Anda di halaman 1dari 27

PENERAPAN ILMU FARAIDL

DALAM

PEMBAGIAN TIRKAH
Karya Tulis Ilmiah
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat mengikuti
Ujian Akhir

Oleh
FARHAN ADI NUGRAHA
NISN : 00536602474

MADRASAH ALIYAH AL ISHLAH PERSIS


PESANTREN PERSATUAN ISLAM 92 MAJALENGKA

TAHUN AJARAN 2022 – 2023


PENERAPAN ILMU FARAIDL
DALAM
PEMBAGIAN TIRKAH

Oleh
FARHAN ADI NUGRAHA
NISN : 00536602474

Disetujui Oleh :
Pembimbing

Drs. H. ACEP SAEFUDIN, M.Ed.

Mengetahui :
Al Mudirul’Am Mudir Mu’allimin

Aep Saepudin, S.Pd.I H. Moch. Ridwan

NIAT : 01.18.33053.064 NIAT : 0118.19616.064

ii
HALAMAN PENGESAHAN

Berdasarkan hasil sidang munasaqoh yang diselenggarakan pada :

Hari : .............., Tanggal : .................................... M /............................................H

Karya Tulis Ilmiah :

PENERAPAN ILMU FARAIDL

DALAM

PEMBAGIAN TIRKAH

Yang ditulis oleh :

NAMA : FARHAN ADI NUGRAHA


NISN : 00536602474
Dengan ini dinyatakan LULUS / TIDAK LULUS dengan predikat :
____________

Majalengka, ………..Mei 2023

…………….1442 H
Mengetahui
Mudir Mu’allimin

H. Moch. Ridwan
NIAT : 0118.19616.064
Mengesahkan,
Penguji

______________________

iii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur senantiasa dipanjatkan kehadiran Allah Swt yang
telah memberikan limpahan nikmat, rahmat, dan hidayatnya kepada seluruh
Makhluk-Nya. Tak lupa shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan
kepada Nabi Muhammad Saw. Dengan ridha dan karunia-Nya, alhamdulillah
penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah yang berjudul : “PENERAPAN
ILMU FARAIDL DALAM PEMBAGIAN TIRKAH”. Adapun tujuan
disusunnya karya tulis ini adalah untuk memenuhi syarat mengikuti ujian akhir di
MA Al Ishlah PERSIS. Penulis menyadari, bahwa tidak sedikit kekurangan yang
ada pada karya tulis ini, karena keterbatasannya ilmu yang dimiliki penulis, baik
dari segi materi maupun penyusunan kalimat.
Adapun dapat terselesaikannya karya tulis ini tidak terlepas dari bantuan
berbagai pihak. Oleh karena itu, tidak ada salahnya jika penulis mengahaturnya
banyak-banyak terima kasih kepada :
1. Al Ustadz Aep Saepudin, S.Pd.I. selaku Al Mudirul Am Pesantren
Persatuan Islam 92 Majalengka.

2. Al Ustadz H. Moch Ridwan selaku Mudir Mu'allimin Pesantren Persatuan


Islam 92 Majalengka.

3. Al Ustadz Drs. H. Acep Saefuddin, M.Ed. selaku pembimbing yang telah


membimbing penulis sampai terselesaikannya karya tulis ini.

4. Al Ustadzah Fitya Alfafa Aziz, S.Pd. selaku guru mata pelajaran Bahasa
Indonesia Mu'allimin Pesantren Persatuan Islam 92 Majalengka yang telah
membantu penulis dalam menyusun karya tulis ini.

5. Asatidz/Asatidzah yang telah membekali penulis dengan ilmu.

6. Orang tua dan keluarga tercinta yang senantiasa mendukung penulis, baik
secara do'a, moril, dan moteril.

7. Teman-teman terdekat yang selalu mendukung dan membantu penulis


dalam menyusun karya tulis ini.

iv
8. Semua pihak lain yang terlibat dalam penyusunan karya tulis ini.
Atas segala bentuk kebaikannya, penulis ucapkan Jazaakumullahu Khoiron
Katsiron. Tak lupa, penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya atas segala
kekurangan dan kesalahan dalam karya tulis ini.
Majalengka, Mei 2023

Penulis

v
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN..............................................................................iii
KATA PENGANTAR............................................................................................iv
DAFTAR ISI...........................................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah.........................................................................1
A. Rumusan Masalah...................................................................................1
B. Tujuan penelitian.....................................................................................1
C. Metode Penelitian....................................................................................1
D. Sistematika Penulisan.............................................................................2
BAB II LANDASAN TEORI................................................................................3
A. Pengertian Ilmu Faraidl.........................................................................3
B. Pengertian Tirkah...................................................................................3
C. Hukum Mempelajari Ilmu Waris..........................................................4
D. Sebab-Sebab dan Penghalang-Penghalang Waris................................4
E. Ahli-Ahli Waris........................................................................................5
F. Bagian-Bagian Waris...............................................................................6
G. Definisi Adil Dalam Islam.....................................................................10
BAB III PEMBAHASAN....................................................................................13
A. Persepsi Masyarakat Dalam Pembagian Harta Waris Menurut
Hukum..13
BAB IV PENUTUP..............................................................................................18
A. Kesimpulan............................................................................................18
B. Saran.......................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................19
DAFTAR RIWAYAT HIDUP..............................................................................20

vi
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum kewarisan salah satu hukum islam yang mengatur tentang pemindahan
harta peninggalan atau tirkah, menentukan siapa-siapa saja yang berhak menjadi
ahli waris dan berapa bagian masing-masing. Dalam beberapa buku bacaan islam
ditemukan beberapa istilah untuk menamakan hukum kewarisan, seperti : Fiqih
Mawaris dan Ilmu Faraidl.
Problema keluarga sehubungan dengan pembagian harta waris, akan
bertambah rumit apabila diantara para ahli waris ingin menguasai harta
peninggalan, sehingga berdampak merugikan orang lain. Tak heran permusuhan
antara satu dengan lainnya sulit dipadamkan. Akhirnya solusi yang ditawarkan
dalam pembagian waris tersebut itulah dengan dibagi sama rata. Atau ada juga
yang menyelesaikannya di meja pengadilan dan upaya lainnya.
Adapun yang berwenang membagi harta waris atau yang menentukan
bagiannya yang berhak mendapatkan waris dan yang tidak, bukanlah orang tua
anak keluarga atau orang lain, tetapi Allah Subhanahu Wa Ta’la seperti firmannya
dalam Surat An Nisa Ayat 11 yang artinya : “Allah Mensyariatkan Bagi Kalian
Tentang (Pembagian Harta Waris) Untuk Anak-Anak Kalian”.
Ketika seseorang muslim meninggal dunia dan meninggalkan harta warisan,
seharusnya dibagi sesuai dengan hak-hak ahli waris yang sudah ditetapkan oleh
Allah Subhanahu Wa Ta’la. Akan tetapi, kenyataannya umat muslim yang awam
masih belum bisa membagi harta warisan sesuai dengan hukum kewarisan karena
kurangnya pemahaman tentang hukum waris.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menulis karya tulis ilmiah yang
berjudul tentang “Penerapan Ilmu Faraidl Dalam Pembagian Tirkah”.
A. Rumusan Masalah

1. Apa itu Ilmu Faraidl


2. Apa hukum mempelajari Ilmu Faraidl
3. Bagaimana definisi adil dalam islam
4. Bagaimana persepsi masyarakat tentang pembagian waris
B. Tujuan penelitian

1. Untuk mengetahui ilmu faraidl


2. Untuk mengetahui hukum mempelajari ilmu faraidl

1
3. Untuk mengetahui definisi adil dalam islam
4. Untuk mengetahui persepsi masyarakat tentang pembagian waris
C. Metode Penelitian

Metode yang penulis gunakan dalam menyusun karya tulis ilmiah ini adalah
penulisan kepustakaan library research, yaitu mengumpulkan data-data dan
informasi yang buku internet dan sumber tertulis lainnya, dan penulis juga
menggunakan metode wawancara kepada masyarakat yg berkaitan dengan judul
tersebut.
D. Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Metode Penulisan
1.4 Sistematika Penulisan
BAB II : Tentang Ilmu Faraidl
2.1 Pengertian Ilmu Faraidl
2.2 Hukum Mempelajari Ilmu Faraidl
2.3 Definisi Adil Dalam Islam
BAB III : Persepsi Masyarakat Terhadap Ilmu Faraidl
3.1 Persepsi Masyarakat Tentang Pembagian Waris
BAB IV : Penutup
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran

2
BAB II LANDASAN TEORI

A. Pengertian Ilmu Faraidl

Secara bahasa, kata Faraidl (‫ )فرائض‬adalah bentuk Jama’ dari Faridhah (‫)فريضة‬
yang artinya “Bagian”. Ilmu Faraidl disebut juga Ilmu Waris atau Ilmu Hisab,
yaitu :
‫العلم الذي يؤدي إلى معرفة كل من له الحق في الحصول على التركة‬

yang artinya “Ilmu yang mengarah kepada ilmu tentang setiap orang
yang berhak menerima tirkah (Peninggalan)”.
Sementara, secara istilah Ilmu Faraidl memiliki beberapa definisi, yaitu :
1. Ilmu yang mempelajari tentang tatacara pembagian warisan kepada yang
berhak menerimanya.
2. Ilmu tentang aturan dan peraturan dari fikih dan hisab (hitungan) yang
diketahui dengannya setiap bagian ahli waris.
3. Disebut juga dengan fiqh Al-Mawaris dan Ilmu Al Hisab untuk
mengetahui dan menghitung setiap harta waris yang ditinggalkan.
4. Hukum yang mengatur tentang perpindahan hak pemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris.
Dari beberapa definisi diatas, jadi secara istilah Ilmu Faraidl adalah Ilmu yang
diambil dari Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’Ulama, dan Ijtihad Ulama yang
mempelajari tentang kewarisan untuk mengetahui ahli waris yang dapat mewarisi
dan yang tidak dapat mewarisi dan juga mengetahui kadar bagian setiap ahli waris
serta tatacara pembagiannya.
B. Pengertian Tirkah

Secara bahasa, kata (‫ة‬gg‫ )الترك‬berasal dari kata ‫ة‬gg‫برك – تيرك‬gg‫راك – ي‬gg‫ ت‬yang artinya
Peninggalan.
‫الشركةهيما تركه الميت من مال اوحق‬

Secara Istilah Tirkah adalah segala sesuatu yang ditinggalkan mayit (Mawaris)
baik berupa harta maupun hak. Oleh karena itu, Tirkah mencakup 4 hal berikut :
1. Kebendaan, berupa benda-benda bergerak dan tetap

2. Hak-hak yang mempunyai nilai kebendaan, seperti hak monopoli untuk


mendayagunakan dan menarik hasil dari sesuatu jalan, sumber air minum,
dan lain sebagainya. Termasuk juga hak memanfaatkan, seperti

3
memanfaatkan barang yang disewa dan dipinjam begitu juga hak yang
bukan kebendaan, seperti hak Syu’ah (Hak beli yang diutamakan) untuk
salah seorang anggota serikat atau tetangga atas tanah pekarangan atau lain
sebagainya yang dijual oleh anggota serikat yang lain atau tetangganya,
dan hak Khiyar seperti Khiyar Syarat

3. Sesuatu bentuk usaha yang dilakukan oleh pewaris sebelum meninggal


seperti Khamar yang telah menjadi cuka dan jerat yang menghasilkan
binatang buruan, keduanya dapat diwariskan kepada ahli warisnya

4. Diyat (Denda) yang dibayarkan oleh pembunuh yang melakukan


pembunuhan karena khilaf
C. Hukum Mempelajari Ilmu Waris

‫عن أبي هريرة قال ماَد َر ُسوُل هللا ص ال يا أبا هريرة َتعَلُم وا الَفرائُض َو َع ِلُم وَها َفِإَّنُه ِنْص ُت اْلِع ْلِم َو ُهَو ُبنَس ى َو ُهَو َأَّوُل‬
)‫ ِم ن َأمر )) (رواه ابن ماجه‬// ‫َش ْي‬

“Dari Abu Hurairah RA berkata : Rasulullah SAW bersabda : Wahai Abu


Hurairah, pelajarilah Faraidl dan ajarkanlah ia, sesungguhnya ia (Ilmu Faraidl) itu
setengah ilmu, ia akan dilupakan dan ia yang pertama kali ilmu yang dicabut dari
umatku”. (HR Ibnu Majah)
Dari hadits tersebut kita tahu bahwa mempelajari Ilmu Faraidl adalah hal
yang dianjurkan atau disunahkan, karena Ilmu Faraidl adalah Ilmu yang
membahas tentang bagaimana harta waris harus dibagikan setelah mewariskan
muwaris meninggal. Ilmu ini sangat penting untuk diketahui oleh setiap muslim,
karena dapat membantu dalam mengatasi masalah hukum waris dan memastikan
bahwa harta waris dibagikan dengan benar sesuai dengan syarat islam dan
dibagikan kepada ahli waris yang seharusnya mendapat bagian.
D. Sebab-Sebab dan Penghalang-Penghalang Waris

Sebab-sebab adanya waris adalah :


1. An - Nasab (‫( )أن نسب‬Hubungan Darah)
An Nasab atau hubungan darah mengandung pengertian hubungan ke atas,
seperti orang tua, (terus ke atas), hubungan ke baawah seperti anak (terus
ke bawah), dan hubungan ke samping saudara baik sekandung seayah
maupun seibu, dll

2. An - Nikah (‫( )الزواج‬Pernikahan)


Pernikahan menjadi sebab adanya saling mewarisi, sebab pernikahan
meliputi suami atau istri

4
3. Al – Wala’ (‫( )الوالء‬Pembebasan Budak Sahaya)
Jika seorang menebus seorang hamba sahaya sehingga si hamba tersebut
menjadi merdeka, maka yang memerdekakan itu disebut Al – Wala’. Sabda
Rasulullah SAW
‫)بانما الوالء ِلَم ن َأْع َتَق) رواه البخاري‬
“Hanyalah Al - Wala’ ini bagi yang memerdekakan”. (HR. Bukhari)
‫ َر ُجٌل َم اَت َع َلى َع ْهِد َر ُسوِل ِهللا ص َو َلْم َيُرُل َو اِرنا ِإاَّل َعْبًدا ُهَو اْعَتَقُه َفَأْع َطاُه ِم ْبَر اَنُه‬: ‫َعن اْبِن َعَّباس قال‬
)‫(احمد‬
“Dari Ibnu Abbas berkata : Seorang meninggal pada zaman Rasulullah
SAW dan tidak memiliki seorang ahli waris pun kecuali seorang hamba
yang ia bebaskan, maka ia berikan waris itu kepadanya”. (HR. Ahmad)
Adapun penghalang-penghalang waris adalah :
1. Pembunuhan (‫( )القاتل‬Ahli Waris Terhadap Pewaris)
Yaitu ahli waris membunuh pewaris, baik karena motif ingin segera dapat
waris maupun motif lainnya. Sabda Rasulullah SAW :
)‫القاتل ال يرث ( الترمذی‬
“Pembunuh tidak mewarisi”. (HR. Tirmidzi)

2. Perbedaan Agama (‫( )االختالفات الدينية‬Antara Ahli Waris Dengan Pewaris)


)‫ال يرُت الُم ْس ِلُم الَكاِفَر َو اَل اْلَك ِفيُر اْلُم ْس ِلَم (رواه البخاري‬
“Orang muslim tidak mewarisi kepada orang kafir, dan orang kafir tidak
mewarisi kepada orang muslim”. (HR. Bukhari)

3. Perbudakan (‫)الرق‬
Orang yang berstatus tidak apapun jenisnya, tidak bisa menerima harta
warisan karena bila seorang budak menerima warisan maka yang ia terima
itu menjadi milik tuannya. Padahal sang tuan adalah bukan siapa-siapanya
orang yang meninggal yang mewarisi hartanya.

E. Ahli-Ahli Waris

Ahli waris dari kalangan laki-laki, yaitu :


1. (‫ )األ ابن‬: Anak laki-laki
2. (‫ )ابن اإلبني‬: Cucu laki-laki dari anak laki-laki
3. (‫ )االبن‬: Ayah
4. (‫ )الجدوان على‬: Kakek dan seterusnya
5. (‫ )االخ الشقيق‬: Saudara laki-laki sekandung
6. (‫ )أخألب‬: Saudara laki-laki seayah
7. (‫ )أخألم‬: Saudara laki-laki seibu
8. (‫ )ابن االخش‬: Anak saudara sekandung

5
9. (‫ )ابن خ ألب‬: Anak laki-laki saudara seayah
10. (‫ )العم ش‬: Saudara ayah sekandung
11. (‫ )العم لالب‬: Saudara ayah seayah
12. (‫ )ابن العم ش‬: Anak paman sekandung
13. (‫ )ابن العم‬: Anak paman seayah
14. (‫ )الزرج‬: Suami
15. (‫ )الذي يحرر‬: Yang memerdekakan
Adapun ahli waris dari kalangan perempuan, yaitu :
1. (‫ )البنت‬: Anak perempuan
2. (‫ )بنت ابن‬: Cucu perempuan dari anak laki laki
3. (‫ )األم‬: Ibu
4. (‫ )الجدة لالب‬: Nenek dari ayah
5. (‫ )الجدة لالم‬: Nenek dari ibu
6. (‫ )أخت شقيقة‬: Saudari Sekandung
7. (‫ )أخت ألب‬: Saudari seayah
8. (‫ )أخت ألم‬: Saudari seibu
9. (‫ )الزوجة‬: Istri
10. (‫ )معتقة‬: Perempuan yang memerdekakan
F. Bagian-Bagian Waris

1. Bagian setengah (½)


Ahli waris yang mendapat bagian setengah ada lima ahli waris. Mereka
adalah :
a. ‫( الزرج‬Suami)
‫َو َلُك ْم ِنْص ُف َم ا َتَرَك َأْز َو اُج ُك ْم ِإْن َلْم َيُك ْن َلُهَّن َو َلٌد‬
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak”. (QS. An-Nisa’ : 12)
Suami mendapat bagian seperdua dengan syarat : Tidak ada far’ul Waris

b. ‫( البنت‬Anak Perempuan)
‫َو ِاْن َكاَنْت َو اِح َد ًة َفَلَها الِّنْص ُف‬
“Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh
setengah (harta yang ditinggalkan)”. (QS. An-Nisa’ : 11)
Anak perempuan mendapat setengah bagian dengan syarat : Tidak ada
mu’ashib atau mumatsil.

c. ‫( بنت االبن‬Cucu Perempuan)


Cucu perempuan mendapat setengah bagian dengan syarat : Tidak ada waladu
shuibi atau muashib maupun mumatsil.

6
d. ‫( أخت شقيقة‬Saudari Sekandung)
‫َيْسَتْع ُنوَنَك ُقِل هّللا ُيِتُك ْم ِفي الَك لَلة ِاِن اْم ُر َو َهَلَك َلْيَس َلُه َو َلٌد َو َلُه َو اخن َفَلَها ِنْص ُف َم ا َتَر َك‬
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah
memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia,
dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi
saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya”. (QS.
An-Nisa’ : 176)
Saudari sekandung mendapat setengah bagian dengan syarat : Tidak ada
ashlu dzakar, atau far’ul waris atau muashib maupun mumatsil.

e. ‫( المحن لالب‬Saudari Seayah)


Saudari seayah mendapat setengah bagian dengan syarat : Tidak ada ashlu
dzakar, atau far’ul waris atau salah satu dari dari asyqa atau muashib maupun
mumatsil.

2. Bagian Seperempat (¼)


Ahli waris yang mendapat seperempat bagian ada dua, yaitu :
a. ‫( الزرج‬Suami)
‫َفِاْن َك اَن َلُهَّن َو َلٌد َفَلُك ُم الُّر ُبُع ِمَّم ا َتَر ْك َن ِم ْۢن َبْع ِد َوِص َّيٍة ُّيْو ِص ْيَن ِبَهٓا َاْو َد ْيٍن‬
“Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapat
seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang
mereka buat atau (dan setelah dibayar) utangnya”. (QS. An-Nisa’ : 12)
Suami mendapat seperempat bagian dengan syarat : Ada far’ul waris

b. ‫( الزوجة‬Istri) atau ‫( الزوجات‬Beberapa Istri)


‫َو َلُهَّن الُّر ُبُع ِمَّم ا َتَر ْك ُتْم ِاْن َّلْم َيُك ْن َّلُك ْم َو َلٌد‬

“Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak”. (QS. An-Nisa’ : 12)
Istri atau beberapa istri mendapat seperempat bagian dengan syarat : Tidak
ada far’ul waris.

3. Bagian Seperdelapan (⅛)


Ahli waris yang mendapat bagian seperdelapan hanya satu, yaitu : Istri atau
beberapa istri dengan syarat : Ada far’ul waris
‫َفِاْن َك اَن َلُك ْم َو َلٌد َفَلُهَّن الُّثُم ُن ِمَّم ا َتَر ْكُتْم ِّم ْۢن َبْع ِد َوِص َّيٍة ُتْو ُصْو َن ِبَهٓا َاْو َد ْيٍن‬
“Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta
yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah
dibayar) utang-utangmu”. (QS. An-Nisa’ : 12)

7
4. Bagian Sepertiga (⅓)
Ahli waris yang mendapat sepertiga bagian ada dua, yaitu :
a. ‫( األم‬Ibu)
‫َفِاْن َّلْم َيُك ْن َّلٗه َو َلٌد َّو َو ِرَثٓٗه َاَبٰو ُه َفُاِلِّمِه الُّثُلُث‬

“Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua
ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga”. (QS. An-Nisa’ : 11)
Ibu mendapat sepertiga bagian dengan syarat : tidak ada far’ul waris atau
tidak ada dua atau lebih saudara/saudari sekandung/seayah maupun seibu.

b. ‫( االخت او االخوات لالم‬Saudara/Saudari Seibu)


‫َفِإْن َكاُنوا َأْكَثَر ِم ْن َٰذ ِلَك َفُهْم ُش َر َكاُء ِفي الُّثُلِثۚ ِم ْن َبْع ِد َوِص َّيٍة ُيوَص ٰى ِبَها َأْو َد ْيٍن َغْيَر ُمَض اٍّر ۚ َوِص َّيًة ِم َن ِهَّللاۗ َو ُهَّللا َع ِليٌم‬
‫َح ِليٌم‬
“jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam
yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah
dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”. (QS. An-Nisa’ : 12)
Saudara/Saudari Seibu mendapat sepertiga bagian dengan syarat : Tidak ada
far’ul waris atau ashlu dzakar.

5. Bagian Dua pertiga (⅔)


Ahli waris yang mendapat dua pertiga bagian ada empat, yaitu :
a. ‫( فتاتين أو أكثر‬Dua Anak Perempuan atau Lebih)
‫َفِاْن ُك َّن ِنَس ۤا ًء َفْو َق اْثَنَتْيِن َفَلُهَّن ُثُلَثا َم ا َتَرَك‬

“Jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan”. (QS. An-Nisa’ : 11)
Dua anak perempuan atau lebih mendapat dua pertiga bagian dengan syarat :
Tidak ada muashib.

8
b. ‫( أختان أو أكثر‬Dua Saudari Perempuan Sekandung atau Lebih)
‫َفِإن َكاَنَتا ٱْثَنَتْيِن َفَلُهَم ا ٱلُّثُلَثاِن ِمَّم ا َتَرَك‬

“Jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka
bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal”.
(QS. An-Nisa’ : 176)
Dua saudari perempuan sekandung atau lebih mendapat dua pertiga bagian
dengan syarat : Tidak ada ashlu dzakar, atau far’ul waris maupun mu’ashib.

c. ‫( االختان لالب‬Dua Saudari Perempuan Seayah atau Lebih)


Dua saudari perempuan seayah atau lebih mendapat dua pertiga bagian dengan
syarat : Tidak ada ashlu dzakar, atau far’ul waris atau salah satu dari Asyqa atau
mu’ashib.
d. ‫( حفيدتان أو أكثر‬Dua Cucu Perempuan atau Lebih)
Dua cucu perempuan atau lebih mendapat dua pertiga bagian dengan syarat :
Tidak ada waladu shulbi atau muashib

6. Bagian Seperenam (⅙)


Ahli waris yang mendapat seperenam bagian ada tujuh, yaitu :
a. ‫( االبن‬Ayah)
‫َو َاِلَبَو ْيِه ِلُك ِّل َو اِحٍد ِّم ْنُهَم ا الُّسُدُس ِمَّم ا َتَرَك ِاْن َك اَن َلٗه َو َلٌد‬

“Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak”. (QS. An-Nisa’ : 11)
Ayah mendapat seperenam bagian dengan syarat : Adanya far’ul waris

b. ‫( األم‬Ibu)
Ibu mendapat seperenam bagian dengan syarat : Adanya far’ul waris atau
dua/lebih saudara/saudari sekandung/seayah atau seibu.

c. ‫( الجدالب‬Kakek dari Ayah)


Kakek dari ayah mendapat seperenam bagian dengan syarat : Tidak ada ‫االبن‬
(ayah) atau adanya far’ul waris.

9
d. ‫( الحية لآلب‬Nenek dari Ayah)
‫ اثنتان من األب‬، ‫عن عبد الرحمن بن يزيد (رضي هللا عنه) أن النبي الكريم قد أعطى سدس الميراث لثالث جدات‬
‫وواحدة من األم‬

“Dari Abdurrahman bin yazid RA berkata : bahwa Rasulullah SAW telah memberi
waris seperenam pada tiga nenek, dua dari pihak ayah dan satu dari pihak ibu”.
Nenek dari ayah mendapat seperenam bagian dengan syarat : Tidak ada ayah
dan ibu, sedangkan nenek dari ibu (‫ )الحدة لالم‬tidak ada ibu saja.

e. ‫( االحن لالب‬Saudari Seayah)


Saudari seayah seorang atau lebih mendapat seperenam bagian dengan syarat :
Adanya Saudari Perempuan Sekandung ( ‫ )االختش‬yang mendapat setengah dan tidak
ada muashib.

f. ‫( بنت االبن‬Cucu Perempuan)


‫َقَض ى َالَّنِبُّي صلى هللا عليه وسلم ِلاِل ْبَنِة َالِّنْص َف َواِل ْبَنِة َااِل ْبِن َالُّسُد َس َتْك ِم َلَة َالُّثُلَثْيِنَوَم ا َبِقَي َفِلُأْلْخ ِت) َر َو اُه َاْلُبَخ اِرُّي‬

“Nabi SAW menetapkan : untuk anak perempuan setengah, cucu perempuan


seperenam sebagai penyempurna dua pertiga dan selebihnya adalah milik saudara
perempuan”. (HR. Bukhari)
Cucu perempuan mendapat seperenam bagian dengan syarat : Adanya anak
perempuan yang mendapat setengah atau tidak ada muashib.

g. ‫( المخ او الماحت لالم‬Saudari Seibu)


‫وان َك اَد َر ُجٌل ُيوَر ُث َكاَلُه َأِو اْمَر َأٌة َو َلُه و َأٌخ َأو ُأخت َوِلَّل واحٍد الُّسُدُس‬

“Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan
ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki
(seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-
masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta”. (QS. An-Nisa’ : 12)
Saudari seibu mendapat seperenam bagian dengan syarat : Ada mumatsil, atau
far’ul waris maupun ashlu dzakar.
Catatan :
1. Far’ul Waris (‫ )فار الواريس‬yang artinya cabang waris, yaitu ahli waris garis
ke bawah dari mayit, mereka itu adalah : anak laki-laki ( ‫)األ ابن‬, cucu laki-
laki dari anak laki-laki ( ‫د االبن‬gg‫)حفي‬, anak perempuan (‫)ابن ة‬, dan cucu
perempuan dari anak laki-laki (‫)است االبن‬.

10
2. Ashlu Dzakar (‫ار‬g‫ )اشلو دزاك‬yang artinya pokok laki-laki, yaitu ahli waris
garis ke atas dari mayyit ke kelompok laki-laki. Mereka adalah : ayah (
‫ )األب‬dan kakek dari seterusnya (‫)الجدوان على‬.

3. Waladu Shulbu (‫ )والدو شولبي‬yang artinya anak kandung, mereka adalah :


anak laki-laki ( ‫ )األ ابن‬dan anak perempuan (‫)البنت‬

4. Mu’ashib (‫عب‬gg‫ )مص‬artinya yang mengakibatkan mendapat ashobah atau


sisa, maksudnya pasangan laki-laki (sebagai ashib binafsihi) dari ahli
waris perempuan mereka itu adalah :
a. ‫( األ ابن‬anak laki-laki) menjadi mu’ashib bagi ‫( البنت‬anak perempuan)
b. ‫( ابن اإلبني‬cucu laki-laki) menjadi mu’ashib bagi ‫( بنت ابن‬cucu perempuan)
c. ‫( االخ الشقيق‬saudara sekandung) menjadi mu’ashib bagi ‫( أخت شقيقة‬saudari
sekandung)
d. ‫( أخألب‬saudara seayah) menjadi mu’ashib bagi ‫( أخت ألب‬saudari seayah)

5. Mumatsil (‫ )مومتسيل‬artinya yang semisal/sejenis maksudnya ahli waris yang


sejenis. Mereka adalah :
a. ‫( البنتان‬dua anak perempuan)
b. ‫( بنا االبن‬dua cucu perempuan)
c. ‫( شقيقان‬dua saudari sekandung)
d. ‫( أختان غير شقيقتين‬dua saudari seayah)
G. Definisi Adil Dalam Islam

Kata adil berasal bahasa arab yang secara harfiyah berarti sama. Menurut
kamus Bahasa Indonesia, adil berarti sama berat, tidak memihak, berpihak kepada
yang benar, berpegang kepada kebenaran dan sepatutnya. Dengan demikian, orang
disebut berlaku adil apabila ia tidak berat sebelah dalam menilai sesuatu tidak
berpihak kepada salah satu kecuali keterpihakannya kepada siapa saja yang benar
sehingga ia tidak akan berlaku sewenang-wenang.
Pembahasan tentang adil merupakan salah satu tema yang mendapat perhatian
yang serius dari para ulama dan intelektual muslim, Dalam buku “Wawasan Al-
Qur’an”. Prof. Dr. M. Quraish Shihab membahas perintah penegasan keadilan
dalam Al-Qur’an dengan mengutip tiga kata, yakni Al Adl, Al Qisth, dan Al
Mizan.
Kata Al Adl menunjuk kepada arti “sama” yang memberi kesan adanya dua
pihak atau lebih, sedangkan kata Al Qisth menunjuk kepada arti “bagian” (yang
wajar dan patut), dan Al Mizan menunjuk kepada arti alat untuk menimbang yang
berarti pula “keadilan”. Ketiganya sekalipun berbeda bentukannya, namun
memiliki semangat yang sama yakni perintah kepada manusia untuk berlaku adil.

11
Prof. Dr. Yusuf Qardlawi dalam bukunya “Sistem Masyarakat Islam Dalam
Al-Qur’an dan Sunnah” memberikan pengertian adil adalah memberikan kepada
segala yang berhak akan haknya, baik secara pribadi atau mengurangi haknya dan
tidak pula menyelewengkan hak orang lain.
Dari berbagai pengertian diatas, ada setidaknya tiga hakekat keadilan yang
harus kita tegakkan, yaitu :
1. Adil Dalam Arti Sama
Yaitu perlakuan yang sama atau tidak membedakan antara satu dengan yang
lain, menyangkut persamaan hak perlindungan atas kekerasan, kesempatan dalam
pendidikan peluang medapatkan kekuasaan, memperoleh pendapatan dan
kemakmuran juga persamaan dalam hak, kedudukan dalam proses di muka hukum
tanpa memandang ras, kelompok, kedudukan/jabatan, kerabat kaya atau miskin,
orang yang disukai atau dibenci terhadap musuh sekalipun.
‫َوِاَذ ا َح َك ْم ُتْم َبْيَن الَّناِس َاْن َتْح ُك ُم ْو ا ِباْلَع ْد ِل‬
“Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu
menetapkannya dengan adil”. (QS. An-Nisa’ : 58)

2. Adil Dalam Arti Keseimbangan


Seimbang disini tidak selalu sama antara dua pihak tersebut secara kuantitatif,
tapi lebih kepada proposional dan profesional disini, keadilan identik dengan
kesesuaian, bukan lawan kata “kezhaliman”. Yakni kesesuaian antara ukuran
kadar dan waktu ia tetapkan apabila memang kondisi menghendaki demikian
Allah Swt menciptakan alam semesta dengan segala isinya, termasuk pada diri
kita dengan keseimbangan yang sangat tepat.
٧ ‫ اَّلذى َخ َلَقَك َفَس َم ا َفَعَد َلَك‬۶ ‫ياتها االنسان َم ا َعَرَك ِبَر ِتَك الَك ِر يم‬

“Wahai manusia! Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka)


terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah? Yang menciptakan kamu lalu
menyempurnakan kejadianmu dan menyambungkan (kejadian) Mu”. (QS. Al-
Infitar : 6-7)
Adil dalam pengertian ini merupakan hakikat yang penting dalam keadilan.
Namun keseimbangan bukan berarti kesamaan dalam penghasilan, tetapi jangan
pula terjadi jurang pemisah yang sungai tajam atau tidak ada unsur pemerataan
diantara sesama anak bangsa. Kesempatan diberikan kepada semua orang dengan
jumlah yang sama, namun apa yang diperolehnya sangat tergantung pada usaha
yang dilakukan ketika pembangunan hanya berpusat ditempat tertentu itu
namanya tidak adil, karena tidak ada keseimbangan dan ini akan menimbulkan
kecemburuan sosial yang berbahaya bagi suatu masyarakat.

12
3. Adil Dalam Pengertian “perhatian terhadap hak-hak individu dan
memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya
Adil dalam pengertian inilah yang didefinisikan dengan menempatkan sesuatu
pada tempatnya atau memberi pihak lain haknya melalui jalan yang terdekat.
Lawannya adalah kezhaliman yaitu menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya.
Dengan demikian, memasang peci di kepala adalah keadilan dan meletakkan di
kaki adalah kezhaliman. Pengertian keadilan seperti ini melahirkan keadilan sosial
dimana setiap muslim terutama pemimpinnya wajib menegakkannya.
Setiap manusia tentu mempunyai hak untuk memilih atau melakukan sesuatu,
karena hak-hak itu harus diperhatikan dan dipenuhi dengan sebaik-baiknya. Hak-
hak setiap manusia itu misalnya : hak untuk hidup, memiliki sesuatu, belajar,
bekerja, berobat, kelayakan hidup, dan jaminan keamanan. Kesemua itu harus
diberikan kesempatan yang sama kepada setiap orang.
Karena itu, di dalam islam seseorang tidak dibenarkan melakukan pembunuhan
tanpa alasan yang benar karena yang demikian itu berarti ia telah merampas hak
orang lain. Allah Swt berfirman :
‫َو اَل َتْقُتُلوا الَّنْفَس اَّلِتي َح َّر َم ُهَّللا ِإاَّل ِباْلَح ِّقۗ َوَم ْن ُقِتَل َم ْظُلوًم ا َفَقْد َجَع ْلَنا ِلَو ِلِّيِه ُس ْلَطاًنا َفاَل ُيْس ِر ْف ِفي اْلَقْتِل ۖ ِإَّنُه َك اَن‬
‫َم ْنُصوًرا‬

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya),


melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara
zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya,
tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya
ia adalah orang yang mendapat pertolongan”. (QS. Al-Isra’ : 33)

13
BAB III PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis akan menguraikan hasil wawancara di berbagai tempat
mengenai tentang persepsi masyarakat dalam pebagian waris menurut hukum
islam. informasi yang di dapatkan merupakan hasil wawancara dari beberapa
sumber yaitu 2 orang santri mualimien, 2 orang masyarakat dan I orang asatidzah
pesantren persatuan islam 92 majalengka. hasil wawancara ini akan dibahas
sebagai berikut :
A. Persepsi Masyarakat Dalam Pembagian Harta Waris Menurut
Hukum Islam

Persepsi adalah tindakan menyusun, mengenali, dan menafsirkan informasi


sensoris guna memberikan gambaran dan pemahaman tentang lingkungan.
Persepsi meliputi semua sinyal dalam sistem saraf, yang merupakan hasil dari
stimulasi fisik atau kimia dari organ pengindra.
Untuk mengetahui persepsi masyarakat dalam pembagian harta waris menurut
hukum islam, penulis menanyakan beberapa pertanyaan kepada narasumber agar
dapat mengetahui persepsi narasumber terhadap pembagian harta waris menurut
hukum islam, hasil wawancara akan di bagi menjadi 3 bagian yaitu :
1. Wawancara Kepada Santri Mualimien
Pada wawancara santri Mualimien penulis mewawancarai 2 orang santri
Mualimien yaitu saudara Berry Rizky Farhannullah siswa kelas 12 Mualimin PPI
92 Majalengka pada 9 Maret 2023 di Masjid Al Manar dan saudari Naila Awwalia
Ramdhini pada 18 Maret 2023 sebagai siswa kelas 11 Mualimin PPI 92
Majalengka yang sekarang sedang menjabat sebagai ketua di organisasi santri
Ummahatul Ghad.
Pada wawancara dengan Berry dan Naila Penulis menanyakan dengan
beberapa pertanyaan. pertanyaan yang pertama yaitu apakah Ilmu Faraidl itu?
Berry Berpendapat bahwa menurut saya istilah Faraidl itu adalah tentang cara
membagi waris dari seseorang yang sudah meninggal, Ilmu Faraidl ini sangat
dibutuhkan bagi manusia dan bagi keturunan keturunannya agar warisan itu
terbagi adil. Sedangkan Naila berpendapat bahwa setahu saya Ilmu Faraidl adalah
ilmu yang mempelajari tentang siapa aja yang berhak mendapatkan tirkah atau
peninggalan.
Dari hasil wawancara pertanyaan pertama kepada santri Mualimin untuk
masalah apa itu Ilmu Faraidl atau ilmu waris sendiri mereka sudah mengetahuinya
yaitu Ilmu Faraid adalah ilmu yang mempelajari tentang cara membagi harta waris
sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Al - Qur’an dan Sunnah.

14
Kemudian Pertanyaan yang kedua adalah bagaimana hukum membagi harta
waris dengan hukum islam apakah itu penting atau tidak? Berry perpendapat
bahwa pembagian waris itu sangat penting karena apabila tidak ada pembagian
waris maka harta waris tersebut tidak akan teratur. Dan penulis menanyakan
kepada Naila mengenai hukum mempelajari Ilmu faraid! kemudian Naila
berpendapat bahwa hukum mempelajari Ilmu Faraidl adalah fardhu kifayah yaitu
cukup diwakilkan saja oleh ahlinya.
Berdasarkan hasil wawancara pertanyaan kedua bahwa membagi harta waris
itu penting karena bagaimanapun didalam harta waris tersebut terdapat hak para
ahli waris. Jika harta waris tidak dibagikan dikhawatirkan akan terjadi perselisihan
antar saudara. Maka dari itu, harta waris penting untuk dibagikan sesuai dengan
hukum islam yang telah ditetapkan.
Kemudian pertanyaan ketiga penulis menanyakan apakah pembagian harta
waris menurut hukum islam itu adil? Berry berpendapat bahwa hukum waris
dalam islam itu adil karena dalam pembagian pembagian tersebut banyak
perbedaan antara anak laki laki, anak perempuan, cucu dan sebagainya.
Sedangkan Naila berpendapat bahwa pembagian waris dalam islam itu adil karena
memang laki laki lebih besar pembagiannya daripada perempuan, karena laki laki
itu harus nafkahin anak anaknya dan istrinya, maka pembagian waris secara
hukum islam itu adil.
Dalam pembagian sebuah harta waris tentu saja yang diwarisi menginginkan
pembagian yang adil karena jika tidak dibagi dengan adil yang diwarisi bisa saja
berselisih. Dalam islam bagian bagian para ahli waris sudah ditetapkan dalam Al -
Qur'an dan Hadits. jadi, sudah pasti adil karena berdasarkan hasil wawancara
perkataan Berry dan Nailah benar bahwa bagian bagian dalam islam itu banyak
perbedaan laki laki dua bagian sedangkan perempuan satu bagian tentu saja ini
sangat adil karena laki laki mempunyai tanggung jawab untuk menafkahi
keluarganya.

2. Wawancara Kepada Masyarakat


Pada wawancara masyarakat penulis mewawancarai 2 orang masyarakat yaitu
saudara Aris Maulana pada 10 april 2023 di Bongas Wetan Sumberjaya yang ia
berstatus sebagai pelajar kelas 12 di SMK Negeri Kadipaten jurusan Teknik
Jaringan Komputer dan saudari Riska Oktaviani pada 2 April 2023 di Whatsapp
yang ia berstatus sebagai pelajar kelas 12 di SMA Negeri 1 Sumberjaya jurusan
IPA.
Pada wawancara kepada Aris dan Riska penulis menanyakan beberapa
pertanyaan, yang pertama yaitu jika ada seseorang meninggal dunia dan
meninggalkan harta, maka harta itu harus dibagaimanakan? Aris berpendapat
bahwa harta tersebut dibagi waris secara adil menurut hadits yang sudah tertera

15
jelas. Sedangkan Riska berpendapat bahwa Harta yang ditinggalkan oleh
seseorang sebaiknya dibagikan dengan adil menurut ketentuan syariat islam.
Di dalam membagi harta waris berdasarkan hukum islam tentu saja harus
menggunakan Al - Qur'an dan Hadits yang menjadi dasar hukum islam, tetapi
ketika di tanya hadits atau ketentuan syariat islam mana yang harus kita pakai
untuk membagi waris mereka tidak mengetahuinya mungkin karena mereka tidak
mempelajari tentang dalil-dalil dalam pembagian harta waris. Tetapi, ketika
mereka ditanya tentang setuju atau tidak dengan membagi harta waris sesuai
dengan hukum islam mereka menjawab sangat setuju.
Kemudian pertanyaan kedua penulis menanyakan kira kira ketentuan menurut
Al - Qur'an dan Hadits untuk bagian laki laki berapa untuk bagian perempuan
berapa? Aris mengatakan bahwa kalau untuk anak laki laki itu bisa sampai
seperempat dan untuk perempuan hanya setengah sampai sepertiga. Sedangkan
Riska mengatakan bahwa untuk bagian dari laki-laki dua kali lipat dari
perempuan, sebab tanggung jawab laki-laki lebih banyak dibandingkan
perempuan, tetapi untuk ahli waris lainnya terdapat syarat dan ketentuan yang
sudah ditentukan di dalam Al-Qur’an dan Hadits serta ilmu yang mempelajari
tentang waris yaitu Ilmu Faraidl.
Dalam menjawab pertanyaan kali ini. Aris keliru menyebutkan bahwa anak
laki laki mendapat seperempat dan perempuan hanya setengah sampai sepertiga
sedangkan Riska menjawab dengan benar sesuai Al - Qur'an surat An Nisa ayat 11
yaitu bagian seorang anak laki laki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan. Kemudian penulis bertanya kembali kepada Riska tentang Ilmu
Faraidl karena sebelumnya, Riska menyebutkan tentang Ilmu Faraidl, penulis
menanyakan menurut Riska sendiri Ilmu Faraidl itu apa? Riska mengatakan
bahwa Ilmu Faraid itu ilmu yang mempelajari tentang waris, didalamnya terdapat
syarat dan ketentuan dalam pembagian waris yang baik dan benar menurut islam.
Dalam menjawab pertanyaan mengenai definisi Ilmu Faraidl, sepertinya riska
pernah mempelajari Ilmu Faraidl. Maka dari itu, Riska ketika di wawancarai
mengenai pembagian harta waris Riska menjawab cukup paham dan Aris pun
sepertinya sudah mempelajari Ilmu Faraid tetapi agak sedikit lupa sampai sampai
menjawabnya keliru.
Kemudian pertanyaan ketiga penulis menanyakan apakah pembagian harta
menurut hukum islam itu adil? Aris mengatakan bahwa untuk anak laki laki bisa
sampai dapat seperempat itu bisa disebut adil karena anak laki laki bertanggung
jawab besar misalnya ketika sudah mempunyai anak harta waris tersebut bisa
untuk anak-anaknya dan istrinya juga, kalau anak perempuan kan bisa dapat
nafkah dari suaminya. Sedangkan Riska mengatakan bahwa cara pembagian harta
warisan telah diatur hukumnya dalam Al - Qur'an dengan prinsip yang paling adil.
jadi sudah pasti pembagian waris dalam hukum islam itu adil.

16
Pada pertanyaan kali ini Aris masih menjawab dengan keliru sedangkan Riska
menjawab bahwa pembagian harta waris dengan menggunakan hukum itu adil
karena di dasari oleh Al - Qur'an dan yang membagi harta itu sendiri Allah Swt
bukan manusia jadi pembagian harta waris menggunakan hukum islam itu sangat
adil.

3. Wawancara Kepada Asatidz


Pada wawancara Asatidz penulis mewawancarai salah satu Asatidzah di
pesantren persatuan islam 92 majalengka yaitu ibu Hj Siti Nurjanah beliau
merupakan salah satu guru di pesantren Persatuan Islam 92 Majalengka yang
khusus mengajar pelajaran fiqih syariah. penulis mewawancarai beliau pada 3
April 2023 di whatsapp karena satu dan lain hal yang tidak bisa mewancacarai
beliau secara langsung.
Pada wawancara kepada ibu Nur penulis menanyakan dengan beberapa
pertanyaan yaitu yang pertama apa hukum membagi waris dengan menggunakan
hukum islam? ibu Nur berpendapat bahwa “pembagian harta waris secara islam
itu hukumnya wajib, namun harta warisan itu adalah hak, dan hak itu harus
diminta dan boleh untuk tidak diminta atau tidak diambil".
Jika kita seorang muslim maka ketika ada seseorang meninggal dan
meninggalkan harta maka harta tersebut dibagikan kepada ahli waris dan wajib
menggunakan hukum islam karena sesuai dengan perkataan ibu Nur diatas bahwa
harta warisan itu haknya para ahli waris dan hak itu harus diminta dan boleh untuk
tidak diminta atau tidak di ambil.
Kemudian pertanyaan kedua penulis menanyakan apakah membagi harta
waris menurut hukum islam itu adil? jika iya mengapa? jika tidak mengapa? ibu
Nur berpendapat bahwa membagi hukum waris secara islam itu tentulah akan
dirasakan sangatlah adil, apabila yang melaksanakan pembagian waris adalah
orang orang yang beriman kepada Allah, karena bukan kita yang menentukan
Fardl (bagian-bagian) nya, tapi Allah dalam Q.S An - Nisa Ayat 11, dan orang
orang beriman kepada Allah dan yakin bahwa memiliki sifat maha adil, tentulah
dia akan mentaati dan melaksanakan perintahnya.
Dari wawancara diatas bahwa pembagian harta waris secara hukum islam itu
sangatlah adil apabila yang melaksanakam pembagian waris adalah orang orang
beriman kepada allah dan yang menentukan bagian bagian para ahli waris itu
Allah swt bukan manusia. seperti yang di jelaskan dalam surat An Nisa ayat 11
dengan penjelasannya :
‫ُيوِص يُك ُم ٱُهَّلل ِفٓى َأْو َٰل ِد ُك ْم ۖ ِللَّذ َك ِر ِم ْثُل َح ِّظ ٱُأْلنَثَيْيِن ۚ َفِإن ُك َّن ِنَس ٓاًء َفْو َق ٱْثَنَتْيِن َفَلُهَّن ُثُلَثا َم ا َتَرَك ۖ َوِإن َكاَنْت َٰو ِح َد ًة َفَلَها‬
‫ٱلِّنْص ُف ۚ َو َأِلَبَو ْيِه ِلُك ِّل َٰو ِح ٍد ِّم ْنُهَم ا ٱلُّسُدُس ِمَّم ا َتَرَك ِإن َك اَن َل ۥُه َو َلٌد ۚ َفِإن َّلْم َيُك ن َّل ۥُه َو َلٌد َوَو ِرَث ٓۥُه َأَبَو اُه َفُأِلِّمِه ٱلُّثُلُث ۚ َفِإن َك اَن‬

17
‫َل ٓۥُه ِإْخ َو ٌة َفُأِلِّمِه ٱلُّسُدُس ۚ ِم ۢن َبْع ِد َوِص َّيٍة ُيوِص ى ِبَهٓا َأْو َد ْيٍن ۗ َء اَبٓاُؤ ُك ْم َو َأْبَنٓاُؤ ُك ْم اَل َتْد ُروَن َأُّيُهْم َأْقَر ُب َلُك ْم َنْفًعاۚ َفِريَض ًة ِّم َن‬
‫ٱِهَّللۗ ِإَّن ٱَهَّلل َك اَن َع ِليًم ا َح ِكيًم ا‬

“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.


Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang
saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu - bapak, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal
itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia
diwarisi oleh ibu - bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Bahwa laki laki mendapat dua kali lipat dari perempuan dan itu sangatlah adil
karena laki laki memiliki tanggung jawab yang besar untuk keluarganya
sedangkan perempuan masih bisa mendapatkan nafkah dari suaminya. Dan kita
selaku muslim yang beriman harus mentaati dan melaksanakan perinta Allah dan
percaya bahwa Allah itu maha adil.
Kemudian pertanyaan ketiga penulis menanyakan mengenai mengapa
sebagian masyarakat tidak mau menggunakan hukum islam dalam membagi harta
waris? Ibu Nur berpendapat bahwa untuk Masyarakat khususnya
muslim/muslimah yang tidak melaksanakan pembagian waris secara hukum
Islam, itu ada beberapa kemungkinan :
a. Bisa jadi mereka belum tahu
b. Bisa jadi pula diantara ahli waris yg mendapatkan bagian kecil kalau waris
dibagikan secara Islam maka dia lebih memilih dibagikan secara rata.
c. Atau mungkin juga sebaliknya, orang yang seharusnya mendapatkan
bagian lebih besar dalam pembagian secara Islam, namun dia lebih
memilih berdamai dengan ahli waris yang mendapatkan pembagian lebih
sedikit, maka dia ridha dan ikhlas mempersilahkan untuk membagi
warisnya secara rata. Karena dia berfikir bahwa ini merupakan hak yang
boleh diambil atau boleh tidak diambil
Dari wawancara diatas dapat kita ketahui bahwa masyarakat tidak mau
menggunakan hukum islam dalam membagi harta waris itu ada 3 kemungkinan
yaitu yang pertama mereka belum tahu bahwa dalam islam itu ada ilmu
pembagian harta waris yaitu Ilmu Faraidl. Yang kedua para ahli waris
menginginkan untuk dibagi rata saja sebab khawatir terjadi perselisihan antar

18
saudara karena mendapat bagian kecil jika dibagi secara hukum islam. Dan yang
ketiga mungkin ahli waris yang seharusnya mendapat bagian besar dalam
pembagian secara hukum islam lebih memilih berdamai dengan ahli waris yang
mendapatkan bagian lebih sedikit maka memilh untuk dibagi rata saja karena dia
berpikir bahwa ini merupakan hak yang boleh diambil atau boleh tidak diambil.

BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan

Hal hal yang dipaparkan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1. Ilmu Faraidl adalah ilmu yang diambil dari Al - Qur'an, sunnah, Ijma'
Ulama dan Ijtihad Ulama, yang mempelajari tentang kewarisan untuk
mengetahui ahli waris yang dapat mewarisi dan yang tidak dapat
mewarisi, dan mengetahui kadar bagian setiap ahli waris serta tata cara
pembagiannya.

2. Hukum mempelajari Ilmu Faraid itu fardhu kifayah

3. Tirkah adalah segala sesuatu yang ditinggalkan mayit (muwaris), baik


harta maupun hak

4. Adil dalam islam adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya atau


memberikan setiap hak kepada pemiliknya

5. Membagi harta waris menggunakan hukum islam itu wajib, harta warisan
itu hak setiap para ahli waris dan hak itu harus di ambil. Akan tetapi, hak
warisan boleh untuk tidak di ambil atau tidak diminta

6. Membagi harta waris menurut hukum islam itu adil apabila yang
melaksanakan pembagian "Waris adalah orang orang yang beriman kepada
allah dan percaya bahwa allah itu maha adil”

7. Masyarakat tidak mau menggunakam hukum islam dalam membagi harta


waris dikarenakan mereka mungkin belum mengetahui ilmunya dan bisa
jadi pula diantara ahli waris yang mendapat bagian kecil jika waris
dibagikan secara hukum islam maka dia lebih memilih dibagikan secara
rata untuk menghindari perselisihan antar saudara
B. Saran

1. Ilmu Faraidl itu penting jadi hendaklah mempelajarinya

19
2. Jangan menganggap Ilmu Faraidl itu tidak penting karena yang berhak
membagi harta itu allah bukan manusia

3. Hati hati dalam menetapkan hukum harus sesuai dengan Al - Qur'an dan
hadits jangan sampai keliru

DAFTAR PUSTAKA

20
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

21

Anda mungkin juga menyukai