Anda di halaman 1dari 4

Modernisasi Pemikiran Islam Nurcholish

Madjid
Oleh Muhammad Ihza Fazrian

Nurcholish Madjid atau lebih akrab disapa Cak Nur merupakan intelektual muslim
asal Indonesia. Ia dilahirkan di Jombang pada tahun 17 Maret 1939 dan wafat pada
29 Agustus 2005 silam. Ia mengenyam pendidikan di Pondok Modern Darussalam
Gontor, Ponorogo. Setelah itu di jurusan Sastra Arab, IAIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta dan program doktoralnya dalam bidang Islamic Studies di Universitas
Chicago, Amerika Serikat. Cak Nur merupakan Intelektual Muslim yang berkiprah di
berbagai hal. Ia tercatat sebagai satu-satunya ketua Himpunan Mahasiwa Islam
(HMI) selama dua periode, perumus Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI yang
menjadi nilai ideologis organisasi tersebut. Ia juga mendirikan sebuah yayasan
bernama Paramadina. Sebagai seorang intelektual muslim, Cak Nur banyak
menimbulkan kontroversi di kalangan umat Islam. Hal ini karena gagasan-gagasan
yang diutarakannya dianggap banyak menyeleweng dari ajaran Islam. Tentunya hal
tersebut merupakan konsekuensi logis bahwa seorang pemikir atau pembaharu
Islam pasti melakukan pembacaan radikal atas paradigma yang muncul, terkhusus
di dunia Islam.
Pemikiran Cak Nur berkutat di seputar isu-isu keislaman, kemodernan dan
keindonesiaan. Ia banyak melontarkan kritik terhadap pemikran Islam yang berlaku.
Misalnya corak pemikiran Islam tradisional yang baginya cenderung mengalami
kejumudan dalam menyikapi arus modernisasi. Juga kaum modernis muslim yang
cenderung tekstualis dan konservatif dalam memahami teks-teks agama.1 Baginya,
dua model tersebut menggambarkan ketertinggalan umat Islam karena
kecenderungannya mengarah pada hal-hal apologetis.
Dalam melakukan pembaharuan, Cak Nur memberikan dua gagasan pokok,
yakni modernisasi dan sekularisasi pemikran Islam. Hal tersebut ia lakukan dengan
melakukan tinjauan atas pemikiran Barat yang dianggap sebagai tempat lahirnya
modernitas dan pemikiran Islam sebagai alatnya. Ketika menyampaikan
gagasannya, Cak Nur menuai banyak kritikan keras dari kalangan intelektual muslim

1
Susanti Vera, “NURCHOLISH MADJID: PELETAK DINAMIKA PEMBAHARUAN PEMIKIRAN ISLAM DI
INDONESIA,” Al-Misykah: Jurnal Studi Al-Qur’an Dan Tafsir 3, no. 1 (30 Juni 2022): 31,
https://doi.org/10.19109/almisykah.v3i1.13007.
lainnya seperti Prof. Dr. Rasidji yang menyatakan bahwa sekularisasi yang digagas
Cak Nur dikhawatirkan dapat memotivasi umat Islam sekuler seperti halnya Barat.2

Kritik terhadap Modernisme Ala Barat

Sebagai istilah yang kontoversial, sekuler merupakan wacana yang


kecenderungannya berpusat pada hal-hal keduniawian, dan praktiknya adalah
pemisahan antara hal-hal yang bersifat ilahi dan duniawi. Pemikiran sekuler yang
berasal dunia Barat menghasilkan sebuah ideologi baru yang dikenal dengan
sekularisme. Sekularisme dianggap sebagai ideologi yang sukses mengantarkan
dunia Barat menuju kemajuan dalam berbagai bidang.
Adanya imperialisme dan kolonialisme pada era klasik, kapitalisme dan
komunisme pada era modern, semuanya merupakan konsekuensi berkelanjutan
yang berasal dari doktrin sekularisme. Pemikiran Barat yang bercorak demikian,
memunculkan klaim bahwa orientasi kemodernan harus berpusat ke dunia Barat.
Padahal dalam praktiknya, hal tersebut banyak menimbulkan hal-hal negatif dengan
hegemoninya.
Cak Nur berpendapat, bahwa sekularisme yang diwacanakan oleh Barat
perlu ditinjau ulang, terkhusus karena banyak menimbulkan berbagai implikasi
serius. Berkaca pada penjajahan yang dilakukan Belanda pada Indonesia,
merupakan bukti nyata bahwa Barat yang selalu “berkoar-koar” seputar isu
kemanusiaan, malah melakukan kolonialisme yang menyebabkan kerugian besar
pada bangsa Indonesia.3

Krtik terhadap Sikap Apologetis Umat Islam

Berhasilnya dunia Barat dalam menerapkan Sekularisme menjadikan


terwujudnya paham modernisme. Namun modernisme di sini dianggap oleh umat
Islam sebagai gambaran jahiliyah abad modern. Implikasinya terdapat pada
orientasi paham tersebut yang berpusat pada hal-hal duniawi dan memisahkannya
dengan hal-hal ilahiah. Pola pikir seperti itu akhirnya menciptakan doktrin baru
bahwa meninggalkan Tuhan merupakan jalan yang terbaik agar manusia dapat eksis
dan terus berkarya.
Orientasi keduniawian yang radikal, melupakan dimensi keyakinan yang
seharusnya dapat membimbing manusia kepada kebenaran. Doktrin agama yang
mulanya merupakan inspirasi supaya mengarahkan manusia menuju kemutlakan
(al-Haq) yang berasal dari Tuhan, malah ditinggalkan karena dianggap kuno dan
tidak empiris sesuai standar pengetahuan modern. Rasionalisme yang
mengutamakan nalar sebagai basisnya juga dianggap sebagai metode mencari
kebenaran yang absolut.

2
Nurcholish Majid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Mizan Pustaka, 2008), 313.
3
Majid, 230–31.
Menurut Cak Nur, umat Islam menilai bahwa gagasan modernisme seperti
itu tidak sesuai dengan ajaran agama ini. Namun, umat Islam justru malah
memberikan reaksi yang sifatnya hanya sekedar berusaha menciptakan saingan
baru saja. Adanya wacana negara Islam dan Islamisasi ilmu pengetahuan misalnya,
merupakan paradigma yang muncul dari dunia Islam sebagai reaksi atas
modernisasi Barat.4
Wacana menyaingi tersebut, pada akhirnya hanya menimbulkan sikap
apologetis umat Islam. Hal ini karena kenyataannya negara Islam dan Islamisasi yang
diimpikan oleh umat Islam sejauh ini tidak menimbulkan kesuksesan. Di Timur
Tengah sendiri, negara-negara muslim yang pada mulanya menerapkan syariat
Islam sebagai dasar kenegaraan, pada akhirnya beralih menjadi demokrasi.
Islamisasi juga banyak menimbulkan problematika, banyaknya cocokologi
yang diutarakan atas penemuan Barat tentang ilmu pengetahuan, lalu dihubung-
hubungkan dengan Islam, menyatakan bahwa umat Islam sebenarnya kalah jauh
dengan Barat. Ditambah romantisme Islam klasik yang terus diulang-ulang tanpa
adanya kesadaran sejarah yang objektif, hanya semakin menunjukkan bahwa umat
Islam sangat apologetis dalam melihat Barat.

Gagasan Sekularisasi dan Modernisasi Pemikiran Islam Cak Nur

Cak Nur menyatakan bahwa membaca Barat diperlukan sikap yang kritis. Artinya
tidak serta merta yang muncul dari dunia Barat harus disalahkan dan ditinggalkan.
Perlunya pembacaan seperti itu merupakan tantangan umat Islam bahwa pada
kenyataannya sekarang Barat merupakan role model suatu kemajuan. Dengan
demikian, maka agak naif kiranya kalau umat Islam terus menutup diri dengan
gagasan-gagasan yang muncul dari dunia Barat.
Melihat Barat secara objektif akan terbentuk jika seorang muslim melihat
gagasan yang muncul dari Barat tanpa meninggalkan sisi keislamannya.5
Sekularisme yang menimbulkan “kelupaan” atas hal-hal yang sifatnya ilahi, harus
dilihat secara objektif bahwa pemikiran tersebut ternyata dapat dan harus
dipraktikkan di dunia Islam. Hal ini karena pemikiran Islam hingga sekarang hanya
berkutat pada hal-hal yang sifatnya ilahi saja.
Begitu juga modernisasi, fakta bahwa gagasan tersebut muncul dari Barat,
bukan berarti kerangka “modernisasi” sama dengan “westernisasi”. Bagi Cak Nur,
inti sebenarnya dari modernisasi adalah proses rasionalisasi pemikiran, bukan
westernisasi yang ditakuti oleh umat Islam sehingga menuntut mereka untuk
menciptakan saingan seperti Islamisasi ilmu pengetahuan dan negara Islam yang
hanya menunjukan dimensi apologetis saja.

4
Majid, 305–6.
5
Sulbi Sulbi, “Islam Kemodernan dan Keadilan Sosial dalam Pandangan Nurcholish Madjid,” Palita:
Journal of Social Religion Research 6, no. 1 (25 April 2021): 7,
https://doi.org/10.24256/pal.v6i1.1200.
Banyaknya dalil al-Qur’an dan sunnah yang mengangkat isu akal, merupakan
bentuk konkrit bahwa ajaran Islam sebenarnya sangat memperhatikan potensi
manusia yang fitrahnya rasional (hanif), mengarah kepada kebenaran (al-Haq).
Sekularisasi di sini sebenarnya bertujuan agar umat Islam dapat membedakan hal-
hal yang sifatnya duniawi dan ukhrawi. Artinya melakukan sekularisasi bukan berarti
menerapkan sekularisme yang menghilangkan peran Tuhan dalam kehidupan.
Menurut Cak Nur, sekularisasi pemikiran harus dilakukan karena umat Islam
cenderung tidak bisa membedakan hal-hal yang sifatnya duniawi dan ukhrawi.
Imbasnya, kecendrungan teosentrislah yang lebih condong pada pemikran Islam.
Adanya kitab-kitab fiqih yang berjilid-jilid merupakan bentuk nyata dari hal tersebut.
Dengan ini, pemikiran Islam pada bidang ilmu pengetahuan dan humaniora
mengalami ketertinggalan jauh jika dibandingkan dengan Barat.6
Sekularisasi dapat dilakukan jika umat Islam telah melakukan modernisasi
dalam pemikirannya. Kalau tidak, maka sia-sialah wacana tersebut karena
modernisasi di sini mengharuskan umat Islam agar memaksimalkan potensi
akalnya. Tugas khalifah di muka bumi mengartikan bahwa manusia secara mutlak
telah diberikan mandat oleh Allah untuk menjadi pemimpin di bumi. Hal ini
bertujuan agar manusia melakukan perbaikan (al-islah) dan terus mencari
kebenaran sejati (al-Haq).
Dengan demikian, kiranya gagasan Cak Nur harus menuai perhatian. Hal ini
karena pemikirannya ditujukan semata-mata demi terwujudnya visi Islam sendiri,
yakni rahmatan lil alamin. Islam sangat menghargai potensi akal yang terdapat pada
diri manusia terlebih akal sendiri merupakan anugerah dari Allah. Oleh karena itu
menggunakan akal yang disesuaikan dengan iman sebagai pendahulunya
merupakan aktualisasi khalifatullah itu sendiri.

Referensi

Majid, Nurcholish. Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Mizan Pustaka, 2008.


Sulbi, Sulbi. “Islam Kemodernan dan Keadilan Sosial dalam Pandangan Nurcholish
Madjid.” Palita: Journal of Social Religion Research 6, no. 1 (25 April 2021):
1–24. https://doi.org/10.24256/pal.v6i1.1200.
Vera, Susanti. “NURCHOLISH MADJID: PELETAK DINAMIKA PEMBAHARUAN
PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA.” Al-Misykah: Jurnal Studi Al-Qur’an Dan
Tafsir 3, no. 1 (30 Juni 2022): 22–44.
https://doi.org/10.19109/almisykah.v3i1.13007.

6
Majid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, 303.

Anda mungkin juga menyukai