Anda di halaman 1dari 6

Kisah Yang Menggambarkan Kejujuran dan Menepati Janji

Kisah yang menggambarkan kejujuran dan menepati janji bisa menjadi sebuah inspirasi
untuk kita berperilaku jujur dalam keseharian. Sikap jujur adalah perilaku baik, sedangkan
menepati janji hukum nya wajib. Jadi memiliki sifat jujur dan tepat janji merupakan hal baik
bagi seseorang.

Dalam bahasa Arab, jujur dikenal dengan istilah Ah Shidqu atau Shidiq, memiliki arti nyata
atau berkata benar. Artinya bahwa kejujuran adalah sebuah kesesuaian antara ucapan dan
perbuatan. Dalam lingkup lain kejujuran adalah sebuah kesamaan antara kenyataan dan
informasi.

Dalam islam jelas tercantum mengenai perintah untuk jujur. Al Ahzab ayat 70 "Wahai
orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan
yang benar" Nabi juga bersabda tentang kejujuran, Beliau bersabda "Hendaklah kalian jujur!
Sesungguhnya jujur menunjukan ke surga" (HR - Muslim).

Menepati janji adalah melakukan apa yang dikatakan dan menunjukkan ketulusan,
integritas, kejujuran, sehingga bisa menjadi orang yang dapat dipercaya.

Menepati janji merupakan sifat orang beriman. Setiap janji adalah utang, sedangkan utang
harus ditunaikan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa orang yang ingkar janji sama
halnya dengan tidak membayar utang. Dalam sebuah hadis dikatakan bahwa salah satu
tanda orang munafik adalah mengingkari janji.

Berikut ini adalah beberapa Kisah yang menggambarkan kejujuran

1. Kisah Pemuda Jujur serta tepat janji dan Sepotong Kayu

Dahulu kala, pada zaman Bani Israil hiduplah pemuda yang mulia sifatnya. Ia jujur dan juga
menepati janji. Suatu ketika ia tidak punya uang dan harus meminjam pada seseorang. Ia
pun meminjam uang kepada seorang yang tidak ia kenal di sebuah pulau.

Awalnya si peminjam meminta saksi atau orang jaminan sebagai penjaga hutang-piutang
tersebut. Namun si pemuda ini tidak memiliki saksi apalagi orang yang bisa menjamin.

Ia pun mengatakan bahwa cukuplah Allah sebagai saksi dan penjamin dalam transaksi itu.
“Cukuplah Allah sebagai penjamin,” kata si pemuda. Baginya menyebut asma Allah dalam
ikatan perjanjian maka menjadikannya sangat kuat.

Jika dilanggar, ia amat takut Allah murka. Tekad si pemuda pun dipercaya si peminjam. “Kau
benar,” kata peminjam. Pemuda itu pun diberi pinjaman seribu dinar. Keduanya pun
menyepakati masa jatuh tempo pengembalian uang tersebut.
Kemudian berlayarlah si pemuda di samudera hingga waktu jatuh tempo tiba. Namun di hari
jatuh tempo itu tidak ada satupun perahu yang menyeberang ke pulau tersebut. Pemuda itu
pun mencari cara lain sembari menunggu kapal. Diambillah sepotong kayu, ia melubangi
kayu tersebut dan memasukan surat serta uang seribu dinar.

“Ya Allah, sungguh Engkau tahu bahwa aku meminjam uang sebesar seribu dinar.
Lalu ia (si peminjam) memintaku seorang penjamin, namun kukatakan padanya, ‘Allah
cukup sebagai penjamin’. Ia pun ridho dengan-Mu. Ia juga meminta saksi kepadaku,
aku pun mengatakan ‘Cukup Allah sebagai saksi’. Ia pun ridho kepada-Mu. Sungguh
aku telah berusaha keras untuk mendapatkan perahu untuk mengembalikan uangnya
yang kupinjam, namun aku tak mendapatinya. Aku tak mampu mengembalikan uang
pinjaman ini, sungguh aku menitipkannya kepada-Mu,” Doa si pemuda sebelum ia
menghanyutkan sepotong kayu tersebut.

Sementara kayu itu hanyut, si pemuda tak berhenti berusaha mencari kapal. Di pulau sana,
si peminjam menunggu kehadiran pemuda itu di dermaga. Cukup lama ia menunggu hingga
bosan. Kemudian ia putuskan untuk kembali kerumah, sebelum kembali kerumah, ia
membawa sepotong kayu di dekatnya untuk kayu bakar. Sesampainya dirumahnya, ia
terkejut tat kala melihat ada dinar dan sepucuk surat. Membaca surat tersebut, ia pun
tersenyum riang.

Esoknya si pemuda datang ke pulau tersebut. Dengan tergesa ia menyambangi pemberi


hutang. "Demi Allah, aku terus berusaha mencari perahu untuk menemuimu dan
mengembalikan uangmu. Tapi, aku tak memperoleh perahu hingga perahu sekarang
ini aku datang dengannya,” ujar si pemuda menjelaskan uzurnya.

Si peminjam uang pun tersenyum melihat kegigihan pemuda menepati janjinya. Ia pun
berkata, “Apakah kau mengirim sesuatu kepadaku?” tanyanya. Namun, si pemuda tak
sedikit pun menyangka bahwa kayu kirimannya sampai tujuan meski tanpa alamat, apalagi
jasa kurir. “Aku katakan kepadamu, aku tak mendapatkan perahu sebelum apa yang
kubawa sekarang ini,” ujar si pemuda sembari menunjukkan seribu dinar untuk diberikan
kepada si peminjam utang.

Kemudian si peminjam pun dengan jujur mengatakan bahwa ia telah menerima uang seribu
dinar beserta surat. “Sungguh Allah telah menyampaikan uang yang kau kirim di dalam
kayu. Maka, pergilah dan bawalah kembali seribu dinar yang kau bawa ini,” ujar si
pemberi utang.

Sungguh sebuah kisah hikmah yang agung, bagaimana seorang pemuda yang
memasrahkan segalanya kepada Allah. Ia sangat jujur dan juga tepat dengan janji yang
telah dibuat. Kisah pemuda dan sepotong kayu tersebut dikabarkan oleh Rasulullah dalam
hadist riwayat Al-Bukhari dan Nasa’i. Nama pemuda tersebut hingga kini tak ada yang
mengetahui. Namun, kisah ini dipastikan kebenarannya, mengingat kedudukan hadist yang
menyebutkan kisah itu memiliki derajat shahih.
2. Kejujuran Abu Dujanah

Abu Dujanah Simak bin Kharasha merupakan salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW
yang sangat taat pada Allah SWT. Pria yang berasal dari kabilah Khazraj ini hidup serba
kekurangan.

Kisah hidupnya membekas di hati Rasulullah. Bahkan, Rasulullah pernah menangis setelah
mendengar cerita kelaparan yang dialami keluarga Abu Dujanah.

Suatu hari, Rasulullah menegur Abu Dujanah karena setiap usai menjalankan ibadah salat
subuh berjamaah, dia langsung pulang ke rumah. Abu Dujanah tak pernah menunggu
pembacaan doa yang dipanjatkan Rasulullah selesai.

“Hai, apakah kamu ini tidak punya permintaan yang perlu kamu sampaikan pada
Allah SWT sehingga kamu tidak pernah menungguku selesai berdoa. Kenapa kamu
buru-buru pulang begitu? Ada apa?” tanya Nabi.

“Ya Rasulullah, kami punya satu alasan,” jawabnya.

“Apa alasanmu? Coba kamu utarakan!” perintah Nabi.

“Begini. Rumah kami berdampingan persis dengan rumah seorang laki-laki. Nah, di
atas pekarangan rumah milik tetangga kami ini, terdapat satu pohon kurma
menjulang, dahannya menjuntai ke rumah kami. Setiap kali ada angin bertiup di
malam hari, kurma-kurma tetanggaku tersebut saling berjatuhan, mendarat di
rumah kami,” kata Abu Dujanah mulai bercerita.

“Ya Rasul, kami keluarga orang yang tak berpunya. Anakku sering kelaparan, kurang
makan. Saat anak-anak kami bangun, apa pun yang didapat, mereka makan. Oleh
karena itu, setelah selesai salat, kami bergegas segera pulang sebelum anak-anak
kami tersebut terbangun dari tidurnya. Kami kumpulkan kurma-kurma milik tetangga
kami tersebut yang berceceran di rumah, lalu kami haturkan kepada pemiliknya,”
sambungnya.

Abu Dujanah melanjutkan, suatu saat dia terlambat pulang ke rumah. Anaknya terbangun
dan menemukan kurma tetangga yang jatuh dari pohonnya. Tak menunggu lama, sang anak
langsung memakan kurma tersebut.

“Mata kepala saya sendiri menyaksikan, tampak ia sedang mengunyah kurma basah
di dalam mulutnya. Ia habis memungut kurma yang telah jatuh di rumah kami
semalam. Mengetahui itu, lalu jari-jari tangan saya masukkan ke mulut anakku itu.
Kami keluarkan apa pun yang ada di sana,” jelasnya.
Abu Dujanah tak pernah membiarkan anaknya memakan kurma milik orang lain. Dia tak
ingin makanan haram itu menyebabkan keluarganya mendapat siksaan pedih di akhirat
kelak.

“Kami katakan, ‘Nak, janganlah kau permalukan ayahmu ini di akhirat kelak.’ (Abu
Dujanah mengatakannya sambil menggigil.)
Anakku menangis, kedua pasang kelopak matanya mengalirkan air karena sangat
kelaparan. Wahai Baginda Nabi, kami katakan kembali kepada anakku itu, ‘Hingga
nyawamu lepas pun, aku tidak akan rela meninggalkan harta haram dalam perutmu.
Seluruh isi perut yang haram itu, akan aku keluarkan dan akan aku kembalikan
bersama kurma-kurma yang lain kepada pemiliknya yang berhak’.”

Sifat Qanaahnya Membuat Rasulullah Berkaca-kaca

Pandangan mata Rasulullah langsung berkaca-kaca mendengar pengakuan Abu Dujanah.


Butiran air mata mulianya berderai begitu deras.

Rasulullah mulai mencari tahu siapa sebenarnya pemilik pohon kurma yang dimaksud Abu
Dujanah. Abu Dujanah pun menjelaskan, pohon kurma tersebut milik seorang laki-laki
munafik.

Tanpa basa-basi, Nabi Muhammad SAW mengundang pemilik pohon kurma. Rasulullah
menawar pohon kurma dengan harga yang sangat tinggi.

“Bisakah tidak jika aku minta kamu menjual pohon kurma yang kamu miliki itu? Aku
akan membelinya dengan sepuluh kali lipat dari pohon kurma itu sendiri. Pohonnya
terbuat dari batu zamrud berwarna biru.Disirami dengan emas merah,tangkainya
dari mutiara putih.Di situ tersedia bidadari yang cantik jelita sesuai dengan
hitungan buah kurma yang ada,” kata Rasulullah.

Pria munafik itu lantas menjawab dengan tegas, “Saya tak pernah berdagang dengan
memakai sistem jatuh tempo. Saya tidak mau menjual apa pun kecuali dengan uang kontan
dan tidak pakai janji kapan-kapan.”

Tiba-tiba, Abu Bakar as-Shiddiq datang. Ia menegaskan langsung melunasi pembayaran


pohon kurma tersebut.

“Ya sudah,aku beli dengan sepuluh kali lipat dari tumbuhan kurma milik Pak Fulan
yang varietasnya tidak ada di kota ini (lebih bagus jenisnya),” ujar Abu Bakar.

Pria munafik terlihat sangat kegirangan. Dia akhirnya menyerahkan pohon kurma secara
simbolis kepada Abu Bakar. Selanjutnya Abu Bakar menyerahkan pohon kurma kepada Abu
Dujanah.
Berikut ini adalah beberapa Kisah yang menggambarkan menepati janji

1. Abu dzar dan pemuda yang menepati janjinya

Pada suatu hari, Umar bin Khattab dan beberapa sahabat sedang duduk-duduk, saat itulah
dua orang lelaki dan seorang pemuda yang tangannya sementara terikat datang bergabung
kepada mereka. Mereka datang tergopoh-gopoh,

salah seorang lelaki itu mengatakan


“Wahai Amirul Mukmini,pemuda ini telah membunuh ayah kami."

Setelah itu pemuda yang sementara terikat tangannya berkata, “Wahai Amirul
Mukminin,dengarkanlah penjelasanku terlebih dahulu” salah seorang lelaki itu berkata

“Tidak hal itu tidaklah penting.Kamu beruntung kami tidak melakukan balas dendam,
padahal ayah kami engkau telah membunuhnya.Kami justru membawamu kepada
Khalifah Umar" ucap kedua lelaki itu dengan marah.

Umar pun berusaha menengahi kedua pihak.Umar berkata, ”Lebih baik kamu berdua
diam terlebih dahulu.Aku ingin mendengar cerita tentang kejadian sebenarnya.”

Pemuda yang terikat tangannya itu segera bercerita. Pada suatu hari, saya menaiki seekor
unta untuk pergi ke satu tempat karena terlalu letih, saya tertidur, ketika saya bangun saya
mendapati unta saya telah hilang, lalu saya segera mencarinya. Saya dapati unta saya itu
sedang makan tanaman di sebuah kebun, lalu saya berusaha mengahalaunya, tetapi unta
itu tidak juga berpindah dari tempat itu dia berhenti seketika.

Tidak lama kemudian datanglah seseorang dan terus melempar batu ke arah unta saya
.Oleh karena lemparan itu tepat ke arah kepala unta saya, maka unta saya seketika itu juga
mati. Saya menjadi marah lalu mengambil batu dan melempar batu tersebut ke arah orang
itu. Dengan tidak disangka batu itu mengenai kepalanya dan dia juga jatuh tersungkur lalu
mati. Sebenarnya saya tidak berniat untuk membunuhnya.

Setelah mendengar penjelasan pemuda itu, Umar memutuskan bahwa pemuda itu
mendapat hukuman mati sebagai suatu balasan atas perbuatannya (Qisas).

Pemuda itu berkata,"Saya tidak menolak hukuman itu, tetapi saya mempunyai adik,
sedangkan ayah saya telah meninggal dunia. Sebelum ayah saya meninggal,dia telah
mewariskan harta dan saya menyimpannya ditempat yang tidak diketahui oleh adik
saya. Untuk itu saya minta waktu selama tiga hari untuk pulang ke kampung dan
memberikan harta warisan dari orang tua kami kepada adik saya.”

Umar bertanya ”Siapakah yang akan menjadi penjaminmu”?


“Dia ini penjamin saya” kata pemuda itu sambil menunjuk ke Abu Dzar Al-Ghiffari.

Ketika itu Abu Dzar Al-Ghiffari juga ada di tempat itu, tanpa disangka, Abu Dzar
menyanggupinya dimana ia bersedia untuk menjadi penjamin terhadap pemuda itu. Apabila
setelah tiga hari pemuda itu tidak datang, Abu dzar akan menerima hukuman mati akibat
sebagai pengganti atau sebagai penjamin terhadap pemuda itu.

Pada hari ketiga, Umar para sahabat dan dua lelaki itu menunggu pemuda tersebut. Hingga
tengah hari, pemuda itu belum juga datang. Kedua lelaki tersebut mulai gelisah.

”Hari sudah siang tetapi pemuda itu belum datang,kalau tidak datang maka Abu
dzar akan menjadi penggantinya untuk menerima hukuman mati,” kata salah seorang
lelaki itu.

Akhirnya tak lama ditunggu pemuda itu benar-benar bertanggung jawab dan datang, ia
menepati janjinya, sekalipun ia akan kehilangan nyawanya.Kepada Abu Dzar, pemuda itu
mengucapkan terima kasih karena Abu Dzar telah bersedia menjadi sebagai penjaminnya.
Sementara itu kedua lelaki, yang ayahnya telah terbunuh, itu merasa terharu akan
kehadiran pemuda yang menepati janjinya.

Mereka berkata, ”Wahai Amirul Mukminin,kami mohon agar tuntutan kami


dibatalkan,kami telah memaafkan pemuda al-wafi (penepat janji) ini.”

Menanggapi peristiwa itu, Umar bin Khattab berkata, ”WahaiAbu Dzar, kamu sungguh
berani dan wahai pemuda,kamuadalahal-Wafi. Kamu berdua sangat mulia,lalu
bersalamanlah dan kuatkan ukhuwah diantara kalian.”

"Selemah-lemahnya manusia adalah orang yang tidak dapat menahan amarahnya, dan
sekuat-kuatnya orang adalah yang dapat menguasai nafsunya.”

Anda mungkin juga menyukai