Anda di halaman 1dari 33

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Otak
Otak adalah jaringan yang sangat kompleks yang memiliki miliaran neuron
yang berfungsi sebagai pusat kontrol tubuh manusia. Otak terletak dalam rongga kepala
yang dilindungi membran pelapis otak yang disebut meninges. Otak manusia memiliki
berat kurang lebih 1.300-1.400 (2% dari keseluruhan berat tubuh). Bagian utama otak
dibedakan menjadi 3 yaitu otak besar (cerebrum), otak kecil (cerebellum), dan batang
otak (brainstem) (Chalik, 2016).

Gambar 2. 1 Anatomi Otak Manusia (Marieb et al., 2012)

2.1.1 Otak Besar (cerebrum)


Otak besar (serebrum) berfungsi dalam mengotrol persepsi sadar, pikiran, dan
aktivitas motoric sadar serta mengontrol aktivitas otot dan postur dan mampu
menghambat gerakan yang tidak disengaja saat istirahat (Chalik, 2016). Otak besar
terbagi atas dua belahan. Belahan otak kiri mengatur tubuh sebelah kanan dan belahan
otak kanan mengatur tubuh sebelah kiri. Otak besar berfungsi sebagai pusat kegiatan-

5
6

kegiatan yang disadari seperti berpikir, mengingat, berbicara, melihat, mendengar, dan
bergerak. Otak besar terdiri atas dua badan sel syaraf dan lapisan dalam berwarna putih
berisi serabut-serabut syaraf. Kedua belahan otak besar (serebrum) terdiri dari empat
lobus (seperti pada gambar 2.2) yang mempunyai fungsi yang berbeda-beda yaitu lobus
frontal berperan dalam kemampuan berbicara, kemampuan intelektual dan kepribadian
serta gerakan sadar (volunteer) otot rangka, lobus parietal berperan dalam memahami
bahasa lisan dan tertulis serta pemrosesan dan integrasi informasi somatosensori, lobus
oksipital sebagai pusat penglihatan dan lobus temporal sebagai pusat pendengaran
(Chalik, 2016; Borden et al., 2015).

Gambar 2. 2 Struktur Otak Besar Manusia (Chalik, 2016)

2.1.2 Otak Kecil (cerebellum)


Otak kecil juga terdiri dari dua belahan yaitu kanan dan kiri yang dihubungkan
oleh jembatan varol. Jembatan varol adalah serabut saraf yang menghubungkan otak
kecil bagian kiri dan kanan. Selain itu, menghubungkan otak besar dan sumsun tulang
belakang. Otak kecil berfungsi mengatur keseimbangan tubuh dan mengkoordinasi
kerja otot (Chalik, 2016).
7

2.1.3 Batang Otak (brainstem)


Batang otak merupakan lokasi inti saraf kranial yang berfungsi menerima input
sensorik dan mengawali output motoric, mengontrol proses kelangsungan hidup seperti
respirasi, sirkulasi dan pencernaan. Batang otak menghubungkan sumsun tulang
belakang ke otak besar yang terdiri dari medulla oblongata, pons, dan otak tengah,
dengan formasi reticular tersebar di seluruh batang otak. Formasi reticular mengontrol
banyak aktivitas batang otak, termasuk kontrol motoric, persepsi nyeri, kontraksi ritme,
dan siklus tidur-bangun (Singh et al., 2014).

2.2 Definisi Stroke


Stroke adalah penyakit serebrovaskular yang terjadi akibat terganggunya aliran
darah ke otak secara tiba-tiba sehingga menyebabkan kerusakan neurologi. Stroke
terjadi ketika pasokan darah ke otak berkurang yang menyebabkan berkurangnya
suplai oksigen ke dalam sel-sel otak secara mendadak (WHO, 2019). Stroke adalah
keadaan emergensi, yang sekarang dikenal dengan brain attack (serangan otak) yang
berlangsung lebih dari 24 jam atau berakhir kematian tanpa penyebab yang jelas selain
vascular (Wells et al., 2015). Stroke dibagi menjadi dua golongan yang terdiri dari
stroke iskemik (infark) dan stroke hemoragik (pendarahan). Sekitar 80% pasien stroke
mengalami stroke iskemik dan 20% mengalami stroke hemoragik (Gillen, 2011).

2.3 Epidemiologi Stroke


Stroke merupakan masalah besar di bidang kesehatan, karena stroke menduduki
peringkat kedua setelah penyakit jantung atau ketiga setelah penyakit jantung dan
kanker dalam urutan penyebab kematian (WHO, 2019). Menurut data dari American
Heart Association (2017), stoke penyebab kematian ketiga di Amerika Serikat dengan
pravalensi 55-75% yang mengalami penurunan pada kemampuan motorik dan 1-19
orang meninggal.
Menurut Riskerdas 2018, di Indonesia data pravalensi stroke (10,9‰).
diagnosis dokter pada penduduk umur ≥ 15 tahun tertinggi di Kalimantan Timur
(14,7‰) dan terendah di Papua (4,1‰). Pravalensi stroke berdasarkan diagnosis dokter
pada penduduk umur ≥ 15 tahun menurut karakteristik diperoleh data berdasarkan usia,
8

jenis kelamin, dan tempat tinggal. Berdasarkan usia diperoleh data tertinggi pada usia
75 tahun ke atas (50,2‰) dan terendah pada usia 15-24 tahun (0,6‰). Kejadian stroke
meningkat dengan bertambahnya usia dikarenakan terjadinya penurunan elastisitas
arteri sehingga pembuluh darah akan berangsur-angsur menyempit dan menjadi kaku.
Hal ini dapat mengakibatkan risiko hipertensi dan aterosklerosis meningkat (Junaidi,
2011). Sedangkan, berdasarkan karakteristik jenis kelamin pada pasien laki-laki
(11,0‰) lebih tinggi bersiko terkena stroke dibandingkan perempuan (10,9‰). Hal ini
didukung oleh penelitian Indriani (2014), bahwa pola hidup seperti merokok yang
dapat terjadi penyumbatan di pembuluh darah. Selain itu, pravalensi merokok di
Indonesia tahun 2012 diketahui bahwa pria Indonesia yang digolongkan perokok aktif
lebih besar dibandingkan dengan perempuan, berdasarkan karakteristik tempat tinggal
data tertinggi diperoleh pada perkotaan (12,6‰) dan terendah perdesaan (8,8‰)
(Riskerdas, 2018).

2.4 Klasifikasi Stroke


Stroke dibagi menjadi dua golongan yang terdiri dari stroke iskemik (infark)
dan stroke hemoragik (pendarahan). Stroke iskemik terdiri dari 2/3 stroke trombotik,
1/3 stroke emboolik dan stroke hemoragik terdiri dari stroke pendarahan intraserebral
(PIS) dan stroke pendarahan subarachnoid (PSA). Stroke iskemik tersering didapatkan,
sekitar 80% dari semua stroke dan sekitar 20% dari semua stroke yaitu stroke
hemoragik. Stroke iskemik disebabkan oleh oklusi pembuluh darah otak yag kemudian
menyebabkan terhentinya pasokan oksigen dan glukosa ke otak, sedangkan stroke
hemoragik diakibatkan oleh pecahnya suatu mikro aneurisma di otak (Dipiro et al.,
2011).

2.4.1 Stroke Iskemik


Stroke iskemik disebabkan thrombosis serebral (gumpalan darah yang
terbentuk di dalam pembuluh otak) dan relative umum terjadi, lebih dari 70% kasus
stroke merupakan jenis iskemik. Adanya aterothrombosis atau emboli akan
menyebabkan tersumbatnya aliran darah ke otak. Aliran darah ke otak yang tersumbat
menyebabkan pasokan nutrisi dan oksigen mengakibatkan produksi ATP (energi)
9

berkurang, pompa Na-K-ATPase tidak berfungsi terjadi depolarisasi membrane sel


saraf yang terjadi kenaikan influx Ca secara cepat sehingga ganggan homeostatis Ca
yang memicu proses biokimia yang bersifat eksitotosik dan terjadi kematan sel saraf
(nekrosis maupun apoptosis) (Gund et al., 2013).

Gambar 2. 3 Stroke Iskemik (AHA, 2019)

A. Stroke Iskemik Emboli


Stroke iskemik emboli terjadi karena bekuan darah atau plak yang terbentuk di
dalam jantung atau pembuluh arteri besar yang terangkut menuju pembuluh darah otak.
disebabkan emboli yang berasal dari jantung (seperti pada gambar 2.4). Stroke emboli
dari jantung meningkat dengan bertambahnya umur, karena meningkatnya pravelensi
fibrilasi atrial pada lansia. Secara umum, prognosis stroke kardioemboli buruk yang
dapat menyebabkan kecacatan yang lebih besar dibandingkan dengan subtype stroke
lainnya. Timbulnya perdarahan otak tanpa tanda-tanda klinis memburuk sering terjadi
12-48 jam setelah onset stroke emboli yang disertai infark besar (LaMorte, 2016).
10

Gambar 2. 4 Proses Stroke Iskemik Emboli (LaMorte, 2016)

B. Stroke Iskemik Trombotik


Stroke iskemik merupakan keadaan dimana otak mengalami iskemia dan
nekrosis akibat aliran darah ke suatu area otak menurun atau terhenti akibat suatu
sumbatan baik karena thrombus atau emboli. Stroke iskemik trombotik terjadi karena
bekuan darah atau plak yang terbentuk di dalam pembuluh arteri yang mensuplai darah
ke otak (seperti pada gambar 2.5). Penyumbatan pembuluh darah yang memasuki
parenkim otak menyebabkan daerah tersebut mengalami hipoksia sehingga terjadi
daerah iskemik yang dikelilingi daerah penumbra. Iskemia otak merupakan
pengurangan aliran darah yang dapat berlangsung dari beberapa detik hingga menit.
Gejala terjadi pada sekitar 10 detik akibat hipoksia dan energi depletion. Kembalinya
fungsi dapat terjadi jika aliran darah dipulihkan dalam beberapa menit. Bila gejalanya
hanya sementara (misalnya, kurang dari 24 jam), ini akan dianggap sebagai transient
ischemic attack (TIA) (Gillen, 2011).
11

Gambar 2. 5 Proses Stroke Iskemik Trombotik (LaMorte, 2016)

C. Atherosclerosis
Atherosclerosis merupakan suatu penyakit yang menyerang pembuluh darah
besar ataupun kecil yang ditandai oleh kelainan fungsi endothelial, radang vaskuler dan
pembetukan lipid, kolesterol, zat kapur, bekas luka vaskuler di dalam pembuluh intima
(seperti pada gambar 2.6). Atherosclerosis menyebabkan penyempitan arteri yang
sangat berat, maka bagian tubuh yang seharusnya dialiri oleh darah tidak akan
mendapatkan darah dalam jumlah yang memadai, yang mengangkut oksigen ke
jaringan. Proses atherosclerosis dimulai dengan adanya luka pada sel endotel (lapisan
dalam pembuluh darah) yang bersentuhan langsung dengan zat-zat dalam darah.
Permukaan sel endotel yang semula licin menjadi kasar, sehingga zat-zat di dalam
darah menempel dan masuk ke lapisan dinding arteri. Jaringan kolagen subendotel
yang terbuka akan menginduksi penempelan platelet pada luka endotel, lalu mensekresi
beberapa substansi yang menyebabkan perlengketan. Platelet akan menarik sel-sel
darah lalu menembus endothelial dan masuk ke ruang endothelial. Sehingga monosit
akan berubah menjadi bentuk makrofag yang memberikan peran dalam proses
aterosklerosis. Sel makrofag akan memakan tumpukan kolesterol LDL yang
teroksidasi menjadi sel busa (foam cell). Akibatnya, terjadi gangguan keseimbangan
12

kolesterol di makrofag, karena kolesterol yang masuk ke sel lebih banyak ketimbang
kolesterol yang dikeluarkan (seperti pada gambar 2.6) (LaMorte, 2016).

Gambar 2. 6 Atheroslerosis (AHA, 2019)

2.4.2 Stroke Hemoragik


Stroke hemoragik merupakan gangguan fungsional otak fokal maupun global
yang terjadi secara akut, berlangsung lebih dari 24 jam yang disebabkan akibat
pecahnya pembuluh darah otak sehingga menyebabkan gangguan peredaran darah otak
(Dipiro et al., 2015).

Gambar 2. 7 Stroke Hemoragik (AHA, 2019)


13

Berdasarkan penyebabnya stroke hemoragik dibedakan menjadi dua yaitu


sekitar 13% pada stroke hemoragik termasuk perdarahan subaraknoid (PSA) dan
perdarahan intraserebral (PIS). Perdarahan subaraknoid (PSA) dapat terjadi akibat
trauma atau pecahnya aneurisma intracranial atau malformasi arterivenosa (AVM).
Perdarahan intraserebral (PIS) terjadi ketika pembuluh darah pecah di dalam otak yang
menyebabkan hematoma (Gillen, 2011).

A. Perdarahan Subarakhnoid (PSA)


Perdarahan Subarakhnoid (PSA) merupakan perdarahan yang terjadi di dalam
ruang subarachnoid disekeliling permukaan otak yaitu ruang antara selaput arachnoid
dan piameter. Perdarahan Subarakhnoid (PSA) merupakan suatu kasus emergensi yang
dapat menyebabkan kematian ataupun disabilitas yang berat sehingga harus dilakukan
penatalaksanaan secepat mungkin PSA dapat disebabkan karena pecahnya aneurisma.
Perdarahan subarakhnoid terjadi karena rusaknya aneurisma sehingga secara cepat
permukaan otak dipenuhi oleh aliran (Senne, 2016).

B. Perdarahan Intraserebral (PIS)


Perdarahan Intrakranial (PIS) biasanya disebabkan oleh kenaikan akut pada
tekanan darah terutama yang melibatkan struktur otak dalam, termasuk ganglia basalis,
materi putih otak, thalamus, pons,, dan serebelum. Penyebab ICH lainnya meliputi
gangguan perdarahan, angiopati amyloid, obat-obatan (amfetamin, kokain), dan trauma
sering terjadi pada hipertensi yang kronis. Perdarahan Intrakranial (PIS) biasanya
terjadi peningkatan yang mendadak dari pembuluh darah atau aliran darah ke otak yang
akan mengakibatkan pecahnya pembuluh darah arteri, arteriola, kapiler (Goldszmidt et
al., 2013).

C. Perdarahan Intraserebral (PIS)


Perdarahan Intrakranial (PIS) biasanya disebabkan oleh kenaikan akut pada
tekanan darah terutama yang melibatkan struktur otak dalam, termasuk ganglia basalis,
materi putih otak, thalamus, pons, dan serebelum. Penyebab ICH lainnya meliputi
gangguan perdarahan, angiopati amyloid, obat-obatan (amfetamin, kokain), dan trauma
sering terjadi pada hipertensi yang kronis. Perdarahan Intrakranial (PIS) biasanya
14

terjadi peningkatan yang mendadak dari pembuluh darah atau aliran darah ke otak yang
akan mengakibatkan pecahnya pembuluh darah arteri, arteriola, kapiler (Goldszmidt et
al., 2013).

2.5 Tanda dan Gejala Stroke Iskemik


Pada umumnya stroke iskemik mengalami gangguan neurologic fokal secara
mendadak, terjadi setelah bangun tidur dengan stroke komplit. Sebagian diantaranya
menunjukkan gejala yang semakin memberat satu sampai dua hari setelah serangan
stroke, dengan kesadaran tetap baik. Penurunan kesadaran dapat dijumpai pada
beberapa pasien dengan infark hemister yang sangat luas, oklusi arteria basilaris, dan
infark serebelar dengan edema yang mengakibatkan kompresi batang otak (Silva et al.,
2014).

Gejala klinis stroke tergantung dari arteri apa yang mengalami oklusi/sumbatan,
system anterior atau system posterior. Dua per tiga dari stroke lacunar adalah
asimptomatik. Beberapa penyakit dapat memberikan gambaran klinik yang
menyerupai stroke, diantaranya adalah sinkop, sindrom metabolik (misalnya
hipoglikemia dan ensefalopati metabolic lainnya), tumor otak, perdarahan subdural,
hemiparesis post-iktal (Paralisis Todd) (Norrving, 2014).

2.6 Patofisiologi Stroke Iskemik


Penyakit sereobravaskular iskemik terutama disebabkan oleh thrombosis,
emboli dan fokal hipoperfusi, yang semuanya dapat menyebabkan pengurangan atau
gangguan aliran darah yang mempengaruhi fungsi neurologis. Stroke iskemik terjadi
karena adanya penyumbatan pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah terhenti
karena adanya penyumbatan pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah terhenti
karena penyumbatan kolesterol pada dinding pembuluh darah (Gund et al., 2013).
Stroke iskemik disebabkan karena ada dua factor yaitu thrombosis ssrebri, dan emboli
serebri. Pada umumnya aterosklerosis menyebabkan embolisme serebri yang dapat
memicu penyakit jantung Stroke emboli berkembang setelah terjadi oklusi pada arteri
yang terbentuk diluar otak akibat embolus. Terdapat emboli yang cukup besar,
15

sehingga menyebabkan hilangnya sensabilitas, perubahan mental mendadak dan


gangguan fungsi bicara (Kanyal, 2015).

Stroke iskemik terjadi akibat adanya pengurangan aliran darah disebabkan oleh
sumbatan yang akan menyebabkan iskemia pada daerah otak. Penyumbatan pembuluh
darah yang memasuki parenkim otak menyebabkan daerah tersebut mengalami
hipoksia yang dapat memicu edema sekunder sehingga pasien tidak mengalami
kesadaran. Gejala tersebut dapat berlangsung beberapa detik hingga menit, namun
kembalinya fungsi otak dapat terjadi jika aliran darah dipulihkan beberapa menit
(Kanyal, 2015).

Ketika aliran darah jaringan otak berhenti maka oksigen dan glukosa yang
diperlukan untuk pembentukan ATP akan menurun, kemudian akan terjadi penurunan
Na+, K+, ATP-ase, sehingga membrane potensial akan menurun. Saat terjadi kegagalan
pompa ionic menyebabkan peningkatan influx Ca2+/Na2+. Hal ini menyebabkan
permukaan sel menjadi lebih negative sehingga pada membrane terjadi depolarisasi
(seperti pada gambar 2.8). Awal terjadi depolarisasi membrane sel masih reversible,
tetapi bila menetap terjadi perubahan structural ruang yang menyebabkan kematian
jaringan otak (Trent et al., 2011).

Jika terjadi iskemia berkepanjangan pada daerah penumbra, sel tidak dapat lagi
mempertahankan integritasnya sehingga terjadi kematian sel secara akut yang timbul
melalui apoptosis. Apoptosis yaitu disintegrasi elemen-elemen seluler secara bertahap
dengan kerusakan dinding sel yang disebut “programmed cell death”. Iskemia
menyebabkan aktivitas intraseluler Ca2+ di celah sinaps bertambah sehingga terjadi
sekresi neurotransmitter yang berlebihan, yaitu glutamate, asparat dan kainat yang
bersifat eksitotoksik. Eksosisitas yang terjadi diikuti dengan peningkatan ion Ca2+/Na+
sehingga mengaktifkan aktivitas inducible nitric oxide synthase (iNOS) yang
menyebabkan produksi radikal bebas meningkat seperti superoksida, hydrogen
peroksida, dan radikal hidroksil (seperti pada gambar 2.8). Munculnya ekpresi adhesi
molekul di endotel pembuluh darah dan leukosit di sirkulasi. Leukosit bergerak
melewati endotel keluar dari sirkulasi dan penetrasi ke jaringan parenkim otak yang
16

mengakibatkan reaksi inflamasi (Kanyal, 2015). Keadaan ini terjadi segera apabila
perfusi menurun dibawah ambang batas kematian jaringan, yaitu bila aliran darah
berkurang hingga 10 ml/100 gram/menit (Trent et al., 2011).

Akibat kekurangan oksigen terjadi asidosis yang menyebabkan gangguan


fungsi enzim-enzim, karena tingginya ion H+, selanjutnya asidosis menimbulkan
edema serebral yang ditandai pembengkakan sel, terutama sel neuroglia yang akan
berakibat terhadap mikrosirkulasi. Peningkatan resistensi vaskuler yang terjadi akan
diikuti oleh penurunan dari tekanan perfusi sehingga terjadi perluasan daerah iskemik
(seperti pada gambar 2.8) (Trent et al., 2011).

Gambar 2. 8 Mekanisme patofisiologi stroke iskemik (Kanyal, 2015)


17

2.7 Faktor Risiko Stroke


Menurut Nastiti (2012), ada dua jenis factor risiko stroke berdasarkan
kejadiannya yaitu factor risiko yang tidak dapat dimodifikasi (non-modifiable risk
factors) dan factor risiko yang dapat dimodifikasi (modifiable risk factors). Faktor
risiko yang tidak dimodifikasi seperti usia, ras, gender, genetic atau riwayat keluarga
yang menderita stroke. Sedangkan factor risiko yang dapat dimodifikasi berupa
hipertensi, merokok, penyakit jantung, diabetes mellitus, obesitas, alcohol, dan
dislipidemia.

2.7.1 Faktor risiko yang dapat dimodifikasi


A. Hipertensi
Hipertensi adalah factor risiko stroke yang dapat dimodifikasi. Hipertensi
sering kali disebut the silent killer karena dapat meningkatkan risiko stroke 7 kali lipat,
dan hipertensi borderline meningkatkan risiko 1,5 kali lipat. Studi observasi yang
melibatkan lebih dari 1 juta sebjek yang memperlihatkan bahwa kematian karena
penyakit jantung dan stroke meningkat secara linear dari tingkat serendah 115 mmHg
tekanan darah sistolik dan 75 mmHg tekanan darah diastolic (Gorgui et al., 2014).
Peningkatan tekanan darah yang terjadi secara cepat dapat mengakibatkan kerusakan
organ semakin parah dan memperburuk kondisi klinis neurologic pasien. Pasien
hipertensi mempunyai peluang besar 4.117 kali menderita stroke dibandingkan pasien
non hipertensi (Soenarta dkk, 2015).

B. Merokok
Merokok merupakan factor risiko kuat terjadinya infark miokard dan kematian
mendadak. Kandungan nikotin dan zat senyawa kimia berbahaya yang terdapat pada
rokok juga memberikan peluang besar bagi seseorang untuk menderita hipertensi,
terutama bagi perokok aktif. Zat rokok yang terhirup dan masuk ke dalam tubuh akan
meningkatkan risiko penyakit diabetes mellitus, serangan jantung dan stroke (Gillen,
2011). Merokok juga dapat menyebabkan peninggian koagubilitas, viskositas darah,
memninggikan level fibrinogen, mendorong agregasi platelet, meninggikan tekanan
darah, menaikkan hematokrit dan menurunkan HDL (PERDOSSI, 2011).
18

C. Penyakit Jantung Koroner


Penyakit jantung koroner merupakan penyakit yang disebabkan adanya plak
yang menumpuk di dalam arteri coroner yang mensuplai oksigen ke jantung dan
terjadinya peningkatan kadar trigliserida dan kolesterol akan memicu munculnya
thrombosis plak pada pembuluh darah. Penyakit ini termasuk bagian dari penyakit
kardiovaskuler yang paling umum terjadi. Penyakit kardiovaskuler merupakan
gangguan dari jantung dan pembuluh darah termasuk stroke. Risiko stroke emboli dari
jantung meningkat dengan bertambahnya umur, karena meningkatnya prevalensi
fibrilasi atrial pada lansia. Semakin tua usia maka semakin besar timbulnya plak yang
menempel di dinding dan menyebabkan gangguan aliran darah yang melewatinya
(WHO, 2019).

D. Diabetes Mellitus
Menurut Riskerdas (2018) diabetes mellitus merupakan factor risiko stroke
yang dominan. Diabetes mellitus dapat meningkatkan risiko penyakit jantung,
termasuk jantung coroner. Orang dewasa yang menderita diabetes mellitus berisiko 2
sampai 4 kali lebih besar terkena penyakit jantung daripada orang yang tidak menderita
diabetes mellitus. orang yang menderita diabetes mellitus cenderung lebih cepat
mengalami degradasi dari endotel sehingga timbul proses penebalan membrane basalis
dari kapiler dan pembuluh darah arteri koronaria sehingga terjadi penyempitan aliran
darah ke jantung. Dengan adanya resistensi glukosa, maka glukosa dalam darah akan
meningkat. Hal ini akan meningkatkan kekentalan darah sehingga kecenderungan
untuk terjadinya aterosklerosis akan meningkat (AHA, 2019).

E. Obesitas
Obesitas dapat mengakibatkan stroke, namun tidak terjadi secara langsung.
Obesitas merupakan factor risiko yang dapat meningkatkan tekanan darah, kadar
trigliserida, kolesterol, resistensi glukosa, penggumpalan darah. Hal tersebut jika
terjadi pada arteri coroner akan menimbulkan penyakit jantung coroner (AHA,2019).
Obesitas dapat terjadi pada anak maupun dewasa yang dapat meningkatkan risiko
kardiovaskular. Overweight atau obesitas merupakan salah satu factor risiko yang dapat
19

meningkatkan tekanan darah, sindroma nefrotik, abnormalitas ketebalan dinding


pembuluh darah, disfungsi endotel dan hipertrofi ventrikel kiri. Pada penelitian ini
dijumpai, peningkatan massa ventrikel kiri pada kelompok everweight atau obesitas
dapat mempengaruhi peningkatan tekanan ventrikel kanan dan menyebabkan
abnormalitas ventrikel kanan, namun disamping itu juga dijumpai peningkatan
signifikan stroke volume pada remaja obesitas yang mengindikasikan beban kerja
jantung ( Jonge et al., 2011).

F. Alkohol
Konsumsi alkohol dalam dosis berlebihan da jangka panjang (abuse alcohol)
akan memudahkan terjadinya stroke, karena lakohol memiliki efek pada metabolisme
kolesterol lipoprotein densitas tinggi (HDL-C), kolesterol lipoprotein densitas rendah
(LDL-C) dan trigliserida serta tekanan darah (Dipiro et al., 2011).

G. Dislipidemia
Dislipidemia merupakan kondisi dimana kadar lemak dalam darah terlalu
rendah atau terlalu tinggi. Kadar HDL kolestetol rendah sama bahanya dengan kadar
LDL kolesterol terlalu tinggi yang dapat meningkatkan risiko terjadinya pembekuan
darah dalam arteri karotis yang dapat menyebabkan risiko stroke. Kadar HDL
kolesterol yang terlalu rendah diiringi kadar LDL kolesterol yang tinggi dapat memicu
pembentukan plak dalam pembuluh arteri, dan berpotensi menghambat aliran darah ke
semua organ dan otak (Furie et al., 2011).

2.7.2 Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi


A. Usia
Usia merupakan factor risiko yang tidak dapat dimodifikasi. Usia sebagai salah
satu sifat karakteristik tentang orang, yang merupakan variable yang cukup penting
karena cukup banyak penyakit yang ditemukan dengan berbagai variasi frekuensi yang
disebabkan karena usia. Peningkatan frekuensi stroke seiring dengan peningkatan usia
yang berhubungan dengan proses penuaan, dimana semua organ tubuh mengalami
penurunan fungsi tubuh termasuk pembuluh darah otak. Pembuluh darah otak menjadi
tidak elastis terutama bagian endotek yang mengalami penebalan pada bagian intima,
20

sehingga mengakibatkan lumen pembuluh darah semakin sempit dan berdampak pada
penerunan aliran darah ke otak (Goldstein, 2011).

B. Ras atau Suku


Ras atau suku merupakan factor risiko yang tidak dapat dimodifikasi yang dapat
menyebabkan terjadinya penyakit kronis seperti stroke, karena di Indonesia ada
beberapa tradisi yang dapat berpengaruh negative terhadap kesehatan masyarakat.
Suku padang dan suku Batak masing-masing mempunyai ciri makanan khas dan
kebiasaan adat istiadat. Masakan Padang terkenal dengan makanannya yang banyak
mengandung lemak dan santan, sedangkan pada suku Batak memiliki tradisi berpesta
dengan makanan yang mengandung lemak, rokok, dan alcohol. Hal ini dapat
mengakibatkan gangguan kesehatan pada masyarakat seperti hipertensi dan stroke
(Prasetyadi, 2013).

Tabel II. 1 Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi berdasarkan ras atau etnik
(Jumantik, 2017)

C. Gender
Stroke lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan pria, karena wanita hidup
lebih lama daripada pria dan stroke lebih sering terjadi pada usia yang lebih tua. Setiap
tahun, sekitar 55.000 stroke lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria, tetapi
21

insiden stroke lebih tinggi pada pria daripada wanita pada usia yang lebih muda. Selain
itu, wanita dua kali lebih mungkin meninggal karena stroke daripada kanker payudara
setiap tahunnya. Pada tahun 2006, terdapat suatu penelitian yang mengatakan bahwa
wanita dengan usia 45 tahun dan lebih tua menunjukkan penurunan signifikan terhadap
stroke iskemik, ketika wanita dapat mempertahankan gaya hidup yang sehat seperti
tidak merokok, tidak mengkonsumsi minuman yang beralkohol, menjaga berat badan
rata-rata mereka sesuai dengan tinggi badan mereka, serta olahraga teratur dan diet
sehat (Gund et al., 2013; Kennard, 2014).

D. Genetik atau Riwayat Keluarga


Jika anggota keluarga pernah mengalami stroke, maka risiko terkena stroke
juga semakin tinggi. Sehingga riwayat keluarga juga merupakan factor pencetus
terjadinya penyakit kronis pada seseorang (Gund et al., 2013).

2.7 Pemeriksaan Penunjang


Langkah yang paling penting dalam membedakan stroke iskemik dan
hemoragik adalah penatalaksanaan stroke akut karena prinsip penatalaksaannya
berbeda. Dalam mendiagnosis stroke iskemik atau hemoragik dapat menggunakan
pemeriksaan utama (gold standard), yaitu Computrized Tomography (CT scan), namun
tidak semua pasien stroke dapat melaksanakan pemeriksaan CT-scan. Sistem skor
berdasarkan data klinis yang didapatkan dari pemeriksaan pada saat pasien datang
dapat membedakan stroke hemoragik dengan stoke iskemik. CT/MRI digunakan untuk
menentukan lokasi, tipe (iskemia atau hemoragik) serta dapat membantu perencanaan
operasi. MRI lebih sensitive daripada CT scan untuk mendeteksi infark otak dalam 72
jam pertama dan untuk mengevaluasi fossa posterior (batang otak dan serebelum) tetapi
CT dapat lebih mudah membedakan perdarahan dari iskemia pada lesi akut. MRI
berbobot difusi/perfusi khususnya berguna dalam mengindentifikasi infark otak dan
daerah otak kurang perfusi yang berisiko mengalami infark jika perfusi tidak terjadi.
Studi perfusi CT dapat dilakukan dengan cepat dalam suasana darurat. Kepekaan CT
scan untuk mendeteksi darah subaraknoid menurun dari 95% pada hari 1 sampai 50%
pada 1 minggu (Goldszmidt et al., 2013).
22

Tabel II. 2 Perbedaan CT scan dengan MRI berdasarkan indikasinya (PERDOSSI,


2011)

CT scan MRI
Indikasi Untuk mengeliminasi Untuk mengukur area dari
perdarahan intraserebral jaringan infark dan arteri
atau subaraknoid. yang terkena.

2.8 Pemeriksaan laboratorium pada Stroke Iskemik


Tabel II. 3 Pemeriksaan Laboratorium pada Stroke Iskemik (PERDOSSI, 2011)

Data Laboratorium
Data Laboratorium Darah - Hematologi rutin
- Gula darah sewaktu
- Fungsi ginjal (ureum, kreatinin)
- Activated Partial Thrombin Time
(APTT)
- Phrotrombin Time (PT)
- INR
Data Laboratorium di IGD - GD2PP
- Profil lipid
- C-Reactive Protein (CRP)
- Laju endap Darah
Data Laboratorium Penunjang - CKMB
- Serum elektrolit
- Analisis hepatic
- Pemeriksaan elektrolit

2.9 Penatalaksanaan Stroke


Prinsip utama terapi stroke iskemik adalah membuka dan melancarkan aliran
darah akibat penyumbatan (thrombus/emboli) tanpa menimbulkan komplikasi
perdarahan (Falfuji, 2012). Upaya reperfusi ini ditujukan untuk menurunkan kecacatan
dan kematian akibat stroke, dan upaya ini harus dilakukan pada fase akut, yang biasa
disebut “time is brain”. Serangan stroke akut merupakan keadaan darurat yang harus
segera ditangani. Terapi stroke harus dimulai sedini mungkin, agar tidak terjadi
kecacatan dan kematian. Strategi pengobatan stroke iskemik tertuju pada tatalaksana
modifikasi factor risiko melalui perubahan gaya hidup (diet, olahraga), berhenti
23

merokok, operasi karotis pada risiko tinggi, dan terapi antihipertensi,


antihiperlipidemia, antikoagulan atau antiplatelet (Norrving, 2014)

2.10 Terapi Khusus Stroke Iskemik


2.10.1 Terapi Trombolitik
Tujuan dari terapi trombolitik dengan rt-PA, yang mengangkut plasmimogen
untuk menurunkan thrombus melalui pemecahan fibrin. Pemecahan fibrin
menghasilkan pelepasan produk degradasi fibrin (D-dimer dan D-polimer lainnya)
(seperti pada gambar 2.9). Berdasarkan pada penelitian bahwa 80% stroke iskemik
disebabkan oleh bekuan oklusif dan bahwa kematian neuron dan infark otak merupakan
kejadian yang tergantung waktu (AHA, 2015).

Pada stroke akut jika terjadi oklusi arteri intracranial, obat trombolitik yang
diberikan baik IA ke dalam gumpalan, atau IV. Agen trombolitik bertindak hanya
dengan meliliskan gumpalan. Jika arteri tidak dibuka, obat tidak memfasilitasi
pemulihan. Mengetahui tingkat rekanalisasi agen yang diberikan IV dan IA pada pasien
dengan berbagai lesi arteri oklusif sangat membantu dalam terapi yang tepat.
Pemberian tPA IV dalam waktu 3 jam sejak onset stroke meningkatkan kemungkinan
cacat minimal atau tidak ada sebesar 30% atau lebih. Untuk mempereoleh hasil yang
maksimal dan efektif, tPA harus diberikan sedini mungkin. Penelitian ECASS III
terbaru menunjukkan bahwa pemberian tPA dalam 4,5 jam onset gejala adalah aman
dan efektif. Namun, pengobatan tersebut harus hati-hati mempertimbangkan
risiko/manfaat (Goldszmidt et al., 2013).

Gambar 2. 9 Terapi Trombolitik dan Penghancuran Bekuan


(Goldszmidt et .al, 2013)
24

2.10.2 Terapi Anti Platelet


Mekanisme kerja agen antiplatelet yaitu trombosis intravascular merupakan
pusat pathogenesis stroke iskemik akut. Pecahnya plak menghadapkan darah yang
beredar pada isi dinding pembuluh darah, yang dengan cepat menginduksi
pembentukan bekuan melalui aktivasi dua sistem komplementer yaitu thrombosis
kaskade koagulasi. Aspirin adalah agen antiplatelet yang paling murah dan paling
banyak dipelajari dibandingkan dengan klopidogrel, tiklodipin yang memblokir
aktivasi platelet dimediasi ADP dan agregasi selanjutnya (Junaidi, 2011).

Terapi antiplatelet monoterapi berfungsi mencegah kejadian vascular. Semua


pasien TIA sebelumnya atau stroke iskemik karena ateroeaha harus diobati dengan
terapi antiplatelet kecuali ada kontraindikasi yang spesifik, terapi antiplatelet belum
terbukti mengurangi risiko stroke awal pada mereka yang tidak mempunyai penyakit
vascular atau factor risiko aterosklerosis (Dipiro et al., 2015).

Aspirin dengan dosis antara 50 hingga 1300 mg per hari efektif untuk prevensi
stroke iskemik setelah serangan stroke atau TIA. Kemampuan aspirin untuk
menghambat cyclo-oxygenase secara ireversibel dan mengurangi thromboxane A2
sebagai activator untuk agregasi trombosit yang kuat (Wells et al., 2015).

Clopidogrel merupakan inhibitor pada fungsi platelet yang bersifat ireversibel


dengan menghambat reseptor adenosine diphospat untuk mencegah agregasi platelet.
Sekitar 20.000 pasien yang diberikan aspirin 325 mg atau clopidogrel 75 mg per hari
terjadi penurunan risiko absolut 0,5% dan sebesar 8,7% penurunan risiko relative untuk
kelompok clopidogrel pada primary end point (Wells et al., 2015).

2.10.3 Terapi Antikoagulan


Antikoagulan adalah obat yang digunakan untuk mencegah stroke iskemik yang
disebabkan oleh emboli otak. Antikoagulan digunakan umtuk mencegah pembekuan
darah dengan jalan menghambat pembentukan atau menghambat fungsi beberapa
faktor pembekuan darah. Antikoagulan juga dapat digunakan untuk mencegah
terbentuk dan meluasnya thrombus dan emboli. Antikoagulan oral dan heparin dapat
25

menghambat pembentukan fibrin dan digunakan secara profilaktik untuk mengurangi


insiden trombolemboli terutama pada vena. Antikogulan hanya mencegah
membesarnya thrombus dan mengurangi kemungkinan terjadi emboli, tetapi tidak
memperkecil thrombus (Davey, 2014)

Warfarin adalah antikoagulan ora. Obat ini menghambat koagulasi dengan jalan
mencegah reduksi vitamin K secara enzimatik di dalam hati. Vitamin K dalam bentuk
reduksi adalah kofaktor yang bertanggung jawab dalam aktivasi factor pembekuan
darah II, VII, IX, dan X, protein C,S, dan Z. Antikoagulan oral mencegah reduksi
vitamin K teroksidasi sehingga aktivasi factor-faktor pembekuan darah terganggu atau
tidak terjadi. Warfarin juga digunakan sebagai obat pencegahan tromboemboli sistemik
pada pasien infark miokard akut, bed rest yang lama, gagal jantung, atrial fibrasi,
pasien dengan katup protestik. Penggunaan warfarin pada pasien PJK sampai saat ini
masih menuai pro dan kontra sehingga obat ini belum dimasukkan ke dalam protocol
untuk terapi PJK. Namun, bukti meta analisis menunjukkan bahwa warfarin efektif
pada pencegahan primer stroke thromboembolic pada pasien atrium fibrilas dan untuk
pencegahan serangan ulangan iskemia serebral yang bukan berasal dari jantung
(Davey, 2014)

LMWH (low molecular weight heparin) dan heparinoid memiliki efek


antitrombotik selektif yang dapat meningkatkan keamanan dan mengurangi risiko
trombositopenia autoimun simtomatik yang berat. Mekanisme kerja LMWH sebagai
antikoagulan yaitu dapat meningkatkan factor Xa, meningkatkan Tissue Factor
Pathway Inhibitor (TFPI) dari endotel. TFPI akan berikatan dengan factor Xa dan
menghambat tissue factor VIIa complex dan dapat menghambat penggabungan factor
Xa dengan platelet (PERDOSSI, 2011).

2.10.4 Terapi Neuroprotektan


Neuroprotektan merupakan salah satu terapi yang bertujuan untuk memperbaiki
aliran darah otak serta metabolisme regional di daerah iskemia otak (Lovell and Ernest,
2017). Obat golongan neuroprotektan yang biasa digunakan adalah Citicoline dan
Pirasetam. Citicoline dan Pirasetam sering kali diberikan pada stroke dan cedera kepala
26

karena dinilai memiliki efek protektif terhadap sel neuron, membantu meningkatkan
fungsi sel saraf dan memperbaiki oksigenasi otak, nutrisi otak dan memperbaiki perfusi
otak (Lutsep, 2015).

Neuroprotector sering disebut CDP-Cholin karena dapat menghambat sintesa


phospatidycoline dan mengurangi kadar asam lemak bebas (free fatty acid)
menghambat terbentuknya radikal bebas dan juga menaikkan sintesis asetilkolin yang
merupakan neurotransmitter untuk fungsi kognitif (Jauch et al., 2013).

Kelainan fungsi kognitif ialah kondisi yang terkait gangguan memori. Banyak
kelainan psikiatri dan neurologi yang terkait gangguan memori. Kelainan tersebut biasa
juga terkait dengan gangguan lain seperti, agitasi, psikosis, dan disfungsi neurologis
(Colucci, 2012).

Beberapa golongan neuroprotektan yang berperan pada peristiwa molecular


diantaranya golongan penghambat kanal kalsium (nimodipine, flunarisin), antagonis
reseptor glutamate (aptiganel, gavestinal, selfotel, serestat, dan magnesium), agonis
GABA (klomethiazol), penghambat peroksidasi lipid (tirilazad), antibody anti-ICAM-
1 (enlimomab), dan activator metabolic (Pirasetam, Citicoline) (Ashraf et al., 2014).

Citicoline sebagai neuroprotektan pada level neuronal adalah memperbaiki


membrane sel dengan cara menambah sintesis phosphatidylcholine yang merupakan
komponen utama membrane sel pada otak. Meningkatnya sintesis phosphatidylcholine
akan berpengaruh pada perbaikan fungsi membrane sel yang mengarah pada perbaikan
sel (Gareri et al., 2015).

Pirasetam sebagai neuroprotektan yaitu meningkatkan deformabilitas eritrosit


yang akan mempermudah aliran darah melewati pembuluh darah otak yang kecil
sehingga memperbaiki keadaan iskemia (Praja dkk, 2013).
27

Tabel II. 4 Perbandingan Citicoline dengan Pirasetam

Citicoline Pirasetam
Nama IUPAC Cytidine-5-diphosphocoline 2-oxo-1-pyrrolidineacetamide

Struktur
Kimia

BM 489,332 g/mol (Martindale 142,2 g/mol (Martindale 36th)


36th)
Indikasi Untuk pengobatan stroke Stroke iskemik akur dalam 7
iskemik pertama dengan jam pertama dari onset stroke
onset ≤ 24 jam dan stroke (PERDOSSI, 2011)
hemoragik intraserebral
(PERDOSSI, 2011)
Kontraindikasi Hipersentivitas dengan Hipersentivitas dengan
Citicoline (Khare, et al., Pirasetam (Khare, et al., 2016)
2016)
Dosis Dosis 2x100 mg iv selama 3 Pemberian pertama 12 gram
hari dan dilanjutkan dengan perinfus habis dalam 20 menit,
oral 2x1000 mg selama 3 dilanjutkan dengan 3 gram
minggu (PERDOSSI, 2011) bolus iv per 6 jam atau 12
gram/24 jam dengan drip
kontinyu (PERDOSSI,2011)
Bioavailibilitas Bioavailibilitas ≥ 90% Bioavaibilitas oral 100%
(Ashraf, et al., 2014) (Dojjad, et al., 2012)
Waktu puncak Pertama 1 jam, dan kedua Dalam waktu 30-40 menit
plasma yang lebih besar 24 jam (Dojjad, et al., 2012)
setelah makan obat (Ashraf,
et al., 2014)
Waktu paruh 56 jam untuk CO2 dan 71 5-6 jam (Dojjad, et al., 2012)
plasma jam untuk urin (Ashraf, et
al., 2014)
Efek samping Diare, mual, reaksi Rasa gugup, agitasi,
hipersensitifitas seperti ruam iritabilitas, rasa lelah,
kulit, gangguan vaskular gangguan tidur dan gangguan
seperti sakit kepala, saluran cerna (Khare, et al.,
insomnia, serta perubahan 2016)
tekanan darah sementara
(Wignall N.D, 2014)
28

2.10.5 Terapi Anti Hipertensi


Hipertensi merupakan suatu gejala yang dapat meningkatkan tekanan darah >
140 mmHg dan gangguan regulasi tekanan darah dalam mengatur kenaikan tekanan
darah serta merupakan factor risiko yang bagi penyakit kardiovaskular. Perubahan pola
hidup penanganannya terdiri dari pengobatan, sering kali seumur hidup, untuk
menurunkan tekanan darah dengan tujuan menghindari komplikasi yang dapat timbul.
Sekitar lebih kurang 10% dari semua kasus yang diketahui, antara lain akibat penyakit
ginjal dan arteri ginjal, juga akibat tumor di anak ginjal dengan efek overproduksi
hormon-hormon yang dapat meningkatkan tekanan darah (PERDOSSI, 2011).

Antihipertensi hanya menghilangkan gejala tekanan darah tinggi dan tidak


penyebabnya. Pengobatan antihipertensi harus selalu dimulai dengan dosis rendah agar
tekanan darah tidak turun drastic dengan mendadak. Kemudian setiap 1-2 minggu dosis
berangsur-angsur dinaikkan sampai mencapai efek terapi yang diinginkan (Raharja,
2010).

Pasien yang mempunya riwayat penyakit stroke atau penyakit kardiovaskuler


diberikan dengan menggunakan obat golongan ACE Inhibitor yang mempunyai
mekanisme kerja menghambat angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga terjadi
vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosterone. Vasodilatasi secara langsung akan
menurunkan tekanan darah sedangkan berkurangnya aldosterone akan menyebabkan
ekskresi air dan natrium dan retensi kalium. Obat antihipertensi golongan ACE Inhibito
yang biasa digunakan yaitu captopril, ramipril, imidapril, enalapril dan lisnopril.
Mekanisme kerja obat ACE Inhibitor semuanya sama, sehingga denga demikian
memiliki indikasi, dan efek samping yang sama. Selain golongan ACE Inhibitor juga
terdapat golongan ARB (Angiotensin Reseptor Blocker) yangh juga memiliki efek yang
sama seperti obat golongan ACE Inhibitor, namun perbedaan golongan ARB yaitu
tidak mempengaruhi metabolisme bradikinin yang tidak mempunyai efek samping
batuk kering seperti captopril yang merupakan golongan ACE Inhibitor (Bakries et al.,
2018).
29

2.10.6 Terapi Dislipidemia


Dislipidemia merupakan suatu keadaan dimana terjadinya peningkatan salah
satu atau lebih kolesterol, kolesterol ester, fosfolipid, atau trigliserida. Kolesterol,
trigliserida, dan fosfolipid dibawa dalam darah bentuk kompleks lipid dan protein, yang
dikenal sebagai lipoprotein. Peningkatan kolesterol total dan LDL (Low Density
Lipoprotein) dan penurunan HDL (High Density Lipoprotein) yang berhubungan
dengan penyakit kardiovaskuler (Raharja, 2010).

Statin adalah obat penurun lipid yang paling efektif untuk menurunkan
kolesterol LDL dan terbukti aman tanpa efek samping yang berarti. Selain berfungsi
untuk menurunkan kolesterol LDL, statin juga mempunyai efek meningkatkan
kolesterol HDL dan menurunkan trigliserida. Statin dapat menurunkan kolesterol LDL
18-55%, meningkatkan kolesterol HDL 5-15% dan menurunkan TG 7-30%. Statin
bekerja dengan menghambat secara kompetitif koenzim 3-hidroksi-3-metilglutaril
(HMG CoA) reductase, yakni enzim yang berperan pada sintesis kolesterol, terutama
dalam hati (Wells et al., 2015).

Bukti meta-analisis menunjukkan bahwa statin mempunyai manfaat dalam


pencegahan stroke pada pasien dengan penyakit jantung coroner. Dalam studi CARE
menemuka pasien dengan rata-rata kadar kolesterol dapat diobati dengan pravastatin
setelah infark miokard yang dapat menurunkan risiko stroke dibandingkan dengan
pasien yang menerima placebo. Studi tersebut melibatkan 20.000 pasien selama 5 tahun
yang menunjukkan manfaat simvastatin dengan placebo dapat menurunkan mortalitas
pada stroke dan infark miokard akut pada pasien yang mempunyai kadar kolesterol
tinggi (Kanyal, 2015).

2.11 Terapi Citicoline pada Stroke Iskemik


Pada tahun 1950-an Citicoline ditemukan pertama kalinya oleh Kennedy.
Citicoline mempunyai nama generic dari International Nonproprietary Name (INN)
yaitu cytidine-5-diphosphocoline (CDP-choline, CDPCho). Citicoline adalah cytidine
diphosphocoline, CDP-choline yang mempunyai peranan penting sebagai jalur sintesis
fosfolipid membrane sel dan pembentukan sintesis fosfatidilkolin (Grieb, 2014).
30

Gambar 2. 10 Struktur Kimia Citicoline (Pubchem, 2015)

Citicoline terdiri dari bentuk choline dan cytidine yang merupakan nukleosida
dari cytosine. Kedua bentuk tersebut bermanfaat dalam sintesis fosfolipid, dimana
choline akan membentuk fosfolipid sedangkan cytidine akan membentuk nukleosida.
Sehingga dapat mencegah produksi radikal bebas pada daerah iskemia (Gareri et al.,
2015).

Gambar 2. 11 Jalur Sintesis Fosfatidilkolin Citicoline (Gareri et al., 2015)

A. Mekanisme Kerja Citicoline


Aksi farmakologi Citicoline menunjukkan pengaruh yang meluas melewati
metabolisme fosfolipid. Metabolit Citicoline (coline, betaine, dan nukleoda turunan
cytidine) memasuki banyak jalur metabolisme. Citicoline akan terhidrolisis dan akan
mengalami defosforilasi menjadi cytidine dan choline. Kedua metabolit tersebut akan
31

terpisah dengan cepat memasuki jaringan otak dan akan mensintesis kembali CDP-
Choline, yang bertugas memberikan perlindungan saraf secara intraseluler melalui
jalur biosintesis fosfolipid seluler. Citicoline yang diberikan secara oral ataupun injeksi
secara signifikan efektif pada penyakit neurodegeneratif seperti glaucoma. Saat ini
glaucoma dianggap sebagai penyakit neurodegenerative yang melibatkan seluruh jalur
visual pusat. Pasien yang mengalami gangguan penglihatan, dapat diberikan Citicoline
sebagai pengobatan selama 2-8 tahun yang dapat meningkatkan visual akibat glaucoma
disfugsi. Citicoline juga bermanfaat dalam terapi stroke dengan cara memperbaiki
kerusakan membrane saraf lewat sintesis fosfatidilkolin, yang dapat memperbaiki
aktivitas saraf kolinergik dengan cara meningkatkan produksi asetilkolin dan
mengurangi akumulasi asam lemak di daerah kerusakan otak (Gupta, 2016).

Gambar 2. 12 Farmakodinamik Citicoline (Fischer et al., 2006)

B. Indikasi dan Kontraindikasi


Indikasi umum Citicoline dapat diberikan pada pasien stroke iskemik yang
dapat memperbaiki sirkulasi darah ke otak dan diberikan pada pasien stroke hemotagik
intraserebral yang disebabkan karena adanya peningkatan tekanan darah atau aliran
darah ke otak akibat pecahnya pembuluh darah arteri (PERDOSSI, 2011). Citicoline
32

juga dapat diberikan pada pasien Parkinson. Citicoline dikontraindikasikan bagi pasien
dengan hypertonia system nervus parasimpatis (Arshad, 2014)

C. Efek Samping
Efek samping yang dapat ditimbulkan karena Citicoline biasanya pasien akan
mengalami diare, mual, reaksi hipersensitifitas seperti ruam kulit, gangguan vaskukar
seperti sakit kepala, insomnia, serta perubahan tekanan darah sementara (Khare et al.,
2016).

D. Dosis Umum
Dalam keadaan akut penggunaan Citicoline dengan dosis 2x250 mg atau
2x500 mg diberikan secara drip intravena selama 3 hari. Kemudian, penggunaan
Citicoline dalam keadaan kronis dengan dosis 2x100 mg atau 2x300 mg diberikan
secara intravena atau intramuscular. Sedangkan, pada pasien dengan gangguan
serebrovaskular dapat diberikan secara intravena atau intramuskukar dengan dosis
1000 mg selama empat minggu, dengan pemberian intravena selambat mungkin.
Citicoline dapat dilarutkan dalam dextrose atau larutan isotonis lainnya (PERDOSSI,
2011).

E. Peringatan
Pemberian Citicoline secara intravena harus diberikan selambat mungkin.
Pada pasien dengan kondisi gawat atau akut, sebaiknya Citicoline diberikan secara
bersamaan dengan obat yang dapat menurunkan tekanan intracranial, dan
memonitoring suhu tubuh pasien tetap rendah (PERDOSSI, 2011).

F. Sediaan Obat di Pasaran


Tabel II. 5 Nama Dagang dan Sediaan Citicoline di Indonesia (MIMS, 2018)

Nama
No. Nama Dagang Sediaan di Indonesia
Generik
➢ Ampul 125 mg/mL x 2 mL
1. Citicoline BECLOV
isi 5

2. Citicoline BRAINACT ➢ Tablet dispersible oral 500


mg isi 30
33

Nama
No. Nama Dagang Sediaan di Indonesia
Generik
➢ Kapsul 1000 mg/8 mL isi
30
➢ Sachet 1000 mg x 2 g isi 5
3. Citicoline BRAINOLIN ➢ Kapsul 500 mg isi 30
➢ Ampul 250 mg/2 mL isi 5
➢ Ampul 250 mg/mL x 2 mL
4. Citicoline CERCUL
isi 5
➢ Ampul 250 mg/mL x 2 mL
5. Citicoline CETIVAR
isi 5
➢ Kapsul 500 mg isi 30
6. Citicoline CHOLINAAR ➢ Ampul 250 mg/2 mL isi 10
➢ Ampul 500 mg/4 mL isi 5
7. Citicoline CIBREN ➢ Ampul 250 mg/2 mL isi 5
➢ Ampul 250 mg/2 mL isi 10
CITICOLINE OGB
8. Citicoline ➢ Ampul 500 mg/4 mL isi 5
MERSI
➢ Ampul 1000 mg/8 mL isi 5
➢ Tablet 500 mg isi 5 strip x
9. Citicoline COLINPHA 10 tablet
➢ Ampul 250 mg/2 mL isi 5
➢ Tablet 500 mg isi 2 strip x
10. Citicoline FUTALIN
10 tablet
➢ Tablet 500 mg isi 3 strip x
10 tablet
11. Citicoline INCELIN ➢ Ampul 250 mg/2 mL isi 5
➢ Ampul 500 mg/4 mL isi 5
➢ Ampul 1000 mg/8 mL isi 5
➢ Tablet 500 mg isi 3 strip x
10 tablet
12. Citicoline Na LANCOLIN
➢ Ampul 250 mg/2 mL isi 5
➢ Ampul 500 mg/4 mL isi 5
➢ Tablet 500 mg isi 5 strip x
13. Citicoline NEUCITI 6 tablet
➢ Vial 250 mg/2 mL isi 5
➢ Ampul 250 mg/2 mL isi 5
14. Citicoline NEULIN
➢ Ampul 500 mg/4 mL isi 5
➢ Tablet 500 mg isi 3 strip x
10 tablet
15. Citicoline NICOBRAIN
➢ Injeksi (ampul) 250 mg/2
mL isi 5
➢ Injeksi (ampul) 250 mg/2
16. Citicoline Na PROTECLINE
mL isi 5
17. Citicoline SERFAC ➢ Ampul 250 mg/2 mL isi 5
34

Nama
No. Nama Dagang Sediaan di Indonesia
Generik
➢ Ampul 500 mg/4 mL isi 5
➢ Ampul 1000 mg/8 mL isi 5
➢ Kapsul salut selaput 500
18. Citicoline SIMCITI
mg isi 5 strip x 6 tablet
19. Citicoline SOHOLIN ➢ Ampul 250 mg/2 mL isi 5
➢ Ampul 250 mg/2 mL isi 5
20. Citicoline TAKELIN ➢ Ampul 500 mg/4 mL isi 5
➢ Ampul 1000 mg/8 mL isi 5
➢ Tablet 500 mg isi 3 strip x
10 tablet
21. Citicoline ZEUFAR ➢ Ampul 250 mg/2 mL isi 5
➢ Ampul 500 mg/4 mL isi 5
➢ Ampul 1000 mg/8 mL isi 5

G. Farmakokinetik
Citicoline oral mempunyai bioavaibilitas lebih dari 90% dan bersifat larut air.
Kadar puncak plasma yang bersifat bifasik, pertama 1 jam, dan kedua yang lebih besar
adalah 24 jam setelah makan obat. Citicoline dapat diserap cepat dan tidak lebih dari
1% dapat ditemukan dalam feses. Citicoline dihidrolisis dalam usus dan hati. Produk
hasil hidrolisis pada dinding usus berupa kolin dan sitokin. Di dalam tubuh kedua
senyawa ini akan terdistribusi dalam jaringan, termasuk susunan saraf pusat dan
mengalami resintesis menjadi Citicoline oleh enzim cytidine-triphosphate-
phosphocholine cytidyl transferase. Eliminasi Citicoline terutama lewat pernafasan
(CO2) dan urin, waktu paruh elimanasi 56 jam untuk CO2 dan 71 jam untuk urin.
Citicoline endogen berperan sebagai intermediate dalam biosintesis fosfolipid.
Pemberian Citicoline pada tikus meningkatkan kadar kolin dan sitidin plasma dalam 6-
8 jam (Ashraf et al., 2014).
35

Tabel II. 6 Farmakokinetik Citicoline

Citicoline
Nama IUPAC Cytidine-5-diphosphocoline

Struktur Kimia

BM 489,332 g/mol (Martindale 36th)


Indikasi Untuk pengobatan stroke iskemik
pertama dengan onset ≤ 24 jam dan
stroke hemoragik intraserebral
(PERDOSSI, 2011)
Kontraindikasi Hipersentivitas dengan Citicoline
(Khare et al., 2016)
Dosis Dosis 2x100 mg iv selama 3 hari dan
dilanjutkan dengan oral 2x1000 mg
selama 3 minggu (PERDOSSI, 2011)
Bioavailibilitas Bioavailibilitas ≥ 90% (Ashraf et al.,
2014)
Waktu puncak plasma Pertama 1 jam, dan kedua yang lebih
besar 24 jam setelah makan obat
(Ashraf, et al., 2014)
Waktu paruh plasma 56 jam untuk CO2 dan 71 jam untuk
urin (Ashraf et al., 2014)
Efek samping Diare, mual, reaksi hipersensitifitas
seperti ruam kulit, gangguan vaskular
seperti sakit kepala, insomnia, serta
perubahan tekanan darah sementara
(Khare et al., 2016)
36

2.12 Evidence Based Medicine Citicoline


Studi yang dilakukan oleh Fioravanti and Yanagi (2005) bahwa bukti
keseluruhan manfaat CDP-choline pada fungsi memori dan perilaku setidaknya dalam
jangka pendek hingga menengah, di mana obat Citicoline dapat ditoleransi dengan
baik. Terdapat empat belas studi yang diteliti, tujuh dari studi termasuk mengamati
subyek untuk jangka waktu antara 20 dan 30 hari, satu studi dengan durasi 6 minggu,
lima studi lebih dari 2 bulan dan 3 bulan, dan satu studi diperpanjang hingga 12 bulan
pengamatan. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa Citicoline pada pasien stroke
iskemik dapat berfungsi sebagai perlindungan membran sel, neuroplastisitas dan
pelindung saraf. Efek pada Citicoline mampu memberikan hasil yang terbaik selama
enam bulan untuk pengobatan kronis (Alvarez-Sabin, 2013).
Studi VITA dan studi IDEALE yang dilakukan pada 509 pasien yang diberikan
Citicoline dengan dosis (1x1g) secara IM yang menderita demensia vaskuler sedang
dan stroke akut. Hasil penelitian tersebut menunjukkan efek Citicoline dapat
memperbaiki memori jangka pendek dan panjang, kemampuan motoric, serta perilaku
dan kontrol emosional, meningkatkan fungsi memori verbal pada individu dengan usia
yang lebih tua. Efek CDP-Choline pada 19 pasien (usia rata-rata 66,21 ± 1,48 tahun)
dengan penyakit Alzheimer yang diberikan Citicoline dengan dosis 1000 mg/hari
selama 30 hari menunjukkan hasil yang signifikan dalam meningkatkan fungsi
kognitif. Efek teraupetik CDP-Choline juga dapat meningkatkan transmisi saraf
kolinergik, aktivasi mekanisme perbaikan, regulasi beberapa mekanisme respon
biologis, dan pelemahan dari patogen hipoperfusi dalam aliran darah ke otak (Secades
et al., 2016).
Penelitian CDP-Choline juga dipelajari dalam double blind, placebo terkontrol,
percobaan acak yang melibatkan 30 pasien dengan penyakit Alzheimer yang diberikan
CDP-Choline 1000 mg per oral selama 12 minggu menunjukkan adanya peningkatan
fungsi kognitif pada otak dan obat ini dapat ditoleransi dengan baik (Qureshi et al.,
2016).
Pemberian Pirasetam ketika pasien dengan stroke akut derajat sedang hingga
parah, yang menunjukkan korelasi dengan peningkatan perbaikan kelemahan motoric,
37

tingkat kesadaran dan afasia yang siginifikan (Holinksi et al., 2011). Citicoline adalah
senyawa dengan spektrum manfaat yang sangat luas dalam kondisi yang terkait dengan
gejala disfungsi neurologis. Pemberian Citicoline diindikasikan untuk fase akut dan
perbaikan (recovery) dari infark serebral dengan memperbaiki membrane sel saraf otak
akibat pasokan oksigen dan nutrisi yang berkurang (Arshad M, 2014).
Sehingga kesimpulannya bahwa dalam hal keamanan, kolin memiliki tingkat
toksikologi yang rendah. Selain itu, pemberian kolin dalam bentuk CDP-Choline dapat
menurunkan indeks toksisitas tambahan 20 kali lipat. CDP-Choline (juga disebut
Citicoline) terbukti memiliki tindakan fisiologis yang bermanfaat bagi fungsi kognitif
pada otak. CDP-kolin dan produk hidrolisisnya berperan penting dalam sintesis
fosfolipid dan perbaikan neuron (Gareri P, 2015).

Anda mungkin juga menyukai