perhitungan efisiensi kerja, fill factor; swell factor, density material, perhitungan produksi alat
gali/muat dan alat angkut, serta analisis dan perhitungan biaya kepemilikan alat (owning cost),
biaya operasi (operation cost) terdiri dari biaya bahan bakar, biaya minyak pelumas dan grease,
biaya penggantian ban baru dan reparasi ban, biaya reparasi dan harga spare parts dan upah
operator.
Cycle time
Fill factor
1. Waktu Produktif yaitu waktu yang digunakan alat untuk berproduksi sampai akhir operasi
Variabel : - Waktu Effective : waktu produksi
- Waktu Delay : waktu maintenance alat ataupun jalan
- Waktu Repair : waktu perbaikan
- Waktu Standby : waktu tunggu atau siap-siap
2. Waktu Non Produktif yaitu waktu istirahat atau waktu pergantian awal/akhir shift
Biaya Produksi
1. Untuk mengetahui biaya operasi (operating cost) per jam untuk kegiatan penambangan nikel
di
2. Untuk mengetahui biaya kepemilikan (owning cost) di
3. Untuk mengetahui biaya upah operator (operator wage) yang dikeluarkan
4. Untuk mengetahui biaya produksi yang harus di investasikan pada 10 tahun kedepan.
Owning cost adalah biaya kepemilikan alat yang harus diperhitungkan selama alat yang
bersangkutan dioperasikan, apabila alat tersebut milik sendiri.
Depresiasi : waktu alat ketika sudah menurun performanya dan sampai tidak dapat digunakan
untuk produksi kembali. Faktor umur alat, jam penggunaan alat dan harga pembelian alat dari
setiap unit.
Operating cost atau biaya operasi alat merupakan biaya yang dikeluarkan selama alat tersebut
digunakan. Biaya operasi ini meliputi biaya bahan bakar, biaya minyak pelumas atau minyak
hidrolik, biaya pergantian ban, biaya perbaikan atau pemeliharaan, biaya pergantian suku cadang
khusus dan upah operator.
Beberapa faktor teknis yang mempengaruhi target produksi belum tercapai antara lain, efisiensi
kerja, waktu edar, faktor pengisian, serta faktor keserasian alat gali–muat dan angkut. Sehingga
perlu dilakukan kajian teknis produktivitas untuk dapat meningkatkan target produksi
Penghitungan Cadangan dan Sumberdaya Bijih Nikel menggunakan luas area pengaruh (Area of
Influence)
Model wireframe topografi dan badan bijih (ore) selanjutnya diisi dengan blok-blok dengan
ukuran Panjang x lebar x tinggi = 25*25*25 m. Rule of Thumb yang dikenalkan oleh David
(1977) menyatakan bahwa Panjang dan lebar blok minimum adalah seperempat jarak titik bor.
Jarak antar titik bor yang efektif adalah 25-50 m. Plan development 100-200m.
Metode yang dapat digunakan dalam mengestimasi kadar yaitu : Nearest Neighbours Method,
Invers Distance Method, dan Krigging Method. 3 metode dengan analisis isograde kesamaan
unsur persentase Ni (%).
Fungsi : Memisahkan logam murni dari partikel-partikel pengotor yang ada di bijih logam
hingga memenuhi standar baku produk akhir yang siap pakai. Diolah terlebih dulu yang
bertujuan untuk meningkatkan nilai jual.
Pasal 102 UU No. 3 Tahun 2020 “Pemegang IUP/IUPK pada tahap operasi produksi wajib
meningkatkan nilai tambah mineral dalam kegiatan usaha pertambangan melalui pengolahan dan
pemurnian untuk komoditas mineral logam. IUP & IUPK yang membedakan adalah luas daerah
dan pelaku usaha”
1. Nikel (Ni) :
Bahan galian yang terbentuk atas proses pelapukan kimia batuan ultramafik yang mengakibatkan
terjadinya pengkayaan (enrichment) unsur Ni, Fe, Mn, Co secara residual (Burger, 1996)
Endapan yang terbentuk karena mineral olivin yang ada pada batuan ultramafik (peridotit)
terdekomposisi oleh air tanah yang bersifat asam (pelapukan kimiawi)
Pelapukan kimiawi adalah proses perubahan struktur dalam mineral dengan
pengurangan/penambahan unsur pada mineral tersebut. Agen utama air (air tanah) yang
mengoksidasi mineral dalam batuan yang dilewatinya.
Mineral olivin pada daerah tropis sangat tidak stabil sehingga lapuk dan mengalami perubahan
komposisi mineral. Terdekomposisi menjadi mineral lain yang kaya akan mineral ekonomis,
seperti Ni, Fe, Co
Hasilnya akan terbentuk mineral-mineral seperti Geothite FeO(OH), Hematite (Fe 2O3), besi
oksida akan mengendap dekat dengan permukaan tanah. Mineral-mineral oksida :
Sulawesi menjadi penghasil nikel terbesar di Indonesia : kompleks metamorf, kompleks ofiolit,
dan molasa Sulawesi (batuan klastik dan karbonat Neogen)
Ofiolit : Sisa kerak samudera purba dan lapisan mantel atas dibawahnya yang terangkat akibat
adanya proses tektonik. Kompleks batuan beku : basalt, gabro, peridotit.
Erosi air tanah asam dan air permukaan akan melarutkan mineral-mineral yang terendapkan. Zat
tersebut akan terbawa ke tempat yang lebih dalam, sehingga terjadi pengkayaan (enrichment)
pada bijih nikel (Ni)
Proses pengkayaan akan bersifat kumulatif dalam jangka waktu yang lama
Zona Pelindian (leaching) : zona pengkayaan dengan kadar tinggi umumnya berasosiasi dengan
patahan/shear zone. Topografi rendah ditambah dengan adanya struktur geologi memberikan
proses leaching yang maksimum sehingga meningkatkan endapan residu dan terakumulasi di
saprolit.
Nikel digunakan untuk paduan logam yang sifatnya kuat, ringan, dan anti karat sehingga dapat
menjadi indikator yang baik (daya hantar listrik dan panas)
FAKTOR GENESA PEMBENTUKAN NIKEL LATERIT
1) Litologi : Batuan ultramafik dari hasil pelapukan yang membentuk nikel laterit
2) Tingkat Pelapukan : Sedang - Tinggi, iklim tropis lembab yang mempercepat proses
pelapukan kimiawi. Kemiringan lereng agak landai – agak terjal
6) Kondisi tektonik stabil. Setting Tectonic = patahan, sesar dan kekar dipengaruhi oleh
pengangkatan tektonik, faktor topografi. Peningkatan permukaan air tanah dan intensitas
pelapukan.
4) Kondisi Topografi dan Morfologi : struktur, pola pengaliran, posisi permukaan air tanah.
5) Kondisi Air Tanah : dangkal dan banyaknya shear joint meningkatkan proses leaching
7) Curah hujan relatif tinggi : banyak tumbuhan yang teruraikan sehingga menimbulkan asam
organic dan CO2 pada air tanah
Klasifikasi Nikel Laterit berdasarkan perubahan kandungan mineral (Brand et al, 1998) :
Saprolit bagian bawah merupakan horizon bijih (ore). Mineral bijih silikat Mg-Ni hydrous
terbentuk oleh alterasi mineral primer batuan seperti : serpentin, garnierit
Pelapukan oleh air tanah, Si akan terurai sebagian dan sebagian lagi akan bergabung dengan Fe.
Ni & Al akan membentuk mineral lempung seperti nontronite. Biasanya dibagian atas saprolit
dan protolith serpentin yang kaya akan Ni, juga dapat digantikan oleh smektit, kuarsa yang
dipengaruhi oleh air tanah cukup lama.
3) Endapan Oksida : Ni 1.0 – 1.6 %
Endapan limonit, Ni banyak mengandung oksida Fe terutama goethite, terdapat juga oksida Mn
yang diperkaya Co
Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi geologi batuan dasar adalah sebagai berikut (Butt
and Cluzel, 2013):
a. Litologi
Nikel laterit terbentuk secara eksklusif pada batuan ultramafik yang kaya akan mineral olivin
dan tingkat serpentinisasinya setara yang mengandung antara 0,2 – 0,4% unsur Ni. Jenis endapan
sebagian dipengaruhi oleh litologi batuan ultramafik. Batuan peridotit dapat menimbulkan
oksida dan kumpulan silikat Mg hidro atau silikat tanah liat, sedangkan dunit membentuk
deposit oksida.
b. Struktur Geologi
Struktur rekahan, sesar, dan zona geser pada batuan dasar dan regolith (lapisan dari material
fragmen batuan dan material lepas) dapat mempengaruhi ketebalan dan jenis endapan nikel
laterit. Sebagian besar, efek ini bersifat pasif dengan struktur yang sudah ada sebelumnya dan
mempengaruhi drainase karakteristik baik dengan membentuk hambatan aliran air atau lebih
umum dengan meningkatkan permeabilitas pelapukan yang lebih dalam dan konsentrasi
kecenderungan unsur nikel di sepanjang zona rekahan. Demikian pula, pelapukan pada sesar-
sesar yang ada di batuan dasar dan zona geser yang rendah di regolith yang terbentuk oleh
keruntuhan lereng dapat menjadi fokus konsentrasi unsur nikel.
2. Iklim
Sebagian besar endapan nikel laterit terjadi di daerah tropis & lembab. Banyak deposit nikel
laterit seperti Indonesia (misalnya Sorowako) memiliki iklim hutan hujan yang ditandai dengan
curah hujan lebih dari 1.800 mm per tahun. Thorne (2012) menghitung bahwa nikel laterit
berkembang di mana curah hujan melebihi 1.000 mm per tahun dan rata-rata suhu bulanan
berkisar antara 22 – 31°C pada musim panas dan 15 – 27°C pada musim dingin. Curah hujan
menentukan jumlah air hujan yang masuk ke tanah dan mempengaruhi intensitas
pencucian/pelindian dan pemisahan komponen-komponen yang larut. Semakin banyak air
hujan yang masuk ke dalam profil endapan nikel laterit maka semakin intens pula proses
pelapukan yang terjadi. Selain itu temperatur juga dapat mempengaruhi proses pelapukan di
mana semakin tinggi temperatur rata-rata tanah (mendekati temperatur udara permukaan) akan
meningkatkan gaya kinetik proses pelapukan (Butt and Zeegers, 1992).
3. Topografi
Topografi akan mempengaruhi pola aliran air. Kelerengan dan relief akan mempengaruhi
intensitas air yang masuk ke dalam tanah atau batuan dan muka air tanah. Endapan laterit
membutuhkan topografi yang tidak begitu curam dalam pembentukan endapan laterit. Endapan
laterit akan sulit mengalami pelapukan pada permukaan tanah yang curam, karena akan
mempercepat erosi pada tanah laterit, sedangkan topografi yang terlalu datar dengan drainase
yang buruk juga tidak begitu bagus, hal ini menyebabkan pencucian berjalan kurang maksimal
sehingga tanah laterit sulit terbentuk (Elias, 2005; Ahmad, 2009).
5. Waktu
Waktu yang cukup lama akan mengakibatkan pelapukan yang cukup intensif karena akumulasi
unsur nikel cukup tinggi (Isjudarto, 2013).
1) Iron Capping : Bagian paling atas dari suatu penampang laterit (Top Soil)
Komposisi : akar tumbuhan, humus, oksida besi dan sisa-sisa organik lainnya
Kadar Fe tinggi Ni rendah, terkadang terdapat mineral hematit dan kromit (chromiferous)
2) Limonite Layer : Lapisan hasil pelapukan lanjutan dari batuan beku ultrabasa
Ketebalan : 8 – 15 m
Umumnya mineral-mineral di batuan beku basa – ultrabasa telah terubah menjadi serpentin
akibat dari hasil pelapukan yang belum tuntas. Lapisan kaya besi dari limonit soil menyelimuti
seluruh lapisan/area tipis pada daerah yang terjal, setempat hilang akibat erosi. Sebagian dari
nikel pada zona ini hadir di dalam mineral manganese oxide, lithioporite. Terkadang terdapat
mineral talk, tremolite, chromiferous, kuarsa, gibbsite dan maghemite
Komposisi : oksida besi, serpentin <0.4%, kuarsa magnetit, dan tekstur batuan asal yang masih
terlihat
Ketebalan : 5 – 18 m
Bongkah batuan sering ditemui. Rekahan-rekahan batuan asal yang sering ditemui magnesit,
serpentin, krisoplas, dan garnierite. Bongkah batuan asal yang muncul pada umumnya memiliki
kadar SiO2 dan MgO yang tinggi dan Ni Fe yang rendah. Campuran sisa-sisa batuan, butiran
halus, limonit, saprolitic, rims, vein, dan garnierite, nickeliferous quartz, mangan dan klorit
5) Bed Rock : Bagian terbawah dari profil laterit, tersusun atas bongkah yang lebih besar dari
75cm, dan blok peridotit/batuan dasar dan secara umum sudah tidak mengandung mineral
ekonomis.
Profil geokimia endapan nikel laterit merupakan gambaran dari suatu kondisi bahwa perilaku
atau kecenderungan pola kelimpahan unsur ke arah bawah permukaan yang dipengaruhi oleh
proses lateritisasi. Perilaku tersebut dipengaruhi oleh mobilitas unsur dan senyawa pada profil
nikel laterit yang diketahui dari tingkat unsur dan senyawa tertentu yang mengalami perpindahan
akibat aliran air tanah. Perilaku yang terjadi selama proses lateritisasi berlangsung pada proses
pelindian, proses pengayaan supergen, serta residual unsur (Ahmad, 2008).
Analisis geokimia banyak digunakan untuk mengetahui kadar unsur dalam bentuk oksida mayor
dan unsur tunggal seperti Na, Mg, Al, Si, P, K, Ca, Ti, Mn, Fe dan juga menganalisis unsur
unsur minor dan unsur jejak, di antaranya Rb, Sr, Y, Nb, Zr, Cr, Ni, Cu, Zn, Ga, Ba, Pb, Th, La,
Ce, Nd, Sm (Wilson, 1989). Lebih dari 99 % batuan terbentuk oleh 11 elemen senyawa utama
oksida di antaranya SiO2, TiO2, Al2O3, Fe2O3, FeO, MnO, MgO, CaO, Na 2O, K2O, dan P2O5
(Best, 2003). Masing-masing zona profil nikel laterit ini mempunyai komposisi kimia unsur dan
senyawa mayor dengan kandungan lebih besar dari 5% serta unsur dan senyawa minor dengan
kandungan yang umumnya kurang dari 3%. Senyawa kimia mayor berupa MgO, FeO, SiO 2,
Al2O3 serta unsur dan senyawa minor berupa Ni, Co, Cr2O3, MnO, CaO (Ahmad, 2006).
3 lokasi di Indonesia yang mengandung banyak cadangan nikel : Sorowako, Bahodopi, Pomalaa
Laterit adalah residu tanah yang kaya akan oksida besi (FeO), yang terbentuk dari hasil
pelapukan kimia dengan kondisi air tanah tertentu
Bauksit adalah residu tanah yang kaya akan oksida alumina (Al2H2O4)
Batuan beku ultramafik cenderung mengandung lebih banyak Fe, berbeda dengan batuan beku
asam (granitik) yang mengandung lebih banyak Al
Nikel laterit adalah suatu endapan bijih nikel yang terbentuk dari proses lateritisasi batuan
ultramafik (peridotit, dunit & serpentinit) yang mengandung Ni dengan kadar yang tinggi dan
terbentuk pada daerah tropis dan sub-tropis
Disamping endapan nikel laterit, terdapat juga tipe endapan lain seperti yang dikenal dengan
nama nikel sulfida yang mana terbentuk dari proses hidrothermal sehingga membentuk suatu
cebakan/ endapan nikel dalam bentuk urat-urat (veins). Salah satu contoh dari tipe endapan ini
bisa ditemukan di tambang Sudbury-Kanada.
Menurut P Golightly, endapan nikel laterit berasal dari batuan beku yang kaya akan mineral
olivin seperti batuan peridotit dan dunit. Nikel ini dihasilkan dari hasil pelapukan mineral olivin
atau serpentin sebagai komposisi mineral utama dari batuan tersebut, atau bahkan magnetit yang
mengandung nikel. Jumlah kandungan nikel yang paling tinggi ditemukan dalam mineral olivin
(Mg,Fe,Ni)2SiO4 yang mana berkisar 0.3 % Ni.
Beberapa faktor yang dianggap sangat mempengaruhi proses pembentukan endapan nikel laterit
ini adalah:
Kandungan dari batuan peridotit dan pola tektoniknya
Iklim : pelapukan tinggi, iklim panas dan lembab
Topografi : lereng tidak curam
Proses geomorfologi (bentuk bentangan alam)
Kesemua faktor ini berkaitan begitu kompleks dimana peranan secara individu dari masing-
masing faktor sangat susah dibedakan. Kesemuanya bisa mempengaruhi bentuk profil pelapukan
secara individual berbeda, bentuk topografi dari “ore body” pada batuan peridotitnya dan bentuk
secara umum dari residu nikel laterit tersebut.
Bentuk topografi/morfologi yang tidak curam tingkat kelerengannya, dimana endapan laterit
masih mampu untuk ditopang oleh permukaaan topografi sehingga nikel laterit tersebut tidak
hilang oleh proses erosi maupun ketidakstabilan lereng. Adanya tumbuhan penutup yang
berfungsi untuk mengurangi tingkat intensitas erosi endapan laterit menyebakan endapan laterit
tersebut relatif tidak terganggu.
Meskipun komposisi batuan asal memegang peran penting untuk menghasilkan endapan laterit,
kondisi iklim yang ada dan sejarah geologi yang berkenaan dengan proses pembentukan soil
akhirnya memegang peranan penting dalam mengontrol komposisi akhir dari soil residu tersebut.
Pelapukan dari batuan mafik pada kondisi iklim dingin cenderung akan membentuk endapan
clay (lempung) sementara pada pelapukan yang tinggi dengan kondisi iklim panas dan lembab
akan menyebakan laterit berkembang dengan baik.
Oleh karena itu, agar laterit tersebut dapat berkembang dengan baik, menurut Waheed Ahmad
(2006), maka dibutuhkan beberapa kondisi seperti:
Keberadaan batuan yang mengandung besi “relatively high temperature (to aid in chemical
attack)
Air tanah yang bersifat agak asam (slightly acidic) untuk membantu dalam reaksi kimia
Curah hujan yang tinggi untuk membantu pelapukan kimia dan menghilangkan unsur-unsur
yang mudah larut (mobile elements)
Lingkungan oksidasi yang kuat (untuk mengubah Fe2+ (FeO) menjadi Fe3+ (Fe2O3)
Proses pengayaan (supergene enrichments) untuk menghasilkan konsentrasi nikel dalam
jumlah yang cukup tinggi.
Bentuk topografi yang sedang untuk melindungi laterit dari proses erosi
Waktu yang cukup untuk agar laterit terakumulasi untuk ketebalan yang baik
Penampang Laterit
Pembentukan penampang lapisan laterit sebagai hasil dari proses laterisasi memperlihatkan
urutan laterit yang tertua dari atas ke bawah. Secara umum penampang laterit dapat
dikategorikan menjadi: 1. Zona limonit pada bagian atas 2. Zona saprolit pada bagian tengah,
dan 3. Zona batuan dasar (bedrock) pada bagian bawah.
Menurut Golithly, endapan laterit yang berkembang baik di daerah Sorowako dapat dibedakan
atas dua kategori yaitu:
1. Endapan laterit yang berkembang pada batuan dasar (bedrock) yang tidak mengalami
serpentinisasi (unserpentinized) yang dikenal dengan West type, dan
2. Endapan laterit yang berkembang pada batuan dasar yang mengalami serpentinisasi 20%
sampai 80% pada mineral olivinnya yang dikenal dengan East type
Kondisi Geologi dan Pola Tektonik Endapan Daerah Sorowako, Bahodopi, Pomalaa dan
sekitarnya merupakan bagian mandala Sulawesi Timur yang tersusun oleh kompleks ofiolit,
batuan metamorf, kompleks mélange dan batuan sediment pelagis (sedimen laut).
Kompleks ofiolit memanjang dari utara Pegunungan Balantak ke arah tenggara Pegunungan
Verbeek, yang disusun oleh batuan dunit, hazburgit, lerzolit, serpentinit, werlit, gabro, diabas,
basalt dan diorit.
Batuan yang merupakan anggota Lajur Ofiolit Sulawesi Timur berupa batuan ultrabasa (Mtosu)
yang terdapat di sekitar danau Matano, terdiri atas dunit, harzburgit, lherzolit, wehrlit, websterit
dan serpentinit. Jenis batuan yang menyusun daerah Sorowako dan sekitarnya ini sangat
mempengaruhi keterdapatan dan penyebaran nikel laterit. Batuan dasar penyusun Sorowako dan
sekitarnya ini merupakan batuan ultramafik yang mengandung nikel, cobalt, besi, magnesium,
dan silika. Jika batuan ini mengalami proses lateritisasi maka konsentrasi kadar nikel, kobal,
basi, magnesium dan silika akan meningkat dalam zona laterit tertentu.
Struktur geologi banyak dijumpai pada daerah Sorowako dan sekitarnya, baik berupa sesar,
lipatan maupun kekar. Secara umum sesar yang terdapat di daerah ini berupa sesar naik, sesar
sungkup, sesar geser dan sesar turun; yang diperkirakan mulai terbentuk sejak Mesozoikum.
Sesar Matano dan sesar Palu Koro merupakan sesar utama yang terdapat pada daerah ini.
Kondisi Iklim
Daerah Sorowako, Bahodopi, dan Pomalaa juga merupakan daerah yang mengalami perubahan
temperatur yang kontras dan bercurah hujan yang tinggi, sehingga batuan penyusunnya mudah
mengalami pelapukan mekanis. Pelapukan mekanis atau disebut juga disintegrasi dapat
mengubah ukuran batuan atau partikel batuan menjadi semakin kecil. Perubahan ukuran batuan
yang semakin kecil ini menyebabkan luas permukaan batuan yang mengalami kontak dengan
agen-agen proses laterisasi menjadi semakin luas sehingga jumlah laterit yang dihasilkan juga
semakin besar.
Keberadaaan nikel laterit di daerah Sorowako dan sekitarnya juga sangat dipengaruhi oleh
pelapukan kimia dan sirkulasi air tanah. Semakin tinggi tingkat pelapukan kimia dan sirkulasi air
tanahnya maka jumlah laterit pun akan semakin besar. Menurut Ollier, 1966, pelapukan kimia
yang berhubungan dengan proses laterisasi terdiri atas pelarutan, oksidasi-reduksi, hidrasi,
karbonasi, hidrolisis dan desilisikasi. Proses pelapukan kimia dan sirkulasi air tanah terutama
yang bersifat asam pada batuan ultramafik, akan menyebabkan terjadinya penguraian
magnesium, nikel, besi, dan silika pada mineral olivin, piroksen, maupun serpentin yang
membentuk larutan yang kaya dengan unsur-unsur tersebut (Waheed Ahmad, 2006).
Studi Literatur ; Geologi Regional daerah IUP, Source rock nikel laterit, Analisa slope
(biasanya pada persen kemiringan slope/morfometri)
Mapping Geologi ; Identifikasi geologi lokal daerah IUP (litologi, geomorfologi, dan struktur),
Identifikasi keberadaan laterit, Pegambilan sampel yang berhubungan dengan proses lateritisasi,
Melokalisir penyebaran laterit sesuai dengan analisa pada hasil yang telah diperoleh sebelumnya
(geologi lokal, sampel surface, slope, dsb). Output : Peta geologi lokal (litologi, geomorfologi, &
struktur), peta sebaran laterit, peta plan pengeboran hand auger
Hand Auger / Testpit ; Perencanaan titik auger sesuai dengan data penyebaran laterit, Orientasi
lapangan titik pengeboran hand auger, Penetrasi pengeboran sampai pada zona saprolit,
Pengambilan sampel hand auger per 1 meter penetrasi, Analisa kimia dan interpretasi hasil
sampel pengeboran hand auger meliputi, bagaimana Ni & Fe vs kedalaman dan karakter
geokimia laterit daerah IUP (apakah low, medium – high grade, apakah ditemukan tipe limonite
ore ataukah hanya saprolite ore, dsb), Melokalisir area untuk dilakukan pengeboran inti (core
drilling). Output : Grafik Ni Vs depth, grafik Fe Vs depth, peta penyebaran nikel laterit, peta plan
pengeboran inti.
Pengeboran Inti ; Perencanaan titik pengeboran inti, Orientasi lapangan titik pengeboran inti,
Flagging DH dan pembuatan Pad, Alat pengeboran menggunakan jacro dengan sistem tripple
tube, penetrasi pengeboran sampai pada zona bedrock (minimal 3 meter bedrock), block
penetrasi pengeboran per 1 meter, Core recovery >90%, Melakukan logging geologi pada sampel
core (identifikasi layer laterit, break geologi, mineral pembawa Ni, dsb), Melakukan foto core
dan preparasi sampel berdasarkan data logging (dilakukan per break geologi – fraksinasi –
homogenisasi – quartering – insert sampel QAQC – sampai menghasilkan Sampel original wet
yang siap dikirim ke LAB untuk dilakukan analisa kimia), Resurvey DH dan topografi. Output :
Peta progress pengeboran, data logging geologi core, data preparasi core dan data sample
QAQC, data koordinat resurvey.
Validasi Data Pengeboran Inti ; Hasil analisa kimia sampel diterima dari laboratorium, Analisa
sampel QAQC, apabila acceptable maka dilanjutkan ke tahapan validasi berikutnya, Pada sample
per break (sesuai hasil logging dan analisa kimia sample) menghitung total wet core, total H2O,
dan total dry wet. Ini sangat penting nantinya untuk mengetahui secara general MC dan density
core, Menghitung individual dan kumulatif fraksi. hal ini dilakukan untuk mengetahui jenis ore
type pada satu hole pengeboran, Menghitung recovery total material. Untuk memperoleh
komposisi kimia per element berdasarkan recovery core dan pembobotan, Melakukan penentuan
layer laterit berdasarkan nilai total material element kimia mayor (Ni, Fe, MgO, SiO2) dengan
menghitung batas rata-rata batas atas, tengah, dan bawah dari rata2 nilai element mayor tersebut.
Menurut Ahmad (2005), tipe endapan nikel laterit di daerah Sorowako pada dasarnya dibagi
menjadi 2, Yaitu Sorowako West Block dan Sorowako East Block. Pembagian tipe endapan ini
berdasarkan beberapa parameter utama, diantaranya :
1. Tipe batuan ultramafik
2. Derajat serpentinisasi
3. Kandungan kimia bijih
4. Fraksi batuan
5. Tingkat kesulitan dalam penambangan
6. Derajat penetrasi dengan auger drilling
7. Kandungan olivin
Pembagian secara terperinci antara tipe endapan bijih West Block dan East Block dapat dilihat
pada tabel berikut ini :
Endapan nikel laterit didefinisikan sebagai sisa tanah/residu dari hasil proses pelapukan batuan
ultramafik, melalui proses pelindian dan pemerkayaan supergen, yang dikontrol oleh morfologi,
struktur geologi dan fluktuasi muka air tanah pada saat pembentukannya.
Kondisi morfologi sangat mempengaruhi sirkulasi air beserta unsur lainnya. Daerah yang landai,
air akan bergerak perlahan-lahan sehingga akan mempunyai kesempatan untuk masuk lebih
dalam melalui rekahan-rekahan atau pori-pori batuan.Pada daerah terjal, air akanmengalir di
permukaan dan terjadi erosi yang intensif. Akumulasi endapan umumnya terdapat pada daerah
yang landai sampai kemiringan sedang.
Target eksplorasi yang tepat untuk mendapatkan endapan nikel laterit di Sulawesi terbatas pada
daerah Komplek Ultramafik dengan derajat kemiringan lereng ≤ 25%. Derajat kemiringan lereng
dari suatu morfologi memiliki peran kontrol dalam pembentukan pelapukan suatu batuan.
Umumnya jenis morfologi untuk endapan nikel laterit yang potensial, diantaranya plateau, teras,
perbukitan, perbukitan bergelombang lemah dan perbukitan bergelombang miring. Pada
topografi yang curam (umumnya slope lebih dari 25%), menyebabkan pelapukannya menjadi
tidak intensif dimana jumlah air yang mengalir (run off) akan lebih banyak daripada air yang
meresap (Kadarusman, A., dkk. 2016)
mengidentifikasi pengaruh morfologi terhadap distribusi zona pengkayaan bijih nikel dan
ketebalan bijih nikel (zona saprolit) pada endapan laterit
ASTM Terminology
Sampling : Proses pengambilan sejumlah kecil material dari sejumlah material yang lebih besar
dengan tujuan untuk mengestimasi sifat/komposisi, kandungan atau kadar dari sejumlah material
tersebut yang dapat mewakili
1) Grab Sampling
Pengambilan sample tanpa adanya karakter khusus, sampling tahap awal. Sungai dan singkapan,
mengambil material fresh bukan lapukan
2) Selective Sampling
Pengambilan sample yang kriterianya telah ditentukan terlebih dahulu. Contoh sampling vein
kuarsa yang terpisah dari garnierit, sampling zona saprolit, dll
3) Chip Sampling
Pengambilan sample sebagian kecil material dari batuan target atau dari beberapa titik dari satu
singkapan besar
4) Channel Sampling
Pengambilan sample disepanjang jalur yang telah ditentukan, biasanya dilakukan pada trench,
singkapan besar, underground tunnel, pit, dll
Deposit nikel dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok, yaitu kelompok bijih sulfida dan
kelompok bijih laterit (oksida dan silikat).
Cebakan nikel laterit : kombinasi dari tiga tipe yaitu cebakan oksida, cebakan mg silikat hidrat,
dan cebakan lempung silikat.
Cebakan nikel laterit yang berkembang di Indonesia biasanya merupakan gabungan antara tipe
cebakan oksida dan hydrous Mg silicate, di mana tipe oksida lebih dikenal sebagai lapisan
limonit (Freyssinet et al., 2005; Prasetiyo, 2016).
Selective Ore : Proses penggalian ore dari ore body dengan cara memilah-milah apabila kondisi
ore yang tidak homogen atau banyak material pengotor agar tidak tercampur
Collecting Ore : Mengumpulkan ore yang sudah dipastikan aman dari material pengotor dan siap
untuk dimuat ke kendaraan angkut
Loading Point : Lokasi yang digunakan sebagai tempat pemuatan material baik berupa
overburden, waste maupun ore yang berada di areal pit. Dome sebagai tempat penumpukan ore
Stripping Ratio : Perbandingan antara jumlah material yang harus dikupas untuk mendapatkan
satu satuan bijih
Cut of Grade : Kadar rata-rata minimum dari bijih yang dapat ditambang secara ekonomis. CoG
merepresentasikan batas ekonomis untuk membuat deliniasi zona kadar mineral atau logam yang
potensial untuk ditambang. “On spec”
Dilusi : Hasil pencampuran dari material bukan bijih (waste) ke dalam material bijih dalam
rangkaian kegiatan pertambangan yang akan menaikkan tonase dan menurunkan secara
relatif rata-rata kadar
Material waste ditempatkan pada tempat yang tidak mengganggu proses ore getting
Exposed Ore : Ore target sudah terbuka/terlihat setelah hasil dari stripping overburden
Ferricrite : Lapisan keras kaya akan besi. Kumpulan pasir atau kerikil yang tersemntasikan oleh
besi oksida atau hidroksida dan terendapkan oleh air
Laterit : Regolith atau tubuh batuan yang mengandung Fe yang tinggi dan telah mengalami
pelapukan termasuk di dalamnya profil endapan material hasil transportasi maupun insitu yang
masih nampak batuan asalnya. (Smith, 1992)
Regolith : Lapisan dari material fragmen batuan dan material lepas (unconsolidated)
Stockyard : Tempat penampungan sementara terhadap material hasil galian (ore) yang
bersifat terbuka terhadap udara bebas dan berhubungan langsung dengan sinar matahari yang
belum melalui proses pengolahan
Mangan (Mn) : Mangan oksida MnO2 : Pirolusit, abu/hitam besi, abu tua, berbekas hitam pada
tangan
Olivin (Mg,Fe)2SiO4 : kuning kehijauan. Forsterit (bila Mg dominan) ataupun Fayalit (bila Fe
dominan).
Piroksen (XY(Si,Al)2O6 ): clino & ortho. (X adalah kalsium, natrium, besi+2, magnesium dan
sedikit seng, mangan, dan litium. Sedangkan Y adalah ion kromium, aluminium, besi+3,
magnesium, mangan, skandium, titanium, vanadium dan besi+2). Al pyroxene & Fe rich-
pyroxene. Bening-kehijauan, hitam kehijauan. Jenis piroksesn : Augit, Enstatit
Sample Face Production (FP) : Kode sample produksi yang diambil pada saat loading ore ke
dump truck
Run of Mine (RoM) : diambil dari lokasi aktif mining dengan menggunakan backhoe.
Pengambilan sample dilakukan. Pengambilan sample dilakukan terhadap 3 titik pada bucket
menggunakan scoop 100D dengan mengambil material proporsional antara soft dan rock
Pengambilan sampel dari 3 titik (sisi kiri, kanan, depan) pada soft bucket dengan sekop 100D,
pastikan proporsional antara soft dan rock agar dapat mewakili daerah yang sedang di mining.
Sample Special Check (SC) : kode sampel yang diambil pada top ore expose atau sampel-sampel
tertentu yang ingin diketahui kadar Ni-nya
1 increment : ±20-30kg