Anda di halaman 1dari 26

1.

Kerajaan Kutai
Kerajaan Kutai merupakan salah satu kesultanan yang berdiri di Indonesia.
Kerajaan ini menjadi salah satu kerajaan tertua di Indonesia karena berdiri di
era perkembangan agama Hindu-Budha.
Ada banyak prasasti kerajaan Kutai yang menjadi bukti dari peninggalan
kerajaan ini. Adapun, prasasti tersebut menceritakan tentang kehidupan
politik, sosial, hingga perdagangan di masanya.

Raja dan Masa Kejayaan Kerajaan Kutai


Kerajaan Kutai Martadipura yang terletak di tepi sungai Mahakam, Kutai,
Kalimantan Timur ini diperkirakan berdiri pada abad ke-5 Masehi. Kerajaan
ini didirikan oleh Kudungga yang merupakan seorang kepala adat yang
berpengaruh.
Sebelum mendirikan kerajaan, Kudungga diketahui belum memeluk agama
Hindu. Kemudian, setelah agama Hindu masuk ia mengubah sistem
pemerintahan menjadi kerajaan.
Penyebab Runtuhnya Kerajaan Kutai
Runtuhnya kerajaan mulai terjadi kala dipimpin oleh raja bernama Maharaja
Dharma Setia. Ia diketahui meninggal dunia dalam peperangan melawan raja
Kutai Kertanegara ke-13, Aji Pangeran Anum Panji Mendapa.
Adapun, kerajaan Kutai Kertanegara berbeda dengan kerajaan Kutai
Marthadipura. Sehingga, Raja Aji Pangeran mengambil alih kepemimpinan
kerajaan Kutai yang akhirnya dikenal menjadi kesultanan Islam.

Peninggalan Kerajaan Kutai


Ada tujuh prasasti yupa yang ditemukan dan menjadi bukti sejarah kerajaan
Kutai. Semua peninggalan itu ditulis dalam bahasa Pallawa dan Sansekerta.
Salah satu prasasti tersebut dikeluarkan oleh Raja Mulawarman dan
menceritakan tentang tiga penguasa di daerah tersebut.
Inilah Nama-Nama Raja Kutai yang Kini Wilayahnya Jadi Calon Ibukota RI
2. Kerajaan tarumanegara
kerajaan Tarumanegara merupakan salah satu kerajaan tertua yang pernah
berdiri di Indonesia. Bahkan pada masa keemasannya, kerajaan ini
merupakan yang terbesar di Nusantara.
Kerajaan ini sendiri diperkirakan berdiri di abad ke-4 atau 5 Masehi. Informasi
tersebut didapatkan dari sumber sejarah prasasti yang ditemukan di beberapa
tempat, seperti Kebon Kopi dan Ciaruteun.
Wilayah kekuasaan kerajaan yang didirikan oleh Rajadirajaguru
Jayasingawarman ini membentang mulai dari wilayah yang saat ini bernama
Banten, Jakarta, sampai Cirebon.
Tarumanegara memiliki raja paling masyhur bernama Purnawarman. Pada
masa pemerintahannya dilakukan penggalian Sungai Gomati sepanjang 6112
tombak atau 12 km. Penggalian kanal ini untuk menghindari bencana alam
berupa banjir dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau.
Selain itu, berita dari China yang diperoleh dari seorang musafir bernama Fa-
Hien menyebutkan bahwa Tarumanegara di tahun 414 masehi belum banyak
yang menganut agama Budha. Agama yang paling banyak dianut penduduk
Tarumanegara adalah Hindu.

Berikut letak kerajaan Tarumanegara, Peninggalan hingga Silsilah Raja-


rajanya:
1. Letak dan Pendiri Kerajaan Tarumanegara
Kerajaan Tarumanegara berada di lembah Sungai Citarum, Bogor, Jawa Barat.
Kerajaan Hindu ini pertama kali dibangun oleh Jayasingawarman yang
merupakan menantu dari raja Dewawarman VIII.
Jayasingawarman merupakan seseorang dari India. Ia pergi mengungsi ke
Nusantara dan mendirikan kerajaan Tarumanegara kerajaannya di sana
diserang.
Ibu Kota kerajaan Tarumanegara yang berada di Jayasinghapura pun
menggantikan pusat pemerintahan dari kerajaan ayah mertuanya, kerajaan
Salakanegara. Kerajaan Salakanegara hanya menjadi kerajaan daerah biasa.

2. Raja-raja Tarumanegara
Diperkirakan kerajaan yang berdiri dari abad ke-4 hingga ke-7 ini dipimpin
oleh 12 raja selama masanya. Adapun, nama silsilah raja-raja tersebut adalah
Jayasingawarman (358-382 M), Dharmayawarman (382-395 M), Purnawarman
(395-434 M), dan Wisnuwarman (434-455 M).
Selain itu ada juga Indrawarman (455-515), Candrawarman (515-535 M),
Suryawarman (535-561 M), Kertawarman (561-628 M), Sudhawarman (628-
639), Hariwangsawarman (639-640), Nagajayawarman (640-666 M), serta
Linggawarman (666-669).
Adapun, masa kejayaan kerajaan Tarumanegara berhasil terjadi di masa
kepemimpinan raja Purnawarman. Dalam kepemimpinannya, ia juga dibantu
oleh sang Adik, Cakrawarman sebagai panglima dan Nagawarman sebagai
panglima laut.
Purnawarman juga disebut-sebut sebagai seorang raja yang hebat berhati
mulia, seta selalu memerhatikan kepentingan rakyatnya. Hal itu tertulis dalam
sebuah prasasti.

3. Runtuhnya Kerajaan Tarumanegara


Runtuhnya kerajaan ini dikarenakan adanya masalah keluarga. Pasalnya, di
masa kepemimpinan Linggawarman ia meneruskan tahtanya kepada sang
Menantu bernama Tarusbawa.
Sang menantu pun melihat bahwa kerajaan Tarumanegara tidak lagi memiliki
eksistensi dan kehebatan seperti di masa lampau. Ia pun memilih untuk
meninggalkan kerajaan Tarumanegara dan membangun yang baru.
Selain itu, kerajaan Tarumanegara juga mengalami banyak gempuran dari
kerajaan Majapahit sehingga mengalami kesulitan untuk bertahan.

4. Peninggalan
Ditemukan tujuh peninggalan kerajaan Tarumanegara di pulau Jawa. Adapun,
lima lokasinya di Bogor, seperti Prasasti Muara
3. Kerajaan Kalingga
Kerajaan Kalingga ini berdiri pada tahun 618 M. Hal tersebut adalah dari
kabar yang dibawa oleh I-Tsing, seorang pendeta dari India yang sempat
mampir ke Sriwijaya untuk belajar agama Buddha.
Nama “Kalingga” sendiri adalah sebuah kata yang diadopsi dari Bahasa India,
karena pendiri dari kerajaan ini adalah orang India. Disinyalir, orang India
yang mendirikan Kerajaan Kalingga ini adalah berasal dari daerah Orissa,
India.
Mereka melarikan diri dari negaranya karena pertempuran yang dilakukan
oleh Maharaga Asoka di abad ke -6 M. Ibu kota dari kerajaan ini adalah Keling
atau sekarang bernama Jepara. Masyarakat Kalingga menggunakan Bahasa
Melayu Kuno untuk percakapan sehari-hari.
Kehidupan di Kerajaan Kalingga
 Kehidupan politik

Kehidupan
politik Kalingga tidak lepas dari campur tangan sang Ratu Shima. Di mana
dari pembawaan beliau sebagai ratu yang tegas dan disiplin telah menelurkan
sebuah hukum yang bersifat absolut.
Siapa yang salah harus dihukum. Itu adalah sebuah konsekuensi yang harus
dijalani. Pembayaran pajak pun juga dibebankan kepada msyarakat, namun
diimbangi dengan kebijakan-kebijakan yang tidak menyengsarakan.
Untuk menjalin hubungan bilateral dengan kerajaan lain, Ratu Shima
menikahkan Sahanaya, cucunya dengan putra mahkota dari Kerajaan Galuh.
Hubungan dua kerajaan pun semakin erat dan saling melengkapi.
 Ekonomi

Rakyat Kalingga hidup dari alam tempat mereka tinggal. Keseimbangan


hubungan dengan manusia, Tuhan, dan alam telah menghantarkan mereka ke
status rakyat yang makmur. Di mana banyak hasil alam yang bisa dijual.
Beberapa komoditas yang bisa dijual adalah logam mulia, seperti emas dan
perak. Lalu mereka juga berkebun aren dan kelapa yang kemudian diambil
bunganya untuk dibuat minuman lalu bisa dijual. Karena dekat dengan laut,
rakyat Kalingga beternak penyu yang kemudia kulitnya bisa diekspor ke luar
negeri sebagai bahan baku mentah.
Kestrategisan lokasi Kerajaan Kalingga ini pun ditambah dengan dekatnya
hubungan mereka dengan pedagang atau saudagar kaya dari berbagai negara.
Untuk itulah, sebagia besae rakyat Kalingga bermatapencaharian sebagai
pedagang.
 Budaya

Pentas Wayang Keling adalah salah satu


tradisi atau budaya yang ditinggalkan oleh Kerajaan Kalingga. Bentuknya
sama dengan bentukwayang selama ini kamu ketahui. Berbentuk gambar
yang dicapit oleh bambu pada tengah badan dan kedua tangan.
Silsilah Raja raja
Walaupun dari sumber sejarah dan sejarah singkat Kerajaan Kalingga selalu
disebutkan Ratu Shima sebagai raja yang dikaitkan dengan Kerajaan Kalingga,
Kalingga punya silsilah nama-nama raja yang pernah berkuasa ya. Nggak
kalah sama silsilah kerajaan-kerajaan lainnya.
 Prabu Wasumurti (594-605 M)
Dia adalah raja pertama yang pernah berkuasa di kerajaan Kalingga. Selama
11 tahun lamanya dia memerintah rakyat Kalingga. Sejak awal berdiri (babat)
sampai digantikan oleh anaknya, Prabu Wasugeni.
 Prabu Wasugeni (605 – 632 M)
Prabu Wasugeni adalah raja kedua yang memerintah Kerajaan Kalingga. Dia
adalah putra Prabu Wasumurti. Sebenarnya dua bersaudara, tapi yang satu
wanita, yakni Dewi Wasundari, jadi yang naik tahta adalah anak laki-laki.
 Prabu Wasudewa (632-652)
Raja Kalingga ini adalah putra sulung dari Prabu Wasugeni dari hasl
pernikahannya dengan Dewi Paramita dari Dinasti Pallawa. Karena anak
kedua Prabu Wasugeni adalah perempuan, maka sesuai aturan silsilah raja-
raja yang memerintah kerajaan pada umumnya, putra mahkota yang naik
tahta duluan.
 Prabu Wasukawi (652)
Sumber sejarah tentang masa pemerintahan raja Kalingga yang satu ini tiak
begitu jelas. Bahkan dari tahun pemerinthannya saja tidak jelas, soalnya pada
tahun 652 itu gelar raja Kalingga masih dijabat oleh Prabu Wasudewa
walaupun sudah periode akhir.
 Prabu Kirathasingha ( 632 -649 )
Raja yang ini juga tidak jelas masa pemerintahannya. Walaupun tahunnya
sudah diketahui, tetapi saat itu, Prabu Wasudewa lah yang menjabat. Apa
kemungkinan Prabu Wasudewa pernah lengser sebentar atau gimana, penulis
belum tahu.
 Prabu Kartikeyasingha ( 648 – 674 )
Dilihat dari namanya, raja Kerajaan Kalingga ini adalah anak dari raja
sebelumnya, yakni Prabu Kirathasingha. Gelarnya saat menjadi raja adalah
Sang Mokteng Mahamerwacala.
Eh, ternyata raja ini adala suami ratu Shima yes. Jadi, dia adalah menantu
Prabu Wasugeni. Di mana beliau memimpin Kalingga selama 26 tahun
lamanya. Setelah wafat, barulah digantikan oleh istrinya, Ratu Shima.
 Ratu Shima ( 674 – 695 )
Selama pemerintahan raja-raja Kalingga sebelumnya, perkembangan Kerajaan
Kalingga tidak ada yang menonjol. Barulah di tangan Ratu Shima, Kalingga
mengalami kemajuan yang sangat pesat hingga meraih masa kejayaan.
Ratu Shima ini terkenal sebagai ratu yang baik, ramah, tegas, jujur, dan
sangat disiplin. Dia memiliki dua orang anak yang bernama Prabu
Iswarakesawalingga dan Dewi Parwati.
Di tangan Ratu Shima Kalingga mengalami masa kejayaan sekaligus masa
kemunduran. Runtuhnya Kalingga juga pas diperintah Ratu Shima. Sosok
pemimpin wanita yang menjadi contoh bagi wanita Indonesia, bahwa wanita
itu bsa sekuat laki-laki.
Silsilah raja-raja yang memerintah Kerajaan Kalingga berhenti di Ratu Shima.
Sebenarnya keturunan Ratu Shima, yakni cucunya, Prabu Sanjaya,
dinobatkan menjadi raja. Namun bukan Raja di Kalingga melainkan raja
Mataram Kuno, yang mana wilayahnya adalah wilayah Kalingga sebelumnya.
Masa kejayaan

Pada masa pemerintahan Ratu Shima, Kerajaan Kalingga dapat menggenggam


masa kejayaannya. Di mana dia berhasil memimpin Kalingga menjadi kerajaan
yang subur dengan rakyat yang rukun dan damai.
Kemakmuran pun juga dapat dirasakan oleh rakyat Kalingga secara merata.
Mereka memandaatkan hasil bertani untuk dijadikan komoditas untuk
berdagang. Bahkan Ratu Shima juga mendukung kegiatan bertani raakyatnya
dengan mengembangkan sistem subak ( sistem pengairan atau irigasi).
Di masa kejaayn Kalingga inilah dirasa sangat unik sejarahnya, karena
Kalingga telah berhasil menjadi satu-satunya kerajaan Hindu-Buddha yang
mampu hidup damai dengan dua kepercayaan yang berbeda dalam satu
kerajaan. Tidak ada yang lebih dominan.
Penyebab runtuhnya

Kerajaan Kalingga atau Kerajaan Ho-Ling ini mengalami masa kemunduran


karena kalah saing dengan Kerajaan Sriwijaya. Di mana Kerajaan Sriwijaya
saat itu memang sudah eksis. Kalahnya Kerajaan Kalingga ini adalah di
bidang perdagangan. Rakyat Sriwijaya lebih pintar dalam berdagang.
Semua dermaga untuk jalur perdagangan Kalingga pun juga diambil alih oleh
Sriwijaya. Kekuasaan Sriwijaya semakin menguat. Ditambah dengan
penyerangan-penyerangan yang dilakukan Sriwijaya, takluklah Kalingga.
Peninggalan
Peninggalan sejarah Kerajaan Kalingga ini berupa prasasti, candi, dan situs
sejarah di sebuah puncak gunung. Hanya ditemukan 3 prasasti peninggalan
saja, 2 candi, dan 1 situs bersejarah. Namun kelima peninggalan sejarah
tersebut sudah mewakili eksistensi Kerajaan Kalingga dan memang benar ada
keberadaannya pada jaman dulu.
1. Prasasti Sojomerto ( abad ke – 7 )

Karena ditemukan di desa Sojomerto, maka prasasti peninggalan Kerajaan


Kalingga ini diberi nama prasasti Sojomerto. Isinya adalah tentang Raja
Dapunta. Di mana lebih jelasnya berisi tentang silsilah keluarga Dapunta.
Di dalam batu tulis berdimensi 78 x 43 x 7 cm ini jelas tertulis nama dari ibu
Dapunta, yakni Bhadrawati dan nama istri Dapunta yakni Sampula. Dapunta
sendiri merupakan raja yang berasal dari Wangsa Syailendra.
2. Prasasti Tukmas (abad ke-7M )
3. Prasasti Upit
4. Candi Bubrah
5. Candi Angin
6. Puncak Sanga Likur
Adapun 6 nama tempat pemujaan yang ada di situs Puncak Gunung Muria
tersebut bernama Jonggring Saloko, Abiyoso, Pandu Dewonoto, Kamunoyoso,
Bambang Sakri, dan Sakutrem. Nama-namanya memang sengaja dipilih dari
nama-nama tokoh pewayangan.
Lokasi & Peta
Untuk mengetahui letak atau lokasidari Kerajaan Kalingga, kamu langsung
saja buka peta dan arahkan pandangan ke sebuah wilayah antara Jepara dan
Pekalongan. Di situ lah Kalingga pernah eksis dengan sejarah penting yang
wajib kamu ketahui.
Daerah Keling, tempat penemuan candi-candi peninggalan Kalingga disinyalir
sebagai pusat pemerintahan Kalingga. Keling ini berada di wilayah Jepara.
Sedangkan wilayah kekuasaan Kalingga sampai di sebuah pelabuhan kuno di
Pekalongan yang dijadikan tempat berniaga, makanya jelas banget kalau
Kalingga ada di dekat Pekalongan.
Kerajaan Kalingga adalah kerajaan nenek moyang Kerajaan Mataram Kuno. di
mana Kerajaan Mataram Kuno didirikan oleh Raja Sanjaya yang merupakan
cucu Ratu Shima dari kerajaan ini. untuk itulah Kalingga runtuh dan dibah
menjadi Mataram.
Masa kejayaan Kerajaan Kalingga ini pun sangat melegenda dengan sistem
pemerintaan yang teratur. Masyarakat terlatih disiplin. Raja pun sangat peduli
dengan masyarakat dengan memberikan fasilitas yang lengkap demi
keeemakmuran kerajaan.
Setelah Kerajaan Kalingga runtuh, kerajaan ini tidak langsung hilang,
melainkan diubah namanya menjadi Kerajaan Mataram Kuno dengan raja
bernama Sanjaya. Di mana Raja Sanjaya ini adalah cucu buyut dari Ratu
Shima dari cucunya yang dinikahkan dengan putra mahkota Kerajaan Galuh
yang sudah dibahas sebelumnya.
4. Kerjaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan maritim terbesar di Indonesia.
Kerajaan yang terletak di Palembang, Sumatera Selatan ini sudah berdiri sejak
abad ke-7 Masehi. Pendirinya adalah Dapunta Hyang Sri Jayanasa.
Berdirinya Kerajaan Sriwijaya berawal dari perjalanan suci Dapunta Hyang.
Kala itu, Dapunta Hyang menjalankan perjalanan suci atau siddhayatra
menggunakan perahu. Ia membawa 20.000 orang pasukan.
Bersama pasukannya, Dapunta Hyang akhirnya membangun kerajaan
Sriwijaya di Sumatera Selatan dan Jambi. Kemudian, ia mengembangkan
kerajaan tersebut hingga ke daerah Semenanjung Malaysia.
Kerajaan Sriwijaya sukses menguasai daerah perairan yang penting, yakni
Selat Malaka dan Selat Sunda. Mereka juga menjalin kerja sama dengan
saudagar China, India, Kamboja, Filipina, Burma, Arab, hingga Afrika.

Candi Muara Takus foto:Kemdikbud


Seiring berjalannya waktu, Kerajaan Sriwijaya semakin berjaya di Nusantara.
Mereka berhasil menciptakan kapal-kapal yang canggih.
Tak hanya itu, kerajaan tersebut juga memegang kendali atas perdagangan
rempah-rempah di dunia selama hampir setengah abad.
Kerajaan Sriwjiaya telah meninggalkan sejumlah peninggalan bersejarah. Di
antaranya adalah prasasti Telaga Batu, Prasasti Kedukan Bukit, Prasasti
Talang Tuo, Candi Muara Takus, dan Candi Kota Kapur.
5. Kerajaan Mataram Kuno

Kerajaan Mataram Kuno atau sering juga disebut dengan Kerajaan Mataram
Hindu atau Kerajaan Medang merupakan kerajaan penerus dari Kerajaan
Kalingga di Jawa yang diperkirakan eksis pada abad ke-8 hingga 10 Masehi.
Sejarah kerajaan ini cukup panjang yang dimulai sejak abad ke-6 M.

Mataram Kuno yang bercorak Hindu (dan Buddha) biasanya disebut untuk
membedakan dengan Kerajaan Mataram Islam yang berdiri sekitar abad ke 16
M. Bhumi Mataram adalah sebutan lama untuk Yogyakarta dan sekitarnya, di
daerah inilah diperkirakan Kerajaan Mataram Kuno pertama berdiri.

Sumber Sejarah Kerajaan Mataram Kuno berasal dari prasasti, candi,


kitab Carita Parahyangan (Sejarah Pasundan), dan berita dari Cina. Kerajaan
yang didirikan oleh Sanjaya bergelar Rakai Mataram ini beberapa kali
berpindah pusat pemerintahan.

Lokasi Kerajaan Mataram Kuno


Kerajaan Mataram Kuno memiliki dua periode berdasarkan lokasi atau ibu
kota pemerintahannya. Pertama adalah periode awal Kerajaan Medang yaitu di
Jawa Tengah di bawah Wangsa Sanjaya dan Sailendra (732-929 M), serta yang
kedua ketika pindah ke Jawa Timur dan dikuasai oleh Wangsa Isyana (929-
1016 M).

Pada 929 M, Kerajaan Mataram Kuno dipindahkan ke Jawa Timur oleh Mpu
Sindok. Menurut George Coedes dalam The Indianized states of Southeast
Asia (1968), ada beberapa faktor kemungkinan yang mendorong perpindahan
tersebut.

Pertama adalah faktor politik, yakni sering terjadinya perebutan kekuasaan


yang berimbas terhadap terancamnya kesatuan wilayah kerajaan ini. Kedua
adalah faktor bencana alam, yaitu peristiwa meletusnya Gunung Merapi.

Faktor ketiga adalah adanya potensi ancaman dari kerajaan lain, termasuk
serangan dari Kerajaan Sriwijaya. Sedangkan faktor keempat adalah motif
keagamaan dan ekonomi, termasuk ketiadaan pelabuhan yang membuat
Kerajaan Mataram Kuno sulit menjalin kerja sama dengan kerajaan lain.

Lokasi tepatnya pusat Kerajaan Mataram Kuno periode Jawa Tengah


diperkirakan berada di Bhumi Mataram atau Yogyakarta pada masa awal
berdirinya di bawah pemerintahan Rakai Mataram Sang Sanjaya.

Toleransi Beragama Masa Mataram Kuno


Kerajaan Mataram Kuno terkenal dengan toleransi beragama yang kuat antara
umat Hindu dengan Buddha, seperti terlihat dalam pembangunan Candi
Borobudur, Candi Kalasan, Candi Prambanan, dan lainnya. Hal ini tidak
terlepas dari peran para pemimpinnya yang mengajarkan toleransi.

Raja-Raja Mataram Kuno


Periode Jawa Tengah
Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (732-760 M)
Rakai Panangkaran (760-780 M)
Rakai Panunggalan alias Dharanindra (780-800 M)
Rakai Warak alias Samaragrawira (800-820 M)
Rakai Garung alias Samaratungga (820-840 M)
Rakai Pikatan dan Maharatu Pramodawardhani (840-856 M)
Rakai Kayuwani alias Dyah Lokapala (856-882 M)
Rakai Watuhumalang (882-899 M)
Rakai Watukura Dyah Balitung (898-915 M)
Mpu Daksa (915-919 M)
Rakai Layang Dyah Tulodong (919-924 M)
Rakai Sumba Dyah Wawa (924 M)

Periode Jawa Timur


Rakai Hino Sri Isana alias Mpu Sindok (929-947 M)
Sri Lokapala dan Ratu Sri Isanatunggawijaya (sejak 947 M)
Makutawangsawardhana (hingga 985 M)
Dharmawangsa Teguh (985-1007 M)

6. Kerajaan Kediri
Kerajaan Kediri atau Pandjalu adalah salah satu kerajaan Hindu di Jawa, yang
tumbuh sekitar abad ke-11 Masehi. Kerajaan ini berdiri setelah penguasa
terakhir Kerajaan Mataram Kuno/Medang yaitu Dharmawangsa Airlangga
membagi kekuasaannya untuk kedua anaknya. Kerajaan Airlangga dibagi
menjadi Janggala di sebelah timur-utara, dan Pandjalu atau Kediri di sebelah
barat-selatan.

Letak dan Pendiri Kerajaan


Kerajaan Kediri diduga berpusat di Daha, sebuah wilayah pemukiman yang
diperkirakan ada di bagian selatan Jawa bagian Timur. Mendekati wilayah
Kota Kediri, Jawa Timur saat ini. Kota Daha, bersama dengan Kahuripan
menjadi wilayah penting di kemudian hari bagi Singhasari dan Majapahit.
Sehingga dapat diperkirakan Daha merupakan pusat dari Kediri, selaku
pendahulu Singhasari dan Majapahit.
Raja pertama dari Kerajaan Kediri adalah Sri Samarawijaya, yang merupakan
putra Airlangga. Samarawijaya memperoleh kekuasaan Pandjalu dengan
ibukota di Daha, sementara Mapanji Garasakan memimpin Janggala di
Kahuripan. Belum diketahui apakah Sri Samarawijaya adalah pendiri dari
Kediri, namun ia adalah putra mahkota dari Airlangga, sehingga berhak atas
salah satu bagian dari kerajaan yang ditinggalkan Airlangga. Selain itu,
Samarawijaya adalah nama raja yang paling awal ditemui dalam rangkaian
penemuan arkeologis terkait kerajaan Kediri.
Raja-Raja Kediri
1. Sri Samarawijaya

Samarawijaya adalah putra Airlangga yang telah dijadikan putra mahkota


Kerajaan Mataram Kuno. Ia kemudian memperebutkan posisi raja
melawan Mapanji Garasakan. Airlangga terpaksa membagi kerajaan
menjadi Pandjalu dan Janggala untuk menghindari perang saudara.
Meski begitu, beberapa bukti menyatakan bahwa keduanya tetap
berperang sepeninggal Airlangga. Masa kekuasaannya disebut sebagai
masa kegelapan, karena tidak meninggalkan bukti prasasti apapun
mengenai kerajaan Kediri. Samarawijaya diperkirakan bertahta di
Pandjalu pada 1042, nama raja selanjutnya yaitu Sri Jayawarsa baru
muncul pada 1104.
2. Sri Jayawarsa

Nama Sri Jayawarsa muncul melalui Prasasti Sirah Keting, menyatakan


bahwa ia adalah raja Kediri yang memerintah sekitar tahun 1104. Namun
beberapa penelitian lanjutan oleh L.C. Damais menyatakan bahwa nama
ini berada sezaman dengan kekuasaan Mapanji Kamesywara dan
Krtajaya.
3. Sri Bameswara

Sri Bameswara memerintah sekitar tahun 1117-1130, namanya muncul


dalam Prasasti Padlegan. Pada masa kekuasaannya, ia menetapkan
wilayah Padlegan dan Panumbangan sebagai wilayah bebas pajak dalam
prasasti batu. Hal ini menunjukkan bahwa di Kediri, masyarakat dapat
mengajukan permohonan tertentu yang boleh jadi dikabulkan oleh raja.
4. Jayabhaya
Nama Jayabhaya muncul sebagai penguasa Kediri pada Prasasti
Ngantang, berkuasa pada tahun 1135. Diperkirakan berkuasa sampai
dengan tahun 1157, dan dianggap sebagai raja terbesar Kediri. Prasasti
Ngantang juga menyatakan Pandjalu Jayati atau Pandjalu menang.
Sebagai bentuk penghargaan atas jasa masyarakat Ngantang yang setia
dalam usahanya mengalahkan Janggala. Ia berhasil menyatukan kembali
Janggala dan Pandjalu di bawah naungan Kediri.
5. Sri Sarwweswara

Sri Sarwweswara ditemukan dalam Prasasti Padlegan II (1159 M) dan


Prasasti Kahyunan (1161 M).
6. Sri Aryeswara

Nama Sri Aryeswara ditemukan dalam Prasasti Angin (1171 M). Prasasti
Angin juga menyantumkan lambing kerajaan Kediri pada masa
kekuasaannya adalah Ganesha.
7. Sri Gandra

Nama Sri Gandra muncul dalam Prasasti Jaring (1181 M), yang berisi
tentang permohonan anugerah raja dari masyarakat desa Jaring.
8. Mapanji Kamesywara

Mapanji Kamesywara pertama kali diungkap pada Prasasti Semanding


tahun 1182 M. Dalam kakawin Smaradhana diungkapkan bahwa ikatan
antara Pandjalu dan Janggala menguat ketika Sri Kamesywara
memperistri Sri Kirana, seorang putri dari Janggala. Kisahnya diangkat
dalam pementasan drama antara Panji Inu Kertapati dan Galuh
Candrakirana.
9. Krtajaya
Krtajaya merupakan raja terakhir Kediri yang muncul melalui beberapa
prasasti dan kitab Nagarakrtagama. Kitab ini menyatakan bahwa Krtajaya
menghendaki disembah oleh petinggi keagamaan, namun ditolak. Para
agamawan ini meminta perlindungan kepada Ken Angrok raja daerah di
Tumapel, sekaligus menyetujuinya menjadi raja Singhasari. Ken Angrok
memanfaatkan ini untuk melepaskan diri dari pengaruh Kediri dan
menyerang Daha. Krtajaya gugur di Ganter pada tahun 1222 M, dan
seluruh kekuasaan Kediri beralih kepada Singhasari dan Ken Angrok
sebagai rajanya.
Kehidupan Masyarakat Kerajaan Kediri
Kehidupan Politik
Kerajaan Kediri berdiri kira-kira hanya satu abad, namun ada beberapa
perubahan-perubahan dalam pemerintahan yang terjadi. Sebutan panglima
Angkatan Laut (senapati sarwwajala) muncul dalam keterangan. Sekiranya
peran di bidang kemaritiman menjadi lebih penting, terutama dalam menjaga
jalur ke luar kerajaan melalui sungai Brantas. Selain itu, ditemui pula adanya
aspek demokrasi yaitu permohonan yang langsung datang dari masyarakat
melalui pejabat-pejabat setempat kepada Raja. Aspek penting lain di bidang
politik adalah adanya samya haji atau raja daerah dalam struktur kekuasaan
Kediri. Raja daerah ini dengan kekuasaannya masing-masing memiliki peran
penting terhadap eksistensi pusat kerajaan Kediri. Pada akhirnya, kekuasaan-
kekuasaan kecil ini yang melemahkan Kediri. Tumapel, wilayah yang cukup
dekat dengan Daha memberikan perlawanan dan berhasil menumbangkan Sri
Krtajaya.
Kehidupan Ekonomi
Tidak banyak penjelasan yang dapat ditemukan terkait dengan penduduk
Kerajaan Kediri berikut dengan kegiatan perekonomiannya. Namun jika
merujuk pada zaman dan wilayahnya, Kerajaan Kediri tentunya memiliki
pengelolaan di bidang pertanian yang dilangsungkan di wilayah pedalaman,
dan perdagangan yang dilangsungkan melalui aliran sungai Brantas dan Kali
Lamong menuju ke Pantai Utara Jawa. Umur kerajaan yang sangat singkat ini
menjadi faktor utama tidak adanya informasi yang kredibel mengenai kondisi
kerajaan.
Kehidupan Sosial
Kerajaan Kediri menurut peninggalannya menganut agama Hindu Siwa,
merujuk pada Candi Gurah dan Tondowongso. Tidak ditemui adanya bukti-
bukti tumbuhnya buddhisme terkait dengan kerajaan ini. Di sisi lain, nama
abhiseka atau penjelmaan Wisnu juga dikenal pada raja-raja Kediri meskipun
menganut agama Siwa. Hal ini dapat didasarkan pada posisi raja sebagai
pelindung masyarakat. Meskipun tidak memberikan peninggalan sebanyak
Mataram misalnya, candi-candi peninggalan Kediri mengawali ciri khas candi
masa Singhasari.

Runtuhnya Kerajaan Kediri


Kerajaan Kediri menurut Nagarakrtagama runtuh pada tahun 1222 M, ketika
Sri Ranggah Rajasa/Ken Angrok dari Tumapel menyerang Sri Krtajaya.
Sementara menurut kitab Pararaton, serangan terhadap Kediri ini didasarkan
atas permintaan para bhujangga penganut Siwa yang diminta raja Kediri
untuk menyembahnya. Bhujangga ini kemudian melarikan diri, dan merestui
Ken Angrok sebagai raja di Tumapel, mempergunakan nama kerajaan
Singhasari, dan dengan nama penobatan Sri Ranggah Rajasa. Ia kemudian
melepaskan diri dari pengaruh Kediri dan menyerbu Daha. Ken Angrok
berhasil mengalahkan Krtajaya di Ganter. Kekalahan ini tidak hanya
membawa Kediri, namun juga Janggala masuk ke dalam pengaruh Singhasari.
Imperium baru tumbuh di sekitar sungai Brantas, Jawa Timur menggantikan
Kediri.

Peninggalan Kerajaan Kediri


1. Candi (Gurah, Tondowongso, & Pertirtaan Kepung)
Kerajaan Kediri memang tidak memiliki peninggalan arkeologi sebanyak
kerajaan lainnya. Hal ini dikarenakan pendeknya usia kerajaan, yang
kemudian digantikan oleh imperium Singhasari yang banyak memberikan
peninggalan. Candi-candi Kediri yaitu Candi Gurah, Candi Tondowongso, dan
Pertirtaan Kepung. Candi Gurah memiliki arca Brahma, Surya, Candra, dan
Nandi. Candi ini merupakan lokasi pemujaan Siwa. Sementara Candi
Tondowongso memiliki 14 buah arca yang kurang lebih sama dengan Candi
Gurah.

7. Sejarah Kerajaan Singa Tari


Sejarah Kerajaan Singasari terkait erat dengan sosok Ken Arok (1222-1247)
yang konon sebagai pendirinya. Masa kejayaan kerajaan Hindu yang terletak
di Jawa bagian timur ini terjadi saat dipimpin oleh Kertanegara (wafat tahun
1292) sekaligus menjadi raja terakhirnya.
Nama sebenarnya dari Kerajaan Singasari adalah Kerajaan Tumapel yang
beribukota di Kutaraja. Asal-usul penamaan Singasari bermula saat Raja
Wisnuwardhana menunjuk anaknya yang bernama Kertanegara sebagai putra
mahkota dan mengganti nama pusat pemerintahan kerajaan menjadi
Singasari.

Singasari yang sebenarnya merupakan nama ibu kota justru lebih terkenal
daripada nama kerajaannya yakni Tumapel. Pada akhirnya, orang terbiasa
menyebut Kerajaan Tumapel dengan nama Kerajaan Singasari.

Kerajaan Singasari mengalami puncak keemasan pada era raja terakhirnya


yakni Kertanegara dan memiliki wilayah kekuasaan yang amat luas. Widjiono
Wasis dalam Ensiklopedi Nusantara (1989) mengungkapkan, Kertanegara kala
itu ingin menyatukan sebagian wilayah Nusantara di bawah naungan
Singasari.

Dengan pusat pemerintahan di Jawa bagian timur, wilayah kekuasaan


Singasari pada era Kertanegara disebut-sebut mencakup Bali, Sunda,
sebagian Kalimantan, bahkan sebagian Sumatera hingga kawasan Selat
Malaka.

Ken Arok Menjadi Raja


Mulanya, Tumapel bukan sebuah kerajaan, melainkan daerah bawahan
Kerajaan Kadiri (Kediri). Menurut Kitab Paraton, wilayah Tumapel dipimpin
oleh Tunggul Ametung yang menjabat sebagai akuwu (setara camat). Tunggul
Ametung memiliki istri bernama Ken Dedes.

Tahun 1222, masih disebutkan dalam Pararaton, Tunggul Ametung mati


dibunuh oleh pengawalnya sendiri yang bernama Ken Arok. Ken Arok
kemudian menikahi Ken Dedes yang saat itu sedang mengandung. Anak Ken
Dedes dari Tunggul Ametung ini nantinya diberi nama Anusapati.

Selain beristrikan Ken Dedes yang merupakan janda Tunggul Ametung, Ken
Arok punya satu istri lagi bernama Ken Umang yang kelak melahirkan anak
laki-laki bernama Tohjaya.

Dikutip dari buku yang mengambil judul Pararaton (1965) karya R. Pitono,
setelah membunuh Tunggul Ametung dan menikahi Ken Dedes, Ken Arok
menjadi penguasa baru Tumapel. Ken Arok berniat melepaskan Tumapel dari
kekuasaan Kerajaan Kadiri.

Terjadilah peperangan sengit antara Tumapel melawan Kadiri. Tumapel di


bawah pimpinan Ken Arok memenangkan perang tersebut yang kemudian
mendeklarasikan diri sebagai raja dengan gelar Sri Rajasa Bhatara Sang
Amurwabhumi.

Daftar Raja Tumapel/Singasari Versi Pararaton

 Tunggul Ametung (1185-1222) | Pemimpin Tumapel


 Ken Arok (1222-1247) | Pemimpin Tumapel, membunuh Tunggul
Ametung
 Anusapati (1247-1249) | Putra Tunggul Ametung & Ken Dedes,
membunuh Ken Arok
 Tohjaya (1249-1250) | Putra Ken Arok dari Ken Umang, membunuh
Anusapati
 Wisnuwardhana (1250-1272) | Putra Anusapati, menggulingkan Tohjaya
 Kertanagara (1272-1292) | Putra Wisnuwardhana
8. Kerajaan Majapahit
Pendiri Kerajaan Majapahit adalah Raden Wijaya yang merupakan menantu
dari Raja Kertanegara, -penguasa terakhir Kerajaan Singasari, yang terbunuh
lantaran pemberontakan Jayakatwang pada 1292. Raden Wijaya berhasil
menyelamatkan diri dari insiden tersebut.

Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan


Hayam Wuruk dengan gelar Sri Rajasanagara (1350-1389) yang tidak lain
adalah cucu Raden Wijaya. Kepemimpinan Hayam Wuruk amat kuat berkat
dukungan dari Mahapatih Gajah Mada yang bertekad menyatukan Nusantara
di bawah naungan Majapahit.

Pusat Kerajaan Majapahit


Pusat pemerintahan atau ibu kota Kerajaan Majapahit setidaknya pernah 3
kali berpindah tempat namun masih di wilayah Jawa bagian timur.

1. Mojokerto
Ibu kota pertama kerajaan bercorak Hindu-Buddha ini adalah di Mojokerto
pada masa kepemimpinan pendiri sekaligus raja pertama, Raden Wijaya alias
Kertarajasa Jayawardhana.

Dikutip dari Kumpulan Sejarah Desa Kabupaten Mojokerto (2020) suntingan


Evi Sudyar, pada masa itu ibu kota Majapahit disebut dengan nama Kutaraja
dan terletak tidak jauh dari pelabuhan besar bernama Canggu di tepi Sungai
Brantas.

Selain sebagai pusat perniagaan atau bandar dagang, lokasi Canggu yang
masih berada di wilayah Kutaraja sangat strategis untuk difungsikan sebagai
sebagai pangkalan militer armada angkatan laut Kerajaan Majapahit yang
memang amat kuat saat itu.

2. Trowulan
Pusat pemerintahan Majapahit bergeser sedikit pada masa kepemimpinan Sri
Jayanegara (1309-1328), penerus takhta Raden Wijaya. Raja kedua Majapahit
ini memindahkan ibu kota ke Trowulan yang berjarak sekitar 12 kilometer dari
Kota Mojokerto sekarang.

Kitab perjalanan Cina bertajuk Yingyai Shenglan yang ditulis oleh seorang
penjelajah bernama Ma Huan menyimpulkan bahwa pusat pemerintahan
Kerajaan Majapahit pada abad ke-14 M adalah di Trowulan.

Dikutip buku terjemahan J.V.G Mills (1970), disebutkan bahwa kawasan itu
merupakan kota yang sangat besar tempat raja bersemayam.

Sejumlah situs yang merupakan peninggalan peradaban Majapahit yang


ditemukan di Trowulan juga semakin menguatkan peran tempat tersebut
sebagai bekas ibu kota kerajaan yang pernah mengalami masa-masa yang
amat jaya.

Trowulan menjadi pusat pemerintahan Majapahit dalam waktu yang cukup


lama. Dari era Sri Jayanegara yang bertakhta sejak tahun 1309 hingga
menjelang keruntuhan kerajaan ini pada abad ke-16 Masehi.

3. Daha (Kediri)
Lantaran berbagai polemik internal dan ancaman serangan dari Kesultanan
Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa, posisi Majapahit semakin
terdesak pada masa pemerintahan Bhre Kertabumi atau Brawijaya V (1468-
1478).

Kala itu, pengaruh Islam memang sedang berkembang pesat di Jawa sehingga
muncul Kesultanan Demak yang didirikan oleh seorang pangeran dari
Majapahit bernama Raden Patah. Raden Patah adalah putra kandung
Brawijaya V dari istri seorang wanita berdarah Cina bernama Siu Ban Ci.

Perpindahan Pusat Kerajaan Majapahit


1. Mojokerto pada era Raden Wijaya (1293-1309)
2. Trowulan pada era Sri Jayanagara (1309-1328)
3. Daha atau Kediri pada era Brawijaya VI (1478-1489)
Daftar Raja-Raja Majapahit
 Raden Wijaya/Kertarajasa Jayawardhana (1293-1309)
 Kalagamet/Sri Jayanagara (1309-1328)
 Sri Gitarja/Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328-1350)
 Hayam Wuruk/Sri Rajasanagara (1350-1389)
 Wikramawardhana (1389-1429)
 Suhita /Dyah Ayu Kencana Wungu (1429-1447)
 Kertawijaya/Brawijaya I (1447-1451)
 Rajasawardhana/Brawijaya II (1451-1453)
 Purwawisesa /Girishawardhana/Brawijaya III (1456-1466)
 Bhre Pandansalas/Suraprabhawa/Brawijaya IV (1466-1468)
 Bhre Kertabumi/Brawijaya V (1468 -1478)
 Girindrawardhana/Brawijaya VI (1478-1489)
 Patih Udara/Brawijaya VII (1489-1527)
Candi Tikus

Candi Tikus yang terletak di Dukuh Dinuk, Desa Temon, Kecamatan


Trowulan, Kabupaten Mojokerto, bagi sebagian penduduk sekitar dipercayai
memiliki unsur magis dan dapat memberikan kesejahteraan.

Cerita ini bermula dari seorang petani di Desa Temon, Kecamatan Trowulan,
Mojokerto yang gelisah karena serbuan tikus sawah. Hasil tani yang biasanya
cukup untuk menghidupi seluruh anggota keluarga, kini nyaris tak tersisa.

Tak tahan menghadapi serbuan tikus, dia memohon pada Sang Pencipta. Lalu
suatu malam, Si Petani mendapat wangsit agar mengambil air di
kawasan Candi Tikus lalu menyiramkan air itu ke empat sudut sawah.

Sebuah keajaiban terjadi, tikus-tikus yang biasanya kerap beraksi di malam


hari hilang begitu saja. Tanah sawah juga mendadak jadi subur. Si Petani tak
kuasa menahan kegembiraannya dan bercerita pada warga desa.

Namun lain lagi yang dialami oleh saudagar kaya mendengar kabar tentang
khasiat air Candi Tikus. Dengan rakus, sang saudagar mencari jalan pintas
untuk menambah kekayaannya. Suatu malam, dia mencuri batu candi dan
meletakkannya di sudut-sudut sawah. Lagi-lagi sebuah kejaiban terjadi. Tapi
kali ini, tikus-tikus malah datang dan menghabisi padi di sawah.
Fenomena ini membuat warga desa sadar, bahwa mereka tak bisa berharap
lebih. "Kami hanya bisa memanfaatkan air di Candi Tikus, tapi bukan batu-
batu candi," kata mereka. Dan mitos ini, ternyata masih dipercaya hingga kini.
Bahkan Raden Timbal saudara kandung Raden Patah diyakini pernah
melakukan tapa di candi ini.

Di sisi lain, ada mitos lain yang berkembang kebalikannya. Pada tahun 1914,
candi ini ditemukan oleh Bupati Mojokerto RAA Kromojoyo Adinegoro.
Sebelumnya, dia mendengar keluh kesah warga Desa Temon yang kalang
kabut karena serbuan hama tikus di sawah mereka. Tanpa pikir panjang,
Kromojoyo memerintahkan aparat desa agar memobilisasi massa dan
menyatakan perang pada tikus. Anehnya, saat terjadi pengejaran, tikus-tikus
itu selalu lari dan masuk dalam lubang sebuah gundukan besar.

Karena ingin membersihkan tikus sampai habis, Kromojoyo meminta agar


gundukan itu dibongkar. Ternyata, di dalam gundukan terdapat sebuah candi.
Sehingga Kromojoyo memberi nama Candi Tikus.

Anda mungkin juga menyukai