Anda di halaman 1dari 116

PERANCANGAN SISTEM PERPIPAAN REAKTOR SAMOP

DENGAN BAHAN STAINLESS STEEL 304

TUGAS AKHIR

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Memperoleh Gelar Sarjana Teknik
Jurusan Teknik Mesin

disusun oleh:
YULIUS HANSTYAKA PUDYANTARA
NIM : 065214060

PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN


JURUSAN TEKNIK MESIN
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2008
DESIGNING OF SAMOP REACTOR PIPING SYSTEM
USING 304 STAINLESS STEEL

A FINAL PROJECT

Presented as Partial Fulfillment of the Requirements


to Obtain the Sarjana Teknik Degree
in Mechanical Engineering

by:
YULIUS HANSTYAKA PUDYANTARA
Student Number: 065214060

MECHANICAL ENGINEERING STUDY PROGRAM


MECHANICAL ENGINEERING DEPARTMENT
SCIENCE AND TECHNOLOGY FACULTY
SANATA DHARMA UNIVERSITY
YOGYAKARTA
2008

ii
HALAMAN PERSETUJUAN
TUGAS AKHIR

PERANCANGAN SISTEM PERPIPAAN REAKTOR SAMOP


DENGAN BAHAN STAINLESS STEEL 304

Oleh :
YULIUS HANSTYAKA PUDYANTARA
NIM : 065214060

Telah disetujui oleh:

Pembimbing I Pembimbing II

Budi Setyahandana, S.T., M.T. Prof. Ir. Yohanes Sardjono, APU.

iii
PENGESAHAN TUGAS AKHIR

PERANCANGAN SISTEM PERPIPAAN REAKTOR SAMOP


DENGAN BAHAN STAINLESS STEEL 304

Dipersiapkan dan ditulis oleh :

YULIUS HANSTYAKA PUDYANTARA

NIM : 065214060

Telah dipertahankan didepan Panitia Penguji


Pada tanggal 12 Mei 2008
dan dinyatakan memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji


Nama Lengkap Tanda Tangan

Ketua : Ir. Rines, M.T. ..............................................

Sekretaris : Doddy Purwadianto, S.T., M.T. ..............................................

Anggota : Budi Setyahandana, S.T., M.T. ..............................................

Anggota : Prof. Ir. Yohanes Sardjono, APU. ..............................................

Yogyakarta, 31 Mei 2008


Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
Dekan

Ir. Greg. Heliarko, S.J., S.S., B.S.T., M.A., M.Sc.

iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

“Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir yang

saya tulis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk

memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi manapun,

dan tidak memuat hasil karya atau bagian karya orang lain, kecuali

yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka,

sebagaimana layaknya karya ilmiah.”

Yogyakarta, Mei 2008

Yulius Hanstyaka Pudyantara

v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :

Nama : Yulius Hanstyaka Pudyantara


Nomor Mahasiswa : 065214060

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan


Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

PERANCANGAN SISTEM PERPIPAAN REAKTOR SAMOP DENGAN


BAHAN STAINLESS STEEL 304

Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata


Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain,
mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas dan
mempublikasikannnya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis
tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya
selama mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya untuk dapat dipergunakan
sebagaimana mestinya.

Yogyakarta, 7 Juni 2008


Yang menyatakan,

(Y. Hanstyaka Pudyantara)

vi
Kupersembahkan tugas akhir ini kepada :

Allah Bapa di Surga atas Terang yang Engkau berikan

Tuhan Yesus Kristus atas penyertaan dan bimbinganNya selalu

Bunda Maria atas perlindungan dan kasih sayangNya

Bapak dan Ibu Tercinta

Petrus Titus Srihono dan Margareta Maria Suprapti

atas segala pengorbanan, dukungan, semangat serta doa

Saudara saudariku tercinta Hana dan Agung, Hesti serta Ivon

Kekasihku tercinta Florentina Yeni Susanti (Neyzt)

Almamaterku Teknik Mesin USD

Sacra Familia Choir

vii
MOTTO

Nothing that better than an experience.

If you want to stay, so you’ll be stay. If you want to move, you’ll be moved.
And if you want to start, you’ll find your way.

Think of goodness, so you’ll feel better.

Kadang-kadang cahaya kita mati,


tapi dinyalakan kembali oleh seorang manusia lain.
Kita semua berhutang terima kasih yang paling dalam kepada mereka
yang telah menyalakan lagi cahaya ini.
(Albert Schweitzer)

Don’t tell them how to do it, but show them how to do that and don’t tell
anything. If you tell them, they know your lips. But if you show them, they’re do
by them self.
(Maria Montessori)

Be careful with your mind, because they’re will be words.


Be careful with your words, because they’re will be a habit.
Be careful with your habits, because they’re will be a character.
Be careful with your characters, because it will be your destiny.
(Frank Outlow)

viii
INTISARI

Reaktor SAMOP (Sub Critical Assembly for Mo99 Production) adalah


suatu alat yang berfungsi untuk memproduksi radioisotop Mo99 sebagai
pembangkit Tc99m yang sangat berguna untuk diagnostik dalam bidang kedokteran
nuklir. Radioisotop Mo99 diperoleh dengan ekstraksi Uranium Nitrat
(UO2(NO3)2), yang saat ini sedang dikembangkan oleh Badan Tenaga Nuklir
Nasional (BATAN) Yogyakarta.

Reaktor SAMOP menggunakan sistem perpipaan sebagai komponen


utama dan dirancang dengan bahan pipa Stainless Steel 304, dengan ukuran pipa
3/8 inchi. Dengan mengacu pada ANSI/ASME B31.3, proses perancangan
dilakukan dengan menghitung ketebalan minimum pipa berdasarkan usia
pemakaian yaitu 5 sampai dengan 10 tahun, tekanan sebesar 1 atm, temperatur
50°C dan laju korosi sebesar 0,01 mm/tahun. Aplikasi pengerjaan, instalasi,
hingga proses pengujian, serta pengambilan data telah dilakukan dengan membuat
prototipe. Serta telah dilakukan pengujian untuk mengamati hasil perancangan.

Hasil perancangan berdasarkan hitungan diperoleh tebal nominal pipa


untuk pemakaian 5 tahun adalah 0,59 mm. Dengan mengacu pada tabel dimensi
pipa pada nominal pipa 3/8 inchi, maka tebal nominal pipa yang dipakai adalah
1,61 mm. Dengan demikian pipa dapat digunakan hingga 10 tahun. Untuk
pengujian instalasi dengan menggunakan air mineral sebagai fluida penguji
pengganti Uranium Nitrat, dan dengan tekanan 1 atm (tanpa tekanan tambahan),
serta pada suhu normal yaitu 27°C diperoleh laju aliran dari tabung reservoir
menuju teras SAMOP sebesar 2,06 liter/menit dan dari teras SAMOP menuju
tabung tunda adalah sebesar 2,034 liter/menit.

ix
ABSTRACT

SAMOP (Sub Critical Assembly for Mo99 Production) Reactor is a device


functioning for radioisotope Mo99 production as generator Tc99m which can be use
for diagnostic in the field of nuclear medicine. It’s being developed by Badan
Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) in Yogyakarta by extraction of Uranium
Nitrate (UO2(NO3)2).

SAMOP Reactor applies piping system as a principal component with


Stainless Steel 304 material, by nominal pipe is 3/8 inch. By ANSI/ASME B31.3
references, process of design is started by calculating thickness of pipe based on
usage life is 5 until 10 years, pressure is 1 atm, temperature is 50°C and corrosion
rate is 0,01 mm/years. The application of design, installation, until testing process,
and also intake of data is implemented and also has been tested to observing the
result.

Based on calculation, a nominal thickness design of pipe for 5 years usage


is result 0,59 mm. By relating at tables of pipe dimension at 3/8 inch nominal
pipe, nominal thickness of pipe is used 1,61 mm. In this case pipe have 10 years
usage life. For assaying of installation, pure water is used as fluid tester as the
substitution of Uranium Nitrate. With 1 atmosphere of pressure (additional non-
pressure) and in 27°C of temperature, obtained flow-rate from reservoir-tube to
reactor-tube equal to 2,06 liters/minute and from reactor-tube to delay-tube is
2,034 liters/minute.

x
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan bimbingan-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini, dengan judul

“Perancangan Sistem Perpipaan Reaktor SAMOP dengan Bahan Stainless Steel

304”.

Dalam proses penulisan Tugas Akhir ini penulis menyadari bahwa ada

begitu banyak pihak yang telah memberikan perhatian dan bantuan sehingga

Tugas Akhir ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan

terima kasih kepada :

1. Ir. Greg. Heliarko, S.J., S.S., B.S.T., M.A., M.Sc., Dekan Fakultas

Sains dan Teknologi, Universitas Sanata Dharma.

2. Budi Sugiharto, S.T., M.T., Ketua Program Studi Jurusan Teknik

Mesin, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Sanata Dharma.

3. Budi Setyahandana, S.T., M.T., Dosen Pembimbing penyusunan Tugas

Akhir.

4. Prof. Ir. Yohanes Sardjono, APU., Pembimbing penyusunan Tugas

Akhir dari Badan Teknologi Tenaga Nuklir (BATAN) Yogyakarta.

5. Ir. Rines, M.T., Ketua Penguji Ujian Pendadaran Tugas Akhir.

6. Doddy Purwadianto, S.T., M.T., Sekretaris Penguji Ujian Pendadaran

Tugas Akhir.

7. Seluruh Dosen Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Sains dan Teknologi,

Universitas Sanata Dharma.

xi
8. Segenap Karyawan Badan Teknologi Tenaga Nuklir (BATAN)

Yogyakarta.

9. Seluruh Karyawan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Sanata

Dharma

10. Welly dan Gunawan, teman satu timku.

11. Damar, Adi, Lia, Agung, Andri, Maria, Era dan semua saudara-

saudariku.

12. Oscar, Iwan, Aries, Ruly, Yoga, Rinto, Rudy, Adji dan semua teman

baikku.

13. Semua pihak yang telah berpartisipasi dalam proses penulisan naskah

tugas akhir ini yang tidak bisa disebutkan satu-persatu.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan naskah

tugas akhir ini karena keterbatasan dan pengetahuan. Untuk itu penulis mengharap

kritik dan saran yang bersifat membangun guna lebih sempurnanya tugas akhir

ini. Akhir kata semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi penulis pada

khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Terima kasih.

Yogyakarta, 5 Mei 2008

Penulis

xii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................... iii

PENGESAHAN TUGAS AKHIR ..................................................................... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ............................................................ v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN .................................................. vi

PERSEMBAHAN .............................................................................................. vii

MOTTO ............................................................................................................. viii

INTISARI ........................................................................................................... ix

ABSTRACT ....................................................................................................... x

KATA PENGANTAR ....................................................................................... xi

DAFTAR ISI ...................................................................................................... xiii

DAFTAR TABEL .............................................................................................. xvii

DAFTAR GAMBAR .........................................................................................xviii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1

1.1 Pengertian Umum .............................................................................. 1

1.2 Latar Belakang Masalah .................................................................... 1

1.3 Tujuan Perancangan .......................................................................... 2

1.4 Batasan Masalah ................................................................................ 2

BAB II DASAR TEORI ................................................................................. 5

2.1. Baja Tahan Karat (Stainless Steels) ................................................... 5

2.2. Spesifikasi dari Masing-masing Jenis Baja Tahan Karat .................. 9

xiii
2.2.1. Baja Tahan Karat Martensit (Martensitic Stainless Steel) ..... 9

2.2.2. Baja Tahan Karat Ferit (Ferritic Stainless Steel) ................... 10

2.2.3. Baja Tahan Karat Austenit (Austenitic Stainless Steel) ......... 11

2.2.4. Baja Tahan Karat Dupleks (Duplex Stainless Steel) .............. 12

2.2.5. Baja Tahan Karat Pengerasan Endapan (Precipitation

Hardening Steel) .................................................................... 13

2.3. Korosi Pada Stainless Steel ................................................................ 14

2.3.1. Korosi Merata (Uniform Corrosion) ..................................... 15

2.3.2. Korosi Lubang (Pitting Corrosion) ....................................... 15

2.3.3. Korosi Antar Celah (Crevice Corrosion) .............................. 18

2.3.4. Retakan Korosi Regangan (Stress Corrosion Cracking) ....... 19

2.3.5. Korosi Antar Butir (Intergranular Corrosion) ...................... 21

2.3.6. Galvanic Corrosion ............................................................... 23

2.4. Baja Tahan Karat 304 (SS 304) ......................................................... 24

2.4.1. Ketahanan Baja Tahan Karat 304 Terhadap Korosi Merata

(Uniform Corrosion) ............................................................... 27

2.4.2. Ketahanan Baja Tahan Karat 304 Terhadap Korosi Antar

Butir (Intergranular Corrosion) ............................................. 28

2.4.3. Ketahanan Baja Tahan Karat 304 Terhadap Korosi Retakan

Korosi Tegangan (Stress Corrosion Cracking) ...................... 29

2.4.4. Ketahanan Baja Tahan Karat 304 Terhadap Pitting/Crevice

Corrosion ................................................................................ 30

xiv
2.5. Uranium Nitrat (UO2(NO3)2) ............................................................. 31

2.5.1. Atom Uranium ....................................................................... 32

2.5.2. Energi dari Atom Uranium .................................................... 33

BAB III PERANCANGAN ............................................................................. 34

3.1. Perancangan Pipa ............................................................................... 34

3.1.1. Perancangan Pipa Reaktor SAMOP ...................................... 34

3.1.2. Perhitungan Tebal Minimum Pipa ......................................... 34

3.1.3. Perhitungan Tekanan yang Diijinkan .................................... 37

3.1.4. Ulir Pada Pipa ........................................................................ 41

3.2. Perancangan Instalasi Pipa Reaktor SAMOP .................................... 43

3.3. Diagram Alir Perancangan ................................................................ 45

BAB IV PERHITUNGAN DAN PENGERJAAN .......................................... 46

4.1. Perhitungan Pipa ................................................................................ 46

4.1.1. Perhitungan Ketebalan Pipa ................................................... 46

4.1.2. Tekanan yang Diijinkan ......................................................... 49

4.1.3. Pengaruh Ulir Pada Sambungan Pipa .................................... 49

4.2. Pengerjaan Pipa Reaktor SAMOP ..................................................... 51

4.2.1. Bahan Perpipaan Reaktor SAMOP ........................................ 51

4.2.2. Alat ........................................................................................ 54

4.2.3. Pemotongan dan Pengerjaan Pipa .......................................... 55

4.2.4. Membuat Flens ...................................................................... 56

4.2.5. Membuat Sambungan Pipa Silang (Cross) ............................ 56

4.3. Sistem Instalasi Pipa Reaktor SAMOP ............................................. 56

xv
4.4. Proses Instalasi Pipa Reaktor SAMOP .............................................. 57

4.4.1. Perpipaan ............................................................................... 57

4.4.2. Bahan Tambahan ................................................................... 58

4.4.3. Alat-alat Yang Diperlukan Pada Saat Proses Instalasi .......... 59

4.4.4. Rancangan Baru ..................................................................... 59

4.4.5. Instalasi Pipa Reaktor SAMOP ............................................. 61

4.5. Metode Pengujian Instalasi Pipa Reaktor SAMOP ........................... 61

4.5.1. Persiapan ................................................................................ 62

4.5.2. Tes Kebocoran ....................................................................... 62

4.5.3. Pengujian ............................................................................... 63

4.6. Hasil Pengujian .................................................................................. 64

4.6.1. Uji Kebocoran ........................................................................ 65

4.6.2. Pengujian Instalasi Reaktor SAMOP ..................................... 65

BAB V KESIMPULAN DAN PENUTUP ..................................................... 66

5.1. Kesimpulan ........................................................................................ 66

5.2. Saran .................................................................................................. 66

5.3. Penutup .............................................................................................. 67

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

xvi
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Perbandingan sifat mekanik berbagai jenis stainless steel. .......... 13

Tabel 2.2. Unsur kimia pada baja tahan karat 304, 304L dan 304H. ............. 26

Tabel 2.3. Sifat mekanik stainless steel AISI 304. ........................................ 26

Tabel 2.4. Sifat fisik dan listrik stainless steel AISI 304 pada kondisi

annealed. ....................................................................................... 27

Tabel 2.5. Laju korosi pada baja tahan karat 304 terhadap nitric acid. ......... 28

Tabel 2.6. Intergranular Corrosion Tests. ..................................................... 29

Tabel 2.7. Halide (Chloride Stress Corrosion Tests). ................................... 30

Tabel 3.1. Stainless Steel Pipe Dimensions. .................................................. 35

Tabel 3.2. Increased Casting Quality Factor Ec. ........................................... 38

Tabel 3.3. Straight and Spiral Longitudinal Weld Joint Quality Factor Ej. ... 38

Tabel 3.4. Values of Y Coefficient. ................................................................. 38

Tabel 3.5a. Allowable Stresses in Tension for Metals, SE, KSI. ..................... 39

Tabel 3.5b. Allowable Stresses in Tension for Metals, SE, KSI (lanjutan) ...... 40

Tabel 3.6. Tapping Drills for Pipe ................................................................. 41

Tabel 3.7. Tapping and Clearance Drills for Number Machine Screws ....... 42

Tabel 3.8. Ukuran Sambungan Pipa (Pipe Fittings) ...................................... 43

Tabel 4.1. Data laju aliran dan tekanan. ......................................................... 65

xvii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Skema dasar Reaktor SAMOP ................................................. 4

Gambar 2.1. Diagram fase Fe-Cr. ................................................................. 8

Gambar 2.2. Diagram schaefler. ................................................................... 8

Gambar 2.3. Hubungan antara temperatur mula dan waktu pembentukan

fase σ dan kegetasan 475°C pada baja Cr tinggi. ..................... 11

Gambar 2.4. Hubungan berbagai jenis stainless steel. .................................. 14

Gambar 2.5. Uniform corrosion yang menyebabkan berkurangnya dimensi

permukaan logam secara merata. .............................................. 15

Gambar 2.6. Ilustrasi pitting corrosion pada stainless steel. ......................... 17

Gambar 2.7. Skema proses kimia yang terjadi saat pitting corrosion

menyerang dan terus merusak logam Stainless Steel. ............... 18

Gambar 2.8. Ilustrasi crevice corrosion yang menyerang saat 2 material

bertemu dan membentuk celah sempit, sehingga terjadi

perbedaan kandungan oksigen yang menyebabkan korosi. ...... 19

Gambar 2.9. Ilustrasi stress cracking corrosion akibat adanya tegangan

sisa dan lingkungan korosif. ..................................................... 21

Gambar 2.10. Ilustrasi korosi pada butir akibat terjadinya sensitasi

krom (Cr) .................................................................................. 22

Gambar 2.11. Ilustrasi terjadinya korosi antara dua logam yang berbeda

jenis keaktifannya (logam A dan B).......................................... 23

Gambar 2.12. Nucleus with the isotopes. ......................................................... 33

Gambar 2.13. Chain reaction of a fission. ....................................................... 33

xviii
Gambar 3.1. Dimensi sambungan pipa (pipe fittings) .................................. 43

Gambar 3.2. Perancangan instalasi pipa reaktor SAMOP ............................ 44

Gambar 3.3. Diagram alir perancangan ........................................................ 45

Gambar 4.1. Pipa stainless steel 304 ............................................................. 52

Gambar 4.2. Berbagai macam sambungan pipa (fitting) stainless steel 304 52

Gambar 4.3. Katup jenis bola (ball valve) .................................................... 53

Gambar 4.4. Flens (flange) dengan baut-bautnya. ........................................ 53

Gambar 4.5. Cara memotong pipa ................................................................ 55

Gambar 4.6. Cara membuat ulir pada pipa ................................................... 55

Gambar 4.7. Dimensi flens (flange) .............................................................. 56

Gambar 4.8. Skema instalasi reaktor SAMOP (penyesusaian) ..................... 60

xix
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pengertian Umum

Dewasa ini banyak dikembangkan teknologi yang diharapkan sangat

berguna bagi keperluan masyarakat, terutama pada bidang layanan kesehatan.

Reaktor SAMOP (Sub Critical Assembly for Mo99 Production) merupakan

salah satu teknologi yang sedang dikembangkan oleh Badan Tenaga Nuklir

Nasional (BATAN) Yogyakarta, yang diharapkan dapat berguna dalam Ilmu

Kedokteran, sehingga dapat membantu meningkatkan pelayanan kesehatan di

Indonesia.

1.2 Latar Belakang Masalah

Pada berbagai perusahaan, termasuk BATAN, banyak kita jumpai

instalasi perpipaan. Baik pipa untuk saluran air hingga pipa-pipa boiler

pemanas dimana pipa-pipa tersebut mendapat tekanan, fluks, panas, maupun

korosi, sehingga dibutuhkan suatu rancangan perpipaan untuk ketepatan

instalasi perpipaan. Dalam hal ini reaktor SAMOP juga merupakan salah satu

hasil teknologi yang menggunakan sistem perpipaan.

Reaktor SAMOP berfungsi sebagai alat yang berguna untuk

memproduksi radioisotop Mo99 khususnya sebagai pembangkit Tc99m pada

skala yang kecil. Radioisotop Tc99m merupakan radioisotop yang paling

banyak digunakan untuk diagnostik di bidang kedokteran nuklir.

1
Tugas Akhir 2

Fluida yang merupakan bahan bakar utama yang digunakan pada

reaktor SAMOP, yaitu menggunakan cairan Uranium Nitrat (UO2(NO3)2).

Sehingga untuk perancangan perpipaan reaktor SAMOP harus benar-benar

memperhatikan faktor keselamatan.

Perancangan perpipaan untuk reaktor SAMOP menggunakan bahan

Stainless Steel 304 (SS-304), pada dasarnya adalah merencanakan ketebalan

minimum pipa yang akan digunakan, dengan memperhitungkan laju korosi,

tekanan maksimal yang diperbolehkan, laju aliran, temperatur, serta umur

pemakaian yang direncanakan.

1.3 Tujuan Perancangan

Tujuan perancangan ini adalah mengetahui pengaruh suhu, tekanan,

umur pemakaian, dan laju korosi terhadap ketebalan minimum pada pipa

reaktor SAMOP dengan bahan Stainless Steel 304 atau 304H dengan

kandungan 18% Cr dan 8% Ni.

1.4 Batasan Masalah

Perancangan reaktor SAMOP keseluruhan meliputi perancangan

tabung-tabung, perancangan perpipaan, serta perancangan kerangka

(dudukan) reaktor SAMOP tersebut. Dalam hal ini, penulis hanya akan

membahas perancangan pipa pada sistem perpipaan reaktor SAMOP

didasarkan pada ANSI B31.3. hingga instalasinya, serta pengujian kebocoran

perpipaan reaktor SAMOP.


Tugas Akhir 3

Adapun batasan-batasan masalah pada perancangan ini adalah sebagai

berikut :

1. Bahan yang digunakan adalah Stainless Steel 304 atau 304H

dengan kandungan 18% Cr dan 8% Ni dengan nominal pipa 3/8

inchi.

2. Perancangan ini hanya terbatas pada perhitungan ketebalan

minimum dan umur pipa dengan pengaruh suhu, tekanan dan laju

korosi yang sudah ditentukan yaitu :

Reaktor SAMOP direncanakan akan beroperasi:

a. Pada suhu sekitar 50°C

b. Tekanan 1 atm (14,7 psi)

c. Laju korosi 0,1 mm/thn

d. Derajat keasaman (pH) adalah 1

e. Usia penggunaan antara 5 tahun sampai 10 tahun

3. Pengujian kebocoran perpipaan reaktor SAMOP hanya

menggunakan air mineral sebagai fluida pengganti Uranium

Nitrat. Pada suhu kamar (27°C) dan tanpa tekanan tambahan.

4. Skema dasar untuk reaktor SAMOP dapat dilihat pada gambar

berikut.
Tugas Akhir 4

Venting

Tangki
Penampung UN

Dari unit
pemasok
UN
Venting

Sumber
Teras Neutrron
SAMOP (GN)

Venting

Tangki tunda
Sump (Kontainer) UN

Ekstraktor
Unit Rekondisioning UN

Mo-99

Gambar 1.1. Skema dasar reaktor SAMOP


BAB II

DASAR TEORI

2.1. Baja Tahan Karat (Stainless Steels)

Baja tahan karat, sering juga disebut stainless steels (SS), secara

mendasar stainless steels bukan merupakan logam mulia seperti halnya

emas (Au), platina (Pt) dan paladium (Pd) yang hampir tidak mengalami

korosi karena pengaruh kondisi lingkungan. 1 Dalam ilmu metalurgi, baja

tahan karat digolongkan dalam baja karbon dengan kandungan minimum

11% krom (chromium), merupakan baja paduan yang memanfaatkan

keefektifan unsur paduan seperti Cr dan Ni, serta merupakan baja yang tidak

mudah berkarat, karena adanya pembentukan lapisan unsur chromium

oksida (Cr2O3) pada permukaan baja yang merupakan karakteristik khusus

dari baja tersebut. Lapisan ini terjadi karena oksidasi baja tahan karat

dengan oksigen sehingga membentuk lapisan pelindung anti korosi

(protective layer) yang berkarakter kuat, tidak mudah pecah dan tidak

terlihat secara kasat mata (invisible layer). (Sumber: en.wikipedia.org)

Kondisi lingkungan sangat berpengaruh pada ketahanan baja tahan

karat terhadap korosi. Apabila baja tahan karat berada pada keadaan dimana

protective layer tidak dapat terbentuk lagi, maka korosi akan terjadi. Korosi

atau sering disebut karat merupakan salah satu cacat penggunaan baja

karena berbagai pengaruh seperti udara, cairan yang bersifat asam atau basa,

1
Sumber: www.estainlesssteel.com

5
Tugas Akhir 6

gas-gas proses (gas buang ruang bakar atau reaksi kimia lainnya), logam

yang berlainan jenis (saling berhubungan) dan lain sebagainya. Pada

penggunaan baja pada umumnya pelapisan atau pengecatan merupakan

salah satu cara mencegah terjadinya karat. Tetapi pada baja tahan karat

apabila terjadi cacat pada permukaan baja tersebut, maka lapisan chromium

oksida akan menutup atau melapisi kembali cacat pada permukaan baja

tersebut, sehingga baja terlindungi dari karat. (Sumber: www.tasteel.com)

Pemilihan baja tahan karat didasarkan dengan sifat-sifat materialnya

antara lain dari ketahanan korosi, fabrikasi, mekanik, dan biaya produksi.

Penambahan unsur-unsur tertentu kedalam baja tahan karat banyak

dilakukan, hal tersebut dilakukan dengan tujuan memperbaiki sifat fisis baja

tahan karat.

Tujuan penambahan unsur-unsur tertentu pada baja tahan karat

adalah sebagai berikut:

1. Penambahan molybdenum (Mo) bertujuan untuk memperbaiki

ketahanan korosi pitting di lingkungan klorida dan korosi celah

2. Unsur karbon rendah dan penambahan unsur penstabil karbida

(titanium atau niobium) bertujuan menekan korosi batas butir pada

material yang mengalami proses sensitasi.

3. Penambahan kromium (Cr) bertujuan meningkatkan ketahanan

korosi dengan membentuk lapisan oksida (Cr2O3) dan ketahanan

terhadap oksidasi temperatur tinggi.

4. Penambahan nikel (Ni) bertujuan untuk meningkatkan ketahanan

korosi dalam media pengkorosi netral atau lemah. Nikel juga


Tugas Akhir 7

meningkatkan keuletan dan mampu bentuk logam. Penambahan

nikel juga meningkatkan ketahanan korosi tegangan.

5. Unsur aluminium (Al) meningkatkan pembentukan lapisan oksida

pada temperatur tinggi.


(Sumber: gadang-e-bookformaterialscience.blogspot.com)

Baja tahan karat secara metalurgi atau secara strukturnya

digolongkan menjadi baja tahan karat austenit, baja tahan karat ferit, baja

tahan karat martensit dan baja tahan karat tipe pengerasan presipitasi.

Unsur Cr (Chromium) menjadi komponen utama pada baja tahan

karat. Berdasarkan prosentase kandungan kromium-nya, baja tahan karat

dibedakan menjadi baja tahan karat dengan kadar cukup 4 - 6% Cr, baja

tahan karat dengan kadar 0.1 - 0.2% C dan 13% Cr, baja Cr dengan 0.45% C

dan 13% Cr, baja Cr-Ni yang dikeraskan dengan 0.07 – 0.12% C, 18% Cr

dan 9 - 13% Ni. Hubungan antara baja dan kandungan kromium-nya dapat

dilihat pada diagram fase Fe-Cr (Gambar 2.1).

Baja tahan karat yang dikenai proses pengelasan akan mengalami

korosi yang lebih cepat, hal ini disebabkan karena presipitasi karbida Cr

pada batas butir dan oksidasi Cr dari permukaan, sehingga menyebabkan

permukaan menjadi kekurangan Cr. Hubungan antara fase logam pada

bagian yang dikenai proses pengelasan, yang mempunyai Cr ekuivalen dan

Ni ekuivalen dapat dilihat pada diagram Schaefler atau diagram struktur dari

baja tahan karat yang dideposisikan (Gambar 2.2).


Tugas Akhir 8

Gambar 2.1. Diagram fase Fe-Cr.


Sumber: Tata Surdja, Shinroku Saito, Pengetahuan Bahan Teknik, 1987, Hal. 102.

Gambar 2.2. Diagram Schaefler.


Sumber: Tata Surdja, Shinroku Saito, Pengetahuan Bahan Teknik, 1987, Hal. 102.
Tugas Akhir 9

2.2. Spesifikasi dari Masing-masing Jenis Baja Tahan Karat

Baja tahan karat mempunyai spesifikasi sesuai dengan jenis-

jenisnya, baik menurut strukturnya maupun menurut kandungan unsur

paduannya. Menurut strukturnya baja tahan karat mempunyai spesifikasi

sebagai berikut:

2.2.1. Baja Tahan Karat Martensit (Martensitic Stainless Steel)

Baja ini merupakan paduan kromium dan karbon yang

memiliki struktur martensit body centered cubic (bcc) terdistorsi saat

kondisi bahan dikeraskan. Baja ini merupakan ferromagnetic,

bersifat dapat dikeraskan dan umumnya tahan korosi di lingkungan

kurang korosif. Mempunyai ketahanan panas yang baik sekali, sifat-

sifat mekanik dapat lebih baik dengan pengerasan dan temper.

Komposisi baja tahan karat martensit adalah 12 - 13% Cr yang

merupakan batas terendah untuk ketahanan asam dan 0.1 – 0.3% C,

oleh karena itu baja sulit terkena korosi akibat udara, tetapi masih

cukup terkorosi akibat larutan. Kandungan kromium dan karbon

dijaga agar mendapatkan struktur martensit saat proses pengerasan.

Karbida berlebih meningkatkan ketahanan aus. Unsur niobium (Nb),

silicon (Si), tungsten dan vanadium (V) ditambah untuk

memperbaiki proses temper setelah proses pengerasan. Sedikit

kandungan nikel meningkatkan ketahan korosi dan ketangguhan.

Baja jenis ini banyak digunakan sebagai alat pemotong, perkakas

dan sebagainya.
Tugas Akhir 10

2.2.2. Baja Tahan Karat Ferit (Ferritic Stainless Steel)

Baja jenis ini mempunyai struktur body centered cubic (bcc).

Unsur kromium ditambahkan ke paduan sebagai penstabil ferrit.

Baja ini mengandung 16 – 18% Cr atau lebih. Beberapa tipe baja

mengandung unsur molybdenum (Mo), silicon (Si), aluminium (Al),

titanium (Ti) dan niobium (Nb). Unsur sulfur (S) ditambahkan untuk

memperbaiki sifat mesin. Paduan ini merupakan ferromagnetic dan

mempunyai sifat ulet dan mampu bentuk yang baik, namun kekuatan

di lingkungan suhu tinggi lebih rendah dibandingkan baja stainless

austenitic. Kandungan karbon rendah pada baja ferritik tidak dapat

dikeraskan dengan perlakuan panas. Tidak terjadi karat pada

lingkungan korosi yang rendah, tetapi dapat terjadi korosi lubang

atau krevis pada air larutan yang netral dengan sedikit ion klor.

Tanpa kandungan Ni baja sukar terjadi retakan akibat korosi

tegangan. Apabila mengandung lebih dari 18% Cr, baja tersebut

akan menjadi getas tetapi dengan kadar C dan N tertentu sifat

mampu las, ketahanan korosi, keuletan baja dapat dipertahankan.

Tingkat kekerasan beberapa tipe baja tahan karat ferritik

dapat ditingkatkan dengan cara celup cepat. Metode celup cepat

merupakan proses pencelupan benda kerja secara cepat dari keadaan

temperatur tinggi ke temperatur ruang. Pada gambar berikut

(Gambar 2.3) menunjukkan hubungan antara temperatur mula dan

waktu pembentukan fase σ dan kegetasan 475°C pada baja Cr tinggi.


Tugas Akhir 11

Gambar 2.3. Hubungan antara temperatur mula dan waktu pembentukan


fase σ dan kegetasan 475°C pada baja Cr tinggi.
Sumber: Tata Surdja, Shinroku Saito, Pengetahuan Bahan Teknik, 1987, Hal. 104.

2.2.3. Baja Tahan Karat Austenit (Austenitic Stainless Steel)

Logam paduan ini merupakan paduan berbasis ferrous dan

mempunyai struktur kristal face centered cubic (fcc). Struktur kristal

akan tetap berfasa austenit bila unsur nikel dalam paduan diganti

mangan (Mn) karena kedua unsur merupakan penstabil fasa austenit.

Fasa austenitic tidak akan berubah saat perlakuan panas anil yang

kemudian didinginkan pada temperatur ruang. Baja tahan karat

austenit tidak dapat dikeraskan melalui perlakuan celup cepat

(quenching). Baja ini mempunyai kandungan 18% Cr dan 8% Ni.

Umumnya jenis baja ini dapat tetap menjaga sifat austenit pada

temperatur ruang, lebih bersifat ulet dan memiliki ketahanan korosi

lebih baik dibandingkan baja stainless ferritik dan martensit.

Baja tahan karat austenitic hanya bisa dikeraskan melalui

pengerjaan dingin. Material ini mempunyai kekuatan tinggi di

lingkungan suhu tinggi dan bersifat cryogenic. Tipe 2xx

mengandung nitrogen (N), 4-15.5% mangan(Mn), dan kandungan


Tugas Akhir 12

7% nikel (Ni). Tipe 3xx mengandung unsur nikel yang tinggi dan

maksimal kandungan mangan (Mn) sebesar 2%. Unsur molybdenum

(Mn), tembaga (Cu), silikon (Si), aluminium (Al), titanium (Ti) dan

niobium (Nb) ditambah dengan karakter material tertentu seperti

ketahanan korosi sumuran atau oksidasi. Sulfur (S) ditambah pada

tipe tertentu untuk memperbaiki sifat mampu mesin.

2.2.4. Baja Tahan Karat Dupleks (Duplex Stainless Steel)

Jenis baja ini merupakan paduan campuran struktur ferrit dan

austenit. Umumnya paduan-paduan di desain mengandung kadar

seimbang tiap fasa saat kondisi anil. Paduan utama material adalah

kromium dan nikel, tapi nitrogen, molybdenum, tembaga, silicon dan

tungsten ditambah untuk menstabilkan struktur dan memperbaiki

sifat tahan korosi. Ketahanan korosi baja tahan karat dupleks hampir

sama dengan baja tahan karat austenit. Kelebihan baja tahan karat

dupleks yaitu nilai tegangan tarik dan luluh tinggi dan ketahanan

korosi retak tegang lebih baik dari pada baja tahan karat austenit.

Ketangguhan baja tahan karat dupleks diantara baja tahan karat

austenitik dan ferritik.

(Sumber: gadang-e-bookformaterialscience.blogspot.com)
Tugas Akhir 13

2.2.5. Baja Tahan Karat Pengerasan Endapan (Precipitation Hardening

Steel)

Jenis baja ini merupakan paduan unsur utama kromium-nikel

yang keras dan kuat karena terbentuk suatu precipitat (endapan)

dalam struktur mikro logam, sehingga gerakan deformasi menjadi

terhambat dan memperkuat material baja. Pembentukan ini

disebabkan oleh penambahan unsur antara lain tembaga (Cu),

aluminium (Al), titanium (Ti) dan niobium (Nb). Proses penguatan

biasanya terjadi pada saat dilakukan pengerjaan dingin (cold work).

Baja ini berstruktur austenitik atau martensitik dalam kondisi anil.

Kondisi baja berfasa austenitik dalam keadaan anil dapat diubah

menjadi fasa martensit melalui perlakuan panas. Kekuatan material

melalui pengerasan endapan terjadi pada struktur martensit. (Sumber:

www.tasteel.com)

Perbandingan sifat mekanik dari masing masing baja tahan karat dan

hubungan dari berbagai jenis baja tahan karat dapat dilihat pada Tabel 2.1

dan Gambar 2.4.

Tabel 2.1. Perbandingan sifat mekanik berbagai jenis stainless steel.


Jenis Ketahanan Ketahanan
Respon Ketahanan Metode Ke-liat-an Kemampuan
Stainless Temperatur Temperatur
Magnet Korosi Hardening (Ductility) Welding
Steel Tinggi Rendah
Austenitic Tdk Sgt Tingi Cold Work Sgt Tinggi Sgt Tinggi Sgt Tinggi Sgt Tinggi
Duplex Ya Sedang Tidak Ada Sedang Rendah Sedang Tinggi
Ferritic Ya Sedang Tidak Ada Sedang Tinggi Rendah Rendah
Martensitic Ya Sedang Q&T Rendah Rendah Rendah Rendah

Sumber: www.tasteel.com
Tugas Akhir 14

Gambar 2.4. Hubungan berbagai jenis stainless steel.


Sumber: www.tasteel.com

2.3. Korosi Pada Stainless Steel

Meskipun alasan utama penggunaan baja tahan karat adalah

ketahanan korosinya, tetapi pemilihan baja tahan karat yang tepat mesti

disesuaikan dengan aplikasi yang tepat pula.


Tugas Akhir 15

Beberapa cacat korosi yang umum terjadi pada baja tahan karat

adalah sebagai berikut:

2.3.1. Korosi Merata (Uniform Corrosion)

Uniform corrosion terjadi disebabkan rusaknya seluruh atau

sebagian protective layer pada baja tahan karat sehingga baja secara

merata akan berkurang atau aus (Gambar 2.5). Korosi ini umumnya

terjadi disebabkan oleh cairan atau larutan asam kuat maupun alkali

panas. Asam hidroklorit dan asam hidrofluor adalah lingkungan yang

perlu dihindari baja tahan karat, apalagi dikombinasikan dengan

temperatur serta konsentrasi yang cukup tinggi.

Gambar 2.5. Uniform corrosion yang menyebabkan berkurangnya dimensi


permukaan logam secara merata.
Sumber: www.tasteel.com

2.3.2. Korosi Lubang (Pitting Corrosion)

Korosi antar butir berupa lubang-lubang kecil sebesar jarum,

dimana dimulai dari korosi lokal (bukan seperti uniform corrosion).

Pitting corrosion ini awalnya terlihat kecil dipermukaan baja tahan

karat tetapi semakin membesar pada bagian dalam baja tahan karat

(Gambar 2.6).
Tugas Akhir 16

Korosi ini terjadi pada beberapa kondisi pada lingkungan

dengan pH rendah, temperatur moderat, serta konsentrasi klorida

yang cukup tinggi (misal NaCl atau garam di air laut). Pada

konsentrasi klorida yang cukup tinggi, awalnya ion-ion klorida

merusak protective layer pada permukaan baja tahan karat terutama

permukaan yang cacat. Timbulnya cacat ini dapat disebabkan oleh

kotoran sulfida, retak-retak kecil akibat penggerindaan, pengelasan,

penumpukan kerak, penumpukan larutan padat dsb. Proses kimia

saat terjadi pitting corrosion dapat dilihat dalam Gambar 2.7.

Umumnya baja tahan karat berkadar krom (Cr), molybdenum

(Mo) dan nitrogen (N) yang tinggi cenderung lebih tahan terhadap

pitting corrosion. Pada industri petrokimia korosi ini sangat

berbahaya karena menyerang permukaan dan penampakan visualnya

sangat kecil, sehingga sulit untuk diatasi dan dicegah terutama pada

pipa-pipa bertekanan tinggi. Ketahanan material terhadap pitting

corrosion jenis ini di formulasikan sbb :

PREN = %Cr + (3.3 x %Mo) + (16 x %N)

Satu hal yang menyebabkan pitting corrosion menjadi

masalah yang sangat serius yaitu ketika lubang kecil terbentuk, maka

lubang ini akan cenderung terus berkembang (lebih besar dan dalam)

meskipun kondisi baja tahan karat tersebut sangat tertutup atau tidak

dapat tersentuh sama sekali. Oleh karena itu dalam mendesain


Tugas Akhir 17

material untuk lingkungan kerja yang besar, sebagai acuan

kemungkinan terjadinya pitting corrosion digunakan nilai PREN.

Contohnya bila dibandingkan antara baja tahan karat

austenitik seperti 304, 316L, dan baja tahan karat super-austenitik

seperti UR 6B. Baja tahan karat 304 memiliki komposisi: < 0.015%

C, 18.5% Cr, 12% Ni sedangkan untuk baja tahan karat 316L

memiliki komposisi: < 0.030% C, 17.5% Cr, 13.5% Ni, 2.6% Mo.

baja tahan karat super-austenitik UR 6B memiliki komposisi :

< 0.020% C, 20% Cr, 25% Ni, 4.3% Mo, dan 0.13% N. Dengan

komposisi yang berbeda maka nilai PREN untuk masing-masing

baja tahan karat adalah: 304 = 18, 316L = 26, dan UR B6 = 37.

Dengan demikian maka UR B6 memiliki ketahanan akan korosi

lubang paling kuat sedangkan 304 memiliki ketahanan korosi lubang

yang terlemah.

Gambar 2.6. Ilustrasi pitting corrosion pada stainless steel.


Sumber: www.tasteel.com
Tugas Akhir 18

Gambar 2.7. Skema proses kimia yang terjadi saat pitting corrosion
menyerang dan terus merusak logam Stainless Steel.
Sumber: www.tasteel.com

2.3.3. Korosi Antar Celah (Crevice Corrosion)

Korosi jenis ini sering terjadi pada daerah yang mempunyai

kondisi oksidasi terhadap krom (Cr) pada baja tahan karat sangat

rendah atau bahkan tidak ada sama sekali (miskin oksigen). Sering

pula terjadi akibat desain konstruksi peralatan yang tidak

memungkinkan terjadinya oksidasi tersebut misal celah antara gasket

(packing), celah yang terbentuk akibat pengelasan yang tidak

sempurna, sudut-sudut yang sempit, celah/sudut antara 2 atau lebih

lapisan metal, celah antara mur/baut dsb. Praktis korosi ini terjadi di

daerah yang sangat sempit (celah, sudut, takik dsb). Crevice

corrosion dapat dipandang sebagai pitting corrosion yang lebih

berat/hebat dan terjadi pada temperatur dibawah temperatur

moderate yang biasa menyebabkan pitting corrosion. Cara untuk

menghindari masalah ini, salah satunya dengan membuat desain

peralatan lebih 'terbuka' walaupun kenyataannya sangat sulit untuk

semua aplikasi. Cara lain mengatasi korosi antar celah (crevice


Tugas Akhir 19

corrosion) adalah dengan menambah unsur Cr dan Mo pada

kombinasi yang tepat.

Gambar 2.8. Ilustrasi crevice corrosion yang menyerang saat 2 material


bertemu dan membentuk celah sempit, sehingga terjadi
perbedaan kandungan oksigen yang menyebabkan korosi.
Sumber: www.tasteel.com

2.3.4. Retakan Korosi Regangan (Stress Corrosion Cracking)

Retakan terjadi akibat korosi lokal dari lapisan yang terkena

tegangan tarik pada kondisi lingkungan yang mengandung klorida,

sulfida, soda kaustik dan air dengan temperatur tinggi.

Dalam kondisi kombinasi antara tegangan (baik tensile,

torsion, compresive maupun thermal) dan lingkungan yang korosif,

maka baja tahan karat cenderung lebih cepat mengalami korosi.

Karat yang mengakibatkan berkurangnya penampang luas efektif

permukaan baja tahan karat akan menyebabkan tegangan kerja

(working stress) pada baja akan bertambah besar. Korosi jenis ini

dapat terjadi misal pada pin, mur-baut dengan lubangnya

(dudukannya), baja yang memiliki tegangan sisa akibat rolling,

bending, welding dan sebagainya. Ilustrasi dari korosi ini dapat

dilihat pada Gambar 2.9.


Tugas Akhir 20

Korosi ini meningkat jika bagian yang mengalami tegangan

berada di lingkungan dengan kadar klorida tinggi seperti air laut

yang temperaturnya cukup tinggi. Baja tahan karat austenit sangat

cocok untuk lingkungan dengan sifat korosif ini, karena baja tahan

karat austenit mengandung kadar nikel (Ni) relatif tinggi. Baja tahan

karat grade 316 tidak lebih tahan secara siknifikan dibanding grade

304. Tetapi baja tahan karat dupleks lebih tahan daripada grade 304

atau 316, bahkan sampai temperatur aplikasi 1500°C. Baja tahan

karat super dupleks akan lebih tahan lagi terhadap retakan korsi

tegangan. Pada baja tahan karat austenit korosi jenis ini biasanya

bersamaan dengan korosi lubang.

Pada beberapa kasus, korosi ini dapat dikurangi dengan cara

shot opening, penembakan permukaan logam dengan butir pasir

logam, atau juga dengan annealing setelah proses pengerjaan baja

tahan karat selesai, sehingga dapat mengurangi tegangan pada

permukaan logam.
Tugas Akhir 21

Gambar 2.9. Ilustrasi stress cracking corrosion akibat adanya tegangan


sisa dan lingkungan korosif.
Sumber: www.tasteel.com

2.3.5. Korosi Antar Butir (Intergranular Corrosion)

Korosi ini berawal dari presitipasi kromium karbida pada

batas butir yang terjadi pada suhu 500-900°C terutama pada suhu

600-800°C, sehingga menyebabkan adanya daerah yang kekurangan

krom (Cr) didekatnya, yang menyebabkan mikrostruktur baja tahan

karat tersebut menjadi tidak sempurna.

Ketika baja tahan karat austenit berada pada temperature

425-850 °C (temperatur sensitasi) atau ketika dipanaskan dan

dibiarkan mendingin secara perlahan (seperti halnya sesudah welding

atau pendinginan setelah annealing) maka karbon akan menarik

krom (Cr) untuk membentuk partikel kromium karbida (chromium

carbide) di daerah batas butir (grain boundary) struktur baja


Tugas Akhir 22

tersebut. Formasi kromium karbida yang terkonsentrasi pada batas

butir akan menghilangkan atau mengurangi sifat perlindungan

kromium pada daerah tengah butir. Sehingga daerah ini akan dengan

mudah terserang oleh korosi (Gambar 2.10). Secara umum baja

tahan karat dengan kadar karbon (C) < 2% relative tahan terhadap

korosi ini.

Ketidak sempurnaan mikrostruktur ini dapat diperbaiki

dengan menambahkan unsur yang memiliki afinitas (daya tarik)

terhadap karbon (C) lebih besar untuk membentuk karbida, seperti

titanium (Ti) dan niobium (Nb). Cara lain adalah dengan

menggunakan baja tahan karat berkadar karbon rendah yang ditandai

indeks “L” -low carbon steel- (misal 316L atau 304L). Baja tahan

karat dengan kadar karbon tinggi juga akan tahan terhadap korosi

jenis ini asalkan digunakan pada temperatur tinggi pula (misal 304H,

316H, 321H, 347H, 315/Sirius S15, 310/Sirius 310 dan juga

314/Sirius 314).

Gambar 2.10. Ilustrasi korosi pada butir akibat terjadinya sensitasi


krom (Cr)
Sumber: www.tasteel.com
Tugas Akhir 23

2.3.6. Galvanic Corrosion

Galvanic corrosion terjadi karena terdapat sambungan

material yang tidak sama (dua material yang berbeda terhubung

secara elektris atau tersambung misal baut dengan mur, paku

keling/rivet dengan body tangki, hasil welding dengan benda kerja)

atau terendam dalam larutan elektrolit, sehingga dissimilar material

tersebut menjadi semacam sambungan listrik. Mekanisme ini

disebakan satu material berfungsi sebagai anoda dan yang lainnya

sebagai katoda sehingga terbentuk jembatan elektrokimia (Gambar

2.11). Dengan terjadinya hubungan elektrik tersebut maka logam

yang bersifat anoda (less noble) akan lebih mudah terkorosi.

Logam deret sebelah kiri cenderung menjadi anoda (mudah

berkarat) sementara logam sebelah kanan cenderung menjadi katoda.

Galvanic corrosion ini tergantung pada perbedaan material dan rasio

luas permukaan perbedaan material tersebut, serta konduktifitas

larutan.

Gambar 2.11. Ilustrasi terjadinya korosi antara dua logam yang berbeda
jenis keaktifannya (logam A dan B).
Sumber: www.tasteel.com
Tugas Akhir 24

Pada umumnya, korosi pada baja tahan karat akan menyebabkan

kerugian dan beberapa masalah seperti:

1. Terbentuknya lubang-lubang kecil yang halus pada tangki dan pipa-

pipa sehingga menyebabkan kebocoran cairan ataupun gas.

2. Penyusutan (pengurangan ketebalan) serta berkurangnya volume

material menyebabkan kekuatan (strength) material juga menurun,

akibatnya dapat terjadi retak, bengkok, patah dan sebagainya.

3. Dekorasi permukaan material menjadi tidak menarik disebabkan

kerak karat ataupun lubang-lubang.

4. Terbentuknya karat-karat yang mungkin mengkontaminasi zat atau

material lainnya, hal ini sangat dihindari khususnya pada proses

produksi makanan.

(Sumber: www.tasteel.com)

2.4. Baja Tahan Karat 304 (SS 304)

Salah satu jenis baja tahan karat adalah AISI 304 (lihat stainless

steel grades lampiran 1). Baja ini mempunyai struktur face centered cubic

(fcc). Merupakan baja dengan kandungan 18% Cr dan 8% Ni, atau lebih

spesifiknya mengandung unsur kimia Fe, < 0.08% C, 17.5-20% Cr, 8-11%

Ni, < 2% Mn, < 1% Si, < 0.045% P, dan < 0.03% S, yang termasuk pada

jenis baja tahan karat austenit. Merupakan baja yang paling umum dikenal

dan paling sering digunakan. Baja tahan karat 304 mempunyai ketahanan
Tugas Akhir 25

terhadap korosi yang tinggi, formabilitas yang sempurna, berkekuatan tinggi

dan juga ringan.

Baja tahan karat 304 digunakan untuk berbagai macam penerapan,

karena mempunyai berbagai macam keuntungan, seperti:

1. Mempunyai ketahanan terhadap korosi yang besar

2. Tidak mudah terkontaminasi (mencegah terjadinya kontaminasi)

3. Mempunyai ketahanan terhadap oksidasi

4. Mudah dalam pengerjaan

5. Formabilitas yang baik

6. Penampilannya bagus

7. Mudah dibersihkan

8. Ringan tetapi berkekuatan tinggi

9. Pada suhu kriogenik kekuatan dan keuletan tetap terjaga

10. Tersedia untuk berbagai macam produk yang besar.

Baja tahan karat 304 merupakan baja standar dengan kadar karbon

yang rendah, mudah dicari dan digunakan serta merupakan baja tahan karat

yang murah. Jenis baja tahan karat 304 ada beberapa macam yaitu

304 (S30400), 304L (S30403), 304H (S30409). Baja tahan karat 304L pada

umumnya digunakan untuk apklikasi yang memerlukan proses pengelasan

yang menyebakan korosi antar butir pada proses pengerjaannya. Baja tahan

karat 304H dapat digunakan pada temperatur yang tinggi sampai

sekitar 800°C.
Tugas Akhir 26

Komposisi paduan serta persentase berat yang ada pada baja tahan

karat 304, 304L dan 304H dapat dilihat pada tabel unsur kimia (Tabel 2.2)

sesuai dengan ASTM A240 dan ASME SA-240.

Tabel 2.2. Unsur kimia pada baja tahan karat 304, 304L dan 304H.
Percentage by Weight Maximum Unless
Element Range is Specified
304 304L 304H
Carbon 0,08 0,030 0,04-0,01
Manganese 2,00 2,00 2,00
Phosphorus 0,045 0,045 0,045
Sulfur 0,030 0,030 0,030
Silicon 0,75 0,75 0,75
18,00 18,00 18,00
Chromium
20,00 20,00 20,00
8,0 8,0 8,0
Nickel
10,50 12,00 10,50
Nitrogen 0,10 0,10 0,10

Sumber: www.sandmeyer.com

Dari kandungan unsur kimia baja tahan karat 304 tersebut, diperoleh

sifat mekanik dari baja tahan karat 304 seperti pada Tabel 2.3. Pada kondisi

annealed, baja tahan karat 304 memiliki sifat fisik dan listrik seperti yang

ditunjukkan dalam Tabel 2.4.

Tabel 2.3. Sifat mekanik stainless steel AISI 304.


Poison Tensile Yield Elong Hard Mod Density
0,27-0,30 515 205 40 88 193 8
Keterangan :
Poison : Rasio Poison
Tensile : Tensile strength (MPa)
Yield : Yield Strength (MPa)
Elong : elongation %
Hard : Kekerasan (HVN)
Mod : Modulus elastisitas (GPa)
Density : berat jenis (Kg/m3)

Sumber: www.gadang-e-bookformaterialscience.blogspot.com
Tugas Akhir 27

Tabel 2.4. Sifat fisik dan listrik stainless steel AISI 304 pada kondisi
annealed.
Thermal ekspansi Thermal konduktivitas Spesific heat Resistivitas
(10-6/ºC) (W/m-K) (J/kg-K) (10-9W-m)
17,2 16,2 500 720
Sumber: www.gadang-e-bookformaterialscience.blogspot.com

2.4.1. Ketahanan Baja Tahan Karat 304 Terhadap Korosi Merata (Uniform

Corrosion)

Baja tahan karat 304 sangat tahan terhadap korosi terutama

karena pengaruh oksidasi lingkungan. Biasanya digunakan untuk

membuat peralatan dan perkakas pada proses pengolahan makanan

dan minuman, perpipaan, tabung, dan peralatan lain yang

berhubungan langsung dengan air.

Baja tahan karat 304 dengan kandungan 18-19% Cr, mampu

bertahan terhadap oksidasi lingkungan yang mengandung nitric acid.

Data ketahanan korosi untuk baja tahan karat 304 terhadap nitric

acid dapat dilihat pada Tabel 2.5. (Untuk pengaruh korosi pada baja

tahan karat 304 terhadap larutan asam dapat dilihat pada lampiran 2)

Baja ini juga mempunyai ketahanan terhadap asam organik

seperti acetic dan asam pengurang seperti fosfor. Penambahan 9-

11% Ni pada baja ini akan menambah ketahanan korosi terhadap

lingkungan.

Dalam beberapa kasus, kandungan C yang rendah pada baja

tahan karat 304L mempunyai laju korosi yang rendah dibandingkan

dengan kandungan C yang tinggi pada baja tahan karat 304. Hal ini
Tugas Akhir 28

terjadi apabila baja berada pada kondisi lingkungan yang

mengandung formic acid, asam sulfamic, dan caustic soda.

Tabel 2.5. Laju korosi pada baja tahan karat 304 terhadap nitric
acid.

Temperature Corrosion Rate


% Nitric Acid
°C Mils/Yr (mm/a)
10 149 5,0 (0,13)
20 149 10,1 (0,25)
30 149 17,0 (0,43)

Sumber: www.sandmeyer.com

2.4.2. Ketahanan Baja Tahan Karat 304 Terhadap Korosi Antar Butir

(Intergranular Corrosion)

Pengerjaan panas baja tahan karat pada suhu antara

427-816°C akan menyebakan presipitasi karbida Cr pada batasan-

batasan butir. Kebanyakan baja akan mengalami cacat dan

terpengaruh oleh adanya korosi antar butir pada lingkungan yang

agresif. Kandungan C pada baja 304 menyebabkan cacat akibat

terkena panas dari pengelasan, baik pada bagian yang di las maupun

bagian-bagian yang terpengaruh oleh panas dari las tersebut. Dalam

hal ini baja dengan kandungan C yang rendah, yaitu baja 304L, lebih

menguntungkan. Kandungan C yang rendah akan menghambat

presipitasi karbida Cr tetapi tidak mengurangi reaksi presipitasi.


Tugas Akhir 29

Tabel 2.6. Intergranular Corrosion Tests.


ASTM A262 Corrosion Rate, Mils/Yr (mm/a)
Evaluation Test 304 304L
Practice E
Base Metal No Fissures on Bend No Fissures
Welded Some Fissures on Weld No Fissures
(unacceptable)
Practice A
Base Metal Step Structure Step Structure
Welded Ditched Step Structure
(unacceptable)

Sumber: www.sandmeyer.com

2.4.3. Ketahanan Baja Tahan Karat 304 Terhadap Korosi Retakan

Tegangan (Stress Corrosion Cracking)

Baja 304 merupakan baja tahan karat austenit yang paling

mudah terpengaruh terhadap retakan korosi tegangan (stress

corrosion cracking), karena kandungan Ni yang rendah. Kondisi

yang menyebabkan korosi ini dipengaruhi oleh:

a. Adanya ion klor

b. Sisa pengaruh tegangan

c. Suhu lebih dari 49°C

Keretakan bisa terjadi akibat perubahan bentuk dari baja pada

saat proses pembentukan, atau pada saat baja mengalami pengerolan,

atau pada saat terjadi proses pengelasan secara berkala.


Tugas Akhir 30

Tabel 2.7. Halide (Chloride Stress Corrosion Tests).


U-Bend (Highly Stressed) Samples
Test
304
33% Lithium Base Metal Cracked, 14 – 19 hours
Chloride, Boiling Welded Cracked, 18 – 90 hours
26% Sodium Base Metal Cracked, 142 – 1004 hours
Chloride, Boiling Welded Cracked, 300 – 500 hours
40% Calcium BaseMetal Cracked, 144 hours
Chloride, Boiling –
Ambient Temperature Base Metal No Cracking
Seacoast Exposure Welded No Cracking

Sumber: www.sandmeyer.com

2.4.4. Ketahanan Baja Tahan Karat 304 Terhadap Pitting/Crevice

Corrosion

Baja tahan karat 304 sangat bagus digunakan pada air segar

dengan kandungan ion chloride yang rendah. Biasanya, 100 ppm

chloride merupakan batas maksimum untuk baja tahan karat,

terutama untuk menghindari crevice corrosion, karena kandungan

klor yang tinggi memungkinkan terjadinya crevice corrosion dan

pitting corrosion. Pada beberapa kondisi dengan kandungan klor

yang tinggi, pH rendah, dan/atau suhu yang tinggi, dianjurkan untuk

menggunakan baja dengan kandungan molybdenum (Mo) yang tinggi

seperti baja tahan karat 316. Baja 304 tidak dianjurkan untuk

penggunaan pada lingkungan yang mengandung kadar air laut tinggi.

(Sumber: www.sandmeyer.com)

Untuk menghitung laju korosi pada baja tahan karat secara umum

dapat dilihat pada lampiran 3 dan untuk standarisasi ASTM pengujian

korosi secara umum dapat dilihat pada lampiran 4.


Tugas Akhir 31

2.5. Uranium Nitrat (UO2(NO3)2)

Uranium merupakan salah satu unsur kimia dengan lambang U (lihat

tabel periodik pada lampiran 5) dengan nomor atom 92, beracun karena

memancarkan radiasi α, berwarna hitam keperakan, dan merupakan

radioaktif alami, serta merupakan logam berat yang dapat digunakan sebagai

salah satu sumber energi yang sangat berlimpah.

Unsur kimia atau sering disebut unsur, merupakan zat kimia yang

tidak dapat dipecah lagi menjadi zat yang lebih kecil, atau tidak dapat

dirubah menjadi zat kimia lain dengan menggunakan metode kimia biasa.

Unsur mempunyai partikel terkecil yang disebut atom, yang terdiri dari inti

atom (nucleus) yaitu terdiri atas sejumlah proton dan netron, dan dikelilingi

oleh elektron (Gambar 2.12).

Hal yang membedakan unsur satu dengan yang lain adalah jumlah

proton yang ada dalam sebuah inti atom tersebut, yang dikenal sebagai

nomor atom. Tetapi atom-atom pada unsur yang sama tersebut dapat

memiliki jumlah neutron yang berbeda, yang dikenal dengan sebutan isotop.

Massa rata-rata atom suatu unsur pada alam adalah massa atom. Karena

massa elektron sangat kecil dan massa neutron hampir sama dengan massa

proton, maka masa atom biasanya dinyatakan dengan jumlah proton dan

neutron pada inti atom, pada isotop yang memiliki kelimpahan terbanyak di

alam. (Sumber: en.wikipedia.org)

Uranium biasanya ditemukan dalam jumlah kecil pada bebatuan,

tanah, air, tumbuhan maupun hewan (termasuk manusia). Uranium lebih

sering ditemukan pada bebatuan dengan konsentrasi 2 sampai 4 bagian per

juta bagiannya. (Sumber: www.uic.com.au)


Tugas Akhir 32

2.5.1. Atom Uranium

Jika dilihat pada skala menurut tingkatan massa inti atom,

uranium merupakan yang paling berat dari semua unsur alami

(hydrogen merupakan unsur yang paling ringan). Seperti unsur yang

lain, uranium juga terdiri dari beberapa isotop yaitu sebanyak 16

isotop.

Uranium alami yang terdapat pada kerak bumi, merupakan

campuran dari dua bagian besar isotop yaitu Uranium-238 (U-238)

sebanyak 99,3% dan Uranium-235 (U-235) sebanyak 0,7%.

Uranium-235 sangat penting, karena pada suatu kondisi tertentu

U-235 dapat memisah (membelah), dan dapat menghasilkan energi

yang sangat besar. Kondisi dimana terjadi pemisahan (pembelahan)

tersebut sering disebut cenderung membelah atau pembelahan inti.

Seperti isotop radioaktif yang lain, U-238 juga mengalami

penguraian (peluruhan), tetapi U-238 meluruh sangat lambat,

peluruhan tersebut membutuhkan waktu paruh hampir sama dengan

usia bumi (4500 juta tahun). Dari hal tersebut, U-238 dianggap

hampir bukan merupakan bahan radioaktif, tidak seperti isotop lain

yang ada pada batu dan pasir. Meskipun demikian U-238 mampu

menghasilkan 0,1 watt/ton sebagai penghasil energi panas dan panas

ini cukup untuk menghangatkan kerak bumi. U-235 mampu

mengurai sedikit lebih cepat dari U-238.


Tugas Akhir 33

Gambar 2.12. Nucleus with the isotopes.


Sumber: www.uic.com.au

2.5.2. Energi dari Atom Uranium

Inti atom dari U-235 terdiri dari 92 proton dan 143 netron

(92 + 143 = 235). Ketika inti atom U-235 menangkap netron yang

bergerak, inti atom tersebut terbelah menjadi 2 (membelah) dan

melepaskan energi dalam bentuk panas, juga melepaskan 2 atau 3

netron tambahan. Netron tambahan tersebut akan membuat inti atom

U-235 yang lain menjadi terbelah dan juga melepaskan netron

tambahan, reaksi tersebut akan terjadi terus menerus sehingga

tercipta reaksi berantai yang disebut pembelahan inti (Gambar 2.13).

Ketika reaksi pembelahan inti tersebut terjadi secara terus

menerus, hingga mencapai berjuta-juta kali, akan tercipta energi

panas dalam jumlah yang sangat besar walaupun awalnya terjadi

pada uranium yang relatif kecil. (Sumber: www.uic.com.au)

Gambar 2.13. Chain reaction of a fission.


Sumber: www.uic.com.au
BAB III

PERANCANGAN

3.1. Perancangan Pipa

Reaktor SAMOP banyak menggunakan pipa sebagai bahan baku

utama selain tabung-tabung, perancangan pipa menggunakan beberapa

acuan yang kemudian dirangkum sebagai berikut.

3.1.1. Perancangan Pipa Reaktor SAMOP

Bahan yang digunakan pada perancangan pipa, yaitu

menggunakan baja tahan karat tipe 304 atau 304H (18Cr-10Ni-Cb)

dengan ukuran nominal pipa 3/8 Inchi, dengan schedule (pemakaian

direncanakan) 5 sampai 10 tahun. Pipa direncanakan beroperasi pada

suhu 50°C, dengan tekanan 1 atm (14,7 psi/0,103 MPa), laju korosi

0,1 mm/thn dan dengan derajat keasaman (pH) adalah 1.

3.1.2. Perhitungan Tebal Minimum Pipa

Ketebalan minimum pipa ditentukan dengan melihat

perencanaan penggunaan pipa, dengan memperhitungkan batas

minimum dari ketebalan pipa. Perhitungan ketebalan pipa bisa

diperoleh dengan perhitungan (sesuai ANSI/ASME B 31.3) atau

dengan melihat tabel dimensi pipa (Tabel 3.1).

34
Tugas Akhir 35

Tabel 3.1. Stainless Steel Pipe Dimensions

Size OD Wall Thickness (inchi)


(inchi) (inchi) 5 10 40 STD 80 XH 160 XXH
1 0.405 0.035 0.049 0.068 0.068 0.095 0.095
8
1 0.540 0.049 0.065 0.088 0.088 0.119 0.119
4
3 0.675 0.049 0.065 0.091 0.091 0.126 0.126
8
1 0.840 0.065 0.083 0.109 0.109 0.147 0.147 0.187 0.294
2
3 1.050 0.065 0.083 0.113 0.113 0.154 0.154 0.218 0.308
4
1 1.315 0.065 0.109 0.133 0.133 0.179 0.179 0.250 0.358
114 1.660 0.065 0.109 0.140 0.140 0.191 0.191 0.250 0.382
112 1.900 0.065 0.109 0.145 0.145 0.200 0.200 0.281 0.400
2 2.375 0.065 0.109 0.154 0.154 0.218 0.218 0.343 0.436
212 2.875 0.083 0.120 0.203 0.203 0.276 0.276 0.375 0.552
3 3.500 0.083 0.120 0.216 0.216 0.300 0.300 0.437 0.600
31 2 4.000 0.083 0.120 0.226 0.226 0.318 0.318 0.636

Sumber: www.amipipe.com
(Reference ANSI Standard B 36.10)

Untuk menghitung ketebalan minimum pipa dengan perhitungan,

digunakan persamaan:

t = (inchi) ................................................. (3.1)

dengan :

t = Tebal pipa, inchi

P = Tekanan elastis (tekanan dalam), psig

Do = Diameter luar pipa, inchi

Eq = Faktor kualitas yang menunjukkan kualitas tuang/cetak

bahan (Ec), faktor kualitas sambungan (Ej) dan berdasar

faktor kualitas golongan (grade) (Es). Nilai Ec dari 0,85

sampai 0,1 tergantung dari metode yang digunakan

untuk menguji kualitas tuangan (Tabel 3.2). Sedangkan


Tugas Akhir 36

nilai Ej dari 0,6 - 1,0 (Tabel 3.3) tergantung pada bahan

las yang digunakan untuk penyambungan. Nilai Es

dapat diasumsikan menjadi 0,92.

Eq = Ec Ej Es .................................................................. (3.2)

S = Tegangan elastis (tegangan yang diijinkan pada

temperatur bahan), psi (lihat Tabel 3.5)

Y = Koefisien yang diijinkan berdasarkan bahan dan

temperatur yang direncanakan. Untuk t < d/6, nilai Y

dapat diketahui dari (Tabel 3.4)

Y = jika, ................................................ (3.3)

Untuk temperatur dibawah 900°F, maka nilai Y

diasumsikan 0,4.

dimana:

d = Diameter dalam

= Do – 2 tm (inchi) .................................................... (3.4)

(Sumber: Pipe Stress Analysis, hal 22-23)

Dalam bab sebelumnya telah diuraikan mengenai korosi dan

kerugian akibat korosi. Korosi tersebut juga akan berpengaruh pada

instalasi pipa, sehingga dalam perencanaan ketebalan dinding pipa

minimum, laju korosi yang diijinkan harus ditambahkan. Maka tebal

minimum dari dinding pipa (tm) menjadi :

tm = t + A (inchi) ........................................................... (3.5)


Tugas Akhir 37

dimana:

tm = Tebal dinding pipa minimum, inchi

A = Laju korosi yang diijinkan, inchi

Tebal nominal = (inchi) ............................................... (3.6)

dimana:

MT = Manufacturing tolerance (12½ %)

(Sumber: Pipe Stress Analysis, hal 22-23)

3.1.3. Perhitungan Tekanan yang Diijinkan

Selain perhitungan ketebalan minimum pipa, tekanan fluida

kerja dalam pipa tersebut juga berpengaruh. Untuk menghitung

tekanan yang diijinkan digunakan rumus:

P = (psi) .......................................................... (3.7)

dimana :

t = tebal pipa, inchi

(Sumber: Pipe Stress Analysis, hal 25)


Tugas Akhir 38

Tabel 3.2. Increased Casting Quality Factor Ec

Type of Suplementary Examination Ec


Surface examination (1) 0,85
Magnetic particle method (2) 0,85
Ultrasonic examination (3) 0,95
Type 1 and 2 0,90
Type 1 and 3 1,00
Type 2 and 3 1,00

Sumber: Pipe Stress Analysis, hal 23


(Reference ANSI/ASME B31.3. Table 304.1.1)

Tabel 3.3. Straight and Spiral Longitudinal Weld Joint Quality Factor Ej

Type of Joint Examination Ej


Furnace butt weld As required by spesification 0,60
Eletric resistance weld As required by spesification 0,85
Electric fusion weld (single butt weld) As required by spesification 0,80
Electric fusion weld (single butt weld) Spot radiograph 0,90
Electric fusion weld (single butt weld) 100 % radiograph 1,00
Electric fusion weld (double butt weld) As required by spesification 0,85
Electric fusion weld (double butt weld) Spot radiograph 0,90
Electric fusion weld (double butt weld) 100 % radiograph 1,00
By ASTM A211 specification As required by spesification 0,75
Double submerged arc-welded pipe Radiograph 0,95
(per API 5L or 5LX)

Sumber: Pipe Stress Analysis, hal 24


(Reference ANSI/ASME B31.3. Table 302.3.4)

Tabel 3.4. Values of Y Coefficient


Temperature (ºF)
Material 900 1150
950 1000 1050 1150
and below and above
Ferittic steel 0,4 0,5 0,7 0,7 0,7 0,7
Austenitic Steel 0,4 0,4 0,4 0,4 0,5 0,7
Cast iron 0,4 - - - - -
Nonferrous metals 0,4 - - - - -

Sumber: Pipe Stress Analysis, hal 23.


(Reference ANSI/ASME B31.3. Table 304.1.1)
Tugas Akhir 39

Tabel 3.5a. Allowable Stresses in Tension for Metals, SE, KSI

Sumber: Pipe Stress Analysis, hal. 220


Tugas Akhir 40

Tabel 3.5b. Allowable Stresses in Tension for Metals, SE, KSI (lanjutan)

Sumber: Pipe Stress Analysis, hal. 222


Tugas Akhir 41

3.1.4. Ulir Pada Pipa

Pembuatan ulir pada pipa bertujuan untuk menyambungkan

pipa dengan sambungan-sambungan pipa (fittings). Pembuatan ulir

pada pipa berdasarkan tabel berikut.

Tabel 3.6. Tapping Drills for Pipe


Pipe Tapping Drills
Taper NPT w/ Taper NPT w/o
Nom. Straight NPS
Size Threads/ Reamer * Reamer
OD
(in) inch Drill Equiv. Drill Equiv. Drill Equiv.
(in)
Size (in) Size (in) Size (in)
1 15 1 ”
16 27 0,313 64 ” 0,2344 C 0,2420 4 0,2500
1 27 0,405 21 ” 0,3281 Q 0,3320 11 ” 0,3438
8 64 32
1 18 0,540 27 ” 0,4219 7 ” 0,4375 7 ” 0,4375
4 64 16 16
3 18 0,675 9 ” 0,5625 37 ” 0,5781 19 0,5938
8 16 64 32 ”
1 14 0,840 11 ” 0,6875 45 ” 0,7031 23 ” 0,7188
2 16 64 32
3 14 1,050 57 ” 0,8906 29 ” 0,9063 15 ” 0,9375
4 64 32 16
1 11 1 2 1,315 11 8” 1,1250 1 9 32 ” 1,2813 1 5 32 ” 1,1563
11 4 11 1 2 1,660 1 15 32 ” 1,4688 1 31 64 ” 1,4844 11 2” 1,5000
11 2 11 1 2 1,900 1 23 32 ” 1,7188 1 23 32 ” 1,7188 13 4” 1,7500
2 11 1 2 5 3
2,375 2 32 ” 2,1563 2 16 ” 2,1875 2 16 ” 2,1875 3

21 2 8 2,875 2 25 32 ” 2,7813 25 8” 2,6260 25 8” 2,6250


3 8 3,500 3 9 32 ” 3,2813 31 4” 3,2500 31 4” 3,2500
31 2 8 4,000 3
3 4” 3,7500 3
3 4” 3,7500 3
3 4” 3,7500
4 8 4,500 1
4 4” 4,2500 1
4 4” 4,2500 1
4 4” 4,2500
5 8 5,563 514” 5,2500 5 9 32 ” 5,2813 5 5 16 ” 5,3125
6 8 6,625 614” 6,2500 6 11 32 ” 6,3438 63 8” 6,3750
8 8 8,625
10 8 10,750
Note : * Ream the hole before tapping with a reamer having a tapper of 3/4 inch per foot
NPT = National Pipe Taper Thread
A sealant compound or Teflon tape must used for a leak-free seal
NPS = American Standard Straight Pipe Thread
Used for mechanical joining – holding a fitting in place. An O-ring or a
metal seal is required
Sumber: academic.evergreen.edu
Tugas Akhir 42

Tabel 3.7. Tapping and Clearance Drills for Number Machine Screws
Screw Size Tapping Drills Clearance Drills
Drill Equivalents Close Fit Free Fit
Nom.
Threads Size
Number Series Dia. Drill Dec. Drill Dec.
/Inch (65-75% (decimal) (mm)
(in) Size Equiv. Size Equiv.
thread)
000 120 0.0340 71 0.0260 0.6604 65 0.0350 62 0.0380
00 90 0.0470 65 0.0350 0.8890 3/64" 0.0469 55 0.0520
0 80 NF 0.0600 3/64" 0.0469 1.1913 52 0.0635 50 0.0700
56 NS 54 0.0550 1.3970
1 64 NC 0.0730 53 0.0595 1.5113 48 0.0760 46 0.0810
72 NF 53 0.0595 1.5113
56 NC 50 0.0700 1.7780
2 0.0860 43 0.0890 41 0.0960
64 NF 50 0.0700 1.7780
48 NC 47 0.0785 1.9939
3 0.0990 37 0.1040 35 0.1100
56 NF 45 0.0820 2.0828
36 NS 44 0.0860 2.1844
4 40 NC 0.1120 43 0.0890 2.2606 32 0.1160 30 0.1285
48 NF 42 0.0935 2.3749
40 NC 38 0.1015 2.5781
5 0.1250 30 0.1285 29 0.1360
44 NF 37 0.1040 2.6416
32 NC 36 0.1065 2.7051
6 36 NS 0.1380 34 0.1110 2.8194 27 0.1440 25 0.1495
40 NF 33 0.1130 2.8702
32 NC 29 0.1360 3.4544
8 36 NF 0.1640 29 0.1360 3.4544 18 0.1695 16 0.1770
40 NS 28 0.1405 3.5687
24 NC 25 0.1495 3.7973
10 30 NS 0.1900 22 0.1570 3.9878 9 0.1960 7 0.2010
32 NF 21 0.1590 4.0386
24 NC 16 0.1770 4.4958
12 28 NF 0.2160 14 0.1820 4.6228 2 0.2210 1 0.2280
32 NEF 13 0.1850 4.6990
20 NS 10 0.1935 4.9149
14 0.2420 D 0.2460 F 0.2570
24 NS 7 0.2010 5.1054
Note : Thread Series
National Coarse (NC)
National Fine (NF)
National Extra Fine (NEF)
National Special (NS)

Sumber: academic.evergreen.edu
Tugas Akhir 43

Untuk mengetahui ketebalan sambungan pipa (pipe fittings)

baik sambungan siku (elbow), tee dan silang (cross), dapat dilihat

pada gambar dan tabel berikut:

Gambar 3.1. Dimensi sambungan pipa (pipe fittings)


Sumber: www.alloystainless.com

Tabel 3.8. Ukuran Sambungan Pipa (Pipe Fittings)


1 1 3 1 3
Size /8 /4 /8 /2 /4 1 11/4 11/2 2
3000 p.s.i. COLD NON-SHOCK SERVICE
13
A /16 13/16 31/32 11/8 15/16 11/2 13/4 2 23/8
7 7 1 5 1 13 3 7
B /8 /8 1 /16 1 /16 1 /2 1 /16 2 /16 2 /16 231/32
C 0.420 0.555 0.690 0.855 1.065 1.330 1.675 1.915 2.406
3 3 7 1 9 5 11 3 7
D /8 /8 /16 /2 /16 /8 /16 /4 /8
11
E /16 11/16 3
/4 7
/8 1 11/8 15/16 13/8 111/16
3 3 7 7 1 9 5 17 11
F /8 /8 /16 /16 /2 /16 /8 /32 /16
Sumber: www.alloystainless.com

3.2. Perancangan Instalasi Pipa Reaktor SAMOP

Perancangan instalasi pipa reaktor SAMOP berdasarkan acuan

skema reaktor SAMOP (Gambar 3.2), direncanakan sesuai dengan gambar

dan ukuran (dimensi) sebagai berikut (untuk lebih jelasnya dapat dilhat pada

lampiran 6 atau pada gambar teknik A0 terlampir):


Tugas Akhir 44

4 5 7 3

8 9 10

Gambar 3.2. Perancangan instalasi pipa reaktor SAMOP

Keterangan gambar :

1. Tabung penampung Uranium Nitrat

2. Tabung utama reaktor SAMOP


Tugas Akhir 45

3. Tabung tunda

4. Flens (flange)

5. Sambungan pipa silang (cross)

6. Katup (valves)

7. Sambungan T (tee)

8. Sambungan siku (elbow)

9. Pipa 3/8 inchi

10. Pompa

3.3. Diagram Alir Perancangan

BAHAN PIPA
SS 304

PERHITUNGAN

PERANCANGAN Tidak Setuju


(5, 10 tahun)

PENGERJAAN

INSTALASI
(Tabung dan Pipa)

Kebocoran
PENGUJIAN

PENGAMBILAN DATA

EVALUASI

KESIMPULAN

Gambar 3.3. Diagram alir perancangan


BAB IV

PERHITUNGAN DAN PENGERJAAN

4.1. Perhitungan Pipa

Pada bab sebelumnya telah dijelaskan spesifikasi stainless steel 304

dan pipa reaktor SAMOP direncanakan menggunakan pipa stainless steel

304 dengan ukuran nominal pipa 3/8 inchi, dengan lama pemakaian

(schedule) antara 5 sampai dengan 10 tahun. Dengan laju korosi

0,1 mm/thn, beroperasi pada suhu 50°C dan dengan tekanan 1 atm

(14,7 psi).

4.1.1. Perhitungan Ketebalan Pipa

Dengan mengacu pada tabel dimensi pipa stainless steel

(Tabel 3.1) dan dengan persamaan pada bab sebelumnya, serta

dengan diketahui dari persoalan sebagai berikut:

P = 1 atm = 14,7 psi

Do = 0,675 inchi (dari Tabel 3.1 untuk pipa 3/8 inchi)

S = 20000 psi (lihat Tabel 3.5)

Eq = Ec Ej Es = 0,85 × 0,85 × 0,92 = 0,6647

A = 0,1 mm/thn = 0,004 inchi/thn

untuk 5 tahun = 0,02 inchi/thn;

untuk 10 tahun = 0,04 inchi/thn

T = 50°C = 122°F

Y = 0.4 (suhu di bawah 900°F)

46
Tugas Akhir 47

Maka ketebalan nominal pipa dapat diketahui sebagai berikut:

1. Untuk pemakaian 5 tahun

Dengan perhitungan ketebalan pipa (pers. 3.1) didapat:

t =

, ,
=
, , ,

,
=
,

,
=
,

= 0,0004 inchi = 0,0102 mm

Sehingga tebal dinding pipa minimum (pers. 3.5) diperoleh:

tm = t+A

= 0,0004 + 0,02

= 0,0204 inchi = 0,5182 mm

Tebal nominal pipa (pers. 3.6) dapat diketahui:

Nt =

,
=
. %

= 0,0233 inchi = 0,5918 mm

Diameter dalam pipa (pers. 3.4) didapat:

d = Do – 2 tm

= 0,675 – 0,0408

= 0,6342 inchi = 16,1087 mm


Tugas Akhir 48

2. Untuk pemakaian 10 tahun

Dengan perhitungan ketebalan pipa (pers. 3.1) didapat:

t =

, ,
=
, , ,

,
=
,

,
=
,

= 0,0004 inchi = 0,0102 mm

Sehingga tebal dinding pipa minimum (pers. 3.5) diperoleh:

tm = t+A

= 0,0004 + 0,04

= 0,0404 inchi = 1,0262 mm

Tebal nominal pipa (pers. 3.6) dapat diketahui:

Nt =

,
=
. %

= 0,0462 inchi = 1,1735 mm

Diameter dalam pipa (pers. 3.4) didapat:

d = Do – 2 tm

= 0,675 – 0,0808

= 0,5942 inchi = 15,0927 mm


Tugas Akhir 49

Dari tebal nominal yang didapat maka sesuai informasi

umum tentang pipa serta berdasarkan informasi hasil fabrikasi, yang

dapat dilihat pada tabel 3.1, maka dipakai pipa stainless steel dengan

ukuran nominal 3/8 inchi dengan ketebalan 0,049 inchi untuk

pemakaian 5 tahun (schedule 5) dan 0,065 inchi untuk pemakaian 10

tahun (schedule 10).

4.1.2. Tekanan yang Diijinkan

Mengacu pada persamaan 3.7, maka besar tekanan yang

diijinkan pada pipa dapat diketahui:

P =

, ,
=
, , ,

,
=
,

= 15,763 psi = 0,109 MPa

4.1.3. Pengaruh Ulir Pada Sambungan Pipa

Dari diameter luar (Do) yang digunakan untuk pipa dengan

ukuran nominal 3/8 inchi adalah 0,675 inchi, tebal dinding pipa yang

digunakan adalah 0,049 inchi untuk pemakaian 5 tahun (Nt (sch 5)) dan

0,065 inchi untuk pemakaian 10 tahun (Nt (sch 10)), serta untuk

membuat ulir pada pipa, digunakan tapping drills dengan ukuran

drills 19/32” atau 0,5938 inchi (lihat tabel 3.6). Maka diperoleh

asumsi perhitungan untuk ketebalan pipa pada ulir sebagai berikut:


Tugas Akhir 50

Tebal pipa pada daerah ulir = ½ (diameter luar – diameter taper)

Nt (ulir) = ½ × (Do – diameter taper)

= ½ × (0,675 – 0,5938)

= ½ × 0,0812

= 0,0406 inchi = 1,0312 mm

Sehingga ketebalan pipa pada daerah sambungan ulir masih

aman karena:

Tebal pipa yang digunakan – tebal pipa pada daerah ulir > 0

Untuk pemakaian 5 tahun (sch 5)

Nt (sch 5) – Nt (ulir) > 0

0,049 – 0,0406 = 0,0084 inchi > 0

Untuk pemakaian 10 tahun (sch 10)

Nt (sch 10) – Nt (ulir) > 0

0,065 – 0,0406 = 0,0244 inchi > 0

Dari asumsi diatas maka untuk tebal pipa pada daerah

sambungan ulir pada pipa pada pemakaian 5 tahun dan 10 tahun

masih aman.

Untuk mencari tebal dinding pada sambungan pipa, baik

sambungan siku (elbow), te (tee) dan silang (cross), dapat dicari

berdasarkan pada gambar 3.1 dan pada tabel 3.7, dengan

mengurangkan diameter luar sambungan (B) dengan diameter dalam

sambungan (C). Sehingga diperoleh:


Tugas Akhir 51

Diameter luar sambungan (B) = 11 16 inchi = 1,0625 inchi

Diameter dalam sambungan (C) = 0,690 inchi

Sehingga:

Tebal sambungan = B–C

= 1,0625 – 0,690

= 0,3725 inchi = 9.4615 mm

4.2. Pengerjaan Pipa Reaktor SAMOP

Setelah perancangan pipa disetujui, maka tabung-tabung, pipa-pipa

dan dudukan reaktor SAMOP dibuat. Pengerjaan tabung dan pipa reaktor

berdasarkan perancangan, dengan bahan dan alat-alat sebagai berikut.

4.2.1. Bahan Perpipaan Reaktor SAMOP

Berikut ini adalah bahan-bahan yang dipakai dalam instalasi

perpipaan reaktor SAMOP.

1. Pipa

Bahan pipa menggunakan pipa stainless steel 304 dengan

ukuran nominal 3/8 inchi, dan dengan ketebalan pipa 1,65

mm (0.065 inchi) sesuai dengan tabel 3.1 dengan lama

pemakaian 5 sampai 10 tahun.


Tugas Akhhir 52

G
Gambar 1. Pipa stainnless steel 3304
4.1

2. S
Sambungan
n Pipa.

S
Sambungan
n pipa yan
ng dipakai adalah sam
mbungan silang
s

(
(cross), sikku (elbow)), Te (teee) dan saambungan lurus

(
(coupling). Untuk sam
mbungan piipa semua bahan dibeeli di

p
pasaran denngan bahan stainless stteel 304. U
Untuk sambu
ungan

s
silang denggan ukuran 3/8 dibuat dengan di las mengun
nakan

s
sambungan tee dan sambungan
s lurus, karrena sambu
ungan

s
silang dengaan ukuran teersebut tidaak tersedia.

4 Berbagaai macam saambungan ppipa (fitting


Gambar 4.2. g)
sta
ainless steell 304
Tugas Akhhir 53

3. K
Katup (valvve)

K
Katup yangg digunakan
n adalah katuup bola (baall valve) deengan

b
bahan stainlless steel 30
04 dan ukurran 3/8 inchhi dibeli.

Gambar 4.3.. Katup jeniis bola (balll valve)

4. F
Flens (flangge)

F
Flens dibuuat dengan bahan staainless steeel 304 deengan

p
pengerjaan b
bubut, bor dan
d ulir.

bar 4.4. Fleens (flange) dengan bauut-bautnya.


Gamb
Tugas Akhir 54

4.2.2. Alat

Peralatan yang dipakai pada pengerjaan pipa untuk instalasi

reaktor SAMOP antara lain adalah sebagai berikut:

1. Jangka sorong

2. Pemotong pipa

3. Kikir

4. Pemegang pipa

5. Penjepit

6. Penggaris

7. Pembuat ulir

8. Gergaji

9. Satu unit alat las

4.2.3. Pemotongan dan Pengerjaan Pipa

1. Pemotongan Pipa

Pipa dengan bahan stainless steel 304 dibeli masih berupa

potongan panjang 4 meter. Untuk membuat potongan-

potongan pipa sesuai dengan ukuran pada rancangan, maka

pipa dipotong dengan menggunakan pemotong pipa seperti

terlihat pada gambar berikut.


Tugas Akhir 55

Gambar 4.5. Cara memotong pipa

2. Membuat Ulir Pada Pipa

Setelah semua pipa dipotong sesuai dengan ukuran yang

direncanakan, maka ujung-ujung pipa dibuat ulir untuk

menyambung pipa dengan sambungan-sambungan pipa,

katup, flens ataupun dengan tabung.

Membuat ulir pada ujung-ujung pipa dengan menggunakan

pembuat ulir pipa untuk ukuran nominal 3/8 inchi, dengan

cara seperti terlihat pada gambar berikut.

Gambar 4.6. Cara membuat ulir pada pipa


Tugas Akhhir 56

4.2.44. Membuaat Flens

Flens diibuat dengaan cara dibu


ubut, di borr dan di ulirr dengan uk
kuran

dan dim
mensi sepertii pada gamb
bar berikut.

Gaambar 4.1. Dimensi fleens (flange))

4.2.55. Membuaat Sambunggan Pipa Sillang (Cross))

Sambunngan pipa silang kh


husus dibuuat dengann menyam
mbung

sambunggan jenis teee dan samb


bungan luruss, dengan caara di las.

4.3. Sisteem Instalassi Pipa Reaaktor SAM


MOP

Sistem penyambunngan pipa pada installasi pipa reeaktor SAM


MOP,

mennggunakan sistem
s ulir (threaded).. Sistem inii digunakann karena tek
kanan

yangg direncanaakan tidak teerlalu tingg


gi (1 Mpa). Selain kareena tekanan yang

tidakk terlalu tiinggi, sistem


m ulir ini juga diharrapkan dappat memudaahkan

peraawatan dann apabila terdapat


t keebocoran paada sistem instalasi dapat

diceegah dan diaatasi dengann menggunaakan gasket tape pipe.


Tugas Akhir 57

Instalasi pipa reaktor SAMOP menggunakan kerangka (dudukan)

yang dibuat dari besi siku apolo dan besi siku padat yang banyak dijual di

pasaran. Kerangka untuk instalasi dibuat agar bisa digunakan untuk

mengetes kebocoran sistem perpipaan reaktor SAMOP.

4.4. Proses Instalasi Pipa Reaktor SAMOP

Proses instalasi pipa pada perpipaan Reaktor SAMOP dengan

menggunakan sistem ulir (threaded), pada kenyataannya banyak mengalami

perubahan yang tidak harus sesuai dengan perancangan. Hal tersebut

disebabkan beberapa kendala pada proses pembuatan hingga proses intalasi

pipa.

4.4.1. Perpipaan

Pada pipa dengan ukuruan nominal 3/8 inchi, ketebalan yang

dipakai diatas ketebalan dari perhitungan. Hal ini dikarenakan

adanya pengaruh laju korosi sehingga lama pemakaian akan

berpengaruh pada ketebalan pipa yang akan dipakai. Dari hasil

perhitungan didapat tebal pipa sebesar 0,0004 inchi. Pemakaian

untuk tebal pipa tersebut diperoleh tanpa didasarkan perhitungan laju

korosi 0,004 inchi/thn. Dengan memperhitungkan laju korosi, untuk

pemakaian 5 sampai 10 tahun seperti yang direncanakan maka laju

korosi dikalikan dengan lama pemakaian. Sehingga didapat tebal

nominal pipa (Nt) sebesar 0,0233 inchi untuk pemakaian 5 tahun dan

0,0462 inchi untuk pemakaian 10 tahun dan berdasarkan fabrikasi


Tugas Akhir 58

(berdasarkan tabel dimensi pipa, tabel 3.1), maka dipakai tebal pipa

0,049 inchi untuk pemakaian 5 tahun dan 0,065 inchi untuk

pemakaian 10 tahun.

Pada proses pemotongan pipa, pipa tidak bisa dipotong

terlalu pendek, karena pada proses pembuatan ulir, panjang minimal

agar bisa dibuat ulir adalah 160 mm. Oleh karena pipa tidak bisa

dipotong terlalu pendek, sehingga perlu adanya perbaikan rancangan.

4.4.2. Bahan Tambahan

Bahan-bahan tambahan yang harus digunakan pada instalasi

perpipaan reaktor SAMOP adalah sebagai berikut:

1. Flow Meter

Alat ini digunakan untuk mengukur laju aliran fluida dalam

pipa dengan ketepatan sekitar 1%.

2. Pressure Gauge

Adalah alat yang digunakan untuk mengukur tekanan.

3. Reducer Pipe

Alat ini digunakan untuk menyambung pipa dari ukuran

diameter besar ke diameter kecil atau sebaliknya.

4. Expantion

Adalah alat untuk menyambung pipa


Tugas Akhir 59

4.4.3. Alat-alat Yang Diperlukan Pada Saat Proses Instalasi

Pada proses instalasi pipa reaktor SAMOP, diperlukan alat

instalasi seperti:

1. Tang Pipa (tang betet)

Tang ini digunakan untuk memegang pipa dan untuk

mengencangkan pipa pada saat proses pemasangan.

2. Kunci Pas

Kunci yang digunakan untuk mengencangkan mur baut pada

flens

3. Kunci Pipa

4.4.4. Rancangan Baru

Setelah semua pipa dan bahan selesai dipersiapkan, maka

diperlukan rancangan instalasi perpipaan yang baru, yang sesuai

dengan ukuran pipa yang sudah jadi serta kelengkapan bahan-bahan

tambahan. Rancangan yang baru dapat dilihat pada skema instalasi

reaktor SAMOP (Gambar 4.8)


Tugas Akhir 60

Gambar 4.8. Skema instalasi reaktor SAMOP (penyesuaian)


Tugas Akhir 61

4.4.5. Instalasi Pipa Reaktor SAMOP

Proses instalasi perpipaan reaktor SAMOP, adalah sesuai

dengan urutan sebagai berikut:

1. Semua tabung dipasang pada kerangka yang sudah dibuat.

2. Pada seluruh pipa dan instrumen pipa yang mempunyai ulir

dipasang gasket tape pipe pada bagian ulirnya. Gasket tape

pipe ini berfungsi sebagai packing pada sambungan pipa.

3. Pipa dan bahan tambahan serta instrumen pipa dipasang

sesuai urutan hingga semua bagian terpasang. Pemasangan

pipa, bahan serta seluruh instrumen pipa tersebut disesuaikan

sesuai dengan skema instalasi reaktor SAMOP (Gambar 4.8)

4. Setelah semua bahan pada instalasi sudah terpasang, seluruh

instalasi pipa dikencangkan dengan menggunakan peralatan

yang telah disediakan.

5. Langkah terakhir adalah melakukan pengujian kebocoran

sesuai dengan metode pengujian yang direncanakan.

4.5. Metode Pengujian Instalasi Pipa Reaktor SAMOP

Pengujian instalasi pipa reaktor SAMOP adalah pengujian

kebocoran. Pengujian ini menggunakan metode pengujian yang mengacu

pada metode pengujian praktikum prestasi mesin 2 yang diperoleh di bangku

kuliah. Adapun langkah pengujian yang dipakai adalah sebagai berikut.

2
Lukiyanto. YB, 1999, Panduan Praktikum Prestasi Mesin, USD, Yogyakarta
Tugas Akhir 62

4.5.1. Persiapan

Mempersiapkan dahulu bahan-bahan yang akan dipakai Sebelum

melakukan pengujian, yaitu:

1. Air sebagai bahan penguji

2. Larutan Uranium (v = 1,3578 cs ; ρ = 1,4 gr/cc = 0,019 cp),

sebagai bahan pengganti digunakan larutan gula (ρ dan v

mendekati).

3. Kompresor.

4. Selang untuk memasukkan air ke dalam pipa.

5. Timer untuk mencatat waktu.

6. Kertas dan alat tulis untuk mencatat.

7. Kunci-kunci yang diperlukan.

4.5.2. Tes Kebocoran

Untuk mengetes kebocoran, maka dilakukan langkah-langkah

pengujian sebagai berikut:

1. Memastikan semua katup tertutup dahulu.

2. Memasukkan bahan penguji (air) melewati katup 1, dengan

membuka katup 1.

3. Memasukkan air sampai tabung penampung penuh.

4. Melakukan pengecekan adanya kebocoran atau tidak setelah

tabung penampung penuh.


Tugas Akhir 63

5. Karena terdapat kebocoran pada sistem instalasi, maka

tempat dimana terdapat kebocoran tersebut ditandai dengan

menggunakan spidol untuk dperbaiki pada saat perbaikan.

6. Setelah tidak terdapat kebocoran dilain tempat, maka katup 3

dan 5 dibuka untuk mengalirkan semua air dari tabung

penampung menuju ke tabung utama (Teras SAMOP).

7. Melakukan kembali pengecekan seperti langkah 4 dan

memberi tanda pada tempat yang bocor seperti langkah 5.

8. Membuka katup 6 dan 8 hingga air mengalir semua ke tangki

tunda, setelah memastikan tidak ada lagi kebocoran sampai

sambungan sebelum katup 6.

9. Melakukan pengecekan kembali seperti langkah 7.

10. Semua air pada sistem instalasi dikeluarkan dengan membuka

katup 9 hingga tangki tunda kosong, setelah semua tempat

yang terdapat kebocoran diberi tanda.

11. Melakukan perbaikan pada tempat yang bocor.

12. Melakukan kembali tes kebocoran dari awal (langkah 1)

untuk memastikan sistem instalasi tidak ada lagi kebocoran.

4.5.3. Pengujian

Setelah tes kebocoran selesai dilakukan, pengujian sistem instalasi

dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Menutup semua katup, kecuali katup 1.

2. Memasukkan air sampai tangki penampung penuh.


Tugas Akhir 64

3. Memberi tekanan dengan menggunakan kompresor hingga

tekanan mencapai 1,25 atm.

4. Membuka katup 3, serta menyiapkan catatan dan timer.

5. Mereset flow meter ke posisi 0 (nol).

6. Membuka katup 5 dan menjalankan timer pada waktu yang

bersamaan.

7. Mencatat tekanan pada saat air mengalir dari tangki

penampung ke teras SAMOP.

8. Mencatat waktu dan angka flow meter setelah semua air

mengalir ke teras SAMOP.

9. Membuka katup 8, dan menyiapkan lagi catatan dan timer.

10. Mereset flow meter ke posisi nol.

11. Membuka katup 6 serta menjalankan timer bersamaan katup

dibuka.

12. Mencatat tekanan pada saat air mengalir dari teras SAMOP

ke tangki tunda.

13. Mencatat waktu dan angka flow meter setelah semua air

mengalir ke tangki tunda.

14. Melakukan evaluasi.

4.6. Hasil Pengujian

Setelah proses pengujian selesai dilaksanakan dan setelah melakukan

evaluasi, maka didapat hasil pengujian sebagai berikut.


Tugas Akhir 65

4.6.1. Uji Kebocoran

Pada uji kebocoran (test kebocoran) hanya dilakukan dengan

menggunakan air mineral sebagai fluida untuk pengujiannya, dengan

tekanan udara luar yaitu 1 atm, tanpa pengaruh tekanan tambahan.

Dari hasil uji kebocoran yang telah dilaksanakan, terdapat beberapa

kebocoran pada sambungan pipa dan terdapat juga kebocoran pada

tabung, yaitu pada tabung tunda pada bagian pengelasan. Kebocoran

pada sambungan-sambungan pipa dapat diatasi dengan menambah

gasket tape pipe pada ulir sambungan dan pada saat pemasangan

kembali, pipa dan semua instrumen pipa lebih dikencangkan. Untuk

kebocoran pada tabung tunda pengerjaan dikembalikan pada instansi

yang telah ditunjuk.

4.6.2. Pengujian Instalasi Reaktor SAMOP

Pengujian instalasi juga menggunakan air mineral sebagai

fluida pengujinya, yaitu sebanyak 10 liter, tanpa tekanan tambahan

dan pada suhu kamar (27°C). Pada saat proses pengujian, didapat

hasil seperti pada tabel berikut.

Tabel 4.1. Data laju aliran dan tekanan.


Dari tabung penampung UN Dari teras SAMOP menuju
Data
menuju teras SAMOP tabung tunda
Waktu 4“ 51,65’ 4” 54,96’
Flow Rate 2,06 liter/menit 2,034 liter/menit
Pressure 1 atm (14,7 psi) 1 atm (14,7 psi)
BAB V

KESIMPULAN DAN PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Dari perancangan, perhitungan, proses pengerjaan, proses instalasi,

hingga pengujian perpipaan untuk penyelesaian Tugas Akhir dengan judul

Sistem Perpipaan Reaktor SAMOP dengan Bahan Stainless Steel 304 di

Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Yogyakarta, dapat ditarik suatu

kesimpulan berdasarkan keseluruhan prosesnya, yaitu sebagai berikut.

1. Untuk penggunaan Uranium Nitrat (UO2(NO3)2) dengan pH 1,

temperatur 50°C, serta dengan tekanan 1 atm (14,7 psi) pada

instalasi perpipaan Reaktor SAMOP dengan bahan pipa Stainless

Steel 304 dengan nominal pipa 3/8 inchi, dan lama pemakaian

direncanakan untuk 5 sampai 10 tahun, serta dengan laju korosi 0,1

mm/thn, diperoleh ketebalan nominal pipa untuk pipa Stainless Steel

304 dengan nominal pipa 3/8 inchi, yaitu sebesar 0,049 inchi atau

1,254 mm untuk pemakaian 5 tahun dan 0,065 inchi atau 1,651 mm

untuk pemakaian 10 tahun.

2. Apabila temperatur, tekanan dan korosi yang diijinkan dalam

pipa-pipa makin tinggi atau besar, maka tebal pipa (t), tebal dinding

pipa minimum (tm) dan tebal nominal pipa (Nt) semakin tinggi.

5.2. Saran

Pada tugas akhir ini tidak dilakukan pengujian laju korosi terhadap

sambungan-sambungan pipa, sehingga belum diketahui laju korosi pada

66
Tugas Akhir 67

sambungan pipa terutama sambungan pipa dengan ulir, untuk itu perlu

dilakukan penelitian tentang laju korosi pada sambungan pipa sehingga

dapat diperoleh hasil uji korosi pada sambungan pipa terutama pada

sambungan pipa dengan sistem ulir.

5.3. Penutup

Dalam penulisan Tugas Akhir dengan judul Perancangan Sistem

Perpipaan Reaktor SAMOP dengan Bahan Stainless Steel 304 ini penulis

mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak

membantu, sehingga dapat terselesaikan tugas ini. Semoga dengan

terselesainya penyusunan tugas akhir ini dapat membantu dan bermanfaat

bagi pembaca khususnya mahasiswa Teknik Mesin sebagai pengetahuan

dalam teknologi perancangan khususnya pada perancangan sistem perpipaan

reaktor.

Penulis menyadari dalam penyusunan tugas akhir ini masih jauh dari

kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari

pembaca, agar penyusunan tugas akhir ini dapat lebih sempurna.

Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih kapada Bapak

Pembimbing dan Dosen-dosen Penguji Tugas Akhir ini, semoga penulis

dapat lebih mendalami dan memahami tentang perancangan sistem

perpipaan sehingga dapat berguna bagi penulis nantinya di dalam dunia

kerja.
DAFTAR PUSTAKA

American Petroleum Institute, 1988, Calculating of Heater-Tube Thickness in


Petroleum Refineries, API Recommended Practice 530 Third Edition.

American Society for Testing and Materials. 1999, G1 Practice for Preparing,
Cleaning, and Evaluating Corrosion Test Specimens, ASTM Standards
Vol.03.02, ASTM Society

American Society for Testing and Materials. 1999, B 117 Practice for Operating
Salt Spray (Fog) Apparatus, ASTM Standards Vol.03.02, ASTM Society

Bryson. James, 1999, Corrosion of Carbon Steels, ASM Handbook Vol.13, ASM
International

Kannappan. Sam, 1985, Introduction to Pipe Stress Analysis, Engineer Tennessee


Valley Authority Knoxville, Tennessee

Lukiyanto. YB, Panduan Praktikum Prestasi Mesin, Universitas Sanata Dharma,


Yogyakarta

Raswari, 1986, Teknologi dan Perencanaan Sistem Perpipaan, Universitas


Indonesia, Jakarta

Setiyo Utomo. Rois, 2007, Laju Korosi Stainless Steel 304 Yang Telah
Mengalami Pengelasan Dalam Larutan H2SO4 pH 1, Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta

Setyahandana. Budi, Bahan Kuliah Bahan Teknik Manufaktur, Universitas Sanata


Dharma, Yogyakarta

Setyahandana. Budi, Bahan Kuliah Bahan Ilmu Logam, Universitas Sanata


Dharma, Yogyakarta
Shreir and Jarman, 2000, Corrosion Vol.1 Metal/Environment Reactions,
Butterworth-Heinemann

Surdia. Tata, & Saito. Shinroku, 1984, Pengetahuan Bahan Teknik, Pradnya
Paramita, Jakarta

Werenfridus Baur. Yuris, 2007, Laju Korosi Stainless Steel 304 Dalam Larutan
H2SO4 pH 1, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Widharto. Sri, 2001, Karat dan Pencegahannya, Pradnya Paramita, Jakarta


http://academic.evergreen.edu/projects/biophysics/technotes/fabric/pipe.htm
(Jumat, 24 Agustus 2007)

http://en.wikipedia.org/Corrosion.htm (Minggu, 28 Januari 2008)

http://en.wikipedia.org/Stainless_steel.htm (Minggu, 28 Januari 2008)

http://en.wikipedia.org/Uranium.htm (Minggu, 28 Januari 2008)

http://gadang-e-bookformaterialscience.blogspot.com/2005/25/infomengenal-
singkat-apa-itu-stainless-steel.html (Sabtu, 26 Januari 2008)

http://gadang-e-bookformaterialscience.blogspot.com/2006/7/artikelmakalah-
ilmiah-ku-korosi-material-baja-karbon-dan-stainless-steel.html (Sabtu, 26
Januari 2008)

http://gadang-e-bookformaterialscience.blogspot.com/2006/11/artikelperingkat-
ketahanan-logamterhadap-korosi.html (Sabtu, 26 Januari 2008)

http://gadang-e-bookformaterialscience.blogspot.com/2007/4/infodaftar-
pengujian-korosi-standar-astm-secara-umum.html (Sabtu, 26 Januari 2008)

http://gadang-e-bookformaterialscience.blogspot.com/2007/12/info-mengenal-
singkat-apa-itu-stainless.html (Senin, 28 Januari 2008)

http://gadang-e-bookformaterialscience.blogspot.com/2007/15/sekilasapakah-
makna-dari-korosi-secara-umum.html (Sabtu, 26 Januari 2008)

http://www.alloystainless.com/etc_swf.htm (Jumat, 24 Agustus 2007)

http://www.allstainlessltd.co.uk/info_sheet_304_2.html (Sabtu, 09 Februari, 2008)

http://www.amipipe.com/pipe_dimensions_and_weights.php (Jumat, 24 Agustus


2007)

http://www.corrosion-doctors.org/Corrosion rate conversion.htm (Minggu, 10


Juni 2007)

http://www.corrosion-doctors.org/Stainless steel corrosion.htm (Minggu, 10 Juni


2007)

http://www.sandmeyer.com/Alloy 304 - Austenitic Stainless Steel Plate -


Sandmeyer.htm (Kamis, 26 Juli 2007)

http://www.sandmeyer.com/Alloy 316-316L - Austenitic Stainless Steel Plate -


Sandmeyer.htm (Kamis, 26 Juli 2007)
http://www.tasteel.com/is-crevicecorrosion.htm (Rabu, 13 Februari 2008)

http://www.tasteel.com/is-galvaniccorrosion.htm (Rabu, 13 Februari 2008)

http://www.tasteel.com/is-intergranularcorrosion.htm (Rabu, 13 Februari 2008)

http://www.tasteel.com/is-korosistainless.htm (Rabu, 13 Februari 2008)

http://www.tasteel.com/is-pittingcorrosion.htm (Rabu, 13 Februari 2008)

http://www.tasteel.com/is-stresscorrosion.htm (Rabu, 13 Februari 2008)

http://www.tasteel.com/is-uniformcorrosion.htm (Rabu, 13 Februari 2008)

http://www.uic.com.au/uran.htm (Senin, 29 Januari 2008)


LAMPIRAN
LAMPIRAN 1

STAINLESS STEEL GRADES

• 200 Series – austenitic chromium-nickel-manganese alloys


o Type 201 – austenitic that is hardenable through cold working
o Type 202 – austenitic general purpose stainless steel

• 300 Series – austenitic chromium-nickel alloys


o Type 301 – highly ductile, for formed products. Also hardens
rapidly during mechanical working. Good
weldability. Better wear resistance and fatigue
strength than 304.
o Type 302 – same corrosion resistance as 304, with slightly
higher strength due to additional carbon.
o Type 303 – easier machining version of 304 via addition of
sulfur and phosphorus. Also referred to as "A1" in
accordance with ISO 3506.
o Type 304 – the most common grade; the classic 18/8 stainless
steel. Also referred to as "A2" in accordance with
ISO 3506.
o Type 304L – the 304 grade but specially modified for welding.
o Type 309 – better temperature resistance than 304
o Type 316 – the second most common grade (after 304); for food
and surgical stainless steel uses; alloy addition of
molybdenum prevents specific forms of corrosion.
316 steel is used in the manufacture and handling of
food and pharmaceutical products where it is often
required in order to minimize metallic
contamination. It is also known as marine grade
stainless steel due to its increased resistance to
chloride corrosion compared to type 304. SS316 is
often used for building nuclear reprocessing plants.
Most watches that are made of stainless steel are
made of Type 316L; Rolex is an exception in that
they use Type 904L. Also referred to as "A4" in
accordance with ISO 3506. 316Ti (which includes
titanium for heat resistance) is used in flexible
chimney liners, and is able to withstand
temperatures up to 2000 degrees Fahrenheit, the
hottest possible temperature of a chimney fire.
o Type 321 – similar to 304 but lower risk of weld decay due to
addition of titanium. See also 347 with addition of
niobium for desensitization during welding.
• 400 Series – ferritic and martensitic chromium alloys
o Type 405 – a ferritic especially made for welding applications
o Type 408 – heat-resistant; poor corrosion resistance; 11%
chromium, 8% nickel.
o Type 409 – cheapest type; used for automobile exhausts; ferritic
(iron/chromium only).
o Type 410 – martensitic (high-strength iron/chromium). Wear-
resistant, but less corrosion-resistant.
o Type 416 – easy to machine due to additional sulfur
o Type 420 – Cutlery Grade martensitic; similar to the Brearley's
original rustless steel. Excellent polishability.
o Type 430 – decorative, e.g., for automotive trim; ferritic. Good
formability, but with reduced temperature and
corrosion resistance.
o Type 440 – a higher grade of cutlery steel, with more carbon in
it, which allows for much better edge retention when
the steel is heat-treated properly. It can be hardened
to around Rockwell 58 hardness, making it one of
the hardest stainless steels. Due to its toughness and
relatively low cost, most display-only and replica
swords or knives are made of 440 stainless. Also
known as razor blade steel. Available in four grades:
440A, 440B, 440C, and the uncommon 440F (free
machinable). 440A, having the least amount of
carbon in it, is the most stain-resistant; 440C, having
the most, is the strongest and is usually considered a
more desirable choice in knifemaking than 440A
except for diving or other salt-water applications.
o Type 446 – For elevated temperature service

• 500 Series – heat-resisting chromium alloys


• 600 Series – martensitic precipitation hardening alloys

(Sumber: en.wikipedia.org)
LAMPIRAN 2

Uji Korosi Stainless Steel 304 Dalam Larutan Asam (H2SO4)

Uji korosi untuk stainless steel 304 seperti yang telah dilakukan oleh
saudara Yuris Werenfridus Baur dan Rois Setiyo Utomo, yaitu menguji laju
korosi pada stainless steel 304 dalam larutan asam (H2SO4), dengan derajat
keasaman (pH) 1, pada suhu 70oC selama 6 jam dan dilanjutkan pada suhu 29oC
selama 18 jam secara periodik, dengan perlakuan tanpa pengelasan serta setelah
mengalami pengelasan TIG, di Laboratorium Farmasi Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta.
Pengujian stainless steel 304 tanpa pengelasan dilakukan pada dua bahan
yang sama ketebalannya yaitu 3 mm, tetapi berbeda beratnya. Berat benda uji 1
adalah 8,576 gram dan berat benda uji 2 adalah 14,543 gam. Dari hasil uji korosi
tersebut, didapat hasil seperti pada tabel berikut:

Tabel data hasil uji korosi Stainless Steel 304 tanpa pengelasan dan dengan
pengelasan TIG dalam larutan asam (H2SO4) dengan pH 1.
Berat spesimen (gram)
No. Minggu ke- Tanpa Las Dengan Las
Benda I Benda II TIG
1 I 8,576 14,543 36,235
2 II 8,576 14,543 36,231
3 III 8,576 14,543 36,229
4 IV 8,576 14,543 36,227
5 V 8,576 14,543 36,225
6 VI 8,576 14,543 36,224
7 VII 8,576 14,543 36,223
8 VIII 8,576 14,543 36,222
9 IX 8,576 14,543 36,222
10 X 8,576 14,543 36,222
11 XI 8,576 14,543 36,222
12 XII 8,576 14,543 36,222

Sumber: Werenfridus Baur. Yuris, Laju Korosi Stainless Steel 304 Dalam Larutan H2SO4
pH 1, 2007 dan
Setiyo Utomo. Rois, Laju Korosi Stainless Steel 304 Yang Telah Mengalami Pengelasan
Dalam Larutan H2SO4 pH 1, 2007

Analisis Laju Korosi Stainless Steel 304 Dalam Larutan H2SO4

Perhitungan atau analisis laju korosi dapat dihitung dengan menggunakan


rumus :

Laju korosi =
dengan :
Δy = besarnya perubahan (m ,mm, kg, gram)
T = Waktu (Jam, Bulan, Tahun)
1. Tanpa Pengelasan
Pada pengujian stainless steel 304 tanpa pengelasan, karena tidak
terjadi perubahan berat dari kedua spesimen sampai dengan minggu ke-12
maka laju korosi yang terjadi adalah 0 (gram/hari).

Sumber: Werenfridus Baur. Yuris, Laju Korosi Stainless Steel 304 Dalam Larutan
H2SO4 pH 1, 2007

Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa


berat spesimen sampai minggu ke-12 tidak mengalami perubahan berat dan
otomatis dari segi ukuran juga tidak mengalami perubahan. Akan tetapi
terjadi perubahan warna yang disebabkan karena kotoran yang menempel
pada permukaan spesimen setelah bereaksi dengan larutan H2SO4.

2. Dengan Pengelasan
Data yang diperoleh dari hasil pengujian stainless steel 304 dengan
pengelasan, menunjukkan bahwa berat spesimen sampai minggu ke-12
mengalami perubahan berat sehingga spesimen juga mengalami perubahan
ukuran. Sehingga diperoleh laju korosi seperti pada tabel berikut.

laju korosi
No. Minggu ke- gram/jam gram/hari
1 I 0,00004167 0,001
2 II 0,00002381 0,0005714
3 III 0,00001191 0,0002857
4 IV 0,00001191 0,0002857
5 V 0,00001191 0,0002857
6 VI 0,00000595 0,0001429
7 VII 0,00000595 0,0001429
8 VIII 0,00000595 0,0001429
9 IX 0 0
10 X 0 0
11 XI 0 0
12 XII 0 0
Sumber: Setiyo Utomo. Rois, Laju Korosi Stainless Steel 304 Yang Telah Mengalami
Pengelasan Dalam Larutan H2SO4 pH 1, 2007
Suumber: Setiyoo Utomo. Roiss, Laju Korosii Stainless Steel 304 Yang T
Telah Mengala
ami
Pengelassan Dalam Larrutan H2SO4 pH p 1, 2007

S
Sumber: Setiyyo Utomo. Roiis, Laju Korossi Stainless Steeel 304 Yang Telah Mengallami
Pengelasan Dalam La arutan H2SO4 pH 1, 2007
LAMPIRAN 3

CORROSION RATE CONVERSION

The following charts provide a simple way to convert data between the most
common corrosion units in usage, i.e. corrosion current (mA cm-2) , mass loss
(g m-2 day-1) and penetration rates (mm y-1 or mpy) for all metals or for steel

mA cm-2 mm year-1 mpy g m-2 day-1


mA cm-2 1 3.28 M/nd 129 M/nd 8.95 M/n
mm year-1 0.306 nd/M 1 39.4 2.74 d
mpy 0.00777 nd/M 0.0254 1 0.0694 d
g m-2 day-1 0.112 n/M 0.365 /d 14.4 /d 1

where:
mpy = milli-inch per year
n = number of electrons freed by the corrosion reaction
M = atomic mass
d = density

Note: you should read the Table from left to right, i.e.:
1 mA cm-2 = (3.28 M/nd) mm y-1 = (129 M/nd) mpy = (8.95 M/n) g m-2 day-1

For example, if the metal is steel or iron (Fe), n =2, M = 55.85 g and d = 7.88 g
cm-3 and the Table of conversion becomes:

mA cm-2 mm year-1 mpy g m-2 day-1


mA cm-2 1 11.6 456 249
mm year-1 0.0863 1 39.4 21.6
mpy 0.00219 0.0254 1 0.547
g m-2 day-1 0.00401 0.0463 1.83 1

Note: you should read the Table from left to right, i.e.:
1 mA cm-2 = 11.6 mm y-1 = 456 mpy = 249 g m-2 day-1

(Sumber: www.corrosion-doctors.org)
LAMPIRAN 4

Daftar ASTM Pengujian Korosi Secara Umum

A 143 - Practice for Safeguarding Against Embrittlement of Hot-Dip


Galvanized Structural Steel Products and Procedure for Detecting
Embrittlement
A 262 - Practices for Detecting Susceptibility to lntergranular Attack in
Austenitic Stainless Steels
A 380 - Practice for Cleaning, Descaling, and Passivation of Stainless Steel
Parts, Equipment and Systems
A 763 - Practices for Detecting Susceptibility to Intergranular Attack in
Ferritic Stainless Steels
***
B 76 - Test Method for Accelerated Life of Nickel-Chromium and Nickel-
Chromium-Iron Alloys for Electrical Heating
B 78 - Test Method for Accelerated Life of Iron-Chromium-Aluminum Alloys
for Electrical Heating
B 117 - Practice for Operating Salt Spray (Fog) Apparatus
B 154 - Test Method for Mercurous Nitrate Test for Copper and Copper
Alloys
B 368 - Method for Copper-Accelerated Acetic Acid-Salt Spray (Fog) Testing
(Cass Test)
B 380 - Method of Corrosion Testing of Decorative Electrodeposited Coatings
by the Corrodkote Procedure
B 457 - Test Method for Measurement of Impedance of Anodic Coatings on
Aluminum
B 537 - Practice for Rating of Electroplated Panels Subjected to Atmospheric
Exposure
B 545 - Specification for Electrodeposited Coatings of Tin
B 577 - Test Methods for Detection of Cuprous Oxide (Hydrogen
Embrittlement Susceptibility) in Copper
B 605 - Specification for Electrodeposited Coatings of Tin-Nickel Alloy
B 627 - Test Method for Electrolytic Corrosion Testing (EC Test)
B 650 - Specification for Electrodeposited Engineering Chromium Coatings
on Ferrous Substrates
B 651 - Method for Measurement of Corrosion Sites in Nickel Plus Chromium
or Copper Plus Nickel Plus Chromium Electroplated Surfaces With
the Double-Beam Interference Microscope
B 680 - Test Method for Seal Quality of Anodic Coatings on Aluminum by
Acid Dissolution
B 689 - Specification for Electroplated Engineering Nickel Coatings
B 732 - Test Method for Evaluating the Corrosivity of Solder Fluxes for
Copper Tubing Systems
B 733 - Specification for Autocatalytic Nickel-Phosphorus Coatings on Metals
B 734 - Specification for Electrodeposited Copper for Engineering Uses
B 735 - Test Method for Porosity in Gold Coatings on Metal Substrates by
Nitric Acid Vapor
B 741 - Test Method for Porosity in Gold Coatings on Metal Substrates by
Paper Electrography
B 765 - Guide for Selection of Porosity Tests for Electrodeposits and Related
Metallic Coatings
B 809 - Test Method for Porosity in Metallic Coatings by Humid Sulfur Vapor
"Flowers of Sulfur"
***
C 692 - Test Method for Evaluating the Influence of Thermal Insulations on
the External Stress Corrosion Cracking Tendency of Austenitic
Stainless Steel
C 739 - Specification for Cellulosic Fiber (Wood-Base) Loose-Fill Thermal
Insulation
C 876 - Test Method for Half-Cell Potentials of Uncoated Reinforcing Steel in
Concrete
***
D 130 - Test Method for Detection of Copper Corrosion From Petroleum
Products by the Copper Strip Tarnish Test
D 610 - Test Method for Evaluating Degree 9f Rusting on Painted Steel
Surfaces
D 665 - Test Method for Rust-Preventing Characteristics of inhibited Mineral
Oil in the Presence of Water
D 849 - Test Method for Copper Strip Corrosion by Industrial Aromatic
Hydrocarbons
D 876 - Test Methods for Nonrigid Vinyl Chloride Polymer Tubing Used for
Electrical Insulation
D 930 - Test Method of Total Immersion Corrosion Test of Water-Soluble
Aluminum Cleaners
D 1141 - Specification for Substitute Ocean Water
D 1193 - Specification for Reagent Water
D 1280 - Test Method of Total Immersion Corrosion Test for Soak Tank Metal
Cleaners
D 1384 - Test Method for Corrosion Test for Engine Coolants in Glassware
D 1414 - Test Method for Rubber O-Rings
D 1611 - Test Method for Corrosion Produced by Leather in Contact with
Metal
D 1654 - Test Method for Evaluation of Painted or Coated Specimens Subjected
to Corrosive Environments
D 1734 - Test Method for Corrosion Preventive Properties of Lubricating
Greases
D 1838 - Test Method for Copper Strip Corrosion by Liquefied Petroleum (LP)
Gases
D 2059 - Test Method for Resistance of Zippers to Salt Spray (Fog)
D 2251 - Test Method for Metal Corrosion by Halogenated Organic Solvents
and Their Admixtures
D 2570 - Test Method for Simulated Service Corrosion Testing of Engine
Coolants
D 2649 - Test Method for Corrosion Characteristics of Solid Film Lubricants
D 2671 - Test Methods for Heat-Shrinkable Tubing for Electrical Use
D 2758 - Test Method for Engine Coolants by Engine Dynamometer
D 2803 - Guide for Testing Filiform Corrosion Resistance of Organic Coatings
on Metal
D 2809 - Test Method for Cavitation Corrosion and Erosion-Corrosion
Characteristics of Aluminum Pumps with Engine Coolants
D 2847 - Practice for Testing Engine Coolants in Car and Light Truck Service
D 2933 - Test Method for Corrosion Resistance of Coated Steel Specimens
(Cyclic Method)
D 3263 - Test Methods for Corrosivity of Solvent Systems for Removing Water-
Formed Deposits
D 3310 - Test Method for Determining Corrosivity of Adhesive Materials
D 3316 - Test Method for Stability of Perchloroethylene with Copper
D 3482 - Test Method for Determining Electrolytic Corrosion of Copper by
Adhesives
D 3603 - Test Method for Rust-Preventing Characteristics of Steam Turbine Oil
in the Presence of Water (Horizontal Disk Method)
D 4048 - Test Method for Detection of Copper Corrosion from Lubricating
Grease
D 4340 - Test Method for Corrosion of Cast Aluminum Alloys in Engine
Coolants under Heat-Rejecting Conditions
D 4585 - Practice for Testing Water Resistance of Coatings Using Controlled
Condensation
D 4627 - Test Method for Iron Chip Corrosion for Water-Dilutable
Metalworking Fluids
***
E 712 - Practice for Laboratory Screening of Metallic Containment Materials
for Use with Liquids in Solar Heating and Cooling Systems
E 745 - Practices for Simulated Service Testing for Corrosion of Metallic
Containment Materials for Use with Heat-Transfer Fluids in Solar
Heating and Cooling Systems
E 937 - Test Method for Corrosion of Steel by Sprayed Fire-Resistive Material
(SFRM) Applied to Structural Members
***
F 326 - Test Method for Electronic Hydrogen Embrittlement Test for
Cadmium Electroplating Processes
F 359 - Practice for Static Immersion Testing of Unstressed Materials in
Nitrogen Tetroxide (N2O4)
F 482 - Test Method for Corrosion of Aircraft Metals by Total Immersion in
Maintenance Chemicals
F 483 - Test Method for Total Immersion Corrosion Test for Aircraft
Maintenance Chemicals
F 519 - Test Method for Mechanical Hydrogen Embrittlement Testing of
Plating Processes and Aircraft Maintenance Chemicals
F 746 - Test Method for Pitting or Crevice Corrosion of Metallic Surgical
Implant Materials
F 897 - Test Method for Measuring Fretting Corrosion of Osteosynthesis
Plates and Screws
F 945 - Test Method for Stress-Corrosion of Titanium Alloys by Aircraft
Engine Cleaning Materials
F 1089 - Test Method for Corrosion of Surgical Instruments
F 1110 - Test Method for Sandwich Corrosion Test
***
G1 - Practice for Preparing, Cleaning, and Evaluating Corrosion Test
Specimens
G2 - Test Method for Corrosion Testing of Products of Zirconium, Hafnium
and Their Alloys in Water at 680F or in Steam at 750F
G 2M - Test Method for Corrosion Testing of Products of Zirconium,
Hafnium, and Their Alloys in Water at 633K or in Steam at 673K
(Metric)
G3 - Practice for Conventions Applicable to Electrochemical
Measurements in Corrosion Testing
G4 - Guide for Conducting Corrosion Coupon Tests in Field Applications
G5 - Reference Test Method for Making Potentiostatic and
Potentiodynamic Anodic Polarization Measurement
G 15 - Terminology Relating to Corrosion and Corrosion Testing
G 16 - Guide for Applying Statistics to Analysis of Corrosion Data
G 28 - Test Methods of Detecting Susceptibility to Intergranular Attack in
Wrought, Nickel-Rich, Chromium Bearing Alloys
G 30 - Practice for Making and Using U-Bend Stress-Corrosion Test
Specimens
G 31 - Practice for Laboratory Immersion Corrosion Testing of Metals
G 32 - Test Method for Cavitations Erosion Using Vibratory Apparatus
G 33 - Practice for Recording Data from Atmospheric Corrosion Tests of
Metallic-Coated Steel Specimens
G 34 - Test Method for Exfoliation Corrosion Susceptibility in 2XXX and
7XXX Series Aluminum Alloys (EXCO Test)
G 35 - Practice for Determining the Susceptibility of Stainless Steels and
Related Nickel-Chromium-Iron Alloys to Stress-Corrosion Cracking
in Polythionic Acids
G 36 - Practice for Evaluating Stress-Corrosion-Cracking Resistance of
Metals and Alloys in a Boiling Magnesium Chloride Solution
G 37 - Practice for Use of Mattsson’s Solution of pH 7.2 to Evaluate the
Stress-Corrosion Cracking Susceptibility of Copper-Zinc Alloys
G 38 - Practice for Making and Using C-Ring Stress-Corrosion Test
Specimens
G 39 - Practice for Preparation and Use of Bent-Beam Stress-Corrosion Test
Specimens
G 40 - Terminology Relating to Wear and Erosion
G 41 - Practice for Determining Cracking Susceptibility of Metals Exposed
Under Stress to a Hot Salt Environment
G 44 - Practice for Evaluating Stress Corrosion Cracking Resistance of
Metals and Alloys by Alternate Immersion in 3.5 % Sodium Chloride
Solution
G 46 - Guide for Examination and Evaluation of Pitting Corrosion
G 47 - Test Method for Determining Susceptibility to Stress-Corrosion
Cracking of High-Strength Aluminum Alloy Products
G 48 - Test Methods for Pitting and Crevice Corrosion Resistance of
Stainless Steels and Related Alloys by Ferric Chloride Solution
G 49 - Practice for Preparation and Use of Direct Tension Stress-Corrosion
Test Specimens
G 50 - Practice for Conducting Atmospheric Corrosion Tests on Metals
G 51 - Test Method for Measuring pH of Soil for Use in Corrosion Testing
G 52 - Practice for Exposing and Evaluating Metals and Alloys in Surface
Seawater
G 54 - Practice for Simple Static Oxidation Testing
G 56 - Test Method for Abrasiveness of Ink-Impregnated Fabric Printer
Ribbons
G 57 - Test Method for Field Measurement of Soil Resistivity Using the
Wenner Four-Electrode Method
G 58 - Practice for Preparation of Stress-Corrosion Test Specimens for
Weldments
G 59 - Practice for Conducting Potentiodynamic Polarization Resistance
Measurements
G 60 - Test Method for Conducting Cyclic Humidity Tests
G 61 - Test Method for Conducting Cyclic Potentiodynamic Polarization
Measurements for Localized Corrosion Susceptibility of Iron, Nickel,
or Cobalt Based Alloys
G 64 - Classification of Resistance to Stress-Corrosion Cracking of Heat-
Treatable Aluminum Alloys
G 65 - Test Method for Measuring Abrasion Using the Dry Sand/Rubber
Wheel Apparatus
G 66 - Test Method for Visual Assessment of Exfoliation Corrosion
Susceptibility of 5XXX Series Aluminum Alloys (ASSET Test)
G 67 - Test Method for Determining the Susceptibility to Intergranular
Corrosion of 5XXX Series Aluminum Alloys by Mass loss Alter
Exposure to Nitric Acid (NAMLT Test)
G 69 - Practice for Measurement of Corrosion Potentials of Aluminum Alloys
G 71 - Guide for Conducting and Evaluating Galvanic Corrosion Tests in
Electrolytes
G 73 - Practice for Liquid Impingement Erosion Testing
G 75 - Test Method for Determination of Slurry Abrasivity (Miller Number)
and Slurry Abrasion Response of Materials (SAR Number)
G 76 - Test Method for Conducting Erosion Tests by Solid Particle
Impingement Using Gas Jets
G 77 - Test Method for Ranking Resistance of Materials to Sliding Wear
Using Block-on-Ring Wear Test
G 78 - Guide for Crevice Corrosion Testing of Iron-Base and Nickel-Base
Stainless Alloys in Seawater and Other Chloride-Containing Aqueous
Environments
G 79 - Practice for Evaluation of Metals Exposed to Carbuzization
Environments
G 81 - Test Method for Jaw Crusher Gouging Abrasion Test
G 82 - Guide for Development and Use of a Galvanic Series for Predicting
Galvanic Corrosion Performance
G 83 - Test Method for Wear Testing with a Crossed-Cylinder Apparatus
G 84 - Practice for Measurement of Time-of-Wetness on Surfaces Exposed to
Wetting Conditions as in Atmospheric Corrosion Testing
G 85 - Practice for Modified Salt Spray (Fog) Testing
G 87 - Practice for Conducting Moist SO2 Tests
G 91 - Practice for Monitoring Atmospheric SO2 Using the Sulfation Plate
Technique
G 92 - Practice for Characterization of Atmospheric Test Sites
G 96 - Guide for On-Line Monitoring of Corrosion in Plant Equipment
(Electrical and Electrochemical Methods)
G 97 - Test Method for laboratory Evaluation of Magnesium Sacrificial
Anode Test Specimens for Underground Applications
G 98 - Test Method for Galling Resistance of Materials
G 99 - Test Method for Wear Testing with a Pin-on-Disk Apparatus
G 100 - Test Method for Conducting Cyclic Galvanostaircase Polarization
G 101 - Guide for Estimating the Atmospheric Corrosion Resistance of low-
Alloy Steels
G 102 - Practice for Calculation of Corrosion Rates and Related Information
from Electrochemical Measurements
G 103 - Test Method for Performing a Stress-Corrosion Cracking Test of low
Copper Containing Al-Zn-Mg Alloys in Boiling 6 % Sodium Chloride
Solution
G 104 - Test Method for Assessing Galvanic Corrosion Caused by the
Atmosphere
G 105 - Test Method for Conducting Wet Sand/Rubber Wheel Abrasion Tests
G 106 - Practice for Verification of Algorithm and Equipment for
Electrochemical Impedance Measurements
G 107 - Guide for Formats for Collection and Compilation of Corrosion Data
for Metals for Computerized Database Input
G 108 - Test Method for Electrochemical Reactivation (EPR) for Detecting
Sensitization of AISI Type 304 and 304L Stainless Steels
G 109 - Test Method for Determining the Effects of Chemical Admixtures on
the Corrosion of Embed Steel Reinforcement in Concrete Exposed to
Chloride Environments
G 110 - Practice for Evaluating lntergranular Corrosion Resistance of Heat-
Treatable Aluminum Alloys by Immersion in Sodium Chloride +
Hydrogen Peroxide Solution
G 111 - Guide for Corrosion Tests in High-Temperature or High-Pressure
Environment or Both
G 112 - Guide for Conducting Exfoliation Corrosion Tests in Aluminum Alloys
G 115 - Guide for Measuring and Reporting Friction Coefficients
G 116 - Practice for Conducting Wire-on-Bolt Test for Atmospheric Galvanic
Corrosion
G 117 - Guide for Calculating and Reporting Measures of Precision Using
Data from Interlaboratory Wear or Erosion Tests
G 118 - Guide for Recommended Format of Wear Test Data Suitable for
Databases
G 119 - Guide for Determining Synergism between Wear and Corrosion
G 123 - Test Method for Evaluating Stress-Corrosion Cracking of Stainless
Alloys with Different Nickel Content in Boiling Acidified Sodium
Chloride Solution
G 129 - Practice for Slow Strain Rate Testing to Evaluate the Susceptibility of
Metallic Materials to Environmentally Assisted Cracking
G 132 - Test Method for Pin Abrasion Testing
G 133 - Test Method for Linearly Reciprocating Ball-on-Flat Sliding Wear
G 134 - Test Method for Erosion of Solid Materials by a Cavitating Liquid Jet
G 135 - Guide for Computerized Exchange of Corrosion Data for Metals
G 137 - Test Method for Ranking Resistance of Plastic Materials to Sliding
Wear Using a Block-on-Ring Configuration
G 139 - Test Method for Determining Stress-Corrosion Cracking Resistance of
Heat-Treatable Aluminum Alloy Products Using Breaking load
Method
G 140 - Test Method for Determining Atmospheric Chloride Deposition Rate
by Wet Candle Method
G 142 - Test Method for Determination of Susceptibility of Metals to
Embrittlement in Hydrogen Containing Environments at High
Pressure, High Temperature, or Both
G 143 - Test Method for Measurement of Web/Roller Friction Characteristics
G 146 - Practice for Evaluation of Disbonding of Bimetallic Stainless
Alloy/Steel Plate for Use in High-Pressure, High-Temperature
Refinery Hydrogen Service
G 148 - Practice for Evaluation of Hydrogen Uptake, Permeation, and
Transport in Metals by an Electrochemical Technique
G 149 - Practice for Conducting the Washer Test for Atmospheric Galvanic
Corrosion
G 150 - Test Method for Electrochemical Critical Pitting Temperature Testing
of Stainless Steels
(Sumber: gadang-e-bookformaterialscience.blogspot.com)
LAMPIRAN 5

Tabel Periodik

Sumber : en.wikipedia.org
LAMPIRAN 6

Anda mungkin juga menyukai