Anda di halaman 1dari 34

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kinerja Perawat

2.1.1 Defenisi Kinerja

Kinerja berasal dari pengertian performance. performance sebagai hasil

kerja atau prestasi kerja. Namun sebenarnya kinerja mempunyai makna yang

lebih luas bukan hanya hasil kerja, tetapi termasuk bagaimana proses pekerjaan

berlangsung. Dengan demikian kinerja adalah tentang melakukan pekerjaan dan

hasil yang dicapai dari pekerjaan tersebut. Kinerja adalah tentang apa yang

dikerjakan dan bagaimana cara megerjakannya (Wibowo, 2011).

Kinerja perawat adalah aktivitas perawat dalam mengimplementasikan

sebaik-baiknya suatu wewenang, tugas dan tanggung jawabnya dalam rangka

pencapaian tujuan tugas pokok profesi dan terwujudnya tujuan dan sasaran unit

organisasi. Kinerja perawat sebenarnya sama dengan prestasi kerja

diperusahaan. Perawat ingin diukur kinerjanya berdasarkan standar objektif

yang terbuka dan dapat dikomunikasikan. Jika perawat diperhatikan dan dihargai

sampai penghargaan superior, maka akan lebih terpacu untuk mencapai prestasi

pada tingkat lebih tinggi (Faizin, Ahmad & Winarsih, 2008).

Menurut Potter dan Perry (2005), standar kinerja profesional yaitu:

1. Perawat secara sistematis mengevaluasi kualitas dan keefektifan praktek

keperawatan.

2. Perawat mengevaluasi diri sendiri dalam praktek keperawatan yang

9
10

dilakukannya mengacu pada standar praktek profesionalan serta peraturan

dan regulasi yang berlaku.

3. Perawat memerlukan dan mempertahankan pengetahuan terkini dalam

praktek keperawatan.

4. Perawat berkontribusi pada pengembangan profesional dari rekan-rekan,

kolega dan orang lain.

5. Keputusan dan tindakan perawat dilakukan atas nama klien yang di tentukan

secara etis.

6. Perawat berkolaborasi dengan klien dengan orang terdekat serta pemberi

pelayanan kesehatan lain dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien.

7. Perawat menggunakan hasil penelitian di lahan praktek.

8. Perawat mempertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan dengan keamanan,

keefektipan dan biaya dalam merencanakan dan memberikan perawatan pada

klien.

Menurut Gibson (1996 dalam Syamsul & Anggraini, 2013), secara teoritis

ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja

perawat, yaitu:

1. Variabel Individu

Variabel faktor individu meliputi kemampuan, ketrampilan, latar belakang

dan demografis merupakan faktor utama yang mempengaruhi perilaku dan

kinerja perawat.

2. Variabel Organisasi

Variabel faktor organisasi digolongkan dalam sub variabel sumber daya,


11

kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan serta sistem

pengawasan dan karir.

3. Variabel Psikologis.

Variabel faktor psikologi yang terdiri dari sub variabel persepsi, sikap,

kepribadian, belajar, motivasi dan kepuasan kerja.

Kinerja atau prestasi kerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas

yang dicapai oleh seorang perawat dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan

tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Faktor yang mempengaruhi

tencapaian kinerja, yaitu faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi

(motivation).

Terdapat empat tolak ukur kinerja yaitu :

1) Kualitas, yaitu tingkat kesalahan, kerusakan dan kecermatan.

2) Kuantitas, yaitu jumlah pekerjaan yang dihasilkan.

3) Penggunaan waktu dalam bekerja, yaitu tingkat ketidak hadiran,

keterlambatan, dan waktu kerja efektif/jam kerja hilang.

4) Kerjasama dengan orang lain dalam bekerja.

Kinerja (employee performance) adalah tingkat dimana para perawat

mencapai persyaratan-persyaratan pekerjaan (Murni, 2007). Kemudian Danuarta

(2014) juga menyatakan bahwa, faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja

adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation). Sedangkan

menurut Keith Davis dalam Mangkunegara (2009) dirumuskan bahwa faktor-

faktor yang dapat mempengaruhi kinerja adalah: Human Performance = Ability +

MotivationMotivation = Attitude + SituationAbility = Knowledge + Skill.


12

1. Faktor Kemampuan

Secara psikologis, kemampuan (Ability) pegawai terdiri dari kemampuan

potensi (IQ) dan kemampuan reality (knowledge+Skill). Artinya, pegawai yang

memiliki IQ rata-rata (IQ 110 – 120) dengan pendidikan yang memadai untuk

jabatannya dan terampil dalam mengerjakan pekerjaannya sehari-hari, maka ia

akan lebih mudah mencapai prestasi kerja yang diharapkan. Oleh karena itu,

perawat perlu ditempatkan pada pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya (the

right man on the right place, the right man on the right job) (Gibson, 2000).

2. Faktor Motivasi

Motivasi terbentuk dari sikap seorang perawat dalam menghadapi situasi

kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri pegawai yang terarah

untuk mencapai tujuan organisasi (tujuan kerja).

Kinerja sering sekali dikaitkan dengan motivasi (Motivation) dan

kemampuan (ability). Secara sederhana, kinerja = f (ability x motivation). Namun,

faktor kesempatan (opportunity) hendaknya tidak dilupakan. Oleh karena itu,

persamaaan kinerja menjadi sebagai berikut: kinerja = f (ability x motivation x

opportunity).

Gambar 2.1 Dimensi kinerja (Stoner, Freman, dan Gilbert, 1995 dalam Wijayanto,

2012)
13

1. Kemampuan

Kemampuan berkaitan dengan karakter individu karena setiap individu

pasti memiliki kemampuan, hanya saja tingkat kemampuannya berbeda,

meliputi :pengetahuan, pengalaman, keterampilan, bakat, kepribadian dan

pendidikan. Oleh karena itu perlu penyesuaian antara kemampuan individu

dengan pekerjaan yang diberikan akan meningkatkan kinerja individu sumber

daya manusia organisasi publik (Gibson, 2000).

Salah satu faktor yang sangat penting dan berpengaruh terhadap

keberhasilan perawat di dalam melaksanakan suatu pekerjaan adalah kemampuan

kerja. Kemampuan merupakanpotensi yang ada dalam diri seseorang untuk

berbuat sehingga memungkinkan seseorang untuk dapat melakukan pekerjaan

ataupun tidak dapat melakukan pekerjaan tersebut (Dalimunthe, 2016).

Dalam fungsi operasional manajemen kemampuan kerja merupakan fungsi

pengembangan, karena dalam fungsi ini pengembangan kemampuan kerja perawat

sangat diperhatikan. Kemampuan kerja pada dasarnya sangat berpengaruh

terhadap mutu atau bobot hasil kerja yang dicapai oleh perawat. Hal ini dapat

dimengerti karena dalam kemampuan kerja terdapat berbagai potensi kecakapan,

keterampilan, serta potensi yang lainyang mendukung yang tercermin dalam

kondisi fisik dan psikis. Demikian konsep kemampuan kerja mengandung

pengertian kekuatan yang ada dalam diri seseorang untuk melakukan pekerjaan

(Dalimunthe, 2016).

Menurut Farlen (2011) untuk meningkatkan kemampuan kerja perawat ada

tiga komponen yang meliputi :


14

1) Upaya mengembangkan dan memelihara pertumbuhan rohani dan jasmani

serta usaha menjaga kesehatan. Jika seseorang memiliki pertumbuhan fisik

dan psikis yang kuat maka ia akan memiliki potensi dan peluang yang besar

untuk ditumbuhkan dan dikembangkan kemampuan kerjanya.

2) Upaya bukan hanya terbatas pada kemampuan ratio dan fisik untuk

memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam jangka pendek, akan

tetap mencakup ketahanan, keuletan fisik dan mental dalam mengatasi

berbagai kesulitan dan tekanan dalam pekerjaan sehingga selesai dan

mencapai hasil.

3) Upaya agar seseorang setelah memiliki kemampuan kerja adalah

mempekerjakannya untuk membuat agar setiap organisasi yang memiliki

kemampuan dimanfaatkan untuk memberikan kesejahteraan kepada

masyarakat.

Kemampuan kerja sangat menentukan kinerja perawat dalam sebuah

perusahaan atau rumah sakit tersebut. Keberhasilan dan kecakapan pelaksanaan

pekerjaan dalam suatu rumah sakit sangat bergantung pada kinerja perawatnya.

Sehingga kemampuan kerja merupakan hal penting bagi seorang perawat untuk

dapat menyelesaikan pekerjaan dengan baik.

2. Motivasi

Dalam konteks pekerjaan, motivasi merupakan salah satu faktor penting

dalam mendorong seorang perawat untuk bekerja.Motivasi adalah kesediaan

individu untuk mengeluarkan upaya yang tinggi untuk mencapai tujuan organisasi

(Robbins, 2008). Kemudian Yusuf (2008) mengatakan ada tiga elemen kunci
15

dalam motivasi yaitu upaya, tujuan organisasi dan kebutuhan. Upaya merupakan

ukuran intensitas.

Bila seseorang termotivasi maka ia akan berupaya sekuat tenaga untuk

mencapai tujuan, namun belum tentu upaya yang tinggi akan menghasilkan

kinerja yang tinggi. Motivasi adalah sebagai kesiapan khusus seseorang untuk

melakukan atau melanjutkan serangkaian aktivitas yang ditujukan untuk mencapai

beberapa sasaran yang telah ditetapkan. Motivasi kerja adalah sesuatu hal yang

berasal dari internal individu yang menimbulkan dorongan atau semangat untuk

bekerja keras (Ilyas, 2012).

Motivasi kerja adalah motif yang mendorong perawat untuk melakukan

pekerjaan sesuai tugas pokok dan fungsi jabatan yang di nilai atau diukur

berdasarkan dimensi motivator dan faktor hygiene (Teck Hong & Waheed, 2011).

Untuk mengukur motivasi kerja, terdiri dari 9 (sembilan) indikator diantaranya:

1) Achievement (Prestasi kerja) adalah Keberhasilan seorang perawat dalam

menyelesaikan tugas.

2) Advancement (pengembangan diri) adalah suatu keinginanan seseorang untuk

mengembangkan karir dibidang keuangan.

3) Work it self (pekerjaan itu sendiri) adalah variasi pekerjaan dan kontrol atas

metode serta langkah-langkah kerja.

4) Recognition (pengakuan) artinya perawat memperoleh pengakuan dari

koperasi bahwa ia adalah orang, berprestasi baik diberi penghargaan, dan

pujian.

5) Company policy (kebijakan perusahaan) adalah aturan yang ditetapkan oleh


16

koperasi sebagai pegangan manajemen dalam melaksanakan kegiatan.

6) Relationship with peers (hubungan dengan rekan kerja) adalah komunikasi

antar perawat dalam menyelesaikan tugas.

7) Work security (keamanan kerja) adalah persepsi individu perawat terhadap

perawat variabilitas nilai imbalan, mutasi wilayah, peluang pemutusan

hubungan.

8) Relationship with supervisor (Hubungan dengan atasan) merupakan unsur

utama dari kepuasan kerja perawat.

9) Gaji adalah imbalan finansial yang diterima oleh perawat meliputi upah,

premi bonus, dan tunjangan.

Motivasi terbentuk dari sikap (Attitude) seorang perawat dalam

menghadapi situasi kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri

perawat yang terarah untuk mencapai tujuan organisasi (tujuan kerja). Sikap

mental merupakan kondisi mental yang mendorong diri pegawai untuk berusaha

mencapai prestasi kerja secara maksimal. (Sikap mental yang siap secara psikofik)

artinya, seorang perawat harus siap mental, mampu secara fisik, memahami tujuan

utama dan target kerja yang akan dicapai, mampu memanfaatkan dalam mencapai

situasi kerja.

2.1.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kinerja

Pabundu (2006) terdapat dua faktor yang mempengaruhi kinerja

karyawan, yaitu:

1. Faktor internal, yaitu faktor yang berhubungan dengan kecerdasan,

keterampilan, kestabilan emosi, sifat-sifat sesorang, meliputi sikap, sifat-


17

sifat kepribadian, sifat fisik, keinginan atau motivasi, umur, jenis kelamin,

pendidikan, pengalaman kerja, latar belakang budaya dan variabel-variabel

personal lainnya.

2. Faktor eksternal yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan

yang berasal dari lingkungan, meliputi peraturan ketenagakerjaan,

keinginan pelanggan, pesaing, kondisi ekonomi, kebijakan organisasi,

kepemimpinan, tindakan-tindakan rekan kerja, pengawasan, sistem upah

dan lingkungan sosial.

Karakteristik individu yang berhubungan dengan kinerja perawat adalah

pendidikan, pelatihan, promosi, jenjang karir, lama bekerja, sistem penghargaan,

gaji, tunjangan, insentif dan bonus. Hasil penelitian Daryanto (2008)

menunjukkan bahwa sistem penghargaan yang paling dominan berhubungan

dengan kinerja adalah gaji dan pengakuan. Isesreni (2009) tingkat pendidikan

perawat mempengaruhi kinerja perawat dan tidak terdapat hubungan yang

bermakna antara umut, jenis kelamin, status perkawinan serta lama bekerja

perawat dengan kinerja perawat.

Baik buruknya kinerja seorang perawat dapat dipengaruhi oleh faktor,

seperti kepuasan kerja, motivasi, lingkungan kerja dan budaya organisasional

(Edy, 2008). Dalam sebuah organisasi elemen yang paling penting adalah

kepemimpinan. Kepemimpinan merupakan kemampuan memberi inspirasi

kepada orang lain untuk bekerja sama sebagai suatu kelompok agar dapat

mencapai suatu tujuan umum (Suarli & Bahtiar, 2012). Selain itu supervisi dan

kapasitas pekerjaan atau beban kerja juga mempengaruhi kinerja karyawan.


18

Supervisi merupakan segala bantuan dari pimpinan/penanggung jawab kepada

perawat yang ditujukan untuk perkembangan para perawat dan staf lainnya

dalam mencapai tujuan asuhan keperawatan.

2.1.3 Penilaian Kinerja

Penilaian kinerja disebut juga sebgai performance appraisal,

performance evaluation, development review, performance review dan

development. Penilain kinerja merupakan kegiatan untuk menilai keberhasilan

atau kegagalan seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu,

penilaian kinerja harus berpedoman pada ukuran-ukuran yang telah disepakati

bersama dalam standar kerja (Usman, 2011).

Penilaian kinerja perawat merupakan mengevaluasi kinerja perawat sesuai

dengan standar praktek profesional dan peraturan yang berlaku. Penilaian kinerja

perawat merupakan suatu cara untuk menjamin tercapainya standar praktek

keperawatan. Penilain kinerja merupakan alat yang paling dapat dipercaya

oleh manajer perawat dalam mengontrol sumber daya manusia dan

produktivitas. Proses penilaian kinerja dapat digunakan secara efektif dalam

mengarahkan perilaku pegawai dalam rangka menghasilkan jasa keperawatan

dalam kualitas dan volume yang tinggi. Perawat manajer dapat menggunakan

proses operasional kinerja untuk mengatur arah kerja dalam memilih, melatih,

membimbing perencanaan karir serta memberi penghargaan kepada perawat

yang berkompeten (Nursalam, 2008).

Proses penilaian kinerja dengan langkah-langkah sebgai berikut:

mereview standar kerja, melakukan analisis jabatan, mengembangkan instrumen


19

penilaian, memilih penilai, melatih penilai, mengukut kinerja, membandingkan

kinerja aktual dengan standar, mengkaji hasil penilaian, memberikan hasil

penilaian, mengaitkan imbalan dengan kinerja, membuat rencana-rencana

pengembangan dengan menyepakati sasaran-sasaran dan standar-standar kinerja

masa depan (Usman, 2011).

Tujuan penilaian kinerja adalah untuk mengetahui tingkat efektivitas dan

efisiensi atau tingkat keberhasilan atau kegagalan seorang pekerja/karyawan atau

tim kerja dalam melaksanakan tugas/jabatan yang menjadi tanggung

jawabnya. Menurut Nursalam (2008) manfaat dari penilaian kerja yaitu:

1. Meningkatkan prestasi kerja staf secara individu atau kelompok dengan

memberikan kesempatan pada mereka untuk memenuhi kebutuhan

aktualisasi diri dalam kerangka pencapaian tujuan pelayanan dirumah sakit.

2. Peningkatan yang terjadi pada prestasi staf secara perorangan paa gilirannya

akan mempengaruhi atau mendorong sumber daya manusia secara

keseluruhannya.

3. Merangsang minat dalam pengembangan pribadi dengan tujuan

meningkatkan hasil karya dalam prestasi dengan cara memberikan umpan

balik kepada mereka tentang prestasinya.

4. Membantu rumah sakit untuk dapat menyusun program pengembangan dan

pelatihan staf yang lebih tepat guna, sehingga rumah sakit akan mempunyai

tenaga yang cakap dan tampil untuk pengembangan pelayanan keperawatan

dimasa depan.

5. Meneydiakan alat dan sarana untuk membandingkan prestasi kerja dengan


20

meningkatkan gajinya atau sistem imbalan yang baik.

6. Memberikan kesempatan kepada pegawai atau staf untuk mengeluarkan

perasaanya tentang pekerjaannya atau hal lain yang ada kaitannya melalui

jalur komunikasi dan dialog, sehingga dapat mempererat hubungan antara

atasan dan bawahan.

2.1.4 Model dan Metode Penilaian Kinerja

Mangkunegara (2009) model penilaian kinerja yaitu:

1. Penilaian sendiri

Penilaian sendiri adalah pendekatan yang paling umum digunakan untuk

mengukur dan memahami perbedaan individu. Akurasi didefinisikan sebagai

sikap kesepakatan antara penilaian sendiri dan penilaian lainnya. Other

Rating dapat diberikan oleh atasan, bawahan, mitra kerja atau konsumen

dari individu itu sendiri. Penilaian sendiri biasanya digunakan pada bidang

sumber daya manusia seperti: penilaian, kinerja, penilaian kebutuhan

pelatihan, analisa peringkat jabatan, perilaku kepemimpinan dan lainnya.

2. Penialain atasan

Pada organisasi pada kematangan tingkat majemuk, personal biasanya dinilai

oleh manajer yang tingkatnya lebih tinggi, penilaian ini yang termasuk

dilakukan oleh supervisor atau atasan langsung.

3. Penilaian mitra

Penilain mitra lebih cocok digunakan pada kelompk kerja yang

mempunyai otonimi yang cukup tinggi. Dimana wewenang pengambilan

keputusan pada tingkat tertentu telah didekegasikan oleh manajemen


21

kepada anggota kinerja kelompok kerja.

4. Penialain bawahan

Penilaian bawahan terhadap kinerja personal terutama dilakukan dengan

tujuan untuk pengembangan dan umpan balik personal. Bila penialain ini

digunakan untuk administratif dan evaluasi, menetapkan gaji dan promosi

maka penggunaan penilain ini kurang mendapat dukungan, program

penilaian bawahan terhadap manajer dalam rangka perencanaan dan

penilaian kinerja manajer. Program ini meminta kepada manajer untuk

dapat menerima penilaian bawahan sebagai umpan balik atas kemampuan

manajemen mereka.

2.1.5 Kinerja Perawat dalam Memberikan Asuhan Keperaatan

Proses keperawatan merupakan suatu pendekatan untuk pemecahan

masalah yang memampukan perawat untuk mengatur dan memberikan asuhan

keperawatan. Proses keperawatan mengandung elemen berpikir kritis yang

memungkinkan perawat membuat penilaian dan melakukan tindakan berdasarkan

nalar. Proses keperawatan mencakup lima tahap: pengkajian, diagnosa

keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi (Potter dan Perry, 2005).

Gambar 2.2. Model proses keperawatan lima tahap.


22

Nursalam (2008) standar pelayanan keperawatan adalah pernyataan

deskriptif mengenai kualitas pelayanan yang diinginkan untuk menilai pelayanan

keperawatan yang telah diberikan pada pasien. Tujuan standar keperawatan adalah

meningkatkan kualitas asuhan keperawatan, mengurangi biaya asuhan

keperawatan, dan melindungi perawat dari kelalaian dalam melaksanakan tugas

dan melindungi pasien dari tindakan yang tidak terapeutik. Dalam menilai kualitas

pelayanan keperawatan kepada klien digunakan standar praktik keperawatan yang

merupakan pedoman bagi perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan.

Standar praktek keperawatan telah dijabarkan oleh PPNI (Persatuan

Perawat Nasional Indonesi) tahun 2000 yang mengacu dalam tahapan proses

keperawatan yang meliputi: (1) Pengkajian; (2) Diagnosa keperawatan; (3)

Perencanaan; (4) Implementasi; (5) Evaluasi.

1. Standar Satu: Pengkajian Keperawatan

Perawat mengumpulkan data tentang status kesehatan klien secara

sistematis, menyeluruh, akurat, singkat, dan berkesinambungan. Kriteria

pengkajian keperawatan, meliputi:

1) Pengumpulan data dilakukan dengan cara anamnesa, observasi, pemeriksaan

fisik serta dari pemeriksaan penunjang.

2) Sumber data adalah klien, keluarga, atau orang yang terkait, tim kesehatan,

rekam medis, dan catatan lain.

3) Data yang dikumpulkan, difokuskan untuk mengidentifikasi:

a. Status kesehatan klien masa lalu

b. Status kesehatan klien saat ini


23

c. Status biologis-psikologis-sosial-spiritual

d. Respon terhadap terapi

e. Harapan terhadap tingkat kesehatan yang optimal

f. Resiko-resiko tinggi masalah

2. Standar Dua: Diagnosa Keperawatan

Perawat menganalisa data pengkajian untuk merumuskan dignosa

keperawatan. Adapun kriteria proses:

1) Proses diagnosa terdiri dari analisa, interpretasi data, identikasi masalah klien,

dan perumusan diagnose keperawatan.

2) Diagnosa keperawatan terdiri dari: masalah (P), Penyebab (E), dan tanda atau

gejala (S), atau terdiri dari masalah danpenyebab (PE).

3) Bekerjasama dengan klien, dan petugas kesehatan lain untuk memvalidasi

diagnosa keperawatan.

4) Melakukan pengkajian ulang dan merevisi diagnosa berdasarkan data terbaru.

3. Standar Tiga: Perencanaan Keperawatan

Perawat membuat rencana tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah

dan meningkatkan kesehatan klien. Kriteria prosesnya, meliputi:

1) Perencanaan terdiri dari penetapan prioritas masalah, tujuan, dan rencana

tindakan keperawatan.

2) Bekerjasama dengan klien dalam menyusun rencana tindakan keperawatan.

3) Perencanaan bersifat individual sesuai dengan kondisi atau kebutuhan klien.

4) Mendokumentasi rencana keperawatan.


24

4. Standar Empat: Implementasi

Perawat mengimplementasikan tindakan yang telah diidentifikasi dalam

rencana asuhan keperawatan. Kriteria p roses, meliputi:

1) Bekerja sama dengan klien dalam pelaksanaan tindakan keperawatan

2) Kolaborasi dengan tim kesehatan lain.

3) Melakukan tindakan keperawatan untuk mengatasi kesehatan klien.

4) Memberikan pendidikan pada klien dan keluarga mengenai konsep

keterampilan asuhan diri serta membantu klien memodifikasi lingkungan

yang digunakan.

5) Mengkaji ulang dan merevisi pelaksanaan tindakan keperawatan berdasarkan

respon klien.

5. Standar Lima: Evaluasi Keperawatan

Perawat mengevaluasi kemajuan klien terhadap tindakan keperawatan

dalam pencapaian tujuan dan merevisi data dasar dan perencanaan.

Adapun kriteria prosesnya:

1) Menyusun perencanaan evaluasi hasil dari intervensi secara komprehensif,

tepat waktu dan terus menerus.

2) Menggunakan data dasar dan respon klien dalam mengukut perkembangan ke

arah pencapaian tujuan.

3) Memvalidasi dan menganalisa data baru dengan teman sejawat.

4) Bekerja sama dengan klien keluarga untuk memodifikasi rencana asuhan

keperawatan.

Mendokumentasi hasil evaluasi dan memodifikasi perencanaan


25

2.2 Pelayanan Keperawatan

2.2.1 Pengertian

Pelayanan keperawatan merupakan suatu proses kegiatan yang dilakukan oleh

profesi keperawatan dalam pemenuhan kebutuhan pasien dalam mempertahankan

keadaan dari segi biologis, psikologis, sosial, dan spiritual pasien (Suarli & Bahtiar,

2012). Pelayanan keperawatan adalah asuhan keperawatan professional yang

mengacu pada 5 dimensi kualitas pelayanan yaitu reability, tangibles, assurance,

responsiveness, dan empathy (Bauk et al, 2013).

Pelayanan keperawatan merupakan suatu pelayanan yang menggambarkan

produk dari pelayanan keperawatan itu sendiri yang meliputi secara biologis,

psikologis, sosial, dan spiritual pada individu sakit maupun yang sehat dan dilakukan

sesuai standar keperawatan (Asmuji, 2012).

2.2.2 Tujuan Pelayanan Keperawatan

Menurut Triwibowo (2013) tujuan mutu pelayanan keperawatan terdapat 5

tahap yaitu:

1. Tahap pertama adalah penyusunan standar atau kriteria. Dimaksudkan agar

asuhan keperawatan lebih terstruktur dan terencana berdasarkan standar kriteria

masing-masing perawat.

2. Tahap kedua adalah mengidentifikasi informasi yang sesuai dengan kriteria.

Informasi disini diharapkan untuk lebih mendukung dalam proses asuhan

keperawatan dan sebagai pengukuran kualitas pelayanan keperawatan.

3. Tahap ketiga adalah identifikasi sumber informasi. Dalam memilih informasi

yang akurat diharuskan penyeleksian yang ketat dan berkesinambungan.


26

Beberapa informasi juga didapatkan dari pasien itu sendiri.

4. Tahap keempat adalah mengumpulkan dan menganalisa data. Perawat dapat

menyeleksi data dari pasien dan kemudian menganalisa satu persatu.

5. Tahap kelima adalah evaluasi ulang. Dihahap ini berfungsi untuk meminimkan

kekeliruan dalam pengambilan keputusan pada asuhan dan tidakan keperawatan.

Tujuan keperawatan merupakan hal yang harus direncanakan secara optimal

oleh perawat. Tujuan keperawatan menurut Asmuji (2012) yaitu:

1. Tujuan keperawatan harus jelas, sehingga tercipta output keberhasilan yang

optimal. Dari hasil yang optimal maka akan mendukung kinerja dan

meningkatkan kerja perawat.

2. Tujuan yang memiliki kriteria sulit dan menantang harus dikolaborasikan dengan

tim sejawat lain maupun tim medis lainnya. Disini perawat tidak diperkenankan

untuk melakukan tindakan secara persepsi tetapi secara rasional berdasarkan hasil

diskusi.

3. Tujuan keperawatan diharuskan dapat diukur, berisi ketentuan kuantitatif

sehingga akan lebih mudah membandingkan seberapa besar pencapaian

keberhasilan tersebut.

4. Tujuan keperawatan harus berdasarkan waktu yang ditentukan, agar pencapaian

target lebih baik lagi. Waktu yang optimal dilaksanakan dengan target dan tidak

mengesampingkan kolaborasi dengan pasien.

2.2.3 Faktor Pelayanan Keperawatan

Menurut Nursalam (2013) kualitas mutu pelayanan keperawatan terdiri atas

beberapa faktor yaitu:


27

1. Komunakasi dari mulut ke mulut (word of mouth communication), biasanya

komunikasi dari mulut ke mulut sering dilakukan oleh masyarakat awam yang

telah mendapatkan perawatan dari sebuah instansi. Yang nantinya akan

menyebarkan berita positif apabila mereka mendapatkan perlakuan yang baik

selama di rawat atau menyampaikan berita negatif tentang mutu pelayanan

keperawatan berdasarkan pengalaman yang tidak mengenakkan.

2. Kebutuhan pribadi (personal need), kebutuhan dari masing-masing pasien

bervariasi maka mutu pelayanan keperawatan juga harus menyesuaikan

berdasarkan kebutuhan pribadi pasien.

3. Pengalaman masa lalu (past experience), seorang pasien akan cenderung menilai

sesuatu berdasarkan pengalaman yang pernah mereka alami. Di dalam mutu

pelayanan keperawatan yang baik akan memberikan pengalaman yang baik

kepada setiap pasien, namun sebaliknya jika seseorang pernah mengalami hal

kurang baik terhadap mutu pelayanan keperawatan maka akan melekat sampai

dia mendapatkan perawatan kembali di suatu instansi.

4. Komunikasi eksternal (company’s external communication), sebagai pemberi

mutu pelayanan keperawatan juga dapat melakukan promosi sehingga pasien

akan mempercayai penuh terhadap mutu pelayanan keperawatan di instansi

tersebut.

Sedangkan menurut Triwibowo (2013), faktor-faktor yang mempengaruhi

mutu pelayanan keperawatan itu sendiri meliputi 7 kriteria diantaranya:

1. Mengenal kemampuan diri, seorang perawat sebelum melakukan sebuah tindakan

keperawatan kepada pasien harus mengetahui kelemahan dan kekuatan yang ada
28

pada diri perawat sendiri. Karena intropeksi diri yang baik akan menghasilkan

atau meminimalisir kejadian yang tidak diinginkan.

2. Meningkatkan kerja sama, perawat harus berkerjasama dalam melakukan asuhan

keperawatan baik dengan tim medis, teman sejawat perawat, pasien dan keluarga

pasien.

3. Pengetahuan keterampilan masa kini, dimaksudkan agar perawat lebih memiliki

pengetahuan yang luas dan berfungsi dalam penyelesaian keluhan pasien dengan

cermat dan baik.

4. Penyelesaian tugas, perawat merupakan anggota tim medis yang paling dekat

dengan pasien. Oleh karena itu, perawat dituntut untuk mengetahui keluhan

pasien dengan mendetail dan melakukan pendokumentasian teliti setelah

melakukan asuhan.

5. Pertimbangan prioritas keperawatan, seorang perawat harus mampu melakukan

penilaian dan tindakan keperawatan sesuai dengan prioritas utama pasien.

6. Evaluasi berkelanjutan, setelah melakukan perencanaan perawat juga harus

melakukan evaluasi pasien agar tindakan perawatan berjalan dengan baik,

dan perawat mampu melakukan pemantauan evaluasi secara berkelanjutan.

2.2.4 Indikator Pelayanan Keperawatan

Setiap instansi kesehatan akan lebih mengedepankan mutu pelayanan

dibandingkan dengan hal lainnya. Mutu pelayanan itu sendiri dapat terwujud apabila

didalam setiap instasi memiliki peranan dan tugas sesuai dengan profesi. Setiap

profesi kesehatan juga harus mengedepankan mutu dengan memberikan pelayanan

yang optimal kepada semua pasien.


29

Suatu pelayanan keperawatan dapat dikatakan baik apabila dalam pemenuhan

kebutuhan pasien berjalan dengan sesuai. Dari pelayanan yang baik tersebut maka

akan menimbulkan budaya penanganan yang baik kepada semua pasien. Dan akan

tercapainya tingkat kepuasan pasien pada standar yang setinggi-tingginya.

Mutu pelayanan keperawatan sebagai alat ukur dari kualitas pelayanan

kesehatan dan mejadi salah satu faktor penentu citra instansi pelayanan kesehatan di

masyarakat. Di karenakan keperawatan merupakan salah satu profesi dengan jumlah

terbanyak dan yang paling dekat dengan pasien. Mutu pelayanan keperawatannya

sendiri dilihat dari kepuasan pasien terhadap pelayanan yang diberikan puas atau tidak

puas (Nursalam, 2011).

Menurut Nursalam (2013) suatu pelayanan keperawatan harus memiliki mutu

yang baik dalam pelaksanaanya. Diantaranya adalah:

1. Caring adalah sikap perduli yang ditunjukkan oleh perawat kepada pasiennya.

Perawat akan senantiasa memberikan asuhan dengan sikap yang siap tanggap dan

perawat mudah dihubungi pada saat pasien membutuhkan perawatan.

2. Kolaborasi adalah tindakan kerja sama antara perawat dengan anggota medis lain,

pasien, keluarga pasien, dan tim sejawat keperawatan dalam menyelesaikan

prioritas perencanaan pasien. Disini perawat juga bertanggung jawab penuh

dalam kesembuhan dan memotivasi pasien.

3. Kecepatan, suatu sikap perawat yang cepat dan tepat dalam memberikan asuhan

keperawatan. Dimana perawat menunjukkan sikap yang tidak acuh tak acuh,

tetapi akan memberikan sikap baik kepada pasien.

4. Empati adalah sikap yang harus ada pada semua perawat. Perawat akan selalu
30

memperhatikan dan mendengarkan keluh kesah yang dialami pasien. Tetapi

perawat tidak bersikap simpati, sehingga perawat dapat membimbing

kepercayaan pasien.

5. Courtesy adalah sopan santun yang ada pada diri perawat sendiri. Perawat tidak

akan cenderung membela satu pihak, tetapi perawat akan bersikap netral kepada

siapapun pasien mereka. Perawat juga akan menghargai pendapat pasien,

keluarga pasien, dan tim medis lain dalam hal kebaikan dan kemajuan pasien.

6. Sincerity adalah kejujuran dalam diri perawat. Jujur juga merupkan salah satu

kunci keberhasilan perawat dalam hal perawatan kepada pasien. Perawat akan

bertanggung jawab atas kesembuhan dan keluhan yang dialami pasien.

7. Komunikasi teraupetik merupakan salah satu cara yang paling mudah untuk

dilakukan perawat dalam memberikan asuhan. Karena komunikasi teraupetik

sendiri merupakan cara efektif agar pasien merasa nyaman dan lebih terbuka

dengan perawat.

Mutu pelayanan keperawatan yang baik merupakan ujung tombak pelayanan

di rumah sakit. Agar terwujudnya pelayanan keperawatan yang berkualitas perawat

professional harus memiliki kemampuan intelektual yang cukup, teknikal dan

interpersonal, melaksanakan asuhan berdasarkan standar praktik dan berdasarkan etik

legal (Syahrudin, et al., 2014).


31

2.3 Beban Kerja

2.3.1 Pengertian

Beban kerja merupakan sejumlah target pekerjaan atau hasil yang harus

dicapai dalam suatu satuan waktu (Kep. Menpan no.75/2004). Beban kerja merupakan

suatu kegiatan yang dilakukan oleh tubuh manusia dan berat ringannya beban kerja

sangat mempengaruhi konsumsi energi (Tarwaka, 2010).

Beban kerja perawat adalah seluruh kegiatan atau aktifitas yang dilakukan

oleh seorang perawat selama bertugas di suatu unit pelayanan keperawatan. Workload

atau beban kerja diartikan sebagai patients days yang merujuk pada jumlah prosedur,

pemeriksaan kunjungan (visite) pada klien (Marquis & Houston, 2010). Beban kerja

adalah beban fisik maupun non fisik yang ditanggung oleh pekerja untuk

menyelesaikan pekerjaanya (Depkes RI, 2004).

Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa beban kerja dicirikan

sebagai sejumlah kegiatan, waktu, dan energi yang harus dikeluarkan seseorang, baik

fisik ataupun mental dengan memberikan kapasitas mereka untuk memenuhi tuntutan

tugas yang diberikan.

2.3.2 Pengertian Beban Kerja Fisik

Beban kerja fisik (physical workload) adalah suatu keadaan yang memerlukan

energi fisik otot manusia sebagai sumber tenaganya (power) untuk menyelesaikan

tugas yang harus diselesaikan pada waktu tertentu (Wignjosoebroto, 2012). Beban

kerja fisik adalah beban yang diterima pekerja untuk menyelesaikan pekerjaannya

seperti mengangkat, mencangkul, berlari, memikul, mendayung dan lain–lain, beban


32

kerja fisik merupakan beban yang diterima oleh fisik akibat pelaksanaan kerja. Beban

kerja fisik ini diterima oleh tubuh akibat melaksanakan suatu aktivitas kerja. Prinsip

dasar dalam ergonomi adalah demand (permintaan) < capacity (kapasitas) sehingga

beban kerja fisik yang diterima oleh tubuh saat bekerja tidak melebihi kapasitas fisik

manusia (pekerja) yang bersangkutan (Wignjosoebroto, 2012).

Beban kerja fisik juga dapat dikonotasikan dengan kondisi kerja berat atau

kerja kasar karena kegiatannya memerlukan usaha fisik manusia yang kuat selama

periode kerja berlangsung. Pekerjaan yang dilakukan dengan mengandalkan kegiatan

fisik akan mengakibatkan perubahan pada fungsi alat-alat tubuh yang dapat dideteksi

melalui perubahan konsumsi oksigen, denyut jantung, peredaran darah dalam paru-

paru, temperatur tubuh, konsentrasi asam laktat dalam darah, komposisi kimia dalam

darah dan air seni, tingkat penguapan, dan faktor lainnya. Beban kerja fisik akan

mengakibatkan pengeluaran energi yang berhubungan dengan konsumsi energi

(Wignjosoebroto, 2012).

Beban kerja fisik adalah seluruh kegiatan atau aktivitas yang memerlukan

energi fisik manusia sebagai sumber tenaganya dimana performansi kerja sepenuhnya

akan tergantung pada manusia yang berfungsi sebagai sumber tenaga (Supriatna,

2012). Beban kerja fisik perawat meliputi mengangkat pasien, memandikan pasien,

membantu pasien ke kamar mandi, mendorong peralatan kesehatan, merapikan tempat

tidur pasien, mendorong brankart pasien, serta aktivitas lain terkait asuhan

keperawatan (Supriatna, 2012).


33

2.3.3 Pengertian Beban Kerja Mental

Beban kerja mental adalah suatu keadaan yang melibatkan proses berpikir dari

otak untuk menyelesaikan tugas yang harus diselesaikan pada waktu tertentu

(Wignjosoebroto, 2012). Beban kerja mental adalah suatu kondisi yang secara

langsung berhubungan dengan proses-proses mental apa saja yang terlibat dan

dibutuhkan dalam bekerja (Winarsunu, 2013). Pekerjaan ini akan mengakibatkan

kelelahan mental bila kerja tersebut dalam kondisi yang lama, bukan diakibatkan oleh

aktivitas fisik secara langsung melainkan akibat kerja otak. Beban kerja mental adalah

beban kerja yang merupakan selisih antara tuntutan beban kerja dari suatu tugas

dengan kapasitas maksimum beban mental seseorang dalam kondisi termotivasi.

Menurut Tarwaka (2010) pengertian beban kerja mental adalah perbedaan

(margin) antara tuntutan pekerjaan atau aktivitas kerja mental dengan kemampuan

atau kapabilitas mental yang dimiliki pekerja untuk mencapai performasi tugas yang

diharapkan. Beban kerja mental merupakan sejauh mana tingkat keahlian dan prestasi

kerja yang dimiliki individu dengan individu lainnya. Menurut Grandjean dalam

Tarwaka (2010), setiap aktivitas mental akan selalu melibatkan unsur persepsi,

interpretasi dan proses mental dari suatu informasi yang diterima oleh organ sensor

untuk diambil suatu keputusan atau proses mengingat informasi yang lampau.

Menurut Prabawati (2012) beban kerja mental adalah suatu konsep yang tidak

memisahkan faktor fisik dan faktor psikologis yang saling berpengaruh dalam diri

manusia.

2.3.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Beban Kerja Fisik dan Mental

Rodahl dalam Tarwaka (2010) menyatakan bahwa beban kerja dipengaruhi


34

faktor-faktor sebagai berikut:

1. Faktor eksternal

Berupa beban kerja yang berasal dari luar tubuh, seperti:

a. Tugas-tugas yang dilakukan yang bersifat fisik seperti stasiun kerja, tata

ruang, tempat kerja, alat dan sarana kerja, kondisi kerja, sikap kerja,

sedangkan tugas-tugas yang bersikap mental seperti kompleksitas pekerjaan,

tingkat kesulitan pekerjaan, tanggung jawab pekerjaan. Prinsip dasar dalam

ergonomi adalah demand (permintaan) < capacity (kapasitas) sehingga

beban kerja yang diterima oleh tubuh saat bekerja tidak melebihi kapasitas

manusia (pekerja) yang bersangkutan. Ketika permintaan tidak lebih besar

dari kapasitas atau kemampuan maka performance dari seseorang akan bisa

maksimal.

b. Organisasi kerja seperti lamanya waktu kerja, waktu istirahat, kerja bergilir,

kerja malam, sistem pengupahan, model struktur organisasi, pelimpahan

tugas dan wewenang.

c. Lingkungan kerja adalah lingkungan kerja fisik, lingkungan kimiawi,

lingkungan kerja biologis dan lingkungan kerja psikologis.

2. Faktor Internal

Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh itu sendiri akibat

dari reaksi beban kerja eksternal. Reaksi tubuh disebut strain, berat ringannya strain

dapat dimulai baik secara obyektif maupun subyektif. Faktor internal meliputi faktor

somatis (jenis kelamin, umur, ukuran tubuh, status gizi, kondisi kesehatan), dan faktor

psikis (motivasi, persepsi, kepercayaan, keinginan dan kepuasan).


35

Faktor-faktor lainnya yang dapat mempengaruhi beban kerja pada seseorang

adalah stuktur kepribadian, umur, kemampuan kerja, kesehatan jasmani dan rohani,

kondisi tempat kerja, peralatan kerja, waktu kerja, pencahayaan, hubungan kerja,

pengaruh kebijakan dan kompensasi.

2.3.5 Penilaian Beban Kerja Fisik

Penilaian beban kerja fisik secara obyektif dapat dilakukan dengan dua

metode, yaitu metode penilaian langsung dan tidak langsung. Metode penilaian

langsung yaitu mengukur energi yang dikeluarkan (energy expenditure) melalui

asupan oksigen selama bekerja. Semakin berat beban kerja maka semakin banyak

energi yang dikonsumsi. Kelebihan metode dengan menggunakan asupan oksigen

adalah hasil lebih akurat, namun kelemahannya yakni hanya dapat mengukur waktu

kerja yang singkat dan membutuhkan biaya yang mahal.

Untuk metode pengukuran tidak langsung adalah dengan menghitung denyut

jantung. Penilaian beban kerja fisik melalui denyut jantung adalah pendekatan untuk

mengetahui berat ringannya beban kerja fisik selain ditentukan juga oleh konsumsi

energi, kapasitas ventilasi paru, dan temperatur tubuh. Pada batas tertentu ventilasi

paru, denyut jantung, dan suhu tubuh mempunyai hubungan linear dengan konsumsi

kalori dalam melakukan pekerjaan. Untuk berbagai macam alasan itulah, sehingga

denyut jantung dapat dipakai sebagai index beban kerja.

Kategori beban kerja penilaian denyut nadi sebagai berikut: ringan antara 75-

100, sedang antara 101-125, berat antara 126-150, sangat berat antara 151-175 dan

sangat berat sekali lebih dari 175 denyut jantung permenit (Nurmianto, 2008).

Kelebihan metode penggunaan nadi kerja untuk menilai berat ringannya beban kerja
36

mempunyai beberapa keuntungan, selain mudah, cepat, murah juga tidak diperlukan

peralatan yang mahal serta hasilnya pun cukup reliabel dan tidak menganggu ataupun

menyakiti orang yang diperiksa. Kelemahan dari metode ini adalah laju pemulihan

denyut nadi dipengaruhi oleh nilai absolut denyut nadi yakni dari ketergantungan

pekerjaan (the interruption of work), tingkat kebugaran (individual fittness) dan

pemaparan lingkungan panas.

2.3.6 Penilaian Beban Kerja Mental

Menurut Widyanti, dkk (2010) metode pengukuran beban kerja mental

diantaranya National Aeronautics and Space Administration Task Load Index

(NASATLX), Subjective Workload Assessment Technique (SWAT), Harper

Qooper Rating (HQR), dan Rating Scale Mental Effort (RSME)

1. National Aeronautics and Space Administration Task Load Index (NASA-TLX)

Metode NASA-TLX merupakan metode yang digunakan untuk menganalisis

beban kerja mental yang dihadapi oleh pekerja dengan melakukan berbagai

aktivitas dalam pekerjaannya. Metode ini di kembangkan oleh Sandra G. Hart

dari NASA-Ames Research Center dan Lowell E. Staveland dari San Jose State

University pada tahun 1981 berdasarkan munculnya kebutuhan pengukuran

subjektif. Dalam kuesioner NASA-TLX ini, responden diminta untuk

memberikan rating dan pembobotan di setiap indikator. Adapun kelebihan

metode ini adalah lebih sensitif terhadap berbagai kondisi pekerjaan, setiap

indikator penilaian mampu memberikan sumbangan informasi mengenai struktur

tugas, proses penentuan keputusan lebih cepat dan sederhana, dan lebih praktis

diterapkan dalam lingkungan operasional (Ratna, 2009).


37

Kuesioner NASA-TLX terdiri enam skala yait Mental demand (MD), Physical

demand (PD), Temporal demand (TD), Performance (P), Frustation level (FR).

Tabel 2.1 Indikator Beban Kerja Mental

Skala Keterangan
Mental Demand (MD) Seberapa besar aktivitas mental dan perseptual
yang dibutuhkan untuk melihat, mengingat
dan mencari. Apakah pekerjaan tersebut sulit,
sederhana atau kompleks. Longgar atau ketat
Physical Demand (PD) Jumlah aktivitas fisik yang dibutuhkan
(misalnya mendorong, menarik dan
mengontrol putaran)
Temporal Demand (TD) Jumlah tekanan yang berkaitan dengan waktu
yang dirasakan selama elemen pekerjaan
berlangsung. Apakah pekerjaan perlahan atau
santai atau cepat dan melelahkan
Performance (OP) Seberapa besar keberhasilan seseorang di
dalam pekerjaannya dan seberapa puas dengan
hasil kerjanya
Frustation Level (FR) Seberapa tidak aman, putus asa, tersinggung,
terganggu, dibandingkan dengan perasaan
aman, puas, nyaman dan kepuasaan diri yang
dirasakan
Effort (EF) Seberapa keras kerja mental dan fisik yang
dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan

Langkah-langkah pengukuran dengan menggunakan NASA-TLX sebagai berikut

(Hancock dan Meshkati, 1988):

a. Pembobotan

Pada bagian ini responden diminta untuk memilih salah satu dari dua

indikator yang dirasakan lebih dominan menimbulkan beban kerja mental

terhadap pekerjaan tersebut. Kuesioner NASA-TLX yang diberikan berupa

perbandingan berpasangan. Dari kuesioner ini dihitung jumlah tally dari

setiap indikator yang dirasakan paling berpengaruh. Jumlah tally menjadi

bobot untuk tiap indikator beban mental.


38

Tabel 2.2 Perbandingan Indkator NASA-TLX

MD PD TD OP EF FR
MD
PD
TD
OP
EF
FR

b. Pemberian rating

Pada bagian ini responden diminta memberi rating terhadap keenam

indikator beban kerja mental. Rating yang diberikan adalah subyektif

tergantung pada beban mental yang dirasakan oleh responden tersebut.

Berikut gambar skala rating NASA-TLX:

Gambar 2.3 Skala Rating NASA-TLX


39

c. Menghitung nilai indicator

Diperoleh dengan mengalikan rating dengan bobot faktor untuk masing-

masing indikator. Dengan demikian didapatkan nilai keenam indikator

tersebut.

d. Menghitung Weighted Workload (WWL)

Diperoleh dengan menjumlahkan keenam nilai indikator tersebut.

e. Menghitung rata-rata WWL

Diperoleh dengan membagi WWL dengan jumlah bobot total. Rumus

menghitung rata-rata WWL dapa dilihat dibawah ini:

Skor =
∑ WWL
15

Skor yang didapat dalam perhitungan dapat digolongkan menjadi lima

golongan. Berikut tabel penggolongan skor dalam NASA-TLX:

Tabel 2.3 Penggolongan Skor NASA-TLX

Nilai Golongan Beban Kerja Mental


0-9 Rendah
10-29 Sedang
30-49 Agak Tinggi
50-79 Tinggi
80-100 Sangat Tinggi

2. Subjective Workload Assessment Technique (SWAT)

SWAT adalah prosedur pemberian skala yang di desain untuk tugas penting yang

banyak dari seseorang yang berpengaruh pada mental serta berhubungan dengan

pelaksanaan atau performansi tugas yang bervariasi. Metode ini dikembangkan

oleh Reid dan Nygren dengan menggunakan dasar metode penskalaan conjoint.

SWAT berbeda dengan pengukuran subyektif lainnya karena dikembangkan


40

dengan teliti dan berakar pada teori pengukuran formal, khususnya teori

pengukuran conjoint. Terdapat kelebihan dan kekurangan dari pengukuran beban

kerja mental dengan metode SWAT ini. Kelebihan metode ini yaitu pengukuran

dilakukan berdasarkan teori pengukuran formal, yaitu teori pengukuran conjoint,

dapat digunakan pada data tunggal maupun berkelompok dan dapat digunakan

untuk penilaian secara global yang diaplikasikan pada ruang lingkup yang lebih

luas. Kelemahan dari SWAT yaitu penggunaaan katakata secara lisan yang

beresiko menimbulkan konotasi yang berbeda untuk setiap individu serta

memerlukan program conjoint analysis untuk menghitung besarnya beban kerja

mental (Ratna, 2009).

3. Harper Qooper Rating (HQR)

HQR adalah suatu alat pengukuran beban kerja dalam hal ini untuk analisa

Handling Quality dari perangkat terbang di dalam cockpit. Metode ini terdiri

dari sepuluh angka rating dengan masing–masing keterangannya yang berurutan

mulai dari kondisi yang terburuk hingga kondisi yang paling baik, serta

kemungkinan-kemungkinan langkah antisipasinya. Rating ini dipakai oleh pilot

evaluator untuk menilai kualitas kerja dari perangkat yang diuji didalam cockpit

pesawat terbang. Kelemahan metode ini adalah hanya dapat digunakan pada jenis

pekerjaan dalam dunia penerbangan (Widyanti, dkk, 2010).

4. Rating Scale Mental Effort (RSME)

Rating Scale Mental Effort (RSME) merupakan metode pengukuran beban kerja

subyektif dengan skala tunggal. Responden diminta untuk memberikan tanda

pada skala 0-150 dengan deskripsi pada beberapa titik acuan. Metode ini jarang
41

digunakan karena memiliki banyak kelemahan, salah satunya adalah belum teruji

validitasnya (Ratna, 2009).

Namun dari beberapa metode tersebut, metode yang paling banyak digunakan

dan terbukti memberikan hasil yang baik adalah NASA-TLX (Hancock & Meshkati,

1988). Penelitian tentang pengukuran beban kerja mental pada perawat pernah

dilakukan oleh Hidayat, dkk (2013) di rumah sakit XYZ dan didapatkan hasil bahwa

seluruh perawat di rumah sakit tersebut memiliki beban kerja mental yang tinggi.

2.4 Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah bagian penelitian yang menyajikan konsep atau

teori dalam bentuk kerangka konsep. Pembuatan mengacu pada masalah-masalah

yang diteliti dan dibuat dalam bentuk diagram (Hidayat, 2007). Jadi kerangka

konsep adalah suatu hubungan atau kaitan antara konsep-konsep atau variabel-

variabel yang akan diamati atau diukur melalui penelitian yang akan

dilaksanakan. Kerangka konsep pada penelitian ini adalah:

Skema 2.1 Kerangka konsep penelitian

Variabel Independen Variabel Dependen

Beban Kerja Fisik Kinerja Perawat

Beban Kerja Mental Pelayanan Perawat

2.5 Hipotesa

Hipotesis merupakan jawaban atau dalil sementara yang kebenarannya


42

akan dibuktikan melalui hasil penelitian. Hipotesis ditarik dari serangkaian

fakta yang muncul sehubungan dengan masalah yang diteliti (Sastroasmoro &

Ismael, 2011). Hipotesis pada penelitian ini adalah:

1. Hipotesis nol (H0)

a. Tidak ada hubungan beban kerja fisik dengan kinerja perawat di RSUD

Kota Dumai.

b. Tidak ada hubungan beban kerja mental dengan kinerja perawat di

RSUD Kota Dumai.

c. Tidak ada hubungan beban kerja fisik dengan pelayanan perawat di

RSUD Kota Dumai.

d. Tidak ada hubungan beban kerja mental dengan pelayanan perawat di

RSUD Kota Dumai

2. Hipotesis alternatif

a. Ada hubungan beban kerja fisik dengan kinerja perawat di RSUD Kota

Dumai.

b. Ada hubungan beban kerja mental dengan kinerja perawat di RSUD Kota

Dumai.

c. Tidak ada hubungan beban kerja fisik dengan pelayanan perawat di

RSUD Kota Dumai.

d. Ada hubungan beban kerja mental dengan pelayanan perawat di RSUD

Kota Dumai.

Anda mungkin juga menyukai