Anda di halaman 1dari 3

news.republika.co.

id /berita/s0z5li282/mutu-perguruan-tinggi-swasta-antara-ada-dan-tiada-part1

Unknown Title
Karta Raharja Ucu ⋮ ⋮ 9/14/2023

Home >
Kolom >
Analysis

Kamis 14 Sep 2023 19:05 WIB

Mutu Perguruan Tinggi Swasta, Antara Ada dan


Tiada
PTS kecil dan tidak terkelola dengan baik menjadikan akreditasi sebagai ancaman.

Red: Karta Raharja Ucu

Foto:

Peran Yayasan

1/7
Perubahan akreditasi yang diatur dalam Permendikbudristek nomor 53 tahun 2023 ini sewajibnya
dijadikan wahana refleksi PTS untuk mulai menjalankan tata kelola perguruan tingginya secara
akuntabel. Tidak menarik nafas lega saat pendanaan akreditasi ditanggung oleh APBN dan tidak
memedulikan mutu. Yayasan memiliki peran sentral dalam kehidupan PTS.

Salah satu peran penting yayasan adalah dalam pemberian kepercayaan terhadap PTS. Sayangnya,
pemberian kepercayaan dalam pengelolaan tidak utuh. Meski secara regulasi, yayasan harus tunduk
terhadap Undang-Undang nomor 24 Tahun 2004 tentang yayasan, pada tataran praksis, tidak sedikit
yayasan yang turut mengatur tata kelola, khususnya bidang keuangan PTS. Rektor tidak memiliki
kemandirian dalam pengambilan keputusan, padahal menurut pengamat pendidikan UPI Prof Cecep
Darmawan, independensi dalam decision making merupakan salah satu prinsip tata kelola universitas
yang baik (good university governance), di samping prinsip transparansi, akuntabilitas, responsibilitas,
keadilan, penjaminan mutu dan relevansi, efektivitas, efisiensi dan nirlaba.

PTS dengan akreditasi unggul benar-benar dikelola secara independen oleh rektornya, termasuk dalam
pengelolaan keuangan. PTS sulit berkembang dan tidak memiliki visi menjadi universitas kelas dunia
karena yayasan masih cawe-cawe dalam kebijakan, utamanya keuangan. Mindset pengurus yayasan
perlu diluruskan bahwa yayasan didirikan bukan bertujuan untuk mendapatkan laba. Justru, yayasan
berperan dalam pembiayaan dan perlu memikirkan strategi agar pendanaan PTS tidak seluruhnya
ditanggung oleh mahasiswa.

Selama ini, tertanam dalam pemikiran publik bahwa maju-mundurnya sebuah PTS ditentukan oleh
jumlah mahasiswanya. Bisa jadi benar, bila yayasan tidak membuat terobosan dalam pendanaan kecuali
membebankan seluruhnya kepada mahasiswa. Padahal perlu dikaji secara mendalam, banyaknya
mahasiswa tidak otomatis menjadikan PTS unggul bila yayasannya tidak menyalurkan dana tersebut
untuk pengembangan PTS. Pengelolaan yang akuntabel menjadi kunci unggul tidaknya sebuah PTS.

Dalam mencapai mutu terbaik tentunya diperlukan dana. Namun, yang terpenting, bagaimana dana
tersebut dikelola secara transparan dan akuntabel untuk kemajuan studi dan prestasi mahasiswa.
Fasilitas yang nyaman, perpustakaan yang representatif, ruang-ruang terbuka tempat mahasiswa
berdiskusi, sarana parkir, olahraga, wifi hingga kantin dengan tingkat keamanan yang memadai dapat
membuat mahasiswa termotivasi dalam belajar dan berkegiatan baik akademik maupun non akademik.
Kesejahteraan dosen dan tenaga kependidikan turut menopang iklim akademik di PTS.

Karena itu, diperlukan sosok pengurus, pembina dan pengawas yang telah selesai dengan urusan dunia,
satu frekuensi dan memiliki kesamaan visi dengan rektorat dalam memandang pendidikan, bukan
sebagai unit usaha yang mendatangkan profit bagi pengurus yayasan. Bahkan, wujud transparansi dan
akuntabilitas, pengelolaan keuangan baik yayasan dan PTS dapat diaudit secara rutin oleh akuntan
publik. Dipublikasikan secara luas.

Hal ini akan semakin menarik kepercayaan masyarakat terhadap PTS. Karena itu, pemerintah perlu
melakukan penelaahan yang mendalam terhadap izin penyelenggaraan/operasional PTS, apakah
pengurus yayasannya sudah selesai dengan urusan dunianya atau hanya menjadikan PTS sebagai
kedok meraup keuntungan.

Catatan Akhir

2/7
Sebagai ikhtiar menghasilkan lulusan bermutu yang kompetitif, PTS perlu berbenah secara lebih radikal.
Tata kelola menjadi sangat penting untuk menjamin mutu tersebut dijalankan. Mindset pengelolaan mutu
diperkuat.

Dokumen mutu dibuat untuk diterapkan secara konsisten. Tidak sekadar menjadi dokumen akreditasi.
Lembaga penjaminan mutu berperan layaknya playmaker. Ia yang aktif menyelaraskan antara kebijakan
dan penerapannya di lapangan.

Seluruh kebijakan dan dokumen selalu melalui lembaga penjaminan mutu. Bahkan lembaga penjaminan
mutu inilah yang menjaga agar standar mutu berjalan pada siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi,
Pengendalian dan Peningkatan (PPEPP).

Tidak ada cerita, kampus tiba-tiba melaksanakan audit mutu internal sementara tidak ada sosialisasi
penetapan standar, dokumen SPMI seperti kebijakan, manual, standar hingga formulir SPMI tidak ada.
Lebih parah lagi, statuta universitas tidak pernah ditinjau ulang oleh senat universitas, bahkan tidak
selaras dengan kebijakan SPMI.

Benar bahwa itu semua adalah dokumen yang dapat dibuat, ditiru dan dimodifikasi dalam waktu
semalam, namun keseriusan dan ketaatan dalam menyusun kebijakan mutu ini merupakan cermin
bahwa PTS serius ingin mengembangkan budaya mutu di lembaganya.

Sudah harus dihentikan ketersediaan dokumen yang diperlukan asesor dalam akreditasi bahwa
dokumen mutu secara formal ada, namun pelaksanaan mutunya tidak terjadi. Dengan kata lain, mindset
kita terhadap mutu adalah merepotkan, menghamburkan kertas dan biaya, bukan pada pemahaman
bahwa ini merupakan bagian evaluasi, melihat mana yang sudah baik dan yang masih perlu ditingkatkan,
agar di masa yang akan datang, ia dapat diperbaiki sebagaimana prinsip continous improvement.

Lulusan cepat bekerja bisa jadi belum merupakan hasil desain penjaminan mutu. Faktor luck dan orang
dalam masih lebih dominan dibandingkan proses pembelajaran bermutu yang di dapat di PTS. Jangan-
jangan kalimat “menjadi wirausaha/entrepreneur” merupakah dalih ketidakmampuan para lulusan
bersaing mendapatkan pekerjaan.

Sayangnya lagi, PTS tidak memiliki data akurat penelusuran lulusan (tracer study) bekerja di bidang yang
relevan dengan program studinya ataukah tidak. Ditambah lagi, ketersediaan konselor di sejumlah PTS
masih sangat minim dan bahkan tidak ada. Hal ini mengakibatkan, PTS kesulitan memenuhi kebutuhan
mahasiswanya dalam bimbingan karier.

Karena itu, saat Mas Menteri Nadiem Makarim menyebutkan rezim akreditasi saat ini tidak akan
merepotkan secara administrasi, semoga instrumen akreditasi tidak diturunkan standarnya. Melainkan
informasi atau eviden nyata yang didapat berasal dari laporan real time kampus di berbagai macam
platform, sehingga data yang diperoleh akurat dan kredibel. Tinggal menjaga integritas asesor agar ia
dapat menilai PTS secara akuntabel dan adil.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini

pts
perguruan tinggi swasta
mutu pts

3/7

Anda mungkin juga menyukai