Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN

SEJARAH SAINS DAN ISLAM 1


Dosen Pengampu: Prof. Dr. Drs. Achmad Syahid M.Ag.
Asisten Dosen: Moh. Irvan M.Si.

Disusun Oleh:

Indra Fata Rachman 11220700000146


Falinka Ahsana Ulya 11220700000132
Muhammad Dwi Saputra 11220700000229
Berlian Alya’ Nurhazhizha Budiarto 11220700000130

Kelas: 2D

FAKULTAS PSIKOLOGI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2023

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah Ta’ala. atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul, “Sejarah Sains dan Islam 1”
dapat kami selesaikan dengan baik.

Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah memberikan kami semangat dan motivasi dalam pembuatan tugas makalah ini. Kepada
kedua orang tua kami yang telah memberikan banyak kontribusi bagi kami, dosen
pembimbing kami bapak Prof. Dr. Drs. Achmad Syahid M.Ag. selaku dosen pengampu
mata kuliah Islam dan Ilmu Pengetahuan yang telah memberikan bimbingan serta arahannya.
Tidak lupa, kami ucapkan terima kasih terhadap bantuan dari semua pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.

Demikian makalah ini kami buat, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan, atau
pun adanya ketidaksesuaian materi yang kami angkat pada makalah ini, kami mohon maaf.
Makalah yang berjudul “Sejarah Sains dan Islam 1” ini dalam pembuatannya masih
banyak kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna. Tim penulis menerima kritik dan
saran seluas-luasnya dari pembaca agar bisa membuat karya makalah yang lebih baik pada
kesempatan berikutnya. Penulis juga berharap semoga tujuan penulisan makalah ini dapat
terwujud dan bermanfaat bagi pembaca.

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I 4
PENDAHULUAN 4
A. Latar Belakang 4
B. Rumusan Masalah 5
C. Tujuan Penelitian 5
BAB II 6
PEMBAHASAN 6
A. Mengenali Tradisi Keilmuan Pra-Islam 6
B. Mengenali Aspek Tradisi Ilmiah Islam (Abad ke-8 hingga ke-16) 7
C.Mengenali Wajah Relasi Islam dengan Sains (Abad ke-8 hingga ke-16) 10
D. Mengidentifikasi Jenis, Fungsi, dan Peran Institusi Pengkajian Islam 20
BAB III 24
PENUTUP 24
A. Simpulan 24
B. Saran 24
DAFTAR PUSTAKA 24

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejarah peradaban Islam tidak bisa lepas dari peradaban Arab yang menjadi tempat
lahirnya agama Islam. Oleh karena itu, terkadang peradaban ini disebut dengan peradaban
Arab, karena pertama kali peradaban ini muncul di kalangan bangsa Arab, sekali pun
kemudian meluas dan dikembangkan oleh generasi Islam selain bangsa Arab, baik
melalui transfer ilmu, kesamaan tipologi dan standar, maupun bahasa dan tulisannya.

Selain itu, peradaban ini disebut peradaban Arab karena sebagian tokoh terbesarnya
seperti; Hunain ibn Ishag, Yohana ibn Masawih, Nabit ibn Oarrah dan Ali Abbas Al-
Majusi mereka adalah orang-orang Arab non-muslim. Sedangkan penyebutannya sebagai
peradaban Islam, karena ia sebagai penggagasnya dan selamanya akan menjadi kekuatan
yang menggerakkannya dengan dengan ajaran-ajarannya. Di sisi lain, penyebutan sebagai
peradaban Islam ini dikarenakan sebagian tokohnya yang terbesar adalah orang Islam
non-Arab seperti; Ibnu Sina, Al-Biruni, Abu Bakar Al-Razi, dan Al-Khawarizmi.

Terlepas dari perbedaan penyebutan tersebut, faktor utama dalam sebuah peradaban
besar adalah Ilmu pengetahuan. Sebagai faktor utama dalam perkembangan peradaban,
ilmu pengetahuan mendapatkan perhatian yang serius dalam Islam. Masa sebelum
kedatangan Islam yang disebut dengan Masa Jahiliyah, misalnya, merupakan argumentasi
penting bahwa Islam datang dengan membawa ilmu pengetahuan dan meminimalisir
kebodohan. Predikat "Jahiliyah" bukan berarti bangsa Arab sebelum Islam datang tidak
memiliki peradaban dan mengenal peradaban-peradaban lainnya. Beberapa abad sebelum
Islam muncul, daerah Arab telah mengenal peradaban lembah Nil, peradaban lembah
Daljah dan Furat, peradaban Syam, peradaban Yaman, peradaban Tunis, peradaban
Bahrain, peradaban Yunani, peradaban India dan peradaban Persia.

Ketika Islam datang sebagai agama dengan membawa benih-benih peradaban yang
besar dan secara terang-terangan menghimbau untuk mempelajari ilmu dan
menjadikannya sebagai jalan utama kehidupan.

4
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah diuraikan di atas, dapat dirumuskan
masalah dalam makalah ini adalah :
1. Apa itu Tradisi Keilmuan pra-Islam?
2. Apa saja Aspek Tradisi Ilmiah Islam (Abad ke-8 hingga ke-16)?
3. Bagaimana wajah relasi Islam dengan Sains (Abad ke-8 hingga ke-16)?
4. Apa saja jenis, fungsi, dan peran Institusi Pengkajian Islam (abad ke-8 hingga ke-
16)?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka dapat diketahui tujuan dari pembahasan
pada makalah ini adalah :
1. Untuk mengenali Tradisi Keilmuan pra-Islam.
2. Untuk mengetahui Aspek Tradisi Ilmiah Islam (Abad ke-8 hingga ke-16).
3. Untuk memahami wajah relasi Islam dengan Sains (Abad ke-8 hingga ke-16).
4. Untuk mengidentifikasi jenis, fungsi dan peran Institusi Pengkajian Islam (abad
ke-8 hingga ke-16).

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Mengenali Tradisi Keilmuan pra-Islam

Untuk menghargai status sains yang sebenarnya pada masa Islam, sangat penting untuk
menetapkan statusnya tepat pada saat menjelang era Islam. Karena hanya dengan demikian
kita dapat menentukan sejauh mana ilmu pengetahuan Islam, yang sebagian besar ditulis
dalam bahasa Arab, memang berkembang dan arah yang diambilnya ketika dihadapkan pada
realitas sosial yang baru. Dalam arti tertentu, diskusi tentang sains Islam dari perspektif ini
juga menyiratkan sebuah studi tentang sumber-sumber sains tersebut, dan bagaimana sumber-
sumber tersebut dieksploitasi oleh peradaban Islam yang baru.

Oleh karena itu, aspek ilmu pengetahuan sebelum Islam yang menjadi perhatian kita di
sini adalah ilmu pengetahuan dari dua kerajaan besar di zaman kuno, ditambah dengan ilmu
pengetahuan dari suku-suku lokal di jazirah Arab. Ilmu pengetahuan asli dari kerajaan
Mesopotamia kuno kerajaan, yang telah berkembang ke tingkat yang sangat tinggi di bawah
Seleukus, menjadi menjadi salah satu sumber dari mana ilmu pengetahuan Yunani berasal.
Seperti yang akan kita lihat di bawah ini, beberapa aspek dari ilmu pengetahuan tersebut
dipertahankan oleh penduduk setempat dalam bentuk ilmu pengetahuan populer dan juga
digabungkan dengan ilmu pengetahuan Islam yang maju. Mempelajari salah satu dari ilmu-
ilmu ini secara terpisah merupakan tugas yang berat, karena tidak ada satu pun dari ilmu-ilmu
tersebut yang berkembang secara terpisah dari yang lain. dikembangkan secara terpisah dari
yang lain, dan bentuk di mana salah satu dari mereka ilmu-ilmu yang dikenal dalam
peradaban Islam tentu saja rumit oleh beberapa saling pengaruh timbal balik ilmu-ilmu ini
sebelumnya telah satu sama lain dan pengaruh yang mereka miliki terhadap ilmu
pengetahuan Islam. Untuk berbicara, misalnya, tentang Ilmu pengetahuan Sassania juga
berarti berbicara tentang pengaruh ilmu pengetahuan Yunani terhadap Sassania itu sendiri,
belum lagi pengaruh ilmu pengetahuan India atau Cina atau Ilmu pengetahuan Asia Tengah.
Ilmu-ilmu asli dari suku-suku Arab juga sama dipengaruhi oleh sumber-sumber yang sama,
dan dengan sendirinya telah dipengaruhi oleh jalur perdagangan dari Arabia selatan ke India
dan China.

6
B. Mengenali Aspek Tradisi Ilmiah Islam (Abad ke-8 hingga ke-16)

1. Kemunculan Ilmu Pengetahuan dalam Peradaban Islam

Ilmu pengetahuan merupakan aspek terpenting dalam perkembangan peradaban.


Dalam Islam, Ilmu pengetahuan mendapat perhatian besar dalam ayat-ayat Al-Quran
dan hadis Nabi. Sejak paruh kedua abad kedua Islam, usaha sains dalam Islam pun
sudah mapan dengan cabang-cabang yang jelas dan ilmuwan berkaliber tinggi yang
bekerja dalam disiplin ilmu seperti kosmologi, geografi, astronomi, dan alkimia.

Pada dasarnya, kita sudah mengetahui 2 cabang ilmu pengetahuan yaitu mengenai
ilmu kedokteran dan ilmu astronomi. Dalam bidang kedokteran, banyak perkataan
Nabi yang berhubungan dengan kesehatan, penyakit, kebersihan, dan penyakit-
penyakit tertentu serta penyembuhannya yang dikumpulkan dan disistematisasi oleh
generasi Muslim berikutnya, dan literatur ini menjadi fondasi bagi cabang ilmu
kedokteran tertentu dalam Islam: al-Tibb al-Nabawi, Pengobatan Nabawi. Sedangkan
astronomi Arab pra-Islam secara radikal berubah di bawah pengaruh doktrin
kosmologi Al-Qur'an untuk melahirkan literatur astronomi Islam yang secara umum
disebut sebagai kosmologi bercahaya (al-hay'a as-saniya).

Dasar-dasar dari kedua cabang ilmu pengetahuan ini dapat dibuktikan memiliki
hubungan langsung dengan Al-Qur'an dan Sunnah, dua sumber yang mendefinisikan
segala sesuatu yang Islami. Demikian juga, ilmu-ilmu lain yang muncul dalam
peradaban Islam dapat ditunjukkan memiliki hubungan intrinsik dengan pandangan
dunia Islam, meskipun mereka menerima sejumlah besar materi dari peradaban lain.

Tradisi ilmiah Islam muncul dalam lingkungan intelektual kosmopolitan ( mereka


yang membuat tradisi ini tidak hanya orang Muslim tapi juga orang Yahudi, Kristen,
Hindu, Zoroaster, dan anggota komunitas agama lainnya). Contoh: Khalifah
Abbasiyah al-Mansur (Astronom India) adalah seorang Hindu yang menguasai bahasa
sansekerta. Ia membantu al-Fazari (seorang pemimpin yang memerintah pada paruh
kedua abad ke-8) menerjemahkan sebuah naskah astronomi Sanskerta ke dalam
bahasa Arab (naskah ini mengandung elemen-elemen dari tradisi-tradisi astronomi
yang lebih tua). Tradisi ilmiah ini berkembang pada saat ilmu-ilmu agama telah

7
memiliki pondasi yang kuat, jadi dilihat dari kemapanan ilmu-ilmu agama
sebelumnya dapat disimpulkan bahwa tradisi ilmiah baru muncul ke dalam
lingkungan intelektual yang telah dibentuk oleh pemikiran keagamaan.

Secara umum, perkembangan ilmu pengetahuan dalam peradaban islam terbagi


menjadi tiga fase: 1) Periode Klasik (650-1250 M), ketika ilmu pengetahuan
berkembang sangat pesat, menghasilkan karya-karya besar dan penemuan-penemuan
ilmiah yang belum pernah ada sebelumnya. 2) Pada Abad Pertengahan (1250-1800 M)
semangat intelektual umat islam melemah dan merosot tajam. Karya-karya atau
penemuan-penemuan ilmiah ilmuwan muslim sudah tidak ada yang dihasilkan lagi.
Perhatian terhadap sains menurun secara signifikan. 3) Periode Modern (1800 M -
sekarang) umat islam telah menyadari keterpurukan dan ketertinggalannya terutama
dalam bidang sains dan teknologi. Semangat itu melahirkan beberapa model gerakan
pembaharuan dalam penafsiran dan implementasi ajaran Islam.

2. Koneksi Yunani

Memasuki paruh pertama abad kesembilan. (Baghdad telah menjadi ibu kota
intelektual dan ilmiah kekaisaran Abbasiyah). Seorang tokoh bernama Jabir bin
Hayyan (bapak ilmu kimia), menulis tulisan-tulisan yang berkaitan dengan teori dan
praktik proses dan prosedur kimia, klasifikasi zat, astrologi, kosmologi, ilmu bedah,
kedokteran, alkimia, farmakologi, dan beberapa disiplin ilmu lainnya. Sebenarnya,
selain Jabir, banyak ilmuwan yang kurang dikenal pada periode ini yang
menunjukkan ketertarikan pada astronomi, matematika, kedokteran, dan ilmu lainnya.
Dengan kemunculan teks-teks tadi, ini merupakan suatu hal yang memberikan para
ilmuwan dukungan dan kesempatan untuk bereksperimen, berdiskusi. (dan mereka
tertarik pada lebih dari 1 cabang ilmu pengetahuan).

Perlu diperhatikan bahwa periode awal tradisi ilmiah Islam ini, karena banyaknya
karya Yunani yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab telah menciptakan
kesan yang keliru bahwa tradisi ilmiah Islam muncul melalui Gerakan Penerjemahan,
dan bahwa yang dilakukannya hanyalah melestarikan ilmu pengetahuan Yunani untuk
kemudian disebarkan ke Eropa

3. Islam dan Tradisi Keilmuan

8
David King dalam karya monumentalnya, In Synchrony with the Heavens: Studi
tentang Ketepatan Waktu Astronomi dan Instrumentasi dalam Peradaban Islam Abad
Pertengahan: Apa yang terjadi sebenarnya adalah sesuatu yang agak berbeda. Kaum
Muslimin memang mewarisi ilmu-ilmu Yunani, India, dan Persia Kuno. Tetapi dalam
beberapa dekade mereka telah menciptakan dari bunga rampai ini sebuah ilmu
pengetahuan baru, yang sekarang ditulis dalam bahasa Arab dan penuh dengan
kontribusi Muslim yang baru, yang berkembang dengan inovasi baru hingga abad ke-
15 dan berlanjut setelahnya tanpa ada inovasi lebih lanjut sampai abad ke-19. (King
2004, xvi).

Buku ini telah membawa sejumlah besar materi baru ke dalam bidang sejarah ilmu
pengetahuan Islam yang baru dikenal dalam 30 tahun terakhir. Tak pelak lagi, hal ini
mengubah gambaran keseluruhan yang kita miliki tentang ilmu pengetahuan Islam.
Dan kebetulan aktivitas intelektual tertentu yang mengilhami materi-materi ini
berkaitan dengan kewajiban agama untuk berdoa pada waktu-waktu tertentu. Materi
yang disajikan di sini mematahkan anggapan modern yang populer bahwa agama
pasti menghambat kemajuan ilmu pengetahuan, karena dalam kasus ini, persyaratan
agama yang pertama justru mengilhami kemajuan ilmu pengetahuan selama berabad-
abad. (King 2004, xvii) Karena buku ini bukan tentang sejarah tradisi ilmiah Islam,
melainkan tentang hubungan antara Islam dan ilmu pengetahuan. Tetapi jelas bahwa
apa yang masih harus ditemukan dan dipelajari dari sumber-sumber asli di berbagai
cabang ilmu pengetahuan jauh lebih besar daripada yang sudah dipelajari sejauh ini,
dan bahwa penilaian akhir tentang tradisi ilmiah Islam hanya bisa dilakukan setelah
materi sumber lebih lanjut diperiksa dengan cermat oleh para sejarawan dan
cendekiawan yang kompeten.

Sebelum mengeksplorasi berbagai aspek hubungan Islam dan sains, perlu


ditegaskan bahwa ilmu pengetahuan yang dikembangkan dalam peradaban Islam
tidak selalu merupakan hasil karya umat Islam; pada kenyataannya, sejumlah besar
non-Muslim menjadi bagian dari tradisi ilmiah ini. Apa yang membuat “Sains Islam”
adalah hubungannya yang tidak terpisahkan dengan pandangan dunia Islam, konsep
spesifik tentang alam yang disediakan oleh Al-Qur'an, dan banyaknya perhatian
tradisi Islam yang memainkan peran penting dalam pembentukan usaha ilmiah Islam.
Tentu saja ada, kadang-kadang terjadi perselisihan sengit antara para pendukung

9
berbagai pandangan tentang sifat alam semesta, asal-usulnya, dan komposisinya,
tetapi semua asal-usulnya, dan komposisinya, tetapi semua ketegangan ini berada
dalam doktrin Islam yang lebih luas, yang memahami alam semesta dengan cara yang
spesifik –sebuah konsep yang jelas–, dan berbeda konsepsi yang menempatkan
Pencipta yang unik, pribadi, dan tunggal di pusat semua fenomena. Dilihat dari
perspektif ini, hubungan Islam dan sains dapat dieksplorasi sebagai sesuatu yang jauh
lebih lebih bermanfaat dalam matriks peradaban Islam yang lebih besar.

C. Mengenali wajah relasi Islam dengan Sains (Abad ke-8 hingga ke-16)

1. Kosmologi, Kosmogoni, dan Kosmografi

Kosmologi merupakan ilmu yang membahas asal-usul dan perkembangan alam


semesta. Keyakinan kosmologis Islam berakar pada Al-Qur’an. Perspektif Al-Qur’an
tentang penciptaan alam fisik yaitu alam semesta diciptakan oleh Tuhan untuk suatu
tujuan. Setelah menciptakan alam semesta dan segala isinya, Tuhan tidak
membiarkannya sendiri. Pada kenyataannya, seluruh tatanan ciptaan terus-menerus
ditopang oleh Tuhan; tanpa rezeki, hal ini tidak bisa ada. Pada saat tertentu yang telah
ditentukan sebelumnya, ilmu pengetahuan yang sebenarnya hanya ada pada Tuhan,
segala sesuatu yang ada di dunia akan musnah. Hal tersebut akan diikuti oleh
kebangkitan dan jenis kehidupan baru di bawah seperangkat hukum yang sama sekali
baru.

Penjelasan umum tentang penciptaan dapat ditemukan dalam berbagai ayat Al-
Qur’an yang dilengkapi dengan perincian khusus. Kosmos diciptakan dalam enam
hari (Q. 7:54–56; 25:59), Bumi dalam dua hari (Q. 41:9); Tuhan juga menciptakan
tujuh langit (Q. 2:29), satu demi satu (Q. 67:3). Tuhan menghiasi langit dengan
bintang-bintang (Q. 67:5); Dialah yang telah menggerakkan semua bintang dan planet,
agar umat manusia dapat dipandu dalam perjalanannya dengan posisinya (Q. 6:97);
Dialah Yang menutupi siang dengan malam dan malam dengan siang (Q. 39:5).
Akibat skala waktu yang berubah inilah penjelasan Al-Qur’an tentang asal-usul,
sejarah, dan alam semesta didasarkan pada konsep waktu kualitatif.

Al-Qur’an mengajak para pembacanya untuk mempelajari dunia fisik. Ajakan


untuk mengamati kosmos fisik ini sering disertai dengan pengingat yang tegas bahwa
keteraturan yang dapat diamati adalah tanda kehadiran Sang Pencipta. Keteraturan
10
yang dapat diamati dalam kosmos fisik adalah kesaksian akan kemahakuasaan,
kekuasaan, dan kebijaksanaan Ilahi.

Deskripsi Al-Qur’an tentang dunia memainkan peran sentral dalam kemunculan


berbagai kosmografi dalam pemikiran Islam. Perdebatan tentang pertanyaan tersebut
memunculkan berbagai aliran pemikiran yang akhirnya memadat menjadi dua aliran
utama: Mu'tazilah dan Asy'ariyah, keduanya tertarik pada kosmologi dan
merumuskan teori penciptaan yang komprehensif. Kosmos fisik ada dalam skema
penciptaan yang lebih besar yang mencakup berbagai tingkat keberadaan, termasuk
nonfisik, dan tidak dapat dipisahkan dari konteks ini. Kosmografi para Sufi,
khususnya, menggambarkan dunia fisik dalam kaitannya dengan derajat keberadaan.

Kosmografi yang muncul dalam pemikiran Islam setelah gerakan penerjemahan


didominasi oleh perdebatan tentang keabadian dunia atau penciptaan ex nihilo dalam
waktu. Misalnya, banyak kosmografi membagi dunia fisik ke dalam wilayah selestial
dan terestrial, seperti yang dilakukan Aristoteles, tetapi hal tersebut tidak berarti
menerima pemikiran Aristoteles secara menyeluruh. Filsuf Islam (Ibnu Sina dan Ibnu
Rusyd) harus menyusun kembali kosmos Aristoteles dan konsepnya tentang
keabadiannya, mereka menerima keabadian dunia.

Al-Kindi, diakui sebagai filosof Muslim sejati pertama secara universal, menolak
keabadian materi dan alam semesta, meskipun pemikirannya sangat dipengaruhi oleh
Aristoteles dan Plotinus. Dalam risalahnya “On First Philosophy”, al-Kindi
menggunakan kata ibda' yang berarti memulai sesuatu dari ketiadaan untuk
menunjukkan penciptaan ex nihilo. Al-Kindi juga mengembangkan tiga argumen
penciptaan alam semesta: argumen dari ruang, waktu, dan gerak; argumen dari
komposisi; argumen dari waktu.

2. Geografi, Geodesi, Kartografi

Al-Biruni telah menghabiskan banyak waktu di Jurjaniyya selama awal hidupnya


dan memulai pelatihan ilmiahnya pada usia dini. Al-Biruni tertarik pada berbagai
mata pelajaran, termasuk astronomi, astrologi, matematika terapan, farmakologi, dan
geografi. Karya Al-Biruni tentang geografi ditulis pada saat ilmu geografi sudah
mapan di dunia Muslim. Berbagai karya ahli geografi Mesir, India, Yunani, dan

11
Persia pra-Islam telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab atau sedang
diterjemahkan.

Pedagang, ilmuwan, cendekiawan, dan pengkhotbah Muslim melakukan


perjalanan panjang dan lebar dari rute perdagangan kuno, berbagai kota baru
bermunculan, dan terdapat minat besar untuk mencatat dan mengotentikasi koordinat
geografis dari tempat-tempat yang jauh. Setidaknya, sebagian dari minat pada
geografi ini didorong oleh persyaratan agama seperti menunaikan haji, ziarah tahunan
yang mengharuskan bepergian ke Makkah. Banyak dari ahli geografi ini juga
sejarawan, astronom, matematikawan, penulis sejarah, dan sarjana agama.

Kebutuhan untuk menentukan arah Ka'bah (kiblat) memainkan peran penting


dalam pengembangan cabang tradisi ilmiah Islam, termasuk geografi dan astronomi.
Al-Biruni menggambarkan metode sederhana bagi para arsitek dan pengrajin untuk
menentukan kiblat dari Ghazna dalam Kitab Tahdid al-Amakin miliknya. Metode
tersebut melibatkan menggambar garis pada permukaan lingkaran yang stabil dan
dipoles.

Ilmuwan lain yang menulis tentang geografi selama abad ke-8 dan ke-9 termasuk
al-Fazari (abad kedelapan), al-Khawarizmi (wafat sekitar 847), al-Farghani (wafat
setelah 861), al-Balkhi (wafat 886), dan Ibnu Khurradadhbih (w. 911), yang mungkin
telah memprakarsai tradisi karya yang umumnya berjudul al-Masalik wa'l mamalik
(Jalan Raya dan Negara) ditulis pada tahun 846 dan direvisi pada tahun 885.

Karya para ahli geografi abad kedelapan dan kesembilan ini memiliki dua genre:
karya jenis pertama mencakup informasi tentang topografi dan sistem jalan dunia
Muslim; karya yang kedua menghasilkan peta dan gambaran umum seluruh dunia.
Hal tersebut menarik untuk didiskusikan bahwa tidak semua karya geografi
menggunakan sistem yang sama untuk menggambarkan geografi fisik, manusia, dan
ekonomi. Beberapa darinya mempresentasikan materi menggunakan arah mata angin
sebagai titik referensi, sementara yang lain menggunakan sistem Iqlim (daerah) Persia.
Terakhir, ada yang mengambil Makkah sebagai pusat dunia.

Karya-karya ensiklopedis mulai bermunculan dengan akumulasi data. Hal ini


termasuk geografi dunia, kamus geografis, literatur maritim yang memberikan

12
perincian tentang lautan dan wilayah pesisir, kompilasi khusus untuk berbagai
wilayah, serta catatan perjalanan umum.

Salah satu ahli geografi terhebat pada abad ke-12 dan ke-13 adalah Yaqut al-
Hamawi (w. 1229). Yaqut meninggalkan banyak karya ensiklopedis, salah satu dari
empat karya yang telah ditemukan adalah Mu'ajam al-buldan. Karya yang telah
mencapai status klasik dan masih digunakan sebagai referensi oleh para sarjana di
dunia Muslim maupun di Barat. Disusun dalam urutan abjad, Mu'ajam telah
melestarikan kekayaan informasi tidak hanya pada posisi geografis, batas-batas, dan
koordinat tetapi juga ulama, seniman, dan ilmuwan. Dengan penuh semangat
diberikan pada detail, karya geografi Yaqut terkait erat dengan sejarah; sama-sama
memperhatikan ortografi yang benar. Hal tersebut dikarenakan dia sadar bahwa
sedikit kecerobohan dapat menyebabkan kesalahan besar. Inspirasinya untuk
menyusun kamus geografi tersebut berasal dari Al-Qur’an sesuai dengan
pengantarnya.

Kartografi merupakan ilmu produksi peta, konstruksi proyeksi, dan desain.


Kartografi menjadi kebutuhan dasar dunia Muslim yang berkembang di generasi
pertama. Kebutuhan administrasi dari tanah yang baru ditaklukkan memerlukan
deskripsi terperinci, dan peta awal muncul berdasarkan informasi langsung dari
wilayah baru. Tradisi ini menerima dorongan paling langsung dari kebutuhan agama
yang telah disebutkan—kebutuhan untuk menentukan kiblat.

Setelah abad kesepuluh, kartografi mengembangkan fitur-fitur Islam yang ditandai,


menunjukkan pengaruh pandangan dunia Islam di berbagai bidang seperti politik dan
budaya serta aspek spiritual Islam. Hal ini muncul dari sebuah tradisi baru dalam
geografi Islam yang telah disebutkan—disebut Tradisi Balkhi, dinamai dari Abu Zayd
Ahmad bin Sahl al-Balkhi (wafat 934). Karya geografi Al-Balkhi Suwar al-Aqalim,
dimana ia menggambarkan fitur geografis dunia Muslim, membagi setiap provinsi
menjadi iqlim, disertai dengan peta yang disalin dan diperbaiki oleh al-Istakhari
(wafat 951). Karyanya kemudian diperbaiki lebih lanjut oleh ahli geografi hebat
lainnya, Ibn Hawqal (w. 977) yang memetakan 22 peta, termasuk peta dunia.

Tradisi baru kartografi Islam ini berbeda dari tradisi Yunani-Muslim dari berbagai
sisi. Kota suci Makkah menempati posisi sentral; selatan ditempatkan di atas

13
sedangkan utara di bawah. Hal tersebut tidak diragukan lagi karena penghormatan
yang ditujukan kota suci ini.

Selain aspek ilmiah dari peta, pertimbangan harus diberikan pada estetika Islam
yang khas dan skema warna, bahan yang digunakan untuk menggambar peta (berkisar
dari kuningan hingga sutra halus), dan keasyikan yang teguh dengan kisi-kisi terarah
yang berorientasi pada kiblat. Hal ini terus-menerus mengingatkan orang beriman
berkaitan konsep Al-Quran tentang “Jalan yang Lurus”.

3. Matematika

Al-Khawarizmi (lahir sekitar 780, meninggal setelah 847) kemungkinan besar


datang ke Bagdad dari Khawarizm. Kontribusinya pada aritmatika, aljabar, geografi,
dan astronomi memainkan peran penting dalam perkembangan selanjutnya dari ilmu-
ilmu ini, baik di dunia Muslim maupun di Eropa. Buku tentang aritmatika, buku
penjumlahan dan pengurangan dengan Metode Perhitungan Orang Hindu,
memperkenalkan penggunaan angka Hindu 1–9, angka nol, dan sistem nilai tempat
yang masih digunakan hingga saat ini.

Angka-angka yang saat ini digunakan terdiri dari sembilan digit dan nol—atau sifr,
sebuah kata Arab dari kata Bahasa inggris ‘cipher’; kata nol juga berasal dari bahasa
Arab melalui Italia, yang menerimanya melalui kata Latin tengah ‘zephirum’. Angka
tersebut datang dari umat Hindu, tetapi mereka tidak menggunakan sistem ini untuk
mewakili bagian unit dengan pecahan desimal. Hal tersebut dikarenakan penemuan
matematikawan Muslim.

Karya awal lainnya, Ushul Hisab al-Hind (Prinsip Perhitungan Hindu), yang
ditulis sekitar 150 tahun setelah risalah al-Khawarizmi, memberikan wawasan tentang
sejarah perkembangan desimal. Karya astronom ulung ini, Kushyar bin Labban (fl. ca.
1000), terdapat dua bagian dan dilengkapi dengan bab tentang akar pangkat tiga.
Kushyar menggunakan sistem Babilonia untuk pecahan, papan debu untuk
perhitungan, dan dirham sebagai satuan mata uang.

Pada abad yang sama di mana Al-Khawarizmi hidup, sejumlah ilmuwan lain
menghasilkan karya di berbagai cabang matematika. Hal tersebut termasuk filsuf
terkenal al-Kindi (w. 873), muridnya Ahmad al-Sarakshi (fl. abad kesembilan), al-

14
Mahani (fl. abad kesembilan), yang terutama dikenal karena studinya tentang masalah
Archimedes, dan ketiga putra Shakir ibn Musa—Muhammad, Ahmad, dan Hasan.
Selama abad berikutnya, di mana beberapa terjemahan yang paling penting dan halus
dibuat, Thabit ibn Qurrah menerjemahkan Conics of Apollonius, banyak risalah
Archimedes, dan Pengantar Aritmatika Nicomachus. Seperti angka, pecahan desimal
yang sekarang digunakan untuk mewakili pecahan merupakan kontribusi asli dari
tradisi ilmiah Islam.

Tidak ada hitungan matematika dalam peradaban Islam yang lengkap tanpa
menyebut Omar Khayyam (1048–1131), yang paling dikenal di Barat karena
Rubaiyat (Quatrains) miliknya. Khayyam menulis risalah yang belum ditemukan
yang disebut Masalah Aritmatika (Mushkalat al-hisab), risalah kunci tentang
persamaan kubik (Risala), komentar panjang tentang Euclid, dan banyak karya lain
tentang astronomi, musik, aritmatika, dan aljabar, selain karya puitis dan filosofisnya
yang lebih terkenal. Sekitar tahun 1079, dia mengusulkan reformasi kalender yang
saat itu digunakan.

Islam berperan dalam perkembangan ini dapat dilihat dari fakta bahwa al-
Khawarizmi mengabdikan paruh kedua aljabarnya untuk contoh menghitung warisan
(yang rasio teoritisnya disediakan oleh hukum agama) dan zakat (kewajiban sedekah
yang diberikan setiap muslim dari hartanya jika melebihi jumlah tertentu). Pembagian
warisan dan perhitungan zakat bisa menjadi urusan yang rumit dan pengembangan
rumus matematika yang sesuai membutuhkan pemahaman penuh tentang hukum
agama yang terlibat. Selain itu, banyak matematika terapan diperlukan untuk
memecahkan masalah astronomi yang terkait dengan praktik keagamaan lainnya.
Demikian pula, matematika adalah alat yang sangat diperlukan dalam geografi suci.

Setiap huruf bahasa Arab juga diberi nomor, dan ilmu lengkap (jafr) berdasarkan
nilai numerik huruf muncul. Hal ini memiliki banyak dimensi, mulai dari interpretasi
mistik Al-Quran hingga tradisi penulisan ayat-ayat yang dapat menghitung tanggal
kematian. Jadi, angka bukan hanya simbol kuantitas; melalui bentuk-bentuk geometris
di satu sisi dan ilmu jafr. Di sisi lain, angka mewakili banyak spiritual dan aspek
estetika dari tatanan yang diciptakan.

4. Astronomi

15
Perintah Al-Qur’an untuk menetapkan shalat itu menyebabkan perkembangan
cabang khusus astronomi agama yang disebut ilm al-miqat, ilmu yang berurusan
dengan tiga aspek berbeda yang membutuhkan solusi astronomi: arah kiblat,
penentuan waktu shalat, dan penampakan hilal. Pada awalnya, metode perkiraan
berdasarkan astronomi rakyat digunakan untuk menentukan arah dan waktu sholat.
Metode ini menggunakan fenomena astronomi yang terlihat dengan mata telanjang,
arah angin, posisi bintang, dan sejenisnya.

Seiring kemajuan penelitian astronomi, metode yang lebih canggih mulai


bermunculan. Pada pertengahan abad kesembilan, astronomi suci telah mapan
sepenuhnya. Banyak ilmuwan berkontribusi pada pengembangan ilmu ini, seperti al-
Khawarizmi (w. 847) dan al-Battani (w. 929), memegang posisi khusus untuk
mengusulkan tabel baru berdasarkan perbedaan garis bujur antara Makkah dan tempat
tertentu.

Perkembangan lebih lanjut di bidang ini dipimpin oleh para ilmuwan seperti
Habash al-Hasib (wafat 864), al-Nayrizi (wafat 922), dan Ibnu al-Haytham (wafat
1040). Al-Biruni (w. 1050) menggunakan trigonometri bola untuk memberikan solusi.
Selama abad ke-13, formulasi baru muncul karena karya astronom seperti Abu Ali al-
Marrakushi (fl. 1281), yang metodenya mungkin digunakan oleh muwaqqit al-Khalili
Damaskus (fl. 1365) untuk menghitungnya yang sangat maju dan tabel kiblat yang
akurat.

Pengaturan waktu astronomi juga mengarah pada pengembangan tabel miqat yang
dihitung berdasarkan koordinat lokasi tertentu. Salah satu tabel miqat paling awal
dikaitkan dengan Ibnu Yunus (wafat 1009), yang karyanya menjadi dasar bagi banyak
tabel berikutnya yang digunakan di Kairo hingga abad ke-19.

Selain astronomi matematika dan tradisi miqat, astronomi Islam juga telah
mewariskan observatorium dan instrumen astronomi. Padahal, observatorium, rumah
sakit, madrasah, dan perpustakaan umum merupakan empat ciri lembaga peradaban
Islam. Observatorium pertama mungkin dibangun oleh umat Islam selama periode
Umayyah (661–750).

Penelitian astronomi paling maju dalam tradisi ilmiah Islam mungkin dilakukan di
Maragha, Iran Barat antara pertengahan abad ke-13 dan ke-14—periode yang disebut

16
"Zaman Keemasan" astronomi Islam. Karya empat astronom—Mu'ayyad al-Din al-
Urdi (w. 1266), Nasir al-Din al-Tusi (w. 1274), Qutb al-Din al-Shirazi (w. 1311), dan
Ibn al-Shatir (w. 1375)—sangat penting. Ibn al-Haytham (w. 1048) dan Abu Ubayd
al-Juzjani (w. ca. 1070) melihat beberapa kontradiksi dalam model alam semesta
Ptolomeus.

Selain fungsi religiusnya yang bermanfaat, astronomi juga melayani para astrolog
yang pada umumnya dikutuk karena mengklaim memiliki pengetahuan tentang
peristiwa masa depan. Klaim ini bertentangan dengan ajaran Al-Quran bahwa hanya
Tuhan yang mengetahui masa depan (Q. 27:64). Oleh karena itu, klaim para astrolog
sama dengan mengklaim bagian dari pengetahuan Tuhan. Selain Al-Qur’an, banyak
sabda Nabi juga mengecam bintang-bintang dan pergerakannya sebagai sumber
keberuntungan atau kesialan seseorang. Hal ini membuat para cendekiawan Muslim
mengembangkan kritik ekstensif terhadap astrologi. Terlepas dari semua ini, astrologi
tetap populer di kalangan penguasa dan elit, dan terkadang menimbulkan ketegangan
yang meluas ke bidang terkait astronomi.

5. Fisika

Fisika tetap mengakar dalam kerangka Aristoteles selama 800 tahun tradisi ilmiah
Islam. Dengan demikian, fisika dipahami sebagai cabang ilmu yang berurusan dengan
perubahan. Perubahan dipelajari dalam kerangka umum Aristoteles terkait bentuk dan
materi, potensi dan aktualitas, dan penyebabnya. Posisi Muslim Peripatetics, yang
mengikuti Aristoteles dalam pemahaman mereka tentang fisika, memegang posisi
dominan (walaupun tidak eksklusif) dalam mempelajari perubahan.

Peripatetics ditentang oleh para ilmuwan, filsuf, dan ulama, yang menantang
pandangan Aristoteles, meskipun untuk alasan yang berbeda. Sementara itu, ilmuwan
independen seperti Abu Bakr Zakaria al-Razi dan al-Biruni menentangnya dasar
ilmiah dan filosofi. Teolog seperti Abu'l Barakat al-Baghdadi (w. 1023) dan Fakhr al-
Din al-Razi (w.1209) menentang pandangan Aristotelian dari perspektif agama dan
filosofis serta merumuskan pandangan tentang waktu, ruang, dan kausalitas yang
berbeda dari pandangan Aristoteles. Dalam konsepsi non-Aristoteles tentang alam,
seseorang menemukan karakteristik Islam yang berbeda, baik cara di mana penciptaan
sesuatu dirasakan maupun cara terjadinya perubahan. Misalnya, teori keseimbangan

17
yang dikemukakan oleh Abu'l-Fath Abd al-Rahman al-Khazini (fl. 1115–1130) dalam
risalah utamanya Kitab Mizan al-Hikma (The Book of the Balance of Wisdom)
berkaitan dengan konsep pusat gravitasi dengan cara non-Aristoteles. Dia juga
melanjutkan pekerjaan hidrostatika dan mekanika oleh al-Biruni, al-Razi, dan Omar
Khayyam.

Arus anti-Aristotelian dalam filsafat dan sains Islam menghasilkan ide-ide baru
tentang waktu, ruang, dan sifat materi dan cahaya. Namun, ketegangan antara mereka
yang berpegang pada pandangan Aristoteles tentang alam dengan mereka yang anti-
Aristoteles tidak dapat dianggap sebagai ketegangan antara “Islam” dan “sains”,
sebagaimana terkadang ditekankan untuk menekankan model konflik; sebaliknya, ini
adalah ketegangan yang sebagian besar terbatas pada bidang filsafat, karena terutama
difokuskan pada keyakinan filosofis Aristoteles yang menentang keyakinan Islam dan
tidak memiliki dasar ilmiah.

Arus berlawanan ini muncul dalam tradisi Islam pada awal gerakan penerjemahan,
pada pertengahan abad ke-8, dan menjadi sangat kuat pada pertengahan abad ke-11
ketika hampir seluruh karya filsafat dan ilmiah Yunani telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab.

Cabang-cabang fisika lainnya—seperti optik, mekanika, dan dinamika—


dimasukkan dalam karya standar ilmuwan dan filsuf Muslim. Meskipun terdapat
sebagian besar tetap Aristotelian dalam pandangan dan doktrin dasar, konsep materi,
ruang, waktu, non-Aristotelian, dan kausalitas.

6. Geologi dan Mineralogi

Geologi merupakan ilmu yang berhubungan dengan dinamika dan sejarah fisik
Bumi, batuan penyusunnya, dan perubahan fisik, kimia, dan biologis yang telah atau
sedang dialami Bumi.

Penyebab ilmu geologi menjadi perhatian khusus ilmuwan Muslim dan filsuf abad
pertengahan adalah cabang ilmu yang perhatiannya diarahkan oleh Al-Quran itu
sendiri dan hal tersebut berguna secara praktis. Bagi ilmuwan Muslim dari periode
antara abad kedelapan dan keenam belas, Bumi diciptakan oleh Tuhan untuk jangka
waktu dan tujuan tertentu. Hal tersebut merupakan tempat keajaiban dan pengamatan

18
yang mengarah pada pemahaman tentang Kebijaksanaan, Kekuatan, dan Kerahiman
Ilahi, dengan rezeki yang disediakan untuk setiap makhluk hidup di Bumi.

Bumi dianggap memiliki posisi khusus di alam semesta. Perhatian khusus


diberikan pada pembentukan batuan, pegunungan, aliran sungai, proses alam, mineral,
dan lapidaries. Terdapat batu dan permata dipelajari untuk khasiat obatnya. Berbagai
batu dan mineral diubah menjadi bentuk yang dapat dicerna sehingga dapat
dimasukkan ke dalam tradisi farmakologis Islam.

Berbagai karya tertentu ilmuwan Muslim memberi contoh dari kemampuan


pengamatan dan perumusan teori geologis mereka. Misalnya, Al-Biruni meninggalkan
sebuah karya tentang batu mulia. Buku tersebut menggabungkan wawasan filosofis,
informasi geologis, sejarah, farmakologi, komentar tentang berbagai penguasa,
kebiasaan beberapa negara, dan banyak refleksi lainnya dalam bentuk narasi yang
meyakinkan. Al-Biruni menggambarkan berbagai batu mulia, menceritakan peristiwa
dari perjalanannya, mengutip penyair, pendongeng, dan filsuf, sambil menjelaskan
nilai atau sifat batu mulia dan permata. Tidak hanya itu, Al-Biruni memberikan
deskripsi ilmiah tentang cara pembentukan batu mulia tertentu.

Selain al-Biruni, banyak ilmuwan Muslim lainnya, seperti al-Kindi, Ibnu Sina, al-
Mas'udi, dan al-Idrisi juga telah meninggalkan karya berharga di bidang geologi dan
mineralogi. Semua karya ini mencerminkan pandangan dunia yang berlabuh pada Al-
Quran dan sistem kepercayaan yang menganggap Bumi sebagai Tanda Pencipta.

7. Cabang Ilmu Lainnya

Selain cabang ilmu yang telah disebutkan, masih ada cabang-cabang lain—seperti
zoologi, ilmu kedokteran hewan, alkimia, dan berbagai ilmu kedokteran—yang
memiliki banyak hubungan langsung dan tidak langsung dengan Islam. Misalnya, Al-
Quran menyebutkan sejumlah binatang dan burung dengan namanya yang berbicara
tentang manfaatnya bagi umat manusia. Seperti contohnya, makan daging hewan
tertentu dianggap haram dalam hukum Islam. Tidak hanya itu, banyak tanaman dan
buah-buahan juga disebutkan dalam Al-Qur’an. Ayat-ayat Al-Quran ini memberikan
kerangka teoretis tertentu untuk budidaya zoologi, botani, dan terkait ilmu lainnya.

19
Kata-kata dan praktik Nabi juga membentuk dasar psikologi praktis yang sangat
dimajukan oleh para ilmuwan dan cendekiawan Muslim. Psikologi praktis juga
dibentuk oleh ayat-ayat Al-Quran yang membahas hubungan antara kondisi manusia
dengan Sang Pencipta. Nabi merekomendasikan doa khusus untuk orang sakit.
Kebiasaan Nabi adalah mengunjungi orang tua dan orang sakit serta memberi mereka
harapan dan kegembiraan. Ayat-ayat Alquran dan praktik Nabi digunakan oleh
cendekiawan Muslim untuk mengembangkan kerangka komprehensif untuk praktik
ilmu yang berkaitan dengan kesehatan, pengobatan preventif, dan kesejahteraan
psikologis.

Dalam keseluruhan kerangka ilmu kedokteran Islam, tradisi “Pengobatan Nabi”


jelas diilhami langsung oleh ajaran dan praktik Nabi Islam. Kajian di cabang ilmu
kedokteran ini diiringi dengan upaya melestarikan sesuai sabda Nabi. Perkataan Nabi
tentang kesehatan, penyakit, kebersihan, dan masalah lain yang berkaitan dengan
pengobatan mengandung referensi khusus untuk penyakit. Nabi juga
merekomendasikan pengobatan seperti bekam, kauter, dan penggunaan madu dan
bahan alami lainnya.

Literatur tentang Tibb al-Nabawi (Pengobatan Nabi) merupakan genre yang


berbeda dalam ilmu kedokteran Islam dan terdapat banyak karya yang berhubungan
dengan berbagai aspek tradisi tersebut. Salah satu karya paling terkenal adalah Tibb
al-Nabawi dari Ibnu Qayyim al-Jawziyya (w. 1350). Dalam bukunya, Ibnu Qayyim
al-Jawziyya memberikan prinsip-prinsip umum kesehatan dan penyakit,
merefleksikan hubungan antara obat dan agama, menyebutkan sabda Nabi tentang
obat dan membahas peran Wahyu Ilahi dalam pengobatan. Tradisi Pengobatan Nabi
adalah kumpulan literatur yang berhubungan dengan studi farmakologis pada herbal
dan berbagai bahan alami yang digunakan atau direkomendasikan oleh Nabi.

D. Mengidentifikasi jenis, fungsi dan peran Institusi Pengkajian Islam (abad ke-8
hingga ke-16)

1. Tokoh Ilmuwan IslamAl-Kindi (wafat 250/863)


Al-Kindi salah seorang yang dianggap sebagai tokoh penting di Eropa pada
Abad Pertengahan. Al-Kindi telah menerbitkan berbagai macam buku, terutama
pemikirannya di bidang filsafat sehingga dianggap sebagai seorang filsuf Islam

20
terbesar. Menurutnya ilmu pengetahuan terbagi menjadi dua divisi, yaitu Ilmu
Filosofi dan Ilmu Agama. Ilmu Filosofi terbagi menjadi enam, yaitu: Ilmu
matematika, Metafisika, Ilmu pengetahuan alam, Logika, Moral, dan Politik.

a) Al-Farabi (wafat 339/950)


Abu Nasr Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tarkhan Ibn Uzalagh, seorang
filsuf berkebangsaan Turki. Terkenal dengan nama Abu Nashr, dan Al-Farabi
yang diambil dari kota kelahirannya. Al-Farabi banyak mempelajari karya-karya
Aristoteles dan Plato yang merupakan sosok pemikir klasik. Al-Farabi
menerbitkan berbagai buku tentang filsafat Aristoteles dan Plato. Dalam
klasifikasi ilmu pengetahuan, Al-Farabi menulis dua buku: Ihsa 'al-'ulum (Survei
Ilmu Pengetahuan) dan al-Tanbih 'ala sabil al-sa 'ada (Pengingat Jalan
Kebahagiaan). Ihsa' al-'ulim terbagi menjadi lima bagian, yaitu: Linguistik,
Logika, Matematika, Ilmu Alam dan Metafisika, serta Politik.

b) Ikhwan al-Safa' (pertengahan abad keempat/kesepuluh)


Dalam Rasa’il Ikhwan al-Safa’ terdapat beberapa bagian yang berhubungan
dengan ilmu pengetahuan. Hal tersebut dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu:
- ILMU PROPAEDEUTIKA: Ilmu awal yang biasa digunakan untuk
mencari nafkah. Terbagi menjadi sembilan, yaitu: Menulis dan membaca,
Leksikografi dan tata bahasa, Pembukuan dan perdagangan, Puisi dan
prosodi, Augury dan pertanda, Alkimia dan penemuan mekanis,
Perdagangan dan kerajinan, Perdagangan, pertanian, dan peternakan,
Biografi dan sejarah.
- ILMU FILSAFAT
● Ilmu matematik terbagi menjadi empat, yaitu Aritmatika (yaitu,
pengetahuan tentang quiddity angka, bersama dengan jenis dan sifat
angka), Geometri, Astronomi, dan Musik.
● Ilmu logis terbagi menjadi tiga, yaitu Puitis (pengetahuan menulis
puisi), Retorika (pengetahuan tentang seni [menyusun] orasi), Topik
(pengetahuan tentang debat).
● Ilmu alam terbagi menjadi tujuh, yaitu Prinsip-prinsip materi, Langit
dan bumi, Generasi dan pembusukan, Fenomena atmosfer, Mineralogi,
Botani, Zoologi.

21
● Ilmu metafisik terbagi menjadi lima, yaitu Pengakuan Sang Pencipta,
Makhluk spiritual, Jiwa universal dan individu, Politik, Kebangkitan.
- ILMU HUKUM AGAMA: Ilmu-ilmu ini ditetapkan untuk mengobati jiwa
dan pencarian kehidupan di akhirat. Terbagi menjadi enam, yaitu:
● Wahyu
● Interpretasi alegoris al-Qur'an
● Laporan, dan tradisi Nabi dan otoritas rekondisi lainnya
● Yurisprudensi, persenjataan dan hukum
● Doa, khutbah, pertapaan dan mistikus
● Interpretasi mimpi.

2. Peranan pengkajian Islam di Nusantara

Islam diperkirakan sudah masuk mulai abad ke-8 Masehi di Nusantara (Hasjmi,
1993). Islam datang bersama dengan para armada laut yang singgah dan
memanfaatkan lintas wilayah strategis dari Aceh, karena kondisi geografisnya yang
berhadapan langsung dengan dua muka laut, yaitu samudera Hindia dan selat Malaka.
Hal tersebut membuat munculnya beberapa teori masuknya Islam ke Nusantara,
seperti; teori Gujarat, teori Persia, teori Arab, maupun teori China (Hasbi Amiruddin,
2004). Salah satu dari teori tersebut didukung oleh Hasjmi (1993) yang mengatakan
bahwa, Islam dibawakan pertama kali oleh mereka para armada laut yang berasal dari
Arab Quraisy, Persia, dan Gujarat sejumlah 100 orang, mereka pergi menuju Aceh
melalui sebuah daerah yang disebut dengan Perlak pada tahun 840 Masehi.

Seiring berjalannya waktu, Islam yang diterima oleh masyarakat kedatangannya


bisa berkembang cukup pesat dengan adanya sebuah dorongan yang besar dari para
Raja dan tokoh penting Aceh lainnya (Azmi, 2020). Salah satu metode yang
dilakukan mereka untuk mengembangkan Islam menggunakan sudut masjid sebagai
sarana pembelajaran Islam bagi yang ingin mendalami (Amiruddin, 2010). Hal
tersebut merupakan tradisi lama Rasulullah dan sahabat pada awal Islam di Madinah,
hal ini dikenal dengan sebutan “Zawiyah” yang kemudian menjadi “Dayah” karena
mengikuti aksen Nusantara. Seiring berjalannya waktu, dayah ini semakin
berkembang hingga menjadi sebuah lembaga pendidikan Islam (Abubakar, 2015).
Lembaga tersebut diinisiasi oleh Teungku Muhammad Amin yang merupakan
seorang pangeran kerajaan Perlak, dan lembaga tersebut melahirkan sebuah institusi

22
pendidikan Islam yang dikenal dengan sebutan Zawiyah Cot Kala (Dayah Cot Kala)
pada abad ke-10 Masehi (Hadi, 2014).

Waktu demi waktu terus berjalan, lambat laun Dayah Cot Kala yang berupa
sebuah fondasi dari keagamaan masyarakat Aceh menghasilkan generasi-generasi
hebat yang kemudian menjadi seorang qadhi, raja, dsb (Mashuri, 2013).
Perkembangan tersebut diiringi oleh berkembangnya kekuasaan Aceh yang menjadi
sebuah kerajaan Islam yang dikenal dengan nama Aceh Darussalam, disaat itu pula
dayah menduduki masa keemasannya. Di masa tersebut Dayah semakin menjadi lebih
teratur dan kerajaan pun memiliki aturan besar yang disebut dengan Qanun Meuka
Alam. Terdapat tiga jenjang pendidikan Islam, yaitu: Sekolah Dasar di Meusanah,
Sekolah Menengah Pertama di Rangkang, dan Sekolah Menengah Atas di Manyang.

Namun, keadaan sedikit berubah ketika datangnya kolonial Belanda ke Nusantara.


Islam sedikit mengalami kemunduran karena masa peperangan yang panjang, bahkan
dayah yang merupakan pusat pendidikan berubah menjadi pusat perlawanan terhadap
kolonialisme (Silahuddin, 2016). Mereka para ulama ikut andil dalam respon
kolonialisme dengan digelarnya perang suci melalui karya syair mereka, hingga
Belanda sedikit mengakui keadaan masyarakat Aceh dan menyebutnya dengan istilah
Aceh Modern atau Aceh gila. Meskipun dalam masa-masa kemunduran terdapat
empat fungsi dayah yang bersifat inherent dalam perjalanan sejarah masyarakat Aceh
hingga detik ini, yaitu:
a) Dayah sebagai media penyebaran Islam.
b) Dayah sebagai pusat pendidikan Islam.
c) Dayah sebagai pusat perlawanan terhadap kolonialisme.
d) Dayah sebagai pusat pengembangan masyarakat.

Setelah masa kemerdekaan Indonesia, kondisi tersebut sempat mati suri hingga
kemudian terlahir kembali dengan tanda munculnya beberapa dayah, seperti; Dayah
Darussalam Labuan Haji yang didirikan oleh Abuya Syeikh Muhammad Wali Al-
Khalidy dan Dayah Teungku Hasan Krueng Kale yang didirikan oleh Syeikh
Sulaiman ar-Rusuli di Bukittinggi. Kemudian dayah tersebut membuat jaringan
dengan ulama-ulama dan terus berkembang hingga saat ini.

23
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan

Aspek ilmu pengetahuan sebelum Islam yang menjadi perhatian kita di sini adalah
ilmu pengetahuan dari dua kerajaan besar di zaman kuno, ditambah dengan ilmu
pengetahuan dari suku-suku lokal di jazirah Arab. Aspek Tradisi Ilmiah Islam (Abad ke-8
hingga ke-16) sejak paruh kedua abad kedua Islam, usaha sains dalam Islam pun sudah
mapan dengan cabang-cabang yang jelas dan ilmuwan berkaliber tinggi yang bekerja
dalam disiplin ilmu seperti kosmologi, geografi, astronomi, dan alkimia.

Wajah relasi Islam dengan Sains (Abad ke-8 hingga ke-16) mencakup: 1)
Kosmologi, Kosmogoni, dan Kosmografi; 2) Geografi, Geodesi, Kartografi; 3)
Matematika; 4) Astronomi; 5) Fisika; 6) Geologi dan Mineralogi; dan 7) Cabang ilmu
lain.

Peran Institusi Pengkajian Islam (abad ke-8 hingga ke-16) meliputi: 1) Tokoh
Ilmuwan IslamAl-Kindi (wafat 250/863) yaitu Al-Farabi dan Ikhwan al-Safa’ ; sementara
2) Peranan pengkajian Islam di Nusantara, 1) Dayah sebagai media penyebaran Islam; 2)
Dayah sebagai pusat pendidikan Islam.; 3) Dayah sebagai pusat perlawanan terhadap
kolonialisme; 4) Dayah sebagai pusat pengembangan masyarakat.

B. Saran

Perkembangan ilmu dan teknologi, perkembangan teknologi informasi yang telah


dirasakan tentu akan berpengaruh terhadap kebudayaan yang akan dibangun di masa
mendatang. Sehingga peradaban Islam yang akan terjadi di beberapa tahun ke depan,
mestinya juga harus diantisipasi dari sekarang.

24
DAFTAR PUSTAKA

Ansori, Z. I.& Nawwah, I. I. (2016). The Different Aspects of Islamic Culture, Volume 1.
Paris: Unesco Publishing.

Esposito, J. L. (1999). The Oxford Histrory of Islam. New York: Oxford University Press.

Huff, T. E. (2003). The Rise of Early Modern Sciene. New York: Cambridge University Press.

Iqbal, M. (2009). The Making of Islamic Science. Islamic Book Trust.

Nasser, S. H.. (2001). Science and Civilization in Islam. Chicago: ABC International Group,
Inc.

Perkembangan Ilmu Pengetahuan dalam Peradaban Islam,


https://www.academia.edu/4823938/Perkembangan_Ilmu_Pengetahuan_dalam_Perad
aban_Islam

25

Anda mungkin juga menyukai