Anda di halaman 1dari 10

DAKWAH DALAM KELUARGA:

Memperkuat Ketahanan Keluarga Di Era Globalisasi

Neneng Munajah
Universitas Islam As-Syafiíyah
nenengmunajah.fai@uia.ac.id

Abstrak

Artikel ini membahas keluarga sebagai objek prioritas dalam berdakwah. Hal ini dikarenakan setiap
manusia, pasti menyerap pemikiran, ajaran, dan nilai-nilai agama yang hidup dalam keluarganya;
keluarga adalah miniatur dari komunitas dan masyarakat Islam. Keluarga juga merupakan kelanjutan
logis dari kedua fungsi keluarga di atas, maka institusi keluarga dengan sendirinya menjadi salah satu
faktor penentu bagi kekuatan dan kelemahan umat Islam secara keseluruhan. Adanya globalisasi telah
memberikan dampak yang signifikan terhadap masyarakat, termasuk dakwah. Seperti: melonggarnya
ikatan keluarga, melemahnya ikatan-ikatan moral akibat dari paham serba halal, permissivenisme (al-
ibahiyyah) dan paham hedonisme yang menyertai modernisme, serta kegoncangan jiwa yang
mengganggu ketenangan dan kedamaian keluarga dan rumah tangga. Sehingga dakwah dalam keluarga
menuntut aktualisasi sistem dan nilai-nilai Islam dalam kehidupan keluarga. Di samping itu, dalam
artikel ini penulis mencoba mengemukakan hal-hal pokok yang perlu diperhatikan dalam pembinaan
keluarga Islam sebagai pilar utama dakwah. Pertama, soal pembentukan keluarga melalui pernikahan.
Kedua, soal pendidikan dan penanaman nilai-nilai agama dalam keluarga. Ketiga, soal penegakan
keadilan dan kesetaraan gender. Karena ketiga hal ini berpengaruh terhadap kekuatan dan ketahanan
keluarga Islam.

Kata kunci: Keluarga, dakwah, dasar prioritas

Abstract

This article discusses the family as a priority object in da'wah. This is because every human being, must
absorb the thoughts, teachings, and religious values that live in his/her family; the family is a miniature
of the Islamic community and society. The family is also a logical continuation of the two family functions
above, so the family institution itself is one of the determining factors for the strengths and weaknesses of
the Muslim community as a whole. The existence of globalization has had a significant impact on society,
including propaganda. Such as: loosening of family ties, weakening of moral ties as a result of all-round
understanding, permissivenism (al-ibahiyyah) and understanding of hedonism that accompany
modernism, and the shock of the soul that disturbs the peace and peace of family and household. So
preaching in the family demands the actualization of Islamic systems and values in family life. In
addition, in this article the author tries to put forward the main things that need to be considered in
fostering Islamic families as the main pillars of da'wah. First, a matter of forming a family through
marriage. Second, the education and the inculcation of religious values in the family. Third, the matter of
upholding justice and gender equality. Because these three things affect the strength and resilience of
Islamic families.

Keywords: family, dakwah, foundation

97
1. Keluarga Sebagai Pilar Pertama Dakwah

Islam memberikan perhatian yang tinggi terhadap pembinaan keluarga sejak awal
pembentukannya. Mulai dari memilih pasangan, hubungan suami-isteri, hak dan kewajiban orang
tua, hingga soal pemeliharaan dan pendidikan anak. Soal pembinaan keluarga menjadi penting dan
perlu mendapat perhatian, karena beberapa alasan berikut ini:
Pertama, karena keluarga dipandang sebagai pusat dakwah dan pendidikan agama yang
mula-mula (al-mahdhan al-awwal). Setiap manusia, siapa pun dia, pasti menimba dan menyerap
pemikiran, ajaran, dan nilai-nilai agama yang hidup dalam keluarga. Maka, keluarga bisa menjadi
sumber kebaikan manusia (mashdar khair li al-insan), tetapi sebalinya, bisa juga menjadi pangkal
yang merusak nilai-nilai moral dan agama (mi`wal hadam li al-din wa al-akhlaq).1
Kedua, karena keluarga dipandang sebagai batu-bata pertama (al-labinah al-ula) bagi
lahirnya masyarakat Islam. Dengan kata lain, keluarga adalah miniatur dari komunitas dan
masyarakat Islam. Di sini, tidak dapat dibayangkan lahir masyarakat Islam, tanpa terlebih dahulu
terbentuk keluaarga-keluarga Islam. Maka keluarga yang baik (al-Usrah al-Shalihah), kata ulama
besar dunia, Yusuf Qardhawi, merupakan pangkal dari masyarakat yang baik (Rakiz al-Mujtama
al-Shalih), sekaligus benih utama dari umat yang baik pula (Nuwwat al-Ummah al-Shalihah).2
Dalam tulisannya yang lain, Yusuf Qardhawi menulis sebagai berikut:

Seorang Muslim manakala telah mencapai usia dewasa, ia dianjurkan segera menikah. Perlu
diketahui bahwa pembentukan keluarga Islam akan menjadi salah satu ”bilik” bagi lahirnya
masyarakat Islam yang besar. Tak ada masyarakat Islam, tanpa keluarga-keluarga Islam, dan tak
ada keluarga Islam, tanpa individu-individu Muslim. 3
Ketiga, sebagai kelanjutan logis dari kedua fungsi keluarga di atas, maka institusi keluarga
dengan sendirinya menjadi salah satu faktor penentu (determinant factor) bagi kekuatan dan

1
Khalid ibn Hamid al-Hazimi, Ushul al-Tarbiyyah al-Islamiyyah, (Madinah: Dar `alam al-Kutub, 2000), h. 307.
2
Yusuf Qardhawi, Kayfa Nata`amal Ma`a al-Qur’an al-`Adhim, (Kairo: Dar al-Syuruq, 2000), Cet.ke-4, h. 96.
3
Yusuf Qardhawi, al-Islam Hadharat al-Ghadd, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1995), h.171.

98
kelemahan umat Islam secara keseluruhan. Bisa dimengerti mengapa Nabid saw diminta agar
berdakwah kepada keluarga (wa andzir `asyirataka al-aqrabin)4 sebelum beliau berdakwah
kepada bangsa Arab dan masyarakat dunia secara keseluruhan.
Perhatian Islam terhadap kehidupan keluarga ini sungguh besar, sampai-sampai tokoh
pergerakan Islam kontemporer, Sayyid Quthub, menyebut Islam sebagai ”agama keluarga” (Din
al-Usrah).5 Seorang Muslim, menurut Quthub, mula-mula harus mengarahkan dakwahnya kepada
keluarga dan rumahnya sendiri. Ia harus berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan rumah
tangganya dari dalam dan menutup rapat-rapat celah-calah atau kelemahan-kelemahan yang
terdapat di dalamnya. Ini merupakan program dakwah yang harus diketahui oleh setiap da`i. Tanpa
memperhatikan aspek pembinaan keluarga, maka cita-cita untuk membentuk komunitas dan
masyarakat Islam, akan tertunda atau tidak akan pernah terwujud sama sekali. 6
Bertolak dari pemikiran ini, maka patut kita merespon seruan para ulama dan pendidik agar kita
memperkuat pendidikan dan dakwah dalam keluarga, terlebih lagi pada era baru yang dinamakan
globalisasi atau pascamodernisme sekarang ini.

2. Dampak Globalisasi

Globalisasi, dipahami oleh Thomas Friedman, juga oleh Peter N. Stearns, sebagai fenomena
transformasi social dari bentuknya yang local kepada system social yang bersifat global. Fenomena
ini dapat dipahami dari berbagai sudut pandang: ekonomi, teknologi, sosio-kultural, dan kekuatan
politik. Pada mulanya globalisasi hanya dipahami sebagai transformasi dalam bidang ekonomi
yang ditandai oleh perkembangan yang sangat cepat menyangkut empat hal, yaitu perdagangan,
pergerakan modal, pergerakan orang (tenaga kerja), dan penyebaran ilmu pengetahuan dan
teknologi7.
Globalisasi dapat pula dipahami sebagai perkembangan yang sangat cepat dalam aspek-
aspek kehidupan masyarakat sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek),
khususnya bidang komunikasi dan informasi, seperti ditegaskan Ted.C.Lewellen berikut ini:

4
Baca Q.S. al-Syu`ara/26: 214.
5
Sayyid Quthub, Fi Zhilal al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Syuruq, 1982), jilid IV, h. 3619. Bandingkan dengan Muhammad
Quthub, al-Islam bain al-Madiyyah wa al-Islam, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1989), cet. ke- 10, h. 111-128.
6
Ibid.
7
Peter N. Stearns, Globalization In World History, (New York: Routlege, 2010), Cet. Ke-1, h. 10. Lihat juga,
Muhammad Husaini al Syairazi, al 'Aulamah: Dirasah Islamiyyah Mu'ashirah, t.t., h. 4.

99
“Contemporary, globalization is the increasing flow of trade, finance, culture, ideas, and people
brought about by the sophisticated technology of communications and travel and by the world
wide spread of neo liberal capitalism.”8
Sebagian pakar menyebut globalisasi sebagai modernisme gelombang kedua atau pasca
modernisme yang dampak dan pengaruhnya jauh lebih luas dan lebih dahsyat ketimbang
modernisme gelombang pertama yang berlangsung selama dua abad, yaitu abad 18 dan 19.
Modernisme gelombang kedua ini, akan membawa umat manusia kepada apa yang disebut oleh
Ulrich Beck (ahli kemasyarakatan Jerman) sebagai masyarakat penuh resiko (risk society). 9
Globalisasi secara umum telah menimbulkan berbagai dampak negative, antara lain,
munculnya paham liberalisme dalam hampir semua sektor kehidupan, tak hanya dalam soal
ekonomi dan politik, tetapi juga liberalisme dalam soal agama. `Atha’ Shufi menambahkan
dampak lain dalam soal agama ini, yaitu adanya usaha membikin keragu-raguan bagi kalangan
muda Islam terhadap keyakinan dan agama mereka (tasykik syabab fi dinihim), sehingga timbul
skeptisisme malahan bisa-bisa ateisme. 10
Dalam kaitannya dengan keberadaan keluarga Islam, globalisasi, telah menimbulkan
dampak-dampak yang perlu diantisipasi dan diatasi adalah seperti:
Pertama, melonggarnya ikatan keluarga. Ini dapat dilihat dari renggangnya hubungan dan
disharmoni yang terjadi di antara anggota keluarga baik menyangkut hubungan suami-isteri
maupun orang tua-anak, dan sebaliknya. Meningkanya angka perceraian belakangan ini menjadi
indikasi paling nyata tentang melemahnya iaktan keluarga ini.
Kedua, melemahnya ikatan-ikatan moral dalam keluarga dan dalam masyarakat sebagai
akibat dari paham serba halal, permissivenisme (al-ibahiyyah) dan paham hedonisme yang datang
menyertai gerakan modernisme dan globalisme. Penyesatan ini agaknya memang tidak bisa
dihindari, karena globalisassi, menurut penulis kondang John Naisbitt dan Patricia Aburdine,
mengandung semangat dan gerakan penyeragaman masyarakat dunia dalam tiga F: Food
(makanan), Fashion (mode), dan Fun (hiburan).11

8
Ted. C. Lewellen, The Antropology of Globalization: Cultural Antropology Enters the 21st Century, (London: Bergin
and Garvey, 2002), h.7.
9
Globalisasi disebut juga sebagai konsep yang chaos (the chaotic concept) yang memungkinkan terjadinya salah
paham (misleading) sehingga timbul penolakan tertentu. Lihat, Kris Old. et.all., Ed., Globalization and The Asia
Pasific, (London: Routledge, 1999), Cet. Pertama, h. 17.
10
'Abdul Qadir Muhammd Atha' Shufi, Atsar al 'Aulamah 'Ala Aqidat al Syabab, (Muslim World Legue/Rabithah
'Alam al Islamy, 2006), h. 47-48.
11
John Naisbitt dan Patricia Aburdene, Megatrend 2000, h. 2.

100
Ketiga, kegoncangan jiwa yang mengganggu ketenangan dan kedamaian keluarga dan
rumah tangga. Dampak yang ketiga ini merupakan konsekuensi logis dari dampak-dampak
sebelumnya. Tanpa ikatan keluarga dan ikatan moral yang kuat, sulit dibayangkan ada kedamaian
dan kebahagiaan dalam keluarga seperti yang diharapkan. Kegelisahan dan keresahan ini agaknya
sulit dihindari, karena globalisasi, membawa dampak tiga F yang lain lagi, yaitu: Faith (paham
dan kepercayaan agama palsu), Fears (ketakutan, karena problem di satu negara menjadi problem
negara-negara lain), dan lalu Fact, Fiction, and Formulation (fakta, fiksi, dan formulasi alias
rekayasa komunikasi). Ini berarti, informasi tentang suatu kejadian di suatu belahan dunia dapat
diakses oleh bagian dunia manapun. Informasi ini selain menyajikan realitas juga mengandung
fiksi dengan menggunakan teknik-teknik presentasi, sehingga informasi menjadi tidak pernah
netral. Oleh sebab itu, informasi menjadi semacam formulasi (baca: perumusan realitas dari
perspektif tertentu) untuk kepentingan ekonomi atau politik dalam rangka mempertahankan
hegemoni dan arogansi kekuasaan dan juga kesewenang-wenangan negara-negara maju. 12
Setiap muslim, khususnya para da`i, perlu menjawab dan merespon berbagai problem
dan dampak globalisasi di atas sebagai wujud dari dakwah keluarga. Kita tidak boleh berdiam diri
terbawa arus dan tergilas oleh globalisasi. Sebaliknya, kita harus pro aktif, bekerja keras, dan ikut
serta memberikan dasar dan arah bagi perkembangan globalisasi. Dalam berbagai kesempatan,
saya selalu katakan bahwa globalisasi tak perlu dilihat hanya sebagai ancaman, tetapi juga dapat
dilihat sebagai suatu peluang dakwah, yaitu menyebarkan dan mengokohkan Islam di muka bumi.
Inilah agenda besar dakwah kita pada masa sekarang dan mendatang, yaitu globalisasi dakwah,
sebagai suatu konsep yang ditawarkan untuk meng-globalkan Islam di satu sisi, dan mengi-
slamkan globalisasi di sisi yang lain, dimulai dari dakwah keluarga, demi kemajuan kemanusian
dan peradaban, atau disebut “Dakwah Berbasis Global dan multikultural.” 13
3. Petunjuk Islam Membangun dan Memperkuat Ketahanan Keluarga

Ada tiga hal pokok yang perlu diperhatikan dalam pembinaan keluarga Islam. Pertama, soal
pembentukan keluarga melalui pernikahan. Kedua, soal pendidikan dan penanaman nilai-nilai

12
Lihat Jalaludin Rakhmat, Islam Aktual, (Bandung: Mizan, 1994), h. 74.
13
Lihat, Tutty Alawiyah As, Dakwah Berbasis Global: Inovasi Menghadirkan Islam Rahmatan Lil`alamin, Pidato
Pengukuhan Guru Besar, Jakarta, UIA, Selasa, 30 Maret 2010. Bandingkan dengan Yusuf Qardhawi, Khithabuna al-
Islami fi 'Ashr al 'Aulamah, (Kairo: Dar al Syuruq, 2004), h. 54-55. Muhammad Husaini al Syarazi, al 'Aulamah:
Dirasah Islamiyyah Mu'ashirah, t.t., h. 8-16.

101
agama dalam keluarga. Ketiga, soal penegakan keadilan dan kesetaraan gender. Ketiga hal ini
berpengaruh terhadap kekuatan dan ketahanan keluarga Islam.

a. Pembentukan Keluarga (al-Zawaj)

Pembentukan keluarga dalam Islam dimulai dengan pernikahan (al-zawaj) antara laki-laki dan
perempuan. Islam tidak pernah mengenal keluarga kecuali antara laki-laki dan perempuan. Ini
dapat dilihat dari kehidupan manusia yang paling awal antara Nabi Adam as dan isterinya, Hawa
(Eva). Perhatikan ayat ini: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah
makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu
dekati pohon ini.” (Q.S. al-Baqarah/2: 35).
Jadi, Islam tidak pernah mengenal pernikahan sejenis (antara laki-laki dan laki-laki, atau
antara perempuan dan perempuan). Ini memang berbeda dengan apa yang terjadi di negara-negara
Barat. Tapi, jangan lupa, karena pengaruh globalisasi, budaya ini bisa menyebar dan disebarkan
ke berbagai negeri lain, termasuk negeri-negeri Islam, dengan dalih kebebasan dan Hak-hak Asasi
Manusia. Upaya inilah yang saya lihat terjadi pada waktu Muktamar Kependudukan di Kairo tahun
1994, dan Kongres wanita se-dunia di Bejing pada tahun 1995.
Seperti yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Tuty Alawiyah AS, perannya sebagai Ketua
BKMT dan juga Presiden Perhimpunan Wanita Islam se-dunia (IMWU), menyatakan perang
terhadap paham sesat ini. Beliau prihatin terhadap kasus yang terjadi pada tokoh wanita yang
notabenenya merupakan seorang Guru Besar Perguruan Tinggi Islam di Indonesia yang mencari-
cari celah dan hilah untuk menghalalkan pernikahan se-jenis ini. Dalam hal ini, beliau sepaham
dengan ulama besar dunia, Yusuf Qardhawi, yang mengutuk pernikahan sejenis, dan
memandangnya sebagai perbuatan yang menyalahi fitrah, menentang keluhuran budi pekerti (al-
akhlaq al-karimah), dan melawan hukum (syari`at) agama-agama besar dunia.14
Kitab suci al-Qur’an memandang pernikahan sebagai perjanjian yang sungguh kuat,
mitsaqan ghalidhan (Q.S. al-Nisa’/4: 0-21). Dikehendaki dengan mitsaqan ghalidhan, bahwa
pernikahan tak hanya bermakna kontrak sosial, tetapi perjanjian yang sakral, merupakan ikatan
lahir dan batin, dunia dan akhirat, yang harus dipertanggungjawabkan tak hanya kepada orang tua,
tetapi kepada Allah SWT. Sebagai salah satu bentuk perjanjian, pernikahan dalam Islam

14
Yusuf Qardhawi, Kayfa Nata`amal Ma`a al-Qur’an al-`Adhim, (Kairo: Dar al-Syuruq, 2000), Cet.ke-4, h. 96.

102
disamakan dengan ikatan perjanjian para nabi dengan Allah SWT dalam membawa dan
menyampaikan misi (risalah) kepada umat manusia (Baca: Q.S. al-Ahzab/33:7).15
Untuk membangun harmonisasi dan memperkokoh ikatan keluarga ini, pakar tafsir
Indonesia, H.M. Qurasih Shihab, mengusulkan agar dilakukan penguatan melalui tiga kekuatan,
yaitu kekuatan cinta sejati (mawaddah), kasih sayang (rahmah), dan rasa tanggung jawab
(amanah). Inilah tali-temali yang akan mengikat rumah tangga menjadi keluarga bahagia yang
dalam bahasa al-Qur’an dinamai ”keluarga sakinah”.16

b. Pendidikan dan Penanaman Nilai-nilai Agama

Sudah umum diketahui tentang pentingnya pendidikan agama dalam keluarga. Tapi, ini tidak
berarti setiap orang dari kita memberikan perhatian yang memadai soal dakwah dan pendidikan
keluarga. Malahan, tidak sedikit orang yang menyerahkan soal pendidikan agama keluarganya
hanya kepada pembantu rumah tangga atau kepada lembaga-lembaga pendidikan pra sekolah
semacam TPA dan TKA. Ini tentu tidak cukup, karena institusi keluarga sesungguhnya tak
tergantikan oleh institusi apa pun juga.17
Dakwah dalam keluarga menuntut aktualisasi sistem dan nilai-nilai Islam dalam kehidupan
keluarga. Hal ini perlu diupayakan, sehingga lahir atmosfir keislaman yang kondusif untuk
kemajuan anak dan semua anggota keluarga. Dakwah keluarga membutuhkan keteladanan
(qudwah hasanah) dari orang tua, bapak dan ibu. Tanpa keteladanan dari orang tua sebagai da`i,
maka dakwah keluarga tidak mungkin berjalan sebagaimana diharapkan.
Dalam beberapa penelitian, diketahui bahwa 83 % sikap dan perilaku anak dipengaruhi
oleh apa yang dilihat (visual), 6 % oleh apa yang didengar (auditory), dan sisanya 11 %
dipengaruhi stimulus-stimulus lain. Hasil penelitian ini memperlihatkan kuatnya pengaruh
tontonan dan tuntunan. Dalam keluarga, yang dilihat sehari-hari tentu adalah sikap dan perilaku
kedua orang tuanya. Itulah yang akan mempengartuhi dan membentuk sikap dan karakter anak-
anak di kemudian hari. Jadi, dakwah dalam keluarga, hemat saya, adalah dakwah dengan

15
Ibid.
16
Lihat H.M.Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu`I Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung:
Mizan, 1996), cet.ke-1, h. 208-214. Bandingkan dengan Muhammad Imarah, Tarbiyyat al-Nasyi’ fi Zhill al-Islam,
(Makkah al-Mukarramah: Rabithat al-`Alam al-Islami, 2000), cet.ke-2, h. 13-52.
17
Tentang problem-problem yang dihadapi keluarga pada era baru sekarang, lihat Khalid ibn Hamid al-Hazimi,
Ushul al-Tarbiyyah al-Islamiyyah, (Madinah: Dar `alam al-Kutub, 2000), h. 307.

103
keteladanan, sehingga kelurga, seperti diusulkan Sayyid Quthub, dapat menjadi terjamah hidup
dari sistem dan nilai-nilai Islam itu sendiri. 18
Tak heran bila sejak awal al-Qur’an mengingatkan agar kaum Muslim menjaga dan
memelihara keluarganya dari apai neraka.

َ ‫اس َو ْال ِح َج‬


ُ ‫ارة‬ ً ‫س ُك ْم َوأ َ ْه ِلي ُك ْم ن‬
ُ ‫َارا َوقُودُهَا النﱠ‬ َ ُ‫يَا أَيﱡ َها الﱠذِينَ آ َمنُوا قُوا أَ ْنف‬

”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu” (Q.S. al-Tahrim/66: 6).

Dalam banyak riwayat diterangkan, ketika ayat ini turun, Umar ibn al-Khathab bertanya
kepada Nabi. Katanya, ”Kami dapat memelihara diri dari api neraka, tetapi bagaimana kami dapat
menjaga dan memelihara keluarga kami,”? Jawab Nabi

: ”‫" تنهوهن عما نهاكم ﷲ عنه وتأمروهن بما أمركم ﷲ به فيكون ذلك وقاية بينهن وبين النار‬

" (Cegahlah mereka dari apa yang Allah larang bagimu, dan suruhlah meraka kepada apa yang
Allah perintahkan kepadamu, maka hal itu akan menjadi pengaman antara mereka dan api
neraka).19

c. Menegakkan Keadilan dan Kesetaraan Gender

Satu hal yang perlu mendapat perhatian dalam keluarga Islam ialah soal keadilan dan kesetaraan
geender. Yususf Qardhawi, dalam banyak tulisannya, selalu mengingatkan agar kita bersikap jujur
dan adil terhadap perempuan. Jangan sampai, kata Qardhawi, kita kembali lagi ke zaman jahiliah.
Kita harus adil dan mampu membebaskan wanita dari kezaliman jahiliah dan kegelapannya (inshaf
al-mar’ah wa tahririha min zhulm al-jahiliyyah wa zhalamiha).20

18
Sayyid Quthub, Fi Zhilal al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Syuruq, 1982), jilid IV, h. 3619.
19
Lihat Syihab al-Din Mahmud ibn `Abdillah al-Husaini al-Alusi, Ruh al-Ma`ani fi Tafsir al-Qur’an al-`Adhim wa
al-Sab`al-Matsani, juz 21, h. 101. Bandingkan dengan Sayyid Thanthawi, Tafsir al-Wasith, juz 1, h, 4256.
20
Yusuf Qardhawi, Kayfa Nata`amal Ma`a al-Qur’an al-`Adhim, (Kairo: Dar al-Syuruq, 2000), Cet.ke-4, h. 99.

104
Kitab suci al-Qur’an, jelas Qardhawi, memuliakan wanita dan memberikan semua hak-
haknya seperti yang diberikan kepada kaum laki-laki. Penghormatan yang diberikan al-Qur’an
menyangkut soal wanita bersifat menyeluruh, baik dalam kedudukannya sebagai manusia, sebagai
perempuan, sebagai ibu, sebagai isteri, sebagai anak, maupun sebagai anggota masyarakat. 21 Oleh
sebab itu, dalam keluarga Islam, tak boleh terjadi tindakan-tindakan yang bersifat diskriminatif
dan eksploitatif terhadap perempuan. Tindakan seorang terhadap perempuan menjadi salah satu
tolok ukur moralitas dan akhlaknya. Kata Nabi, ”Ma akrama al-nisa’ illa karim, wa la
ahanahunna illa la’im (Tak memuliakan perempuan, kecuali orang mulia, dan tak
merendahkannya, kecuali orang bejat).22
Upaya menegakkan keadilan dan kesetaraan gender ini, dalam keluarga dan masyarakat
Islam, kini memperoleh momentumnya yang sangat tepat. Ini karena dua hal. Pertama,
pemberdayaan perempuan kini menjadi issu global, sama dengan issu tentang HAM, lingkungan
hidup, dan lain-lain. Kedua, paham “patriarkhat” atau ”masculine culture” menurut banyak
pemikir kelas dunia, semacam Fritjof Capra, mulai bergeser, bahkan menurut John Naisbitt,
bergerak ke arah “Kepemimpinan Wanita” yang tanda-tandanya sudah terlihat sejak penghujung
abad lalu, dan makin fenomenal pada abad baru era global sekarang ini.
Dalam hubungan ini, ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mendukung keadilaan
dan keberdayaan wanita dalam keluarga dan maayarakat Islam. Pertama, pemberdayaan Sumber
Daya Manusia (SDM) wanita, sehingga wanita tidak hanya besar dalam jumlah (katsir al-‘adah),
tetapi juga besar dalam kualitas (katsir al-‘udah). Kedua, peningkatan penguasaan ilmu
pengetahuan. Pada kenyataannya, kesetaraan global hanya bisa dibangun melalui penguasaan ilmu
pengetahuan. Ini kemuliaan yang diberikan Allah berkat iman dan ilmu (QS al-Mujadalah: 11).
Ketiga, peningkatan peran wanita muslimah tak hanya dalam keluarga, tetapi juga dalam
pembangunan umat dan bangsa, bahkan dalam ikut serta membangun kebudayaan global yang
berbasis pada kekuatan moral dan spiritual sesuai petunjuk Allah dan Rasul.

21
Ibid.
22
H.R. Ibn `Asakir dari Ali ibn Abi Thalib.

105
Daftar Pustaka
Al-Alusi, Syihab al-Din Mahmud ibn `Abdillah al-Husaini. Ruh al-Ma`ani fi Tafsir al-Qur’an al-
`Adhim wa al-Sab`al-Matsani, juz 21.
Alawiyah, Tutty As. Dakwah Berbasis Global: Inovasi Menghadirkan Islam Rahmatan
Lil`alamin, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Jakarta, UIA, Selasa, 30 Maret 2010.
Al-Hazimi, Khalid ibn Hamid. 2000. Ushul al-Tarbiyyah al-Islamiyyah. Madinah: Dar `alam al-
Kutub.
Al-Syarazi, Muhammad Husaini. al 'Aulamah: Dirasah Islamiyyah Mu'ashirah, t.t.
Atha' Shufi, 'Abdul Qadir Muhammd. 2006. Atsar al 'Aulamah 'Ala Aqidat al Syabab. Muslim
World Legue/Rabithah 'Alam al Islamy.
Imarah, Muhammad. 2000. Tarbiyyat al-Nasyi’ fi Zhill al-Islam. Makkah al-Mukarramah:
Rabithat al-`Alam al-Islami. cet.ke-2
Lewellen, Ted. C. 2002. The Antropology of Globalization: Cultural Antropology Enters the 21 st
Century. London: Bergin and Garvey.
Naisbitt, John dan Patricia Aburdene.2000. Megatrend
Old, Kris. et.all., Ed. 1999. Globalization and The Asia Pasific. London: Routledge. Cet. Pertama.
Quthub, Muhammad. 1989. al-Islam bain al-Madiyyah wa al-Islam. Kairo: Dar al-Syuruq. cet.
ke- 10.
Rakhmat, Jalaludin. 1994. Islam Aktual. Bandung: Mizan.
Qardhawi, Yusuf. 1995. al-Islam Hadharat al-Ghadd. Kairo: Maktabah Wahbah.
2000. Kayfa Nata`amal Ma`a al-Qur’an al-`Adhim. Kairo: Dar al-Syuruq. Cet.ke-
4.
2004. Khithabuna al-Islami fi 'Ashr al 'Aulamah. Kairo: Dar al Syuruq.
Quthub, Sayyid. 1982. Fi Zhilal al-Qur’an. Beirut: Dar al-Syuruq. jilid IV.
Shihab, Quraish. 1996. Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu`I Atas Pelbagai Persoalan Umat.
Bandung: Mizan. cet.ke-1.
Stearns, Peter N. 2010. Globalization In World History. New York: Routlege. Cet. Ke-1.
Thanthawi, Sayyid. Tafsir al-Wasith, juz 1.

106

Anda mungkin juga menyukai