Anda di halaman 1dari 4

Pro Kontra Pembangunan Wisata Super Premium di Pulau Komodo,

Labuan Bajo
Oleh: 199114135/ Maria Vabiola Unu De Guadalupe Tallan

Pembangunan berskala besar yang dilakukan di Labuan Bajo, mengundang


kontroversi dari sejumlah pihak. Pasalnya dalam rangka menjadikan Labuan Bajo sebagai
World-Class Tourism Destination, Pemerintah berencana menyulap Labuan Bajo menjadi
“Bali baru”. Pulau Komodo yang merupakan habitat asli maskot satwa Indonesia ini, juga
direncanakan akan ditata ke dalam satu lokasi terpadu untuk memudahkan para wisatawan
yang datang dan menikmatinya. Pemerintah berharap pembangunan ini dapat memberikan
dampak yang baik dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat (CNN Indonesia, 2020).
Namun, rencana pembangunan ini justru mendapat penolakan dari warga lokal dan pihak
Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Nusa Tenggara Timur. Menurut mereka
pembangunan ini akan membahayakan keberlangsungan hidup komodo dan satwa endemik
lainnya. Pembangunan ini juga dianggap kontras dengan tujuan pelestarian dan lebih
bertujuan untuk kepentingan pihak tertentu (Haryanto, 2020).

Bercermin dari pengembangan beberapa destinasi wisata di Indonesia dan di Afrika,


pembangunan di Pulau Komodo dinilai hanya akan membahayakan ekosistem flora dan
faunanya, serta tidak membawa keuntungan bagi masyarakat sekitar. Seperti yang terjadi di
Oeluan, Nusa Tenggara Timur. Dalam rangka memajukan pariwisata Timor Tengah Utara,
Pemerintah membangun rumah pohon sebagai infrastruktur pendukung pariwisata. Namun
pembangunan ini justru meresahkan masyarakat dan lembaga pemberdayaan masyarakat
sekitar. Pasalnya proyek pembangunan rumah pohon ini, dilakukan dengan menebang
pepohonan yang berada di sekitar kawasan hutan adat Oeluan (Ekora NTT, 2020). Sehingga
masyarakat sekitar mengalami kekeringan akibat rusaknya hutan sumber mata air mereka.
Masyarakat juga melaporkan bahwa pembangunan ini tidak membawa keuntungan sama
sekali bagi mereka (Obor Nusantara, 2020).

Selanjutnya, Taman Nasional Kruger Afrika Selatan adalah salah satu kawasan
konservasi satwa-satwa liar terbesar di dunia, yang dijadikan destinasi wisata ekslusif oleh
pemerintah Afrika. Pengembangan ekowisata ini dilakukan dengan tujuan yang baik, yaitu
untuk melindungi satwa-satwa liar dari pemburuan liar, dan dengan maksud agar dapat
memberdayakan masyarakat sekitar. Alih-alih membawa dampak positif, pembangunan itu
justru membawa dampak buruk bagi ligkungan sekitar. Dalam aspek lingkungan hidup,
hadirnya berbagai sarana prasana pendukung pariwisata seperti jembatan, bangunan-
bangunan dan rute-rute kendaraan membuat ruang gerak satwa-satwa liar menjadi semakin
sempit dan mengubah pola migrasi mereka. Bahkan terjadi pemburuan satwa –satwa liar
secara legal di Taman Nasional Krunger, sehingga sangat mengancam eksistensi satwa-
satwanya (Drughi, 2018). Di samping itu, pembangunan yang masif itu juga merusak
ekosistem tumbuh-tumbuhan endemik Afrika yang hidup di sana.
Dalam aspek sosial ekonomi, dengan adanya model pengembangan wisata ekslusif,
interaksi antara masyarakat dan wisatawan menjadi sangat terbatas. Hal ini, disebabkan oleh
adanya Enclave Tourism yaitu tujuan wisata yang tersentralisasi. Jadi, wiatawan dapat
memenuhi segala kebutuhannya di suatu tempat tanpa harus bepergian ke tempat lain.
Sehingga masyarakat lokal tidak merasakan dampak pengembangan wisata baik dalam aspek
ekonomi maupun sosial.

Selain Taman Nasional Krunger Afrika Selatan, ada Cagar alam Maasai Mara. Cagar
alam ini merupakan suatu cagar alam hewan liar yang luas di daerah Narouk, Kenya, Afrika
Timur,  yang berdampingan dengan Taman Nasional Serengeti di wilayah Mara, Tanzania.
Kawasan ini dibangun sejumlah infrastruktur yang mendukung pariwisata, berupa jalan dan
pondok-pondok penginapan permanen. Hadirnya berbagai infrastruktur ini merampas lahan
permukiman masyrakat Maasai dan satwa-satwanya. Sehingga sama seperti yang dirasakan
masyarakat lokal di Afrika Selatan, masyarakat Maasai tidak mendapatkan dampak yang
baik, malah sebaliknya mereka merasakan dampak buruk dari pembangunan itu (Haryanto,
2020).

Meskipun menuai pro dan kontra, pembangunan menuju “Wisata Super Premium” di
Pulau Komodo, Labuan Bajo ini tetap dilakukan. Namun, sangat disayangkan apabila
pembangunan ini ternyata ditunggangi oleh berbagai kepentingan yang kontras dengan
tujuan pelestarian. Dengan melihat beberapa kasus serupa, pembangunan ini akan membawa
dampak yang serius bagi ekologi dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat sekitar. Baik itu
dampak positif maupun dampak negatif. Hal ini membuat saya secara pribadi merasa dilema.
Di satu sisi, saya merasa senang karena dengan adanya pembangunan ini masyarakat timur
Indonesia dapat merasakan pemerataan pembangunan. Di samping itu, alam dan budaya
Timur Indonesia pun dapat dikenal oleh Dunia. Namun, disisi lain saya pun merasa iba
terhadap kelangsungan hidup komodo yang terancam oleh pembangunan ini.

Pengaruh sosial; Obediance vs minority influence

Kelangsungan pembangunan ini, juga tidak terlepas dari adanya pengaruh otoritas
kekuasaan pemerintah dan dukungan dari berbagi pihak swasta. Hal ini menjukkan adanya
pengaruh sosial yaitu Obediance yang besar dan kekuatan minority influence yang sangat
kecil. Obedience yang dimaksud yaitu bentuk pengaruh sosial yang datang dari perintah atau
instruksi figur otoritas. Perintah atau instruksi figur otoriter ini dapat mempengaruhi perilaku
orang lain, sehingga orang cenderung menyerah dan mengikuti perintah (Sanderson, 2009).
Pengaruh sosial seperti ini, sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari kita. Salah satu
penerapannya yaitu dapat dilihat dari perilaku seorang karyawan yang dituntut untuk
mengikuti semua perintah atasannya.

Sedangkan minority influence yaitu perubahan keseluruhan sikap atau perilaku


kelompok yang disebabkan oleh pandangan sejumlah kecil orang dalam kelompok. Kekuatan
minority influence ini terjadi ketikat seseorang dalam kelompok minoritas itu menunjukkan
konsistensi ekspresi verbal, dalam mempertahankan pandangan dan prinsip mereka. Dengan
begitu mereka dapat menarik perhatian orang lain dan membuat argumen mereka sangat
menonjol (Sanderson, 2009). Salah satu bentuk penerapannya yaitu adanya gerakan
suffragette di tahun-tahun awal abad ke-20. Gerakan ini terdiri dari sekelompok orang yang
memperjungkan pendapat mereka yang relatif tidak umum, yaitu memperjuangkan kebebasan
perempuan dalam memilih. Akhirnya, berkat kerja keras dan kegigihan  para suffragettes,
pendapat mereka diterima oleh mayoritas. Namun, minority influence tidak efektif ketika
berada di lingkup kelompok yang sangat luas. Hal ini karena berkaitan dengan teori dampak
sosial (Clark & Maass (1990); Sanderson, 2009).

Dalam kasus ini, pengaruh sosial obedience sangat besar, dan memainkan penting
dalam keputusan pembangunan. Masyarakat yang bersih keras menolak pembangunan,
akhirnya hanya bisa tunduk terhadap keputusan pemerintah. Segala bentuk upaya penolakan
yang dilakukan masyarakat menjadi sia-sia karena adanya perintah dan instruksi dari pihak
yang berkuasa. Selanjutnya, kekuatan minority influence dari masyarakat yang menolak
pembangunan ini, terbilang lemah karena lingkup yang dihadapinya sangat luas yaitu
lingkup pemerintahan suatu negara. Masyarakat tidak dapat menghambat pembangunan
dalam memperjuangkan pendapat dan pendiriannya karena adanya pengaruh yang lebih
mendominasi yaitu kekuasaan otoritas dari pemerintah.

Meskipun tujuan dan maksud pembangunan ini baik, namun untuk mencegah
terjadinya perpecahan antar kelompok, Pemerintah tetap harus mengindahkan suara dan opini
masyrakat. Dalam proses pengambilan keputusan perlu adanya musyawarah, agar baik
Pemerintah maupun masyarakat dapat menyampaikan pendapat dan padangannya. Dengan
begitu masyarakat dan pemerintah dapat mencapai keputusan bersama. Selanjutnya, Perlu
adanya kebijkan-kebijakan strategis yang dapat menjamin kesejahteraan masyarakat. Dengan
melibatkan masyarakat dalam setiap kebijakannya. Dan saran yang terakhir yaitu Pemerintah
memposisikan masyarakat sebagai garda terdepan dalam pengawasan pembangunan di
wilayah konservasi.

***

Daftar Pustaka:

Alasan Penolakan Masyarakat terhadap Pengembangan Pulau Rinca Berbasis Geopark


atau Jurrasic Park. poskupang.com. (2020, 16 September).
https://kupang.tribunnews.com/2020/09/16/alasan-penolakan-masyarakat-
terhadap-pengembangan-pulau-rinca-berbasis-geopark-atau-jurrasic-park

Ancaman Rumah Pohon di Hutan Oeluan. ekorantt.com. (2020, Februari).


https://ekorantt.com/2020/02/12/ancaman-rumah-pohon-di-hutan-oeluan/amp/

Drughi, O. (2018, 5 November). The Positive and Negative Impacts of Ecotourism on


African Wildlife. bookallsafaris.com.
https://www.bookallsafaris.com/news/impact-ecotourism-african-wildlife
Haryanto, V. (2020). Menyoal Kebijakan Kontroversi di Taman Nasional Komodo.
Mongabay.co.id. https://www.mongabay.co.id/2020/08/08/menyoal-kebijakan-
kontroversi-di-taman-nasional-komodo/
KM3N TTU Nilai,  Pembangunan Kolam Oeluan Berpotensi Gagal Panen. Obor-
nusantara.com. (2020, 14 Mei). https://obor-nusantara.com/2020/05/14/km3n-ttu-
nilai-pembangunan-kolam-oeluan-berpotensi-gagal-panen/

KLHK Bantah Bangun Jurassic Park di Pulau Rinca Komodo. cnnindonesia.com. (2020, 28
Oktober). https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201028145348-20-563728/klhk-
bantah-bangun-jurassic-park-di-pulau-rinca-komodo

'Komodo Adalah Saudara Kami': Penolakan Pembangunan 'Jurassic Park' di Pulau


Komodo. Tempo.co. (2020, 25 september).
https://www.tempo.co/abc/5969/komodo-adalah-saudara-kami-penolakan-
pembangunan-jurassic-park-di-pulau-komodo#:~:text=Pembangunan%20'Jurassic
%20Park'%20di%20Pulau%20Rinca%2C%20Nusa%20Tenggara%20Timur,yang
%20dilindungi%20bisa%20hidup%20berdampingan .

Pulau Komodo akan Jadi Seperti di Afrika?. Sunspiritforjusticeandpeace.org. (2019, 29


November). https://sunspiritforjusticeandpeace.org/2019/11/29/pulau-komodo-
akan-jadi-seperti-di-afrika/1605/
Sanderson, C.A. (2009). Social Psychology.Wiley.

Anda mungkin juga menyukai