Anda di halaman 1dari 84

Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil.

NORBERTUS JEGALUS, MA

Filsafat Sosial Politik

Catatan Pengantar

 Materi kuliah Filsafat Sosial Politik terdiri atas dua bagian. Bagian pertama di bawah
tema “Membangun Negara Hukum Demokratis Modern” yang memuat 7 pertemuan.
Kemudian dilanjutkan dengan Bagian kedua dengan tema “Filsafat Negara dalam
Lintasan Sejarah” juga memuat 7 pertemuan. Fokus pada Bagian kedua adalah
menjelaskan beberapa tokoh penting dalam bidang filsafat politik dari zaman Yunani
sampai zaman modern. Sedangkan tokoh-tokoh penting filsafat negara dari filsuf
kontemporer tidak dibicarakan di sini karena materi itu dibahas pada matakuliah
Filsafat Kontemporer.

 Adapun organisasi bahan kuliah DARING mengikuti urutan bab-bab sebagaimana


tercantum dalam naskah cetak (Modul/Diktat) dan membahas seluruh materi yang
berjumlah 11 bab. Kemudian ke-11 bab itu dipresentasikan dalam kuliah DARING
menjadi 14 pertemuan, tidak termasuk dua pertemuan ujian, yakni UTS dan UAS.
Jadi, total pertemuan ada 16 pertemuan: 14 pertemuan pembahasan materi dan 2
pertemuan evaluasi bahan (Ujian).

 Halaman yang dipakai dalam kuliah DARING ini adalah halaman ketikan materi
bukan halaman cetakan materi (Diktat). Untuk membantu mahasiswa, supaya dapat
menguasai materi ini dengan baik, maka mahasiswa diminta supaya memiliki naskah
cetakan, mengingat, jaringan internet tidak selalu lancar. Dengan demikian, meski
kuliah Daring tidak berlangsung karena gangguan jaringan, namun mahasiswa tetap
melakukan aktivitas belajar, yakni membaca materi dari naskah cetakan. Tentu ada
perbedaan sedikit naskah cetakan dengan naskah online ini. Namun perbedaan itu
lebih banyak menyangkut halaman dan sedikit menyangkut isi materi.
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

Bagian Pertama

Negara Hukum Demokratis Modern

Pertemuan 1

Nama Filsafat Sosial Politik

1. Apa itu filsafat


2. Apa itu sosial
3. Apa itu politik

Filsafat, ilmu kritik

 Apa itu filsafat? Pertanyaan “apa itu”, itulah filsafat, karena filsafat mencari hakekat
segala realitas dan pertanyaan “apa itu” itulah pertanyaan tentang hakekat sesuatu.
Filsafat mencari hakekat = whatness = quiditas (esensi sesuatu).

 Dahulu sebelum agama-agama wahyu muncul filsafat adalah cinta akan kebijaksanaan.
Karena secara etimologis kata filsafat dari kata Yunani “philo” dan “sophia” yang berarti
cinta/sahabat dan kebijaksanaan. Jadi, filsafat berurusan dengan ajaran-ajaran tentang
kebijaksanaan hidup: apa arti hidup, dari mana asal hidup, apa tujuan hidup, semua itu
dijawab oleh filsafat. Namun setelah agama-agama wahyu muncul pertanyaan tentang
asal dan tujuan hidup manusia itu dijawab oleh agama-agama wahyu. Maka sejak itu
filsafat tidak lagi diartikan menurut etimologinya yakni cinta akan kebijaksanaan. Filsafat
sejak itu berubah menjadi ilmu KRITIK. Flsafat sebagai ilmu kritik.

 Sifat kritis inilah yang dipakai dalam bidang Filsafat Sosial Politik ini. Jadi, Filsafat
Sosial Politik ini bukan lagi sebuah ajaran-ajaran kebijaksanaan hidup bernegara
melainkan ilmu yang memberikan pertimbangan kritis atas hidup bersama dalam negara.

 Dahulu filsafat diakui sebagai scientia universalis (ilmu universal), ia menjadi induk dari
segala imu (mater scientiarum). Akan tetapi sekarang filsafat tidak lagi menjadi mater
scientiarum melainkan ia hanyalah salah satu disiplin dari sekian disiplin ilmu
pengetahuan. Adapun tugas filsafat, sesuai dengan peran kritisnya, adalah mengajukan
pertanyaan – dijawab – lalu jawaban itu dipertanyakan lagi – lalu jawaban baru itu
dipertanyakan lagi – dan seterusnya bertanya dan menjawab tanpa akhir (ad infinitum).
Jawaban filsafat tidak pernah bersifat definitif/final; jawaban filsafat selalu terbuka untuk
dipersoalkan lagi. Itulah hakekat dari sifat kritis filsafat.
2
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

 Berdasarkan hakekat filsafat seperti itu maka Filsafat Sosial Politik adalah sebuah
refleksi kritis atas realitas sosial dan politik dalam wujud institusinya yakni negara.
Sejauh sebagai refleksi kritis maka Filsafat Sosial Politik tidak menawarkan pemecahan
konkrit tetapi membantu memberikan orientasi kepada manusia tentang hidup bersama di
dalam sebuah institusi negara.

 Filsafat itu ada dua bidang: Filsafat teoretis dan filsafat praktis. Filsafat teoretis tugasnya
adalah mempertanyakan apa yang ada: apa itu manusia, apa itu alam, apa hakekat
realitas, apa itu pengetahuan (epistemologi), apa yang kita tahu tentang yang transenden
(theodicea). Sedangkan filsafat praktis tugasnya, bertanya: bagaimana manusia HARUS
(das Sollen) bersikap terhadap apa yang ada itu (etika). Jadi, filsafat praktis itu
mempertanyakan tanggungjawab dan kewajiban manusia.

 Filsafat praktis atau yang disebut Etika itu ada dua bidang: Etika individual dan etika
sosial. Etika individual adalah etika yang berbicara tentang tanggungjawab manusia
terhadap dirinya dan suara hatinya. Sedangkan etika sosial berbicara tentang
tanggungjawab manusia dalam kehidupan bersama. Contoh-contoh etika sosial: etika
profesi, etika keluarga, dan etika politik. Etika politik inilah yang mencakupi filsafat
sosial politik. Filsafat politik berurusan dengan dimensi politis kehidupan manusia. Jadi,
filsafat sosial politik termasuk filsafat praktis.

Sosial, dimensi sosial kehidupan manusia

 Manusia adalah makhluk sosial. Manusia itu adalah seorang individu yang secara hakiki
bersifat sosial. Sosial bukanlah tambahan karakter dari luar tapi secara hakiki
menentukan manusia dalam individualitasnya dan kepribadiannya yang khas. Oleh
karena itu manusia hanya menjadi sungguh manusia karena ada orang lain atau bersama
orang lain.

 Sifat kesosialan inilah yang menjadi dasar bagi adanya negara sebagai institusi sosial
politik. Tetapi justru dalam hal inilah Karl Marx mengeritik negara. Menurut Marx
negara itu tidak lain tidak bukan hanyalah sebuah perwujudan dari hakekat sosial
manusia. Namun kemudian negara yang hanyalah perwujudan hakikat sosial manusia itu
justru menindas manusia warganya. Karena itu, menurut Marx, begitu negara bertindak
tidak wajar maka kita tidak perlu memperbaki dengan mengganti konstitusi atau merubah
bentuk demokrasinya melainkan bubarkan saja negara itu. Kembalikan saja hakikat sosial
manusia itu ke dalam dirinya sendiri. Jadi, Marx menghendaki penghapusan negara.

3
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

 Tanda kesosialan manusia adalah adanya BAHASA dan INSTITUSI. Ada 3 dimensi
kesosialan manusia: (1) Dimensi individual: dalam penghayatan spontan individual
seperti kebebasan dalam kehidupan konkret dan spontan setiap hari. Ia bebas tetapi bebas
di dalam kebersamaan orang lain. (2) Dimensi institusional: Ia berada dalam masyarakat
dengan segala normanya. Menurut Hegel ada tiga lembaga dalam hidup sosial manusia
yakni: keluarga – masyarakat – dan negara. (3) Dimensi simbolik, yakni dimensi yang
menyangkut sistem-sistem nilai seperti tentang makna hidup diajarkan oleh agama,
makna realitas dan hidup diajarkan oleh keyakinan dan ideologi. Semua ini disebut
warisan kerohanian masyarakat.

Politik, dimensi politis kehidupan manusia

 Dimensi masyarakat sebagai keseluruhan disebut politis, kalau hal itu berorientasi pada
masyarakat sebagai keseluruhan. Kalau suatu tindakan berorientasi pada masyarakat
namun tidak sebagai keseluruhan melainkan kepada kelompok-kelompok tertentu apalagi
kepada pribadi-pribadi, maka itu tidak bersifat politis. Suatu tindakan itu bersifat politis
kalau tindakan itu memperhatikan kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan.

 Karena itu politisi adalah orang-orang yang beprofesi mengenai masyarakat sebagai
keseluruhan. Kalau politisi itu menangani kepentingan masyarakat namun masyarakat
sebagai kelompok atau pribadi-pribadi maka itu bukanlah tindakan politik.

 Jadi, dimensi politis seorang manusia berarti ia menyadari diri sebagai anggota
masyarakat sebagai keseluruhan, di mana keseluruhan itu yang menentukan kerangka
kehidupannya dan sebaliknya kehidupannya sebagai anggota menentukan keseluruhan
itu. Itulah relasi antara individu dan masyarakat.

Nama Filsafat Sosial Politik

 Cabang filsafat praktis (filsafat moral sosial) yang merefleksikan persoalan institusi dan
organisasi negara. Tradisi filsafat menyebut filsafat sosial politik ini dengan nama
Filsafat Negara (Staatsphilosophie).

 Disiplin Filsafat Sosial Politik ini berkaitan erat dengan tiga disiplin filsafat praktis
lainnya: Filsafat moral, filsafat sosial, dan filsafat hukum. Disiplin Filsafat Sosial Politik
mempunyai sejarah panjang. Hampir semua filsuf klasik berbicara tentang politik.

 Filsafat Sosial Politik bersifat kontrafaktis: Itu maksudnya bahwa ia berada dalam
tegangan antara yang normatif (das Sollen) dan realitas politik yang keras (das Sein). Ia
selalu berseberangan dengan realitas. Oleh karena itu Filsafat Sosial Politik memberikan
orientasi untuk mengarahkan praksis politik.

4
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

 Jadi, Filsafat Sosial Politik tidak secara langsung meneliti materi secara empiris seperti
dilakukan oleh Ilmu Politik (Politologi), seperti Bentuk-bentuk pemerintahan. Karena itu
metode Filsafat Sosial Politik bersifat kritis. Ia melakukan kritik untuk menentukan betul
salahnya tindakan politik. Ada kriteria untuk menentukan betul-salahnya suatu tindakan
politik: (1) Keadilan; (2) demokrasi; (3) bonum commune.

Arti kata politik

 Etimologi: kata Yunani polis = warga kota. Di zaman Yunani kuno negara adalah negara
kota (citystate). Jadi, kata polis = masyarakat yang ditata secara politis.

 Ada 3 arti kata politik, dan dalam bahasa Inggris ketiga pengertian itu lebih jelas karena
diungkapkan dengan tiga kata yang berbeda. (1) Policy (kebijakan). Politik adalah
kebijakan, dan inilah arti luas (in sensu lato) dari kata politik. Politik dalam pengertian ini
adalah tindakan publik di segala bidang dan mencakupi arah, sasaran, isi, dan program
politik. Pelakunya adalah para politisi, birokrat, warga dari civil society. (2) Politics:
Inilah arti sempit (in sensu stricto) kata politik. Ini menyangkut tindakan publik para
pelaku politik, seperti politisi, partai politik, dan aparat negara. Politics ini juga
menyangkut pergulatan meraih kekuasaan politik yang dilakukan partai politik atau
politisi. (3) Polity: Kata ini menunjuk pada susbsistem politik, seperti dalam hal bidang
kenegaraan dan tata susunan politik, dan itulah yang kita sebut sekarang dengan nama
birokrasi pemerintahan dengan segala struktur dan mekanismenya.

 Sekarang istilah politik praktis adalah padanan dari istilah Inggris politics, yakni
perjuangan meraih kekuasaan. Padahal ketiga istilah: policy, politics, dan polity,
semuanya bersifat praktis, artinya: ketiga hal itu ada dalam realitas dalam bentuk
lembaga dengan segala tindakan publiknya.

Arti politik menurut Hannah Arendt

Di dalam Vita Activa Arendt menulis tentang tiga aktivitas manusia:


(1) Arbeiten (kerja). Untuk mempertahankan hidup manusia butuh makan dan untuk itu ia
bekerja. Namun menurut Arendt binatang juga bekerja agar ia bisa hidup. Kera lapar dan
untuk menghilangkan kekaparannya itu ia memanjat pohon untuk memetik buah. Itulah
kerja. Di sini kerja adalah jawaban manusia atas tuntutan hidup dan itu sama juga untuk
binatang. Kekhasan kerja kalau dibandingkan dengan aktivitas lain pada manusia adalah
bahwa kerja berpusat pada diri sendiri. Manusia dalam hal ini masih dalam taraf homo
laborans (manusia yang bekerja), belum menjadi homo faber (manusia dalam
kebersamaan dengan orang memproduksi suatu barang untuk menjawab kebutuhannya
dengan menggunakan alat-alat).

5
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

(2) Herstellen (menghasilkan/beproduksi). Tindakan produksi tujuannya sama dengan kerja


yakni untuk menjawab tuntutan untuk bertahan hidup. Perbedaan antara kerja dan
produksi adalah bahwa dalam memproduksi manusia tidak lagi berpusat pada diri sendiri
melainkan sudah melibatkan orang lain. Contoh: untuk memproduksi suatu barang
manusia butuh alat dimana alat itu tidak diciptakannya sendiri melainkan oleh orang lain.
Jadi, manusia memproduksi sesuatu butuh orang lain. Hanya saja di sini butuh orang lain
demi kelancaran kerjanya. Namun di sini manfaatnya adalah tetap bagi diri sendiri. Itulah
situasi pasar kapitalistik dewasa ini.

(3) Handeln (bertindak). Di sini juga tetap dalam rangka mempertahankan hidup akan tetapi
aktivitasnya tidak lagi untuk kepentingan diri sendiri melainkan sebuah aktivitas di dalam
masyarakat demi kepentingan bersama masyarakat. Itulah tindakan politis. Ini satu-
satunya tindakan yang berlangsung antara manusia tanpa perantara materi, barang-barang
dan benda. Tindakan politis bersifat langsung. Itulah sebabnya tindakan politik disebut
komunikasi. Jadi, politik adalah komunikasi antarmanusia yang bebas dan egaliter.
Adapun bahaya yang ada sekarang adalah politik direduksi menjadi KERJA (berpusat
pada diri sendiri dan demi kepentingan diri sendiri), atau direduksi mejadi PRODUKSI
(memang melibatkan orang lain tetapi tetap demi kepentingan diri sendiri).*

6
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

Pertemuan 2

Hakekat Negara

1. Apa itu negara


2. Fungsi negara: membuat aturan hukum
3. Aturan hukum negara dan pengakuan masyarakat
4. Negara dan kedaulatannya
5. Kedaulatan dan wewenang moral negara

Apa itu negara

Dewasa ini satu-satunya lembaga yang memiliki kekuasaan untuk secara efektif menata
kehidupan masyarakat adalah negara. Pertanyaan apa itu negara adalah pertanyaan
tentang hakekat negara. Kata “negara” dalam bahasa Indonesia sama dengan Staat
dalam bahasa Jerman atau state dalam bahasa Inggris. Kata negara ini mempunyai dua
arti: (1) Negara adalah masyarakat atau wilayah yang merupakan satu kesatuan politis.
Dalam arti ini Indonesia dan Jepang merupakan negara. (2) Negara adalah lembaga pusat
yang menjamin kesatuan politis yang menata dan dengan demikian menguasai wilayah
itu. Demikian misalnya pulau-pulau Nusantara merupakan satu negara Indonesia. Begitu
pula Malaya, Serawak, dan Sabah merupakan satu negara karena mempunyai satu
lembaga pusat (negara) yang memerintahi mereka. Adapun negara yang dibahas di dalam
filsafat politik adalah terutama negara dalam arti kedua yakni sebagai lembaga pusat
pemersatu suatu masyarakat. Fungsi dasar dan hakiki negara sebagai pemersatu
masyarakat adalah penetapan aturan-aturan di dalam negara.

Fungsi negara: membuat aturan hukum

 Satu-satunya fungsi formal negara adalah mempermaklumkan, menerapkan, dan


menjamin, seperlunya memaksa, keberlakuan aturan-aturan kelakuan bagi seluruh
warganya. Ada kurang lebih lima unsur penting yang perlu diperhatikan dalam hal
penetapan aturan-aturan kelakuan bagi warga negara:

1. Hanya aturan negara yang disebut hukum sedangkan aturan-atuaran yang dibuat oleh
pelbagai lembaga di dalam negara (aturan sekolah, aturan perusahaan, aturan organisasi
olahraga dan seterusnya) bukanlah hukum. Semua aturan-aturan itu hanya dapat

7
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

dilaksanakan sejauh sesuai dengan aturan negara (hukum). Dengan kata lain, semua
aturan itu hanya berlaku sejauh sesuai dengan hukum negara.

2. Satu wilayah negara (dalam arti pertama) harus dikuasai oleh satu lembaga negara saja.
Kalau ada dua atau lebih lembaga pembuat norma dalam satu wilayah maka mereka
harus bersaing dan kesatuan hukum tidak terjamin. Dengan demikian kehilangan
“kepastian hukum”.

3. Norma-norma yang ditetapkan negara berlaku definitif. Artinya, hukum negara itu bukan
sekadar anjuran melainkan secara hakiki dilaksanakan dengan kepastian hukum dan ada
sanksi hukum bagi yang melanggar.

4. Keberlakuan aturan-aturan negara hanya dapat dijamin apabila negara seperlunya dapat
dan berhak untuk menggunakan paksaan fisik. Kepastian hukum mengandaikan
kesediaan negara untuk mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk mencegah
para pelanggarnya termasuk tindakan kekerasan. Jadi, atas dasar hukum negara bisa suatu
saat mengambil tindakan kekerasan.

5. Negara adalah lembaga satu-satunya yang berhak untuk menggunakan paksaan fisik guna
menjamin keberlakuan aturan-aturannya. Jadi, negara memiliki monopoli hak
penggunaan paksaan fisik dan salah satu kewajibannya yang paling penting adalah untuk
menjaga monopoli itu. Namun negara (alat-alat negara) hanya bisa mengambil tindakan
kekerasan sejauh tindakan itu diatur di dalam hukum.

Aturan hukum negara dan pengakuan masyarakat

 Pengakuan masyarakat terhadap wewenang negara untuk menetapkan hukum dan untuk
menjamin keberlakuannya termasuk hakikat negara. Karena itu tidak setiap lembaga yang
menetapkan hukum wajib ditaati, misalnya, lembaga Mafia membuat aturan dan ditaati
oleh para anggotanya, namun ketaatan lebih karena takut. Jadi, Mafia juga mempunyai
sistem kekuasaan. Namun tidak setiap system kekuasaan merupakan negara.

 Kemampuan negara untuk seperlunya menindas segala pembangkangan bukanlah dasar


primer kekuasaan negara melainkan bersifat sekunder untuk mengakui wewenangnya.
Ancaman sanksi kekerasan negara hanya berfungsi untuk mengimbangi niat-niat jahat
dan nafsu serta emosi warga negara yang dapat merusak ketertiban masyarakat. Jadi,
aturan itu harus ditaati dan bagi yang melanggar diancam dengan sanksi.

 Kestabilan suatu negara tergantung dari luasnya pengakuan wewenangnya oleh


masyarakat dan pengakuan masyrakat itu tidak boleh karena alasan rasa takut melainkan
oleh alasan demi ketertiban bersama. Suatu kekuasaan yang hanya berdasarkan perasaan

8
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

takut adalah rapuh karena hanya dapat dipertahankan melalui aparatur penindas yang
semakin besar. Begitu aparatur penindas melemah maka pelanggaran bisa muncul
dimana-mana.

 Namun tidak semua anggota masyarakat menyetujui segenap kebijakan negara. Selalu
ada warga yang mencoba untuk lolos dengan suatu pelanggaran hukum. Akan tetapi
penolakan itu atau kritik terhadap kebijakan negara itu tidak mengenai wewenang negara
untuk menetapkan norma-norma bagi kehidupan masyarakat. Wewenang itu tetap diakui,
hanya saja ada orang yang berusaha untuk meloloskan diri dari konsekuensinya, atau
menentang cara penggunaanya.

 Intinya: Suatu masyarakat merupakan negara apabila dikuasai oleh suatu lembaga pusat
yang mampu mempermaklumkan dan menerapkan aturan-aturan kelakuan dan untuk
menjamin ketaatan segenap anggota masyarakat terhadap aturan itu, seperlunya dengan
mempergunakan kekuatan fisik, dan apabila pelaksanaannya kemampuan itu oleh
masyarakat yang bersangkutan dianggap sah.

Negara dan kedaulatannya

 Kedaulatan adalah ciri utama negara. Itu artinya: tidak ada pihak baik di dalam maupun
di luar negeri, yang harus dimintai izin untuk menetapkan atau melakukan sesuatu.
Kedaulatan adalah hak kekuasaan mutlak, tertinggi, tak terbatas, tak tergantung dan tanpa
kecuali. Namun dalam kenyataan tidak ada negara yang sama sekali berdaulat.
Keanggotaan dalam organisasi internasional juga mengurangi kedaulatan suatu negara.
Kedaulatan negara mencakupi ke dalam dan ke luar.

 Kedaulatan negara ke dalam berarti bahwa masalah apa saja dapat menjadi bahan
keputusan negara dan bahwa dalam hal ini negara tidak tergantung dari pihak yang
mempunyai wewenang lebih tinggi. Di sini dibedakan lagi dua segi, yakni kedaulatan
wewenang dan kesatuan kekuasaan negara.

1. Kedaulatan wewenang: Wewenang adalah kesanggupan dan hak untuk melakukan


sesuatu. Negara tidak hanya mempunyai segudang wewenang melainkan juga memiliki
wewenang untuk memperluas atau mempersempit wewenang itu. Misalnya, negara
memiliki wewenang untuk menentukan apakah lembaga-lembaga swasta berwewenang
membuka sekolah sendiri atau tidak. Jadi, negara memiliki kedaulatan wewenang atau
wewenang wewenang. Wewenang khas negara terletak dalam kedaulatan wewenang
yang juga disebut wewenang wewenang (competence of competence) itu. Suatu negara
disebut kuat apabila memiliki kekuatan untuk melaksanakan wewenang itu dalam realitas
kehidupan politik.

2. Kesatuan kekuasaan negara: itu artinya, dalam wilayah suatu negara tidak ada
lembaga lain yang juga memiliki kedaulatan wewenang. Jadi, satu negara hanya dapat

9
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

ada satu pusat pemerintahan. Semua wewenang lain dalam wilayah kekuasaan tunduk
terhadap wewenang negara itu.
 Kedaulatan negara ke luar. Itu artinya, tidak ada pihak dari luar negara yang berhak
untuk mengatur sesuatu dalam wilayah negara itu. Kedaulatan keluar dapat diungkapkan
dalam dua patokan: kekebalan dan kesamaan kesanggupan semua negara untuk
menciptakan hukumnya sendiri dan untuk bertindak: Pertama, patokan kesamaan
kesanggupan: Artinya, semua negara memiliki hak yang sama untuk menetapkan undang-
undang dalam wilayah mereka dan untuk bertindak atas nama negaranya sediri
berhadapan dengan negara-negara lain, entah mereka kecil atau besar, lemah atau kuat.
Kedua, patokan kekebalan (principle of impermeability) mengatakan bahwa wilayah
sebuah negara tidak boleh dimasuki dalam bentuk apapun oleh negara lain. Jadi, negara
lain tidak boleh mengambil tindakan hukum atau kekuasaan dalam wilayah kekuasaan
negara lain.

Kedaulatan dan wewenang moral negara

 Apakah dengan kedaulatan wewenang itu negara memiliki hak untuk mencampuri
SEGALA urusan masyarakat, untuk menentukan segala-galanya. Untuk menjawab
pertanyaan ini kita harus bedakan antara tingkat bahasan faktual-deskriptif dan tingkat
bahasan normatif-etis. Bahwa negara memiliki kedaulatan dan bisa mengalahkan semua
wewenang lain adalah pernyataan deskriptif. Akan tetapi bahwa negara memiliki
wewenang itu, belum mengimplikasikan apa-apa tentang luasnya jangkauan penggunaan
wewenang itu yang masih dapat dibenarkan. Dengan kata lain, kedaulatan wewenang itu
tidak disangkal namun itu tidak berarti negara dapat mengatur segala-galanya.
Bagaimanapun tetap ada batas wewenang negara dalam mengatur warganya. Misalnya,
negara tidak dapat begitu saja mencampuri urusan intern suatu agama. Karena kalau hal
itu dilakukan maka negara melanggar kebebasan agama.

 Dengan demikian fakta bahwa negara memiliki kedaulatan wewenang akhirnya


menimbulkan pertanyaan tentang legitimasi etis penggunaan kedaulatan itu. Karena
negara itu tidak dapat melakukan segala hal maka itu berarti kedaulatan negara itu tidak
memberi wewenang moral kepadanya untuk mempergunakan kedaulatan itu secara
semaunya. Jadi, secara moral negara tidak berhak untuk membenarkan segala macam
tindakan dengan alasan bahwa ia memiliki kedaulatan wewenang. Di sini tindakan
negara harus dipertanggungjawabkan secara moral.

 Mengapa tindakan negara secara moral ada batasnya karena negara sesungguhnya
hanyalah sebuah institusi buatan manusia demi kepentingan manusia. Fungsi negara
bersifat subsider. Negara bukanlah tujuan pada dirinya sendiri. Maka tidak masuk akal
kalau negara mau melakukan segala-galanya. Kalau negara melakukan segala-galanya
maka negara jatuh ke dalam totalitarianisme, dan totalitarianisme bertentantang dengan
demokrasi dan hak asasi manusia. Ada dua alasan mengapa totalitarianisme ditolak:
Pertama, hakikat negara sebagai sarana pelengkap dan bukan pengganti usaha
masyarakat. Kedua, hak moral masyarakat untuk mengurus diri sendiri.

10
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

Pertemuan 3

Adanya Negara

1. Raison d’etre negara


2. Bonum commune
3. Prinsip subsidiaritas
4. Totalitarianisme

Raison d’etre negara

 Sebuah pertanyaan yang harus dijawab dalam filsafat politik adalah untuk apa negara itu
ada? Dalam menjawab pertanyaan ini filsafat politik tidak memberikan sebuah jawaban
operasional langsung. Filsafat politik di sini hanya memberikan jawaban sebagai orientasi
etis-normatif tentang manfaat adanya negara bagi masyarakat. Dengan orientasi dasariah
itu maka negara dapat membuat program-program yang benar-benar bermanfaat bagi
masyarakat sebagai keseluruhan.

 Negara menganut prinsip manfaat: eksistensi negara seluruhnya harus bermanfaat bagi
masyarakat. Sebagaimana setiap persekutuan begitu pula negara bukanlah tujuan pada
dirinya sendiri dan tidak diciptakan sekedar ada negara. Negara berbeda dengan sebuah
kongsi perdagangan, karena tujuan negara bukanlah jaminan kehidupan dan memperkaya
mereka yang mengurusnya. Jadi, negara hanya mempunyai arti sejauh berguna bagi
masyarakat. Negara wajib untuk mengusahakan kemajuan kepentingan semua warga
negara sebagai unsur-unsur nyata dasariah masyarakat. Singkatnya, alasan adanya negara
(raison d’etre negara) adalah satu saja yakni kepentingan umum (bonum commune).

Bonum commune

 Tujuan negara adalah penyelenggaraan kesejahteraan umum. Apa itu kesejahteraan


umum (bonum commune)? Kesejahteraan umum bukanlah kesejahteraan semua anggota
masyarakat. Faham kesejahteraan umum hanya dapat dimengerti dengan benar kalau kita
bandingkan dengan faham lawannya yakni kesejahteraan individual.

 Kesejahteraan umum sifatnya KURANG dari kesejahteraan individual namun juga LEBIH
dari kesejahteraan individual tiap-tiap warganya. KURANG, karena negara selalu hanya
dapat menciptakan kondisi-kondisi kesejahteraan yang memungkinkan warga negara

11
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

sendiri membangun kesejahteraannya tetapi tidak dapat memastikan bahwa mereka


semua memang sejahtera. Sedangkan kesejahteraan individual tidak hanya tergantung
dari apa yang disediakan oleh masyarakat dan negara tetapi juga dari individu yang
bersangkutan. LEBIH, karena masyarakat sendiri adalah lebih dari penjumlahan semua
individu yang menjadi anggota-anggotanya.

 Jadi, kesejahteraan umum sebagai kesejahteraan yang harus diusahakan oleh negara.
Kesejahteraan umum adalah kesejahteraan yang memungkinkan terciptanya
kesejahteraan setiap anggota masyarakatnya. Dengan demikian kesejahteraan umum
adalah jumlah syarat dan kondisi yang perlu tersedia agar para anggota masyarakat dapat
sejahtera oleh usahanya sendiri.

 Kapan seorang merasa sejahtera? Jawabannya harus dirumuskan baik secara negatif
maupun secara positif. Secara negatif: sejahtera adalah bila manusia itu bebas dari
perasaan lapar dan dari kemiskinan, dari kecemasan akan hari esok, bebas dari perasaan
takut, bebas dari penindasan, dan bebas dari perlakuan tidak adil. Sedangkan secara
positif: sejahtera adalah bila manusia itu dapat hidup sesuai dengan cita-cita dan nilai-
nilainya sendiri, apabila ia merasa bebas untuk mewujudkan kehidupan individual dan
sosialnya sesuai dengan aspirasi-aspirasi serta sesuai dengan kemungkinan-kemungkinan
yang tersedia bagiya.

 Dengan demikian kesejahteraan sesorang bukanlah sesuatu yang dapat ditentukan secara
dogmatis atau ideologis ataupun secara pragmatis dari atas melainkan terletak dalam
perasaan orang yang bersangkutan. Bukan negaralah yang dapat menentukan kapan
seorang bebas dari perasaan cemas, kapan sesorang merasa tenteram dan bahagia. Itu
artinya: Tujuan dan kegiatan negara bagi warganya ada batasnya. Negara dapat
mengusahakan kondisi-kondisi kesejahteraan para anggota masyarakat tetapi tidak dapat
membuat mereka merasa sejahtera. Negara tidak langsung dapat menciptakan
kesejahteraan seseorang. Kalau negara langsung mau membuat para anggota masyarakat
menjadi sejahtera maka negara jatuh ke dalam totalitarianisme. Padahal hadirnya negara
bagi masyarakat hanya bersifat subsider. Karena itu yang diciptakan negara hanya
prasyarat-prasyarat objektif yang perlu tersedia agar kesejahteraan masing-masing
anggota masyarakat dapat terwujud.

 Negara bersifat subsider itu artinya bahwa negara bertugas untuk menciptakan prasarana-
prasarana yang diperlukan masyarakat agar dapat merasa sejahtera tetapi yang tidak dapat
dijamin oleh masyarakat sendiri. Sebagai contoh: kesejahteraan seseorang juga
tergantung dari kemampuannya untuk bekerja keras. Akan tetapi bekerja keras sekalipun
tidak berguna manakala struktur-struktur ekonomis bersifat eksploitatif, karena dalam
struktur ekonomis eksploitatif hanya memberi kondisi baginya: semakin ia bekerja keras
bukannya membuat dia menjadi sejahtera melainkan justru membuat si majikan semakin
menjadi kaya sedangkan ia semakin menjadi miskin. Dalam hal ini negara hadir atau

12
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

dibutuhkan untuk menciptakan struktur ekonomis yang memungkinkan siapa saja yang
bekerja keras akan menjadi sejahtera.

Prinsip Subsidiaritas

 Penjelasan tentang tugas negara menciptakan kesejahteraan umum perlu ditambahkan


dengan penjelasan prinsip subsidiaritas (Latin: subsidium = bantuan atau sokongan). Itu
artinya, negara memang bertugas untuk menciptakan kesejahteraan bagi setiap
anggotanya namun tidak dalam arti negara langsung memberikan dan menyediakan apa
saja yang dibutuhkan oleh masyarakat demi terwujudnya rasa sejahtera itu. Tujuan dan
tugas negara adalah untuk menciptakan kesejahteraan umum. Akan tetapi tugas
menciptakan kesejahteraan umum itu, dalam arti, negara hanya menciptakan sarana atau
kondisi umum yang memungkinkan setiap dan semua warga dapat dengan kekuatan dan
caranya sendiri menciptakan kesejahteraannya masing-masing. Di sini negara hanya
bersifat tambahan saja (subsider); negara hanya melengkapi bukan menggantikan.

 Prinsip subsidiaritas ini mengandung dua segi: segi yang membenarkan dan segi yang
melarang. Pertama, dari segi yang membenarkan: Itu artinya, negara hanya menyediakan
bantuan yang mendukung kegiatan masyarakat demi penciptaan kesejahteraan mereka.
Kedua, dari segi yang melarang: Itu artinya, negara tidak boleh melakukan kegiatan yang
tidak mendukung kemajuan masyarakat apalagi yang merugikan masyarakat.

 Prinsip etis subsidiaritas ini dapat dirumuskan demikian: Lembaga yang lebih tinggi,
dalam hal ini negara, harus memberi bantuan kepada anggota-anggotanya atau lembaga
yang lebih rendah, sejauh anggota-anggotanya tidak dapat mengerjakan tugas mereka
secara memuaskan. Sedangkan apa yang dapat dikerjakan secara memuaskan oleh
anggota-anggota masyarakat jangan diambilalih oleh negara.

 Penekanan prinsip ini: Negara hanya menunjang usaha masyarakat. Negara hendaknya
jangan mencampuri segala urusan dan jangan mau mengurus segala-galanya sendiri.
Prinsip subsidiaritas ini melawan liberalisme dan etatisme: Melawan liberalisme prinsip
subsidiaritas menegaskan kewajiban negara untuk mendukung dan melengkapkan usaha
masyarakat demi terciptanya kebahagiaan. Sedangkan melawan etatisme prinsip
subsidiaritas membatasi tugas negara pada pelayanan-pelayanan yang tidak bisa
dilakukan sendiri oleh anggota masyarakat. Sekali lagi, inti prinsip subsidiaritas adalah
bahwa wewenang satuan yang lebih luas (negara) secara hakiki bersifat subsider atau
penunjang. Oleh karena itu satuan masyarakat yang lebih luas tidak berhak untuk
mengambil-alih urusan yang secara memuaskan dapat dikerjakan oleh satuan lebih kecil.

 Dasar dari prinsip subsidiaritas adalah hormat terhadap martabat manusia, dimana itu
diakui sebagai makhluk yang berakal budi, bebas dan bertanggungjawab. Maka manusia
berhak untuk melakukan apa saja yang, dalam kerangka tanggungjawabnya terhadap

13
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

masyarakat, dapat dilakukan sendiri. Jadi, mengambil-alih tugas oleh negara yang
sebenarnya tugas itu bisa dilakukan sendiri seorang anggotanya adalah melanggar hak
dasar manusia untuk mengurus diri sendiri. Jadi, jelaslah bahwa makna prinsip
subsidiaritas sebenarnya terletak pada penegasan bahwa negara adalah demi anggota-
anggotanya dan bukan sebaliknya, dan oleh karena itu negara jangan mengambil alih
semua yang bisa dilakukan oleh masyarakat.

Totalitarianisme

 Tugas negara adalah memajukan kesejahteraan umum dan itu dilakukan oleh negara
dengan tidak mengambilalih seluruh urusan itu dan masyarakat tinggal menikmatinya.
Prinsip subsidiaritas yang berdasarkan paham hak asasi manusia itu mengajarkan bahwa
negara hanya bersifat subsider; ia hanya menunjang kemampuan dan kekuatan yang ada
dalam masyarakat. Singkatnya, negara hanya mendukung dan tidak boleh menggantikan
tenaga masyarakat sendiri. Sedangkan pandangan yang mengatakan bahwa negara
mengusahakan kesejahteraan umum, dalam arti, negara sendiri langsung menciptakan
segala barang dan urusan lalu masyarakat tinggal menggunakannya, disebut
totalitarianisme.

 Menurut totalitarianisme semua bidang kehidupan masyarakat harus terpusat dalam


tangan negara dan diatur secara seragam oleh negara. Perbedaan lingkungan dan hak
hidup antara individu, masyarakat, dan negara harus dihapus. Masyarakat merupakan
kesatuan total dimana bagian-bagiannya, yakni para anggotanya dengan pelbagai
pengelompokan sosial tidak berarti apa-apa pada diri mereka sendiri. Pandangan ini
terungkap dalam semboyan Nazi di Jerman dulu: “Du bist nichts, dein Volk ist alles”
(Engkau bukanlah apa-apa, bangsamu adalah segalanya). Dalam praktek negara totaliter
selalu berupa diktakur mutlak seorang pemimpin, sekelompok orang, atau satu partai.

 Rejim totaliter tidak mengakui pembagian kekuasaan, jadi menolak demokrasi. Biasanya
hanya ada satu partai politik yang merupakan pengemban ideologi totaliter resmi. Kalau
dibiarkan beberapa partai politik maka partai politik itu tidak mempunyai kehidupan dan
otonomi sendiri. Kebebasan politik dan hak-hak asasi manusia warga negara tidak diakui.
Segala kegiatan sosial politik dimonopoli oleh negara. Kontrol negara atas kehidupan
masyarakat adalah total. Kontrol negara totaliter bersifat sedemikian menyeluruh
sehingga segala kebijakan politiknya hanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
pragmatis saja: seperti, adanya keadaan darurat, ancaman dari luar, krisis ekonomi yang
gawat. Untuk mempertahankan diri biasanya suatu rejim totaliter memerlukan legitimasi
ideologis yang keras. Ideologi itu berfungsi untuk membenarkan penindasan kebebasan
dan penyeragaman kehidupan masyarakat.

 Ciri-ciri negara totaliter: (1) Adanya gerakan massa yang terorganisasi secara sentral dan
seragam dan uniform. (2) Perayaan-perayaan nasional ada banyak, dengan tujuan untuk
menumbuhkan semangat massal dan seragam ke dalam kesadaran warga negara, serta

14
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

persatuan mutlak dan semangat korban demi negara. (3) Suasana perjuangan dan
semangat revolusioner. (4) Semua jalur informasi dikontrol. Semua sarana kontrol ada di
tangan negara. (5) Kegiatan apa saja dikontrol oleh negara. Singkatnya, segala dimensi
kehidupan dikontrol oleh negara.

 Dua bentuk totalitarianisme:

1. Negara paternalistik tidak keras tetapi selama negara tidak mengalami tantangan yang
berat. Begitu ada tangan berat dari rakyat maka ia totaliter. Paternalisme memberikan
perhatian baik-baik terhadap masyarakat, dimana pemimpin mengklaim dirinya sebagai
bapak dan warga negara adalah anggota keluarga (negara kekeluargaan). Di dalam
negara ini semua bidang kehidupan masyarakat dianggap berada di bawah pengawasan
negara tetapi tidak dicampuri langsung dan ketat. Oleh karena itu tidak dibutuhkan
sebuah ideologi yang keras dari negara.

2. Negara penyelenggara adalah negara yang beranggapan bahwa apa saja yang terjadi
dalam masyarakat harus diselenggarakan oleh negara. Negara adalah pihak yang aktif,
yang memberikan, sedangkan masyarakat pihak yang pasif, yang menerima anugerah
negara. Negara tidak mengurus segala-galanya secara langsung tetapi merasa berhak dan
wajib untuk dalam segala hal memberikan bimbingan dan pengaturan. Negara
memandang dirinya sebagai sumber kebaikan bagi masyarakat. Masyarakat, karena itu,
merasa berterima kasih kepada negara.

 Walau kedua bentuk totalitarianisme ini tidak menteror masyarakat dan menyajikan
takaran kebebasan yang lumayan kepada masyarakat namun dilihat secara prinsipil dua
bentuk ini tetap menomorsatukan negara dan menomorduakan masyarakat. Akibatnya,
negara adalah primer, masyarakat adalah yang sekunder. Masyarakat demi negara dan
bukannya negara demi masyarakat. Padahal seharusnya masyarakat adalah primer dan
negara itu sekunder karena negara hanyalah sarana bagi hidup bersama.*

15
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

Pertemuan 4

Menolak adanya negara

1. Anarkisme
2. Macam-macam anarkisme
3. Penilaian terhadap anarkisme
4. Hak perlawanan rakyat terhadap negara
5. Hak perlawanan rakyat, hak etis

Ajaran anarkisme

 Aliran filsafat politik yang menolak tuntutan agar negara melegitimasikan tindakannya
disebut anarkisme (Yunani: an- archia = tanpa dasar, tanpa kekuasaan, tanpa
pemerintahan). Anarkisme menolak negara secara radikal; ia menuntut penghapusan
negara yaitu negara tidak boleh ada. Anarkisme tidak hanya mengeritik negara melainkan
ia menolak adanya negara itu sendiri. Ia tidak hanya menentang penyalahgunaan
kekuasaan sebagaimana dikemukakan oleh kritik-kritik negara melainkan ia menolak
penggunaan kekuasaan negara seluruhnya. Ia tidak menerima pembedaan sebagaimana
umumnya dibuat yakni distingsi kekuasaan yang sah dan kekuasaan yang tidak sah. Bagi
anarkisme segala bentuk kekuasaan, baik sah ataupun tidak sah, ditolak.

 Anarkisme sebenarnya lebih berdasarkan pada suatu kepercayaan daripada suatu analisis
dan oleh karena itu tidak dapat dianalisis secara filosofis. Kaum anarkis percaya bahwa
sebenarnya manusia dapat hidup tanpa perlu adanya ancaman paksaaan dan kekerasan
sah dari negara. Jadi bahwa manusia sebenarnya dapat hidup bersama semata-mata
berdasarkan kesadarannya sendiri (kepercayaannya sendiri).

Macam-macam anarkisme

 Yang membedakan pelbagai aliran anarkisme satu dari yang lain adalah dasar
kepercayaan. Kalau kepercayaannya itu berdasar pada ajaran agama maka lahirlah
anarkisme religius; demikian juga, kalau dasarnya adalah ajaran sosialisme maka itu
adalah anarkisme sosialis. Anarkisme religius percaya bahwa asal saja manusia beragama
maka ia tidak akan menyeleweng dan oleh karena itu tidak diperlukan suatu lembaga
negara untuk menata kehidupan bersama, sudah cukup dengan adanya agama. Ada yang

16
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

percaya bahwa negara adalah alat dari kekuatan-kekuatan setani dan kegelapan yang
menentang kerajaan cahaya yang bersifat rohani. Contohnya: anarkisme dualistik,
misalnya Manikeisme yang dipengaruhi oleh aliran Zoroaster di Persia 2500 tahun lalu.
Dalam lingkungan Kristen muncul gerakan Kiliastik (Yunani: khilioi = seribu) yang
mengharapkan suatu kerajaan langsung dipimpin oleh Yesus Kristus selama seribu tahun.
Ada yang mengharapkan kerajaan Roh Kudus langsung dalam hati manusia dan atas
nama itu menentang negara. Dalam Islam juga demikian, seperti aliran Shia dan
Mahdisme menentang negara sebagai sesuatu yang sekuler dan oleh karena itu
berlawanan dengan tuntutan taqwa kepada Allah.

 Anarkisme moral: negara tidak dibutuhkan, asal manusia hidup menurut moral maka
masyarakat akan teratur dan manusiawi. Anarkisme model ini diajarkan oleh Leo Tolstoi
(1828-1910). Menurutnya, cukup dengan pembaruan moral maka kehidupan bersama
berjalan baik. Sejalan dengan itu Fichte (1762-1814) mengajarkan kemajuan rasionalitas
manusia demi tertibnya hidup bersama dan tidak perlu negara.

 Anarkisme individualis: ini diajarkan oleh Max Stirner (1806-1856). Menurut Stirner,
asal saja setiap orang hanya memperhatikan kepentingan dirinya sendiri maka kehidupan
bersama akan berjalan dengan sendirinya tanpa perlu adanya lembaga yang mengatur.

 Anarkisme kolektivistis: Itu diajarkan oleh A.M. Bakunin (1814-1876), Necaew (1847-
1882), dan Kropotkin (1842-1921), semuanya dari Rusia. Ketiganya mengharapkan suatu
masyarakat baru yang manusiawi dari penghancuran masyarakat sekarang.

 Anarkisme sosialis: tokoh-tokohnhya adalah Proudhon (1809-1865), Most (1846-196),


dan Marx (1818-1883). Proudhon dan Most mengharapkan perubahan struktur-struktur
sosial ekonomi, terutama penghapusan hak milik pribadi, akan menciptakan keadaan
dimana negara tidak diperlukan. Sedangkan Karl Marx menuntut penghapusan negara.
Negara adalah alat penindas kelas atas (kapitalis) terhadap kelas bawah (pekerja). Akan
tetapi negara akan melayu dengan sendirinya kalau kaum proletariat berevolusi untuk
menghapus hak milik pribadi. Kalau hak milik pribadi dihapus maka sistem kapitalisme
runtuh dan dengan sendirinya negara pun hilang.

Penilaian terhadap anarkisme

 Kaum anarkis menolak negara secara radikal, artinya, negara sama sekali tidak
dibutuhkan. Kalau negara tidak ada maka negara tidak dapat dikritik. Kalau negara
seluruhnya ditolak maka apa saja yang dilakukan negara adalah tidak sah. Maka
mengeritik tindakan-tindakan negara tertentu sudah tida masuk akal lagi. Dengan
demikian seorang anarkis tidak dapat mengajukan kritik terhadap kebijakan negara.
Karena apa saja yang dilakukan negara dianggap dengan sendirinya buruk dan tidak sah
maka tindakan-tindakan negara yang sungguh-sungguh buruk tidak dapat dikritik. Hal itu

17
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

berarti juga bahwa seorang anarkis tidak dapat bertindak secara politis. Bertindak secara
politis berarti terjun ke arena perjuangan politik untuk menentang kebijakan-kebijakan
penguasa yang dinilai tidak tepat.

 Singkatnya, kaum anarkis yang menolak negara itu tidak termasuk di antara para peserta
perjuangan politik lagi. Mereka menjadi “outsider” total. Seorang anarkis dapat
menentang negara secara total, misalnya, dengan senjata teror yang membabi buta, tetapi
mereka tidak dapat mengubah sesuatu dalam pola kebijakan politik. Mengapa? Karena ia
sudah menolak semua kebijakan politik itu. Suatu kritik spesifik tidak terbuka lagi
baginya. Dan selama negara masih cukup kuat untuk mempertahankan diri maka mereka
tidak dapat menyumbangkan apa-apa ke arah perbaikan kehidupan masyarakat.

 Itulah sebabnya spektrum perjuangan politik anarkisme, baik anarkisme teoretis maupun
anarkisme praktis, dalam praktek harus ditempatkan ke dalam sudut konservatif dan
bukan ke sudut progresif. Karena mereka hanya mengenal alternatif antara penolakan
negara sama sekali dan tidak berbuat apa-apa, maka mengingat negara tetap bertahan,
maka kaum anarkis itu sesungguhnya tidak mengubah apa-apa. Karena itu mereka
dimasukkan ke dalam kubu konservatif.

 Dua pertanyaan yang sulit dijawab oleh anarkisme:

1. Bagaimana mencegah tabrakan kepentingan dalam masyarakat? Kalau tidak ada sistem
peraturan yang mengikat, dengan negara yang menjaminkannya, maka bagaimana
tabrakan kepentingan dalam masyarakat mau dicegah yang berdasarkan situasi-situasi
objektif? Argumentasi anarkisme paling-paling berlaku bagi konflik-konflik yang
berdasarkan sikap-sikap subjektif manusia, seperti emosi-emosi agresif atau egoisme.
Namun kalau sudah menyangkut tabrakan struktur-struktur objektif yang bersifat non-
personal, jawaban anarkisme sudah tidak memadai lagi. Karena itu, bagaimanapun
negara tetap dibutuhkan. Negara tidak hanya dibutuhkan untuk menindas para penjahat
melainkan juga untuk memberikan aturan dan tatanan pada segala macam proses
kehidupan bersama. Kalaupun semua orang saling mencintai, namun suatu sistem aturan
yang pasti tetap diperlukan.

2. Bagaimana mau dipastikan bahwa tidak pernah akan ada satu orang atau kelompok
orang yang merasa terancam oleh yang lain? Hal ini ditanyakan, karena begitu ada yang
merasa terancam, entah ia memang benar-benar terancam, atau ancaman itu hanya
dibayangkan saja, maka mereka itu akan bersiaga untuk menghadapinya. Begitu ada
kondisi siap-siaga terhadap ancaman yang datang itu maka sesungguhnya mereka itu
sendiri sudah menjadi ancaman terhadap yang lain yang juga sudah memasang kuda-
kuda. Dengan demikian suasana saling percaya berubah menjadi suasana saling curiga.
Dalam suasana itu semua pihak terpaksa mengambil tindakan untuk menjamin
keamanannya masing-masing. Setiap orang lain dipandang sebagai bahaya potensial dan
egoisme menjadi tuntutan situasi. Thomas Hobbeslah yang secara gemilang melukiskan
kondisi itu sebagai bellum omnium contra omnes (perang semua lawan semua).

18
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

Anarkisme mungkin bisa mengeliminasikan ancaman-ancaman yang berdasarkan maksud


jahat, jadi yang memang dimaksud sebagai ancaman riil yang merusak kondisi sosial.
Tetapi justru anarkisme tidak dapat menghilangkan perasaan terancam karena salah
paham atau salah komunikasi itu. Singkatnya, mencegah konflik bagaimanapun juga
diperlukan lembaga pusat dengan kemampuan untuk memaksa.

Hak perlawanan rakyat

 John Locke adalah filfsuf modern yang secara eksplisit berbicara tentang “hak rakyat
melawan negara”; rakyat tidak hanya taat kepada negara tetapi juga rakyat memiliki hak
untuk melawan negara. Locke mengajarkan bahwa legislatif dan eksekutif memegang
kekuasaan karena rakyat mempercayakan kepada mereka. Namun begitu mereka
menyalahgunakan kekuasaan itu, yaitu untuk mengambil tindakan yang bertentangan
dengan tujuan negara untuk melindungi kehidupan dan miliki warga negara maka rakyat
boleh melawan. Rakyat bisa melawan apabila pemerintah berusaha menjadikan
kehendaknya menjadi Undang-Undang tanpa melalui legislatif. Usaha itu disebut Locke
“pemberontakan dari atas”. Jadi, bagi Lcoke, tugas dan kewenangan negara pada
hakekatnya terbatas. Kalau negara bertindak sebagai perampok maka rakyat boleh
melawannya.

 Hak perlawanan rakyat Jawa: Apabila orang desa di Jawa merasa terlalu tertekan oleh
penguasa mereka secara demonstratif menjemur diri di alun-alun berhadapan dengan
keraton untuk menunjukkan ketidakpuasan mereka. Kadang-kadang mereka
meninggalkan tempat kekuasaan raja itu dan membuka sawah di daerah lain.

 Hak perlawanan rakyat di Barat: Di Barat gagasan tentang hak perlawanan rakyat
berakar dalam Perjanjian Lama dan dalam filsafat Yunani dan kemudian dikembangkan
berdasarkan tradisi feodalisme Jermanik dan etika kristiani. Tradisi Jermanik berpendapat
bahwa apabila tuan melanggar kewajiban kesetiaannya terhadap bawahannya maka
bawahan boleh melawan. Dalam etika kristiani perintah raja yang melawan hukum Allah
boleh dilawan. Hak untuk menurunkan penguasa yang memerintah dengan melanggar
keadilan diakui umum. Dalam filsafat politik abad ke-16 dan ke-17 dan kemudian
pernyataan hak asasi manusia dan warga negara di Perancis tahun 1789 sudah mucnul
pengakuan hak warga negara untuk melawan penindasan dan perlawanan itu dianggap
sebagai hak asasi manusia.

Hak perlawanan rakyat, hak etis

 Apa itu hak perlawanan rakyat (Jerman: Wiederstandrecht; Ingrris: Civil Disobedience):
Hak untuk, berhadapan dengan tindakan-tindakan yang secara kasar bertentangan dengan
keadilan, terutama berhadapan dengan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia,
menentang kekuasaan negara: dengan menolak ketaatan atau dengan memakai kekerasan.

19
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

 Hak perlawanan rakyat tidak sama dengan anarkisme. Anarkisme secara prinsipil
menolak hak eksistensi negara. Sedangkan hak perlawanan rakyat tidak menolak
eksistensi negara, negara tetap diakui ada dan berkuasa, hanya tindakan-tindakannya
yang sudah bertentangan dengan tujuan keberadaannya itulah yang dilawan oleh rakyat.
Perlawanan hanya dibenarkan dalam keadaan ekstrem dimana kekuasaan negara
mendukung tindakan ketidakadilan yang justru bertentangan dengan citra hukum yang
paling fundamental.

 Dua syarat hak perlawanan rakyat: Hak perlawanan selalu hanya dibenarkan kalau
terpenuhi dua syarat: Pertama, bahwa tindakan-tindakan penguasa secara kasar
bertentangan dengan keadilan. Kedua, bahwa semua cara dan jalan hukum yang tersedia
untuk menentang ketidakadilan itu sudah dicoba dan tidak berhasil, termasuk protes-
protes politis biasa.

 Hak perlawanan adalah hak moral: Tetapi apakah hak perlawanan dapat dibenarkan?
Pertanyaan tentang hak ini di sini jelas tentang hak moal bukan hak hukum. Karena tidak
mungkin ada hak hkum atas perlawanan, sebab perlawanan dengan sendirinya melanggar
hukum. Kita baru bicara tentang perlawanan apabila protes warga negara melanggar
hukum. Jadi, hak perlawanan rakyat adalah hak moral, bukan hak hukum. Dalam ranah
hak moral ini warga negara berhak untuk mengabaikan tuntutan ketaatan kepada negara.
Dengan kata lain, ketaatan kepada negara bersifat terbatas, yaitu dibatasi oleh tujuan
negara yakni kesejahteraan umum.

 Apabla negara melanggar prinsip keadilan yang paling fundamental maka warga negara
tidak wajib untuk menaatinya. Di sini perlawanan dipandang sebagai hak darurat untuk
membela diri terhadap serangan yang tidak adil. Bukan hanya perampok boleh dilawan
tetapi juga negara manakala ia telah berlaku sebagai perampok.

 Ada dua hak perlawanan:

1. Hak perlawanan pasif: hak melawan negara dengan cara tidak menaati suatu perintah
atau peraturan negara. Contoh: tidak bayar pajak, tolak wajib militer, atau tolak perang.
Tindakan-tindakan perlawanan ini dapat dibenarkan secara etis. Karena sesuai dengan
tuntutan untuk selalu menaati suara hati. Namun resiko jelas yakni mereka yang melawan
tuntutan negara itu siap dihukum. Mereka yang melawan perintah negara bersedia
dihukum demi suara hati. Bentuk lain perwujudan hak perlawanan rakyat adalah tulisan-
tulisan kritis walaupun dilarang, pemogokan, boikot, demonstrasi damai, dan pelarian ke
luar negeri.

2. Hak perlawanan aktif: wujudnya adalah perusakan dan kekerasan terhadap benda
orang lain atau milik negara dan terhadap manusia, sabotase, juga penghasutan agar
orang lain bertindak melawan negara. Di sini ada persoalan etis tentang cara kekerasan.

20
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

Karena kekerasan berarti memaksa orang lain. Memaksa dengan sendirinya adalah sikap
yang tidak memadai secara etis. Saya memaksa orang lain untuk berubah. Darimana saya
mendapat legitimasi untuk itu? Secara etis pemaksaan adalah pemerkosaan dan
pemerkosaan tidak dapat dibenarkan. Singkatnya, merubah situasi yang buruk dengan
kekerasan justru hanya menghasilkan kekerasan yang lebih berat: spiral kekerasan. Satu-
satunya kekerasan dapat dibenarkan dalam apa yang disebut kasus “ultima ratio”: situasi
dimana saya langsung diancam entah benda milik saya, entah nyawa saya, maka saya
wajib melindungi hidupku dengan melawan. Jadi, setiap orang berhak membela diri.

 Revolusi: Perlawanan tidak hanya untuk menentang kebijakan negara melainkan juga
untuk menumbangkan pemegang kekuasaan dan mengubah seluruh sistem
ketatanegaraan disebut revolusi. Revolusi adalah wujud dari perlawanan aktif yang paling
radikal. Dengan revolusi di sini dimaksud suatu perubahan undang-undang dasar negara
secara mendadak yang dipaksakan oleh suatu gerakan massal. Cirikhas revolusi ialah
bahwa ia tidak legal, jadi bahwa perubahan itu di luar dan bertentangan aturan hukum
yang berlaku. Revolusi harus dibedakan dari kudeta, dimana sekelompok kecil merebut
kekuasaan.

 Penilaian terhadap revolusi:

1. Secara hukum: Revolusi dengan sendirinya bertentang dengan hukum yang berlaku.
Yang menarik ialah bahwa kualifikasi hukum revolusi ditentukan oleh hasil revolusi.
Kalau revolusi gagal maka para pelaku sudah pasti akan dihukum. Tetapi apabila revolusi
sukses maka revolusi menciptakan hukum dan tatanan kenegaraan baru yang dengan
sendirinya menjadi legal dan merupkan sumber hukum. Negara selalu memerlukan
kekuasaan maka kalau kekuasaan lama diganti oleh kekuasaan baru dan kekuasaan baru
itu lama-kelamaan diakui oleh masyarakat maka kekuasaan baru itu dengan sendirinya
sah. Akan tetapi filsafat politik tidak memasuki masalah legalitas melainkan hanya
menyangkut legitimasi moral dari revolusi. Dapatkah revolusi dibenarkan secara moral?

2. Secara moral: Mengubah negara yang bobrok apakah boleh dengan revolusi? Pertama,
kita harus pastikan betul pelanggaran negara. Kedua, sudah ada usaha perbaikan tetapi
gagal. Itulah dua syarat kalau kita mau melakukan revolusi. Namun pertanyaan
fundamentalnya adalah apakah dapat dibenarkan secara moral kalau situasi diubah secara
revolusioner? Sulit menjawab pertanyaan ini karena dua alasan:

1. Revolusi membawa penderitaan dan pengurbanan manusia. Yang selalu menjadi


korban adalah rakyat kecil. Mereka menjadi korban dari para pemberontak dan juga
dari tentara negara. Sementara tidak ada kepastian revolusi berhasil atau tidak.
Keberatan moral: Revolusi menghasilkan penderitaan yang dibenarkan sebagai
pengorbanan yang perlu diberikan demi tercapainya tujuan revolusi.

2. Apakah dapat dijamin bahwa sesudah revolusi berhasil keadaan masyarakat menjadi
sungguh-sungguh baik. Pengalaman menunjukkan bahwa keadaan tidak membaik

21
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

malah memburuk. Justru akhir revousi hanya menghasilkan teror dan penindasan
yang lebi keji. Banyak revolusi menggantikan penindasan yang lama dengan
penindasan yang baru yang tanpa kenal kasihan. Pemerintahan yang baru umumnya
tidak demokratis. Dalam suasana tidak demokratis muncul penindasan.*

22
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

Pertemuan 5

Tanggung jawab sosial negara

1. Arti tanggung jawab sosial negara


2. Negara liberal menolak tanggung jawab sosial negara
3. Pembedaan negara sosial dan negara sosialis
4. Negara sosial mendukung tanggung jawab sosial negara

Arti tanggung jawab sosial negara

Tanggung sosial negara adalah jaminan kesejahteraan yang diberikan oleh negara kepada
seluruh warganya, terutama warganya yang lemah. Negara tidak hanya
bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas-fasilitas yang dapat dipergunakan oleh
seluruh masyarakat melainkan bahwa diambil tindakan-tindakan khusus untuk
meningkatkan kesejahteraan golongan-golongan sosial yang kurang mampu. Jadi negara
tidak hanya menyelenggarakan sistem persekolahan, membiayai rumah-rumah sakit, dan
membangun jalur-jalur lalulintas melainkan menyediakan fasilitas-fasilitas khusus bagi
golongan-golongan masyarakat yang kurang mampu untuk membantu dirinya sendiri.

Negara liberal menolak tanggung jawab sosial negara

 Negara liberal (liberalisme) menyangkal bahwa negara bertujuan untuk menjamin


kesejahteraan umum. Menurut liberalisme, segala apa yang bersangkut paut dengan
kesejahteraan itu adalah urusan masyarakat sendiri dan tidak dicampuri oleh negara.
Tugas negara menurut liberalisme adalah terbatas pada pemeliharaan keteraturan
kehidupan masyarakat, pada perlindungan hukum, dan pembelaan terhadap ancaman dari
luar. Tugas utama negara adalah menjamin kebebasan masyarakat untuk bertindak, dan
bukan untuk menghilangkan kebebasan. Kalau negara menjamin kesejahteraan warga
negara terutama yang lemah maka itu berarti negara sudah mencabut kebebasan mereka
untuk mengurus diri mereka sendiri. Negara hanya menjamin ruang kebebasan bagi
tindakan masyarakat tetapi tidak mencampuri tindakan itu. Terutama kehidupan ekonomi
harus bebas dari campur tangan negara. Negara hendaknya menjamin kehidupan dan hak
milik warganya dan di luar itu harus memberikan ruang bebas bagi inisiatif masing-
masing, termasuk untuk menyejahterakan hidupnya.

 Tanggapan terhadap liberalisme (negara liberal):

23
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

1. Dilihat dari prinsip subsidiaritas penolakan liberalisme terhadap tanggung jawab sosial
negara tampaknya sewenang-wenang. Liberalisme tidak mengemukakan alasan mengapa
tugas negara hanya dibatasi pada keamanan dan dinyatakan tidak berlaku bagi bidang
kesejahteraan. Anggapan bahwa cukup saja negara menjamin kebebasan warga negara
dan kemudian warga negara sendiri menjalankan hidupnya demi mencapai kesejahteraan
hidupnya, ternyata dari sejarah sudah terbukti salah. Karena prinsip ini hanya memberi
ruang bagi yang kuat untuk menikmati kesejahteraan lebih besar sedangkan yang lemah
tidak mencapainya karena digilas oleh kaum yang kuat.

2. Liberalisme menjunjung tinggi kebebasan. Tetapi dengan sekaligus menolak


kewajiban negara untuk melindungi kesejahteraan golongan-golongan sosial yang lemah
maka kebebasan itu hanya dapat dinikmati oleh mereka yang ‘kuat”. Kelas-kelas sosial
yang lemah akhirnya jatuh ke dalam ketergantungan dan kemiskinan total. Penolakan
terhadap tanggungjasab sosial negara atas nama kebebasan akhirnya berarti negara hanya
melayani kepentingan burjuasi liberal sendiri.

3. Dengan demikian negara liberal tidak hanya mengabaikan salah tugas negara modern
ialah tuntutan keadilan tetapi juga mengabaikan tuntutan solidaritas. Negara liberal
mengabaikan solidaritas dan membuka kemungkinan bagi sistem ekonomi kapitalistisk
yang hanya memberikan kesejahteraan yang besar bagi para pemodal dan mengabaikan
kesejahteraan para buruh atau kaum kecil dalam masyarakat.

4. Liberalisme melarang bahwa negara melindungi kaum lemah, padahal menurut


liberalisme sendiri negara bertugas untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat.
Tetapi kepada golongan-gologan lemah liberalisme tidak mau memberikan perlindungan
itu. Hal itu berarti bahwa negera tidak bertindak adil lagi. Negara pilih kasih. Maka
paham negara liberal juga bertentangan dengan keadilan.

Negara sosial dan Negara sosialis

 Beda antara negara sosial dan negara sosialis. Negara sosial adalah negara yang
bertanggungjawab terhadap kesejahteraan seluruh masyarakat, terutama anggota
masyarakat yang lemah dan kurang mampu. Sedangkan negara sosialis adalah negara
yang diselenggarakan oleh prinsip sosialisme (marxis), dimana negara bertangungjawab
atas kesejahteraan seluruh warganya namun negara tidak mengizinkan warganya untuk
memiliki modal produktif; segala kebutuhan masyarakat diproduksi secara bersama
dibawah komando negara. Cita-cita sosialisme di sini adalah sebuah masyarakat yang
adil, selaras, bebas, dan sejahtera tetapi tidak ada hak milik pribadi atas alat-alat
produksi.

 Negara sosial jelas tidak sama dengan negara sosialis. Kedua-duanya memang mau
bertanggungjawab atas kesejahteraan masyarakat, tetapi sosialisme menambahkan
bahwa tanggung jawab ini harus dan hanya dapat terlaksana dengan menghapus hak milik
pribadi atas alat-alat produksi. Jadi, kesejahteraan seluruh masyarakat bagi sosialisme
dapat tercapai melalui penghapusan hak milik pribadi. Sedangkan negara sosial

24
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

kesejahteraan seluruh masyarakat termasuk yang lemah dapat tercapai dengan sistem
tanggung jawab sosial tetapi tanpa penghapusan hak milik pribadi. Yang dituntut oleh
etika politik bukanlah penghapusan hak milik pribadi sebagaimana diajarkan oleh negara
sosialis melainkan agar negara bertanggung jawab atas kesejahteraan umum dalam
masyarakat. Negara yang menyadari diri terikat pada kesejahteraan seluruh masyarakat
itulah yang disebut negara sosial.

Negara sosial mendukung tanggung jawab sosial negara

 Wujud tanggung jawab sosial negara pada saat ini umumnya menyangkut pembuatan
undang-undang untuk menjamin hak hidup secara sosial: perundangan menyangkut kaum
buruh, wanita, anak-anak dan kelompok-kelompok lemah lainnya dalam masyarakat,
misalnya: tentang upah minimum; kenaikan upah; penyamaan upah wanita dengan pria
bagi pekerjaan yang sama; pembatasan waktu kerja, larangan untuk memperkerjakan
anak-anak; perlindungan buruh terhadap ancaman pemberhentian secara sewenang-
wenang; pengakuan terhadap serikat-serikat buruh; bantuan pendidikan kejuruan dasar
dan lanjutan; pencarian dan penciptaan lapangan kerja; jaminan tempat kerja; penyediaan
pensiunan sosial bagi mereka yang tidak dapat bekerja; tindakan-tindakan langsung dan
struktural untuk membantu kaum tani, untuk melindungi kelas menengah ke bawah di
kota-kota dan profesi-profesi bebas terhadap bahaya kemelaratan; jaminan hari tua bagi
seluruh masyarakat; begitu pula bantuan dan jaminan hidup bagai para korban perang,
cacat veteran, pengungsi, dan korban bencana alam.

 Kesadaran bahwa negara secara khusus bertanggungjawab terhadap kesejahteraan para


anggota masyarakat yang lemah, baru mulai berkembang 150 tahun lalu. Ini lahir sebagai
reaksi terhadap liberalisme yang menekankan bahwa tugas utama negara menjamin
kebebasan warganya dan dalam suasana bebas setiap warga dapat membangun hidupnya.
Kita dapat katakan bahwa pada zaman sekarang terdapat suatu konsensus yang cukup
luas mengenai kewajiban sosial negara meskipun semangat liberalisme masih ada
pengaruhnya, terutama di Inggris dan Amerika serikat. Mereka yang masih mendukung
pandangan liberalisme ini disebut konservatisme.

 Dasar moral tanggung jawab sosial negara: Apa dasar moral negara berkewajiban
menjamin kesejahteraan mereka yang lemah dan kurang mampu? Dasarnya adalah tujuan
negara menciptakan kesejahteraan umum (bonum commune). Tujuan itu sendiri kita
rumuskan dengan bertolak dari dua pengandaian: Pertama, negara bukan tujuan pada
dirinya sendiri melainkan sarana yang bermanfaat bagi masyarakat dan bahwa pengertian
manfaat itu harus diisi menurut tiga prinsip dasar: yakni, tuntutan kebebasan, kesamaan,
dan kesetikawanan. Kedua, negara berfungsi secara subsider yaitu untuk melengkapkan
apa yang tidak bisa dilakukan sendiri oleh anggota masyarakat. Maka negara
berkewajiban untuk mengusahakan semua prasyarat yang diperlukan oleh masyarakat
agar dapat sejahtera. Dan karena dukungan negara itu terutama dibutuhkan oleh
golongan-golongan sosial yang kurang mampu, maka negara harus menyediakan bantuan
khusus kepada mereka.

25
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

 Kesimpulan: Dasar pertama kewjiban negara untuk secara khusus menjamin kondisi-
kondisi kesejahteraan golongan-golongan yang lemah adalah solidaritas. Karena
masyarakat merasa diri sebagai senasib sepenanggungan maka masyarakat
bertanggungjawab atas nasib semua anggotanya dan tidak akan membiarkan ada yang
menderita kemelaratan. Maka masyarakat, melalui negara, merasa wajib untuk menjamin
bahwa tidak ada anggotanya yang harus hidup melarat hanya karena syarat-syarat
objektif bagi suatu kehidupan yang wajar tidak tersedia. Akan tetapi kewajiban sosial
negara terhadap kaum yang lemah dan tidak mampu tidak hanya berdasarkan tuntutan
solidaritas (kesetiakawanan sosial) melainkan juga tuntutan keadilan. Kesosialan negara
merupakan masalah keadilan. Negara wajib untuk mengutamakan golongan lemah karena
negara wajib untuk bertindak adil. Kesadaran ini terungkap dalam tuntutan bahwa negara
harus mengusahakan kadilan sosial.

 Apa alasan negara berkewajiban mengusahakan keadilan bagi semua termasuk dan
terutama bagi mereka yang lemah dan kurang mampu? Jawabannya: Kelemahan dan
kekurang-mampuan warga ternyata tidak seluruhnya disebabkan oleh mereka sendiri,
melainkan oleh karena struktur sosial yang tidak adil. Jadi, kemiskinan golongan-
golongan tertentu di dalam masyarakat bukanlah akibat suatu kekurangan individual
mereka melainkan akibat kelemahan kedudukan mereka dalam proses kehidupan sosial,
politik, ekonomi, dan budaya masyarakat. Mereka menderita karena tidak memiliki
kekuatan untuk memperjuankan hak dan kepentingan mereka. Ketidakmampuan mereka
adalah akibat ketidakadilan. Itulah dasar kewajiban sosial negara.

 Tentang peristilahan: Di samping istilah negara sosial dikenal juga istilah lama negara
kesejahteraan (welfare state). Awalnya istilah negara kesejahteraan dipakai dalam arti
yang sama dengan negara sosial. Tetapi kemudian istilah negara sejahtera dipakai sebagai
sebutan bagi negara yang melihat fungsinya bukan sebagai penunjang, pembantu, dan
pelengkap, melainkan yang berusaha untuk langsung menjamin kesejahteraan semua
anggota masyarakat, dengan tidak memperhitungkan usaha mereka sendiri. Model negara
kesejahteraan seperti ini dikenal dalam istilah Jerman, “Versorgungstaat” (Negara
Penyelenggara). Akan tetapi negara penyelenggara ini melanggar prinsip subsidiaritas.

26
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

Pertemuan 6

Keadilan Distributif

1. Pengertian keadilan
2. Pembagian keadilan
3. Keadilan distributif
4. Tiga teori keadilan distributif
5. Teori keadilan distributif John Rawls
6. Teori keadilan distributif Robert Nozick

Pengertian Keadilan

 Hingga saat ini refleksi filsafat tentang keadilan tetap bertolak dari pengertian dasar
keadilan menurut sistem hukum Roma Kuno (Ius Romanum), seperti dirumuskan oleh
pengarang Roma, Ulpianus, yang dalam hal ini mengutip orang yang bernama Celsus:
„Iustitia est constans et perpetua voluntas ius suum unicuique tribuendi“. Jadi, keadilan
adalah kesediaan kehendak yang terus-menerus untuk memberikan kepada seseorang apa
yang menjadi miliknya. Definisi keadilan ini, kuncinya termuat dalam tiga kata, tribuere
cuique suum, yang dalam bahasa Inggris umumnya diartikan „to give everybody his
own“, memberikan kepada setiap orang yang dia miliki.

 Kemudian dalam penjelasan hukum Roma tentang keadilan itu diterjemahkan juga
sebagai “memberikan kepada setiap orang yang menjadi haknya”. Pengertian hak adalah
sebuah pengertian modern yang dimulai pada akhir abad ke-17. Tetapi apa yang belum
bisa dikatakan oleh ahli hukum Roma itu karena belum mempunyai pengertiannya,
sebetulnya sudah dimaksudkan olehnya. Dan bagi kita titik-tolak untuk refleksi tentang
keadilan memang sebaiknya menjadi demikian: keadilan adalah memberikan kepada
setiap orang apa yang menjadi haknya.

 Adil berarti bahwa kita memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya. Karena
semua orang sama nilainya sebagai manusia maka tuntutan paling dasariah keadilan ialah
perlakuan yang sama terhadap semua orang, tentu dalam situasi yang sama. Jadi, prinsip
keadilan mengungkapkan kewajiban untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap
semua orang lain yang berada dalam situasi yang sama dan menghormati hak semua
pihak yang bersangkutan.

27
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

 Suatu perlakuan yang tidak sama adalah tidak adil, kecuali dapat diperlihatkan mengapa
ketidaksamaan itu dapat dibenarkan. Suatu perlakuan yang tidak sama selalu perlu
dibenarkan secara khusus, sedangkan perlakuan yang sama dengan sendirinya betul
kecuali terdapat alasan-alasan khusus. Singkatnya, keadilan menuntut agar kita jangan
mau mencapai tujuan-tujuan, termasuk tujuan yang baik sekalipun, dengan melanggar
hak orang lain.

 Tiga ciri-khas yang selalu menandai keadilan:

1. Keadilan selalu tertuju pada orang lain. Kalau orang berbicara tentang keadilan atau
ketidakadilan terhadap dirinya sendiri, ia hanya menggunakan kata itu dalam arti
kiasan, bukan dalam arti yang sebenarnya. Masalah keadilan atau ketidakadilan
hanya bisa terjadi dalam konteks sosial, yaitu dalam konteks hubungan antarmanusia.
Supaya keadilan atau ketidakadilan itu terjadi diperlukan sekurang-kurangnya dua
manusia. Bila pada suatu saat hanya tinggal satu manusia di bumi ini maka masalah
keadilan atau ketidakadilan pun lenyap.

2. Keadilan memuat suatu imperatif yakni perintah bahwa keadilan harus dilaksanakan.
Jadi keadilan tidak hanya diharapkan. Keadilan mengikat kita sehingga kita
mempunyai kewajiban untuk melakukannya. Ini disebabkan karena keadilan selalu
berkaitan dengan hak yang harus dipenuhi. Kalau ciri pertama menyatakan bahwa
dalam konteks keadilan kita selalu berurusan dengan orang lain, maka ciri kedua ini
menekankan bahwa kita selalu berurusan dengan hak orang lain. Kalau kita
memberikan sesuatu karena alasan keadilan, maka kita selalu wajib memberikannya.
Sedangkan kalau kita memberikan sesuatu karena alasan lain, kita tidak wajib
memberikannya. Misalnya, kita memberikan hadiah kepada teman yang berulang-
tahun untuk membahagiakan dia. Namun kita tidak wajib menghadiahkan sesuatu
kepadanya. Akan tetapi kalau kita memberikan sesuatu karena alasan keadilan maka
kita wajib melakukan itu.

3. Keadilan menuntut persamaan. Atas dasar keadilan kita harus memberikan kepada
setiap orang apa yang menjadikan haknya tanpa kecuali. Kalau majikan memberikan
gaji yang sama kepada semua karyawan, kecuali kepada satu orang ia memberikan
lebih, maka majikan itu bertindak tidak adil. Mungkin ada orang yang akan bertanya,
apakah artinya satu orang dibandingkan dengan semua orang. Tetapi dari segi etika,
perbedaan itu justru menentukan. Majikan itu bertindak tidak adil. Ia baru pantas
disebut majikan yang adil manakala ia memberikan tindakan yang sama terhadap
semua karyawan. Karena itulah gambar dewi Iustitia (dewi keadilan) dalam mitologi
Romawi memegang timbangan dengan mata tertutup kain. Gambar ini menunjukkan
bahwa keadilan harus dilaksanakan terhadap siapa saja tanpa pandang bulu.

28
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

Pembagian keadilan

 Pembagian klasik terutama ditemukan dalam kalangan thomisme, aliran filsafat yang
mengikuti Thomas Aquinas (1225-1274). Thomas Aquinas sendiri pada umumnya
mendasarkan pandandangan filsafatnya juga tentang keadilan ini pada filsafat Aristoteles
(384-322). Keadilan bisa dibagi atas tiga, berkaitan dengan tiga kewajiban (atau hak).
Keadilan dapat menyangkut, pertama, kewajiban individu-individu terhadap masyarakat;
kedua, kewajiban masyarakat terhadap individu-individu; dan ketiga, kewajiban antara
individu dengan individu yang lain. Tiga macam hubungan kewajiban itu masing-masing
disebut, keadilan umum, keadilan distributif dan keadilan komutatif.

 Pertama, keadilan umum (general justice): berdasarkan keadilan ini para anggota
masyarakat diwajibkan untuk memberi kepada masyarakat (negara) apa yang menjadi
haknya. Keadilan umum ini menyajikan landasan untuk paham bonum commune
(kebaikan bersama). Karena adanya kebaikan bersama, kita harus menempatkan
kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Hal ini merupakan kewajiban yang tidak
bisa ditawar-tawar, karena dasarnya adalah keadilan. Secara konkret keadilan umum ini
menjadi dasar, misalnya, untuk kewajiban membayar pajak, membela negara dan wajib
militer. Keadilan macam ini kadang-kadang disebut juga keadilan hukum (legal justice).
Akan tetapi nama terakhir ini kurang jelas karena bisa menampilkan kesan yang tidak
dimaksudkan, karena keadilan ini tidak berperan dalam konteks hukum saja.

 Kedua, keadilan distributif (distributive justice): berdasarkan keadilan ini negara harus
membagi segalanya dengan cara yang sama kepada setiap warganya. Dalam bahasa biasa
keadilan distributif adalah keadilan membagi. Di antara hal-hal yang dibagi oleh Negara
kepada para warga ada hal-hal yang enak untuk didapat (benefits) dan ada hal-hal yang
justru tidak enak (burdens) kalau kena. Sebagai contoh dalam kategori pertama dapat
disebut: perlindungan hukum, tanda kehormatan, tunjangan bulanan untuk veteran.
Contoh untuk kategori kedua adalah kewajiban kerja bakti, ikut dalam siskamling (sistem
keamanan lingkungan), dan beban pajak. Tidak adil bila pemerintah mengistimewakan
orang-orang tertentu yang tidak mempunyai hak khusus. Nepotisme adalah bentuk
pelanggaran terhadap keadilan distributif.

 Ketiga, keadilan komutatif (commutative justice): berdasarkan keadilan ini setiap orang
memberikan kepada orang lain apa yang menjadi haknya. Hal itu berlaku pada taraf
individu maupun pada taraf sosial. Bukan saja individu satu harus memberikan haknya
kepada individu lain melainkan juga kelompok satu kepada kelompok lain. Keadilan
komutatif ini, dalam bahasa Indonesia, keadilan tukar-menukar. Keadilan komutatif
menjadi dasar jika orang mengadakan perjanjian atau kontrak. Karena itu prinsip etis
“janji harus ditepati” berakar dalam keadilan komutatif. Keadilan komutatif dilanggar
antara lain dengan mencuri, tidak mengembalikan barang pinjaman, menjelekkan nama
orang lain, melukai atau membunuh sesama? Karena semua tindakan itu telah
merusakkan hak orang. Dengan membunuh orang, kita telah mengambil haknya, yaitu
hak atas kehidupan.

29
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

 Pembagian modern yang juga masih bertolak dari pembagian keadilan Aristoteles adalah
pembagian keadilan dalam konteks etika bisnis, John Boatright dan Manuel Velasquz.
Keduanya menandaskan bahwa mereka melanjutkan pemikiran Aristoteles. Mereka
membagi keadilan atas tiga macam: keadilan distributif, keadilan retributif, dan keadilan
kompensatoris (compensatory justice). Keadilan distributuif dimengerti dengan cara yang
sama seperti pembagian klasik di atas.

1. Keadilan retributif dijelaskan berkaitan dengan kesalahan. Hukuman atau denda yang
diberikan kepada orang yang bersalah haruslah bersifat adil. Dasar etis untuk
menghukum sudah lama dibicarakan dalam filsafat dan menimbulkan diskusi-diskusi
yang rumit. Hal itu berlaku di bidang peradilan, tetapi juga dalam bidang perusahaan.
Jika karyawan bersalah, ia akan dihukum atau barangkali dikenakan sanksi. Bagaimana
caranya agar hukuman itu berlangsung dengan adil? Menurut kedua pengarang ini ada
tiga syarat yang harus dipenuhi supaya hukuman dapat dinilai adil: Pertama, orang atau
instansi yang dihukum harus tahu apa yang dilakukannya dan harus dilakukannya dengan
bebas. Jadi, syaratnya ialah melakukan tindakan itu dengan tahu dan mau. Orang bisnis
yang membuat produk yang merugikan konsumen, tetapi sama sekali tidak tahu bahwa ia
merugikan konsumen, tidak bias dihukum karena alasan itu. Kedua, harus dipastikan
bahwa orang yang dihukum benar-benar melakukan perbuatan itu dan kesalahannya
harus dibuktikan dengan meyakinkan. Misalnya, jika perbuatan dilakukan ketika belum
dilarang, maka si pelaku tidak bersalah. Ketiga, hukuman harus konsisten dan
proporsional dengan pelanggaran yang dilakukan. Syarat konsistensi terpenuhi, jika
selalu diambil tindakan terhadap suatu pelanggaran dan jika semua pelanggar dikenakan
hukuman yang sama. Syarat proporsionalitas terpenuhi, jika denda yang ditetapkan tidak
melebihi kerugian yang diakibatkan. Kalau diberikan hukuman ringan untuk pelanggaran
berat atau sebaliknya menghukum berat untuk pelanggaran ringan, itu tidak adil.

2. Keadilan kompensatoris menyangkut kesalahan yang dilakukan tetapi menurut aspek


lain. Berdasarkan keadilan ini orang mempunyai kewajiban moral untuk memberikan
kompensasi atau ganti rugi kepada orang atau instansi yang dirugikan. Supaya kewajiban
kompensasi ini berlaku maka perlu terpenuhi juga tiga syarat: Pertama, tindakan yang
mengakibatkan kerugian harus salah atau disebabkan kelalaian. Kalau kerugian
disebabkan karena tindakannya yang sah maka tidak ada kewajiban kompensasi.
Misalnya, perusahaan yang karena efisiensinya menyebabkan perusahaan lain harus
tutup, tidak wajib memberi kompensasi. Kedua, perbuatan seseorang harus sungguh-
sungguh menyebabkan kerugian. Misalnya, kalau orang lain menyebabkan kecelakaan
dengan sepeda motor yang dipinjam dari saya maka saya tidak wajib memberi ganti rugi
kepada korban. Ketiga, kerugian harus disebabkan oleh orang yang bebas. Tidak ada
kewajiban moral untuk memberikan kompensasi bagi kerugian yang disebabkan dalam
keadaan tidak bebas.

30
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

Keadilan distributif

 Bagi etika bisnis, keadilan komutatif sangat penting karena dalam bisnis ada banyak
tranksasi, perjanjian dan kontrak. Namun kehidupan sosial pada umumnya justru keadilan
distributif sangat penting dan paling banyak kesulitannya. Mengapa? Mungkin karena
keadilan itu menyangkut masalah membagi. Kalau orang harus membagi, selalu timbul
soal, sebaiknya membagi bagaimana, karena setiap orang tentu menginginkan paling
banyak dan tidak tersedia cukup barang untuk memenuhi keinginan semua orang.
Bagaimana kita bias membagi sehingga tidak ada yang mendapat terlalu banyak dan tidak
ada yang mendapat kurang?

 Supaya kita bisa mengambil keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan dalam kasus
keadilan distributif, kita tidak boleh bertindak dengan sembarang cara. Keputusan kita
harus beralasan. Di sini kita harus berpijak pada prinsip-prinsip tertentu. Apa yang
menjadi prinsip-prinsip keadilan distributif? Secara umum prinsip itu ada dua macam,
yakni prinsip material dan prinsip formal. Prinsip formal hanya ada satu yakni bahwa
kasus-kasus yang sama harus diperlakukan dengan cara yang sama, sedangkan kasus-
kasus yang tidak sama boleh saja diperlakukan dengan cara tidak sama. Prinsip formal ini
dalam rumusan Aristoteles: “Equals ought to be treated equally and unequalls may be
treated unequally”. Di sini, equals bisa berarti orang-orang yang sama atau kasus-kasus
yang sama. Intinya, menolak perlakuan pandang bulu atau berpihak.

 Prinsip ini disebut formal karena hanya menyajikan bentuk dan tidak mempunyai isi.
Memang dinyatakan bahwa kasus-kasus yang sama harus diperlakukan dengan cara yang
sama, tetapi tidak dijelaskan apa yang harus dimengerti dengan “kasus-kasus yang sama”.
Prinsip ini tidak menunjukkan menurut aspek apa kasus-kasus harus dianggap sama atau
tidak sama. Prinsip formal mengatakan bahwa semua kasus yang sama jenisnya harus
diperlakukan dengan cara yang sama pula. Tetapi dengan itu kita belum tahu orang-orang
siapa harus dianggap sama atau tidak sama dan aspek-aspek mana dalam hal ini relevan
atau tidak. Karena itu hanya prinsip formal saja tidak cukup sebagai pegangan untuk
membagi dengan adil dan kita masih membutuhkan prinsip material.

 Prinsip-prinsip material menunjuk kepada salah satu aspek relevan yang bisa menjadi
dasar untuk membagi dengan adil hal-hal yang dicari oleh pelbagai orang. Kalau prinsip
formal hanya ada satu maka prinsip material ada beberapa. Sejauh ini telah ditemukan
kurang lebih ada enam prinsip material keadilan distributif. Keadilan distributif terwujud,
kalau diberikan kepada setiap orang (1) bagian yang sama; (2) sesuai dengan kebutuhan
individualnya; (3) sesuai dengan haknya; (4) sesuai dengan usaha individualnya; (5)
sesuai dengan kontribusinya kepada masyarakat; dan (6) sesauai dengan jasanya.

 Kalau dalam membagi sesuatu kita memberikan kepada satu orang sedangkan orang lain
tidak dapat apa yang diharapkanya, bisa juga pembagian kita adil, asalkan kita membagi
berdasarkan salah satu prinsip material di atas. Misalnya, tanda bintang kehormatan

31
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

diberikan kepada orang yang berjasa saja, kepada orang biasa tidak diberikan. Akan
tetapi dengan adanya prinsip-prinsip material ini kita belum luput dari segala kesulitan
karena sering kali beberapa prinsip berlaku sekaligus. Dalam keadaan itu perlu kita
pertimbangkan prinsip mana paling cocok untuk situasi tertentu:

(1) Prinsip bagian yang sama: Kita membagi dengan adil kalau kita membagi kepada
semua orang yang berkepentingan diberi bagian yang sama. Membagi atas dasar undian
merupakan salah satu cara untuk mempraktekkan prinsip ini karena dengan itu semua
orang mendapat peluang yang sama.
(2) Prinsip kebutuhan: Kita berlaku adil bila kita membagi sesuai dengan kebutuhan. Ibu
rumah tangga yang membagi nasi dengan memberi kepada semua anggota keluarga porsi
yang sama, belum tentu berlaku adil. Karena mereka kebutuhan mereka tidak sama.
(3) Prinsip hak: Hak merupakan hal yang penting bagi keadilan pada umumnya,
termasuk keadilan distributif ini. Karyawan yang dipekerjakan di suatu perusahaan,
sebelum diterima akan menandatangani perjanjian kerja yang menentukan gaji, hari cuti,
tunjangan dan sebagian. Dengan demikian haknya terhadap perusahaan telah dirumuskan
dengan jelas.
(4) Prinsip usaha: Mereka yang mengeluarkan banyak usaha dan keringat untuk
mencapai suatu tujuan, pantas diperlakukan dengan cara lain daripada orang yang tidak
berusaha. Usaha di sini harus dilihat terlepas dari berhasil atau tidaknya (untuk itu
berlaku prinsip jasa).
(5) Prinsip kontribusi kepada masyarakat: Pejabat tinggi boleh diperlakukan dengan cara
lain dari orang biasa karena kontribusinya kepada masyarakat lebih besar. Jika tempat
dalam pesawat terbang tidak cukup untuk semua calon penumpang, seorang Menteri
Negara didahulukan sedangkan orang biasa menungggu penerbangan berikutnya. Itu adil
menurut prinsip ini.
(6) Prinsip jasa: Jasa menjadi alas an untuk memberikan sesuatu kepada satu orang yang
tidak diberikan kepada orang lain. Dalam konteks ekonomi dan bisnis, jasa terutama
tampak dalam bentuk prestasi. Karyawan berprestasi khusus, umpamanya, diberi bonus
akhir tahun, yang tidak diberikan kepada karyawan lain.

Tiga Teori keadilan distributive

1. Teori keadilan distributif egalitarian

 Teori egalitarianisme didasarkan pada prinsip material pertama di atas, yakni “diberikan
kepada setiap orang bagian yang sama”. Kaum egalitarian berpendapat bahwa kita baru
membagi dengan adil, bila semua orang mendapat bagian yang sama (equal). Membagi
dengan adil berarti membagi rata. “Sama rata, sama rasa”, merupakan sebuah semboyan
egalitarian yang khas. Jika karena alasan apa saja tidak semua orang mendapat bagian
yang sama, menurut kaum agalitarin, itu tidak adil. Egalitarianisme ini pantas
menimbulkan simpati kita. Semua manusia memang sama. Pemikiran ini merupakan
keyakinan umum sejak zaman modern, khususnya sejak Revolusi Perancis (1989):
“Manusia dilahirkan bebas serta sama haknya, mereka tetap tinggal begitu”, demikian

32
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

bunyi Deklarasi Hak Manusia dan Hak Warga Negara dalam revolusi itu. Jika kita
mengatakan bahwa semua manusia sama, yang terutama dimaksud adalah martabatnya.
Satu manusia tidak pernah lebih daripada manusia lain. Kenyataan ini mempunyai
konsekuensi besar di beberapa bidang, misalnya, hukum. Supaya adil, di hadapan hukum
semua warga negara harus diperlakukan dengan cara yang sama: orang kaya atau miskin,
pejabat tinggi atau orang biasa, kaum ningrat atau rakyat jelata. Mengapa begitu? Karena
hukum hanya memandang warga negara sebagai manusia dan martabat manusia selalu
sama, terlepas dari ciri-ciri yang tidak relevan, seperti kedudukan sosial, ras, jenis
kelamin, agama dan lain-lain.

 Namun demikian, walaupun martabat manusia selalu sama, dalam banyak hal manusia
tidak sama. Inteligensi dan ketrampilannya sering tidak sama. Kemampuannya untuk
menghasilkan nilai ekonomis acapkali berbeda. Dan jutru hak terakhir inilah penting
dalam konteks ekonomi dan bisnis. Karena itu sulit untuk menerapkan egalitarianisme di
bidang penggajian. Para pendukung egalitarianisme yang radikal memang akan
berpendapat bahwa sistem penggajian baru adil betul kalau semua karyawan dalam
perusahaan menerima gaji yang persis sama. Hal itu telah dilakukan oleh Jean-Paul Sartre
di Perancis bersama dengan teman-temannya yang mendirikan Koran Liberation. Surat
kabar ini berhaluan antikapitalisme dan karena itu antara lain tidak mau memuat iklan
komersial dan mereka menerapkann gaji egalitarian. Dari pimpinan redaksi sampai
tukang sapu diberi gaji yang sama. Sulit dibayangkan kini mereka masih mempraktekkan
sistem penggajian yang secara radikal egalitarian.

2. Teori keadilan distributif sosialistis

 Teori sosialistis tentang keadilan distributif memilih prinsip kebutuhan sebagai dasarnya.
Menurut mereka masyarakat diatur dengan adil, jika kebutuhan semua warganya
terpeunuhi, seperti kebutuhan akan sandang pangan dan papan. Secara konkret,
sosialisme terutama memikirkan masalah-masalah pekerjaan bagi kaum buruh dalam
konteks indutsrilaisasi. Dalam teori sosialisme tentang keadilan, terkenal adalah prinsip
yang dirumuskan oleh Karl Marx: “From each according to his ability, to each according
to his needs”. Prinsip ini diambil Marx dari ahli sosialis Perancis, Louis Blanc (1811-
1882). Bagian pertama dari prinsip ini berbicara tentang burdens, yakni tentang hal-hal
yang menuntut pengorbanan, sedangkan bagian keduanya tentang benefits, yakni tentang
hal-hal enak untuk didapat. Hal-hal yang berat harus dibagi sesuai dengan kemampuan.
Tidak adil bila orang cacat diharuskan bekerja sama berat seperti orang yang utuh
anggota badannya. Kepada orang yang menyandang cacat fisik harus diberikan pekerjaan
yang cocok dengan kemampuannya. Hal-hal yang enak diperoleh harus diberikan sesuai
dengan kebutuhan. Misalnya, pelayanan medis adalah adil bila diberikan sesuai dengan
kebutuhan orang sakit. Adil tidaknya gaji juga harus diukur menurut kebutuhan.

 Perlu diakui bahwa kebutuhan dan kemampuan memang tidak boleh diabaikan dalam
melaksanakan keadilan distributif. Tetapi timbul kesulitan besar juga bila prinsip ini

33
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

dipakai sebagai pegangan satu-satunya untuk mewujudkan keadilan distributif. Terutama


dua macam kritik dapat dikemukakan:

1. Jika kebutuhan dijadikan satu-satunya kriteria untuk melaksanakan keadilan


distributif di bidang penggajian maka para pekerja tidak akan merasa termotivasi
untuk bekerja keras. Gaji yang diperoleh sudah dipastikan sebelum orang mulai
bekerja karena kebutuhannya sudah jelas. Bekerja keras atau bermalas-malasan tidak
akan mengubah pendapatannya. Sistem imbalan kerja yang berpedoman pada
kebutuhan saja akan mengakibatkan produktivitas kerja rendah.

2. Menyangkut kemampuan sebagai satu-satunya alasan untuk membagi pekerjaan.


Terutama dalam sosialisme komunistis yang totaliter, prinsip ini mengakibatkan
orang yang berkemampuan harus menerima saja bila negara membagi pekerjaan
kepadanya. Jika orang mempunyai kemampuan untuk menjadi pilot dan negara
sedang membutuhkan profesional-profesional ini maka ia harus menerima pekerjaan
ini sebagai profesinya. Padahal belum tentu profesi pilot menjadi pilihannya. Cara
mempraktekkan keadilan distributif ini menghilangkan hak sesorang untuk memilih
profesinya sendiri.

3. Teori keadilan distributif liberalistis

 Sebagai lawan dari paham yang berdasarkan kebutuhan adalah teori liberalistis. Menurut
kaum liberal, pembagian atas dasar kebutuhan adalah tidak adil. Karena manusia adalah
makhluk bebas maka kita harus membagi menurut usaha-usaha bebas dari
indvidu.individu bersangkutan. Yang tidak berusaha tidak mempunyai hak pula untuk
memperoleh sesuatu. Liberalisme menolak sebagai sangat tidak etis sikap free rider:
benalu yang menumpang pada usaha orang lain tanpa bekerja. Orang seperti itu tidak
mengakui hak sesamanya untuk menikmati hasil jerih payahnya.

 Salah satu kesulitan pokok teori liberalistis tentang keadilan distributif ini adalah
bagaimana orang yang tidak bisa berprestasi karena cacat, orang yang menganggur di
luar kemauannya sendiri? Mereka sebenarnya ingin juga berprestasi, tetapi tidak bisa.
Karena itu mereka tidak mendapat apa-apa. Apakah cara seperti itu bisa dianggap adil?

Teori keadilan distributif John Rawls

 Teori keadilan Rawls boleh dikatakan sebagai teori keadilan distributif yang dibangun di
dalam sebuah masyarakat demokratis. Salah satu tugas untuk setiap masyarakat
demokratis ialah bersama-sama mengembangkan kesepakatan tentang yang bisa dinilai
sebagai pembagian adil dalam situasi tertentu. Memang kadang-kadang pandangan Rawls
tentang keadilan disebut egalitarianisme. Hal itu pasti tidak boleh dimengerti dalam arti
egalitarianisme radikal. Tetapi titik tolaknya memang egalitarian, jadi berkaitan dengan

34
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

prinsip material pertama. Rawls berpendapat, kita membagi dengan adil dalam
masyarakat, jika kita membagi rata, kecuali ada alasan untuk membagi dengan cara lain.

 Kalau kita ingin menegakkan keadilan dalam masyarakat, maka apa saja harus dibagi
dengan adil? Rawls mulai dengan menjawab bahwa masalah keadilan distributif hanya
muncul berkaitan dengan apa yang tergantung pada kemauan manusia. Di mana manusia
tidak bisa berpengaruh maka di situ juga tidak mungkin timbul soal keadilan. Misalnya
bahwa kita dilahirkan sebagai anak sehat atau sakit-sakitan, sebagai anak cerdas atau
berinteligensi rendah, dan semua faktor lain yang tergantung pada genom manusia, tidak
diputuskan oleh siapa pun. Semuanya itu kita peroleh melalui natural lottery (loteri
alamiah). Di situ memang terdapat ketidaksamaan, kadang kala malah besar, tetapi
dengan itu kita tidak diperlakukan adil atau tidak adil, kita hanya mujur atau sial. Tentang
mereka yang kalah dalam loteri alamiah ini hanya bisa dikatakan: “it is unfortunate, but
not unfair”. Mereka memang sial, tidak bisa dibilang diperlakukan dengan kurang adil.
Keadilan baru mulai berperan setelah loteri alamiah lewat.

 Menurut Rawls, yang harus kita bagi dengan adil dalam masyarakat adalah the social
primary goods. Artinya, hal-hal yang sangat kita butuhkan untuk bisa hidup pantas
sebagai manusia dan warga masyarakat. Di samping itu tentu ada banyak hal yang bisa
meningkatkan kualitas hidup kita dan banyak juga dicari orang, tapi tidak bisa dianggap
primer. Menurut Rawls, yang termasuk nilai-nilai sosial primer adalah: (1) kebebasan-
kebebasan dasar, seperti kebebasan mengemukakan pendapat, kebebasan hati nurani dan
kebebasan berkumpul, berintegritas pribadi dan kebebasan politik; (2) kebebasan
bergerak dan kebebasan memilih profesi; (3) kuasa dan keuntungan yang berkaitan
dengan jabatan-jabatan dan posisi-posisi penuh tanggung jawab; (4) pendapatan dan
milik; (5) dasar-dasar sosial dari harga diri (self-respect).

 Urutan daftar ini tidak kebetulan tapi disusun menurut pentingnya. Kemudian hari Rawls
mengakui bahwa masyarakat dan kebudayaan lain barangkali akan memilih urutan lain
atau malah akan menyusun daftar yang isinya berbeda. Sehingga pemikiran Ralws sendiri
sebetulnya mengkonsentrasikan diri pada cara membagi dengan adil dalam
masyarakatnya sendiri yaitu masyarakat Barat, khususnya Amerika Serikat.

 Pertanyaan berikut adalah bagaimana dapat kita membentuk suatu masyarakat di mana
nilai-nilai primer tadi dibagi dengan adil? Bagi Rawls, pertanyan ini sama dengan
menanyakan: prinsip-prinsip mana harus menjadi landasan untuk membangun
masyarakat yang adil? Sebagian terbesar usaha Rawls diarahkan pada pencarian prinsip-
prinsip ini. Bagaimana prinsip-prinsip bisa ditemukan. Prinsip-prinsip ini harus
ditemukan menurut prosedur yang oleh semua orang dapat diterima sebagai adil. Menurut
Rawls, keadilan harus kita mengerti sebagai fairness: Justice as Fairness. Menurut
kamus, just berarti adil dan fair juga berarti adil. Tetapi ada perbedaan. Just berarti adil
menurut isinya, sedankan fair berarti adil menurut prosedurnya. Misalnya, dalam undian
yang dijalankan dengan fair sekali, bisa saja semua hadiahnya jatuh dalam tangan orang
kaya, sedangkan orang miskin yang ikut serta tidak mendapatkan apa-apa. Menurut

35
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

prosedurnya, undian itu adil (fair), tapi hasilnya sama sekali tidak adil (just). Fairness
berarti keadilan yang didasarkan atas prosedur yang wajar, yang tidak direkayasa atau
dimanipulasi.

 Rawls sendiri memberi contoh tentang pembagian dengan adil (fair) yang kemudian
menjadi terkenal. Andaikata kita harus membagi kue untuk 20 orang. Bagaimana caranya
untuk membagi kue itu dengan adil? Cara yang adil ialah tunjuk satu orang dan kita
bilang kepadanya: “Coba membagi kue ini ke dalam 20 potongan yang sama. Kamu
sendiri mendapat bagian yang terakhir; peserta lain boleh pilih menurut giliran yang
ditentukan melalui undian”. Tentu saja orang itu akan berusaha agar kue itu dipotong ke
dalam 20 bagian yang persis sama. Seandainya ada satu bagian lebih kecil, pasti bagian
itulah akan tertinggal sebagai yang terakhir untuk orang yang memotong. Mengapa cara
membagi ini bisa dianggap adil (fair)? Karena sebelumnya peserta tidak tahu siapa
mendapat bagian mana. Ketidaktahuan itu menjamin terjadinya pembagian yang adil.

 Metode yang sama harus kita pakai juga untuk menentukan prinsip-prinsip keadilan
distributif. Guna merumuskan prinsip-prinsip ini kita harus memasuki apa yang disebut
Rawls, the original position, posisi asasli. Maksudnya, kita seolah-olah keluar dari
masyarakat di mana kita hidup. Kita seolah-olah harus kembali ke keadaan pada awal
mula ketika sejarah belum dimulai. Kita harus memasuki situasi khayalan di mana
masyarakat belum terbentuk. Dalam posisi asali itu kita tidak tahu bagaimana nasib kita
masing.masing dalam masyarakat nanti. Rawls menyebutnya, kita berada di balik the veil
of ignorance (tabir ketidaktahuan). Kita tidak tahu akan dilahirkan di golongan mana
(miskin atau kaya), kita tidak tahu bakat kita nanti (cerdas atau bodoh), kita tidak tahu
keadaan fisik kita nanti (sehat atau sakit-sakitan). Menurut Rawls, sambil berada dalam
posisi asali kita dapat menyetujui prinsip-prinsip keadilan berikut ini: Prinsip pertama,
setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan-kebebasan dasar yang paling luas
yang dapat dicocokkan dengan kebebasan-kebebasan sejenis untuk semua orang, dan
prinsip kedua, ketidaksamaan sosial dan ekonomi diatur sedemikian rupa sehingga (a)
menguntungkan terutama orang-orang yang minimal beruntung, dan serentak juga (b)
melekat pada jabatan-jabatan dan posisi-posisi yang terbuka bagi semua orang dalam
keadaan yang menjamin persamaan peluang yang fair.

 Prinsip pertama dapat disebut “kebebasan yang sedapat mungkin sama”. Dalam hal ini
Rawls menganut egalitarianisme. Kebebasan-kebebasan seperti hak untuk
mengemukakan pendapat, hak untuk mengikuti hati nurani, hak untuk berkumpul, dan
sebagainya harus tersedia dengan cara yang sama untuk semua orang. Masyarakat tidak
diatur dengan adil, kalau hanya satu kelompok boleh mengemukakan pendapatnya atau
semua warga negara dipaksakan memeluk satu agama. Kebebasan-kebebaan itu harus
seluas mungkin, tetapi ada batasnya juga. Batas bagi kebebasan satu orang adalah
kebebasan dari semua orang lain. Sama sekali tidak adil, kalau saya begitu bebas,
sehingga orang lain tidak bebas lagi.

36
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

 Prinsip kedua bagian a disebut prinsip perbedaan (difference principle). Supaya


masyarakat diatur dengan adil, tidak perlu semua orang mendapat hal-hal yang sama.
Dengan itu Rawls menolak egalitarianisme radikal. Boleh saja ada perbedaan dalam apa
yang dibagi dalam masyarakat. Tetapi perbedaan itu harus sedemikian rupa sehingga
menguntungkan mereka yang kurang beruntung. Misalnya, boleh dianggap adil saja, jika
Negara menyelenggarakan kursus ketrampilan untuk orang miskin atau memberi
tunjangan kepada janda dan yatim piatu atau menyediakan fasilitas khusus untuk orang
cacat, sedangkan kepada orang lain yang cukup mampu tidak diberikan apa-apa.
Mengapa hal itu bisa dianggap adil? Karena kita merumuskan prinsip ini ketika sedang
berada dalam posisi asali. Bisa saja setiap orang di antara kita akan dilahirkan sebagai
anak miskin atau kena musibah menjadi janda atau yatim piatu atau cacat. Karena itu
dalam posisi asali kita mudah menyetujui prinsip ini. Rawls sendiri mengatakan bahwa
mungkin menguntungkan mereka yang minimal beruntung. Dengan prinsip perbedaan ini
Rawls sebenarnya meletakkan landasan etis untuk Welfare State (negara kesejahteraan)
modern.

 Sedangkan prinsip kedua bagian b adalah “prinsip persamaan peluang yang fair”.
Adanya jabatan dan posisi penting mengakibatkan juga ketidaksamaan dalam
masyarakat. Sudah dari sediakala jabatan-jabatan tinggi sangat didambakan orang
bersama fasilitas dan privilesenya. Hal itu tidak boleh dianggap kurang adil, asalkan
jabatan dan posisi itu pada prinsipnya terbuka untuk semua orang. Keadaan baru menjadi
kurang adil, bila dilakukan diskriminasi dengan mengatakan bahwa golongan X tidak
boleh naik ke jabatan tinggi itu. Prinsip ini berimplikasi juga bahwa kepada setiap orang
yang berbakat diberi pendidikan yang memungkinkan dia untuk naik ke posisi penting.

 Kita bisa menanyakan lagi bagaimana hubungan antara prinsip-prinsip ini. Menurut
Rawls, prinsip pertama yakni “kebebasan yang sedapat mungkin sama” harus diberi
prioritas mutlak. Prinsip ini tidak pernah boleh dikalahkan oleh prinsip-prinsip lain.
Sedangkan prinsip “persamaan peluang yang fair” harus ditempatkan di atas “prinsip
perbedaan”. Pada skala nilai dalam masyarakat yang adil yang dicita-citakan Rawls,
paling atas harus ditempatkan hak-hak kebebasan yang klasik, yang pada kenyataannya
sama dengan yang kita sebut Hak-hak Asasi Manusia. Lantas harus dijamin peluang yang
sama bagi semua warga negara untuk memangku jabatan yang penting. Akhirnya dapat
diterima perbedaan sosial-ekonomis tertentu demi peningkatan kesejahteraan bagi orang-
orang yang kurang beruntung.

Teori keadilan distributif Robert Nozick

 Robert Nozick adalah rekan profesor Rawls di Universitas Harvard. Ia memberi


tanggapan kritis atas teori keadilan Rawls terutama prinsip perbedaan. Teorinya dikenal
dengan sebutan entitlement theory (teori landasan hak). Menurut Nozick, kita memiliki
sesuatu dengan adil, kalau pemilikan itu berasal dari keputusan bebas yang mempunyai
landasan hak. Di sini ada tiga kemungkinan yang menelurkan tiga prinsip. Pertama,

37
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

prinsip original position: kita memperoleh sesuatu untuk pertama kalinya dengan,
misalnya, memproduksi barang itu. Kedua, prinsip transfer: kita memiliki sesuatu karena
diberikan oleh lain. Ketiga, prinsip rectification of injustice: kita mendapat sesuatu
kembali yang sebelumnya dicuri dari kita, umpamanya. Kalau kita memiliki sesuatu
dengan adil karena landasan hak – misalnya kita membeli sebidang tanah atau kita
dihadiahkan orang lain – kita menjadi pemilik yang sah dan terserah pada kita saja mau
diapakan milik kita itu. Dalam hal ini setiap intervensi dari luar melanggar kebebasan
kita. Satu-satunya pengecualian adalah rektifikasi yang dilakukan untuk memulihkan
kembali keadaan adil dulu.

 Nozick mempunyai dua keberatan mendasar terhadap prinsip-prinsip material keadilan


distributif tradisional itu.

1. Prinsip-prinsip itu bersifat ahiostoris. Ketiga prinsip Nozick tadi merupakan prinsip-
prinsip historis, artinya mereka tidak saja melihat hasil pembagian tetapi
mempertanggungjawabkan juga proses yang melandaskan pembagian atau pemilikan.
Mereka perhatikan juga bagaimana proses sampai terjadi. Sedangkan prinsip-prinsip
tradisional, khususnya prinsip kebutuhan, bersifat ahistoris, karena tidak memperhatikan
bagaimana pembagian itu sampai terjadi. Itulah end-state principles, kata Nozick, karena
memperhatikan keadaan terakhir dari suatu proses yang barangkali panjang dan penuh
keputusan bebasan dari pihak-pihak bersangkutan. Keberatan ini berlaku juga untuk
prinsip perbedaan. Rawls hanya melihat keadaan faktual saat ini dari mereka yang
minimal beruntung, namun tidak memperhatikan mengapa mereka sampai terjerat dalam
keadaan itu, mungkin saja mereka malas, padahal diberikan peluang yang sama.

2. Prinsip-prinsip itu semua bersifat “patterned”. Jadi prinsip-prinsip tradisional itu


menerapkan pada pembagian barang suatu pola yang ditentukan sebelumnya. Pola itu
berbentuk “Dari setiap orang menurut X-nya, kepada setiap orang menurut Y-nya”,
seperti misalnya prinsip dari Karl Marx. Tetapi memaksa pola seperti itu berarti
mengorbankan kebebasan. Supaya adil, prinsip-prinsip yang berpola itu hanya bisa
dipakai pada keadaan awal ketika semua orang masih sama, tetapi tidak bisa dipakai lagi
setelah para anggota masyarakat memiliki harta milik yang berbeda-beda, akibat
menjalani hak-haknya yang legitim dengan bebas. Sepintas lalu rupanya prinsip-prinsip
Rawls luput dari keberatan kedua ini karena dirumuskan dalam original position, ketika
semua anggota masyarakat masih sama. Tetapi menurut Nozick, prinsip perbedaan Rawls
terkena juga keberatan kedua ini, karena menurut Rawls kita dalam posisi asali harus
memihak pada mereka yang minimal beruntung dan dengan demikian, menurut Nozick,
kebebasan dilanggar.

 Kesimpulan Nozick: Keadilan ditegakkan kalau diakui bakat-bakat dan sifat-sifat pribadi
beserta segala konsekuensinya (seperti hasil kerja) sebagai satu-satunya landasan hak
(entitlement). Masyarakat di mana beberapa orang hidup dalam kelimpahan, sedangkan
sebagian besar orang miskin, tentu jauh dari ideal. Tetapi keadaan itu tidak boleh
diperbaiki dengan membuat orang kaya menjadi sarana belaka dengan tujuan

38
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

mengentaskan kemiskinan orang lain itu. Nozick berpendapat bahwa prinsip dasar dari
etika Kant di sini juga harus dipegang teguh. Tidak pernah menjadi adil memerangi
kemiskinan dengan memaksakan perubahan struktural dalam masyarakat. Membantu
orang miskin memang merupakan kewajiban solidaritas. Tetapi menurut Nozick
kewajiban itu termasuk etika pribadi dan hanya boleh dijalankan dengan keputusan-
keputusan bebas.

39
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

Pertemuan 7

Keadilan sosial

1. Apa itu keadilan sosial


2. Keadilan individual dan keadilan sosial
3. Ketidakadilan sosial (ketidakadilan struktural)
4. Negara dan keadilan sosial

Apa itu keadilan sosial

 Dalam kerangka teori keadilan pengertian “keadilan sosial” sering dipersoalkan dan
diliputi ketidakjelasan cukup besar. Ada yang menganggap keadilan sosial sebagai nama
lain untuk keadilan distributif. Ada pemikir lain yang justru berpendapat bahwa keadilan
sosial harus dibedakan dari keadilan distributive. Filsuf dan ekonomi Austria Amerika,
F.A. von Hayek, yang juga peraih hadiah Nobel ekonomi tahun 1974, malah menolak
istilah “keadilan sosial”. Ia mengatakan: “Jika diskusi politik mau menjadi jujur, perlulah
orang mengakui bahwa istilah ini secara intelektual tidak terhormat sama sekali, pertanda
demagogi atau jurnalisme murahan, dan pemikir yang bertanggungjawab harus merasa
malu untuk menggunakannya, karena sekali kehampaannya diketahui penggunaannya
sudah tidak jujur lagi”. Yang pasti ialah dibandingkan dengan jenis-jenis keadilan yang
sudah disebut sebelumnya, paham “keadilan sosial” masih berumur muda. Dapat
dipastikan juga bahwa secara historis pengertian ini berkaitan erat dengan pemikiran
sosialistis. Dalam kepustakaan berbahasa Inggris masalah keadilan sosial biasanya
dibahas bersama degan keadilan pada umumnya.

 Cara yang paling baik untuk menguraikan keadilan sosial adalah membedakannya
dengan keadilan individual. Dua macam keadilan ini berbeda karena pelaksanaannya
berbeda. Pelaksanaan keadilan individual tergantung pada kemauan dan keputusan satu
orang atau bisa juga beberapa orang saja. Dalam pelaksanaan keadilan sosial, satu orang
atau beberapa orang saja tidak berdaya. Pelaksanaan keadilan sosial tergantung dari
struktur-struktur masyarakat di bidang sosial-ekonomi, politik, budaya dan sebagainya.
Keadilann sosial tidak terlaksana, kalau struktur-struktur masyarakat tidak
memungkinkan. Karena itu di sini orang berbicara juga tentang ketidakadilan struktural
dan kemiskinan struktural. Pada kenyataannya masalah keadilan sosial terutama tampak
dalam bentuk negatifnya: sebagai ketidakadilan sosial. Jika struktur-struktur masyarakat
tidak menghasilkan keadaan yang adil maka akan muncul masalah keadilann sosial.

 Dalam kehidupan sehari-hari banyak masalah tergolong keadilan individual. Apakah


orang akan mengembalikan barang yang dipinjam, tergantung pada kemauan orang

40
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

bersangkutan. Demikian juga, bila guru memberi nilai adil kepada para murid, bila
pramuniaga mengembalikan jumlah uang yang tepat kepada wisatawan asing yang tidak
mengerti tentang mata uang Indonesia, bila estimator di pegadaian menentukan taksiran
yang betul untuk barang yang akan digadaikan. Dalam semua kasus ini yang bisa terjadi
setiap hari pelaksanaan keadilan tergantung pada kemauan baik atau buruk satu orang
saja. Jika ia berkemauan baik, keadilan terlaksana. Jika ia berkemauan buruk, keadilan
tidak terlaksana. Tetapi dalam banyak kasus lain masalahnya tidak semudah itu. Jika
dalam suatu masyarakat terdapat banyak penganggur yang mencari pekerjaan, tidak
tergantung kebaikan hari para pemiliki pekerjaan apakah keinginan pencari kerja itu
dipenuhi atau tidak. Pemilik kerja hanya bisa menampung tenaga kerja yang mereka
butuhkan. Pengangguran memang merupakan ketidakberesan sosial dan menjadi keadaan
tidak adil bila disebabkan karena struktur-struktur sosial-ekonomi dalam masyarakat
tidak adil. Jika dalam suatu masyarakat banyak orang miskin tidak mendapat pendidikan
atau pelayanan kesehatan, namun untuk memecahkan soal ini tidak tergantung dari
kehendak baik para kepala sekolah atau direktur rumah sakit. Jika pendidikan dan
pelayanan kesehatan dalam masyarakat hanya tersedia bagi orang berduit, maka
masyarakat itu memang belum mewujudkan keadilan sosial. Tetapi pelaksanaan keadilan
sosial itu tidak tergantung pada beberapa individu saja. Hal itu tergantung pada struktur-
struktur sosial-ekonomi-politik yang tidak adil.

 Keadilan sosial dapat ditempatkan juga dalam kerangka pengertian tentang keadilan yang
menjadi titik tolak kita. Kalau kita mengerti keadilan sebagai „memberikan kepada setiap
orang yang menjadi haknya“, maka keadilan sosial terwujud, bila hak-hak sosial
terpenuhi. Setiap orang mempunyai hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, hak atas
pelayanan kesehatan dan hak-hak sosial lain. Keadilan sosial terlaksana, bila hak-hak
sosial terpenuhi. Keadilan individual terlaksana, bila hak hak-hak individual terpenuhi.
Tetapi perlu diakui, keadilan individual jauh lebih mudah untuk dilaksanakan dengan
sempurna. Karena kompleksitas masyarakat modern, keadilan sosial tidak pernah dapat
dilaksanakan dengan sempurna. Setiap perubahan dalam masyarakat, seperti misalnya
dinaikkan pajak, bisa mengakibatkan ketidakadilan sosial untuk golongan tertentu.
Timbangan sebagai lambang keadilan hanya cocok untuk keadilan individual. Keadilan
sosial merupakan cita-cita yang bisa dihampiri semakin dekat, tapi tidak pernah bisa
direalisasikan dengan sempurna. Di suatu masyarakat keadilan sosial bisa terwujud jauh
lebih baik daripada masyarakat lain. Tetapi praktis tidak ada satu masyarakat pun di mana
tidak ada masalah keadilan sosial.

 Maka keadilan sosial dapat kita definisikan sebagai keadilan yang pelaksanaannya
tergantung dari struktur proses-proses ekonomis, politis, sosial, budaya dan ideologis
dalam masyarakat. Struktur-truktur itu merupakan struktur-struktur kekuasaan dalam
dimensi-dimensi utama kehidupan masyarakat. Susunan struktur-struktur itu menentukan
kedudukan masing-masing golongan sosial, apa yang mereka masukkan dan apa yang
mereka peroleh dari proses-proses itu. Masyarakat merupakan proses yang mengalir terus
menurut struktur-struktur kekuasaan itu. Upah mana yang diperoleh para pekerja, apakah
sebuah tuntutan atas sebidang tanah akan berhasil atau tidak, atau apakah seseorang

41
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

dalam suatu perkara pidana dibela dengan sungguh-sunggguh atau mudah menjadi
korban, semuanya itu tergantung dari kedudukannya dalam proses politis, sosial,
ekonomis, budaya dan ideologis yang merupkan kehidupan masyarakat. Misalnya orang
yang karena kemiskinannya tidak mendapat pendidikan yang baik, tentu sering akan
diperlakukan dengan tidak adil.

 Mengusahakan keadilan sosial dengan demikian berarti mengubah atau seperlunya


membongkar struktur-struktur ekonomis, politis, sosial, budaya dan ideologis yang
menyebabkan segolongan orang tidak dapat memperoleh apa yang menjadi hak mereka
atau untuk tidak mendapat bagian yang wajar dari harta kekayaan dan hasil pekerjaan
masyarakat sebagai keseluruhan. Ketidakadilan sruktural tampak di mana sekolompok
atau segolongan orang, atau kelas-kelas sosial tertentu, tertimpa ketidakadilan. Kalau
suatu kelas dalam keseluruhan, misalnya para buruh industri kasar, menderita
ketidakadilan, maka sebabnya tidak pertama-tama terletak dalam sikap pemilik masing-
masing pabrik yang acuh tak acuh terhadap buruh-buruh mereka, melainkan dalam
struktur-struktur yang menguasai lalu lintas ekonomi nasional dan bahkan internasional,
dan secara tak langsung juga dalam struktur-struktur kekuasaan politik, dalam mana pola
kelakuan sosial pada umumnya, dan dalam sistem budaya. Struktur-struktur itu bersifat
sedemikian rupa sehingga kelas-kelas itu, betapapun anggota-anggota mereka berusaha,
tetap tidak memperoleh apa yang menjadi hak mereka.

Negara dan keadilan sosial

 Tujuan negara adalah menciptakan kesejahteraan umum (bonum commune). Itu artinya,
negara membantu dan mendukung usaha masyarakat untuk membangun suatu kehidupan
di mana semua anggotanya dapat hidup dengan wajar. Tujuan itu pada zaman sekarang
berarti bahwa negara dibebani tanggungjawab sosial. Negara tidak boleh sekadar netral
terhadap semua golongan melainkan harus berpihak pada mereka yang paling lemah dan
membutuhkan bantuan.

 Berdasarkan penjelasan di atas memang keadilan sosial untuk sebagian besar hanya dapat
diusahakan oleh negara bukan oleh usaha individu-individu. Karena negara memiliki
kekuasaan untuk mengatur proses-proses politik, eknomi, sosial, budaya dan ideologis.
Karena itu negara wajib selalu mengusahakan keadilan. Keadilan adalah tuntutan dasar
untuk memecahkan konflik-konflik dalam masyarakat. Dalam hal ini negara memiliki
kewajiban untuk membongkar ketidakadilan struktural itu demi terciptanya keadilan
sosial yang diharapkan. Akan tetapi karena pembongkaran ketidakadilan strktural justru
bertentangan dengan kepentingan-kepentingan golongan yang berkuasa. Golongan-
golongan yang menguasai masyarakat justru dan dengan sendirinya beruntung dari
kenyataan bahwa golongan-golongan lemah tidak sanggup untuk mengambil apa yang
sebenarnya menjadi hak mereka. Baru sekarang kita mengharapkan negara sendiri yang
membongkarkan ketidakberesan itu.

42
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

 Oleh karena itu harapan bahwa keadilan sosial dapat diciptakan semata-mata dari atas
adalah naif. Bukan seakan-akan orang-perorangan yang mendudukui tempat-tempat yang
berkuasa niscaya bersikap acuh tak acuh terhadap nasih orang kecil. Melainkan karena
maksud baik mereka dengan sendirinya mesti kalah terhadap kepentingan-kepentingan
golongan-golongan yang mereka wakili untuk mempertahankan kedudukan yang
menguntungkan itu. Membongkar struktur-strruktur yang tidak adil dengan sendirinya
mengubah strutktur kekuasaan yang sedang berada dan hal itu dengan sendirinya
bertentangan dengan kepentingan mereka yang sedang berkuasa. Mengusahakan keadilan
sosial selalu bertentangan dengan kepentingan mereka yang sudah mantap dan berkuasa.
Karena sebab itu tidak masuk akal untuk mengharapkan bahwa ketidakadilan struktural
sungguh-sungguh dapat dibongkar hanya dari atas saja.

 Pembongkaran ketidakadilan haruslah diperjuangkan oleh mereka yang terkena


ketidakadilan itu. Keadilan sosial tidak masuk akal kalau sekadar diharapkan dari
kesadaran mereka yang berkuasa. Tanpa usaha sendiri dari golongan-glongan yang
menderita ketidakadilan, maka ketidakadilan tidak mungkin dihapus. Dalam hal ini perlu
kita membebaskan diri dari kacamata Marx yang memandang negara sebagai negara
kelas, di mana kelas-kelas atas memiliki negara dan kelas-kelas bawah adalah rakyat saja.
Karena pemikiran Marx untuk membongkarkan ketidakadilan melalui jalan revolusi tidak
dapat dipakai di sini.

 Yang perlu kita lakukan adalah bukan memperhadapkan kedua kelas masyarakat itu
melainkan membongkar struktur-struktur kekuasaan yang menopolistik. Semua golongan
sosial harus dapat berpartisipasi dalam kehidupan politik. Kesediaan untuk menciptakan
keadilan sosial mengandaikan kesediaan elite yang berkuasa untuk membuka
monopolinya atas kekuasaan secara demokratis. Kesediaan inilah yang diperjuangkan.
Tanpa demokrasi yang nyata keadilan sosial tentu tetap hanya sebuah harapan belaka. *

43
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

Pertemuan 8

Ujian Tengah Semester: Materi 7 pertemuan

1. Nama Filsasafat Sosial Politik


2. Hakekat negara
3. Adanya negara
4. Menolak adanya negara
5. Tanggung jawab sosial negara
6. Keadilan distributif
7. Keadilan sosial

Pertemuan 9

Negara dan Moral-Agama

1. Wewenang negara dalam bidang moral


2. Wewenang negara dalam bidang agama

Wewenang negara dalam bidang moral

 Apakah negara berwenang untuk menetapkan sesuatu dalam bidang moral, jadi untuk
membuat undang-undang yang mengharuskan para warga negara untuk hidup dan
bertindak sesuai dengan norma-norma moral tertentu? Pertanyaan ini dapat kita rinci
menjadi dua pertanyaan yang berbeda karena menyangkut dua maslah yang tidak sama:
Pertama, apakah penyempurnaan moral para warga adalah urusan negara”. Kedua,
apakah negara dapat dibenarkan untuk membuat perundangan yang mendukung
pandangan-pandangan moral yang memang hidup dalam masyarakat. Jawaban
pertanyaan pertama: negara tidak berwenang dan juga tidak sanggup menyempurnakan
moral warganya. Sedangkan jawaban pertanyaan kedua: negara memang berkewajiban
melindungi pandangan moral yang hidup dalam masyarakat.

44
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

 Menyempurnakan moral warga negara: Apakah penyempurnaan moral warga adalah


urusan negara? Tugas negara memang menjamin kesejahteraan umum. Untuk mencapai
itu negara dapat menetapkan norma moral dalam rupa undang-undang dan peraturan
seperti: larangan untuk membunuh, menganiaya, memperkosa, mencuri, merampok,
menipu, memberikan kesaksian dusta, dan lain sebagainya. Semua itu tidak dapat
dipersoalkan lagi. Yang patut dipersoalkan oleh etika politik adalah apakah negara berhak
melarang serta menindak orang melakukan sesuatu yang dianggap bertentangan dengan
norma-norma moral walaupun perbuatan itu tidak merugikan kesejahteraan umum.
Artinya, melarang sesuatu semata-mata demi kesempurnaan batiniah seseorang,
walaupun dari segi kesejahteraan umum tidak terdapat gangguan.

 Jawaban atas pertanyaan ini adalah negatif:

1. Negara tidak berhak untuk menentukan segala-galanya. Tugas negara terbatas pada
penyelenggaraan kesejahteraan umum dan itu dilakukannya dengan penciptaan
prasyarat, prasarana, dan kondisi agar masyarakat dapat hidup dengan adil dan
sejahtera. Hanya itu tugas negara. Di luar itu negara tidak mempunyai wewenang.
Batin seseorang, apa yang dipercayainya, cita-citanya, keadaan untuk hidup sesuai
dengan keyakinannya atau tidak, dan juga minat intelektualnya, nilai-nilai estetisnya,
bukanlah urusan negara. Singkatnya, negara tidak mempunyai wewenang untuk
menetapkan standar-standar kesempurnaan batin manusia. Negara yang mencampuri
urusan kesempurnaan batin warganya adalah negara totaliter. Wewenang di sini
hanyalah menciptakan dan mendukung kondisi-kondisi yang memungkinkan
warganya dapat menjalankan moralitas menurut ajaran agamanya atau ajaran
komunitas adatnya. Tetapi negara tidak berwenang untuk mencampuri sendiri
pandangan dan sikap moral warganya.

2. Negara tidak hanya tidak berwenang melainkan tidak sanggup untuk mengusahakan
kebaikan moral sesorang. I. Kant memperlihatkan bahwa kita harus membedakan
moralitas dan legalitas. Kesesuaian sikap dan tindakan lahiriah dengan norma-norma
moral belum dapat disebut moralitas melainkan baru legalitas. Yang menentukan
kualitas moral menurut Kant adalah sikap batin. Nilai moral tidak terletak dalam
tindakan fisik. Dan menyangkut kesadaran batiniah ini berada di luar jangkauan
negara. Negara tidak dapat masuk ke dalam batin warganya, paling jauh negara hanya
menilai secara lahiriah, dan kalau penilaian secara lahiriah saja maka itu adalah
legalitas bukan moralitas.

3. Kalau negara mengharuskan warganya agar bermoral maka itu sebenarnya tidak lebih
dari usaha yang mereka yang lagi berkuasa dalam negara itu untuk memaksakan
pandangan moral mereka sendiri kepada warganya. Karena bagaimanapun negara
sama sekali tidak memiliki wewenang untuk membuat patokan moral. Karena
pertanyaan fundamental di sini: atas dasar apa negara mengajarkan tentang yang baik
dan yang buruk? Kalau agama yang mengajarkan itu tidak masalah, dan memang
seharusnya begitu, karena agama memiliki dasar atau sumbernya yakni ajaran dari

45
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

wahyunya (Kitab Suci). Jadi, kalau negara memaksakan pandangan moral tertentu
kepada warganya maka itulah penyalahgunaan buruk kekuasaan negara.

 Mendukung nilai-nilai moral masyarakat: Apakah negara dapat dibenarkan untuk


mendukung nilai-nilai moral yang hidup dalam masyarakat? Jawaban atas pertanyaan ini
adalah positif. Artinya, negara dapat dan harus mendukung agar nilai-nilai moral yang
hidup dalam masyarakat, entah itu moralitas agama atau moralitas adat. Mengapa?
Karena semua itu adalah warisan spiritual masyarakat dan negara berkewajiban untuk
melindungi dan memberikan ruang untuk tetap hidup dan berkembangnya nilai-nilai
moral itu. Ada beberapa poin penting untuk dicatat dalam hal ini:

1. Nilai-nilai moral bukan sekadar keyakinan masing-masing warga negara, melainkan


merupakan bagian dari warisan spiritual masyarakat, dimana warisan rohani itu ikut
menentukan identitas masyarakatnya. Karena itu negara tidak hanya berwewenang
melainkan juga berwajib melindungnya. Jadi tugas negara untuk mengusahakan
kesejahteraan umum termasuk juga untuk melindungi dan mendukung nilai-nilai
moral masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan moralitas
marsayarakat itu tetap hidup.

2. Suatu pertanyaan yang lebih sulit untuk dijawab ialah sejauh mana negara berhak
untuk melindungi nilai-nilai tradisional itu dari nilai-nilai alternatif (baru dan
modern)? Negara memang berkwajiban untuk melindungi warisan spiritual
masyarakat, tetapi apakah karena itu negara juga harus melarang moralitas altenatif
(baru) yang masuk ke dalam masyarakat? Ini persoalan sulit. Jawabannya: negara
tetap bagaimanapun tidak boleh menyeragamkan moralitas bagi masyarakatnya.
Kalau negara berbuat demikian maka ia jatuh ke dalam totalitarianisme Jadi, biarkan
masyarakat sendiri menyesuaikan diri kepada nilai-nilai baru itu.

3. Bagaimana kalau dalam masyarakat ada nilai-nilai moral dari kelompok-kelompok


masyarakat (etnis atau agama) minoritas dan mayoritas? Di sini negara tentu saja
tidak boleh memihak kepada yang mayoritas dan menindas minoritas. Setiap
kelompok dalam masyarakat berhak untuk hidup sesuai dengan keyakinan dan nilai-
nilai mereka sendiri sejauh mereka tidak mencampuri kehidupan orang lain. Jadi,
negara harus menjamin toleransi.

4. Apakah negara berwenang untuk melarang perbuatan-perbuatan hanya karena dinilai


asusila, padahal tidak mengganggu siapa-siapa, jadi tidak melanggar hak orang lain?
Jawabannya: walaupun suatu perbuatan oleh masyarakat dianggap sangat asusila,
namun apabila dilakukan secara sama sekali pribadi, maka negara tidak berhak untuk
melarangnya. Karena pertimbangan itu, misalnya, dalam banyak negara hubungan
homoseksual tidak lagi dipidanakan. Tetapi bagaimana dengan pelacuran dan
perjudian? Ini semua termasuk pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab secara
kritis oleh etika politik demi terwujudnya sebuah negara hukum demokratis modern.

46
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

Wewenang negara dalam bidang agama

 Dua bentuk negara yang ditolak: negara sekularistik dan negara agama. Diakui ko-
eksisteni negara dan agama sejauh itu bukan negara agama dan juga bukan negara
sekularistik. Karena itu berikut ini kita terlebih dahulu berbicara tentang kedua bentuk
negara ini, setelah itu baru kita berbicara tentang wewenang negara terhadap agama.

 Negara sekularistik: adalah negara yang menganggap sepi adanya agama-agama dalam
masyarakat. Agama-agama dipandang tidak berbeda dari perkumpulan dan organisasi
sosial lainnya yang dibentuk oleh warga masyarakat atas inisiatif mereka sendiri. Agama
tidak ditindas, tetapi juga tidak didukung dan sama sekali tidak diikutsertakan dalam
kebijakan-kebijakan negara. Negara diselenggarakan seakan-akan tidak ada agama-
agama dalam masyarakat.

 Bagaimana negara sekularistik harus dinilai? Cara menilainya berdasarkan komposisi


masyarakat. Kalau sebagian kecil masyarakat menganut suatu agama sedangkan sebagian
besar bersikap acuh tak acuh terhadap agama-agama, maka posisi sekularisme dapat saja
diterima. Namun kalau ternyata sebagian besar masyarakat memandang agama
memainkan peran besar bagi hidup mereka, maka sikap sekularistik tidak masuk akal.
Ada dua alasan mengapa negara sekualistik ditolak:

1. Alasan pragmatis: Seperti tidak masuk akal kalau negara sama sekali tidak
memperhatikan adanya serikat buruh dan serikat pengusaha dalam perumusan
kebijakan negara tentang hubungan kerja industri, maka begitu juga, kalau negara
tidak mengikutsertakan agama-agama dalam persiapan pencarian kebijakan-kebijakan
yang menyangkut masalah moral dan ideologi. Bagaimanapun kita harus akui bahwa
di dalam negara hukum demokratis modern banyak kebijakan politis menyangkut
masalah penilaian. Demi akseptasinya yang lebih luas dalam masyarakat maka negara
harus memperhatikan pandapat-pendapat agama-agama yang hidup dalam
masyarakat.

2. Alasan prinsipil: Sama halnya dengan nilai-nilai moral, agama-agama termasuk harta
warisan kerohanian masyarakat dan karena itu termasuk dalam wawasan
kesejahteraan umum yang harus diselenggarakan oleh negara. Dari negara harus
dituntut agar warisan kerohanian itu dilindungi dan diciptakan kondisi-kondisi umum
yang memungkinkan agama-agama itu dapat menjalankan hidup beragamanya
dengan baik. Jadi, sekularisme ditolak, karena sikap sekularisme itu hampir selalu
berlatarbelakang ideologis yakni kelompok yang memimpin negara secara apriori
menentang pengaruh agama-agama atas kehidupan masyarakat. Dalam sekularisme,
elite-elite yang berkuasa memaksakan penilaian-penilaian mereka sendiri pada
masyarakat. Tetapi suatu keyakinan subjektif tidak memiliki legitimasi objektif untuk
dipaksakan pada orang lain.

47
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

 Negara agama adalah negara yang diatur dan diselenggarakan menurut ajaran agama.
Tetapi karena semua agama mempunyai ajaran yang berbeda tentang bagaimana negara
harus dijalankan maka negara agama dengan sendirinya selalu merupakan negara yang
dikuasai oleh salah satu agama tertentu. Negara tidak mungkin dikuasai oleh agama pada
umumnya melainkan hanya oleh salah satu agama saja, dan itu berarti bahwa agama-
agama lain disingkirkan dari pengaruh atas penyelenggaraan negara itu.

 Bagaimana negara agama harus dinilai? Etika politik menilai negara agama dari tiga
segi: Pertama, dari segi agama-agama lain; kedua, dari segi hakikat sikap beragama, dan
ketiga, dari segi hubungan antara realitas transenden dan realitas empiris.

1. Dari segi agama-agama yang bukan agama negara: Negara agama jelas sekali
melanggar kesamaan kedudukan semua orang dan golongan dalam masyarakat
berhadapan dengan negara. Karena, ada agama yang dapat menentukan aturan
masyarakat dan ada agama yang tidak, malah dipaksa untuk hidup dalam tatanan
sosial yang tidak sesuai dengan pandangan mereka. Dengan demikian negara agama
melanggar prinsip keadilan yang merupakan prinsip paling fundamental untuk menata
masyarakat. Singkatnya: hanya penganut agama negara merupakan warga negara
dalam arti sesungguhnya sedangkan warga masyarakat lainnya hanyalah warga
negara kelas dua. Bagi agama-agama bukan agama negara, negara agama adalah lebih
buruk daripada nehara sekularistik. Negara sekularistik sekurang-kurangnya tidak
membeda-bedakan antara agama-agama, tidak memaksa para penganut agama yang
satu untuk hidup menurut aturan agama satunya.

2. Dari segi hakikat sikap beragama. Negara agama tidak memadai dari segi
kepentingan agama itu sendiri. Apabila tuntutan agama didukung dengan ancaman
fisik seperti sanksi hukum negara, maka ketulusan sikap hati justru menjadi kabur.
Padahal hakekat sikap beragama terletak dalam sikap hati. Allah tidak memerlukan
prestasi-prestasi fisik apapun melainkan penyerahan hati, dan tanpa penyerahan hati
dan hanya menampilkan perbuatan keagamaan lahiriah belaka maka melahirkan
kemunafikan belaka dan tidak berkenan di hadapan Allah. Jadi, negara agama
cenderung untuk menggerogoti ketulusan hati para penganutnya dan mudah
melahirkan kemunafikan.

3. Dari segi realitas transenden dan realitas empiris. Mengagamakan negara memberi
kesan seakan-akan Allah sendiri langsung dan secara terperinci menetapkan bentuk
negara. Anggapan ini berarti bahwa akalbudi manusia tidak perlu lagi karena
semuanya sudah jelas, Allah sendiri sudah memberikan blue-printnya yang lengkap,
tinggal dilaksanakan. Ada tiga pertimbangan terhadap pandangan seperti ini: (1)
Andaikata memang itulah maksud Allah, mengapa Allah tidak langsung saja
menciptakan negara, sama seperti alam sudah diciptakan lengkap dengan segala
hukum? (2) Kalau sudah ada blue-print yang lengkap, bagaimana dapat dijelaskan

48
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

bahwa belum pernah ada dalam sejarah agama-agama, dalam satu agama pun, para
ahli agama yang bersangkutan sepaham tentang negara menurut agama mereka
sendiri? (3) Buat apa sang pencipta memberikan akalbudi yang kritis, kreatif dan
sanggup menyelidiki realitas dan dengan demikian menyesuaikannya dengan
kebutuhan kita, kalau semuanya sudah diberitahukan?

 Wewenang negara terhadap agama:


1. Agama-agama sama seperti semua kelompok lain dalam masyarakat, wajib untuk taat
terhadap hukum yang berlaku dalam negara.

2. Negara wajib untuk di satu pihak menjamin kondisi-kondisi sosial agar agama-agama
dapat hidup dan berkembang, di lain pihak untuk menghormati kebebasan beragama.
Kebebasan agama di sini memuat dua segi: pertama, hak setiap orang untuk hidup
sesuai dengan keyakinan agamanya dan kedua, kebebasan masing-masing agama
untuk mengurus dirinya sendiri tanpa campur tangan negara.

3. Tetapi bagaimana kalau negara memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan


norma agama? Kalau negara maupun agama tahu diri dan membatasi diri pada tugas
masing-masing, maka konflik semacam itu tidak sering terjadi. Tetapi kemungkinan
memang ada, misalnya dalam hal perjudian, pengguguran isi kandungan, perkawinan
sesama jenis, atau kebebasan pers. Sesungguhnya, kemungkinan konflik moral
semacam itu dapat diminimalisasikan kalau penyelenggara negara, perundangan,
pemerintahan didasarkan pada nilai-nilai dasar yang ada dalam masyarakat itu sendiri
dan diselenhgarakan secara demokratis. Jadi, negara tidak dapat dijalankan secara
pragmatis saja. Negara memerlukan suatu dasar etis, dan dasar itu seharusnya
keyakinan-keyakinan moral masyarakat sendiri.

49
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

Pertemuan 10

Negara hukum demokratis modern

1. Negara demokrasi
2. Negara hukum
3. Negara modern

Negara demokrasi

 Demokrasi berasal dari kata Yunani kuno demos = rakyat dan kratos =
kekuasaan/pemerintahan. Jadi secara etimologis demokrasi berarti kekuasaan rakyat atau
pemerintahan rakyat. Kemudian secara modern kata demokrasi dirumuskan artinya oleh
Abraham Lincoln: Demokrasi adalah “pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat”
(government from the people, by the people, and for the people): (1) DARI berarti
legitimasi kekuasaan itu berasal dari bawah yakni dari rakyat, yang sekarang diwujudkan
dalam bentuk pemilihan umum. (2) OLEH berarti penyelenggaraan pemerintahan yang
telah mendapat legitimasi dari rakyat itu juga dilakukan oleh rakyat. Perwujudannya:
pertama, orang-orang yang bekerja di lembaga pemerintahan itu diangkat dari rakyat
menurut suatu prosedur dan mekanisme tertentu; kedua, segala program pembangunan
yang dilakukan pemerintah harus dibicarakan bersama rakyat, seperti adanya
MUSRENBANG (Musyawarah dan Rencana Pembangunan). Ketiga, UNTUK berarti
pembangunan yang direnanakan dan dilaksanakan bersama rakyat itu tujuannya adalah
untuk kesejahteraan rakyat.

 Tiga macam legitimasi kekuasaan pemerintahan:

1. Legitimasi ideologis: Legitimasi kekuasaan tidak oleh rakyat melainkan pandangan


beberapa orang saja, dimana mereka dipandang sebagai orang yang memiliki
kewibawaan untuk memikirkan dan memimpin negara. Sekelompok orang
mempunyai ideologi tentang bagaimana masyarakat ditata. Masyarakat luas tidak
dilibatkan karena menurut para elite ini masayarakat luas tidak tahu menata
pemerintahan. Para elitelah yang mempunyai kesadaran yang benar, mereka tidak
perlu mempertanggungjawabkan kekuasaan kepada siapa pun kecuali terhadap
ideologi mereka, dan karena hanya merekalah yang ahli tentang ideologi itu maka
mereka hanya bertanggung jawab terhadap mereka sendiri.

Kita tidak dapat menyangkal kebenaran ideologi mereka. Karena dengan demikian
kita hanya menggantikan ideologi mereka dengan ideologi kita yang berisi bahwa
ideologi mereka salah. Legitimasi ideologis tidak dapat dilawan dengan berdebat
tentang ideologi mana paling benar, melainkan dengan bertitik tolak dari pengertian
bahwa masalah apakah ideologi itu benar atau salah justru tidak relevan. Yang perlu
dipersoalkan adalah: kepercayaan, terhadap agama sekalipun apalagi idelogi, tidak

50
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

dapat menjadi dasar kekuasaan. Kekuasaan memerintah haruslah berdasarkan


pelimpahan kekuasaan dari setiap orang yang diperintah dan itulah cara demokrasi
(kekuasaan rakyat). Fakta bahwa seseorang atau sekelompok orang mempunyai
kepercayaan mengenai bagaimana masyarakat harus ditata, belum berarti bahwa
mereka berhak untuk menata masyarakat menurut kepercayaan mereka itu. Hak itu
tergantung dari apakah kepercayaan itu harus diterima oleh masyarakat, jadi
diperlukan legitimasi demokrasi.

2. Legitimasi teknokratis: Pemerintahan dilakukan oleh orang-orang ahli tanpa


pelimpahan kekuasaan dari rakyat. Pemerintahan oleh para ahli itu disebut teknokrasi
(kekuasaan karena memiliki keahlian teknis tertentu). Pemerintahan harus dipimpin
oleh oleh kaum teknokrat karena maslah pemerintahan itu berat dan sulit. Betul, kita
butuh keahlian teknis, tetapi keahlian itu tidak dapat dijadikan basis legitimasi untuk
memerintah. Pemerintahan memang harus dijalankan berdasarkan pengetahuan teknis
tertentu namun basis legitimasi kekuasaan tetap dari rakyat (demokrasi). Bahaya
kalau kekuasaan dilegitimasi oleh teknokrasi ialah mereka yang berkuasa merasa diri
pintar dan tahu banyak maka mereka tidak mendengarkan rakyat dan tidak
menghiraukan rakyat.

3. Legitimasi demokratis: Kekuasaan untuk memerintah mendapat legitimasi dari


mereka yang diperintah dan itulah rakyat (kekuasaan rakyat). Dasarnya: Semua
manusia sama, kalau mau memimpin maka harus mendapatkan penugasan dari
mereka yang dipimpin. Jadi, legitimasi kekuasaan yang sah adalah demokrasi.
Kekuasaan harus dilegitimasikan dari kehendak mereka yang dikuasai. Setiap
wewenang untuk memberikan perintah kepada orang lain harus berdasarkan atau
sesuai dengan tatanan masyarakat yang disetujui oleh masyarakat. Itulah paham
kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat itu berdasarkan hak setiap orang untuk
menentukan dirinya sendiri dan untuk turut serta dalam proses pengambilan
keputusan yang menyangkut seluruh masyarakat. Atau, dari sudut kebalikan, di luar
persetujuan masyarakat tidak ada orang atau kelompok orang yang berhak untuk
menentukan apa yang harus dilakukan oleh orang lain atau bagaimana masyarakat
sebagai keseluruhan harus ditata dan dikembangkan.

 Realisme demokrasi: Secara teoretis, seperti dikemukakan oleh Abram Lincoln,


pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, namun dalam kenyataan
demokrasi wajahnya lain, dan itulah keterbatasan demokrasi. Aspek-aspek keterbatasan
demokrasi:

1. Elitarisme: Segala keputusan tidak harus diambil langsung oleh rakyat, melainkan
kenyataannya oleh beberapa orang saja, itulah para elit politik. Jadi, pada kenyataan
ada elitarisme dalam demokrasi perwakilan saaat ini. Kita tidak dapat melaksanakan
demokrasi langsung seperti di era Yunani Kuno di sebuah Negara Kota. Maka yang
diperlukan dewasa ini: bukan suatu demokrasi total melainkan kontrol demokratis
yang efektif. Kontrol warga melalui dua sarana: secara langsung melalui pemilihan
para wakil rakyat dan pemilihan pemimpin rakyat dan secara tidak langsung melalui

51
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

publisitas. Segala apa yang dilakukan oleh pemerintah diamati dengan ketat oleh
masyarakat melalui media massa. Pendapat di media massa dapat menekan
pemerintah sehingga pemerintah tidak dapat bertindak seakan-akan masyarakat tidak
ada.

2. Diktaktur mayoritas: Demokrasi menjadi totaliter apabila rakyat, atau lebih tepat
mayoritas rakyat, memutlakkan kehendaknya. Suatu mayoritas dapat memaksakan
kehendaknya kepada minoritas. Untuk menghindari bahaya ini: Pertama, demokrasi
harus diberi batas secara konstitusional, jadi sebuah demokrasi konstitusional. Kedua,
voting dalam demokrasi liberal harus diperlunak, dan itulah di era kontemporer ini
filsuf Jurgend Habermas menganjurkan demokrasi deliberatif. Yang ditekankan
dalam demokrasi deliberatif ini adalah bahwa demokrasi yang memadai adalah
demokrasi yang tidak hanya mengutamakan keterwakilan nominal tetapi juga
keterwakilan kepentingan. Dengan demikian, meski minoritas namun hak politik dan
kepentingan mereka tidak diabaikan begitu saja oleh pemutlakan jumlah suara
melalui voting.

 Sejarah demokrasi: (1) Demokrasi Yunani: di dalam negara polis, budak dan wanita serta
anak-anak tidak termasuk warga negara (polis), tapi warga komunitas oikos (rumah
tangga). (2) Demokrasi modern: Demokrasi dimulai di Inggris dengan revolusi
sosial/industri pada abad 17; kemudian Revolusi Politik di Amerika pada 1776-1787; dan
Revolusi Perancis 1789-1799. Buah dari seluruh revolusi itu menghasilkan demokrasi
dewasa ini. Dewasa ini kita menikmati: demokrasi perwakilan, demokrasi konstitusional
dan adanya pemilu yang demokratis.

Sedangkan sejarah demokrasi di Indonesia dapat digambarkan secara ringkas: (1)


Demokrasi liberal: 1950-1959; (2) demokrasi terpimpin; 1959-1965; (3) demokrasi
Pancasila: 1965-1998; (4) demokrasi reformasi: 1998- sampai sekarang.

 Trias politika: dapat dilihat dari dua sudut, yakni sudut separation of power (pemisahan
kekuasaan) dan distribution of power (pembagian kekuasaan). Pertama, segi separation
of power adalah pembagian kekuasaan secara horisontal dan itulah tiga lembaga:
legislatif, eksekutif dan yudikatif. Tujuan pemisahan: Checks and balances. Checks
adalah pengawasan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasan, sedangkan balances
adalah ruang untuk memungkinkan fungsi-fungsi kekuasaan itu dapat bekerja secara
sendiri-sendiri atau bersama-sama demi penciptaaan “bonum commune”. Eksekutif:
menjalankan amanat rakyat sebagaimana dirumuskan oleh lembaga legislatif; sedangkan
legislatif merumuskan aspirasi rakyat; dan yudikatif memastikan apakah kebebasan dan
keadilan dalam politik itu terjadi. Kedua, segi distribution of power adalah: pertama,
pembagian kekuasaan secara vertikal, dari pusat sampai ke tingkat daerah: Pusat-
provinsi-kabupaten/kota; kedua, pembagian kekuasaan menyangkut pembagian wilayah
negara (state)- wilayah politik (political society) – wilayah masyarakat (civil society).
Negara hanya mengurus wilayah publik yakni kesejahteraan umum, masyarakat politik
membicarakan dan memperjuangkan aspirasi masyarakat, dan masyarakat sipil mengurus
privasi tetapi sekaligus ikut menilai pemerintahan.

52
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

 Demokrasi prosedural dan demokrasi substansial: Demokrasi prosedural adalah


demokrasi yang hanya menekankan aspek prosedural dan mekanisme demokrasi, seperti
adanya pemilihan umum (pilpres, pilkada dan pemilu). Akan tetapi, untuk apa pemilu itu
dilangsungkan, tidak merupakan perhatian utama. Sedangkan demokrasi substansial
adalah demokrasi yang lebih memberi perhatian pada substansi demokrasi yakni
penciptaan kesejahteraan rakyat, terutama kemamkuran secara ekonomis. Demokrasi
model ini tidak begitu mneghiraukan prosedur demokrasi, apakah ada pemilu yang
demokratis atau tidak, itu bukan urusannya, urusannya adalah membuat rakyat makmur.
Pengalaman Indonesia: Orde Baru sangat menekankan demokrasi substansial namun
mengabaikan prosedur demokrasi, sedangkan Reformasi sangat menekankan prosedur
demokrasi sampai melupakan substansi dari demokrasi itu ialah penciptaan kesejahteraan
rakyat. Idealnya: demokrasi itu sekaligus prosedural dan substansial.

 Tiga perspektif demokrasi: Pertama, indigeneous democracy itulah sekarang disebut


demokrasi lokal. Demokrasi ini menolak demokrasi Barat, demokrasi lokal Indonesia
misalnya nilai kekeluargaan itu utama, jadi sebuah demokrasi dg semangat kekeluargaan.
Kedua, doctrinal democracy: demokrasi yang ditentukan oleh nilai-nilai partikular, dan
dalam hal ini terutama nilai doktrin agama, itulah misalnya Islam. Demokrasi ini juga
menolak demokrasi Barat. Ketiga, contextual democracy: Nilai-nilai demokrasi universal
yang datang dari Barat diterima, namun diterapkan dalam konteks kebudayaan setempat.
Itu berarti, demokrasi universal yang lahir di Barat dapat diterapkan di Indonesia, namun
dengan selalu disesuai dengan nilai-nilai lokal dan doktrinal agama-agama.

 Menolak demokrasi: Beberapa pihak yang menolak demokrasi: Pertama, di era Yunani
Kuno: Sokrates menolak demokrasi hanya menerima aristokrasi. Sokrates cemas kalau
karena ruang demokrasi pemerintahan dipimpin oleh orang dungu, hanya karena rakyat
memilihnya. Kedua, filsuf-filsuf modern juga menolak demokrasi: (1) di Inggris:
Edmund Burke (1729-1797), karyanya “The Reflection on the Revolution in France”. Ia
menolak demokrasi karena buah dari rasionalisme. Ia tetap percaya pada warisan
kebijaksanaan manusia yang sudah berumur ribuan tahun; (2) di Perancis: dua filsuf,
yakni de Maistre dan de Bonald; (3) di Jerman: Heinrich Adam Muller yang pemikiran
filsafat tentang negara diambil oleh Supomo untuk kepentingan pendirian negara
Indonesia. Dalam kenyataan: Era Orde Sukareno, dengan demokrasi terpimpinnya dan
era orde Baru Suharto, dengan demokrasi Pancasilanya, sesungguhnya sudah menolak
demokrasi. (3) Gereja: menolak demokrasi dengan dua alasan: pertama, demokrasi buah
dari rasionalisme; dan kedua, pengalaman pahit dengan Revolusi Perancis.

Negara hukum

 Kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil. Jadi, dua unsur
dalam paham negara hukum: (1) Hubungan natara yang memerintah dan yang diperintah
tidak berdasarkan kekuasaan (Machtstaat) melainkan berdasat suatu norma objektif yang

53
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

juga mengikat pihak yang memerintah (Rechtsstaat). (2) Norma objektif itu seperti
hukum memenuhi syarat bukan hanya secara formal melainkan dapat dipertahankan
berhadapan dengan apa yang disebut dalam ilmu hukum “Rechtsidee” (cita-cita hukum).
Hukum menjadi landasan segenap tindakan negara dan hukum itu sendiri harus baik dan
adil. Baik karena sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat dari hukum, dan adil
karena maksud dasar segenap hukum adalah keadilan (ius quia iustum, hukum karena
adil).

 Dari segi etika politik ada empat alasan utama untuk menuntut agar negara
diselenggarakan berdasarkan hukum:

1. Kepastian hukum (Rechtssicherheit) merupakan kebutuhan langsung masyarakat. Itu


artinya, tindakan negara dapat diperhitunhkan karena tindakan negara itu berdasarkan
hukum yang berlaku umum. Segala tindakan negara tidak datang tiba-tiba, melainkan
masyarakat dapat meprediksinya karena hukumnya (asas prediksibilitas).

2. Salah satu nilai dasar hukum adalah hukum menjamin kesamaan hakiki semua
manusia sebagai manusia dan kesamaan warga negara. Hukum menjamin bahwa
segenap anggota masyarakat diperlukan menurut tolak ukur yang objektif dan sama.
Tolak ukur itu adalah hukum. Maka negara wajib bertindak menurut hukum.
Tindakan yang tidak berdasarkan hukum selalu dan dengan sendirinya melanggar
keadilan karena tidak lagi berdasarkan ukuran objektif yang sama bagi semua.

3. Tuntutan penggunaan kekuasaan harus berdasarkan persetujuan warga negara dan


senantiasa berada di bawah kontrol mereka, itu artinya bahwa kekuasaan negara
dijalankan berdasarkan dan dalam batas-batas hukum. Kontrol demokratis negara
secara langsung mengenai kekuasaan legislatif. Semua undang-undang harus disetujui
oleh parlemen yang dipilih rakyat. Apabila negara bertindak di luar hukum, maka
kontrol demoratis warga tidak efektif lagi. Kontrol demokratis mungkin apabila
negara bertindak dalam jalur-jalur normatif yang dipasang atau disetujui oleh para
wakil rakyat. Negara hukum merupakan salah satu prasyarat agar negara dapat betul-
betul bersifat demokratis.

4. Dasar yang paling fundamental adalah bahwa negara hukum merupakan tuntutan
akalbudi. Yang membedakan manusia dari binatang adalah bahwa ia berakal budi dan
oleh karena itu dapat merencanakan kehidupannya. Ia tidak dituntun oleh dorongan-
dorongan irasional dan instingtual melainkan dapat, bahkan harus, mengambil sikap
terhadap dorongan-dorongan instingtual itu. Jadi, hanyalah wajar manusia bertindak
berdasarkan pengertian. Dan pembuatan hukum itu adalah perwujudan rasionalitas
itu, dimana tindak-tanduk dalam hidup bersama harus direncanakan. Manusia tidak
dibuat bertindak teratur, melainkann ia diberitahu, dan itulah hukum.

 Empat ciri negara hukum (secara etis):

54
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

1. Negara merupakan negara hukum berarti bahwa alat-alat negara mempergunakan


kekuasaan mereka hanya sejauh berdasarkan hukum yang berlaku dan denga cara
yang ditentukan dalam hukum itu. Tindakan pemerintahan benar-benar berdasarkan
hukum bukan berdasarkan sekadar demi kepentingan umum. Tindakan demi
kepentingan umum diambil tetapi sejauh tidak bertentangan dengan undang-undang.
Jadi, warga negara dan negara sendiri bertindak menurut hukum.

2. Alat-alat negara berada di bawah kontrol kehakiman. Dalam pelaksanaan fungsi-


fungsi mereka dikontrol. Yang mengontrol, selain lembaga yang diciptakan khusus
untuk tujuan itu berdasarkan undang-undang dasar, adalah masyarakat. Terhadap
tindakan negara yang tidak berdasarkan hukum warga masyarakat berhak
mengeritiknya.

3. Hukum negara itu harus baik dan adil. Itu artinya bahwa hukum sendiri secara moral
dapat dipertanggungjawabkan. Artinya, hukum harus sesuai dengan paham keadilan
masyarakat dan menjamin hak-hak asasi manusia. Hukum dapat saja merupakan alat
dalam tangan penguasa untuk melegitimasikan tujuan-tujuan yang tidak wajar.
Penguasa dapat menciptakan hukum sendiri, sesuai dengan kepentingan-
kepentingannya. Maka di bawah topeng legalitas kesewenangan kekuasaan dapat
terjadi. Adilnya hukum dan jamina hak-hak asasi manusia merupakan bagian integral
negara hukum.

4. Pembagian kekuasaan dibuat untuk mencegah pemusatan kekuasaan dalam satu


tangan. Kalau fungsi-fungsi kekuasaan negara dibagi atas beberapa pihak, diharapkan
dapat tercipta suatu keseimbangan kekuasaan yang menjamin agar fungsi-fungsi itu
dijalankan secara optimal, tetapi sekaligus mencegah bahwa suatu lembaga
mengambiloper fungsi-fungsi kekuasaan lainnya.

Negara modern

 Sebuah negara disebut negara modern apabila kekuasaan negara itu dijalankan secara
demokratis dan berdasarkan hukum. Akan tetapi, tidak setiap negara hukum adalah
negara hukum disebut modern. Demikian juga demokrasi, tidak setiap negara
berdasarkan demokrasi disebut negara modern, melainkan hanya negara yang
menjalankan demokrasi menurut paham demokrasi modern. Patokan fundamental
kemodern negara hukum dan demokratis adalah hak asasi manusia. Negara itu disebut
negara hukum demokratis modern, apabila negara itu menjalankan demokrasi dan hukum
berdasarkan paham hak asasi manusia.

 Jadi, hanya hukum modern yang disebut sebagai negara modern. Patokan hukum modern
adalah hak asasi manusia. Karena, dalam kondisi-kondisi modern hanya ketaatan pada
hukum menjamin rasionalitas, keadilan dan harkat kemanusiaan hidup bersama dalam

55
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

masyarakat. Dalam masyarakat tradisional fungsi hukum itu dapat juga dipenuhi oleh
adat. Sedangkan negara modern tidak lagi mengandalkan kekuatan adat itu. Karena ada
banyak adat, maka diperlukan adanya hukum objektif yang memastikan hak dan
kewajiban semua pihak.

 Demikian juga halnya demokrasi, tidak semua demokrasi yang dijalankan sudah
menandakan negara modern, melainkan hanya demokrasi sebagaimana dirumuskan oleh
A. Lincoln itu disebut negara modern.

56
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

Bagian Kedua

Filsafat Negara dalam Lintasan Sejarah

Pertemuan 11

Filsafat Negara Yunani

1. Platon: negara dan keadilan


2. Aristoteles: negara dan kebahagiaan

Platon: negara dan keadilan


 Platon menggagaskan pola kehidupan kenegaraann yang baik. Kehidupan itu akan
tercapai apabila masyarakat ditata menurut cita-cita keadilan. Keadilan yang dimaksud
Platon di sini bukanlah secara individualistik yakni sekadar keadaan dimana hak semua
anggota masyarakat terjamin melainkan keadilan sebagai tatanan seluruh masyarakat
yang selaras dan seimbang. Masyarakat yang adil bagi Platon adalah masyarakat yang
dipersatukan oleh tatanan yang harmonis, dimana masing-masing anggota memperoleh
kedudukan sesuai dengan kodrat dan tingkat pendidikan mereka.

 Atas dasar pengertian itu Platon dapat membangun suatu model negara. Dalam negara
terdapat tiga golongan: (1) para penjamin makanan; (2) para penjaga; dan (3) para
pemimpin. Golongan pertama adalah mereka yang bekerja agar barang kebutuhan
manusia dapat tersedia: mereka itulah petani, tukang, pedagang, buruh, pengemudi
kereta, dan pelaut. Karena mereka hanya memahami kepentingan mereka sendiri, maka
mereka harus diatur demi kepentingan umum oleh para penjaga. Golongan kedua
seluruhnya mengabdikan diri mereka pada kepentingan umum. Maka mereka harus hidup
dengan cara yang tidak mengizinkan perkembangan kepentingan-kepentingan pribadi.
Mereka tidak boleh berkeluarga; wanita dan anak dimiliki bersama; mereka tidak
mempunyai hak milik pribadi; mereka hidup, makan dan tidur bersama. Mereka perlu
diberi pendidikan intensif sejak umur dua tahun, dengan konsentrasi pada matapelajaran
yang mengembangkan tertib dan kebijaksanaan, seperti: filsafat, gimnastik dan musik.
Sedangkan golongan ketiga itulah para pemimimpin. Mereka itu diambil dari antara para
penjaga, dari mereka yang paling menguasai filsafat. Itulah paham Platon tentang raja-
filsuf. Filsuf adalah orang yang sanggup untuk melihat idea-idea dari apa yang tampak
dalam realitas. Seorang filsuf dapat memimpin negara dengan berorientasi pada idea
metafisik tertinggi, yakni idea keadilan.

57
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

 Platon sadar modelnya sulit dilaksanakan. Hanya sekejap suatu masyarakat dapat
mempertahankan diri dalam keadaan adil. Platon paling-paling mengharapkan dapat
menunda proses keruntuhan yang niscaya itu. Platon menolak demokrasi untuk
melegitimasikan kekuasaan, karena menurutnya, demokrasi itu hanya memberi
kemungkinan seorang dungu memimpin negara hanya karena dikenal dan disukai oleh
rakyat. Pemimpin negara adalah seorang yang benar-benar memahami kebijaksanaan
hidup dan itulah filsuf (Raja-Filsuf).

Aristoteles: negara dan kebahagiaan


 Aristoteles membahas polis (negara) dalam rangka permasalahan tentang tujuan manusia.
Tujuan akhir manusia adalah kebahagiaan, karena hanya kebahagiaan diusahakan demi
dirinya sendiri, sedangkan bagi orang yang sudah bahagia tak ada sesuatu lagi yang
dirindukannya. Tetapi manusia adalah makhluk sosial (zoon politikon). Sendirian ia
hanya dapat sekadar mempertahankan nyawanya saja. Untuk hidup dengan baik, artinya
sebagai manusia yang beradab, yang dapat mengembangkan potensi-potensinya, maka ia
membutuhkan negara sebagai tatanan kehidupan bersama manusia dalam satu
masyarakat. Dari situ Aristoteles menarik kesimpulan bahwa tujuan negara adalah sama
dengan tujuan manusia yakni agar manusia mencapai kebahagiaan. Maka negara bertugas
untuk mengusahakan kebahagiaan para warganya.

 Aristoteles tidak sejalan dengan Platon tentang pemimpin negara. Bagi Aristoteles
pemimpin negara tidak harus seorang filsuf melainkan seorang bijaksana. Karena
menurutnya, yang dibutuhkan oleh seorang pemimpin masyarakat adalah kebijaksanaan
dalam pergaulan dan keutamaan-keutamaan etis. Sikap-sikap itu tidak merupakan objek
pengetahuan filosofis melainkan tumbuh dalam keakraban dengan yang baik, dan
kebaikan itu dapat dikuasai dengan cara mengulang-ulang melakukannya.

 Kesimpulan:

1. Platon dan Aristoteles sama-sama mempertanyakan negara yang baik namun mereka
berbeda dalam jawaban. Bagi Platon, negara yang baik adalah negara yang mewujudkan
keadilan, artinya yang ditata secara selaras, dan dipimpin dengan berorientasi pada idea
metafisik kebaikan. Platon yakin bahwa negara semacam itu paling sesuai dengan
kebutuhan masyarakat dan dengan demikian paling menunjang kebahagiaan. Sedangkan
Aristoteles menolak orientasi pada idea-idea metafisik. Baginya, tujuan negara adalah
menunjang kebahagiaan masyarakat. Maka negara yang paling baik adalah negara yang
organisasinya sesuai dengan fungsinya itu dan dipimpin oleh orang yang berpengalaman
dan memiliki keutamaan-keutamaan etis.

2. Di sini tampak bahwa filsafat Yunani tidak mengenal tuntutan legitimasi kekuasaan.
Penguasa hanya dihimbau agar bijaksana. Kalau himbauan itu tidak dihraukan, apa boleh
buat. Dengan demikian dalam filsafat Yunani, faham bahwa kekuasaan hanya sah dapat
dipertanggungjawabkan secara etis masih asing dari pemikiran Yunani.

58
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

3. Mengapa tidak ada pemikiran tentang legitimasi etis? Alasannya, karena filsafat
Yunani belum sampai ke pemikiran tentang tuntutan etis yang mutlak. Tuntutan
legitimasi etis umumnya lahir dalam kebudayaan yang memiliki pemikiran tentang
patokan-patokan etis mutlak, di mana patokan seperti itu hanya dalam dua bentuk:
pertama, sebagai tuntutan Allah; dan kedua, sebagai kesadaran akan nilai non-
instrumental segenap manusia. Dua tuntutan mutlak ini tidak ada dalam kebudayaan
Yunani. Paham tentang tuntutan Allah mengandaikan paham akan transendensi,
sementara filsafat Yunani tidak memiliki refleksi transendensi. Sedangkan paham bahwa
segenap manusia bernilai pada dirinya sendiri mengandaikan paham akan transendensi
Allah. Sekurang-kurangnya nilai manusia karena kemanusiaannya, lepas dari status sosial
dan ketententuan-ketentuan empiris lain, hanya disadari penuh dalam lingkungan agama-
agama monotheistik. Dalam filsafat Yunani, yang dianggap paling luhur dalam manusia
bukanlah dia sendiri, melainkan logos, percikan akalbudi ilahi. Manusia hanya bernilai
sejauh berpartisipasi dalam logos itu. Maka tidak mengherankan jika Aristoteles
berpendapat bahwa kalau ada orang yang menjadi budak maka itu sudah semestinya
karena sesuai dengan kodratnya.

59
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

PERTEMUAN 12

Filsafat negara Abad Pertengahan

1. Agustinus: negara dan kedaulatan Allah


2. Thomas Aquinas: negara dan hukum kodrat

Agustinus: negara dan kedaulatan Allah


 Pemikir pertama yang dengan jelas mengajukan tuntutan legitimasi etis terhadap negara
adalah Agustinus. Ia menjadi terkenal sebagai filsuf negara karena tulisannya “De
Civitate Dei” Buku ini ditulisnya pada saat kota Roma (410 M) direbut dan dirampok
oleh raja bangsa Got Alarich dari Utara. Banyak orang kristen bingung mengapa
kekusaaan Roma sesudah menganut agama Kristen malah terus merosot dan semakin
diancam oleh bangsa-bangsa kasar dari Utara. Berhadapan dengan keluhan itu Agustinus
menegaskan bahwa tidak pernah suatu kerajaan duniawi boleh diidentikkan dengan
kerajaan Allah.

 Agustinus lalu membedakan dua civitas (masyarakat), civitas Dei (negara Allah) dan
civitas terrena (negara duniawi). Negara Allah adalah umat Allah dalam Gereja yang
akan mencapai kesempurnaannya pada akhir zaman, sedangkan negara duniawi itulah
negara yang akan hancur pada akhir zaman. Keduanya tidak bisa disamakan; bahkan
keduanya berlawanan satu sama lain. Civitas Dei diciptakan oleh cinta kepada Allah dan
anggapan rendah terhadap dirinya sendiri. Sedangkan civitas terrena diciptakan oleh
cinta kepada dirinya sendiri disertai sikap menghina terhadap Allah. Civitas Dei tidak
memerlukan civitas terrena. Civitas terrena, negara, sebetulnya merupakan sesuatu yang
buruk, namun perlu juga karena manusia oleh dosa asal telah dibuat menjadi egois dan
mudah dipermainkan oleh nafsu-nafsunya. Karena kelemahan kesadaran moral manusia
itu maka diperlukan suatu kekuasaan duniawi untuk menertibkannya. Jadi negara bukan
tujuan atau nilai pada dirinya sendiri melainkan semata-mata sarana penertiban
masyarakat karena manusia pada hakikatnya sendiri buruk sifatnya.

 Karena itu bagi Agustinus negara secara hikiki bersifat duniawi dan sementara.
Fungsinya terbatas pada penertiban manusia pendosa. Bersama dengan dunia ini negara
akan hilang. Maka negara jangan dipandang sebagai terlalu penting. Karena itu Agustinus
berkata: “Taatilah negara, tetapi hanya sejauh ia tidak menghendaki yang bertentangan
dengan kehendak Allah”. Jadi menurut Agustinus: Hak kekuasaan negara ditetapkan
dengan tegas. Negara tidak berhak untuk memerintahkan sesuatu yang bertentangan
dengan kehendak Allah. Dan negara hanya dibenarkan sejauh dalam batas-batas
kebenaran dan keadilan. Di sini kita melihat adanya tuntutan legitimasi etis dalam
konteks kesadaran akan kemahadaulatan Allah. Bagi orang yang percaya akan Allah yang
transenden, hanya Allahlah yang memiliki kedaulatan mutlak. Semua wewenang di
antara manusia hanyalah sah sejauh berlangsung dalam kesesuaian dengan dan

60
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

berdasarkan kedaulatan Allah. Maka suatu perintah negara yang bertentangan dengan
kehendak Allah adalah kosong. Dan karena alasan sama negara hanya memiliki
wewenang dalam batas-batas fungsinya yang dikehendaki Allah. Maka suatu perintah
yang bertentangan dengan keadilan tidaklah sah.

 Jadi, pada Agustinus sudah ada tuntutan legitimasi etis atas eksistensi negara. Negara ada
dan ia harus mempertanggungjawabkan perintah-perintah dan kebijakan-kebijakannya
berhadapan dengan kehendak Allah dan tuntutan keadilan. Buka apa saja yang
dikehendaki negara dengan sendirinya sah. Masyarakat tidak wajib menaati semua
perintah negara. Masyarakat berhak untuk menolak ketaatan terhadap negara manakala
perintah-perintahnya melanggar norma-norma moral dan keadilan karena norma-norma
itulah yang dikehendaki Allah (Hak Perlawanan Rakyat)

 Namun faham Agustinus tentang legitimasi etis negara masih terbatas sifatnya. Agustinus
hanya seakan-akan dari luar menghadapkan negara dengan tuntutan agar tidak melanggar
hukum Allah dan keadilan. Selama negara tidak berbuat demikian, Agustinus tidak
memperhatikannya. Ia tidak menawarkan kerangka untuk mengusahakan suatu perbaikan
atau pemanusiaan negara itu sendiri. Alasan kekurangan itu terletak dalam pandangan
dasarnya tentang negara, yakni sarana penertib manusia pendosa. Ia begitu terkesan oleh
kedosaan manusia maka ia tidak memperhatikan tradisi Yunani yang memandang negara
sebagai sesuatu yang sesuai dengan kodrat manusia. Agustinus memandang negara
sebagai sesuatu yang buruk, yang terpaksa harus diderita. Tetapi karena negara sekaligus
dianggap perlu, sebagai penertib manusia yang jahat, maka negara yang hakikatnya buruk
itu tetap diterima. Karena negara melulu dipandang sebagai akibat dosa dan bukan
sebagai realitas manusiawi yang sebenarnya positif seperti dianut oleh filsafat Yunani.
Agustinus tidak dapat membedakan antara negara yang baik dan yang buruk. Dengan
demikian ia tidak memiliki kerangka teoretis untuk menuntut supaya negara diusahakan
agar sebaik mungkin diselenggarakan. Baginya, negara itu buruk maka sebaiknya
diterima sama seperti cobaan-cobaan duniawi lain.

Thomas Aquinas: negara dan kedaulatan hukum kodrat


 Yang menemukan kembali pandangan positif Yunani tentang negara dan
mengintegrasikannya dengan paham kemahadaulatan Allah dari agama monotheistik
adalah Thomas Aquinas. Pahamnya tentang negara dikaitkan dengan apa yang disebutnya
hukum kodrat. Filsafat negara Thomas berbicara tentang dua hal penting ini: pertama,
tentang hubungan negara dengan hukum kodrat; dan kedua, tentang tujuan negara.

 Hukum kodrat adalah hukum dasar moral (hukum prapositif) yang mencerminkan hukum
kebijaksanaan ilahi. Hukum kodrat lawannya adalah hukum positif, yaikni hukum buatan
manusia dalam bentuk undang-undang tertulis. Menurut Thomas Aquinas hukum positif
itu hanya sah sejauh berdasarkan atau sesuai dengan hukum prapositif itu. Itu berarti,
suatu penetapan negara yang tidak sesuai dengan hukum kodrat itu maka tidak sah.
Tindakan di luar batas-batas hukum kodrat, jadi yang bertentangan dengan norma-norma
moral dasar, tidak mempunyai daya ikat atau boleh dikatakan tidak sah.

61
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

 Akan tetapi, hukum kodrat tidak hanya membatasi wewenang negara melainkan juga
menjadi dasarnya. Inti filsafat negara Thomas Aquinas adalah bahwa eksistensi negara
sendiri bersumber dari kodrat manusia. Ia menolak pandangan Agustinus bahwa negara
hanya perlu karena kedosaan manusia dan ia kembali ke alam pikiran Yunani bahwa
negara berdasarkan suatu kebutuhan kodrat manusia. Bagi Thomas Aquinas manusia
adalah makhluk sosial (animal sociale). Sebagai makhluk sosial maka manusia tidak
dapat memenuhi seluruh kebutuhannya oleh dirinya sendiri saja. Secara individual
manusia paling jauh dapat sekadar mempertahankan nyawanya (vivere). Tetapi untuk
hidup secara baik (bene vivere), artinya secara memuaskan, berbudaya dan beradab,
manusia memerlukan manusia lain dalam pelbagai tingkatan kelembagaan. Negara adalah
lembaga kesosialan manusia paling luas yang berfungsi untuk menjamin agar manusia
dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang melampaui kemampuan lingkungan-
lingkungan sosial lebih kecil seperti keluarga atau desa dan kota.

 Dengan demikan Thomas Aquinas mengikat tujuan negara pada tujuan manusia. Apa
yang menjadi tujuan manusia? Thomas membedakan tiga tujuan dimana yang pertama
menunjang yang kemudian. Dua yang pertama itulah vivere dan bene vivere. Dalam
tujuan ini Thomas sekadar mengikuti Aristoteles. Tetapi kalau Aristoteles hanya melihat
manusia dalam dimensi kehidupan di dunia maka Thomas melihat manusia sebagai
makhluk yang baru mencapai kebahagiaan yang sebenarnya apabila ia memandang Allah.
Maka tujuan terakhir manusia adalah kebahagiaan abadi (beate vivere).

 Penyusunan tujuan-tujuan manusia itu mengimplikasikan bahwa kehidupan di dunia ini


dan arti negara bagi manusia direlativasikan secara radikal. Yang harus menjadi tujuan
manusia dalam kehidupan ini bukan agar ia langsung menjadi bahagia sekarang dan di
dunia sini, melainkan agar ia mencapai kebahagiaan abadi. Bagi kedudukan negara hal itu
berarti dua hal: pertama, negara adalah penting, namun bukan yang paling penting;
kedua, menusia lebih penting, karena ia akan abadi di akhirat, sedangkan negara tidak.

 Pandangan tentang manusia seperti itu membawa konsekuensi penting bagi negara. Bagi
negara, itu berarti, tujuan negara adalah menunjang usaha manusia dalam mencapai
tujuannya, mempunyai dua arah. Negara memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia
agar ia dapat hidup sebahagia mungkin di dunia sini, menurut kekayaan kebutuhannya
sebagai makhluk sosial (bene vivere). Dan ia harus menciptakan kondisi-kondisi dimana
manusia sendiri, dalam persatuan dengan umat sekepercayaan, dapat mengusahakan
kebahagiaan abadi (beate vivere).

 Untuk mencapai itu Thomas menuntut agar masing-masing orang mendahulukan


kesejahteraan umum terhadap kesejahteraan individual sendiri dan oleh karena itu taat
kepada negara. Tetapi karena tugas negara terhadap tujuan akhir masing-masing manusia
hanya bersifat subsider, maka akhirnya negara harus diabdikan pada kepentingan anggota
masyarakat. Manusia bukan bagi negara melainkan negara bagi manusia. Negara
bukanlah tujuan pada dirinya sendiri. Karena itu, kalau negara memerintahkan sesuatu
yang bertentangan dengan kewajiban setiap orang untuk hidup sesuai dengan kehendak
Allah, maka negara tidak boleh ditaati; negara bisa dilawan (Hak Perlawanan Rakyat).

62
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

 Tujuan negara itu dapat diterjemahkan ke dalam tuga-tugas pokok negara:

(1)Negara harus menciptakan perdamaian karena perdamaian adalah unsur penting dalam
kesejahteraan umum. Teapi karena menurut Thomas perdamaian hanya dapat dicapai atas
dasar keadilan, maka tugas pertama negara adalah menciptakan dan menjamin keadilan.
(2) Negara harus menciptakan keadaan yang memungkinkan bahwa masing-masing
orang dan anggota masyarakat dapat hidup sesuai dengan hukum kodrat dan dengan
demikian sesuai dengan tuntutan agar kelak mencapai kebahagiaan abadi.
(3) Negara harus mengusahakan sarana-sarana material yang dibutuhkan agar dua tugas
pertama dapat dilaksanakan dan masyarakat dapat hidup dengan baik.

 Bagi Thomas negara adalah realitas yang positif dan rasional. Disebut positif karena
sesuai dengan kodrat manusia; dan disebut rasional karena negara tidak ditaati karena
orang takut terhadap ancamannya, melainkan karena fungsinya dimengerti dan dengan
demikian wewenangnya diakui. Di sini Thomas sekaligus menetapkan batas-batas
wewenang negara. Negara tidak berwenang karena memiliki kekuasaan melainkan ia
berwenang karena tindakannya berdasarkan hukum kodrat. Dengan demikian Thomas
menyediakan dasar untuk bersifat kritis terhadap negara. Negara tidak ditaati begitu saja,
melainkan hanya sejauh negara bertindak dalam batas-batas wewenangnya. Apabila
negara memakai kekuatannya untuk memperluas wewenangnya seenaknya maka negara
kehilangan hak atas ketaatan masyarakat (Hak Perlawanan Rakyat).

63
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

Pertemuan 13

Filsafat negara modern, Thomas Hobbes

1. Negara Leviathan
2. Negara hukum
3. Teori perjanjian negara
4. Negara Leviathan: Machtstaat atau Rechtsstaat?

Negara Leviathan
 Paham negara Thomas Hobbes bertolak belakang dengan paham Thomas Aquinas. Kalau
Thomas Aquinas menempatkan negara ke dalam kerangka rasionalitas dan kesosialan
kodrat manusia maka Hobbes menggambarkan negara sebagai makhluk raksasa
(Leviathan) dan menakutkan yang melegitimasikan diri semata-mata karena
kemampuannya untuk mengancam. Mahakaryanya tentang negara adalah Leviathan dan
juga De Cive. Hobbes merancang negara berdasarkan pengalaman yang dihadapinya saat
itu, yakni pergolakan politik di Inggris: persaingan antara raja dan parlemen,
pertentangan antara Gereja Anglikan resmi dan puritan, permusuhann antara Inggris dan
Irlandia. Semua ini adalah latarbelakang sampai ia berteori tentang negara sebagai
lembaga pengancam yang menakutkan orang-orang sehingga melahirkan ketaatan penuh.
Hobbes seakan-akan diobsesi oleh pertanyaan: bagaimana masyarakat dapat ditata
sedemikian rupa sehingga kekacauan sebagaimana dialaminya sendiri, dapat dielak?

 Hobbes menyaksikan bahwa apa raja atau parlemen, begitu pula semua kelompok agama,
mendasarkan perjuangan mereka sampai mereka bertabrakan pada prinsip-prinsip agama
dan moral yang paling luhur. Yang menarik bagi Hobbes adalah bahwa justru perjuangan
atas dasar ajaran agama dan moral itu melahirkan kekejaman dan kebengisan antara kubu
yang bersaing. Dari kenyataan itu Hobbes menarik dua kesimpulan: Pertama, menata
masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip normatif, seperti misalnya ajaran agama dan
moral, adalah mustahil. Prinisp-prinsip itu hanya dikemukakan sebagai kedok emosi-
emosi dan nafsu-nafsu yang paling rendah. Kedua, masyarakat hanya dapat ditata dalam
perdamaian, kalau pengaruh emosi dan nafsu-nafsu dapat dielakkan. Maka pertanyaan
pokok filsafat politik Hobbes adalah: bagaimana masyarakat dapat ditata bebas dari
pengaruh emosi dan nafsu-nafsu?

 Hobbes lalu mendalami kelakuan manusia. Hasilnya ia temukan yakni bahwa seluruh
kelakuan manusia ditentukan oleh satu motivasi saja, yaitu perasaan takut terhadap maut,
atau naluri untuk mempertahankan nyawa. Karena itu, menurut Hobbes, untuk
menertibkan manusia satu-satunya jalan adalah membuat manusia merasa takut. Perasaan
takut, dorongan untuk hidup, mengalahkan dorongan lain. Jadi, asal saja manusia
diancam maka ia dapat mengontrol emosi-emosi dan nafsu-nafsunya dan membawa

64
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

dirinya dengan baik. Di sini manusia digambarkan Hobbes sebagai srigala (homo homoni
lupus), dan kondisinya kacau-balau (bellum omnium contra omnes).

 Maka dirancanglah negara Leviathan. Negara itu harus benar-benar sang Leviathan, yaitu
binatang purba raksasa yang mengarungi samudra dengan perkasa tanpa menghiraukan
siapa pun. Kekuasaanya mutlak. Negara dalam menentukan kebijakannya sama sekali
berdaulat. Tidak ada kemungkinan untuk melawan negara. Masyarakat tinggal menerima.
Atas dasar norma-norma moral dan keadilan pun negara tidak dapat dituntut untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Karena apa yang harus dianggap adil justru
ditentukan oleh negara. Maka menurut Hobbes negara tidak dapat bertindak dengan tidak
adil, karena apa yang disebut adil justru sudah ditentukan oleh negara melalui hukum.
Demi kesatuan kekuasaan Hobbes juga menolak segala pembagian kekuasaan negara.

 Negara Hobbes adalah negara yang mempunyai kehidupan dan kehendak sendiri. Negara
itu bagaikan Allah (Deus mortalis). Jadi, negara ada dan memang bisa mati atau bubar.
Tetapi selama ia ada maka ia seperti Allah berkuasa mutlak: ia berwenang mutlak untuk
menetapkan apa yang baik dan adil dan terhadap siapa pun negara tidak perlu
memberikan pertanggungjawaban.

Negara hukum
a. Anehnya, Hobbes masih berbicara negara dengan kekuasaan mutlak itu dijalankan
berdasarkan undang-undang. Di sini kita perlu memahami apa yang dimaksud Hobbes
dengan undang-undang. Ia mengatakan bahwa undang-undang yang baik tidak sama
dengan undang-undang yang adil. Setiap undang-undang dengan sendirinya sudah adil
karena apa yang dimaksud dengan adil justru sudah didefinisikan dalam undang-undang.
Adil berarti sesuai dengan undang-undang. Menurut Hobbes negara tidak dapat
melanggar keadilan. “Undang-undang yang baik” berarti undang-undang yang “demi
kesejahteraan rakyat dan kecuali itu harus jelas”. Akan tetapi, yang menjadi masalah
ialah bahwa undang-undang yang baik dapat saja diharapkan, tetapi tidak dapat dituntut
oleh rakyat. Karena warga negara tidak berhak untuk menuntut apa-apa dari negara dan
penguasa yang memegang kekuasaan. Apakah ada undang-undang yang dibuat dengan
baik, seluruhnya tergantung dari kesadaran penguasa.

b. Bagaimana Hobbes mencegah kemungkinan bahwa penguasa menyelewengkan


kekuasaannya yang tak terbatas itu demi kepentingan dirinya sendiri. Menghadapi itu
Hobbes memasang dua penghalang bagi kesewenangan penguasa: Pertama, adanya
kesadaran penguasa sendiri. Dari penguasa dituntut agar ia seadil Allah. Hobbes
memperingatkan penguasa bahwa ia akan mempertanggungjawabkan penggunaan
kekuasaannya yang begitu besar di hadapan Allah. Kedua, adanya hak alamiah setiap
orang untuk melindungi diri (Hak Perlawanan Rakyat). Yang dimaksud Hobbes di sini
bukan hak asasi manusia. Yang dia maksudkan adalah begitu negara menindas rakyat
padahal rakyat dan mengancam mereka yang taat pada hukumnya, maka mereka tidak
mempunyai alasan apa pun lagi untuk menaati negara. Perasaan takut akan kematian pun
hilang dan tidak lagi akan mendesak mereka untuk taat pada negara, melainkan untuk
menyelamatkan diri.

65
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

Perjanjian negara
a. Paham perjanjian negara Hobbes berdasarkan suatu pengandaian antropologis bahwa
manusia tidak sejak semula berhakikat sosial. Sebelum negara didirikan, manusia hidup
dalam keadaan pra-masyarakat. Keadaan ini disebutnya “state of nature” (keadaan
alamiah). Keadaan alamiah sebagai dasar berarti bahwa semua orang bebas, karena
belum ada lembaga atau orang yang memiliki wewenang untuk mengatur orang lain.
Semua orang sama kedudukannya. Paham wewenang belum ada. Semua orang sama
memiliki hak-hak alamiah tertentu, terutama hak untuk membela diri dengan segala cara
yang tersedia. Semua orang hidup sendiri-sendiri menurut kebutuhan individual masing-
masing. Individu-individu itu tidak sosial, tidak saling memberikan perhatian dan tidak
saling percaya, dan saling curigai. Karena kebutuhan-kebutuhan mereka harus dipenuhi
dalam wilayah dan dari persediaan alamiah yang sama, maka mereka berada dalam
situasi persaingan. Setiap individu bagi individu lain sebagai ancaman potensial dan
karena itu dimusuhi. Inilah yang disebut Hobbes: homo homoni lupus, yang secara
niscaya menjadi bellum omnium contra omnes.

b. Keadaan itulah akhirnya memaksa individu-individu untuk mengambil tindakan bersama.


Mereka mengadakan perjanjian untuk mendirikan satu lembaga dengan wewenang
mutlak untuk menata mereka melalui undang-undang dan untuk memaksa mereka agar
taat terhadap undang-undang itu. Mereka menyerahkan semua hak alamiah mereka
kepada lembaga itu, kecuali hak untuk melindungi diri. Karena itulah yang mendasarkan
kerelaan mereka untuk taat terhadap lembaga yang disebut negara itu.

c. Yang perlu diperhatikan di sini bukannya perjanjian antara individu masing-masing


dengan negara, karena negara waktu itu belum ada, melainkan antara individu itu sendiri.
Isi perjanjian adalah untuk menciptakan negara. Jadi, negara bukanlah partner dalam
perjanjian itu. Karena negara di sini tidak sebagai partner dalam perjanjian itu, maka
negara menurut Hobbes tidak terikat oleh perjanjian itu dan tidak juga melanggarnya.
Artinya, dalam perjanjian itu individu-individu menyerahkan semua hak mereka kepada
negara, tetapi negara tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap mereka itu. Begitu
mereka selesai menciptakan negara, negara berdiri tegak dengan kekuatan raksasa, tetapi
tanpa kewajiban apa pun.

Negara Leviathan: Machtstaat atau Rechtsstaat?


a. Dalam pandangan Hobbes negara Leviathan yang lahir dari sebuah perjanjian para
anggotanya bukanlah Machtsstaat (negara kekuasaan) melainkan Rechtsstaat (negara
hukum). Jadi, negara Leviathan itu tidak menjalankan pemerintahannya secara sewenang-
wenang, melulu berdasarkan kekuatannya, melainkan dengan tegas dalam batas-batas
hukum. Hukum memiliki kepastian sempurna, karena berlaku mutlak, tanpa
kemungkinan bagi masyarakat untuk mempersoalkannya. Dan hukum Hobbes adalah
hukum positif, menurut positivisme hukum murni.

66
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

b. Negara Hobbes adalah negara absolut. Namun itu tidak dimaksudkan Hobbes agar
pemerintahan negara dipegang oleh seorang raja. Pemerintahan dapat dipegang oleh
suatu panitia asal kehendak mereka itu satu. Hobbes tidak mau membenarkan
kesewenangan para raja, melainkan ia mau mendasarkan suatu kekuasaan negara yang
tidak tergoyahkan. Pendasaran itu dilakukan dengan secara konsisten mendasarkan
kekuasaan negara pada kemampuannya untuk mengancam warga negara. Negara ditaati,
karena tidak taat berarti mati. Negara harus mengerikan agar manusia dapat hidup tanpa
rasa takut dan tentunya hanya kalau mereka hidup sesuai dengan hukum.

c. Negara adalah stabil kalau undang-undangnya baik dan kekuasaan dijalankan dengan
tidak sewenang-wenang. Tetapi syarat-syarat itu tidak dijamin secara institusional.
Kualitas undang-undang dan pemerintahan seluruhnya tergantung dari kesadaran
penguasa. Jelas di sini betapa lemahnya pembatasan terhadap penyalahgunaan kekuasaan,
yakni hanya tergantung dari kesadaran penguasa. Di sini tidak ada mekanisme seperti
dalam negara demokrasi yakni kritik atau koreksi dari masyarakat.

d. Kelemahaman negara hukum Hobbes adalah tidak ada mekanisme koreksi atas
penyalahgunaan kekuasaan. Tidak ada lembaga kontrol sama sekali. Terhadap
kesewenangan semua pintu terbuka lebar. Kelihatanlah bahwa negara Hobbes ternyata
bukan sebuah Rechtsstaat sebagaimana diakuinya melainkan sebuah Mactsstaat.
Mengapa? Karena jelas sekali di sini kekuasaan yang menentukan. Apabila hukum dapat
dibuat dengan sebebas-bebasnya oleh penguasa, maka keterikatan kekuasaan dengan
hukum bersifat melulu formal. Penguasa bebas untuk menetapkan apa saja sebagai
hukum. Maka hukum sebagai pembendung kekuasaan tidak mempunyai arti. Negara
dijalankan menurut kekuasaan.

e. Hobbes hanya memasang satu batas bagi penyalahgunaan kekuasaan. Begitu negara
mulai menindas dan membunuh para warganya yang sebenarnya harus dilindungi, maka
negara bubar dengan sendirinya, karena warga kehilangan motivasinya untuk tetap taat.

67
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

Pertemuan 14

Filsafat negara modern, John Locke

1. Lahirnya negara liberal


2. Teori perjanjian negara
3. Negara konstitusional
4. Pembagian kekuasaan
5. Pembatasan kekuasaan
6. Hak perlawanan rakyat

Lahirnya negara liberal


 Locke menulis filsafat politiknya dalam rangka melawan pandangan Robert Filmer
(1588-1653), seorang filsuf istana di Inggris. Menurut Filmer setiap kekuasaan bersifat
monarki mutlak dan tidak ada orang yang lahir dengan bebas. Locke menulis filsafat
politiknya terutama melawan Filmer ini dan bukan melawan Hobbes.

 Locke, seperti Hobbes, mendasarkan teori negaranya pada apa yang disebut state of
nature. Bagi Locke keadaan alamiah itu betul-betul ada, bukan sekadar pengandaian
abstrak filosofis. Dalam hal ini Locke jelas berbeda dengan Hobbes. Menurut Locke,
dalam keadaan alamiah manusia itu bebas untuk menentukan dirinya dan menggunakan
miliknya dengan tidak tergantung dari kehendak orang lain. Semua manusia juga sama
dalam arti bahwa semua memiliki hak yang sama untuk mempergunakan kemampuan
mereka. Manusia secara alamiah sebenarnya baik. Hak dasar terpenting adalah hak atas
hidup, hak untuk mempertahankan diri. Dari hak itu Locke langsung mengembangkan
hak atas milik. Dengan demikian dalam keadaan alamiah sebenarnya sudah mengenal
hubungan-hubungan sosial. Tahap pertama keadaan alamiah itu jauh sekali dari perang
semua lawan semua sebagaimana dikatakan Hobbes.

 Situasi alamiah yang baik itu berubah ketika masyarakat mengenal UANG. Sebelum
diciptakan uang, perbedaan kekayaan antarmanusia tidak begitu menonjol karena orang
tidak akan mengumpulkan lebih daripada apa yang dapat dikonsumsi sendiri. Menurut
Locke ada hukum alam bahwa orang tidak boleh mengambil lebih banyak produk alam
dan lahan tanah daripada apa yang benar-benar dibutuhkan. Namun, begitu uang
diciptakan, maka batas alamiah itu hilang. Maka ketidaksamaan pun muncul. Mereka
yang lebih trampil dan rajin menjadi kaya dengan lebih cepat. Dengan sendirinya akan

68
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

timbul perebutan lahan tanah dan modal. Orang saling mengiri dan memusuhi. Akhirnya,
state of nature yang begitu baik menjadi state of war. Ketika sudah menjadi state of war
maka negara diciptakan dengan tujuan utama menjamin hak milik pribadi.

 Menurut Locke, negara didirikan untuk melindungi hak milik pribadi, bukan untuk
menciptakan kesamaan atau untuk mengontrol pertumbuhan milik pribadi yang tidak
seimbang. Yang dia maksud dengan property (milik) tidak hanya barang milik (etstates)
melainkan juga hidup (lives) dan hak-hak kebebasan (liberties). Gagasan dasar negara
liberal Locke: tugas utama negara adalah menjamin kebebasan (liberty); lalu dalam
suasana kebebasan itu warga negara mewujudkan diri dan cita-citanya termasuk
penciptaan kemakmurannya.

Perjanjian negara
 Locke juga mengenal teori perjanjian negara seperti Hobbes. Hanya uraian Locke lebih
jelas. Manusia mengadakan apa yang disebutnya original compact (perjanjian asali)
untuk bersatu dalam suatu masyarakat politik. Untuk itu menyerahkan dua kekuasaan
terpenting yang mereka miliki dalam keadaan alamih kepada negara, yakni hak untuk
menentukan sendiri bagaimana mempertahankan diri dan orang-orang lain, dan hak
untuk menghukum seorang pelanggar hukum menurut hukum kodrat.

 Paham original compact ini mempunyai implikasi yang penting, yakni bahwa kekuasaan
politis pemerintahan negara bukan lain hanyalah kekuasaan para warga negara yang
bersatu membentuk tubuh politis. Jadi, segala kekuasaan yang dimiliki negara dimiliki
oleh negara karena dan sejauh didelegasikan oleh para warganya. Wewenang negara
persis seluas hak-hak yang diserahkan kepadanya oleh para warganya. Jadi kekuasaan
negara secara hakiki terbatas dan tidak mutlak. Di sini jelas Locke melawan pandangan
Filmer yang mengajarkan bahwa kekuasaan negara itu bersifat mutlak. Bagi Locke,
dalam rangka melawan Filmer, wewenang negara tidak berasal dari Allah melainkan dari
warganya. Motivasi manusia untuk mendirikan negara, yaitu menjamin hak-hak asasinya,
terutama hak miliknya, menjadi tujuan negara. Maka kewajiban utama negara adalah
untuk melindungi kehidupan dan hak milik warganya. Hanya demi tujuan itulah warga
negara meninggalkan kebebasan alamiah yang penuh ketakutan itu.

Negara konstitusional
 Negara dijalankan menurut konstitusi. Sebenarnya adanya konstitusi sudah biasa dalam
paham kenegaraan Inggris. Yang baru pada Locke adalah konstitusi merupakan kerangka
dan batas pemakaian kekuasaan negara menjadi prasyarat keabsahan negara modern.
Salah satu prinsip utama konstitusi Locke adalah prinsip mayoritas. Locke menjelaskan
demikian: “Mengingat suatu badan harus bergerak ke salah satu arah, maka perlu bahwa
badan itu bergerak ke arah yang didukung oleh kekuatan yang lebih besar, dan itulah
kesepakatan oleh mayoritas”. Pada Locke prinsip mayoritas ini memang boleh diartikan
secara demokratis. Dalam Lower House hanya lapisan masyarakat yang kaya diwakili.
Tetapi keyakinan bahwa lebih tepatlah kalau arah kebijaksanaan politik ditentukan

69
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

menurut kehendak yang banyak daripada menurut kehendak yang sedikit menjadi salah
satu prinsip dasar pemecahan dalam negara demokratis moderen.

 Meski demikian tetap diakui bahwa sumbangan terbesar Lock bagi kesadaran kenegaraan
modern adalah bahwa pembatasan wewenang negara itu dituangkan dalam tuntutan
bahwa pemerintahan harus bertindak atas dasar suatu konstitusi. Dengan demikian, sejak
Locke tuntutan bahwa pemerintahan negara harus dijalankan berdasarkan suatu undang-
undang dasar menjadi milik kesadaran kenegaraan modern.

 Dua implikasi paham negara konstitusional:

1. Dengan adanya konstitusi maka tuntutan legalitas negara dapat dipertajam. Kekuasaan
negara, terutama legislatif, terikat pada konstitusi. Legislatif tidak lagi berhak untuk
memperundangkan apa saja melainkan sejauh sesuai dengan konstitusi. Dan kesesuaian
itu menuntut diperlukan suatu mahkamah konstitusi. Sedangkan kekuasaan eksekutif
hanyalah legal sejauh bertindak dalam batas-batas hukum. Maka negara konstitusional
memuat negara hukum.

2. Manusia memiliki hak-hak yang mendahului penetapan oleh negara dan karena itu
tidak bisa dirampas melainkan harus dihormati oleh negara. Hak-hak dasar itu tidak
terasingkan dari manusia (inalienable rights), artinya, hak-hak itu melekat pada manusia
karena ia manusia. Ada tiga hak alamiah dasar manusia: hak atas hidup, hak atas
kebebasan, dan hak atas milik (property). Menariknya, menurut Locke, dari ketiga hak
alamiah dasar ini yang terpenting bukanlah hak ata hidup atau hak atas kebebasan
melainkan hak atas milik pribadi. Karena menurut Locke hidup adalah milikku dan
kebebasan adalan kebebasanku.

 Di samping ketiga hak lamiah dasar itu manusia menurut Locke memiliki dua hak asasi
khusus, yakni hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, dan hak perlawanan rakyat
terhadap negara. Yang pertama menolak hak negara untuk mencampuri apa yang
dipercayai dan diyakini oleh warga negara (kebebasan beragama dan berkeyakinan).Yang
kedua menolak prinsip negara totaliter “Perintah adalah perintah” (Befehl ist Befehl).
Bagi Locke, tidak semua perintah harus ditaati. Begitu perintah itu justru menindas rakyat
maka rakyat berhak untuk tidak taat (Hak Perlawanan Rakyat).

Pembagian kekuasaan
 Trias politika Locke: legislatif, eksekutif, dan federatif. Kekuasaan legislatif, kekuasaan
membuat undang-undang, yang dijalankan oleh parlemen, dimana parlemen itu adalah
wakil dari golongan kaya dan bangsawan. Jadi Locke belum mempunyai paham tentang
hak rakyat atau kedaulatan rakyat. Undang-undang yang dibuat legislatif mengikat
kekuasaan eksekutif, dan semua warga negara harus taat kepada undang-undang itu.
Dalam membuat undang-undang itu legislatif sendiri hanya dibatasi oleh hukum kodrat,

70
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

jadi terutama oleh tuntutan untuk menghormati hak-hak asasi manusia. Tidak boleh ada
peraturan yang sewenang-wenang, melainkan semua peraturan itu melalui proses
perundangan dan undang-undang dipermaklumkan.

 Menurut Locke, raja sendiri mempunyai bagian di dalam kekuasaan legislatif. Jadi, tidak
mungkin dibuat undang-undang yang tidak disetujui oleh raja. Dengan demikian tidak
ada kuasa di atas raja. Tetapi kekuasaan raja itu tidak terbatas karena ia harus tunduk
terhadap undang-undang yang telah disetujuinya dan telah dipermaklumkannya. Di sini
kelihatan prinsip dasar negara hukum bahwa negara hanya boleh bertindak dalam batas-
batas hukum. Agar lembaga legislatif ini menjadi terlalu kuat, maka pelaksanaan undang-
undang harus diserahkan kepada eksekutif. Adalah hak eskekutif untuk memanggil
kekuasaan legislatif untuk bersidang. Apalagi jika eksekutif menyalahgunakan
kedudukannya itu, maka itu adalah sama dengan menyatakan perang terhadap rakyat dan
rakyat berhak untuk menyingkirkan eksekutif itu dengan kekerasan (hak perlawanan
rakyat).

 Sedangkan hubungan dengan luar negeri menurut Locke diserahkan kepada kekuasaan
federatif. Demi alasan praktis kekuasaan ketiga ini diletakkan di tangan kekuasaan
eksekutif. Di samping itu eksekutif juga memiliki hak prerogratif yaitu hak atau
kekuasaan untuk dalam keadaan darurat mengambil tindakan-tindakan yang melampaui
wewenang legalnya. Kenyataan sekarang karena pengaruhi trias politika Montesquieu,
maka kekuasaan federatif itu masuk dalam kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif
dibentuk di mana dalam kerangka Locke belum ada.

Pembatasan kekuasaan
 Pengaruh ajaran Locke tentang negara pada umumnya sangat besar, terutama di Inggris,
Perancis, dan Amerika Serikat. Tentu tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa konstitusi
Amerika Serikat disusun dengan berguru padanya. Istilah seperti government by consent
of the people (pemerintahan atas persetujuan rakyat) dan paham kepercayaan rakyat
kepada pemerintah sebagai dasar legitimasinya termasuk paham-paham dasar ilmu politik
modern. Hak untuk berkuasanya penguasa diperolehnya dari manusia-manusia melalui
apa yang disibutnya original compact.

 Dengan ini Locke mengaitkan kembali wewenang pemerintahan pada apa yang
disebutnya “delegation”, yakni pada penyerahan pemerintahan itu oleh mereka yang
diperintah. Dengan demikian ia membongkar dasar klaim raja bahwa kekuasaan mutlak
dan tak terbatas. Sejak Locke kewajiban penguasa untuk memberikan
pertanggungjawaban kepada masyarakat dan hak masyarakat untuk menuntutnya
merupakan salah satu prinsip dasar etika politik modern.

 Tugas negara dengan sendirinya terbatas oleh tujuannya. Tujuan itu sendiri dipahami
sebagai pelayanan kepada kepentingan masyarakat. Jadi negara tidak berhak untuk
mempergunakan kedaulatan wewenang yang dimilikinya untuk mencampuri segala
bidang kehidupan masyarakat. Negara tidak mempunyai legitimasi untuk mengurus
segala-galanya. Jadi, inti paham liberal tentang negara adalah bahwa kekuasaan negara

71
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

harus seminimal mungkin. Meski pembatasan kekuasaan dari liberalisme ini saat ini tidak
diterima penuh. Namun prinsip bahwa kekuasaan negara harus dibatasi pada apa yang
perlu saja untuk menjalankan fungsinya yang hakiki, merupakan suatu pengertian yang
sangat penting saat ini.

 Dengan demikian liberalisme menolak totalitarianisme. Liberalisme salalu was-was


terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Maka pembatasan kekuasaan harus dimasukkan ke
dalam struktur negara. Akan tetapi yang perlu dipahami dalam ajaran Locke ini bahwa
yang pertama adalah penjaminan hak atas kebebasan dan yang kedua baru pembatasan
kebebasan itu. Kerangka pemikiran Locke demikian: Kebebasan manusia tidak tak
terbatas. Hak orang lain atas kebebasan yang sama dan hak masyarakat atas pengurbanan
masing-masing anggota demi kepentingan bersama secara hakiki membatasi kebebasan
individu. Itu artinya, di luar alasan itu kebebasan tidak boleh dibatasi. Jadi yang harus
dibuktikan bukan hak atas kebebasan melainkan hak untuk membatasnya.

Hak perlawanan rakyat dan toleransi


 Berkaitan dengan pembatasan kekuasaan negara Locke mengajarkan juga tentang hak
khusus rakyat untuk melawan negara manakala negara sudah bertindak tidak sesuai
tujuannya yakni untuk melindungi kehidupan dan milik warganya. Begitu negara
bertindak membunuh dan merampok milik rakyat, maka rakyat berhak untuk
melawannya. Locke mengakui adanya hak perlawanan rakyat, misalnya kalau pemerintah
mencampuri kehidupan dan milik individu, apabila pemerintah berusaha untuk
menjadikan kehendaknya menjadi undang-undang tanpa melalui legislatif atau mencoba
untuk mengubah undang-undang pemilu. Usaha semacam itu menurut Locke adalah
“pemberontakan dari atas”.

 Ajaran tentang toleransi Locke: Satu-satunya alasan mengapa manusia bersatu untuk
membentuk negara adalah temporal goods, keselamatan duniawi. Karena itu Locke
menuntut toleransi dalam bidang agama. Di sini negara tidak mempunyai legitimasi
apapun untuk memasuki urusan keyakinan orang. Apa yang dipikirkan dan diyakini
orang adalah urusan pribadi masing-masing, sedangkan negara tidak mempunyai keahlian
apapun dalam bidang kebenaran religius.

 Maka negara melampaui wewenangnya kalau ia mau menentukan keyakinan seseorang


dan menuntut cara apa ia harus beribadat. Hanya kalau suatu agama mengajarkan sesuatu
yang dapat menggagalkan pelaksanaan tujuan negara, maka negara boleh mengambil
tindakan. Locke tidak memberikan toleransi kepada orang Katolik karena mereka
dianggap membahayakan kestabilan sistem politik Inggris (karena orang Katolik masih
harus taat kepada Paus di Roma). Begitu pula kaum ateis tidak ditoleransi karena,
menurut Locke, penyangkalan adanya Tuhan membuat mereka tidak dapat menerima
hukum kodrat yang merupakan dasar kehidupan masyarakat.

72
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

Pertemuan 15

Filsafat negara modern, J.J. Rousseau

1. Contrat social
2. Kehendak umum (volonte generale)
3. Kedaulatan rakyat
4. Kehendak mayoritas vs kehendak minoritas
5. Agama sipil (religion civile)

Contrat social
 Rousseau dikenal sebagai pembawa panji kedaulatan rakyat. Ia menjadi salah seorang
filsuf sosial yang sangat besar pengaruhnya, dengan mahakaryanya Contrat social.

 Pesimisme kebudayaan: Rousseau adalah salah seorang filsuf zaman pencerahan yang
berpandangan pesimistik tentang kebudayaan. Padahal rekan-rekan filsuf, seperti Diderot,
d’Alambert dsn Voltaire, memiliki optimism terhadap kebudayaan. Bagi Rousseau,
kebudayaan itulah yang merusak manusia, karena itu ia mengajak manusia untuk kembali
ke alam (retour a la nature). Yang merusakkan aklak manusia adalah kebudayaan yakni
ilmu pengetahuan dan kesenian. Dekadensi kebudayaan abad 18 diperbandingkannya
dengan republik Romawi kuno yang dikuasai oleh keutamaan (vertu) dan kebenaran
(verite). Model orang sederhana dan lugu ditemukannya dalam orang Indian di Amerika
Utara, yang disebutnya “orang liar yang baik”. Manusia alamiah, menurutnya, tidak baik
dan tidak buruk, tidak egois dan tidak altruis, ia hidup dengan polos dan mencintai
dirinya secara spontan. Ia bebas dari segala wewenang orang lain dan karena itu secara
hakiki sama kedudukannya.

 Kepolosan alamiah itu hilang ketika manusia membentuk masyarakat. Dengan manusia
menjadi sosial dan kesosialannya diinstitusikan dalam bentuk negara maka ketika itu
ketidaksamaan muncul dan selanjutnya melahirkan kemerosotan dan egoisme. Namun di
lain pihak Rousseau sadar juga bahwa tidak mungkin manusia kembali ke keadaan
alamiah. Sosialisasi manusia tidak dapat dihindari karena hanya dalam kesatuan
masyarakat ia dapat menjamin pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya. Jadi, perkembangan
umat manusia sebenarnya tak terelakan; proses sejarah tidak dapat dikembalikan. Dengan
demikian ia berhadapan dengan suatu dilema: di satu pihak proses pemasyarakatan
manusia menghasilkan suatu keadaan dimana manusia sudah kehilangan kebebasan dan
kepolosan alamiahnya. Di lain pihak ia tidak dapat tidak bermasyarakat. Jalan keluar dari
dilema ini, itulah Contrat social. Di dalam buku ini ia menunjukkan bagaimana negara
seharusnya supaya manusia di dalamnya tetap bebas dan alamiah.

73
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

Kehendak umum
 Rousseau menghadapi monarki absolut Perancis. Ia mau membongkar model negara
absolut itu dan diganti dengan negara yang benar-benar mengungkapkan kehendak
seluruh rakyatnya. Ia menghendaki institusi negara sebagai institusi yang menjamin
adanya identitas penuh antara kehendak negara dan kehendak rakyat. Di dalamnya tidak
ada dualisme atau perbedaan antara kehendak negara dan kehendak rayat melainkan
suatu identitas sempurna. Itulah teorinya kehendak umum.

 Dalam rangka itu Rousseau membagi ada tiga macama kehendak: pertama, kehendak
individual masing-masing orang (volonte particuliere); kedua, kehendak semua (volonte
de tous), yakni penjumlahan semua kehendak-kehendak individual menjadi suatu
keseluruhan; dan ketiga, kehendak umum (volonte generale), yakni kehendak bersama
yang tidak sekadar penjumlahan semua kehendak individual melainkan suatu kehendak
bersama dalam arti kehendak semua individu masyarakat yang mengarah pada
kepentingan umum. Patokan yang membedakan sebuah kehendak umum dan kehendak
semua adalah bahwa hanya kehendak umum yang berorientasi kepada kepentingan
umum. Menurut Rousseau kehendak umum itu bisa saja secara empirik merupakan
kehendak mayoritas namun tidak selalu harus demikian. Karena bisa terjadi negara dapat
mengungkapkan kehendak umum para warga negaranya meskipun warganya tidak
menyadari atau menghendakinya.

 Kalau negara merupakan ungkapan kehendak umum warga negaranya maka manusia
tidak lagi mengalami heteronomi di dalamnya. Kehendak negara adalah kehendak
mereka. Dengan demikian, dengan menaati negara, sesungguhnya mereka menaati diri
mereka sendiri. Negara betul-betul menjadi res publica, urusan umum. Negara itu tidak
lagi sesuatu yang asing (heteronom) karena tidak merupakan milik raja atau sekelompok
elite politik sehingga negara bersifat heteronom terhadap rakyatnya, melainkan negara
adalah milik semua; negara adalah mereka sendiri dan karena itu dengan adanya negara
rakyat tetap otonom. Manusia tidak terasing lagi di dalamnya.

Kedaulatan rakyat
 Berdasarkan itu maka satu-satunya negara yang sah adalah republik. Hal itu terungkap
dalam ajarannnya tentang kedaulatan rakyat. Rakyat berdaulat dan kerena itu negara
harus menjadi urusan seluruh rakyat, sebagaimana halnya dalam republik klasik di Roma
dulu. Dalam paham Rousseau, kedaulatan rakyat mengimplikasikan dua hal: Pertama,
penolakan terhadap segala wewenang di atas rakyat yang tidak berasal dari rakyat; kedua,
tuntutan agar segala kekuasaan yang ada haruslah identik dengan kehendak rakyat. Jadi
negara tidak berhak untuk meletakkan kewajiban atau pembatasan apa pun pada rakyat.
Rakyat berwenang penuh untuk menentukan dirinya sendiri maka tidak ada pihak apa
pun yang mempunyai wewenang terhadap rakyat.

 Adanya identitas antara rakyat dan negara berarti bahwa manusia memasukkan diri
seluruhnya ke dalam negara. Manusia tidak mempertahankan apapun di luar negara.
Kalau negara identik dengan kehendak semua warga negara maka tidak masuk akal untuk

74
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

menahan kembali apapun dari kessatuan dengan negara. Rakyat itu berdaulat, dimana
kedaulatannya pada prinsipnya tak terbatas dan tidak dapat dibatasi, maka negara dapat
menetapkan apa saja.

 Faham kedaulatan rakyat ini mempunyai konsekuensi mengenai struktur negara. Karena
negara adalah rakyat sendiri dan bukan suatu lembaga berhadapan dengan rakyat, maka
juga tidak perlu, bahkan tidak masuk akal, untuk melindungi rakyat, atau para warga
negara terhadap penyalahgunaan kekuasaan oleh negara. Maka, paham hak asasi manusia
tidak ada tempatnya di dalam paham kedaulatan rakyat ini. Dengan alasan yang sama
Roussau tidak setuju dengan adanya lembaga perwakilan rakyat. Kedaulatan rakyat tidak
dapat diwakilkan. Argumen menolak perwakilan: Menururt Rousseau, setiap perwakilan,
sebagaimana dipilih dalam pemilihan umum, sudah mencampuri atau mengotori identitas
rakyat dan negara dan dengan demikian merupakan keterasingan, jadi negara kembali
menjadi sebagai sesuatu yang heteronom. Dalam hal ini Rousseau merupakan pendukung
demokrasi langsung.

Kehendak mayoritas vs kehendak minoritas


 Apa yang harus dilakukan manakala rakyat dalam memutuskan sesuatu tidak ada kata
sepakat. Apakah itu berarati ada dua kehendak umum? Menurut Rosseau, hanya ada satu
kehendak umum, karena kepentingan umum memang satu. Tetapi Roussseau sendiri
menyadari bahwa selalu ada kemungkinan untuk tidak sepakat. Namun fakta
ketidaksepakatan itu, menurut Rousseau, tidak mengancam negara, karena baginya tetap
kehendak umum itu hanya satu.

 Menurut Rosseau, negara hanya sah kalau manusia, dalam menaati negara, menaati diri
sendiri, tetapi dengan persyaratan: Asal saja negara tetap bergerak dalam batas-batas
wewenang yang telah ditetapkan oleh warga negara. Jadi, semua warga negara tanpa
kecuali harau menyetuji kehendak negara. Namun bagaimana kalau masih ada yang mati-
matian tetap tidak setuju. Rousseau menjawab: Pertama sekali, bagi mereka yang mati-
matian tidak setuju, itu artinya, mereka tidak mengerti apa yang merupakan kepentingan
umum, dan bagi mereka itu harus dibina dan diarahkan agar mereka paham. Kedua,
kehendak umum muncul dalam kehendak mayoritas. Minoritas yang tidak setuju adalah
mereka yang belum dapat membedakan antara kepentingan egois sendiri dan kepentingan
umum, dimana kepentingan umum itu sebenarnya juga kepentingan mereka dan karena
itu sebetulnya juga mereka kehendaki.

 Minoritas: bagi Rousseau minoritas yang berpikir lain adalah orang-orang yang memiliki
mental yang belum memadai, kurang rasional dan belum matang dalam kesadaran
sebagai warga negara. Memang untuk menghendaki kepentingan umum orang harus luas
pandangannya, ia harus sanggup untuk selalu memperhatikan keseluruhan. Singkatnya,
ada minoritas yang berkehendak lain dari mayoritas disebabkan minoritas belum paham
akan apa yang seharusnya mereka kehendaki.

75
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

 Pertanyaan lagi: bagaimana kalau ada dua pihak dengan kehendak berlawanan. Dua-
duanya mengklaim bahwa mereka menghendaki apa yang paling sesuai denan
kepentingan umum. Jawaban Rosseau tetap, yakni bahwa yang diputuskan adalah apa
yang dikehendaki oleh pihak yang lebih banyak. Tetapi apakah ada alasan rasional bahwa
yang diputuskan oleh mayoritas itu betul sebuah kepentingan umum? Rousseau mengakui
masalah ini namun tidak sanggup untuk memberikan jawaban. Bahwa Rousseau
mengikat kehendak umum pada kehendak mayoritas bersifat sewenang-wenang dan oleh
karena itu merupakan kelemahan teorinya. Dengan konstruksi itu minoritas tidak hanya
dinyatakan kalah melainkan juga salah.

Agama sipil (religion civile)


 Bagaimana kalau ada warga yang tetap tidak mau tahu, yang tetap mempertahankan
kehendak keliru mereka? Karena sikap mereka mengancam kesatuan kehendak negara,
maka mereka tidak dapat dibiarkan. Rousseau menulis: “Siapa yang menolak untuk taat
terhadap kehendak umum, akan dipaksa untuk itu oleh seluruh masyarakat”. Untuk
menunjang usaha penciptaan kesadaran itu maka negara menurut Rousseau harus
menciptakan suatu “agama sipil” (religion civile). Agama negeri ini membuat ibadat
sekuler dengan tujuan untuk menunjukkan kesucian semangat kenegaraan, untuk
membentuk kesadaran warga negara akan keutamaan patriotik, kesediaan berkorban dan
perasaan cinta pada rakyat dan taat terhadap kehendaknya.

 Roussau membagi 4 tipologi agama:


Menurut Rouseau, hubungan antara politik dan agama adalah hubungan konflik.
Menghadapi itu ia menganalisis hubungan agama dan politik itu dalam model-model
agama.
1. Religion de l’homme (agama manusia)
2. Religion du citoyen (agama warga negara)
3. Religion du pretre (agama klerus)
4. Religion civile (agama sipil).
Rousseau mengakui peran agama bagi negara namun menolak identifikasi agama dan
negara. Baginya, negara lain dari agama, namun ko-eksistensi. Namun bagaimana
menciptakan sebuah agama (bukan agama wahyu) yang dapat membentuk sikap taat dan
loyal bagi kepentingan negara. Itulah teorinya tentang agama sipil. Agama sipil itu tidak
sama dengan agama manusia, agama warga, dan agama klerus.

 Agama klerus: Agama klerus secara politis sama sekali tidak berguna, contohnya Agama
Katolik Roma. Agama ini adalah musuh negara paling berbahaya karena setiap orang
Katolik pasti menyembah dua tuan yaitu Gereja dan Negara. Ini membahayakan integritas
negara. Agama klerus adalah sebuah “model agama yang menindas manusia dengan
kewajiban kontradiktoris dengan cara memberikan mereka dua undang-undang, dua tuan
dan dua bangsa. Hal ini menghalangi manusia untuk menjadi saleh dan menjadi warga

76
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

negara sekaligus”. Pemahaman tentang agama mengantar Rousseau kepada sebuah


konsep tentang masyarakat umum yang bersifat terbuka dan masyarakat khusus yang
bersifat tertutup. Masyarakat umum dipengaruhi oleh agama manusia sedangkan
masyarakat khusus dibangun atas dasar agama warga.

 Agama warga: Agama ini berkembang dalam sebuah sistem teokratis, jadi tidak ada
pemisahan antara agama dan negara. Menurut Rousseau agama jenis ini ada dalam dunia
kafir, dimana zaman itu tidak ada perbedaan antara negara dan agama, dan agama yang
dimaksudnya afalah agama suku. Setiap bangsa atau kelompok bangsa memiliki
agamanya sendiri. Batas bangsa berlaku juga sebagai batas agama. Agama warga berlaku
juga sebagai sebuah tatanan kultural tertentu. Rousseau melihat agama warga sebagai
keuntungan bagi negara sebab identitas antara politik dan agama dapat mempererat dan
mempersatukan ritus ilahi dengan cinta terhadap undang-undang atau hukum negara.
Agama jenis ini mengajarkan bagi warga negara: “Mengabdi kepada negara berarti
mengabdi kepada Allah Pelindungnya”.

Meski demikian agama jenis ini tetap berbahaya bagi negara:


(1) Agama warga mengabaikan kebenaran ketika ia menempatkan kesejahteraan
komunitasnya sebagai prioritas. “Agama warga itu buruk ketika agama itu - dibangun di
atas kekeliruan dan kebohongan – menipu manusia, menjadikan mereka cepat percaya
dan menyembah berhala serta mengubah ibadat yang benar menjadi sebuah seremoni
kosong”.
(2) Agama warga membatasi diri pada ruang politis, budaya atau etnis tertentu. Segala
sesuatu yang berada di luar ruang politisnya dianggap musuh bagi negara dan juga bagi
Allah agamanya. Hal itulah yang membuat manusia penganutnya, menurut Rousseau,
tidak toleran dan haus darah. Warganegara menjadi haus akan pembunuhan dan
kekerasan. Ia yakin telah melakukan tindakan suci dan saleh “ketika menghabisi nyawa
setiap orang yang tidak mengakui eksistensi Allahnya”. Intoleransi tidak hanya
membahayakan bangsa lain tetapi juga bangsa sendiri ketika warganya harus hidup
dalam ketakutan dan kondisi selalu siap perang.

 Agama manusia: Agama ini berkaitan dengan masyarakat terbuka karena bersifat
universal. Jangkauan wilayahnya mencakup seluruh dunia. Agama ini mempunyai
pandangan etis universal dan melihat seluruh umat manusia sebagai anggota sebuah
komunitas persaudaraan. Sesamaku bukan saja sesama anggota komunitas politis (warga
negara), tapi semua manusia sebagai manusia terlepas dari batas-batas kultural, etnis, dan
bahasa. “Lewat agama yang benar dan kudus ini manusia memandang semua orang -
anak Allah -sebagai saudara”. Agama Kitab Suci dan agama Kristen masuk dalam
kategori ini. Alasannya, agama Kitab Suci berurusan dengan ritus spiritual murni dari
Allah Yang Mahatingi serta imperatif-imperatif moral yang bersifat abadi.

77
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

Kita melihat, agama manusia memiliki kualitas etis yang lebih tinggi dibandingkan
dengan agama warga. Agama manusia membangun dan mendorong toleransi dan
solidaritas sejagat. Akan tetapi dalam kerangka berpikir Rousseau agama manusia ini
merupakan bahaya bagi negara. Mengapa? Karena agama ini merusak kesatuan politis
sebagai negara lewat solidaritas universalnya. Ia juga dianggap tidak mampu
menciptakan hubungan antara agama dan komunitas politis serta menjauhkan warga
negara dari tatanan politis ketika ia mewartakan bahwa orang Kristen harus percaya kalau
tanah airnya bukan berasal dari dunia fana ini.

 Agama sipil: Kekuatan agama warga terungkap dalam kemampuannya untuk mendidik
warga negaranya menjadi patriotis. Namun di balik patriotisme itu tersembunyi kekuatan
destruktif intoleransi yang menganggap “yang lain” sebagai musuh. Sebaliknya, agama
manusia memiliki toleransi dan keterbukaan namun lemah kesatuan politisnya. Mengapa
lemah? Karena, agama manusia tidak pernah membiarkan undang-undang atau tatanan
hukum lain berada di sampingnya. Adapun konsep agama sipil Rosseau sebenarnya
kompromi antara agama warga dan agama manusia. Ia coba melampaui kedua tipe
agama ini yakni mengambil aspek-aspek positif dari kedua agama itu.

 Syarat-syarat sebuah agama sipil: (1) tidak boleh membawa manusia kepada sebuah
kontradiksi dengan dirinya sendiri; (2) ia harus mampu mengarahkan dan mengikat hati
warga negara kepada negara; (3) dan harus menunjang kebenaran dan toleransi.
Berdasarkan kriteria itu Rousseau membuat deskripsi tentang konsep agama sipil. Dan
pemahaman Rousseau tentang agama pada umumnya sejalan dengan tradisi pada waktu
itu. Agama memiliki dua aspek penting yakni: aspek metafisik dan aspek etis. Dalam
mengembangkan konsep agama sipilnya Rousseau harus mengabaikan dimensi metafisik
(seperti pertanyaan tentang keselamatan, hidup setelah mati dan hubungan antara
manusia dan Allah) dan hanya fokus pada fungsi etisnya.

 Mengapa Rousseau harus singkirkan aspek fundamental agama ini yakni aspek
metafisiknya? Rousseau menjelaskannya demikain: “Hukum yang didelegasikan oleh
kontrak sosial kepada pemegang kedaulatan atas rakyat tidak melampaui batas-batas
manfaat publik. Dalam kaitan dengan pandangan hidup, masyarakat hanya bertanggung
jawab kepada pemegang kedaulatan sejauh hal itu penting bagi kehidupan bersama
(politik)”. Jadi, ruang kewenangan negara adalah batas bergeraknya agama sipil. Negara
tidak punya hak untuk masuk ke ranah privat seperti pertanyaan-pertanyaan metafisik
tadi. Negara hanya memiliki kekuasaan dan wewenang di dunia ini; jadi, negara tidak
punya wewenang tentang dunia akhirat. Dimensi metafisik agama tetap menjadi urusan
suara hati setiap individu (privasi).

 Walaupun negara tidak berurusan dengan dimensi metafisik dari agama, Rousseau tetap
menekankan pentingnya warga negara menganut sebuah agama manusia (metafisik).
Karena agama itu mengajarkan warga negara untuk mencintai kewajibannnya. Negara
berurusan dengan dogma agama-agama hanya sejauh dogma tersebut berhubungan
dengan moral dan kewajiban. Dengan demikian konsep agama sipil Rousseau bersifat etis
dan imanen. Agama sipil bukan sebuah ajaran tentang keselamatan melainkan kumpulan
78
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

norma moral bagi warga negara. Agama sipil adalah sebuah moral sosial yang berlaku
untuk menjadi warga negara yang baik serta bawahan yang setia. Negara dapat
mengeksklusi seorang warga negara yang tidak percaya kepada doktrin agama sipil
bukan karena ia tidak percaya kepada Allah tetapi karena ia tidak sanggup mencintai
hukum dan keadilan serta mengorbankan hidupnya untuk negara dalam keadaan darurat.

 Substansi dogma agama sipil bersifat deistis dan berorientasi pada bonum commune
negara. Hal ini terungkap jelas dalam rumusan isi dogma-dogmanya: “Eksistensi
keallahan yang mahakuasa, mahatahu, mahabaik, yang mengetahui sebelumnya dan
merawat serta hidup di masa depan, kebahagiaan bagi yang berlaku adil dan hukuman
bagi yang jahat seperti juga kekudusan kontrak sosial dan undang-undang – demikian
rumusan dogma positif. Dalam kaitan dengan dogma negatif saya membatasi hanya
satu: intoleransi; ia dikategorikan sebagai ritus yang sudah ditolak”.

 Untuk memperjelas hubungan antara agama sipil dan politik, baiklah kita melihat secara
khusus peran agama manusia (metafisik) bagi pembuat undang-undang. Rousseau
berpendapat, satu persoalan mendasar yang dihadapi oleh seorang legislator adalah
bagaimana ia meyakinkan warga negara tentang undang-undang yang dibuatnya. Sang
legislator hanya berwewenang mengajukan undang-undang kepada rakyat. Selanjutnya,
rakyat yang diwajibkan oleh “kehendak umum” harus memutuskan untuk menerima atau
menolak sebuah undang-undang itu. Persoalannya adalah bagaimana meyakinkan setiap
individu untuk berpihak pada undang-undang yang rasional? Dalam hal ini Sang
legislator bersandar pada kekuatan transenden. Agama harus mampu meyakinkan
masyarakat untuk menerima undang-undang. Jadi, agama itu berperan memperkuat
otoritas sang pembuat undang-undang. Untuk legislator juga tidak terlalu penting, entah
sebuah agama itu benar atau tidak. Jika undang-undang diterima maka peran agama pun
bagi sang legislator juga berakhir.

 Sedangkan dalam hubungan dengan politik negara pada umumnya agama sipil
memainkan peran yang lain sama sekali. Agama sipil tidak hanya berlaku untuk waktu
yang terbatas, tapi harus mampu mengikat warga negara kepada negaranya secara
berkelanjutan. Agama sipil yang bersifat imanen itu membatasi diri pada tugas
meyakinkan warga negara untuk bertindak sekian sehingga bermanfaat bagi negara. Dan
tindakan tersebut harus lahir dari kemauannya. Seperti agama manusia (metafisik) dari
legislator, maka agama sipil pun berfungsi sebagai instrumen politik. Akan tetapi
karakter instrumental itu dikehendaki oleh warga negara dengan tujuan menstabilisasikan
loyalitas terhadap negara.

Penilaian terhadap agama sipil


 Rousseau tolak teokrasi karena ada identitas antara politik dan agama. Agama dipandang
sebagai sumber legitimasi politik. Raja adalah wakil Allah, sehingga loyalitas terhadap
undang-undang tidak lain adalah ungkapan kesalehan religius. Jadi, tak ada pemisahan
antara transendensi dan imanensi, antara politik dan agama, sementara Rousseau tetap
menghendaki adanya pemisahan antara politik dan agama.

79
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

 Dengan konsep agama sipil ini Rousseau mau menciptakan paradigma baru tentang relasi
agama dan negara. Konsep agama sipilnya memberikan motivasi dari dalam (kesadaran
kebajikan) kepada warga negara untuk bersikap loyal terhadap undang-undang serta
menciptakan ikatan dengan negara. Agama sipil mendidik warga negara untuk mencintai
kewajiban mereka sebagai warga negara. Lalu cinta kepada negara itu disempurnakan
lagi oleh masing-masing agama yang dianut oleh masing-masing warga negara, jadi lewat
agama manusia (metafisik). Di sini agama sipil itu sebenarnya berperan menciptakan
ruang bagi toleransi warga negara. Jadi, Rousseau berusaha agar warga negara mencintai
negara namun tidak boleh sekian mencintai sampai jatuh kepada patriotisme fanatis.

 Usaha Rosseau ini tampaknya sulit mengawinkan agama warga dan agama manusia.
Karena begitu warga negara membangun patriotisme (yakni kesediaannya untuk
mengorbankan hidupnya bagi negara) maka toleransi bisa terancam. Mengapa toleransi
terancam? Karena negara yang demikian tak akan pernah ada tanpa sebuah distingsi yang
tegas antara “luar” dan “dalam”. “Yang lain” dipandang sebagai musuh yang harus
dimusnahkan. Maka, toleransi pun menjadi sulit diwujudkan.

 Di samping itu konsep agama sipil juga tidak dapat menyelesaikan konflik antara
orientasi universal etika agama wahyu, seperti Kristen tetapi juga Islam dan patriotisme
masyarakat suatu negara yang bagaimanapun pasti selalu bersifat tertutup. Jadi, di sini
tetap ada konflik antara kosmopolitik dan nation state. Akan tetapi, dengan membatasi
substansi agama sipil pada norma etis hidup bersama dan eksistensi Allah yang secara
materil tidak dijelaskan secara detail, Rousseau, yakin telah menemukan konsensus dasar
minimal untuk sebuah masyarakat politis. Konsensus dasar ini memungkinkan setiap
warga negara hidup sesuai dengan panggilan suara hatinya. Selain penganut ateisme dan
agama-agama berhaluan fundamentalis, semua agama dan ideologi menemukan
tempatnya dalam rancangan moral sekular dari agama sipil itu.

 Dengan konsep agama sipil Rosseau coba menjembatani ketegangan antara individu
warga negara yang otonom dan negara, antara warga negara dan komunitas politik. Usaha
ini tentu gagal ketika Rousseau menganggap negara jauh lebih penting dari kebebasan
suara hati. Kesimpulannya, konsep agama sipil ini perlu dilengkapi dengan konsep politik
modern yang menempatkan otonomi individu warga negara sebagai sumber legitimasi
negara. Seorang manusia tidak pernah boleh dikorbankan hanya demi agama atau negara.
Betul bahwa agama, moralitas dan keutamaan pribadi adalah faktor penting dalam
kehidupan bernegara. Akan tetapi negara tidak dapat dan tidak boleh masuk terlalu jauh
ke dalam ruang itu. Jika tidak negara akan cenderung menjadi totaliter.

 Akhirnya, bagi Indonesia teori Rousseau ini penting, karena Pancasila itu adalah Agama
Sipil Indonesia, bahkan melampaui agama sipil Roseau. Pancasila memungkinkan
humanisme dan ketuhanan berada pada kesetaraan dalam kerangka negara Indonesia
yang majemuk agama dan suku. Ada sebuah dialektika antara nilai-nilai agama dan
kemanusiaan universal. Dalam rangka berpikir Pancasila, kita tidak bisa beriman kepada
Tuhan dan sekaligus mengorbankan manusia lain.

80
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

Pertemuan 16

Ujian Akhir Semester: Materi 7 pertemuan

1. Negara dan moral-agama


2. Negara hukum demokratis modern
3. Filsafat negara zaman Yunani
4. Filsafat negara Abad Pertengahan
5. Filsafat negara modern: Thomas Hobbes
6. Filsafat Negara modern: John Locke
7. Filsafat Negara modern: J.J. Rousseau

Daftar Pustaka
Anderson Perry, Asal-usul Postmodernitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Banawiratma J.B, SJ, Aspek-aspek Teologi Sosial, Yogyakarta: Kanisius, 1988.
Banawiratma J.B & J. Müller, Berteologi Sosial Lintas Ilmu. Kemiskinan sebagai Tantangan
Hidup Beriman, Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Bertens Kees, Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman, Jakarta: Gramedia, 2002.
Bertens Kees, Filsafat Barat Abad XX, Jilid II, Perancis, Jakarta: Gramedia, 1996.
Habermas Jürgen, Erkenntnis und Interesse, Franfkfurt: Suhrkamp, 1968.
Habermas Jürgen, Theorie und Praxis. Sozialphilosophische Studien, Frankfurt am
Main:Suhrkamp, 1971
Habemas Jürgen, Ilmu Teknologi sebagai Ideologi, Jakarta: LP3ES, 1990.
Hegel Georg Wilhelm Friedrich, Grundlinien der Philosophie des Rechts, Frankfurt am
Main:Suhrkamp, 1970.
Hegel Georg Wilhelm Friedrich, Phänomenologie des Geistes, Frankfurt am Main: Suhrkamp,
1970.

81
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

Höffe Otfried, Politische Gerechtigkeit. Grundlegung einer kritischen Philosophie von Recht und
Staat, Frankfurt am Main: Suhrkamp, 1988.
Kerber Walter, Sozialethik, Stuttgart: Kohlhammer, 1998.
Magnis-Suseno Franz, Etika Politik. Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta:
Gramedia, 1987.
Magnis-Suseno Franz, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Magnis-Suseno Franz, Pijar-pijar Filsafat. Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan,dari Adam
Müller ke Postmodernisme, Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Magnis-Suseno Franz, Berfilsafat dari Konteks, Gramedia, 1991.
Magnis-Suseno Franz, Kuasa dan Moral, Jakarta: Gramedia, 1988.
Marcuse Herbert, One Dimensional Man: Studies in the Ideology of Advanced Industrial Society,
London: Routledge & Kegan Paul, 1964.
Marx Karl/Friedrich Engels, Zur Kritik der Politischen Ökonomie, Berlin: Dietz, 1971.
Marx Karl/Friedrich Engels, Grundrisse der Kritik der politischen Ökonomie, Frankfurt:
Europäische Verlagsanstalt
Parekh Bhikhu, Rethingking Multicultralism. Keberagaman Budaya dan Teori Politik,
Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Poespowardojo Soerjanto/K. Bertens (ed.), Sekitar Manusia, Bunga rampai tentang Filsafat
Manusia, Jakarta: Gramedia, 1978.
Rawls John, A Theory of Justice, London/Oxford: Oxford University Press, 1972.
Ritzer George & Barry Smart, Teori Sosial, Jakarta: Nusamedia, 2011.
Sundhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional. Kritik Masyarakat Modern oleh Max Horkheimer
dalam Rangka Sekolah Frankfurt, Jakarta: Gramedia, 1982.
Sudarminta J, „Kritik Marcuse Terhadap Masyarakat Industri Modern“, dalam, M. Sastrapratedja
(ed), Manusia Multidimensional, Jakarta: Gramedia, 1982.

82
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

Profil Dosen Filsafat Sosial Politik

Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA


Pekerjaan: Sejak 1991 sampai sekarang, dosen tetap pada Fakultas Filsafat Agama Unika Widya
Mandira Kupang (Seminari Tinggi St. Mikhael Kupang: pendidikan calon Imam dioesen
Kupang, Atambua dan Weetebula serta calon imam biarawan CMF, OCD dan Hati terkudus
Yesus); di samping itu mengabdi pada Gereja Indonesia sebagai Badan Pengurus Komisi
Komunikasi Sosial Koferensi Wali Gereja Indonesia, di Jakarta.
Pendidikan Formal:
1. SMP dan SMA Seminari Kisol.
2. Gelar Sarjana Filsafat (Drs) pada STFK Ledalero.
3. Gelar MA (Magister Artium) dalam bidang filsafat politik pada Sekolah Tinggi Filsafat
Yesuit, Munchen, Jerman.
4. Gelar Dr. phil. (Doctor philosophiae) juga dalam bidang filsafat politik, pada
Universitas Munchen, Jerman. Studi S2 dan S3 di Jerman dengan beasiswa KAAD, dari
Konferensi Uskup Jerman, untuk kaderisasi awam Katolik.
5. Studi Postdoctoral, dengan beasiswa dari Kongregasi SVD Chichago-Amerika, di Iowa
State, AS: 2021- 2022.
Penalaman Pengabdian
1. Menulis di Koran, Majalah, dan Jurnal Ilmiah; menulis buku, satu buku Bahasa Jerman
diterbitkan di Jerman dan dua buku dalam bahasa Indonesia.
2. Konsultan ahli lepas partai politik di tingkat provinsi: PDI Perjuangan, Demokrat,
Gerindra, PKB dan NasDem.
3. Memberikan Pendidikan dan Pelatihan Eselon III pada Badiklat Provinsi NTT, bidang:
birokrasi dan politik; wawasan kebangsan, dan intergritas.
4. Memberikan Pendidikan dan Pelatihan DPRD se-Indonesia, selama dua tahun di
Kemendagri, dalam bidang optimalisasi peran legislasi DPRD.
5. Narasumber tetap di Kanwil Agama NTT pada setiap pertemuan antarpimpin agama dan
antartokoh agama se-NTT.
6. Sejak 2012 memberi ceramah dan seminar, di tingkat daerah dan nasional, tentang
politik, hukum, pendidikan, dan kerukunan agama.

83
Mata Kuliah Filsafat Sosial Politik Dr. phil. NORBERTUS JEGALUS, MA

7. Narasumber dalam pelbagai pertemuan gerejani di tingkat paroki, dekenat dan


keuskupan di NTT dan di tingkat KWI.
Pengalaman Penelitian: Beberapa penelitian penting, seperti:
1. Penelitian tentang Staatsidee Integralistik Supomo dengan meneliti langsung karya-karya
asli filsuf Adam Muller di Jerman dan dokumen asli Risalah Sidang BPUPKI di Arsip
Nasional di Jakarta, hasilnya: “Das Integralistische Staatsverstandnis nach Adam Muller
(1779-1829) und Seine Rezeption in Indonesien. Zur Debatte um die Gestalt des
Indonesischen Staates und die Interpretation der Pancasila-Doktrin”.
2. Penelitian tentang hubungan antara agama dan negara yang dibiayai oleh Pemda NTT
selama 6 bulan di beberapa perpustakaan dan institut agama di Jawa, dan kemudian
menjadi Disertasi Doktoral dan akhirnya diterbitkan di Jerman menjadi buku pada tahun
2009: Das Verhaltnis von Politik, Religion und Zivilreligion: untersucht Am Beispiel der
Pancasila.
3. Penelitian tentang faham “Invocatio Dei” di dalam konstitusi Negara RI, UUD Tahun
1945, dan bagaimana faham itu diimplementasikan dalam setiap Undang-Undang.
Hasilnya diterbitkan: “Invocatio Dei dalam Preambul UUD 1945 dan Implikasinya
dalam Ketatanegaraan Indonesia”, dalam: Paul Budi Kleden dan Otto Gusti Madung (ed),
Menukik Lebi dalam. Kenangan 40 Tahun STFK Ledalero, 2009
4. Penelitian tentang gagasan hukum progresif yang dicetuskan oleh Prof. Satjipto Rahardjo,
hasilnya diterbitkan menjadi buku, tahun 2011: Hukum Kata Kerja. Diskursus Filsafat
Tentang Hukum Progresif, yang diberi Kata Pengantar oleh Ketua Mahakamah
Konstitusi RI, Prof. Dr. Mahfud MD.
5. Penelitian terakhir tentang filsafat nilai Sutan Takdir Alisyahbana (STA), yakni
pandangan filsafat STA tentang nilai budaya dan agama, hasilnya diterbitkan oleh
Indonesian Journal of Interdisciplinary Islamic Studies (IJIIS), Vol 3 No. 2 March 2020:
“Modernizing Religion and Culture: Sutan Takdir Alisjahbana’s Philosophical
Perspective of Values”.

84

Anda mungkin juga menyukai