Anda di halaman 1dari 14

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/340091079

Turgo: "Nggenturke Rogo" (Multi-Kerentanan Warga Turgo Paska Erupsi


Merapi 2010)

Article · July 2011

CITATIONS READS

0 378

1 author:

Andreas Budi Widyanta


Universitas Gadjah Mada
50 PUBLICATIONS 51 CITATIONS

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Andreas Budi Widyanta on 22 March 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Turgo: “Nggenturke Rogo”
(Multi-Kerentanan Warga Turgo Paska Erupsi Merapi 2010)
Oleh:
AB.Widyanta

Tidak jarang erupsi Merapi itu sangat berpengaruh pada semangat


anak untuk sekolah. Sepulang mengungsi, mereka jadi agak awang-awangen.
Sedangkan pada saat mengungsi, para orang tua tidak punya penghasilan sehingga
tak bisa menabung juga. Padahal nantinya mereka harus menyekolahkan anak-anaknya,
masuk SMP atau SMA yang berbiaya mahal. Kalau pun orang tua punya cukup uang,
tapi jika si anak sendiri tidak punya semangat untuk sekolah ya sama saja.
(Suwaji, Guru SD Tarakanita – Turgo) 1

Kalau dihitung rinci, usaha peternakan warga itu minus. Jika tenaga kerja dan rumputnya
di hitung, maka minusnya pol-polan (habis-habisan). Kami tidak mendapatkan apa-apa.
(Mulyanto, Pengurus Koperasi Susu – Turgo) 2

Pengantar
Turgo adalah legenda. Senantiasa namanya terlekat pada keberadaan situs
Merapi Purba yang nampak kerdil di ujung kaki Merapi sisi barat daya. Kendati
jauh berlipat kecilnya dari Merapi, namun warga sekitar meyakini bahwa bukit
Turgo itulah yang selama ini membentengi dan menyelamatkan mereka saat Merapi
punya gawe (erupsi). Keyakinan warga begitu lekat bahwa tak akan mungkin Merapi
berani melangkahi atau bahkan menelan bibi pengasuhnya sendiri: Gunung/Bukit
Turgo. Maka, bersandingkan bukit Turgo, komunitas warga yang bermukim di sisi
selatannya pun hidup dalam damai tanpa perlu beselimut cemas. Kendati hidup
berkawan dengan bahaya (living with risk), namun pernaungan kosmologi Turgo-
Merapi teramat cukup bagi warga untuk berdaya tahan. Kosmologi itu adalah
worldview yang tak akan pernah tercerabut dari jagad batin sebagian besar warga di
Dusun Turgo, bahkan oleh maut sekalipun.3
Dalam peta kebencanaan letusan gunung berapi, Dusun Turgo yang masuk
dalam kewilayahan Desa Purwobinangun, memang terhitung sebagai salah satu
wilayah rawan bencana nomor wahid di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta. Dalam konteks kebencanaan itu, wilayah Dusun Turgo—yang berada
di apitan hulu badan Kali Boyong di sisi timur dan Kali Ledok Lengkong (begitu
1 Wawancara penulis dengan Suwaji pada 11 Februari 2011.
2 Wawancara penulis dengan Mulyanto pada 10 Februari 2011.
3 Terkait dengan beragam kepercayaan warga terhadap Gunung Merapi ini, baca lebih lanjut Triyoga, Lucas

Sasongko, Merapi dan Orang Jawa: Persepsi dan Kepercayaannya; Jakarta: Grasindo; 2010, hlm. 43-89.
warga menyebut) di sisi baratnya—memang sering jadi pusat perhatian publik
tatkala Merapi mulai bergolak. Biasanya jika petugas Pusat Vulkanologi dan
Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) datang menyambang ke Turgo, maka bisa jadi
pertanda dimulainya proses evakuasi warga untuk menjauh dari kaki Merapi.
Bersama seluruh kecemasan pada nasib ternak-ternak yang sulit terbawa serta
dalam situasi darurat, warga pun terpaksa mengungsi dan menghuni barak-barak
pengungsian yang telah disediakan pemerintah. Meski periodenya tak tentu, namun
bisa dipastikan bahwa aktivitas mengungsi jadi “tradisi spesial warga Turgo”.
Kerawanan bencana itulah yang membuat penghidupan warga Turgo
sangat rentan (vulnerable livelihood). Segala aktivitas seperti pertanian, peternakan,
hingga pendidikan pun terhenti karena warga terpaksa harus mengungsi. Tercatat
pada peristiwa erupsi Merapi terakhir beberapa bulan lalu (Oktober 2010), warga
harus mengungsi selama 1 sampai 1,5 bulan. Praktis, segenap penghidupan utama
di sektor pertanian, perkebunan, dan peternakan pun terbengkelai. Situasi itu tentu
memukul dan bahkan membangkrutkan perekonomian warga. Selain menghantam
sektor penghidupan, keberlangsungan proses pendidikan SD Tritis pun terhenti.
Situasi semakin menghimpit ketika paska bencana pun kesejahteraan warga
terabaikan. Sentuhan program pemulihan (rehabilitasi & rekonstruksi) paska
erupsi oleh pemerintah pun hadir secara tak memadai—untuk tidak menyebut
absen.
Tulisan—yang terlahir dari keterlibatan pendampingan penulis bersama
LSM Aksara di Dusun Turgo pasca erupsi Merapi—ini secara khusus akan
memaparkan kehidupan warga Turgo dengan segenap persoalan sosial, ekonomi,
dan Sumber Daya Manusia (SDM)-nya. Gugatan mendasar yang ingin dilontarkan
oleh tulisan ini adalah sejauh mana pemerintah—melalui berbagai program
pengentasan kemiskinannya—telah melakukan afirmasi kebijakan terutama bagi
warga yang tinggal di wilayah rawan bencana seperti Dusun Turgo ini. Tepat di
wilayah-wilayah rawan bencana seperti di Turgo inilah beragam program
pengentasan kemiskinan pemerintah mendapati tantangan terberatnya. Dari hasil
temuan penulis di lapangan, di Dusun Turgo terjumpai sebuah fakta bahwa
meskipun dikepung belitan involusi di berbagai sektor penghidupannya, warga
Turgo secara bermartabat mampu menunjukkan tingkat survivabilitas yang tinggi,
bangkit dari keterpurukan hidupnya.
Sistematika tulisan akan teruraikan dalam empat bagian berikut: pertama,
sebagai pintu masuk, tulisan terlebih dulu akan mengulas kembali peristiwa erupsi
Merapi, pada Oktober 2010 silam, yang nyata-nyata telah mengusir paksa warga
Turgo untuk meninggalkan segenap aktivitas harian, ternak, rumah, dan
pemukiman mereka. Kedua, tulisan akan mengilustrasikan “profile” singkat Dusun
Turgo dengan segenap ketangguhan dan kesiapsiagaannya dalam menghadapi
bencana. Ketiga, tulisan akan mengurai berbagai dampak kehancuran akibat erupsi
Merapi yang mesti ditanggung warga Turgo sekembalinya dari “pengasingan”:
posko pengungsian. Tak terpalingkan, segenap sektor penghidupan warga pun
terpelanting ke sisi defisit. Seluruh sektor—seperti peternakan, pertanian,
perdagangan, perkebunan—perlu dipulihkan seperti sediakala, kendati pun

Ujian Akhir Semester -- Mata Kuliah: Pembangunan, SDM dan Perubahan Sosial – AB. Widyanta Page 2
berbagai belitan kerentanan dan involusi adalah kelumrahan yang senantiasa hadir
di keseharian hidup warga Turgo. Keempat, pada bagian epilog, tulisan akan
menyimpulkan sejumlah catatan kritis tentang “absennya/minimalnya peran
negara” dalam kehidupan warga Turgo, dan tantangan ke depan merealisasikan
komitmen program ambisius Millenium Development Goals dan Hyogo Frameworks yang
berkomitmen pada pengentasan kemiskinan, terutama di wilayah rawan bencana
seperti turgo.

Erupsi Merapi 2010


Erupsi yang terjadi pada 2010 silam memang berbeda dengan tabiat Merapi
selama hampir delapan dekade lalu.4 Bermula sejak ditetapkannya status Waspada
ke Siaga pada Kamis 21 Oktober 2010, dan ditingkatkannya lagi ke status Awas
pada Senin 25 Oktober 2010, erupsi ekplosif Merapi akhirnya terjadi pada Selasa
petang 26 Oktober 2010. Fluktuasi erupsi terus berlanjut hingga 10 hari kemudian.
Akhirnya titik kulminasi erupsi dahsyat Merapi pun pecah pada pukul 01.00 dini
hari, Jumat 5 November 2010. Selain telah mengakibatkan 379 orang meninggal,
2.625 rumah hancur, erupsi Merapi itu juga telah memicu gelombang besar
pengungsian hingga hampir mencapai 400.000 orang. Penetapan radius bahaya
yang bermula dari hitungan 5, 10, 15, hingga 20 km, memicu gelombang
pengungsian warga secara besar-besaran dan beruntun pula. Berbondongan, warga
berulangkali pindah dari posko satu ke posko lain dan berakhir hingga tersebar di
posko-posko di radius aman.5
Dari ratusan ribu pengungsi tersebut, sebanyak 154 KK atau 460 jiwa di
antaranya adalah pengungsi dari Dusun Turgo. Awalnya, sekitar satu hari sebelum
erupsi pertama terjadi, proses evakuasi untuk warga lansia (lanjut usia) dan anak-
anak balita (bawah lima tahun) telah dilakukan. Tim Tagana (satuan tugas
penanggulangan bencana) gabungan Desa Purwobinangun memindahkan mereka
dengan beberapa armada ke barak pengungsian Purwobinangun yang berjarak
sekitar 10 km dari puncak Merapi. Seluruh warga yang rentan sudah berada di
barak, dan sebagian besar warga sudah berada di tenda-tenda yang didirikan di
lapangan evakuasi. Yang tersisa hanyalah beberapa petugas/Tagana yang berjaga di
pos-pos keamanan dusun.6
Saat erupsi pertama pecah, 26 Oktober 2010, seluruh warga di 3 dusun
terdekat dari Merapi—Dusun Turgo, Dusun Ngepring, dan Dusun Kemiri—pun
menyusul dievakuasi dengan 2 armada truk. Pada hari itu, total pengungsi hingga
mencapai sekitar 2.500 orang. Meskipun dari pasokan logistik tercukupi, tapi
berjubalnya pengungsi memunculkan problem menyolok di area pengungsian, yaitu

4 Menurut Eko Teguh Paripurno, ahli vulkanologi UPN Veteran Yogyakarta, erupsi eksplosif Merapi semacam ini
pernah terjadi pada tahun 1930, dengan menelan korban 1.367 orang dan 2.100 ternak mati. Sejak itu, erupsi Merapi
cenderung bersifat efusif dengan karakteristik aliran lava dan awan panas piroklastik (wedus gembel). Baca Gejala Erupsi
Merapi Eksplosif di Harian Kompas (Yogyakarta), edisi 26 Oktober 2010, hlm A. Baca Gesit Ariyanto dan Mohamad
Final Daeng, Tabiat Baru Gunung Merapi, Harian Kompas edisi 1 November 2010, hlm.14.
5 Widyanta, AB. 2011. Gelombang Erupsi Merapi, Pengungsi dan Jejaring Posko Mandiri; Best Practice

Penanggulangan Bencana ala Dusun Kadisoka (paper untuk sub-bab buku LSM Episentrum); halaman 9.
6 Wawancara penulis dengan Suwaji, pada 11 Februari 2011.
terbatasnya berbagai prasarana pendukung seperti MCK dan penampungan
sampah. Aroma yang tidak sedap dan sanitasi yang buruk di lingkungan barak
pengungsian ini menjadi catatan umum dari sebagian besar pengungsi. Serba
terbatasnya prasarana MCK, lantaran banyak yang telah rusak, membuat para
pengungsi terpaksa numpang ke MCK warga sekitar barak pengungsian.7
Seiring ditingkatkanya status radius aman dari 10, 15, hingga 20 km, yang
kemudian diikuti terjadinya erupsi terbesar pada 5 November 2010, maka seluruh
warga Purwobinangun sebanyak 9.032 orang 8 pun mengungsi ke radius aman.
Lagi-lagi, warga kembali pindah ke sejumlah tempat pengungsian yang baru, dua di
antaranya adalah Posko Pengungsian UPN dan Posko Utama Stadion
Maguwoharjo. Menurut penuturan sebagian warga Dusun Turgo, khusus Posko
UPN—yang dikelola oleh civitas kampus Universitas Pembangunan Nasional—
menunjukkan tingkat pelayanan yang jauh lebih baik ketimbang Posko Utama
Stadion Maguwoharjo. Tidak ada persoalan berarti di Posko UPN, kecuali
kekurangnyamanan atas ketatnya proses pemeriksaan orang-orang yang keluar
masuk di lingkungan kampus tersebut. Hingga para warga Turgo yang keluar
masuk untuk mengurusi ternak-ternak menjadi terkendala karenanya.
Kompleksitas persoalan pengungsian terpusat di Posko Utama Stadion
Maguwoharjo. Selain terlalu sering menjadi “ajang komodifikasi politik” atau arena
seremonial bagi kunjungan para pejabat yang merepotkan pengungsi, Posko Utama
Stadion Maguwoharjo juag tak lagi memadai untuk menampung pengungsi hingga
belasan ribu orang. Terbatasnya jumlah MCK, tempat pembuangan sampah, dan
tingginya tekanan psikologis—yang terindikasikan pada tingginya kasus hipertensi
pada pemeriksaan medis9—lantaran jumlah pengungsi yang massif adalah problem
dominan di Posko Utama Stadion Maguwoharjo. Sebagian kecil warga Turgo yang
terlanjur masuk di Posko Utama ini banyak yang akhirnya bergabung dengan
mayoritas warga Turgo di Posko Pengungsian UPN.
Di posko pengungsian itu, hari-hari terasa panjang bagi warga Turgo yang
terbiasa ulet dan keras bekerja di keseharian hidupnya. Berpangku tangan toh
bukanlah kemewahan bagi mereka. Puncak serangan kebosanan terhebat, dirasakan
oleh warga Turgo ketika sebulan paska erupsi pun pihak PVMBG dan BNPB
(Badan Nasional Penanggulangan Bencana) belum juga memaklumatkan status
aman Merapi. Hal yang menggelayut di pikiran warga adalah perihal nasib ternak
sapi mereka yang sudah beberapa waktu tak terjamin pakannya. Sapi sebanyak 270-
an ekor bukanlah jumlah sedikit untuk bisa diurus pakannya oleh paguyuban
pemuda Turgo.10
Karenanya, masing-masing warga tetap merasa wajib untuk mengurus
ternaknya sendiri, terkecuali jika ada kerabat yang secara bergantian bisa dimintai

7 Wawancara penulis dengan Tukirah, Pengurus PKK Dusun Turgo, pada 11 Februari 2011
8 Paparan Kepala Desa Purwobinangun, Suharno, dalam Film Dokumentasi Visual Erupsi Merapi, LSM Aksara,
2010.
9 Tingginya kasus pasien hipertensi ini selalu menduduki peringkat kedua setelah ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan

Akut). Wawancara penulis dengan Tim Pelayanan Medis LSM Sheep Indonesia Paska Erupsi Merapi 2010, pada 15
November 2011.
10 Wawancara penulis dengan seorang pemuda Dusun Turgo, Mulyadi, pada 6 Februari 2011.
tolong. Rupanya saling tanggung menanggung beban hidup bukanlah perkara berat
bagi warga Turgo yang memang sudah terbiasa dalam hubungan kekerabatan yang
hangat. Kesetiaan pada ternak sapi sebagai gantungan dan pertaruhan hidup,
ternyata justru jadi pelecut semangat warga Turgo untuk tak mau menyerah pada
keadaan. Setelah hampir 2 bulan berada di pengasingan, penetapan status aman
pun akhirnya termaklumatkan pada akhir Desember 2010, dan pengungsi pun
diijinkan pulang ke rumah masing-masing.

Kembali Nggenturke Rogo


Sepulangnya warga dari “pengasingan”, dusun mati di kaki Merapi itu
akhirnya hidup lagi. Kendati penuh dengan kelungkrahan, denyut nadi kehidupan
warga Turgo perlahan-lahan pulih kembali. Memang, ada yang magis saat warga
fasih menjereng nama Turgo sebagai nggenturke rogo, yang merujuk pada makna
usaha keras manusia untuk menempa atau mendisiplinkan raga, tubuh
jasmaniahnya. Relasi antara sebutan Turgo dan nggenturke rogo bukanlah sekadar
relasi kosong antara akronim dan kepanjangannya, atau dalam bahasa Jawa disebut
keroto boso. Melampaui itu, nggenturke rogo telah menjadi ruh/jiwa yang menjelma
dalam laku hidup keseharian warga Turgo, sebagai anak-cucu-cicit-canggah Mbah
Cakrapada—leluhur cikal bakal Dusun.11 Meski warga tahu akan terkepung beban
kerja-kerja rehabilitasi dan rekonstruksi dusun, namun urusan kembali ke kampung
halaman adalah panggilan kerinduan yang tak tertangguhkan.
Karenanya, tak berlebih juga jika warga Turgo tetap merasa beruntung
dalam situasi semalang itu. Sesial apapun, mereka toh masih merasa berkesempatan
menyaksikan tanah wutah getih-nya terbenahi dan terpulihkan lagi. Kalis ing bebaya
(terhindar dari segala mara bahaya) adalah berkah yang tak terpermanai bagi
mereka. Rasa syukur itu terlebih menemukan maknanya ketika memori warga
terantuk pada peristiwa traumatik yang teramat mengguncang warga Turgo, 16
tahun silam. Tepatnya pada Selasa Kliwon, 22 November 1994 pukul 10.00,
gumulan wedus gembel yang terlepas dari mulut Merapi telah merenggut korban 68
jiwa (43 diantaranya adalah warga Turgo), 40 rumah hancur, 137 ekor ternak mati,
174,4 ha lahan pertanian rusak, 683,7 ha hutan rusak, 8.716 m pipa air bersih
rusak.12 Momentum bencana ternyata dimanfaatkan dengan baik oleh rezim Orde
Baru yang “berkepentingan di sana”. Bupati menetapkan Dusun Turgo sebagai
wilayah terlarang untuk pemukiman.13 Warga mendapatkan teror dan intimidasi
dari “aparat”, dan memindah paksa warga ke perumahan Sudimoro. Kekompakan
warga berhasil mematahkan kekuasan otoriter.
Mengenang pada kenangan pahit yang beruntun itu, maka berulangnya
erupsi pada tahun 1997, 2006, dan 2010 silam selalu saja menggedor kesadaran dan

11 Paparan Suwaji kepada penulis pada 11 Februari 2011.


12 Mengenai data korban erupsi Merapi 1994, baca Kappala, Merapi Bertutur: Tentang Musibah Awan Panas 22
November 1994 Agar Kita Selalu Waspada; Yogyakarta: Kappala & Pusat Studi Management Bencana UPN, 2006,
hlm. 195-199.
13 Kompas 2 December 1994 (Dokumen – Litbang Kompas)
memori kolektif warga Turgo untuk senantiasa eling lan waspada.14 Ditilik dari
tingkat kesadaran pengurangan risiko bencana (disaster risk reduction), warga Turgo
bisa diandalkan, kendati tetap harus senantiasa dimutakhirkan. Menyoal tentang itu,
salah seorang warga Turgo yang juga guru SD Tarakanita Tritis, Suwaji (53 tahun),
mengungkapkan perlunya pemutakhiran itu. Dalam sebuah pertemuan warga ia
menegaskan:15
“Erupsi Merapi 2010 itu eksplosif. Itu sesuatu yang baru. Maka ke depan kita perlu
mengikuti perkembangan informasi dari dinas terkait, untuk mengetahui sifat merapi, volume,
dan arah letusannya ke mana. Semua perlu dipelajari. Jangan hanya pakai ilmu mugo-
mugo. Yang senyatanya terjadi adalah kenyataan bukannya hasil mugo-mugo. Boleh saja
berdoa, boleh saja berharap, dan boleh mugo-mugo, tapi logika harus diterapkan. Bagaimana
Merapi besok kita enggak tahu, maka kita perlu waspada.”
Mengingat letak geografis dusun yang teramat dekat dengan bahaya, seperti Turgo,
memang tak ada sekoci penyelamat yang lebih baik dan utama selain kesadaran
tentang pengurangan risiko bencana (PRB) di kalangan warganya. Pendampingan
dari sejumlah lembaga turut berandil signifikan pada peningkatan kesadaran PRB di
tingkat basis.16
Hanya saja, belum hadir pengarusutamaan paradigma baru PRB, yang
menyentuh segenap aspek kehidupan warga (sebelum bencana, pada saat bencana
terjadi, dan paska bencana). Hingga saat ini, progam cenderung bias dan masih
sebatas pengembangan keahlian teknis seputar tanggap darurat (emergency respond).
Itu berarti warga tetap tak akan pernah keluar dari “disaster treadmill”. Singkat kata,
warga masih teringkus oleh pusaran bencana yang berlapis.17 Situasi itu jelas akan
berdampak pada tidak hadirnya transformasi sosial di Turgo. Alih-alih perubahan
progresif, warga justru akan mendapati proses involusi dalam berbagai dimensi
kehidupannya.

Belitan Multi-Kerentanan
Berdasarkan hasil temuan di lapangan, penulis mendapati sejumlah PR besar
yang mesti dicermati dan digarap secara serius paska erupsi Merapi 2010.
Setidaknya ada enam persoalan fundamental yang perlu mendapatkan perhatian
serius dari berbagai kalangan dan lembaga, terutama pemerintah. Berikut adalah
pusaran persoalan warga Turgo: pertama, terjadinya “kekosongan” kepemimpinan
formal di tingkat dusun (Kadus). Selain masih bekerja sebagai tentara aktif, Kadus
terpilih juga tidak tinggal di wilayah Dusun Turgo, melainkan bertempat tinggal di
perumahan Sudimoro (perumahan relokasi bagi warga Turgo paska erupsi Merapi
1994) sejauh 5 km dari Turgo. Kedua, kurang memadainya layanan infrastruktur

14 Peristiwa erupsi merapi ini pernah dikaji oleh Dati Fatimah, Gender dan Bencana dalam Pengelolaan Merapi:
Laporan Kajian untuk Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan – APEC Gender Focal Point, Agustus
2008, hlm. 5-6.
15 Penegasan Suwaji dalam pertemuan warga ini termuat dalam dalam Film Dokumentasi Visual Erupsi Merapi, LSM

Aksara, 2010.
16 Berbagai lembaga di luar pemerintah yang pernah mendampingi diantaranya: UGM, Pusat Studi Management

Bencana UPN, Kappala, Oxfam, Aksara, Paroki (lembaga Gereja) Somahitan, dll.
17 Perihal paradigma baru PRB ini baca Pasal 33 sampai dengan Pasal 58 UUPB No 24 Tahun 2007, hlm.17-25.
publik oleh pemerintah, terutama prasarana jalan dan saluran air bersih. Ketiga,
terkendalanya akses dan keberlangsungan proses pendidikan formal pada generasi
muda Turgo karena berbagai faktor penyebab, seperti kondisi lingkungan yang tak
kondusif (interupsi peristiwa bencana) dan diperkuat oleh rendahnya tingkat
pendapatan ekonomi keluarga.
Keempat, munculnya kecenderungan di kalangan warga Turgo yang
menjalankan usaha ternak sapi perah secara regresif, hingga muncul karakter usaha
yang defisit sekaligus “eksploitatif”. Karakter itu bisa ditengarai dari tingginya
alokasi waktu dan tenaga untuk mengurus ternak, dan luasnya alokasi lahan yang
ditanami berbagai varietas rumput untuk pakan ternak. Keelima, sangat terbatasnya
optimalisasi lahan untuk keanekaragaman hayati untuk pasokan pangan (lumbung
pangan) yang berkonsekuensi serius pada semakin menjauhnya peluang
mewujudkan ketahanan pangan, terlebih kedaulatan pangan, bagi warga Turgo.
Persoalan kelima ini sangat berkorelasi dengan persoalan keempat di atas. Keenam,
kurang dioptimalkannya ragam usaha di seputar pekarangan/ perkebunan sebagai
salah satu pilihan strategi untuk melakukan diversifikasi usaha. Marilah kita bahas
satu-satu keenam persoalan tersebut dalam uraian berikut.
Untuk permasalahan pertama, menurut pengamatan penulis, teramat
gamblang bahwa warga Turgo harus mengurus dirinya sendiri untuk memecahkan
segepok persoalan kompleks. Kendati ada perhatian dan afirmasi khusus dari pihak
pemerintah desa (Kades), namun “kekosongan” kepemimpinan formal dusun
(Kadus), tetap berdampak serius pada tidak teroptimalkannya tata kelola
demokratis di tingkat dusun, terlebih lagi untuk wilayah yang seterpencil Dusun
Turgo. Contoh sederhananya, pernik-pernik urusan administrasi warga tak terlayani
secara optimal oleh pemerintah lokal terendah di tingkat dusun. Situasi itu tentu
telah membawa dampak pada minimalnya peran pemimpin formal di tingkat dusun
untuk secara intensif turut memikirkan dan menyolusikan berbagai persoalan aktual
komunitas.
Terkait soal kedua, terbatasanya layanan infrastruktur publik oleh
pemerintah itu bisa dicermati pada akses jalan utama—dan satu-satunya—menuju
Dusun Turgo. Kendati pun jalan sudah beraspal, namun jika ditilik dari kebutuhan
akses jalan untuk mobilitas yang tinggi saat terjadi evakuasi, maka lebar badan jalan
sangatlah tidak memenuhi persyaratan sebagai jalur evakuasi utama dan satu-
satunya bagi warga di dusun Turgo sendiri maupun sederetan panjang dusun-dusun
lain yang berada di bawahnya. Sepaket dengan itu, jembatan dan saluran drainase
adalah prasarana vital lainnya. Belajar pada pengalaman erupsi Merapi 2010 lalu,
wilayah Turgo terisolir lantaran jembatan Tritis jebol oleh terjangan banjir lahar
dingin Merapi. Tanpa ada instruksi, warga segera menggelar kerja gotong royong
membangun jembatan darurat (dari kayu dan bambu). Jaringan pipa air bersih dari
mata air Candi di hulu kaki Merapi tak terhindarkan juga dari terjangan lahar
dingin. Demi tercukupinya kebutuhan air bersih untuk anggota keluarga, para
warga bekerja keras menyusuri terjalnya bebukitan batu cadas guna membangun
kembali jelujur-jelujur pipa sepanjang 1.200 meter. Cupetnya dana swadaya warga
tak memungkinkan saluran baru itu tergantikan dengan besi, seperti sebelumnya.
Datangnya donasi yang dihimpun oleh Paroki Somahitan, pimpinan Romo Yatno,
pun hanya cukup untuk menggantinya dengan pralon plastik berukuran 3 inci.
Daya tahan pralon plastik yang tak sebanding dengan banjir lahar dingin, membuat
warga harus rela menambal-sulam pipa-pipa itu lagi hanya dalam selang hari.
Dalam hitungan minggu kerja gotong-royong berlangsung dalam intensitas dan
frekuensi tinggi. Keswadayaan warga yang super ekstra pun berbuah ketercukupan
air bersih bagi 154 KK, dan tak terkecuali ternak-ternak mereka pula.
Pada persoalan ketiga, keberlangsungan proses pendidikan di wilayah rawan
bencana adalah persoalan serius yang mesti dicarikan pemecahannya. Proses
pendidikan siswa SD Tritis yang terinterupsi selama hampir 2 bulan itu telah secara
signifikan menyurutkan minat siswa untuk belajar ataupun menyerap materi
pembelajaran. Seperti diprihatinkan oleh Suwaji, guru SD Tritis, peristiwa erupsi
Merapi lalu telah berdampak pada keguncangan psikologis siswa. Sekembalinya dari
pengungsian, siswa banyak yang terlihat ogah-ogahan dan tidak berkonsentrasi dalam
proses pembelajaran di kelas. Kesan yang sama muncul dari rekan-rekan
sejawatnya. Lebih jauh Suwaji menuturkan:
Sulit untuk menyelenggarakan pembelajaran di pengungsian, karena tempat pengungsian siswa
terpencar-pencar mengikuti orang tuanya. Sepulang ngungsi ya seperti itu, sekolah tidak ada
muridnya seperti hari libur saja. Kalau pun masuk sekolah, semangat siswa untuk belajar
sangat jauh merosot, dan itu merata. Rekan-rekan guru pun merasakan hal serupa.
Problem pendidikan siswa juga sangat terkait dengan persoalan ekonomi orang tua.
Ada ketidak-jumbuhan antara minat siswa untuk sekolah dan kemampuan ekonomi
orang tua. Untuk saat ini, mayoritas kasus anak putus sekolah di Turgo lebih
disebabkan problem ekonomi keluarga.
Kasus saat ini rupanya berbeda dengan banyaknya kasus anak putus sekolah,
selama 10 tahun lalu. Kasus anak putus sekolah meningkat drastis sejak dibukanya
tambang pasir di wilayah Turgo, sejak 1999. Kian langkanya pasir di hilir sungai-
singai di daerah Sleman, membuat para pencari pasir mendekati hulu sungai.
Awalnya pemerintah desa tidak mengijinkan. Namun karena terdesak oleh
keinginan warga Turgo untuk perbaikan ekonomi keluarga, maka pertambangan
pasir di lembah sungai Kali Boyong, sisi timur Turgo, itu pun akhirnya dibuka.
Perekonomian warga Turgo pun meningkat pesat. Bukanlah perkara sulit
untuk membawa pulang Rp. 100.000 sampai Rp. 150.000 per hari dari tambang
pasir. Tidak sedikit warga beralih profesi dari peternak menjadi petambang pasir.
Ternyata, tambang pasir itu menghadirkan persoalan baru bagi warga Turgo.
Banyak anak lulusan SD juga turut tergiur untuk mendapatkan uang secara mudah.
Dan anak-anak lulusan SD pun lebih memilih untuk mencari uang di tambang pasir
ketimbang melanjutkan sekolahnya. Peningkatan perekonomi warga ternyata harus
dibayar dengan kehilangan generasi muda terdidik. Itulah dekade defisit bagi
Turgo. Kehilangan generasi-generasi muda cerdas dalam satu dekade terlalu mahal
untuk dibayar dengan “uang pasir”.
Jerat involusi warga Turgo tak berhenti sampai di situ. Persoalan keempat dan
kelima adalah pertautan problem klasik penghidupan warga Turgo yang sejatinya
berada dalam lingkaran defisit. Khusus untuk persoalan keempat dan kelima ini,
penulis akan memaparkan dalam satu paket. Karena keduanya berada dalam
“lingkar setan sebab-akibat” yang tidak gampang untuk diurai dan disolusikan.
Munculnya profesi peternak sapi perah di Turgo bermula saat UGM memberikan
bantuan sapi perah pada tahun 1981. Saat ini ada 70 KK yang bergabung dalam
kelompok usaha ternak sapi perah: Kelompok Turgo I (48 KK) dan Kelompok
Tritis (30 KK). Profesi yang telah berlangsung dalam tiga dekade itu, kini
mendapati tantangan yang semakin berat. Dari hari ke hari, usaha peternakan itu
mengalami defisit yang semakin besar. Kondisi defisit terbesar bagi peternak terjadi
pada saat dan sesudah erupsi terjadi. Paska erupsi Merapi 2010, menurut penuturan
Mulyanto (29 tahun), Pengurus Koperasi Susu “Warga Mulyo”, produksi susu
merosot tajam. Produksi susu dari yang tadinya menghasilkan 15-17 liter/hari
setelah erupsi merosot jadi 6 liter/hari.
Menurutnya, produksi susu di tingkatan kelompok saat ini rata-rata hanya
sekitar 150 liter saja dengan harga per liternya Rp. 2.600,-. Padahal sebelum
terjadinya erupsi Merapi itu produksi susu sebanyak 250 liter. Jika dalam kondisi
baik produksi bisa mencapai 300 liter susu dengan harga Rp 3.500,-/liter. Secara
lebih rinci, Mulyanto menjelaskan:18
Secara umum, sebagian besar peternak di Turgo merugi, sebagian besar peternak di sini hanya
memelihara 1 atau 2 ekor sapi. Jadinya seperti kerja sambilan... Ia bisa untung jika
memelihara lebih dari 5 ekor. Dari itu bisa menyetor susu sebanyak 26-30 liter/hari. Karena
itu, ia harus punya lahan yang luas untuk cadangan pakan. Tapi seluas apapun, kalau
kemarau pasti juga akan habis pakannya.
Rupanya ada persyaratan jumlah efektif tertentu agar usaha ternak sapi itu
menguntungkan. Namun konsekuensi tentang kepemilikan lahan yang luas
nampaknya teramat sulit direalisasikan. Catatan itu bagaimanapun juga semakin
menguatkan argumen bahwa ternak sapi kurang kompatible untuk warga dusun
Turgo yang mayoritas lahannya terbatas. Dalam konteks itu, relevan untuk
mengingat kembali peristiwa di era Orde Baru bahwa Soeharto tengah berupaya
menjajagi wilayah Turgo sebagai area peternakan besar seperti layaknya Tapos.
Benarkah bantuan sapi dari UGM itu adalah kepanjangan tangan dari rencana
Soeharto itu? Jika itu benar, haruskah warga Turgo tetap menghidupi warisan usaha
yang sebenarnya tidak kompatibel untuk mereka?
Lebih parahnya, problem usaha ternak telah turut menjauhkan warga Turgo
dari kedaulatan pangan yang sebenarnya potensial untuk mereka wujudkan.
Tingginya kebutuhan pakan ternak telah memunculkan ancaman kerawanan
pangan di tingkat komunitas. Menurut penuturan sesepuh dusun, Mbah Harjo (82
tahun), dulunya beragam tanaman pangan ditanam di lahan warga. Selain
beranekaragam umbi-umbian (seperti ketela pohon, ketela rambat, kentang, uwi,
gembili), lahan warga juga ditanami palawija, sayur mayur, bahkan tanaman padi
pun pernah mereka tanam. Tapi kesemuanya itu telah berganti menjadi rumput
untuk pakan ternak. Dampak ganda yang tak menguntungkan dari usaha ternak

18 Wawancara penulis dengan Mulyanto pada 10 Februari 2011.


memang telah menyita beraagam sumber-sumber hayati maupun sumber daya
manusia Turgo sendiri.19
Bila dampak usaha ternak itu kita urai lebih jauh, kita akan mendapati fakta
bahwa alokasi waktu dan tenaga kerja perempuan sangat njomplang jika
dibandingkan dengan kaum laki-laki. Multiple burden tertumpukan pada kaum
perempuan. Selain menyelesaikan pekerjaan domestik, kaum perempuan juga
terlibat pada aktivitas pengolahan lahan, pemeliharaan ternak sapi perah (mulai dari
merumput, memerah susu, dan menyetorkannya ke kelompok), dan tak terkecuali
pengasuhan anak. Dalam kepadatan aktivitas itu, lantas kapan kaum perempuan
bisa mendapatkan hak-hak dasarnya semisal untuk berorganisasi?
Untuk persoalan keenam, kendati di pekarangan rumah warga sudah di
tanami dengan salak, teh, kopi, dan alpokat, namun bisa dikatakan bahwa lahan
pekarangan tetap kurang teroptimalkan dengan baik oleh warga. Erupsi Merapi
2010 mengakibatkan kerusakan sebagian besar tanaman salak dan kopi warga
Turgo. Sebelum erupsi itu, per tahunnya warga bisa memanen salak setidaknya 2,5
kwintal. Kini, mereka harus menunggu sekitar 2 tahun untuk bisa memanen lagi.
Terkait pemanfaatan pekarangan ini, ternyata warga pernah terkecewakan
pemerintah. Bersamaan dengan datangnya bantuan sapi perah di tahun 1981 itu,
muncul juga himbauan pemerintah untuk menanami pekarangan dengan tanaman
cengkeh. Beberapa tahun kemudian, setelah cengkeh mulai panen raya, harga jatuh
akibat permainan harga oleh BPPC dan PT. Humppus (milik Tommy Soeharto).
Terlanjur mutung, warga pun memangkas batang pohon-pohon cengkeh di sekitar
pekarangan rumah.20 Beruntung, mereka masih bisa memetik daun-daun teh di
kebun untuk kebutuhan subsisten keluarga.

Epilog: “Dengan atau Tanpa Kehadiran Negara?


Menimbang pada “keterusiran-periodik” akibat Merapi punya gawe, warga
Turgo nampak biasa menghadapi berbagai kesulitan dan ke-rumpil-an hidup, tak
terkecuali kenangan masa lalu yang “dikibuli” dan “dipecundangi” state aparatus.
Simbol dan jejak “perlawanan bisu” warga negara pun masih bisa dikenali dari
karakter warganya. Ada kesan kuat, ketangguhan kemandirian, dan kejuangan
hidup warga Turgo seolah “cukup” tanpa “kehadiran negara” sekalipun. Mereka
akan tetap ada dan hidup untuk diri dan seluruh trah Mbah Cakrapada dalam
segenap ke-ugahari-an mereka.
Senyatanya, mereka adalah manusia-manusia pekerja yang ulet dan tangguh
demi terselenggaranya kehidupan keluarga dan komunitas di pereng tepi barat daya
Merapi itu. Kewaspadaan dan kesiapsiagaan warga mengantisipasi bencana erupsi
telah menjadi keutamaan yang senantiasa mereka hidupi. Hanya saja berbagai
belitan kerentanan (sosial, ekonomi, fisik, dan lingkungan)21 masih saja
mencengkeram sekaligus mengancam kehidupan warga Turgo. Proses mitigasi

19 Wawancara penulis dengan Mbah Harjo pada 10 Februari 2011.


20 Wawancara penulis dengan Suwaji pada 11 Februari 2011.
21 Seputar kerentanan ini, lihat Bagan Pengurangan Risiko Bencana untuk Pembangunan Berkelanjutan di halaman

lampiran
bencan yang holistik belum tersentuh oleh intervensi kebijakan negara. Tata kelola
bersama lembaga non pemerintah—seperti kalangan universitas, kelembagaan
agama, dan LSM—bisa dikatakan kurang memadai lantaran berbagai keterbatasan
sumberdaya yang mereka miliki. Menjadi tak mengherankan jika penanganan atas
berbagai kerentanan yang melingkupi warga Turgo masih sangat parsial. Kalau pun
toh pendampingan multi pihak itu lengkap di setiap sektor, namun penanganan
yang terintegrasi/ holistik adalah suatu keutamaan yang langka terjadi.
Terkait dengan program ambisius Millenium Development Goals22 dan progam
Hyogo Frameworks23 yang secara khusus bertujuan Membangun Ketahanan Bangsa
dan Komunitas terhadap Bencana (keduanya telah diratifikasi oleh Indonesia),
nampaknya tidak memiliki dampak apapun bagi perbaikan kehidupan warga Turgo,
dan mungkin juga komunitas-komunitas rentan di seantero negeri ini. Padahal
sudah ada pemahaman yang jelas bahwa Sasaran-Sasaran Pembangunan Milenium
(Millennium Development Goals/ MDGs) tidak akan tercapai tanpa pertimbangan
risiko bencana, dan bahwa pembangunan berkelanjutan tidak dapat dicapai kalau
pengurangan risiko bencana tidak diarusutamakan ke dalam kebijakan-kebijakan,
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Sudah secara luas diakui bahwa
perspektif pengurangan bencana harus dipadukan kedalam perencanaan
pembangunan setiap negara dan dalam strategistrategi pelaksanaannya yang terkait.
Komunitas-komunitas rentan seperti halya Dusun Turgo ini nampak seperti
“teoritori di luar orbit negara” yang tak akan pernah mencicipi kue besar
pembangunan di negeri ini. Atas cucuran keringat mereka sendirilah cita-cita
pembangunan untuk komunitas bisa terwujud: My Development Goals.24
Di tengah state aparatus tertinggi propinsi DIY bersibuk mengemban “dua
tugas mulia”—yang akan membawa kemaslahatan bagi banyak warga Yogya—yaitu
perjuangan status “Keistimewaan Yogyakarta” dan Mega-Proyek Tambang Pasir
besi di Kulon Progo; serta di tengah state aparatus tertinggi kabupaten Sleman repot
mengurusi pembuatan 2.625 unit rumah hunian sementara, warga Turgo cukup
“tahu diri”. Mereka bukanlah warga negara yang cengeng, suka merajuk, apalagi
memboikot. Seperti biasa, mereka menjalani hidup dalam denyut irama khas Dusun
Turgo.
Pada paroh bulan Juni beberapa waktu lalu, sejumlah petani Turgo tengah
mencicipi “legitnya” panenan lombok yang dipasarkan bersama-sama di sebuah
bazar yang selenggarakan oleh Paroki Somahitan, yang selama ini menjadi
pendamping uji-coba kebun sayur dan cabe paska Erupsi 2010. Pedasnya lombok
turut menyemai harapan warga Turgo untuk senantiasa merayakan hidup. [abw-220611]
22 Perihal prioritas isu yang berkembang di daerah ini lihat pada Lampiran 2. Pemetaan Agenda Kebijakan Prioritas
Anggota DPRD berdasarkan Isu yang Berkembang di Daerah. Lampiran diambil dari Kemitraan/Partnership.
2010.Memberantas Kemiskinan dari Parlemen, Manua MDGs Anggota Parlemen Di Pusat dan Daerah; Jakarta:
Partnership, hlm. 118.
23
Atas prakarsa Cina, pada tanggal 27-29 September 2005, Aksi Beijing untuk Pengurangan Risiko Bencana di Asia
(Beijing Action for Disaster Risk Reduction in Asia) diselenggaran untuk meningkatkan kerja sama regional dalam
pelaksanaan Kerangka Kerja Aksi Hyogo (Hyogo Framework for Action 2005-2015: Building the Resilience of Nations and
Communities to Disasters/ HFA) yang terkait juga dengan Program MDGs (Millenium Development Goals). Lihat MPBI,
Aksi Beijing untuk Pengurangan Risiko Bencana di Asia; Jakarta: MPBI, hlm.1-2.
24 Untuk “pelesetan” satir ini baca lebih lanjut Marut, Don K. 2010. My Development Goals; Jakarta: INFID
Referensi
Baskoro, Haryadi & Sudomo Sunaryo. 2010. Catatan Perjalanan Keistimewaan Yogya: Merunut Sejarah,
Mencermati Perubahan, dan Menggagas Masa Depan; Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fatimah, Dati. Gender dan Bencana dalam Pengelolaan Merapi: Laporan Kajian untuk Kantor Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan – APEC Gender Focal Point, Agustus 2008,
hlm. 5-6.
Kappala Indonesia. 2006. Merapi Bertutur: Tentang Musibah Awan Panas 22 November 1994, Agar Kita
Selalu Waspada; Yogyakarta: Kappala Indonesia dan Pusat Studi Manajemen
Bencana UPN.
Kemitraan/Partnership. 2010.Memberantas Kemiskinan dari Parlemen, Manua MDGs Anggota Parlemen
Di Pusat dan Daerah; Jakarta: Partnership.
Marut, Don K. 2010. My Development Goals; Jakarta: INFID
MPBI, Aksi Beijing untuk Pengurangan Risiko Bencana di Asia; Jakarta: MPBI, hlm.1-2.
Triyoga, Lucas Sasongko. 2010. Merapi dan Orang Jawa: Persepsi dan Kepercayaannya; Jakarta: Grasindo.
Widyanta, AB. 2011. Gelombang Erupsi Merapi, Pengungsi dan Jejaring Posko Mandiri; Best Practice
Penanggulangan Bencana ala Dusun Kadisoka (paper untuk sub-bab buku LSM
Episentrum); halaman 9.
Film Dokumenter
Film Dokumentasi Visual Erupsi Merapi, LSM Aksara, 2010.
Koran
Gejala Erupsi Merapi Eksplosif di Harian Kompas (Yogyakarta), edisi 26 Oktober 2010, hlm A.
Tabiat Baru Gunung Merapi, Harian Kompas edisi 1 November 2010, hlm.14.
Undang-Undang
UUPB No 24 Tahun 2007, hlm.17-25.
Wawancara
Wawancara penulis dengan Tim Pelayanan Medis LSM Sheep pada 15 November 2011.
Wawancara penulis dengan Mulyanto pada 10 Februari 2011.
Wawancara penulis dengan Mulyadi, pada 6 Februari 2011.
Wawancara penulis dengan Tukirah, pada 11 Februari 2011
Wawancara penulis dengan Suwaji pada 11 Februari 2011.
Wawancara penulis dengan Mulyanto pada 12 Februari 2011.

Lampiran 1. Kerangka Pengurangan Risiko Bencana (PRB) untuk Pembangunan


Berkelanjutan yang mengacu pada Hyogo Framework
Lampiran 2. Pemetaan Agenda Kebijakan Prioritas Anggota DPRD Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY) berdasarkan Isu yang Berkembang di Daerah

No Prioritas Isu
1 Pendapatan perempuan lebih rendah, tidak cukup memenuhi kebutuhan dasar. Terjadi
diskriminasi pendapatan antara perempuan dan pria
2 Standar kemiskinan perlu direvisi
3 UMR masih rendah, tidak mencukupi
4 Banyak Perda yang membuat kerja DPRD overload
5 Tidak adanya data yang akurat tentang peta kemiskinan
6 Pemasaran home industry belum optimal, akses terhadap modal masih terbatas
7 Hak-hak dasar ekonomi untuk perempuan tidak tertuang dalam perda
8 Subsidi untuk buku masih kurang, sehingga ada tambahan dana yang dikeluarkan orang tua
murid terhadap pendidikan
9 Pendidikan masih dianggap terlalu mahal, pendidikan gratis di luar BOS
10 Hubungan antara eksploitasi lingkungan dengan pendapatan ekonomi keluarga, dan
kesehatan reproduksi.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai