Anda di halaman 1dari 6

TUGAS AUDIT DAN ASURANS KE - 1

Nama: Brian Ivan Dharmawan NPM: 120112230001


Dosen: Ahmad Zakie Mubarrok, S.E., M.Acc., CACP, CPA.

1. Kasus Jiwasraya – PwC


Kasus ini tergolong sebagai Audit Failure kategori Gross Negligence karena auditor telah
sembrono memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap laporan keuangan
PT Jiwasraya. KAP tidak mampu mendeteksi adanya fraud yang terdapat di Jiwasraya,
dengan berbagai ketidakwajaran yang muncul dalam kondisi keuangan perusahaan. Ketua
Umum IAPI Tarkosunaryo mengatakan, hasil audit PwC kala itu menemukan Jiwasraya
seharusnya melakukan pencadangan teknis senilai Rp 7,7 triliun. Sementara jajaran direksi
Jiwasraya mengumumkan hasil laba senilai Rp 360 miliar sehingga hasil audit ini dicap
opini tidak wajar (adverse opinion). Senada dengan pernyataan diatas, BPK yang juga
melakukan audit terhadap Jiwasraya beropini bahwa laporan keuangan ini bersifat tidak
wajar. Dengan adanya pencadangan tersebut, seharusnya perusahaan dapat dikatakan rugi.
Sangat disayangkan dengan kredibilitas PwC yang tinggi, PwC tidak mampu
mengungkapkan fraud tersebut, justru mengakuinya dengan memberikan opini WTP.
Sources:
https://www.theiconomics.com/brand-equity/iapi-laporan-keuangan-jiwasraya-2017-
direkayasa/
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200108141551-78-463471/bpk-sebut-
kecurangan-jiwasraya-rp77-triliun-pada-2017

2. Kasus SNP Finance – Deloitte


Kasus SNP dapat dikategorikan sebagai Audit Failure jenis Gross Negligence karena
auditor tidak mampu mendeteksi adanya kecurangan yang dilakukan oleh SNP Finance.
SNP Finance diketahui membuat piutang fiktif melalui penjualan fiktif. SNP Finance juga
menyajian dokumen fiktif yang berisi data customer Columbia. Untuk mengetahui keaslian
piutang tersebut, seharusnya auditor mengirimkan surat konfirmasi kepada pihak ketiga
untuk mengetahui fisibilitas dari piutang yang terdapat pada SNP Finance. Deloitte dalam
kasus ini justru membiarkan hal tesebut terjadi. Deloitte kurang menerapkan prinsip kehati
– hatian (professional skepticism) dalam mengaudit kliennya tersebut. Ketika terjadi
peningkatan hutang dan hutang yang menjadi non performing loan, harusnya ini sudah
menjadi lampu kuning bagi Deloitte untuk memberikan opini going concern atas laporan
keuangan SNP Finance.
Menanggapi kasus SNP Finance dan Deloitte, OJK memberikan sanksi kepada AP
Marlinna dan dan AP Merliyana Syamsul berupa pencabutan praktek sebagai auditor. KAP
Satrio, Bing, Eni (KAP Afiliasi Deloitte) pun diberikan sanksi berupa larangan menambah
klien baru. OJK menilai bahwa AP Marlinna dan AP Merliyana Syamsul telah melakukan
pelanggaran berat sehingga melanggar POJK Nomor 13/POJK.03/2017 Tentang
Penggunaan Jasa Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik. Ini sebagai mana tertera
dalam penjelasan Pasal 39 huruf b POJK Nomor 13/POJK.03/2017, bahwa pelanggaran
berat yang dimaksud antara lain AP dan KAP melakukan manipulasi, membantu melakukan
manipulasi, dan atau memalsukan data yang berkaitan dengan jasa yang diberikan.
Memang dengan adanya tren pembelanjaan online menjadi tantangan bagi perusahaan
untuk meningkatkan kinerjanya sesuai dengan kondisi perkembangan teknologi saat ini.
Namun dengan berbohong dan merekayasa laporan keuangan justru bukan menjadi solusi
yang baik, justru akan semakin menghancurkan reputasi perusahaan yang berujung pada
penutupan usaha.
Sources:
https://accounting.binus.ac.id/2018/12/03/merunut-kasus-snp-finance-auditor-deloitte-
indonesia-2/
https://tirto.id/kasus-snp-finance-dan-pertaruhan-rusaknya-reputasi-akuntan-publik-c4RT

3. Kasus Hanson International Tbk – EY


Kasus ini dikategorikan sebagai Audit Failure kategori Negligence karena auditor tidak
teliti dalam penyajian laporan keuangan PT Hanson International. Diketahui bahwa PT
Hanson International Tbk (MYRX) terbukti melanggar Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan 44 tentang Akuntansi Aktivitas Real Estat (PSAK 44). Hal itu terutama dalam
penjualan Kavling Siap Bangun (Kasiba) senilai Rp732 miliar. MYRX mengakui
pendapatan dengan metode akrual penuh atas transaksi tersebut tanpa mengungkapkan
Perjanjian Pengikatan Jual Beli Kavling Siap Bangun di Perumahan Serpong Kencana
tertanggal 14 Juli 2016 (PPJB 14 Juli 2016) terkait penjualan Kasiba pada laporan keuangan
2016.
Dari segi auditor pun, diketahui bahwa auditor tidak profesional dalam pelaksanaan
prosedur audit apakah laporan keuangan MYRX mengandung kesalahan material yang
memerlukan perubahan atau tidak atas bukti yang diraih oleh auditor setelah laporan
keuangan terbit. Hal ini berakibat pada AP Sherly Jokom (sebagai partner yang
bertanggung jawab atas laporan audit) diberikan sanksi administratif berupa Pembekuan
STTD selama 1 (satu) tahun terhitung setelah ditetapkannya surat sanksi.
Sources:
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190809145515-92-419879/sulap-lapkeu-
mantan-dirut-hanson-international-didenda-rp5-m.
https://ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/pengumuman/Pages/OJK-Tetapkan-Sanksi-
Administratif-terhadap-PT-Hanson-Internasional-Tbk,-Benny--Tjokrosaputro,-Adnan-
Tabrani,-dan-Sherly-Jok.aspx

4. Kasus Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk – EY


Lain halnya dengan kasus-kasus yang sudah dijelaskan diatas, kasus ini terkategori sebagai
Management Intention karena manajemen diketahui menggelembungkan uangnya.
Auditor dalam hal ini tidak salah karena yang menandatangani laporan keuangan TPS tahun
2017 adalah RSM, sedangkan EY hanya melakukan audit investigasi, sehingga tidak terjadi
benturan kepentingan.
Laporan keuangan TPS tahun audit 2017 ditandatangani oleh Didik Wahyudiyanto yang
merupakan AP dari KAP Amir Abadi Jusuf, Aryanto, Mawar dan Rekan (RSM). RSM
diketahui tidak mampu mengungkapkan terjadinya fraud di PT TPS. Fraud tersebut justru
diungkapkan oleh EY dengan ditandatangani oleh Deni R. Tama. Diketahui juga di bagian
ruang lingkup laporan investigasi EY, bahwa laporan tersebut tidak memberikan opini
audit.
Kesalahan ini memang jelas dilakukan oleh manajemen tanpa adanya peran EY.
Berdasarkan laporan investigasi EY tersebut, diketahui bahwa:
1. Terdapat dugaan overstatement sebesar Rp 4 triliun pada akun piutang usaha,
persediaan, dan aset tetap Grup TPSF dan sebesar Rp 662 miliar pada Penjualan serta
Rp 329 miliar pada EBITDA Entitas Food.
2. Terdapat dugaan aliran dana sebesar Rp 1,78 triliun dengan berbagai skema dari Grup
TPSF kepada pihak-pihak yang diduga terafiliasi dengan Manajemen Lama (“Pihak
Terafiliasi”), antara lain dengan menggunakan pencairan pinjaman Grup TPSF dari
beberapa bank, pencairan deposito berjangka, transfer dana di rekening Bank, dan
pembiayaan beban Pihak Terafiliasi oleh Grup TPSF.
3. Terkait hubungan dan transaksi dengan Pihak Terafiliasi, tidak ditemukan adanya
pengungkapan (disclosure) secara memadai kepada para pemangku kepentingan
(stakeholders) yang relevan. Hal ini berpotensi melanggar Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan No. KEP-412/BL/2009 tentang
Transaksi Afiliasi dan Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu

Menurut saya, justru salah jika EY dianggap melanggar kode etik Akuntan publik, karena
jasa yang diberikan EY hanya audit investigasi, bukan audit tahunan.

Sources:
https://fksfs.co.id/wps/wp-content/uploads/2022/12/Annual-Report-2017-TPSF.pdf
https://www.idx.co.id/StaticData/NewsAndAnnouncement/ANNOUNCEMENTSTOCK/
From_EREP/201903/6b2d1df1a4_1399994ba4.pdf

5. Kasus Indosat Ooredoo – EY


Diketahui bahwa kasus Indosat terkategori sebagai Audit Failure kategori Gross
Negligence karena EY gagal menyajikan bukti pendukung atas perhitungan sewa 4.000
menara seluler yang terdapat pada laporan keuangan Indosat. EY juga belum tuntas
melakukan analisis atas perhitungan sewa tersebut dan langsung memberikan opini WTP.
Hal itu sangatlah fatal karena suatu pekerjaan audit haruslah tuntas dan menghasilkan
kualitas yang baik. Jika pekerjaan yang dikerjakan tidak tuntas, maka akan berakibat pada
menurunnya kepercayaan publik terhadap KAP sekaligus perusahaan yang diaudit tersebut.
Investor juga menjadi ragu-ragu untuk berinvestasi di perusahaan tersebut karena bukannya
menghasilkan keuntungan, malah menghasilkan kerugian dan masalah hukum juga.
Apalagi dengan diberikannya sanksi dari PCAOB kepada EY, itu dapat merusak reputasi
KAP Indonesia dimata pihak asing. Pihak asing menjadi ragu-ragu untuk melakukan
investasi di Indonesia, karena laporan keuangan yang disajikan terdapat fraud dan auditor
sebagai third independent party, tidak mampu mencium fraud dan cenderung bekerja tanpa
mempertimbangkan kualitas dan mutu yang baik.
Sources:
https://nasional.kontan.co.id/news/mitra-ernst-young-indonesia-didenda-us-1-juta

6. Kasus Baker Hughes – KPMG


Kasus Baker Hughes dapat dikategorikan sebagai Audit Failure jenis Fraud karena
KPMG-SSH dan partnernya terlibat aktif dan turut serta berpihak pada kliennya dalam
menyogok pejabat kantor pajak. KPMG menyogok aparat pajak dengan tujuan untuk
menerbitkan faktur palsu. Berkat aksi sogok ini, kewajiban pajak PT Easman Christensen
(anak perusahaan Baker Hughes) memang susut drastis. Dari semula US$3,2 juta menjadi
hanya US$ 270 ribu. Hal ini tentu sangat berdampak pada perekonomian negara yaitu
berkurangnya penerimaan negara dari sektor pajak. Uang yang seharusnya diterima negara
kenyataannya diterima oleh oknum tidak bertanggung jawab demi kepentingan satu belah
pihak saja. Hal itu juga dapat menurunkan kepercayaan publik yang begitu besar.
Kasus ini diendus oleh pihak asing di Amerika dan berakhir “damai”. Namun, hal tersebut
berakibat pada penurunan kepercayaan masyarakat dan investor baik dari dalam maupun
luar negeri, karena manajemen dan auditor tidak memiliki integritas dalam melakukan
profesinya. Khususnya KAP KPMG-SSH yang terbukti tidak profesional dalam bekerja
dan tidak mengutamakan kepentingan publik. Peran auditor haruslah independent dan tidak
bisa diintervensi oleh pihak-pihak berkepentingan. Auditor harus dapat memberikan
laporan yang objektif dan independen dalam rangka mewakili publik.
Sources:
https://www.kompasiana.com/rani54795/62b9b748533a0d136e62ce02/fenomena-etika-
profesi-akuntansi-kasus-penyuapan-pajak-kpmg-siddharta-siddharta-
harsono?page=2&page_images=1

7. Kasus Garuda Indonesia – BDO


Kasus Garuda Indonesia dapat dikategorikan sebagai Audit Failure jenis Gross
Negligence karena auditor secara sembrono mengakui penjualan dengan tidak
mengumpulkan bukti audit yang cukup dan memadai. Semua berawal dari hasil laporan
keuangan Garuda Indonesia untuk tahun buku 2018. Dalam laporan keuangan tersebut,
Garuda Indonesia Group membukukan laba bersih sebesar USD809,85 ribu atau setara
Rp11,33 miliar (asumsi kurs Rp14.000 per dolar AS). Angka ini melonjak tajam dibanding
2017 yang menderita rugi USD216,5 juta. Namun laporan keuangan tersebut menimbulkan
polemik, lantaran dua komisaris Garuda Indonesia yakni Chairal Tanjung dan Dony
Oskaria (saat ini sudah tidak menjabat), menganggap laporan keuangan 2018 Garuda
Indonesia tidak sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). Pasalnya,
Garuda Indonesia memasukan keuntungan dari PT Mahata Aero Teknologi yang memiliki
utang kepada maskapai berpelat merah tersebut. PT Mahata Aero Teknologi sendiri
memiliki utang terkait pemasangan wifi yang belum dibayarkan.
BDO terkesan terburu-buru dalam memberikan opini audit, sehingga berakibat pada
ketidakcukupan bukti audit yang dikumpulkannya. Akun revenue merupakan akun yang
krusial karena manajemen berisiko untuk melakukan mark-up atas hasil pendapatannya.
Dengan hasil pendapatan yang tinggi, maka perusahaan dapat dikatakan dalam kondisi
yang baik. Hal ini bertentangan dengan kondisi Garuda pada saat itu, yang dimana sedang
dalam keadaan keuangan yang tidak baik-baik saja. Auditor dalam hal ini terbukti
melanggar SA 315, SA 500, dan SA 560.
Kasus Garuda Indonesia ini berbuntut panjang. Dapat dibuktikan dengan dipecatnya Ari
Askhara selaku Dirut Garuda dan pemberian sanksi kepada KAP BDO. Selain itu, Garuda
Indonesia mengalami kejatuhan yang luar biasa ketika pandemi covid-19, yang
penyebabnya bukan hanya karena pandemi melainkan karena kasus-kasus yang sudah
menggunung dari periode-periode sebelumnya, terutama ketika era kepemimpinan Ari
Askhara.
Sources:
https://economy.okezone.com/read/2019/06/28/320/2072245/kronologi-kasus-laporan-
keuangan-garuda-indonesia-hingga-kena-sanksi

OVERALL UNTUK SELURUH KASUS-KASUS:

Kasus-kasus diatas tentu harus menjadi pembelajaran yang berarti bagi auditor untuk
melakukan tugasnya dengan profesional tanpa adanya intervensi dari pihak manapun. Karena
Akuntan Publik (Auditor) merupakan pihak independen yang mewakili kepentingan
Masyarakat demi menciptakan Good Corporate Governance yang baik di mata masyarakat
Indonesia dan mata orang asing. Untuk meraih suatu kepercayaan membutuhkan effort yang
sangat besar, bahkan banyak pihak yang memperjuangkannya selama berpuluh-puluh tahun.
Namun semua akan sirna dalam seketika jika kondisi seseorang dibutakan dengan adanya
shortcut yang menggiurkan. Sudah seharusnya, prinsip integritas harus ditanamkan sejak dini,
supaya kita sebagai Akuntan dapat berjalan terus tanpa pandang bulu dan tergoda dengan hal-
hal yang tidak berkenan menurut kode etik bahkan menurut Tuhan Yang Maha Esa.

Anda mungkin juga menyukai