Anda di halaman 1dari 11

PSEUDOTAFSIR DI INDONESIA

(Analisis Ayat-Ayat yang Dijadikan Legitimasi Pengobatan dan


Kesehatan Berbasis Pseudosains)

PROPOSAL TESIS

Disusun dan diajukan kepada Pascasarjana


Universitas Islam Negeri Profesor Kiai Haji Saifuddin Zuhri Purwokerto
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Penulisan Tesis

NAMA : HANIF ACEP NUR ADHI


NIM : 224120800005

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
PROFESOR KIAI HAJI SAIFUDDIN ZUHRI PURWOKERTO
TAHUN 2023
A. Latar Belakang Masalah

Manusia hari ini hidup di era interpretation age(masa penafsiran). Di mana


fase ini akan muncul aneka ragam penafsiran dari teks-teks agama. Hal-hal yang
sudah mapan dipertanyakan kembali. Hal-hal baru, alternatif, pinggiran
diarusutamakan. Penafsiran Al Quran juga mengalami fase yang sama. Ada kubu
sangat rigid dalam menafsirkan teks, di kubu lain sangat liar tanpa batas. Maka di
dalam penafsiran ada kaidah-kaidah yang disepakati sebagai metode tafsir (thariqah
al-tafsir).

Salman Harun (2020) menjelaskan thariqah al-tafsir di sini adalah


pendekatan-pendekatan (al-manahij) yang dilakukan dan metode-metode(ath thuruq)
yang ditempuh untuk sampai pada makna Al Qur’an. Pendekatan dan metode itu
mencakup menafsirkan Al-Quran dengan Al Quran, Al Quran dengan sunnah, Al
Quran dengan pendapat shahabat, Al Quran dengan pendapat tabiin, Al Quran dengan
bahasa Arab dan Al Qur’an dengan ra’yi(pikiran).1

Pendekatan di atas kalau diringkas menjadi dua metode : atsar dan ra’yi.

َّ‫اهمَّاَّفَّبَّاطَّل‬
َّ َّ‫التَّفَّسَّيَّرََّّإَّمَّاَّبَّنَّقَّلََّّثَّابَّتََّّأَّوََّّرَّأَّيََّّصَّائَّبََّّوََّّمَّاَّسَّو‬

“Tafsir itu dengan penukilan yang pasti atau dengan pemikiran yang
benar. Selain itu salah.”

Berdasarkan batasan tafsir di atas, kita akan menemukan fenomena penafsiran


yang semu. Seolah-olah ia tafsir, padahal bukan tafsir. Di sini penulis menawarkan
suatu istilah yaitu pseudotafsir. Yaitu penafsiran yang tidak memenuhi persyaratan
baik dari segi atsar maupun ra’yi.

Maraknya komodifikasi agama juga masuk di ranah pengobatan dan


kesehatan. Tentu saja ini mengkhawatirkan, karena menyangkut nyawa dan
keselamatan manusia. Untuk memudahkan penerimaan masyarakat maka dibutuhkan
legitimasi ayat-ayat Al Quran. Mereka yang tidak memiliki kompetensi di bidang
pengobatan dan kesehatan berhasil menarik kepercayaan publik dengan menggunakan
1
Salman Harun, Kaidah-kaidah Tafsir, Bekal mendasar untuk memahami Makna Al Quran dan Mengurangi
kesalahan pemahaman,Jakarta, PT Qaf Media Kreativa, 2020 hal. 91
penafsiran semu(pseudotafsir) pada ayat-ayat Al Quran. Redaksi Al Quran maupun
penafsirannya selama ini berbeda jauh dengan apa yang ditafsirkan oleh para pelaku
pengobatan pseudosains tersebut. Diskursus Islamisasi sains telah ditafsirkan secara
liar menjadi “Islamisasi pseudosains”.

Penulis membatasi penelitiannya pada pseudotafsir di bidang pengobatan dan


kesehatan yang terjadi di Indonesia. Penggunaan ayat-ayat suci dalam al-Quran
sebagai justifikasi untuk praktik pengobatan dan kesehatan telah menjadi fenomena
yang semakin umum di Indonesia. Banyak individu dan praktisi kesehatan alternatif
menggunakan ayat-ayat ini untuk melegitimasi pendekatan pengobatan yang tidak
didasarkan pada bukti ilmiah yang kuat, melainkan pada pseudosains atau keyakinan
pribadi. Hal ini menciptakan ketidakseimbangan antara pengobatan berbasis ilmiah
dan praktik yang tidak teruji secara ilmiah, yang pada gilirannya dapat
membahayakan kesehatan masyarakat.

Di antara praktek pengobatan yang menggunakan penafsiran Al Quran adalah


Pengobatan Akhir Zaman Al Kasaw (PAZ Al Kasaw). Founder pengobatan ini adalah
Ustadz Haris Moejahid. Beliau tidak memiliki latar belakang pendidikan Tafsir
maupun medis, tetapi berani mengklaim menemukan pengobatan yang terinspirasi
dari Al Quran.

“Penggunaan ayat Al-Qur’an di sini tidak dimaknai secara ilmiah, karena


Ustadz Haris sebagai penemu Pengobatan Akhir Zaman (PAZ) bukanlah seorang
ulama dan mufasir. Beliau adalah orang yang ahli dalam medis, atau yang sering
kami kenal sebagai seseorang yang mampu menyederhanakan hal-hal yang sulit atau
rumit dalam dunia medis. Jadi karena beliau ahli dalam bidang pengobatan,
memikirkan dan memahami ayat-ayat yang berhubungan dengan kedokteran dan dari
pemahaman tersebut terciptalah gerakan-gerakan yang dapat mengobati penyakit
pasien. Dan kami para terapis hanya setia mengikuti apa yang diajarkan Ustadz
kepada kami. Pada awalnya gerakan penyembuhan ini adalah diciptakan tidak hanya
sekali tetapi berkali-kali hingga gerakan ini menjadi sesempurna sekarang dan
perawatan ini dianggap thibbun nabawi karena bersumber dari ayat Al-Qur'an dan
al-Sunnah Nabi.”2

“Orang yang pintar menamai jenis penyakit namun tidak bisa memberi solusi,
buat apa didengarkan definisi dan penjelasannya. Belajar dari orang yang memang
bisa selesaikan masalahnya. Walau pakai definisi penyakit yang sederhana. Padahal
itu bisa sederhanakan masalah yang rumit, bukan merumitkan masalah yang
sederhana”3

Pengobatan Akhir Zaman sebagai salah satu bentuk pengobatan yang


mengklaim terinspirasi dari Al Quran, ternyata ditemukan oleh seseorang yang
berlatar belakang non medis. Sehingga dari sisi sains maupun ilmu tafsir akan kita
temukan banyak kejanggalan. Sayangnya karena menggunakan embel-embel
pengobatan Al Quran dan sebagai bentuk perwujudan kedokteran Islam, diterima
secara luas oleh masyarakat dan umat Islam.

Ada problem akademis dan etis yang serius saat pengobatan yang berurusan
dengan nyawa dan keselamatan orang lain, dilaksanakan oleh orang yang tidak
memiliki kepakaran di bidangnya. Sayangnya praktek ini dalam dua skripsi
sebelumnya dimasukkan dalam kajian living quran. Sesuatu yang tidak ilmiah
dinisbatkan pada Al Quran.

Contoh penafsiran Al Quran yang dilakukan oleh Pengobatan Akhir Zaman Al


Kasaw adalah ketika memahami ayat berikut :

ِ ‫ٱرْ ُكضْْْبِ ِزجْ لِكْْْۖ َٰهذاْ ُم ْغتسلْْب‬


ْ‫اردْْوشزاب‬

(Allah berfirman): "Hentakkanlah kakimu; inilah air yang sejuk untuk mandi
dan untuk minum".

2
Syah, Juliana Maulizhar, Pengobatan Akhir Zaman Al-Kasaw (PAZ) pada Rumah Sehat Pango dalam
perspektif Al Quran, UIN Ar Raniry Daryssalam Banda Aceh 2023

3
Susanto, Anjrah Ari, Haris Moejahid Sang Medical Hacker, Klaten : PAZ Publisher, 2022
PAZ Al Kasaw memahami ayat ini sebagai jurus pengobatan terbaik adalah
dengan menghentakkan kaki. Alasannya penyakit berat yang diderita Nabi Ayyub as
bisa sembuh karena mempraktekkan perintah ini. Dan sayangnya jika meragukan
jurus ini sebagai jurus pengobatan dianggap dia tidak mempercayai solusi Al Quran di
bidang pengobatan. Mereka tidak mendudukkan peristiwa ini adalah mukjizat khusus
kepada Nabi Ayyub as, dan bukan perkara yang bisa diempiriskan untuk semua orang
dan semua kasus penyakit.

Penelitian tentang penggunaan pseudosains dalam konteks agama dan


kesehatan sangat penting untuk memahami dampaknya pada kesejahteraan
masyarakat Indonesia. Selain itu, kajian ini juga akan memberikan pemahaman yang
lebih mendalam tentang bagaimana ayat-ayat suci digunakan dalam konteks tersebut
dan bagaimana hal ini mempengaruhi persepsiْ dan resepsi masyarakat terhadap
pengobatan dan kesehatan.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana ayat-ayat Al Quran digunakan sebagai legitimasi untuk praktik


kesehatan berbasis pseudosains di Indonesia?
2. Apa dampak dari penggunaan ayat-ayat agama dalam praktik kesehatan
pseudosains terhadap kesejahteraan dan kesehatan masyarakat?
3. Bagaimana pandangan ulama dan otoritas agama terkait dengan penggunaan ayat-
ayat suci dalam praktik pengobatan dan kesehatan berbasis pseudosains?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk menganalisis bagaimana ayat-ayat suci dalam al-Quran digunakan sebagai


legitimasi praktik pengobatan dan kesehatan berbasis pseudosains di Indonesia.
2. Untuk memahami dampak penggunaan ayat-ayat suci dalam konteks pseudosains
terhadap kesehatan dan kepercayaan masyarakat.
3. Untuk mengeksplorasi pandangan ulama dan otoritas agama terkait dengan
penggunaan ayat-ayat suci dalam praktik pengobatan dan kesehatan berbasis
pseudosains.
Adapun Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Secara Teoritis
a. Memunculkan awareness public tentang ilmu tafsir dan kaidah-kaidahnya
yang perlu dipatuhi, untuk membedakan dengan pseudotafsir yang cenderung
menerabas kaidah-kaidah tafsir dan menggunakan penafsiran tunduk
kepentingan penafsir
b. Memunculkan diskursus baru yaitu pseudotafsir dalam kajian ulumul quran
dan tafsir.
2. Secara Praktis
a. Memberi edukasi public tentang bahaya penggunaan pseudotafsir dalam
praktek-praktek pengobatan dan kesehatan berbasis pseudosains
b. Memberi masukan terkait public health kepada stakeholder, pemerintah, ormas
Islam maupun masyarakat pada umumnya dalam menempatkan teks-teks Al
Quran pada tempatnya dan tidak menafsirkan secara sembrono dan tidak
bertanggung jawab.

D. Telaah Pustaka

Pada telaah pustaka ini, penulis membaginya dalam dua tema besar. Tema
kajian yang pertama adalah literatur literatur yang membahas konsep pseudotafsir
sedangkan tema kajian yang kedua adalah mengenai pseudosains.

Ada dua penelitian sebelumnya terkait pengobatan menggunakan ayat-ayat Al


Quran. Yaitu :

1. Syah, Juliana Maulizhar, Pengobatan Akhir Zaman Al-Kasaw (PAZ) pada Rumah
Sehat Pango dalam perspektif Al Quran, UIN Ar Raniry Darussalam Banda Aceh
2023
2. Hakim, Hamzah Imaduddin, Praktek Pengobatan dengan Ayat Al Quran (Studi
Living Quran di Klinik Pengobatan Akhir Zaman Al Kasaw Lowokwaru Malang),
IAIN Jember, 2021

Kedua skripsi di atas masih sebatas menjelaskan aspek living quran, dan
belum menganalisis lebih dalam, apakah penafsiran yang dilakukan bisa diakui
sebagai tafsir atau bukan. Dan praktek pengobatannya apakah termasuk sains atau
pseudosains.

Penelitian sebelumnya tentang pengaruh ayat-ayat al-Quran dalam pengobatan


dan kesehatan berbasis pseudosains di Indonesia masih terbatas. Beberapa studi telah
dilakukan untuk memahami fenomena serupa di negara-negara lain, namun belum ada
penelitian yang secara khusus menganalisis konteks Indonesia. Penelitian ini akan
mengisi kekosongan pengetahuan dalam bidang pseudotafsir dan membangun
pemahaman yang lebih komprehensif tentang pseudotafsir di Indonesia.

Pseudosains dan pseudotafsir memiliki hubungan erat dengan kultus


pengobatan. Berikut adalah penjelasan singkat tentang keduanya dan bagaimana
mereka berkaitan. Pseudosains mengacu pada klaim atau teori yang diakuinya sebagai
ilmiah, tetapi tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat atau tidak dapat diuji secara
empiris. Pseudosains sering kali mengandung elemen-elemen yang terlihat ilmiah,
seperti data, grafik, atau terminologi ilmiah, tetapi tidak sesuai dengan metode ilmiah
yang ketat atau tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Contoh
pseudosains termasuk astrologi, homeopati, teori konspirasi yang tidak didukung oleh
bukti, dan sebagainya.

Sedangkan kultus pengobatan mengacu pada kelompok atau organisasi yang


menganut sistem pengobatan alternatif atau non-konvensional yang seringkali tidak
didukung oleh bukti ilmiah yang kuat. Anggota kultus pengobatan sering kali sangat
mengidentifikasi diri mereka dengan pengobatan alternatif tersebut dan cenderung
menghindari pengobatan konvensional dalam mendukung keyakinan mereka.
Beberapa contoh kultus pengobatan melibatkan praktik-praktik seperti terapi kristal,
pengobatan energi, pengobatan berbasis subluksasi tulang belakang, pengobatan
eskatologis atau pengobatan alternatif lainnya.

Kedua konsep ini sering terkait karena banyak praktik pseudosains, seperti
pengobatan alternatif yang tidak berdasar bukti ilmiah, dapat menjadi pusat bagi
kultus pengobatan. Dalam kultus pengobatan, para pengikut cenderung mempercayai
dan menganut praktik-praktik ini sebagai kepercayaan agama atau spiritual, meskipun
kurangnya bukti ilmiah yang mendukung efektivitasnya.
Penting untuk memahami perbedaan antara sains yang sah dan pseudosains,
serta untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan terkait kesehatan. Praktik
kesehatan yang didasarkan pada bukti ilmiah yang kuat biasanya lebih andal dan
aman daripada praktik-praktik yang termasuk dalam kategori pseudosains atau kultus
pengobatan.

Beberapa karya kritis sudah ditulis untuk menyikapi wacana komodifikasi


agama, misalnya Selling Spirituality: The Silent Takeover of Religion yang ditulis
oleh Jeremy Carette dan Richard King pada tahun 2006, The McDonaldization of the
Church yang ditulis oleh John Drane pada tahun 2001, Selling God: American
Religion in the Marketplace of Culture yang ditulis oleh R, Laurence Moore pada
tahun 1994, Christotainment: Selling Jesus Through Popular Culture yang disunting
oleh Shirley R Steinberg dan Joe L Kincheloe pada tahun 2009, Religious
Commodifications in Asia: Marketing Gods yang disunting oleh Pattan Kitiarsa pada
tahun 2008 (Idi Subiandy Ibrahim dan Bachruddin Ali Akhmad, 2014, 23), dan
Komodifikasi Agama: Ketika Ayat-ayat Tuhan Diperdagangkan yang ditulis oleh M
Muslihan pada tahun 2015. Film dokumenter Netflix “In the Name of God : The Holy
Betrayal” juga menggambarkan bahwa pengobatan yang menggunakan modus
komodifikasi agama di Korea Selatan sangat rawan menimbulkan jatuhnya korban
jiwa manusia.

Fenomena komodifikasi agama terjadi di semua agama dengan bentuk yang


beragam, selaras dengan kodrat manusia yang dengan nafsunya menghendaki
kepemilikan material yang melimpah. Dalam sebuah hadis dinyatakan,

ِ ِ ِ ٍ ‫آد َم و ِاديًا ِم ْن ذَ َى‬ ِ َّ ‫لَو أ‬


‫وب‬ ُ ‫ َولَ ْن َيَْألَ فَاهُ إالَّ الت َُّر‬، ‫ب أَ ْن يَ ُكو َن لَوُ َواديَان‬
ُ ُ‫ َويَت‬، ‫اب‬ َّ ‫َح‬
َ‫بأ‬ َ َ ‫َن البْ ِن‬ ْ

َ َ‫اللَّوُ َعلَى َم ْن ت‬
‫اب‬

“Jika manusia memiliki dua lembah yang dipenuhi harta, maka ia akan
mencari lembah ketiga. Nafsu manusia hanya akan terhenti saat ia mati. Allah akan
menerima taubat bagi siapa saja yang mau bertaubat” (Al-Bukhari, 1987, V/2364;
Muslim, Tth, III/9).
Kemunculan komodifikasi agama bukan akibat adanya ajaran dalam agama
yang membolehkannya. Namun karena sebagian pemeluk agama ada yang melakukan
penyelewengan misi dari agama itu sendiri (abuse of faith). Komodifikasi agama
dalam konteks tulisan ini bukan kemunculan agama baru, atau praktik peribadatan
yang baru yang berlawanan dengan keyakinan dan praktik agama yang sudah ada
sebelumnya. Komodifikasi agama adalah mendudukkan agama sebagai barang yang
dengannya fungsi spiritualnya bisa menjadi komoditas yang layak dikonsumsi dalam
masyarakat. (M Muslihan, 2015, 12).

Tema komodifikasi agama sudah disinggung oleh Al-Quran dan secara lugas
ditegaskan dalam banyak hadis. Dalam surah al-Baqarah ayat 41ْ Al-Quran
menggunakan kata tasytaru yang secara leksikal bermakna membeli,

ِ ‫وَال تَ ْشتَ روا۟ بَِاي ِٰت ََثَنًا قَلِ ًيل وإِ َّّٰي فَٱتَّ ُق‬
‫ون‬
َ َ َ ُ َ

“...Jangan kalian membeli ayat-ayat-Ku dengan harga yang murah dan


kepada-Ku hendaklah kalian bertaqwa”

Begitu juga di surat Al-Maidah ayat 44 :

‫َوَال تَ ْشتَ ُروا۟ بَِايَِٰت ََثَنًا قَلِ ًيل‬

“Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit.”

Sementara dalam hadis, kata yang digunakan adalah bay’ yang secara leksikal
berarti menjual.

‫الر ُج ُل ُم ْؤِمنًا َوَيُْ ِسى َكافًِرا أ َْو َيُْ ِسى ُم ْؤِمنًا‬ ِ ِ ِ ِ ِ


ْ ُ‫بَاد ُروا بِاأل َْع َمال فتَ نًا َكقطَ ِع اللَّْي ِل الْ ُمظْل ِم ي‬
َّ ‫صبِ ُح‬
ٍ ‫يع ِدينَوُ بِ َعَر‬
‫ض ِم َن الدُّنْيَا‬ ِ ِ ِ ْ ُ‫وي‬
ُ ‫صب ُح َكافًرا يَب‬ َ

ْ“Bersegeralah kalian beramal sholeh sebelum datangnya fitnah (musibah


dan ujian) selayaknya malam yang gelap gulita. Akan ada orang yang beriman di
pagi hari, namun ia menjadi kafir di sore harinya. Atau sebaliknya di mana ada
orang yang beriman pada sore hari namun di pagi hari ia menjadi kafir. Orang
tersebut menjual agamanya dengan keuntungan duniawi” (Muslim, tth., I/76; Al-
Tirmidzi, tth., IV/487).

Penggunaan kata “beli” dan “jual” mengindikasikan bahwa komodifikasi


agama terjadi karena ada permintaan (demand) dan penawaran (supply). Itu artinya
akan selalu ada orang-orang yang membutuhkan dalil-dalil agama untuk mewujudkan
obsesi ekonomis dan politisnya. Di waktu yang sama ada orang-orang yang
menyediakan jasa pembenaran (justifikasi) atas obsesi itu dengan ayat-ayat Al-Quran
dan hadis sesuai dengan pesanan yang dia terima. Ada tiga variabel yang perlu
diperhatikan : sikap proaktif meminta upah, profesionalisme dan kewajaran (bil
ma’ruf).4

Nabi mengingatkan perkara profesionalisme adalah sebuah tuntutan dalam


muamalah.

‫اع َة‬ َّ ‫إِ َذا ُوس َد ْاألَ ْم ُر إِ َل ََ ِْي أَ ْىلِ ِو فَانْتَ ِظ ِر‬
َ ‫الس‬

“Ketika sebuah urusan diserahkan kepada orang yang tidak profesional,


maka tunggullah masa kehancurannya” (Al-Bukhari, 1987, I/33)

Malpraktek juga dikenal dalam ajaran Islam,

‫ض ِامن‬ ِ ٌّ ‫ب َوََلْ يُ ْعلَ ْم ِمْنوُ ِط‬


َ ‫ك فَ ُه َو‬
َ ‫ب قَ ْب َل َذل‬ َ َّ‫َم ْن تَطَب‬

“Barang siapa yang melakukan pengobatan dan dia tidak mengetahui ilmunya
sebelum itu maka dia yang bertanggung jawab.”5

4
Andi Rahman, Komodifikasi Agama : Sebuah Kajian Tafsir Fenomenologis,
https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/Hermeneutik/article/view/3904 diakses pada tanggal 04 Oktober 2023
5
HR. An-Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah dan yang lain, hadits hasan no. 54 kitab Bahjah Qulub Al-Abrar
E. Metode Penelitian

Penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif untuk mengumpulkan


dan menganalisis data. Metodologi penelitian akan mencakup:

1. Kajian literatur tentang penggunaan ayat-ayat suci dalam praktik pengobatan dan
kesehatan berbasis pseudosains di Indonesia.
2. Wawancara dengan praktisi pengobatan alternatif, pasien, dokter dan tokoh agama
untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang penggunaan ayat-
ayat suci dalam praktik tersebut.
3. Analisis konten terhadap teks-teks yang digunakan untuk melegitimasi praktik
pengobatan dan kesehatan berbasis pseudosains.

F. Sistematika Penelitian

Untuk menyusun kerangka pemikiran yang sistematis maka sistematika


penulisan proposal ini adalah sebagai berikut:

Bab I berupa pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, pokok masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka dan metode penulisan. Hal ini
dimaksudkan agar dalam menguraikan materi dapat dilaksanakan dengan sistematis
sesuai dengan rencana penelitian.

Bab II berisi landasan teori. Berisi langkah langkah penafsiran dengan teori
Dasar-Dasar Tafsir. Dari penjelasan teori tersebut nantinya akan diaplikasikan dan
dan dibahas lebih lanjut pada bab IV

Bab III membahas tentang penyajian data.

Bab IV adalah analisis penelitian yang merupakan merupakan inti dari


penelitian ini. Berisi Pembahasan Pseudotafsir di Indonesia dalam kaitannya dengan
pengobatan dan kesehatan berbasis pseudosains.

Bab V merupakan penutup yang berisi kesimpulan dari penelitian yang telah
dilakukan dan selanjutnya berisi saran saran yang dimaksudkan untuk
menindaklanjuti penelitian ini dan penelitian yang akan datang.

Anda mungkin juga menyukai