Anda di halaman 1dari 38

MATERI PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI

AHLI TEKNIK LINGKUNGAN BIDANG JASA KONSTRUKSI

MODUL - 3

1. MENYUSUN DESAIN KONSEPTUAL PRASARANA LINGKUNGAN


2. MENYUSUN RENCANA KONSTRUKSI PRASARANA LINGKUNGAN

LPK DIKLAT TENAGA KERJA KONSTRUKSI


Jl. Dr. Leimena No. 32, Kel. Sago. Kec. Senapelan, Kota Pekanbaru, Prov. Riau
Telp. (0761) 31095 email: lpktk.konstruksi@p3sm.or.id
2021

1
DAFTAR ISI

BAGIAN V ................................................................................................................................ 9
BAGIAN VI ............................................................................................................................. 31

2
Pengelolaan lingkungan hidup merupakan topik yang penting dalam setiap pekerjaan
konstruksi. Hal ini dikarenakan setiap pekerjaan konstruksi mempunyai dampak penting
perubahan lingkungan, walau mungkin perubahan tersebut kecil. Negara pun mempunyai
kebijakan yang cukup mendalam perihal pengelolaan lingkungan hidup ini dan mengaturnya
melalui Undang- Undang. Pekerjaan konstruksi dengan banyak komponen kegiatan yang
kemungkinan akan besar memberikan dampak yang penting terhadap lingkungan, sehingga
wajib dilengkapi AMDAL bagi setiap kegiatan pekerjaan konstruksi.
Begitu juga dengan insan pelaku pekerjaan konstruksi harus memahami dan
melakukan pekerjaan dengan mengacu kepada pedoman dan petunjuk teknis AMDAL.
Sebagai pelaku pekerjaan konstruksi, setiap insan pekerja konstruksi khususnya pada
pengadaan publik dan sektor privat pun, sangat memerlukan pemahaman terhadap
pengelolaan lingkungan hidup ini. Oleh karena itu, pada awal posting ini akan dieksplorasi
peraturan apa saja yang mewajibkan insan pekerja konstruksi untuk memperhatikan
pengelolaan lingkungan hidup ini.
Landasan Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup
Peraturan yang mengatur pengelolaan lingkungan hidup dalam proyek konstruksi adalah:
 UU 32 - 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
 PP 27 – 2012 tentang Izin Lingkungan
 PP 24 – 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik
 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup 05 - 2012 tentang Jenis Usaha Rencana dan/atau
Kegiatan yang Wajib Memiliki AMDAL
 Peraturan terkait Lingkungan Hidup seperti Penataan ruang, Konservasi Sumber Daya
Hayati dan Ekosistemnya dan Pengawasan Kawasan Lindung Pengertian Dasar
Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan benda dan makhluk hidup yang
mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahateraan manusia (UU 32 -
2009) Lingkungan hidup terdiri dari unsur: .

Materi: zat abiotik dan biotik yang saling mempengaruhi ekologi Energi: dari cahaya
matahari untuk bergerak dan berinteraksi antar makhluk
Ruang: wadah atau ekosistem habitat pada suatu ruang tertentu
 Kondisi 0 Aspek lingkungan hidup pada pekerjaan konstruksi:
 Komponen fisika kimia: iklim, fisiologi, hidrologi, hidrooceanografi, ruang

3
 Komponen biologi: flora dan fauna
 Komponen sosial ekonomi dan sosial budaya: demografi, sosek, sosbud dan kesehatan

LH terkait dengan ekologi dan ekosistem. Ekosistem adalah sistem hubungan timbal
balik makhluk hidup dan lingkungan, sedang ekologi yang mempelajari ekosistem. Hubungan
timbal balik terdiri dari:
• Simbiosa , ada hubungan yang tidak merugikan
• Antagonistik, ada hubungan mematikan yang lain (antibiosa), mengonsumsi yang lain
(eksploitasi) dan saling berkompetisi untuk mempertahankan eksistensi dalam upaya
mempertahankan hidup
• Netralistik, tidakada hubungan Batu Mutu Lingkungan Di dalam pekerjaan konstruksi
terdapat kemungkinan mempengaruhi perubahan lingkungan hidup. Perubahan
lingkungan hidup ini dapat diukur apakah telah melewati batas toleransi dengan Standar
Baku Mutu Lingkungan. Baku mutu lingkungan meliputi baku mutu air, air limbah, air laut,
udara ambien, emisi, gangguan dan lainnya sesuai perkembangan Iptek.

Pengertian Amdal Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau AMDAL adalah kajian
mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada
lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.(UU 32 -2009)
Dokumen Amdal Dokumen Amdal terdiri atas berbagai dokumen tersebut di bawah ini: .
• KA - ANDAL Ruang lingkup studi ANDAL hasil pelingkupan atau proses pemusatan studi
hal-hal penting yang berkaitan dampak yang penting
• ANDAL (Analisis Dampak Lingkungan)
• Dokumen yang menelaah secara cermat dan mendalam tentang dampak penting suatu
rencana atau kegiatan
• RKL (Rencana Pengelolaan Lingkungan)
• Dokumen upaya penanganan dampak penting terhadap lingkungan hidup yang
ditimbulkan oleh rencana kegiatan
• RPL (Rencana Pemantauan Lingkungan)
• Dokumen upaya pemantauan komponen lingkungan hidup yang terkena dampak penting
akibat rencana kegiatan Jenis Amdal dari jenis kegiatan.

4
Potensi dampak penting ditetapkan berdasarkan:
• Jumlah penduduk terdampak
• Luas wilayah penyebaran dampak
• Intensitas dan lamanya dampak berlangsung Komponen lingkungan yang terdampak
• Sifat kumulatif dampak
• Berbalik atau tidaknya dampak
• Kriteria lain sesuai perkembangan Iptek
• Referensi internasional

Kedudukan Amdal dalam Pengembangan Proyek Kegiatan Amdal merupakan bagian


dari setiap tahapan proses pengembangan proyek, yaitu:
• Tahap perencanaan umum Penyaringan Amdal untuk mengetahui untuk mengetahui
apakah kegiatan akan menimbulkan perubahan mendasar pada lingkungan
• Jika ya AMDAL
• Jika tidak - UKL UPL Tahap prastudi kelayakan Pelingkupan dan KA – ANDAL
• Pelingkupan: proses awal menetapkan lingkup permasalahan dan mengidentifikasi
dampak penting hipotesis yang timbul dari rencana kegiatan yang diusulkan.
• Proses penting penyusunan KA - ANDAL Tahap studi kelayakan Studi ANDAL penelaahan
dampak penting yang timbul akibat rencana kegiatan proyek secara cermat dan
mendalam
• Tahap perencanaan teknis Penjabaran RKL dan RPL pada gambar teknik dan spesifikasi
teknik dan rancangan kontrak Tahap konstruksi
• Pelaksanaan RKL dan RPL
• Tahap pascakonstruksi
• Evaluasi pengelolaan dan pemantauan lingkungan.

No. Kelompok Kompetensi Elemen Kompetensi

1. Menerapkan Keselamatan dan i. Mengidentifikasi peraturan dan dokumen


Kesehatan Kerja (K3) Konstruksi K3
Prasarana Lingkungan ii. Melaksanakan ketentuan K3
iii. Mengevaluasi pelaksanaan ketentuan K3
2. Melakukan Komunikasi di Tempat i. Menginterpretasikan informasi di tempat
Kerja Konstruksi Prasarana kerja

5
No. Kelompok Kompetensi Elemen Kompetensi

Lingkungan ii. Melakukan koordinasi dengan unit-unit


terkait
iii. Melakukan kerjasama dalam kelompok
kerja
3. Mengidentifikasi Kebutuhan i. Mengumpulkan data dan informasi
Prasarana Lingkungan karakteristik wilayah
ii. Merangkum kondisi wilayah
iii. Menentukan kebutuhan jenis prasarana
lingkungan
4. Merumuskan Rencana Umum i. Menentukan kapasitas prasarana
Pembangunan Prasarana lingkungan
Lingkungan ii. Memilih teknologi prasarana lingkungan
iii. Menentukan lokasi prasarana lingkungan
iv. Membuat rancangan dasar prasarana
lingkungan
v. Menentukan strategi pengelolaan operasi
prasarana lingkungan
5. Menyusun Desain Konseptual i. Mengumpulkan informasi untuk
Prasarana Lingkungan penyusunan desain konseptual prasarana
lingkungan
ii. Menyusun desain konseptual bangunan
utama prasarana lingkungan
iii. Menyusun desain konsep fasilitas
pendukung prasarana lingkungan
iv. Menyiapkan gambar desain konseptual
prasarana lingkungan
6. Menyusun Rencana Konstruksi i. Mengumpulkan informasi untuk
Prasarana Lingkungan penyusunan rencana konstruksi prasarana
lingkungan
ii. Menyusun tahapan dan jadwal kerja
konstruksi prasarana lingkungan

6
No. Kelompok Kompetensi Elemen Kompetensi

iii. Menentukan kebutuhan sumber daya


konstruksi prasarana lingkungan
iv. Menyusun rencana anggaran biaya
7. Menilai Pelaksanaan Konstruksi i. Menilai kinerja kelangsungan konstruksi
Prasarana Lingkungan prasarana lingkungan
ii. Mengevaluasi hasil konstruksi prasarana
lingkungan
iii. Melakukan uji fungsi prasarana lingkungan
iv. Membuat rekomendasi optimasi prasarana
lingkungan
8. Menyusun Dokumen Teknis i. Membuat rencana penyusunan dokumen
Konstruksi Prasarana Lingkungan teknis
ii. Mengumpulkan bahan penyusunan
dokumen teknis
iii. Menyusun dokumen teknis

7
BAGIAN V
MENYUSUN DESAIN KONSEPTUAL PRASARANA LINGKUNGAN

A. Pendahuluan

Prasarana merupakan istilah yang mengacu pada social overhead capital yang
mempunyai karakteristik sosial dan karakteristik ekonomi. Prasarana mempunyai peran yang
sangat penting, baik dari segi ekonomi, sosial, fisik, maupun lingkungan. Proses perencanaan
Prasarana merupakan suatu proses yang kompleks, yang terdiri dari perkiraan kebutuhan,
identifikasi sediaan, keseimbangan permintaan dan sediaan, pemilihan sistem, desain,
penarifan, dan kelembagaan.
Kebutuhan Prasarana merupakan komponen penting dalam sistem Prasarana. Oleh
karena itu, perkiraan kebutuhan Prasarana harus dilakukan secara baik. Selain kebutuhan
Prasarana, komponen penting lainnya yang harus diperhatikan dalam Prasarana adalah
sediaan Prasarana. Kebutuhan dan sediaan Prasarana haruslah seimbang, jika tidak akan
timbul berbagai masalah, seperti kemacetan lalu lintas dalam kasus Prasarana transportasi.
Perkembangan penduduk yang pesat pada umumnya tidak dapat diikuti oleh penyediaan
Prasarana, khususnya Prasarana yang berbasis sumber daya, seperti air bersih dan energi.
Oleh karena itu, di samping aspek perencanaan untuk menyeimbangkan kebutuhan dan
sediaan Prasarana diperlukan juga aspek pengelolaan Prasarana.
Setelah mempelajari modul ini secara umum mahasiswa diharapkan dapat memahami
konsep-konsep yang terkait dengan sistem Prasarana secara umum, yang secara garis besar
dapat dibagi ke dalam aspek kebutuhan dan sediaan. Secara lebih rinci, setelah mempelajari
modul ini mahasiswa diharapkan dapat:
1. menyebutkan definisi dan berbagai jenis Prasarana;
2. menjelaskan proses perencanaan Prasarana secara umum;
3. menjelaskan berbagai komponen Prasarana;
4. menyebutkan isu terkait inefisiensi dan keberlanjutan dalam proses perencanaan
Prasarana;
5. menyebutkan tujuan penarifan Prasarana;
6. menjelaskan struktur dan besaran tarif Prasarana.

8
Pada dasarnya, Prasarana berfungsi sebagai alat untuk melayani dan mendorong
terwujudnya lingkungan permukiman dan lingkungan usaha yang optimal sesuai dengan
fungsinya. Prasarana merupakan suatu sistem fisik yang menyediakan transportasi,
pengairan, drainase, bangunan gedung, dan fasilitas publik lain yang dibutuhkan untuk
memenuhi kebutuhan dasar manusia dalam lingkup sosial dan ekonomi (Grigg dalam Kodoatie,
2005). Sistem Prasarana didefinisikan sebagai sistem pendukung utama terhadap fungsi-
fungsi sistem sosial dan sistem ekonomi masyarakat. Sistem Prasarana dapat didefinisikan
sebagai fasilitas atau struktur dasar, peralatan, instalasi yang dibutuhkan untuk berfungsinya
sistem sosial dan sistem ekonomi masyarakat. Sesuai dengan definisi tersebut maka
Prasarana dapat dikelompokkan ke dalam 13 kategori (Grigg dalam Kodoatie 2005), sebagai
berikut.
1. Sistem penyediaan air seperti waduk, penampungan air, transmisi dan distribusi, serta
sistem pengolahan air.
2. Sistem pengolahan air limbah: pengumpul, pengolahan, pembuangan, dan daur ulang.
3. Fasilitas pengolahan limbah padat.
4. Fasilitas lintas air dan navigasi.
5. Fasilitas pengendalian banjir, drainase dan irigasi.
6. Fasilitas transportasi: jalan, rel, bandar udara, termasuk di dalamnya tanda lalu lintas dan
pengontrol.
7. Sistem transit publik.
8. Sistem kelistrikan: produksi dan distribusi.
9. Fasilitas gas alam.
10. Gedung publik: sekolah, dan rumah sakit.
11. Fasilitas perumahan publik.
12. Taman kota sebagai daerah resapan, taman bermain termasuk stadion.
13. Komunikasi.

Istilah Prasarana berhubungan dengan istilah prasarana, sarana, dan utilitas. Dalam SNI 03-
1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan, dikenal
adanya istilah prasarana lingkungan, sarana lingkungan, dan utilitas. Prasarana lingkungan
adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan permukiman dapat
berfungsi sebagaimana mestinya. Sarana lingkungan adalah fasilitas penunjang, yang

9
berfungsi untuk menyelenggarakan dan mengembangkan kehidupan ekonomi, sosial, dan
budaya. Utilitas adalah pelayanan seperti air bersih, air limbah, gas, listrik, dan telepon, yang
pada umumnya diperlukan untuk beroperasinya suatu bangunan dan lingkungan
permukiman. Dalam SNI 03-1733-2004 prasarana atau utilitas dibagi menjadi
prasarana/utilitas.

Dalam modul ini selanjutnya Prasarana dibagi ke dalam Prasarana air bersih, Prasarana air
limbah, Prasarana air limpasan, Prasarana persampahan, Prasarana transportasi, Prasarana
irigasi, Prasarana listrik, dan telekomunikasi.
Proses perencanaan Prasarana merupakan suatu proses yang kompleks. Proses tersebut
secara umum dapat digambarkan sebagaimana ditunjukkan pada
Untuk setiap jenis Prasarana aspek permintaan (demand) dan aspek sediaan (supply) dari
Prasarana harus diperkirakan berdasarkan aspek fisik, sosial, ekonomi pada saat ini dan yang
direncanakan. Tahap selanjutnya adalah membandingkan sediaan dan kebutuhan. Pada
umumnya, kebutuhan selalu lebih besar dari sediaan. Pada tahap ini dapat berkembang
pendekatan pengelolaan, baik dari sisi permintaan maupun sediaan. Namun demikian,
pengelolaan dari sisi permintaan dianggap lebih murah dan ramah lingkungan dibandingkan
dengan pengelolaan dari sisi sediaan. Setelah diketahui posisi permintaan dan sediaan pada
saat ini, dilakukanlah pemilihan sistem yang tepat dengan mempertimbangkan aspek
kebijakan, aspek fisik, aspek sosial, aspek ekonomis, dan finansial. Tahap selanjutnya adalah
tahap desain, penarifan, dan penentuan bentuk pengelolaan (kelembagaan). Secara lebih
rinci proses perencanaan Prasarana dijelaskan sebagai berikut.
1. Kebutuhan Prasarana
Kebutuhan Prasarana berbeda-beda untuk tiap kota sesuai dengan karakteristik
masyarakatnya, untuk memperkirakan kebutuhan Prasarana terdapat beberapa metode
kuantitatif yang dapat digunakan. Metode tersebut adalah sebagai berikut.

a. Metode Koefisien Tunggal (Single-Coefficient Methods)


Beberapa metode dalam Metode Koefisien Tunggal adalah sebagai berikut.
1) Metode per Kapita (Per-capita Methods) yang mana kebutuhan Prasarana
diperkirakan berdasarkan kebutuhan per orang atau per individu dengan menggunakan
standar kebutuhan per-kapita.

10
2) Metode Variabel Penjelas Tunggal (Single Explanatory Variable), metode ini
digunakan untuk meramalkan penggunaan Prasarana untuk tujuan tertentu, misalnya
meramalkan kebutuhan listrik untuk industri yang didasarkan pada luasan industri.

b. Metode Koefisien Ganda (Multiple Coefficient Methods)


Metode ini dapat digunakan untuk meramalkan kebutuhan Prasarana yang didasarkan pada
fungsi matematis dari dua atau lebih variabel penjelas. Metode ini lebih dikenal sebagai
analisis regresi.

c. Metode Time Series


Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa penggunaan Prasarana di masa yang akan
datang dapat diramalkan melalui pola penggunaan Prasarana di masa lalu.

Pemilihan metode peramalan yang tepat untuk kebutuhan Prasarana harus didasarkan
atas beberapa pertimbangan, di antaranya ketersediaan data, tujuan peramalan, dan jenis
prasarana.

2. Sediaan Prasarana
Kajian sediaan meliputi kajian kondisi saat ini, yaitu sediaan yang telah ada, dan kajian potensi
sediaan. Kedua kajian ini mencakup aspek kuantitas, penyebaran lokasi, dan kualitas. Contoh
dari kajian sediaan untuk perencanaan air bersih adalah kajian mengenai kuantitas (debit air),
lokasi sumber air bersih yang digunakan, dan potensi sumber air bersih yang dapat digunakan.
3. Keseimbangan Sediaan dan Kebutuhan
Setelah kebutuhan yang ada dihitung dan dibandingkan dengan sediaan yang ada maka
diketahui apakah sediaan yang ada dapat mencukupi kebutuhan di masa mendatang. Jika tidak
mencukupi, maka pertanyaan yang harus dijawab adalah apakah potensi yang ada dapat
dimanfaatkan. Jika potensi yang ada ternyata tidak mencukupi, harus dipikirkan upaya dalam
penggunaan sumber daya atau upaya pengelolaan permintaan.
4. Pemilihan Sistem
Sistem yang dimaksudkan di sini adalah pilihan teknologi maupun bentuk pengelolaan.
Beberapa variasi sistem Prasarana di antaranya adalah:
a. sistem publik, yaitu sistem yang meliputi seluruh kota;
b. sistem komunal, yaitu sistem yang meliputi sebagian dari kota;

11
c. sistem individual, yaitu sistem yang digunakan oleh tiap rumah tangga.

Pemilihan bentuk pelayanan yang tepat haruslah memperhatikan kebijakan yang ada,
termasuk kebijakan tata ruang, aspek fisik, aspek sosial, aspek ekonomi dan finansial. Aspek
Fisik yang harus diperhatikan antara lain adalah bentuk kota dan kepadatan penduduk.
Terdapat kriteria sistem pelayanan berdasarkan kepadatan penduduk. Menurut Rainer
(1990), yaitu:
a. >2500 jiwa/km² : selalu publik
b. 1000-2500 jiwa/km² : biasanya publik
c. 500-1000 jiwa/km² : tidak umum publik d. <500 jiwa/km² : jarang yang publik
Aspek fisik lain yang harus diperhatikan adalah kondisi hidrologi, geologi, dan
topografi. Dalam aspek sosial harus diperhatikan penerimaan masyarakat secara sosial untuk
sistem yang dipilih. Selanjutnya untuk aspek ekonomi dan finansial sistem pelayanan harus
memperhatikan kemampuan keuangan dan pendanaan pemerintah (finansial), dan juga
perbandingan antara besarnya benefit yang akan diterima dibandingkan dengan biaya yang
akan ditanggung (aspek ekonomi)
5. Desain, Pricing, dan Kelembagaan
Tahap terakhir dari perencanaan Prasarana adalah melakukan desain,
menentukan tarif, dan kelembagaan. Kegiatan Belajar 2 dalam modul ini akan menjelaskan
lebih detail aspek-aspek ini.
Prasarana mempunyai peran dalam pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, dan
keberlanjutan lingkungan. Walaupun tidak diketahui secara pasti yang mana yang merupakan
sebab dan akibat, terdapat hubungan yang
positif antara pembangunan Prasarana dan pertumbuhan ekonomi. Dengan adanya
hubungan yang positif ini, maka pengembangan Prasarana diharapkan juga dapat
mengentaskan kemiskinan. Beberapa jenis Prasarana juga sangat terkait dengan lingkungan,
seperti air bersih dan sanitasi. Tanpa adanya Prasarana air bersih dan sanitasi yang baik,
lingkungan dapat mengalami kerusakan.
Komponen fisik Prasarana berbeda-beda untuk setiap Prasarana, namun demikian secara
umum setiap Prasarana terdiri dari komponen sumber, pengolahan, disposal/konsumen.
Uraian terhadap komponen-komponen Prasarana tersebut adalah sebagai berikut.
6. Prasarana Air Bersih

12
Komponen fisik Prasarana air bersih terdiri dari sumber, transmisi,
pengolahan, distribusi, dan konsumen. Sumber dapat terdiri dari sumber dan sistem
pengambilan/pengumpulan saja atau dapat pula dilengkapi dengan suatu sistem pengolahan.
Sumber-sumber yang dapat digunakan, antara lain air permukaan (sungai dan waduk), air
tanah (mata air, sumur), air laut, dan air hujan. Kuantitas sumber akan menentukan besarnya
pengambilan yang dapat dilakukan, sedangkan kualitas sumber akan menentukan perlu atau
tidaknya pengolahan terhadap sumber.
Sistem transmisi merupakan sistem transportasi untuk air baku (dari sistem pengumpulan
sampai bangunan pengolahan air minum) dan air bersih (dari sumber yang sudah memenuhi
syarat kualitas atau dari bangunan pengolahan air minum sampai reservoir distribusi). Cara
pengangkutan dapat dilakukan, baik dengan cara gravitasi maupun pemompaan. Fasilitas
pengangkutan dapat dilakukan dengan pipa maupun tangki pengangkut. Sistem distribusi
terdiri dari suatu reservoir dan pipa distribusi. Reservoir dapat berupa tangki pada permukaan
tanah ataupun tangki di atas kaki, baik untuk sistem gravitasi ataupun pemompaan. Suatu
reservoir mempunyai tiga fungsi, yaitu 1) penyimpanan, untuk melayani fluktuasi pemakaian
per jam, cadangan air untuk pemadam kebakaran, dan pelayanan dalam keadaan darurat
diakibatkan oleh terputusnya sumber, transmisi, ataupun terjadinya kerusakan atau
gangguan pada bangunan pengolahan air, dan lain-lain; 2) pemerataan aliran dan tekanan
akibat variasi pemakaian di dalam daerah distribusi; 3) sebagai distributor, pusat atau sumber
pelayanan dalam daerah distribusi.
7. Prasarana Air Limbah
Komponen Prasarana air limbah terdiri dari sumber, saluran, pengolahan,
dan disposal. Produksi air limbah dihitung dari persentase pemakaian air bersih, yaitu 70%-80%
dari pemakaian air bersih. Air limbah ini mengandung kotoran manusia, bahan sisa pencucian
barang, dan sebagainya. Kualitas air limbah tidak memadai untuk langsung dibuang ke
lingkungan. Oleh karena itu, harus dikumpulkan dan dialirkan ke instalasi pengolahan air
limbah. Pengelolaan limbah domestik terdiri pengolahan terpusat (off site sanitation) dan
pengolahan setempat (on site sanitation). Sistem on site adalah sistem di mana penghasil
limbah mengolah air limbahnya secara individu, misalkan dengan menggunakan tangki septik.
Sistem off site adalah sistem di mana air limbah disalurkan melalui sewer (saluran pengumpul
air limbah) lalu kemudian masuk ke instalasi pengolahan terpusat.
8. Prasarana Air Limpasan
13
Komponen dalam Prasarana air limpasan terdiri dari air limpasan,
drainase dengan segala variasinya, dan badan air penerima. Drainase adalah saluran yang
digunakan untuk mengalirkan air limpasan ke badan air penerima. Sama halnya dengan air
limbah, Prasarana air limpasan terdiri dari on site dan off site system. Pada saat ini, telah
berkembang paradigma baru dalam pengelolaan Prasarana yang mana Prasarana untuk
mengalirkan air limpasan tidak hanya berupa saluran drainase, melainkan saluran yang
dilengkapi dengan kolam-kolam detensi, infiltrasi, dan pemanenan air hujan.
9. Prasarana Persampahan
Dalam pengelolaan sampah terdapat sejumlah elemen fungsional, yaitu
timbulan sampah (waste generation); penanganan dan pemilahan sampah; penyimpanan dan
pengolahan di sumber; pengumpulan, pemindahan dan transportasi; pemilahan, pengolahan
dan transformasi sampah; dan pembuangan (disposal). Dalam elemen fungsional di atas
diperlukan sejumlah prasarana, seperti tong sampah, gerobak sampah, bak sampah, dan
mobil sampah.
10. Prasarana Transportasi
Transportasi dapat diartikan sebagai usaha dan kegiatan mengangkut atau
membawa barang dan atau penumpang dari suatu tempat ke tempat lainnya. Prasarana
transportasi dapat diklasifikasikan dalam Prasarana transportasi darat, laut, dan udara. Untuk
masing-masing klasifikasi, terdapat sistem simpul dan jaringan. Sebagai contoh dari sistem
simpul adalah terminal, stasiun, bandara, dan pelabuhan, sedangkan contoh jaringan adalah
jaringan jalan, rel, alur pelayaran, dan jalur penerbangan.
11. Prasarana Energi
Prasarana energi adalah Prasarana yang mencakup pembangkit,
jaringan transmisi, sampai jaringan distribusi. Sistem transmisi dan distribusi merupakan
sistem penghubung antara produsen dan konsumen akhir yang berperan penting dalam
ketersediaan energi.
12. Prasarana Telekomunikasi
Informasi merupakan kebutuhan pokok setiap orang bagi pengembangan
pribadi dan lingkungan sosialnya serta merupakan bagian penting bagi ketahanan nasional.
Informasi dapat diperoleh dengan salah satu cara yaitu telekomunikasi. Prasarana

14
telekomunikasi terdiri dari beberapa sub sistem, yaitu kantor pusat (central offices), private
branches exchanges, dan physical plant.
13. Prasarana Sumber Daya Air
Salah satu Prasarana sumber daya air adalah Prasarana irigasi.
Prasarana irigasi adalah Prasarana yang diperlukan untuk kepentingan irigasi. Prasarana
irigasi terdiri dari komponen sumber air, seperti air permukaan dan air tanah, Prasarana
pengambilan, saluran primer, saluran sekunder, saluran tersier, dan saluran kuarter. Dari
saluran kuarter air disalurkan ke sawah, setelah melewati sawah air dibuang melalui saluran
drainase dan kembali ke sungai.

Inefisiensi dalam Proses Perencanaan Prasarana

Salah satu penyebab inefisiensi dalam proses penyediaan Prasarana adalah inefisiensi
dalam proses perencanaan, terutama dalam tahap pemilihan teknologi yang sesuai dengan
karakteristik masyarakat dan lingkungan tertentu, serta bentuk pengelolaannya. Suatu pilihan
teknologi untuk suatu jenis Prasarana harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat dan
lingkungannya. Suatu pilihan teknologi yang cocok untuk suatu kelompok masyarakat dan
kondisi lingkungan tertentu, belum tentu cocok untuk kelompok masyarakat dan lingkungan
yang lain. Oleh karena itu, kriteria pemilihan bentuk sistem yang tepat, baik teknologi maupun
pengelolaannya, untuk suatu jenis Prasarana harus mendapatkan perhatian yang serius dari
perencana. Penekanan pada kriteria perencanaan menjadi semakin penting untuk konteks di
Indonesia yang mempunyai variasi cukup luas dalam kondisi masyarakat dan lingkungannya.
Kesalahan dalam pemilihan sistem penyediaan Prasarana yang memperhatikan
karakteristik masyarakat dan lingkungan dapat menyebabkan inefisiensi. Banyak kasus
dijumpai, di mana masyarakat dilayani oleh suatu jenis Prasarana berteknologi tinggi, namun
masyarakat belum siap untuk menggunakan teknologi tersebut yang disebabkan oleh
beberapa hal, seperti kemampuan membayar yang dimiliki masyarakat untuk teknologi
tersebut belum memadai atau kondisi sosial dan budaya masyarakat yang tidak sesuai dengan
teknologi tersebut.
Sebagai contoh, pada Prasarana penyediaan air bersih, untuk menggunakan pipa, kriteria
yang harus diperhatikan adalah kepadatan. Penggunaan pipa akan ekonomis jika kepadatan
penduduk tinggi. Jika kepadatan penduduk rendah, penggunaan pipa untuk mendistribusikan

15
air bersih tidak ekonomis, sebagai penggantinya dapat dikembangkan sistem distribusi mobil,
seperti mobil tangki air. Pada daerah dengan kepadatan penduduk rendah, apabila digunakan
pipa maka biaya distribusi per unit akan meningkat dan sebagai akibatnya mungkin sistem
tersebut berada di atas kemampuan masyarakat untuk membayarnya.
Rasional penggunaan sistem pipa atau terpusat pada sistem Prasarana air limbah agak
berbeda dengan sistem lainnya. Alasan utamanya adalah ketiadaan lahan yang diperkirakan
akan bebas dari dampak pencemaran lingkungan apabila pengelolaan air limbah dilakukan
secara setempat.
Pada beberapa sistem Prasarana berlaku prinsip ekonomisasi skala, di mana penyediaan
Prasarana akan ekonomis apabila dilakukan dalam skala besar. Oleh karena itu, dikenal
adanya istilah ukuran optimal pelayanan suatu jenis Prasarana, yaitu suatu ukuran atau skala
yang menunjukkan tingkat keekonomisan penyediaan Prasarana. Pada sistem yang
mempunyai sifat ekonomisasi skala, penyediaan Prasarana akan ekonomis bila dilakukan
dalam skala besar atau skala kota atau bahkan regional, makin besar skalanya, makin
ekonomis penyediaan Prasarananya. Pada beberapa Prasarana justru berlaku disekonomisasi
skala, di mana pada skala besar penyediaannya menjadi tidak ekonomis. Pada Prasarana
seperti ini, penyediaannya harus dilakukan secara terdesentralisasi.

B. Peraturan Perundangan

1. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 416 Tahun 1990 tentang Syarat-syarat dan
Pengawasan Kualitas Air, dan perubahannya
2. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 21/PRT/M/2006 tentang Kebijakan dan
Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan, dan
perubahannya
3. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16/PRT/M/2008 tentang Kebijakan dan
Strategi Pengembangan Sistem Pengelolaan Air Limbah, dan perubahannya
4. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2010 tentang Pedoman
Pengelolaan Sampah, dan perubahannya
5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492 Tahun 2010 tentang Persyaratan Kualitas
Air Minum, dan perubahannya
6. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 3 Tahun 2013 tentang
Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Persampahan, dan perubahannya

16
7. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 112 Tahun 2003 tentang Baku Mutu
Air Limbah Domestik, dan perubahannya

C. Pokok Bahasan

Perkembangan penduduk pada umumnya tidak dapat diikuti oleh perkembangan


Prasarana. Beberapa persoalan dapat muncul akibat tidak adanya keseimbangan antara
kebutuhan masyarakat akan Prasarana dengan sediaan Prasarana. Persoalan yang dapat
timbul antara lain berupa degradasi lingkungan. Menghadapi persoalan ini pendekatan yang
berkembang saat ini dalam pengelolaan Prasarana adalah pengelolaan dari sisi permintaan.
Dengan pendekatan ini, diupayakan permintaan terhadap Prasarana dapat ditekan. Melalui
pendekatan ini kebutuhan akan Prasarana tidak selalu dipenuhi dengan penyediaan
Prasarana. Dalam pengelolaan Prasarana air bersih dikenal adanya istilah pengelolaan
permintaan air atau water demand management, di antaranya melalui pendekatan
penggunaan kembali air yang telah digunakan dan pendekatan sistem tarif untuk memotivasi
masyarakat melakukan penghematan pemakaian air. Dalam pengelolaan Prasarana
transportasi dikenal adanya istilah pengelolaan permintaan pergerakan atau transport demand
management, di antaranya melalui pengaturan guna lahan dan lokasi fasilitas. Dalam
pengelolaan Prasarana air limpasan, pengendalian lahan terbangun merupakan salah satu
upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi kuantitas air limpasan.

Penarifan Prasarana merupakan hal yang sangat penting diperhatikan untuk menjamin
keberlanjutan penyediaannya. Beberapa Prasarana, seperti listrik dan telekomunikasi,
merupakan Prasarana yang keberlangsungnya sangat ditentukan oleh pembayaran yang
dilakukan oleh pengguna atau pelanggan atas Prasarana yang digunakan. Namun demikian,
beberapa jenis Prasarana merupakan Prasarana yang bersifat sosial, yang penyediaannya
mutlak dilakukan tanpa memperhatikan pembayaran atau iuran dari pengguna atau
pelanggan.
Penerapan tarif pada suatu jenis Prasarana pada dasarnya mempunyai beberapa tujuan,
selain dari upaya untuk menutupi biaya produksi. Tujuan- tujuan tersebut antara lain adalah
sebagai berikut.
1. Konservasi
Ukuran keberhasilan konservasi melalui penerapan sistem tarif adalah

17
pengurangan konsumsi Prasarana secara signifikan. Struktur tarif yang dianggap dapat
mendorong konservasi adalah tarif yang semakin mahal ketika konsumsi semakin tinggi yaitu
tarif per blok yang semakin mahal.
2. Efisiensi ekonomi
Struktur tarif yang dapat mendukung efisiensi ekonomi adalah tarif yang
dibebankan besarnya sama dengan ongkos marjinal. Bila tarif dibebankan kepada konsumen
lebih rendah dari ongkos marjinalnya, maka konsumsi Prasarana akan terus meningkat.
3. Keadilan
Tarif yang adil didefinisikan dalam tiga cara yang berbeda, yaitu:
a. tarif dikatakan adil bila konsumen dibebani tarif yang sama untuk jumlah konsumsi yang
sama, tidak peduli apakah biaya produksinya sama atau berbeda;
b. tarif yang dibebankan dapat menggambarkan perbedaan konsumsi. prinsip adil yang
digunakan dalam penarifan adalah bila konsumen dibebani tarif berdasarkan jumlah
Prasarana yang dikonsumsi;
c. tarif dikatakan adil apabila dibebankan berdasarkan kemampuan membayar.

Tarif memiliki struktur dan besaran. Struktur tarif merupakan pola pengenaan tarif,
sedangkan besaran tarif adalah jumlah rupiah yang harus dibayarkan untuk Prasarana yang
dikonsumsi. Menurut Prasifka (1988), terdapat beberapa jenis struktur tarif, di antaranya
struktur tarif tetap, tarif seragam, tarif beragam, tarif berdasarkan beban puncak, dan tarif
dengan prinsip biaya marginal.
1. Tarif Tetap (Fixed Charge)
Tarif tetap adalah tarif yang mana besarnya dibebankan dengan jumlah yang sama kepada
semua konsumen. Tarif tidak ditentukan berdasarkan besarnya Prasarana yang dikonsumsi.
2. Tarif Seragam (Uniform Rate)
Tarif per unit Prasarana yang dikonsumsi adalah sama untuk semua konsumen, baik
industri, rumah tangga, maupun sosial. Keuntungan pengadopsian struktur tarif ini adalah
memudahkan administrasi perusahaan pengelola Prasarana.
3. Tarif Beragam (Varying Rate)
Tarif beragam terdiri dari dua jenis, yaitu tarif per blok yang semakin murah (decreasing
block rate) dan tarif blok yang semakin mahal (increasing block rate). Dalam penarifan ini
dikenal istilah blok yang artinya Prasarana yang dikonsumsi sampai jumlah tertentu.

18
a. Tarif per blok yang semakin murah (decreasing block rate)

Sistem penarifan ini banyak digunakan sebagai kebijakan tarif. Struktur tarif ini menganut
sistem tarif minimum untuk pemakaian minimum. Tarif minimum hanya berlaku pada blok
konsumsi yang pertama. Blok konsumsi berikutnya dikenai tarif per unit yang semakin murah

b. Tarif per blok yang semakin mahal (increasing block rate)

Setiap blok Prasarana yang dikonsumsi dikenai tarif per unit yang semakin mahal dibanding
dengan blok pemakaian sebelumnya. Konsumen hanya membayar tarif minimum pada saat
konsumsi Prasarana pada blok pertama. Jadi semakin banyak Prasarana yang dikonsumsi,
semakin tinggi tarif yang harus dibayarkan. Penarifan ini bertujuan untuk mengurangi
konsumsi Prasarana.
4. Tarif Berdasarkan Beban Puncak (Peak Load Pricing)
Penarifan jenis ini menerapkan harga yang lebih tinggi apabila permintaan terhadap
Prasarana meningkat. Contoh penerapan tarif ini adalah pada musim panas tarif air bersih
lebih tinggi dibandingkan dengan musim dingin.
5. Tarif dengan Prinsip Biaya Marjinal (Marginal Cost Pricing)
Peningkatan kapasitas produksi dari sistem yang ada memerlukan banyak biaya.
Peningkatan kapasitas sistem dibiayai dengan berbagai cara tergantung tujuan-tujuan
kebijakan pemerintah lokal. Metode untuk membebankan tarif berdasarkan ongkos marjinal
dianggap sebagai metode penarifan yang adil apabila konsumen baru membayar biaya penuh
atas peningkatan kapasitas produksi yang disebabkan karena keterlibatan konsumen
tersebut dalam sistem dan konsumen lama tidak terpengaruh.
Untuk dapat mempertahankan keberlanjutan penyediaan pelayanan Prasarana, tarif yang
dibebankan haruslah didasarkan pada seluruh biaya pengeluaran untuk menjalankan sistem
Prasarana, baik pengeluaran langsung atau tidak langsung (full-cost pricing). Keuntungan
menggunakan tarif yang didasarkan pada sistem full-cost pricing adalah kemungkinan
ketersediaan dana untuk pengembangan di masa mendatang. Hal tersebut memungkinkan
dilakukannya pelaksanaan tindakan penghematan, membagi secara merata beban pengeluaran
kepada seluruh pelanggan yang didasarkan pada jumlah pemakaian, tersedianya biaya
pemeliharaan, dan meningkatkan kesadaran masyarakat menghargai arti nilai kelangkaan
Prasarana.

19
Penentuan besaran tarif ataupun harga jual akan melibatkan berbagai pihak serta
kepentingan, yaitu produsen, konsumen, dan pemerintah, yang masing- masing mempunyai
persepsi yang berbeda mengenai bagaimana sebaiknya suatu sistem penarifan ataupun
besaran tarif ditetapkan untuk suatu barang dan jasa. Berdasarkan sudut pandang
konsumen, besarnya tarif ideal yang diinginkan adalah sedemikian sehingga besaran tarif
dari barang ataupun jasa yang ingin dikonsumsi:
1) dapat terjangkau secara ekonomis, atau sesuai dengan kemampuan daya belinya;
2) menurut persepsinya pada kondisi saat itu memang pantas dan sesuai terutama jika
dikaitkan dengan kualitas maupun kuantitasnya.

Ditinjau dari sudut pandang konsumen, ada empat aspek yang diinginkan berkaitan
dengan besaran tarif, yaitu berikut ini.
1. Keterjangkauan (Affordability)
Ditinjau dari keterjangkauannya, besaran tarif yang berlaku terhadap suatu barang
ataupun jasa hendaknya mengacu kepada kelompok mayoritas dari konsumennya. Dengan
mengacu kepada keterjangkauan ini, maka bagi konsumen, besarnya tarif yang diinginkan
adalah sedapat mungkin lebih kecil ataupun sama dengan daya belinya (ability to pay).
Besarnya daya beli terhadap suatu barang atau jasa ditentukan oleh beberapa faktor, antara
lain jenis barang atau jasa, tingkat pendapatan, jumlah anggota keluarga, dan tingkat
konsumsi orang terhadap barang ataupun jasa dimaksud.
2. Kepantasan
Tarif yang diterapkan harus sesuai dengan kondisi objektif yang ada pada saat itu
dalam arti bahwa besaran tarif yang ada secara finansial mempunyai opportunity cost yang
sesuai. Khusus untuk barang ataupun jasa yang tidak mempunyai pembanding seperti air
bersih, maka besaran tarif yang sesuai adalah besaran tarif yang betul-betul
merepresentasikan opportunity cost dari barang ataupun jasa dimaksud. Ungkapan yang
sesuai untuk kepantasan dimaksud adalah willingness to pay (WTP). Dalam hal ini nilai ataupun
besaran WTP sangatlah subjektif dan kondisional, yang sangat tergantung pada siapa
konsumen dan juga tergantung pada mekanisme keterkaitan antara sediaan dan kebutuhan.
3. Sederhana

20
Sistem penarifan yang diinginkan konsumen adalah suatu sistem yang praktis, mudah
dimengerti dan dipahami. Hal ini terutama berkaitan dengan faktor-faktor implementasi di
lapangan.
4. Keadilan
Bagi konsumen, suatu sistem tarif yang diinginkan adalah suatu sistem tarif yang adil
yaitu sistem tarif yang mampu memberlakukan secara adil semua kelompok ataupun segmen
pelanggan.
Besaran tarif berdasarkan sudut pandang produsen diharapkan dapat memenuhi kriteria
berikut ini.
a. Minimal mampu memulihkan biaya yang telah dikeluarkan untuk memproduksi barang
ataupun jasa dimaksud.
b. Memberikan margin keuntungan yang cukup besar, dan jika mungkin sangat besar, agar
perusahaan dapat melakukan pengembangan usaha lebih lanjut.

Berdasarkan sudut pandang pemerintah besaran tarif dari suatu barang atau jasa, sangat
tergantung dari karakteristik barang atau jasa dimaksud. Karakteristik dari jasa atau barang
terutama dikaitkan pada apakah barang atau jasa tersebut merupakan kebutuhan pokok
masyarakat ataupun mempengaruhi kehidupan masyarakat luas secara signifikan, atau
apakah barang atau jasa tersebut mempengaruhi hajat kehidupan masyarakat luas. Jika suatu
barang atau jasa memenuhi kriteria di atas maka pemerintah akan bersikap sangat peduli
terhadap sistem penarifan atau besaran tarif yang berlaku bagi barang atau jasa dimaksud.
Sikap peduli dari pihak pemerintah biasanya terungkap dengan adanya intervensi, baik secara
langsung maupun tidak langsung, terhadap sistem penarifan dan atau besaran tarif.
Intervensi langsung dari pemerintah dapat berupa pemberian subsidi ataupun pengenaan
pajak, sedangkan intervensi tak langsung dari pemerintah biasanya dalam bentuk perundang-
undangan maupun peraturan. Kepedulian pemerintah dalam sistem penarifan maupun
besaran tarif dari suatu barang dan jasa ini dilakukan dalam usaha untuk:
a. memenuhi kebutuhan barang atau jasa dimaksud bagi seluruh anggota masyarakat;
b. memenuhi kepentingan masyarakat pada golongan rendah;
c. mengalokasikan barang atau jasa secara lebih efisien dan efektif, terutama ditinjau dari
sistem secara keseluruhan.

21
Perencanaan dan pengelolaan Prasarana merupakan aspek yang cukup luas. Dalam
perencanaan dan pengelolaan Prasarana terdapat beberapa isu yang cukup penting untuk
diperhatikan, yaitu inefisiensi dalam proses perencanaan Prasarana, aspek lingkungan dan
keberlanjutan penyediaan Prasarana, dan penarifan Prasarana.
Inefisiensi dalam proses perencanaan Prasarana pada umumnya disebabkan karena
ketidaksesuaian sistem Prasarana yang disediakan, baik teknologi maupun bentuk
pengelolaan, dengan karakteristik masyarakat dan lingkungan. Beberapa hal yang umumnya
mempengaruhi sistem Prasarana adalah kepadatan penduduk dan adanya ekonomisasi skala
dalam penyediaan Prasarana.
Dewasa ini penyediaan Prasarana sulit mengikuti perkembangan kebutuhan akan
Prasarana. Oleh karena itu, saat ini berkembang bentuk pengelolaan permintaan Prasarana.
Melalui pendekatan ini kebutuhan akan Prasarana tidak selalu diikuti dengan penyediaan
Prasarana. Melalui pendekatan ini, permintaan akan Prasarana dikendalikan.
Tarif dalam penyediaan Prasarana mempunyai beberapa tujuan, di antaranya adalah
konservasi, efisiensi ekonomi, dan keadilan. Tarif pada umumnya mempunyai struktur dan
besaran. Struktur tarif di antaranya adalah tarif tetap, tarif seragam, tarif beragam, tarif
berdasarkan beban puncak, dan tarif dengan prinsip biaya marjinal. Dilihat dari besarannya,
terdapat beberapa sudut pandang dalam menentukan tarif, yaitu sudut pandang konsumen,
produsen, dan pemerintah. Dari sisi konsumen, besaran tarif yang diinginkan oleh konsumen
adalah besaran tarif yang memenuhi prinsip keterjangkauan, kepantasan, sederhana, dan
keadilan. Dari sudut pandang produsen, besaran tarif yang diinginkan adalah tarif yang
memenuhi kriteria mampu memulihkan biaya yang telah dikeluarkan untuk memproduksi
barang ataupun jasa dan memberikan margin keuntungan yang cukup besar. Dari sudut
pemerintah, pemerintah akan memberikan perhatian yang cukup besar pada tarif Prasarana
yang diperlukan oleh masyarakat banyak atau yang menyangkut hajat hidup orang banyak
dalam bentuk pemberian subsidi.

22
BAGIAN VI
MENYUSUN RENCANA KONSTRUKSI PRASARANA LINGKUNGAN

A. Pendahuluan

Berdasarkan SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di


Perkotaan, menyatakan bahwa SNI ini berlaku untuk:
1) perencanaan prasarana dan sarana lingkungan perumahan baru;
2) perencanaan penyediaan prasarana dan sarana lingkungan perumahan yang telah
berkembang secara terencana; dan
3) perencanaan penyediaan prasarana dan sarana lingkungan perumahan

yang yang telah berkembang secara tidak terencana.


Lingkungan perumahan harus disediakan jaringan jalan untuk pergerakan manusia dan
kendaraan, dan berfungsi sebagai akses untuk penyelamatan dalam keadaan darurat.
Dalam merencanakan jaringan jalan, harus mengacu pada ketentuan teknis tentang
pembangunan prasarana jalan perumahan, jaringan jalan dan geometri jalan yang berlaku,
terutama mengenai tata cara perencanaan umum jaringan jalan pergerakan kendaraan
dan manusia, dan akses penyelamatan dalam keadaan darurat drainase pada lingkungan
perumahan di perkotaan. Persyaratan teknis dan kriteria perencanaan jalan mengacu pada:
1) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 19/PRT/M/2011 Tentang Persyaratan
Teknis Jalan dan Kriteria Perencanaan Teknis Jalan; dan
2) Pedoman Teknis Prasarana Jalan Perumahan (Sistem Jaringan dan Geometri Jalan),
Dirjen Cipta Karya, 1998.

B. Peraturan Perundangan

1. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa


Konstruksi, dan perubahannya
2. Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dan
perubahannya
3. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 07/PRT/M/2011 tentang Standar dan
Pedoman Pengadaan Pekerjaan Konstruksi dan Jasa Konsultasi, dan perubahannya

23
C. Pokok Bahasan

Kondisi lingkungan perumahan yang belum dilengkapi dengan prasarana jalan,


dapat dilihat dalam gambar di bawah ini:

Gambar 6.1. Lingkungan perumahan yang belum dilengkapi prasarana jalan yang memadai

Gambar 6.2. Lingkungan perumahan yang sudah dilengkapi prasarana jalan yang memadai

Kriteria Jalan berdasarkan Permenpera Nomor 22 Tahun 2008, sebagai berikut:


1) Jalan akses dan Jalan poros
Ketentuan :
a) Kelas jalan :
- jalan lokal skunder I (satu jalur)
- jalan lokal skunder I (dua jalur)
- jalan lokal skunder II

24
- jalan lokal skunder III
b) dapat diakses mobil pemadam kebakaran
c) konstruksi trotoar tidak berbahaya pejalan kaki dan penyandang cacat
d) jembatan harus memiliki pagar pengaman.
2) Jalan lingkungan
Ketentuan :
a) Kelas jalan :
- jalan lingkungan I
- jalan lingkungan II
b) akses kesemua lingkungan permukiman
c) kecepatan rata-rata 5 sampai dengan 10 km/jam
d) dapat diakses mobil pemadam kebakaran
e) konstruksi trotoar tidak berbahaya pejalan kaki dan penyandang cacat
f) jembatan harus memiliki pagar pengaman.
3) Jalan setapak
Ketentuan :
a) akses ke semua persil rumah sesuai perencanaan
b) lebar 0,8 sampai 2 m

Jenis prasarana dan utilitas pada jaringan jalan yang harus disediakan ditetapkan
menurut klasifikasi jalan perumahan yang disusun berdasarkan hirarki jalan, fungsi jalan dan
kelas kawasan/lingkungan perumahan (dapat dilihat dalam tabel dan gambar di bawah ini).
Penjelasan dalam tabel ini sekaligus menjelaskan keterkaitan jaringan prasarana utilitas lain,
yaitu drainase, sebagai unsur yang akan terkait dalam perencanaan jaringan jalan.

Jalan perumahan yang baik harus dapat memberikan rasa aman dan nyaman bagi pergerakan
pejalan kaki, pengendara sepeda dan pengendara kendaraan bermotor. Selain itu harus
didukung pula oleh ketersediaan prasarana pendukung jalan, seperti perkerasan jalan, trotoar,
drainase, lansekap, rambu lalu lintas, parkir dan lain-lain.

25
Gambar 6.3. Deskripsi bagian-bagian dari jalan
Sumber : SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan
Perumahan di Perkotaan

Gambar 6.4. Potongan jalan menurut klasifikasi (Sumber : SNI 03-1733-2004 tentang Tata
Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan)

26
Tabel 6.1. Klasifikasi jalan di lingkungan perumahan

Sumber : SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di


Perkotaan

Prasarana Drainase
Lingkungan perumahan harus dilengkapi jaringan drainase sesuai ketentuan dan
persyaratan teknis yang diatur dalam peraturan/perundangan yang berlaku, terutama
mengenai tata cara perencanaan umum jaringan drainase lingkungan perumahan di
perkotaan. Salah satu ketentuan yang berlaku adalah SNI 02-2406-1991 tentang Tata
Cara Perencanaan Umum Drainase Perkotaan.
Ketentuan untuk drainase dan pengendalian banjir sesuai Permenpera Nomor
22 Tahun 2008, yaitu:
1) tinggi genangan rata-rata kurang dari 30 cm;
2) lama genangan kurang dari 1 jam;
3) setiap lingkungan perumahan harus dilengkapi dengan sistem drainase yang mempunyai
kapasitas tampung yang cukup sehingga lingkungan perumahan bebas dari genangan air;
4) sistem drainase harus dihubungkan dengan badan penerima (saluran kota, sungai, danau,
laut atau kolam yang mempunyai daya tampung cukup) yang dapat menyalurkan atau
menampung air buangan sedemikian rupa sehingga maksud pengeringan daerah dapat
terpenuhi; dan

27
5) prasarana drainase tidak menjadi tempat perindukan vektor penyakit.

Di samping itu untuk kepentingan kawasan perumahan yang lebih luas dalam upaya
mengurangi genangan air, khususnya di daerah bekas rawa-rawa perlu disediakan kolam
retensi yang berfungsi menyimpan dan meresapkan air ke dalam tanah. Pembuatan kolam
retensi dan sumur resapan dapat dilihat pada standar teknis yang ada.
Di dalam standar teknis penyediaan prasarana drainase, disamping dijelaskan
persyaratan umum dan teknis, secara rinci dijelaskan cara pengumpulan data, analisis
kerusakan dan kerugian akibat banjir, analisis konservasi, pengembangan sistem drainase,
dan pengembangan kelembagaan. Standar teknis bidang ini antara lain : SNI 06-2409-2002
dan SNI 03 2453-2002.
Prasarana Air Minum
Air merupakan kebutuhan pokok manusia dalam menunjang seluruh aktivitas
kehidupannya. Air yang diperlukan manusia harus cukup untuk seluruh kebutuhan hidup,
khususnya kebutuhan air minum.
Secara umum, setiap rumah harus dapat dilayani air bersih/air minum yang memenuhi
kebutuhan minimal bagi penghuni sesuai dengan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah
daerah. Untuk itu, lingkungan perumahan harus dilengkapi jaringan air bersih/air minum
sesuai ketentuan dan persyaratan teknis yang diatur dalam peraturan/perundangan yang
berlaku, terutama mengenai tata cara perencanaan umum jaringan air bersih lingkungan
perumahan di perkotaan.

Masalah penyediaan air bersih/air minum dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

28
Gambar 6.5. Masyarakat memenuhi kebutuhan air dari sumber yang tidak memadai

Gambar 6.6. Pelayanan air bersih melalui mobil tangki air

Jenis-jenis elemen perencanaan pada jaringan air bersih yang harus disediakan
pada lingkungan perumahan di perkotaan adalah:
1) kebutuhan air bersih;
2) jaringan air bersih;
3) kran umum; dan
4) hidran kebakaran.

Layanan air minum dalam kawasan dapat diberikan oleh PDAM atau Badan
pengelola air minum kawasan/swasta, atau dapat pula menyediakan sendiri/ komunal
melalui sumur gali, pantek sesuai persyaratan teknis yang berlaku.
Standar kelayakan kebutuhan air bersih adalah 49,5 liter/kapita/hari. Badan dunia
UNESCO sendiri pada tahun 2002 telah menetapkan hak dasar manusia atas air yaitu
sebesar 60 ltr/org/hari. Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum
membagi lagi standar kebutuhan air minum tersebut berdasarkan lokasi wilayah, sebagai
berikut:
1) Perdesaan dengan kebutuhan 60 liter/per kapita/hari.
2) Kota Kecil dengan kebutuhan 90 liter/per kapita/hari.

29
3) Kota Sedang dengan kebutuhan 110 liter/per kapita/hari.
4) Kota Besar dengan kebutuhan 130 liter/per kapita/hari.
5) Kota Metropolitan dengan kebutuhan 150 liter/per kapita/hari.
Penanganan air minum di kawasan perumahan meliputi:
1) pengendalian kualitas air melalui proses pemeriksaan periodik sesuai
ketentuan teknis yang berlaku; dan
2) pembuatan sumur dalam, untuk keperluan persil (cluster).

Ketentuan untuk penyediaan air minum, yaitu:


1) Untuk permukiman di kawasan perkotaan sebesar 60-220 lt/orang/hari.
2) Untuk lingkungan perumahan sebesar 30-50 lt/orang/hari.
3) Apabila disediakan melalui kran umum:
a) kran umum disediakan untuk jumlah pemakai 220 jiwa;
b) Radius pelayanan maksimum 100 meter; dan
c) Kapasitas minimum 30 lt/orang/hari.

Unit pelayanan air minum, terdiri dari : sambungan rumah, hidran umum, dan hidran
kebakaran. Untuk mengukur besaran pelayanan pada sambungan rumah dan hidran umum
harus dipasang alat ukur berupa meteran air. Adapun untuk menjamin keakurasiannya,
meter air wajib ditera secara berkala oleh instansi yang berwenang.
Apabila sumber air minum berasal dari sumur, maka pemilihan lokasi sumur harus
mempertimbangkan jarak dari sumber pencemar potensial yang bisa menimbulkan
pencemaran pada sumur yang akan dibangun sebagaimana tabel di bawah ini.
Tabel 6.2. Jarak Minimum Sumur dari Sumber Pencemaran Potensial
Jarak (m) Sumber Pencemaran Potensial
100 Tempat pembuangan sampah, bengkel, pompa
bensin, Industri yang menghasilkan zat
pencemar, penyimpanan bahan B3, dll
59 Sumur peresapan air limbah
30 WC cubluk, kandang ternak, sawah atau tegal
15 Tangki Septik, badan air (sungai, rawa, danau,
embung)
7 Saluran drainase, selokan atau rumah
Sumber : Pedoman Desain Penyediaan Air Bersih

30
Jika lokasi sumur berada pada daerah tidak datar (miring) maka sumur tidak boleh
terletak di bagian bawah dari sumber pencemar.
Prasarana Air Limbah
Lingkungan perumahan harus dilengkapi sistem pengolahan air limbah sesuai
ketentuan dan persyaratan teknis yang diatur dalam peraturan/perundangan yang berlaku,
terutama mengenai tata cara perencanaan umum jaringan air limbah lingkungan perumahan
di perkotaan.
Apabila tidak ada sistem pengolahan air limbah, masyarakat akan memenuhi
kebutuhan pembuangan limbahnya di berbagai tempat yang ada, seperti di sungai, kebun,
pantai/laut dan sebagainya.
Potret aktifitas masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pembuangan limbah dapat
dilihat pada gambar-gambar di bawah ini:

Gambar 6.7. Masyarakat memenuhi kebutuhan MCK di sungai

31
Gambar 6.8. Masyarakat melakukan BAB di kebun, empang, sungai, saluran, dan pantai/laut

Air limbah rumah tangga atau air limbah domestik dibedakan menjadi dua yaitu grey
water dan black water. Grey water adalah air limbah non kakus seperti air limbah yang
dihasilkan dari kegiatan sehari-hari seperti mandi dan mencuci sedangkan untuk air limbah
kakus disebut black water. Adapun sistem pengolahan limbah terdiri dari 2 macam yaitu
sistem pengolahan on-site dan sistem off-site.
1. Sistem Sanitasi Setempat (on-site)

Sistem sanitasi setempat (On-site sanitation) adalah sistem pembuangan air limbah
dimana air limbah tidak dikumpulkan serta disalurkan ke dalam suatu jaringan saluran yang
akan membawanya ke suatu tempat pengolahan air buangan atau badan air penerima,
melainkan dibuang di tempat (Ayi Fajarwati, Penyaluran Air Buangan Domestik, 2000).
Sistem ini dipakai jika syarat-syarat teknis lokasi dapat dipenuhi dan menggunakan biaya
relatif rendah. Sistem ini sudah umum karena telah banyak dipergunakan di Indonesia.
Kelebihan sistem ini adalah:
a) Biaya pembuatan relatif murah.

32
b) Bisa dibuat oleh setiap sektor ataupun pribadi.
c) Teknologi dan sistem pembuangannya cukup sederhana.
d) Operasi dan pemeliharaan merupakan tanggung jawab pribadi.

Adapun kekurangan sistem on-site adalah:


a) Umumnya tidak disediakan untuk limbah dari dapur, mandi dan cuci.
b) Mencemari air tanah bila syarat-syarat teknis pembuatan dan pemeliharaan
tidak dilakukan sesuai aturannya.

Pada penerapan sistem setempat ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi (DPU
1989) antara lain:
a) Kepadatan penduduk kurang dari 200 jiwa /ha.
b) Kepadatan penduduk 200-500 jiwa/ha masih memungkinkan dengan syarat
penduduk tidak menggunakan air tanah.
c) Tersedia truk penyedotan tinja.
2. Sistem Sanitasi Terpusat (off-site)

Sistem sanitasi terpusat (off-site sanitation) merupakan sistem pembuangan air


buangan rumah tangga (mandi, cuci, dapur, dan limbah kotoran) yang disalurkan keluar dari
lokasi pekarangan masing-masing rumah ke saluran pengumpul air buangan dan selanjutnya
disalurkan secara terpusat ke bangunan pengolahan air buangan sebelum dibuang ke badan
perairan (Ayi Fajarwati, Penyaluran Air Buangan Domestik, 2000).
Sistem Sanitasi Terpusat terbagi menjadi 2 (dua), yaitu:
a) Sistem Penyaluran Terpisah atau biasa disebut separate system/full sewerage adalah
sistem dimana air buangan disalurkan tersendiri dalam jaringan riol tertutup, sedangkan
limpasan air hujan disalurkan tersendiri dalam saluran drainase khusus untuk air yang
tidak tercemar (Ayi Fajarwati, Penyaluran Air Buangan Domestik, 2000).
b) Sistem Penyaluran Konvensional (conventional sewer) merupakan suatu jaringan
perpipaan yang membawa air buangan ke suatu tempat berupa bangunan pengolahan
atau tempat pembuangan akhir seperti badan air penerima. Sistem ini terdiri dari
jaringan pipa persil, pipa lateral, dan pipa induk yang melayani penduduk untuk suatu
daerah pelayanan yang cukup luas (Maryam Dewiandratika, Sistem Penyaluran Air
Limbah, 2002).

33
Jenis-jenis elemen perencanaan pada jaringan air limbah yang harus disediakan
pada lingkungan perumahan di perkotaan adalah:
1) septik tank;
2) bidang resapan; dan
3) jaringan perpipaan air limbah

Dalam Permenpera Nomor 22 Tahun 2008, tercantum ketentuan terkait


pengolahan air limbah rumah tangga, yaitu:
a) limbah cair yang berasal dari rumah tangga tidak mencemari sumber air,
b) tidak menimbulkan bau, dan tidak mencemari permukaan tanah
c) Pengosongan lumpur tinja 2 tahun sekali
d) apabila kemungkinan membuat tankiseptik tidak ada, maka lingkungan
e) perumahan yang baru harus dilengkapi dengan sistem pembuangan
sanitasi lingkungan atau harus dapat disambung dengan sistem
pembuangan sanitasi kota atau dengan cara pengolahan lain.

Prasarana Persampahan
Pada awalnya, permukiman seperti perdesaan memiliki kepadatan penduduk yang
masih sangat rendah. Secara alami tanah/alam masih dapat mengatasi pembuangan sampah
yang dilakukan secara sederhana (gali urug). Makin padat penduduk suatu permukiman atau
kota dengan segala aktivitasnya, sampah tidak dapat lagi diselesaikan di tempat; sampah
harus dibawa keluar dari lingkungan hunian atau lingkungan lainnya. Permasalahan sampah
semakin perlu untuk dikelola secara profesional.
Saat ini pengelolaan persampahan menghadapi banyak tekanan terutama akibat
semakin besarnya timbulan sampah yang dihasilkan masyarakat baik produsen maupun
konsumen. Hal ini menjadi semakin berat dengan masih dimilikinya paradigma lama
pengelolaan yang mengandalkan kegiatan pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan;
yang kesemuanya membutuhkan anggaran yang semakin besar dari waktu ke waktu; yang
bila tidak tersedia akan menimbulkan banyak masalah operasional seperti sampah yang
tidak terangkut, fasilitas yang tidak memenuhi syarat, cara pengoperasian fasilitas yang tidak
mengikuti ketentuan teknis.

34
Beberapa Prinsip dan Pertimbangan Pengelolaan Persampahan:
1) Paradigma lama penanganan sampah secara konvensional yang bertumpu pada
proses pengumpulan, pengangkutan dan pembuangan akhir perlu diubah dengan
mengedepankan proses pengurangan dan pemanfaatan sampah.
2) Pengurangan dan pemanfaatan sampah secara signifikan dapat mengurangi
kebutuhan pengelolaan sehingga sebaiknya dilakukan di semua tahap yang
memungkinkan baik sejak di sumber, TPS, Instalasi Pengolahan, dan TPA.
3) Pengurangan dan pemanfaatan sampah sejak sumber akan memberikan dampak
positif paling menguntungkan yang berarti peran serta masyarakat perlu dijadikan
target utama.
4) Sampah B3 rumah tangga perlu mendapat perhatian dalam penanganannya agar tidak
mengganggu lingkungan maupun kualitas sampah dalam pengolahan di hilirnya.
5) Karakteristik sampah dengan kandungan organik tinggi (70-80%) merupakan potensi
sumber bahan baku kompos sebagai soil conditioner dan energi (gas metan) melalui
proses dekomposisi secara anaerob.
6) Daur ulang oleh sektor informal sejauh memungkinkan diupayakan menjadi bagian
dari sistem pengelolaan sampah perkotaan.
7) Insinerator sebaiknya hanya dilakukan untuk kota-kota yang memiliki tingkat kesulitan
tinggi dalam penyediaan lokasi TPA dan memiliki karakteristik sampah yang sesuai,
serta menerapkan teknologi yang ramah lingkungan.
8) Tempat Pembuangan Akhir merupakan alternatif terakhir penanganan sampah
mengingat potensi dampak negatif yang tinggi. Pemanfaatan secara berulang
sebaiknya diupayakan dengan memperhatikan kualitas produk “kompos” yang
dihasilkan.

Pada dasarnya pengelolaan sampah ada 2 macam, yaitu pengelolaan/


penanganan sampah setempat (individu) dan pengelolaan sampah terpusat untuk suatu
lingkungan pemukiman atau kota.
1) Penanganan Setempat

Penanganan setempat dimaksudkan penanganan yang dilaksanakan sendiri oleh


penghasil sampah dengan menanam dalam galian tanah pekarangannya atau dengan
cara lain yang masih dapat dibenarkan. Hal ini dimungkinkan bila daya dukung

35
lingkungan masih cukup tinggi misalnya tersedianya lahan, kepadatan penduduk yang
rendah, dll.
2) Pengelolaan Terpusat

Pengelolaan persampahan secara terpusat adalah suatu proses atau kegiatan


penanganan sampah yang terkoordinir untuk melayani suatu wilayah/kota. Pengelolaan
sampah secara terpusat mempunyai kompleksitas yang besar karena cakupan berbagai
aspek yang terkait. Aspek- aspek tersebut dikelompokkan dalam 5 aspek utama, yakni
aspek institusi, hukum, teknis operasional, pembiayaan dan retribusi serta aspek peran
serta masyarakat.
Pengelolaan sampah pada kawasan perumahan, meliputi penentuan timbulan dan
densitas dan komposisi sampah, prediksi beban timbulan sampah, pengelolaan sampah
tingkat kawasan, dan teknik operasional pengelolaan sampah pada kawasan
perumahan. Standar teknis bidang ini antara lain: SNI 19- 3964-1994 dan SNI 03-3242-
1994 dan SNI 19-3983-1995.

Prasarana Jaringan Listrik


Lingkungan perumahan harus dilengkapi perencanaan penyediaan jaringan listrik sesuai
ketentuan dan persyaratan teknis yang mengacu pada:
1) SNI 04-6267.601-2002 tentang Istilah Kelistrikan (Bab 601: Pembangkitan, Penyaluran
dan Pendistribusian Tenaga Listrik-Umum);
2) SNI 04-8287.602-2002 tentang Istilah Kelistrikan (Bab 602: Pembangkitan); dan
3) SNI 04-8287.603-2002 tentang Istilah kelistrikan (Bab 603: Pembangkitan, Penyaluran
dan Pendistribusian Tenaga Listrik – Perencanaan dan Manajemen Sistem Tenaga
Listrik).

Pemasangan seluruh instalasi di dalam lingkungan perumahan ataupun dalam


bangunan hunian juga harus direncanakan secara terintegrasi dengan berdasarkan
peraturan-peraturan dan persyaratan tambahan yang berlaku, seperti:
1) Peraturan Umum Instalasi Listrik (PUIL);
2) peraturan yang berlaku di PLN wilayah setempat; dan
3) peraturan-peraturan lain yang masih juga dipakai seperti antara lain AVE.

36
Jenis elemen perencanaan
Jenis-jenis elemen perencanaan pada jaringan listrik yang harus disediakan
pada lingkungan perumahan di perkotaan adalah:
a) kebutuhan daya listrik; dan
b) jaringan listrik.
Persyaratan, kriteria dan kebutuhan
Beberapa persyaratan, kriteria dan kebutuhan yang harus dipenuhi adalah:
a) Penyediaan kebutuhan daya listrik
- setiap lingkungan perumahan harus mendapatkan daya listrik dari PLN atau
dari sumber lain; dan
- setiap unit rumah tangga harus dapat dilayani daya listrik minimum 450 VA
per jiwa dan untuk sarana lingkungan sebesar 40% dari total kebutuhan
rumah tangga.
a) Penyediaan jaringan listrik
- disediakan jaringan listrik lingkungan dengan mengikuti hirarki pelayanan,
dimana besar pasokannya telah diprediksikan berdasarkan jumlah unit hunian
yang mengisi blok siap bangun;
- disediakan tiang listrik sebagai penerangan jalan yang ditempatkan ada area
damija (daerah milik jalan) pada sisi jalur hijau yang tidak menghalangi sirkulasi
pejalan kaki di trotoar (lihat Gambar 1 mengenai bagian-bagian pada jalan);
- disediakan gardu listrik untuk setiap 200 KVA daya listrik yang ditempatkan
pada lahan yang bebas dari kegiatan umum;
- adapun penerangan jalan dengan memiliki kuat penerangan 500 lux dengan
tinggi > 5 meter dari muka tanah; dan
- sedangkan untuk daerah di bawah tegangan tinggi sebaiknya tidak
dimanfaatkan untuk tempat tinggal atau kegiatan lain yang bersifat permanen
karena akan membahayakan keselamatan.

Ruang Terbuka Hijau (RTH)


Mengacu pada Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Nomor: 34/PERMEN/M/2006 tentang
Pedoman Umum Penyelenggaraan Keterpaduan Prasarana, Sarana Dan Utilitas (PSU)
Kawasan Perumahan, ketentuan tentang Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah sebagai berikut:

37
1) Kawasan perumahan perlu menyediakan ruang terbuka hijau yang bermanfaat untuk
menjaga kualitas dan keseimbangan lingkungan di sekitar kawasan.
2) Ruang terbuka hijau, bermanfaat tidak langsung seperti perlindungan tata air, dan
konservasi hayati atau keaneka-ragaman hayati, dan bermanfaat langsung seperti
kenyamanan fisik (teduh, segar) dan mendapatkan bahan untuk dijual (kayu, daun,
bunga), tempat wisata (bermain) serta bangunan umum yang bersifat terbatas (WC
umum, pos polisi, lampu taman, gardu listrik, dan lain-lain).
3) Persyaratan ruang terbuka hijau didasarkan luas wilayah dan berdasarkan jumlah
penduduk.
4) Untuk persyaratan luas wilayah, ditentukan bahwa ruang terbuka hijau publik (milik
pemerintah dan terbuka untuk umum) dan privat (perorangan) paling sedikit 10
(sepuluh) persen dari seluruh luas wilayah kawasan perumahan, atau mengacu pada
peraturan perundang-undandangan yang berlaku.
5) Untuk persyaratan jumlah penduduk, ditentukan luas per kapita dalam m2. Misalnya
jumlah penduduk 250 jiwa sampai dengan 480.000 jiwa, diperlukan RTH sebesar 1 m2
sampai dengan 0,3 m2 per kapita.
6) Bentuk tipologi ruang terbuka hijau berupa ruang terbuka hijau taman lingkungan dan
taman kota, jalur hijau, jalur hijau sempadan sungai, jalur hijau sempadan rel kereta api,
jalur hijau tegangan tinggi, RTH pemakaman dan RTH pekarangan.
7) Kriteria penyediaan ruang terbuka hijau adalah pemilihan vegetasi, ketentuan
penanaman, dan pemeliharaan ruang terbuka hijau.
8) Ruang terbuka hijau perlu dilakukan pengelolaan secara rutin oleh Pemerintah daerah,
dalam pengelolaan RTH ini diperlukan peran serta masyarakat, swasta, dan organisasi
non pemerintah.
9) Standar teknis bidang RTH antara lain : sesuai 009/T/BT/1995.

38

Anda mungkin juga menyukai