaki-

lakian, kedewasaan yang dilandasi oleh sifat dan tanda kelaki-lakian.

Pubescence dari kata pubis (pubic hair) yang berarti rambut (bulu) pada

daerah kemaluan (genetal) maka pubescence berarti perubahan yang

dibarengi dengan tumbuhnya rambut pada daerah kemaluan.

2. Adolescentia berasal dari istilah latin adolescentia yang berarti masa muda

yang terjadi antara 17– 30 tahun yang merupakan masa transisi atau peralihan

dari masa kanak-kanak menunju masa dewasa yang ditandai dengan adanya

perubahan aspek fisik, psikis dan psikososial. Proses perkembangan psikis

remaja dimulai antara 12– 22 tahun. Menurut Santrock (1998) mendefinisikan

pubertas sebagai masa pertumbuhan tulang-tulang dan kematangan seksual

yang terjadi pada masa awal remaja. Menurut Hall (1998) usia remaja antara

12 sampai usia 23 tahun. Masa remaja adalah masa yang akan melalui krisis

dimana remaja berusaha untuk mencari identitas diri (Dariyo, 2004).


13

2.1.4 Ciri Perkembangan Remaja Putri

Ciri-ciri perkembangan remaja putri menurut Hurlock (2001), antara lain :

1. Perubahan Tubuh Pada Masa Puber

a. Perubahan Ukuran Tubuh

Perubahan fisik utama pada masa puber adalah perubahan ukuran tubuh

dalam tinggi dan berat badan. Di antara anak-anak perempuan, rata-rata

peningkatan per tahun dalam tahun sebelum haid adalah 3 inci, tetapi

peningkatan itu bisa juga terjadi dari 5 sampai 6 inci. Dua tahun sebelum

haid peningkatan rata-rata adalah 2,5 inci. Jadi peningkatan keseluruhan

selama dua tahun sebelum haid adalah 5,5 inci. Setelah haid, tingkat

pertumbuhan menurun sampai kira-kira 1 inci setahun dan berhenti

sekitar delapan belas tahun. Tinggi badan rata–rata laki–laki dan

perempuan umur 12 tahun adalah sekitar 59 atau 60 inci, sedangkan

tinggi rata–rata remaja perempuan hanya 64 inci. Penambahan berat

badan dalam 1 tahun yakni rata-rata sekitar 13 kg bagi anak laki–laki dan

10 kg bagi perempuan (Papalia & Olds, 2001).

b. Perubahan Proporsi Tubuh

Perubahan fisik pokok yang kedua adalah perubahan proporsi tubuh.

Daerah-daerah tubuh tertentu yang tadinya terlampau kecil, sekarang

menjadi terlampau besar karena kematangan tercapai lebih cepat dari

daerah-daerah tubuh yang lain. Badan yang kurus dan panjang mulai

melebar di bagian pinggul dan bahu, dan ukuran pinggang tampak tinggi

karena kaki menjadi lebih panjang dari badan.


14

2. Akibat Perubahan Remaja Putri Pada Masa Puber

a. Akibat terhadap keadaan fisik

Pertumbuhan yang pesat dan perubahan-perubahan tubuh cenderung

disertai kelelahan, kelesuan dan gejala-gejala buruk lainnya. Sering

terjadi gangguan pencernaan dan nafsu makan kurang baik. Anak

prapuber sering terganggu oleh perubahan- perubahan kelenjar, besarnya,

dan posisi organ-organ internal. Perubahan-perubahan ini mengganggu

fungsi pencernaan yang normal. Anemia sering terjadi pada masa ini,

bukan karena adanya perubahan dalam kimiawi darah tetapi kebiasaan

makan yang tidak menentu yang semakin menambah kelelahandan

kelesuan.

b. Akibat pada sikap dan perilaku

Dapat dimengerti bahwa akibat yang luas dari masa puber pada keadaan

fisik anak juga mempengaruhi sikap dan perilaku. Pada umumnya

pengaruh masa puber lebih banyak pada anak perempuan daripada anak

laki-laki, sebagian disebabkan karena anak perempuan biasanya lebih

cepat matang daripada anak lakilaki dan sebagian karena banyak

hambatan-hambatan sosial mulai ditekankan pada perilaku anak

perempuan justru pada saat anak perempuan mencoba untuk

membebaskan diri dari berbagai pembatasan. Karena mencapai masa

puber lebih dulu, anak perempuan lebih cepat menunjukkan tanda-tanda

perilaku yang menganggu daripada anak laki-laki. Tetapi perilaku anak

perempuan lebih cepat stabil daripada anak laki-laki, dan anak


15

perempuan mulai berperilaku seperti sebelum masa puber.

2.2 Konsep Menstruasi

2.2.1 Pengertian

Menstruasi adalah perdarahan periodik dari uterus yang dimulai sekitar 14

hari setelah ovulasi secara berkala akibat meluruhnya lapisan endometrium

uterus (Felicia, Esther, & Rina, 2015). Siklus menstruasi adalah menstruasi yang

terjadi secara berulang setiap bulannya. Siklus menstruasi penting sebagai fungsi

reproduktif yang menjalankan persiapan untuk konsepsi dan kehamilan. Pola

siklus menstruasi yang normal jika berada dikisaran 21-35 hari, tidak normal jika

kurang dari 21 hari atau lebih dari 35 hari (Ganesh et al, 2015).

2.2.2 Siklus Menstruasi

Proses menstruasi melibatkan dua siklus yaitu siklus di endometrium dan

siklus di ovarium yang terjadi bersamaan. Siklus di endometrium terdiri atas 3

fase yaitu fase proliferatif, fase sekretorik, fase menstruasi.

Siklus di ovarium terdiri dari fase folikel, fase ovulasi, fase luteal.

1. Siklus Endometrium

a. Fase proliferatif

Pada fase proliferasi peran hormon estrogen sangat menonjol. Estrogen

memacu terbentuknya komponen jaringan, ion, air dan asam amino yang

membantu stroma endometrium yang kolaps saat menstruasi mengembang

kembali. Pada awal fase ini, tebal endometrium hanya sekitar 0.5 mm kemudiaan

tumbuh menjadi sekitar 3,5-5 mm. Fase proliferatif mempunyai durasi yang
16

cukup lebar. Pada perempuan normal yang subur, durasinya berkisar antara 5-7

hari, atau cukup lama sekitar 21-30 hari (Samsulhadi, 2011).

b. Fase sekretorik

Setelah terjadi ovulasi, folikel de graaf berubah menjadi korpus rubrum

lalu menjadi korpus luteum yang akan mengeluarkan hormon estrogen dan

progesteron, kedua hormon ini mengubah fase proliferatif menjadi fase sekretorik

(Manuaba, 2007). Pada fase ini kelenjar endometrium aktif mengeluarkan

glikogen untuk menopang kehidupan mudigah. Jika pembuahan dan implantasi

tidak terjadi maka korpus luteum berdegenerasi, dan terjadi penurunan hormon

progesteron dan estrogen sehingga fase folikular dan fase haid baru dimulai

kembali (Sherwood, 2011). Pada akhir fase, ketebalan endometrium sudah

mencapai 5-6 mm (Guyton, 2014).

c. Fase menstruasi

Fase menstruasi tejadi bersamaan dengan pengakhiran fase luteal ovarium

dan dimulainya fase folikular. Sewaktu korpus luteum berdegenerasi karena tidak

tejadi fertilisasi dan implantasi ovum yang dibebaskan selama siklus sebelumnya,

kadar progesteron dan estrogen menurun tajam sehingga menyebabkan dinding

endometrium meluruh (Sherwood, 2011). Selama menstruasi normal, kira-kira 40

ml darah dan tambahan 35 ml cairan serosa dikeluarkan. Cairan menstruasi ini

normalnya tidak membentuk bekuan, karena fibrinolisin dilepaskan bersama

dengan bahan nekrotik endometrium. Bila terjadi perdarahan yang berlebihan dari

permukaan uterus, jumlah fibrinolisin mungkin tidak cukup untuk mencegah

pembekuan. Adanya bekuan darah selama menstruasi sering merupakan bukti


17

klinis adanya kelainan patologi dari uterus. Dalam waktu 4 sampai 7 hari sesudah

dimulainya menstruasi, pengeluaran darah akan berhenti, karena pada saat ini

endometrium sudah mengalami epitelisasi kembali (Guyton, 2014).

Gambar 1. Siklus Menstruasi

Sumber: Berek dan Novak’s Gynaecology 14ed, 2007 dalam (Harahap, 2010)

2. Siklus Ovarium

a. Fase folikel

Dua sampai tiga hari sebelum menstruasi, korpus luteum mengalami

regresi sampai hampir berinvolusi total dan sekresi estrogen, progesteron, serta
18

inhibin dari korpus luteum berkurang menjadi sangat rendah. Hal ini melepaskan

hipotalamus dan hipofisis anterior dari efek umpan balik negatif hormon-hormon

tersebut.

Satu hari kemudian menstruasi dimulai, sekresi follicle stimulating

hormon (FSH) dan luteinizing hormon (LH) oleh hipofisis mulai meningkat

kembali, sebanyak dua kali lipat dan diikuti oleh peningkatan sedikit LH yang

merangsang pertumbuhan folikel. Selama 11-12 hari pertama pertumbuhan

folikel, kecepatan sekresi FSH dan LH akan berkurang sedikit akibat efek umpan

balik negatif terutama dari estrogen pada kelenjar hipofisis anterior sehingga

hanya satu folikel dominan yang tetap tumbuh (Guyton, 2014).

b. Fase ovulasi

Pada fase ini tejadi peningkatan estrogen yang tinggi yang dihasilkan

folikel pre ovulasi yang mengakibatkan efek perangsangan umpan balik positif

pada hipofisis anterior yang menyebabkan terjadinya lonjakan sekresi LH

sehingga terjadi ovulasi. Ovulasi diperkirakan terjadi 24-36 jam pasca puncak

kadar estrogen dan 10-12 jam pasca puncak LH (Guyton, 2014).

c. Fase luteal

Selama tiga hari pasca ovulasi, sel granulosa terus membesar

membentuk korpus luteum. Korpus luteum mampu menghasilkan progesteron,

estrogen maupun androgen. Kadar progesteron meningkat tajam segera

pascaovulasi. Kadar progesteron dan estradiol mencapai puncaknya sekitar 8 hari

pasca lonjakan LH, kemudian turun perlahan jika pembuahan tidak terjadi.

Pada siklus menstruasi yang normal, korpus luteum akan mengalami regresi 9-
19

11 hari pasca ovulasi, dengan mekanisme yang belum diketahui (Samsulhadi,

2011).

2.2.3 Gangguan Siklus Menstruasi

Menurut Sari dan Asih (2013) gangguan siklus menstruasi ada 3 macam

yaitu:

1. Polimenore adalah siklus menstruasi yang lebih pendek dari normal yaitu

kurang dari 21 hari. Penyebabnya adalah gangguan hormonal yang

mengakibatkan gangguan ovulasi atau pemendekan masa fase luteal.

Penyebab lain adalah endometriosis dan peradangan pada ovarium.

2. Oligomenorea adalah siklus menstruasi yang lebih panjang dari normal yaitu

lebih dari 35 hari. Pemanjangan siklus disebabkan karena masa proliferasi

yang lebih panjang dari biasa.

3. Amenorea adalah tidak terjadinya siklus menstruasi lebih dari 3 bulan.

Amenore terdiri dari amenorea primer dan sekunder. Primer jika belum

pernah menstruasi hingga umur 15 tahun. Sekunder jika menstruasi berhenti

setelah menarke atau sudah pernah menstruasi tetapi kemudian berhenti

selama 3 bulan berturut-turut. Gangguan pada hipotalamus merupakan

penyebab utama terjadinya amenorea pada dewasa lalu diikuti oleh gangguan

makan (Vale et al, 2014).

2.2.4 Faktor Penyebab Gangguan Menstruasi

Faktor –faktor yang menyebabkan gangguan siklus menstruasi yaitu:

1. Faktor psikologis seperti stress dan kecemasan.

Stress menyebabkan resiko seorang wanita mengalami gangguan siklus


20

menstruasi dua kali lebih besar dibandingkan yang tidak stress. Fluktuasi

hormonal FSH dan LH terjadi akibat stress menyebabkan peningkatan kadar

hormon Corticotropin Releasing Hormone (CRH) dan Glucocorticoid

sehingga menghambat sekresi Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH)

oleh hipotalamus sehingga menyebabkan pemanjangan atau pemendekan

siklus menstruasi (Aljadidi et al, 2016).

2. Aktifitas fisik

Aktifitas fisik dengan intensitas dan frekuensi tinggi meningkatkan resiko

wanita untuk mengalami gangguan menstruasi sebaliknya aktifitas fisik

dengan intensitas sedang dapat menurunkan resiko gangguan menstruasi

(Anindita et al, 2016).

Aktivitas fisik dengan intensitas tinggi berhubungan dengan kejadian

amenorea, oligomenorea, pemendekan fase luteal, dan anovulasi melalui

mekanisme terganggunya aksis hipotalamus, pituitari, dan adrenal (HPA).

Hal tersebut terjadi akibat supresi GnRH yang diakibatkan olahraga

intensitas tinggi sehingga sekresi FSH dan LH menjadi berkurang yang

menyebabkan menarke dapat tertunda dan gangguan siklus menstruasi

(Katherine et al, 2014).

3. Status gizi

Obesitas memiliki persentasi lemak tubuh yang tinggi yang merupakan

bahan dasar dalam pembentukan hormon estrogen. Cadangan lemak yang

tinggi akan meningkatkan aromatisasi androgen menjadi estrogen pada sel-

sel granulosa dan jaringan lemak sehingga kadar estrogen menjadi tinggi.
21

Estrogen kadar tinggi menyebabkan umpan balik terhadap FSH menjadi

terganggu sehingga tidak mencapai kadar puncak dan menggangu

pertumbuhan folikel sehingga menyebabkan pemanjangan dari siklus

menstruasi (Rakhmawati, 2012).

Sama halnya dengan kekurangan gizi dapat menyebabkan gangguan pada

mekanisme hipotalamus memberikan rangsangan pada hiposifis anterior

untuk menghasilkan FSH dan LH yang berdampak pada siklus menstruasi

(Felicia et al, 2015).

4. Genetik

Siklus menstruasi ibu berpengaruh terhadap siklus anaknya. Semakin teratur

siklus ibu, siklus menstruasi anaknya juga akan teratur (Jayakumari, 2016).

5. Hormon

FSH dibutuhkan untuk pematangan folikel primer, sementara LH yang

menstimulasi sekresi estradiol oleh folikel matang dibutuhkan untuk

memicu ovulasi dan setelah ovulasi akan memelihara korpus luteum. Jika

keseimbangan hormon ini terganggu maka akan mengakibatkan gangguan

siklus menstruasi (Allsworth et al, 2007).

6. Gangguan endokrin

Beberapa penyakit seperti hipertiroid, hipotiroid, dan diabetes melitus

berhubungan dengan gangguan menstruasi. Hipertiroid meningkatkan resiko

oligomenore dan amenorea. Hipotiroid meningkatkan resiko polimenore dan

menoragia. Polikistik ovarium sindrom, salah satunya diabetes melitus tipe

II yang terjadi pada penderita obesitas merupakan faktor resiko terjadinya


22

oligomenore (Harahap, 2010).

7. Penyakit reproduksi

Beberapa penyakit seperti sindroma ovarium polikistik, endometriosis, tumor

ovarium, kanker serviks dapat menyebabkan perubahan hormon sehingga

mengganggu siklus menstruasi (Hendarto, 2011).

2.3 Indeks Massa Tubuh (IMT)

2.3.1 Definisi

Indeks massa tubuh (IMT) merupakan salah satu metode yang baik untuk

menentukan status gizi. IMT diperoleh dari perbandingan berat badan dalam

kilogram dengan tinggi badan dalam meter persegi (Sukohar et al, 2017).

Penelitian yang dilakukan pada orang dewasa di Srilanka menunjukkan bahwa

indeks massa tubuh berkorelasi kuat dengan persentase lemak tubuh. Hal tersebut

dikarenakan semakin tinggi IMT subjek, persen lemak tubuh pun semakin

meningkat (Ranasinghe et al, 2013). IMT tidak dapat diterapkan pada bayi, anak,

ibu hamil, olahragawan dan pada keadaan patologi seperti adanya edema, asites,

dan hepatomegali (Supariasa, 2012)

2.3.2 Klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT)

Penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa yang berusia 18

tahun ke atas. IMT tidak diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil dan

olahragawan. Disamping itu pula IMT tidak dapat diterapkan dalam keadaan

khusus (penyakit) lainnya seperti edema, asites dan hepatomegali (Supariasa,

2001).
23

Batas ambang IMT ditentukan dengan merujuk ketentuan FAO atau WHO

(2007), yang membedakan batas ambang untuk laki-laki dan perempuan.

Disebutkan bahwa batas ambang normal untuk laki-laki adalah 20,1-25,0 dan

untuk perempuan adalah 18,7–23,8. Untuk kepentingan pemantauan tingkat

defisiensi kalori dan kegemukan, FAO atau WHO menyarankan untuk memakai

satu batas ambang tersebut telah disesuaikan lagi. Batas ambang IMT untuk

Indonesia dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 1. Kategori IMT untuk indonesia berdasarkan DEPKES RI (1994)

Tabel 2. Klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT) WHO (2006).


24

2.3.3 Komponen Indeks Massa Tubuh

1. Tinggi Badan

Tinggi badan diukur dengan keadaan berdiri tegak lurus, tanpa menggunakan

alas kaki, kedua tangan merapat ke badan, punggung dan bokong menempel

pada dinding serta pandangan diarahkan ke depan. Kedua lengan tergantung

rileks di samping badan. Bagian pengukur yang dapat bergerak disejajarkan

dengan bagian teratas kepala (vertex) dan harus diperkuat pada rambut kepala

yang tebal (Arisman, 2011).

Orang yang tidak dapat berdiri, tinggi badannya dapat diperkirakan dengan

cara mengukur tinggi lutut (TL) menggunakan kaliper. Posisi subjek

ditelentangkan dan lutut ditekuk sampai membentuk sudut 90 o. Batang

kaliper diposisikan sejajar dengan tibia. Satu lengan kaliper diletakkan di

bawah tumit, sedangkan lengan yang satu lagi ditempelkan dibagian atas

kondilus tulang tibia tepat dibagian proksimal tulang patella. Tekanan kaliper

harus dipertahankan pada 10g/mm2. Pengukuran dilakukan dua kali paling

sedikit. Ketelitian bacaan skala ± 0,5cm. Tinggi badan menurut Chumlea

yang ditemukan pada tahun 1984 diperoleh dengan rumus (Arisman, 2011) :

TB Laki-laki = 64,19 – (0,40 x usia) + (2,02 x TL)

TB perempuan = 84,88 – (0,40 x usia) + (1,83 x TL)

Fibula dapat dijadikan acuan selain menggunakan tulang tibia. Tinggi tulang

fibula (dalam cm), selanjutnya ditulis TF diukur dari kaput fibula hingga

malleolus lateralis. Tinggi badan diperoleh dengan menerapkan tinggi tulang

fibula dengan rumus (Arisman, 2011) :


25

TB Laki-laki = 153,1 – (0,26 x usia) - (1 x 1 ) + (1,05 x TF)

TB perempuan = 153,1 – (0,26 x usia) - (1 x 2 ) + (1,05 x TF)

Pengukuran tinggi badan dapat pula dengan menggunakan panjang rentang

tangan (PRT). PRT adalah jarak antara dua ujung jari tangan kiri dan kanan

terpanjang (biasanya ujung jari tengah) melalui tulang dada. Pengukuran PRT

dilakukan dengan posisi pasien sama seperti ketika ditimbang beratnya dan

diukur tingginya, kecuali kedua lengan direntangkan kesamping badan

(lengan membentuk sudut 90o terhadap ketiak), sedangkan setengah PRT

adalah jarak dari ujung jari tengah (lengan yang tidak dominan) hingga

incisura jugularis. Rumus PRT tidak boleh diterapkan pada anak di bawah

lima tahun karena tungkai dan batang badan belum berkembang dalam

kecepatan yang sama (Gullar et al, 2007).

Penentuan TB menggunakan PRT dihitung dengan rumus (Arisman, 2011) :

TB Laki-laki = 53,4 – (0,67 x PRT)

TB perempuan = 81,0 – (0,48 x PRT)

Penentuan TB menggunakan ½ PRT, menggunakan rumus :

TB=[0,73 x (2 x ½ PRT)] + 0,43

2. Berat badan

Penimbangan berat badan terbaik dilakukan pada pagi hari bangun tidur

sebelum makan pagi, sesudah 10-12 jam pengosongan lambung. Timbangan

badan perlu dikalibrasi pada angka nol sebagai permulaan dan memiliki

ketelitian 0,1 kg. Berat badan dapat dijadikan sebagai ukuran yang reliable

dengan mengkombinasikan dan mempertimbangkannya terhadap parameter


26

lain seperti tinggi badan, dimensi kerangka tubuh, proporsi lemak, otot,

tulang dan komponen berat patologis (seperti edema dan splenomegali).

Berat badan ideal orang dewasa dapat diperoleh menggunakan formula

Lorentz (Arisman, 2011) :

2.3.4 Rumus Menghitung IMT

Untuk menghitung IMT perlu mengukur berat badan dan tinggi badan.

untuk itu gunakan alat timbangan dan pengukur tinggi badan. Berat badan

dinyatakan dalam satuan meter. Data tinggi badan kemudian dikuadratkan.

Rumus :

Nilai IMT menunjukan berat badan seseorang dinyatakan normal, kurus

atau gemuk. Penggunaan IMT hanya berlaku untuk yang berumur lebih dari 18

tahun. IMT tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil, dan

olahragawan (Iswanto, 2007).

2.3.5 Faktor-faktor yang berhubungan dengan Indeks Massa Tubuh

1. Usia

Penelitian yang dilakukan oleh Kantachuvessiri, Sirivichayakul, Kaew

Kungwal, Tungtrochitr dan Lotrakul (2005) menunjukkan bahwa terdapat


27

hubungan yang signifikan antara usia yang lebih tua dengan IMT kategori

obesitas. Subjek penelitian pada kelompok usia 40-49 dan 50-59 tahun

memiliki risiko lebih tinggi mengalami obesitas dibandingkan kelompok usia

kurang dari 40 tahun. Keadaan ini dicurigai oleh karena lambatnya proses

metabolisme, berkurangnya aktivitas fisik, dan frekuensi konsumsi pangan

yang lebih sering.

2. Jenis Kelamin

IMT dengan kategori kelebihan berat badan lebih banyak ditemukan pada

laki-laki. Namun, angka kejadian obesitas lebih tinggi pada perempuan

dibandingkan dengan laki-laki. Data dari National Health and Nutrition

Examination Survey (NHANES) periode 1999-2000 menunjukkan tingkat

obesitas pada laki-laki sebesar 27,3% dan pada perempuan sebesar 30,1% di

Amerika (Hill, 2006).

3. Genetik

Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa lebih dari 40% variasi IMT

dijelaskan oleh faktor genetik. IMT sangat berhubungan erat dengan generasi

pertama keluarga (Hill, 2006). Studi lain yang berfokus pada pola keturunan

dan gen spesifik telah menemukan bahwa 80% keturunan dari dua orang tua

yang obesitas juga mengalami obesitas dan kurang dari 10% memiliki berat

badan normal (Hill, 2006).

4. Pola makan

Pola makan adalah pengulangan susunan makanan yang terjadi saat makan.

Pola makan berkenaan dengan jenis, proporsi dan kombinasi makanan yang
28

dimakan oleh seorang individu, masyarakat atau sekelompok populasi.

Makanan cepat saji berkontribusi terhadap peningkatan IMT sehingga

seseorang dapat menjadi obesitas. Hal ini terjadi karena kandungan lemak dan

gula yang tinggi pada makanan cepat saji. Selain itu peningkatan porsi dan

frekuensi makan juga berpengaruh terhadap peningkatan obesitas. Orang

yang mengkonsumsi makanan tinggi lemak lebih cepat mengalami

peningkatan berat badan dibanding mereka yang mongkonsumsi makanan

tinggi karbohidrat dengan jumlah kalori yang sama (Abramowitz, 2004).

5. Aktifitas fisik

Aktifitas fisik menggambarkan gerakan tubuh yang disebabkan oleh

kontraksi otot menghasilkan energi ekspenditur. Menjaga kesehatan tubuh

membutuhkan aktifitas fisik sedang atau bertenaga serta dilakukan hingga

kurang lebih 30 menit setiap harinya dalam seminggu. Penurunan berat badan

atau pencegahan peningkatan berat badan dapat dilakukan dengan

beraktifitas fisik sekitar 60 menit dalam sehari (WHO, 2003).

2.4 Pola Makan

2.4.1 Pengertian

Pola makan adalah suatu cara atau usaha dalam pengaturan jumlah dan

jenis makanan dengan informasi gambaran dengan meliputi mempertahankan

kesehatan, status nutrisi, mencegah atau membantu kesembuhan penyakit (Depkes

RI, 2009). Pola makan didefinisikan sebagai karateristik dari kegiatan yang

berulang kali makan individu atau setiap orang makan dalam memenuhi
29

kebutuhan makanan (Sulistyoningsih, 2011).

Pola makan yang baik mengandung makanan sumber energi, sumber zat

pembangun dan sumber zat pengatur, karena semua zat gizi diperlukan untuk

pertumbuhan dan pemiliharaan tubuh serta perkembangan otak dan produktifitas

kerja, serta dimakan dalam jumlah cukup sesuai dengan kebutuhan. Dengan pola

makan sehari-hari yang seimbang dan aman, berguna untuk mencapai dan

mempertahankan status gizi dan kesehatan yang optimal (Almatsier, dkk., 2011).

2.4.2 Komponen Pola Makan

Secara umum pola makan memiliki 3 (tiga) komponen yang terdiri dari:

jenis, frekuensi, dan jumlah makanan.

1. Jenis makan

Jenis makan adalah sejenis makanan pokok yang dimakan setiap hari terdiri

dari makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayuran, dan buah yang

dikonsumsi setiap hari Makanan pokok adalah sumber makanan utama di

negara indonesia yang dikonsumsi setiap orang atau sekelompok masyarakat

yang terdiri dari beras, jangung, sagu, umbi-umbian, dan tepung

(Sulistyoningsih,2011).

2. Frekuensi makan

Frekuensi makan adalah beberapa kali makan dalam sehari meliputi makan

pagi, makan siang, makan malam dan makan selingan (Depkes, 2013).

Sedangkan menurut Suhardjo (2009) frekuensi makan merupakan berulang

kali makan sehari dengan jumlah tiga kali makan pagi, makan siang, dan

makan malam.
30

3. Jumlah makan

Jumlah makan adalah banyaknya makanan yang dimakan dalam setiap orang

atau setiap individu dalam kelompok (Willy, 2011).

2.4.3 Metode Pengukuran Pola Makan

Menurut Asrar, dkk, (2009) metode pola makan yaitu:

1. Metode Frekuensi Makanan (Food Frequency)

Metode frekuensi makanan adalah untuk memperoleh data tentang frekuensi

konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu

seperti hari, minggu, bulan atau tahun. Kuesioner frekuensi makanan memuat

tentang daftar makanan dan frekuensi penggunaan makanan tersebut pada

periode tertentu. Bahan makanan yang ada dalam daftar kuesioner tersebut

adalah yang dikonsumsi dalam frekuensi yang cukup sering oleh responden.

Pengolahan FFQ, diolah berdasarkan skor frekwensi setiap jenis bahan,

makanan, kemudian dihitung total skor FFQ setiap sampel. Selanjutnya skor

FFQ setiap sampel di jumlah dan di hitung skor rata-rata.

2. Metode Food Recall 24 Jam

Prinsip dari metode recall 24 jam, dilakukan dengan mencatat jenis dan

jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Hal

penting yang perlu diketahui adalah bahwa dengan recall 24 jam data yang

diperoleh cenderung bersifat kualitatif. Oleh karena itu, untuk mendapatkan

data kuantitatif, maka jumlah konsumsi makanan individu ditanyakan secara

teliti dengan menggunakan alat URT (sendok, gelas, piring dan lain-lain).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa minimal 2 kali recall 24 jam tanpa


31

berturut-turut, dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi lebih optimal

dan memberikan variasi yang lebih besar tentang intake harian individu.

Pola makan mencankup jenis (makanan pokok, lauk pauk, serta sayuran dan

buah-buahan) dan frekuensi bahan makanan yang dikonsumsi di kategorikan

menjadi baik bila responden mengkonsumsi >3 jenis bahan makanan dengan

frekuensi >3 kali sehari dan kurang bila responden mengkonsumsi <3 jenis

makanan dalam frekuensi < 3 kali dalam sehari.

2.4.4 Faktor Yang Mempengaruhi Pola Makan

Pola makan yang terbentuk gambaran sama dengan kebiasaan makan

seseorang. Secara umum faktor yang mempengaruhi terbentuknya pola makan

adalah faktor ekonomi, sosial budaya, agama, pendidikan, dan lingkungan

(Sulistyoningsih, 2011).

1. Faktor ekonomi

Variabel ekonomi mencukup dalam peningkatan peluang untuk daya beli

pangan dengan kuantitas dan kualitas dalam pendapatan menurunan daya beli

pangan secara kualitas maupun kuantitas masyarakat. Pendapatan yang

tinggidapat mencakup kurangnya daya beli denganh kurangnya pola makan

masysrakat sehingga pemilihan suatu bahan makanan lebih di dasarkan dalam

pertimbangan selera dibandingkan aspek gizi. Kecenderungan untuk

mengkonsumsi makanan impor (Sulistyoningsih, 2011).

2. Faktor sosial budaya

Pantangan dalam mengkonsumsi jenis makanan dapat dipengaruhi oleh faktor

budaya sosial dalam kepercayaan budaya adat daerah yang menjadi kebiasaan
32

atau adat. Kebudayaan di suatu masyarakat memiliki cara mengkonsumsi

pola makan dengan cara sendiri. Dalam budaya mempunyai suatu cara bentuk

macam pola makan seperti:dimakan, bagaimana pengolahanya, persiapan dan

penyajian (Sulistyoningsih, 2011).

3. Agama

Dalam agama pola makan ialah suatu cara makan dengan diawali berdoa

sebelum makan dengan diawali makan mengunakan tangan kanan (Depkes

RI, 2008).

4. Pendidikan

Dalam pendidikan pola makan iala salah satu pengetahuan, yang dipelajari

dengan berpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan dan penentuan

kebutuhan gizi (Sulistyoningsih, 2011).

5. Lingkungan

Dalam lingkungan pola makan ialah berpengaruh terhadap pembentuk

perilaku makan berupa lingkungan keluarga melalui adanya promosi, media

elektroni, dan media cetak (Sulistyoningsih, 2011).

6. Kebiasaan makan

Kebiasaan makan ialah suatu cara seseorang yang mempunyai keterbiasaan

makan dalam jumlah tiga kali makan dengan frekuensi dan jenis makanan

yang dimakan (Depkes, 2009). Menurut Willy (2011) mengatakan bahwa

suatu penduduk mempunyai kebiasaan makan dalam tiga kali sehari adalah

kebiasaan makan dalam setiap waktu.

2.5 Hubungan Indeks Massa Tubuh dan Pola Makan terhadap Siklus
33

Menstruasi Pada Pasien Remaja

Penelitian Alasi dan Hamdani (2017) menunjukkan bahwa terdapat

hubungan yang bermakna antara IMT dengan siklus menstruasi (p=0,001). Hasil

penelitian Asniya (2012) juga menyatakan terdapat hubungan yang bermakna

antara obesitas dengan kejadian gangguan siklus menstruasi pada wanita dewasa

muda (p=0,037).

Hasil penelitian Felicia (2015), jugan mendapatkan terdapat hubungan

yang bermakna antara status gizi dengan siklus menstruasi pada remaja putri di

PSIK FK UNSRAT Manado (p=0,000). Demikian juga penelitian yang dilakukan

oleh Ayudhia (2011) yang meneliti tentang hubungan status gizi dengan

keteraturan siklus menstruasi pada siswi SMA Negeri 1 Mojoloban yang juga

menunjukkan terdapat hubungan status gizi dengan keteraturan siklus menstruasi

(p=0,003).

Selain IMT, Pola makan juga mempengaruhi keteraturan menstruasi pada

remaja (Kusmiran, 2011). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rosmaladewi

(2014) di Tuban didapatkan hasil bahwa ada hubungan antara pola makan dengan

siklus menstruasi pada wanita. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Latifah dan

Sholihah (2017) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara status gizi dan

siklus menstruasi.

Siklus menstruasi sangat dipengaruhi oleh lemak tubuh. Lemak tubuh

berperan pada sekresi hormon reproduksi. Kadar lemak yang rendah

menyebabkan kadar estrogen yang rendah, ini berhubungan dengan kejadian

infertilitas. Lemak tubuh yang berlebih akan menyebabkan peningkatan kadar


34

estrogen yang akan menimbulkan perpanjangan siklus menstruasi (Rachmawati,

2014).

2.6 Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah bagian penelitian yang menyajikan konsep atau

teori dalam bentuk kerangka konsep. Pembuatan mengacu pada masalah-masalah

yang diteliti dan dibuat dalam bentuk diagram (Hidayat, 2007). Jadi kerangka

konsep adalah suatu hubungan atau kaitan antara konsep-konsep atau variabel-

variabel yang akan diamati atau diukur melalui penelitian yang akan

dilaksanakan. Kerangka konsep pada penelitian ini adalah:

Skema 2.1 Kerangka konsep penelitian

Variabel Independen Variabel Dependen

Indeks Masa Tubuh

Siklus Menstruasi
Pada Remaja

Pola Makan

2.7 Hipotesa

Hipotesis merupakan jawaban atau dalil sementara yang kebenarannya

akan dibuktikan melalui hasil penelitian. Hipotesis ditarik dari serangkaian

fakta yang muncul sehubungan dengan masalah yang diteliti (Sastroasmoro &
35

Ismael, 2011). Hipotesis pada penelitian ini adalah:

1. Hipotesis nol (H0)

Tidak ada hubungan indeks massa tubuh dan pola makan terhadap siklus

menstruasi pada pasien remaja di poliklinik RS Syafira Pekanbaru.

2. Hipotesis alternatif

Ada hubungan indeks massa tubuh dan pola makan terhadap siklus

menstruasi pada pasien remaja di poliklinik RS Syafira Pekanbaru.

Anda mungkin juga menyukai