Anda di halaman 1dari 8

TUGAS REKAYASA MUTU (TIN1351)

ANALISIS STANDAR MUTU MINYAK KAYU PUTIH

Disusun Oleh : Kelompok 16

Ahdan Kafy Habibie (F3401211111)


Krisna Zinedine P. S. (F3401211132)

Dosen Pengampu

Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA.

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2023
MINYAK KAYU PUTIH

Minyak kayu putih merupakan salah satu jenis minyak atsiri yang dihasilkan dari proses
penyulingan daun dan ranting kayu putih (Melaleuca Leucadendron Linn.) (Idrus dan Smith
2019). Minyak atsiri dikenal sebagai minyak esensial (essential oil) dan minyak terbang (volatile
oil). Minyak atsiri sendiri merupakan minyak yang diperoleh dari hasil penyulingan atau
ekstraksi bagian tanaman seperti, daun, bunga, pohon, biji, akar, dan rimpang. Proses
penyulingan minyak atsiri adalah proses pemisahan komponen cair dan padat dari sebuah
tanaman berdasarkan perbedaan dari titik uap komponen tersebut (Loppies et al. 2021). Proses
penyulingan terbagi menjadi 3 metode, yaitu penyulingan dengan air, penyulingan dengan uap
dan air, dan penyulingan dengan uap langsung.

Kandungan utama dari minyak kayu putih adalah pinene, sineol, limonene,
sesquiterpenes, dan benzaldehyde. Kandungan yang paling tinggi pada minyak kayu putih yaitu
sineol sebesar 50-65%, sehingga digunakan sebagai penentu kualitas minyak kayu putih (Smith
dan Idrus 2018). Minyak kayu putih banyak digunakan sebagai bahan produk kesehatan atau
farmasi. Kandungan sineol pada minyak kayu putih dapat digunakan untuk mengobati infeksi
dan gangguan pernafasan, serta inhalasi dari derivate Eucalyptus digunakan sebagai pengobatan
faringitis, bronchitis, sinusitis, dan asma (Agustiana dan Suhharmiati 2017). Rendemen dan mutu
minyak kayu putih dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti varietas pohon kayu putih,
penyimpanan daun, teknik penyulingan, dan umur daun. Maka dari itu terdapat SNI 3954:2014
tentang minyak kayu putih, yang memiliki ruang lingkup sebagai standar dalam menetapkan
persyaratan mutu, pengambilan contoh, cara uji, dan pengemasan minyak kayu putih sebagai
bahan baku.

Ruang lingkup dari standar SNI 3954:2014 adalah menetapkan persyaratan mutu,
pengambilan contoh, cara uji, dan pengemasan minyak kayu putih sebagai bahan baku. Beberapa
istilah dan definisi pada SNI 3954:2014 minyak kayu putih ini adalah:

1. Bobot jenis yaitu nisbah bobot minyak kayu putih dengan bobot air suling yang sama
volumenya pada suhu yang sama.
2. Indeks bias yaitu bilangan yang menunjukkan nisbah antara sinus sudut datang dan sinus
sudut bias cahaya yang melalui udara dan minyak.
3. Kelarutan minyak kayu putih dalam etanol 80% adalah kelarutan minyak kayu putih
dalam etanol 80% dengan volume 1:1.
4. Minyak kayu putih adalah minyak atsiri yang diperoleh dengan cara penyulingan daun
dan ranting daun tanaman kayu putih (Melaleuca spp.).
5. Putaran optis adalah besarnya pemutaran cahaya natrium dalam panjang gelombang
589,3 nm setelah melalui media minyak pada ketebalan 100 mm.
6. Sineol adalah senyawa kimia utama yang termasuk golongan eter sebagai turunan
terpenoid yang terdapat dalam minyak atsiri.
Dalam cara pengambilan atau penarikan contoh, terdapat 2 metode yaitu pengambilan contoh
dari iot dan pengambilan contoh setiap wadah

1. Pengambilan contoh dari lot

Jumlah wadah dalam lot Minimum jumlah wadah yang di cuplik

1 sampai 3 Setiap wadah


4 sampai 20 3
21 sampai 60 4
61 sampai 80 5
81 sampai 120 6
di atas 120 Satu dari setiap 20

2. Pengambilan contoh mewakili setiap wadah

Contoh diambil dari setiap wadah.

a. Ambil contoh dari setiap wadah dengan suatu alat pipa logam tahan karat atau
pipa kaca yang ukurannya disesuaikan dengan ukuran kemasan. Ujung pipa dapat
ditutup atau dibuka dengan suatu sumbat bertangkai panjang.
b. Masukkan alat pipa logam/kaca ke dalam wadah, sehingga minyak dapat terambil
dari lapisan atas hingga lapisan bawah.
c. Ambil contoh pada lapisan atas, tengah, dan bawah kemudian dicampur menjadi
satu dan dikocok.
d. Ambil dari campuran tersebut 100 mL untuk dianalisis dan 50 mL lagi sebagai
arsip contoh.
e. Masukkan contoh ke dalam botol bersih, kering, dan tidak mempengaruhi contoh.
f. Botol ditutup kemudian disegel dan diberi etiket yang bertuliskan nomor
wadah/lot, tanggal pengiriman contoh, identitas pengambil contoh, nama
produsen atau eksportir.
g. Tutup kembali wadah dan disegel setelah pengambilan contoh.
STANDAR MUTU SNI MINYAK KAYU PUTIH

Tabel 1 Persyaratan Umum Minyak Kayu Putih (SNI 3954:2014)


No. Parameter Persyaratan

1. Warna Tidak berwarna, kekuningan atau


kehijauan dan jernih

2. Bau Khas kayu putih

3. Bobot Jenis 20°C 0,900 ‒ 0,930

4. Indeks bias (nD20) 1,450 ‒ 1,470

5. Kelarutan dalam etanol 80% Jernih

6. Putaran Optis (-) 4° s/d 0°

Tabel 2 Persyaratan Khusus Minyak Kayu Putih (SNI 3954:2014)


Parameter Satuan Kelas Mutu

Super Utama Pertama

Kadar Sineol % >60 55-60 50 - <55

Syarat standar mutu minyak kayu putih:


1. Penentuan Warna
Penentuan warna dari minyak kayu putih didasarkan pada pengamatan visual dengan
menggunakan indra visual secara langsung terhadap sampel. Cara kerja penentuan warna
minyak kayu putih adalah memipet 10 ml sampel ke dalam tabung reaksi. Warna dari
kayu putih dilihat dengan menyandarkan tabung reaksi tersebut pada kertas berwarna
putih dan diamati dengan jarak antara mata dan sampel 30 cm. Hasil dari penentuan
warna minyak kayu putih sesuai dengan warna contoh yang diamati. Menurut SNI
3954:2014, warna standar dari minyak kayu putih cenderung tidak berwarna, kekuningan
atau kehijauan dan jernih. Pada umumnya, minyak atsiri cenderung tidak berwarna ketika
dalam kondisi segar dan murni. Namun, warna dari minyak dapat berubah menjadi gelap
ketika dilakukan penyimpanan yang lama. Warna pada hasil minyak atsiri juga dapat
dipengaruhi oleh komponen yang terkandung di dalamnya (Kartiko et al. 2021).
Beberapa warna minyak kayu putih yang kurang memenuhi standar adalah minyak yang
berwarna oranye dan kuning pekat.

2. Penentuan Bau
Metode ini menggunakan indra penciuman langsung terhadap contoh minyak kayu putih
yang diteteskan pada kertas uji (test paper). Syarat umum dari bau minyak kayu putih
adalah berbau khas minyak kayu putih. Minyak atsiri dikenal oleh masyarakat karena
baunya yang khas dan berkhasiat sebagai penghangat badan, meredakan hidung
tersumbat, hingga antiinflamasi. Minyak kayu putih memiliki bau yang khas karena zat
penyusunnya. Beberapa zat penyusun dari minyak kayu putih adalah 1,8-cineole, Ionone,
Trans-Beta-Ionone-5,6-Epoxide, Formamide, asam asetat, α-pinene, dan ß-pinene
(Widiyanto dan Siarudin 2014).

3. Penentuan Bobot Jenis 20°C


Metode pengukuran bobot jenis didasarkan dengan menentukan angka banding antara
bobot minyak dan bobot air suling pada suhu dan volume yang sama. Bobot jenis
menunjukkan banyaknya komponen yang terkandung dalam zat tersebut. Semakin berat
komponen-komponen yang terkandung pada zat tersebut maka semakin besar juga nilai
bobot jenisnya dan sebaliknya (Kristian et al. 2016). Cara kerja dalam menentukan bobot
jenis 20°C menggunakan alat piknometer. Piknometer yang telah diketahui berat kosong
dan berat yang berisi air suling diisi dengan minyak. Piknometer yang terisi minyak
ditimbang dengan neraca analitik, lalu suhu saat pengerjaan dicatat dan hasil dari
penimbangan 3 kali tersebut dihitung. Menurut SNI 3954:2014, bobot jenis minyak kayu
putih pada suhu 20°C adalah 0.900 - 0.930.

4. Indeks Bias
Metode pengukuran indeks bias didasarkan pada pengukuran langsung sudut bias minyak
yang dipertahankan pada kondisi suhu yang tetap. Indeks bias sendiri merupakan ukuran
yang menunjukkan pembiasan cahaya antara minyak dan udara yang menunjukkan
kemampuan seluruh komponen minyak atsiri untuk membiaskan cahaya yang lewat dan
mengubah arah sudut dari garis normal. Prinsip kerja dari percobaan ini adalah
pembacaan indeks bias pada alat refraktometer. Hasil yang didapatkan dari percobaan
adalah nilai indeks bias dari refraktometer. Menurut SNI 3954:2014, indeks bias yang
memenuhi persyaratan mutu adalah 1,450 ‒ 1,470. Parameter indeks bias ini sering
digunakan untuk mendeteksi pemalsuan awal minyak kayu putih. Warna dari minyak
kayu putih berpengaruh terhadap nilai indeks biasnya. Semakin jernih warna minyak
kayu putih, maka indeks bias-nya akan semakin tinggi (Maail dan Purimahua 2020).
Selain itu, nilai indeks bias minyak kayu putih juga berbanding lurus dengan kadar air
yang terkandung pada minyak tersebut. Semakin tinggi indeks bias minyak kayu putih,
maka semakin tinggi kadar airnya. Minyak yang memiliki kadar air lebih besar dapat
menurunkan mutu minyak kayu putih (Ratnaningsih et al. 2018).

5. Kelarutan dalam etanol 80%


Prinsip dari uji kelarutan dalam etanol 80% adalah minyak kayu putih dinyatakan larut
apabila menghasilkan larutan yang jernih jika dicampur dengan etanol 80% dengan
nisbah volume 1:1. Menurut SNI 3954:2014, minyak kayu putih ketika dilarutkan dengan
etanol 80% memiliki warna jernih. Kelarutan minyak atsiri dalam alkohol dapat
dipengaruhi oleh jenis komponen kimia pada minyak atsiri tersebut. Minyak atsiri yang
memiliki senyawa terpena teroksigenasi akan mudah larut dalam alkohol dari pada yang
mengandung terpena tak teroksidasi (Wibowo et al. 2016). Semakin tinggi kandungan
terpena tak teroksigenasi maka daya larut minyak atsiri terhadap etanol semakin rendah.
Hal tersebut karena senyawa terpena tak teroksigenasi tidak memiliki gugus fungsional.
Semakin besar kelarutan minyak atsiri terhadap etanol maka semakin baik juga kualitas
minyak atsiri tersebut.

6. Putaran optis
Metode penentuan putaran optis didasarkan pada pengukuran sudut bidang saat sinar
terpolarisasi diputar oleh lapisan minyak yang tebalnya 100 mm. Pengukuran putaran
optis tersebut menggunakan alat polarimeter dan menggunakan sumber cahaya dari
lampu natrium. Besar putaran optik minyak atsiri merupakan gabungan dari nilai putaran
optik senyawa penyusunnya. Putaran optik merupakan fungsi dari komposisi, jenis dan
konsentrasi senyawa yang terdapat dalam suatu campuran (Khasanah et al. 2015).
Menurut SNI 3954:2014, minyak kayu putih memiliki putaran optis (-) 4° s/d 0°. Nilai
negatif (-) tersebut menunjukkan komponen senyawa dalam minyak atsiri tersebut
memiliki kemampuan memutar bidang polarisasi ke arah kiri (Anggraini et al. 2018).

7. Kadar sineol
Penentuan kandungan sineol menggunakan kromatografi gas menggunakan prinsip
memisahkan sineol dan komponen-komponen minyak kayu putih dengan teknik
kromatografi gas. Cara kerja analisis ini adalah dengan menyalakan alat kromatografi gas
dan menyuntikkan sampel sebanyak 0,1 mikroliter pada alat. Hasil kadar sineol
dinyatakan dalam bentuk persen. Menurut SNI 3954:2014, minyak kayu putih terbagi
menjadi tiga kelas menurut kadar sineolnya. Minyak termasuk kelas super jika memiliki
kadar sineol lebih dari 60%, kelas utama jika memiliki kadar sineol 55-60%, dan kelas
pertama jika memiliki kadar sineol 50-<55%. Minyak kayu putih mengandung sineol
(C10H18O) yang merupakan kandungan utama serta bentuk alkohol dari terpineol
(C10H17OH), dan beberapa jenis terpen seperti α-pinene, valerat, dan benzoat aldehid.
Sineol atau 1,8-cineole adalah eter siklik alami dan anggota monoterpenoid yang juga
dikenal dengan 1,8-cineole, eukaliptol, cajeputol, 1,8-epoksi-pmentana, dan
1,8-oxido-p-mentana (Widiyanto dan Siarudin 2014). Kadar sineol pada minyak dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu pengaruh musim dan perlakuan bahan baku
(Nayunda 2022). Kadar sineol pada musim kering memiliki kualitas kandungan sineol
yang lebih baik dibandingkan pada musim hujan. Selain itu, perbedaan teknologi
penyulingan, perlakuan daun sebelum disuling, dan varietas tanaman kayu putih juga
berpengaruh terhadap kandungan sineol pada minyak kayu putih.

DAFTAR PUSTAKA

Agustina ZA, Suharmiati S. 2017. Pemanfaatan minyak kayu putih (Melaleuca leucadendra Linn)
sebagai alternatif pencegahan ISPA: sebuah studi etnografi di Pulau Buru, Provinsi
Maluku. Jurnal Kefarmasian Indonesia. 7(2): 120-126.

Anggraini R, Jayuska A, Alimuddin AH. 2018. Isolasi dan karakterisasi minyak atsiri lada hitam
(Piper nigrum L.) asal Sajingan Kalimantan Barat. Jurnal Kimia Khatulistiwa. 7(4):
124-133

Idrus S, Smith H. 2019. Estimasi hubungan sifat fisika kimia minyak kayu putih pada industri
kecil penyulingan di Maluku. Indonesian Journal of Industrial Research. 15(1): 1-14.

Kartiko AB, Kuspradini H, Rosamah E. 2021. Karakteristik minyak atsiri daun (Melaleuca
leucadendra L.) dari empat lokasi yang berbeda di Kabupaten Paser Kalimantan Timur.
ULIN J. Hutan Trop. 5(2): 80-85.

Khasanah LU, Kawiji K, Utami R, Aji YM. 2015. Pengaruh perlakuan pendahuluan terhadap
karakteristik mutu minyak atsiri daun jeruk purut (Citrus hystrix DC). Jurnal Aplikasi
Teknologi Pangan. 4(2): 48-55.

Kristian J, Zain S, Nurjanah S, Widyasanti A, Putri SH. 2016. Pengaruh lama ekstraksi terhadap
rendemen dan mutu minyak bunga melati putih menggunakan metode ekstraksi pelarut
menguap (solvent extraction). Jurnal Teknotan. 10(2): 34-43.

Loppies JE, Wahyudi R, Ardiansyah A, Rejeki ES, Winaldi A. 2021. Kualitas minyak atsiri daun
cengkeh yang dihasilkan dari berbagai waktu penyulingan. Jurnal Industri Hasil
Perkebunan. 16(2): 89-96.

Maail RS, Purimahua V. 2020. Analisis sifat fisis dan kimia produk minyak kayu putih di pasaran
Kota Ambon. Jurnal Penelitian Kehutanan. 14(1): 48-56.

Nayunda A. 2022. Pengaruh lama pelayuan terhadap hasil rendemen minyak kayu putih
(Melaleuca leucadendron linn) di KPH Rinjani Barat [skripsi]. Mataram (ID): Universitas
Mataram.
Ratnaningsih AT, Insusanty E, Azwin A. 2018. Rendemen dan kualitas minyak atsiri Eucalyptus
pellita pada berbagai waktu penyimpanan bahan baku. Wahana Forestra: Jurnal
Kehutanan. 13(2): 90-97.

Smith H, Idrus S. 2018. Karakteristik minyak kayu putih pada berbagai lokasi di Maluku.
Majalah Biam. 14(2): 58-69.

Wibowo DP, Rustamsyah A, Kurniawan Y. 2016. Karakterisasi dan aktivitas repelen minyak atsiri
sereh wangi (Cymbopogon nardus L), akar wangi (Vetiveria zizanoides L.), Nilam
(Pogestemon cablin), cengkeh (Syzgium aromaticum) asal Kabupaten Garut terhadap
nyamuk Aedes aegypti betina. Jurnal Ilmu Farmasi Dan Farmasi Klinik. 13(2): 1-6.

Widiyanto A, Siarudin M. 2014. Sifat fisikokimia minyak kayu putih jenis Asteromyrtus brasii.
Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 32(4): 243-252.

Anda mungkin juga menyukai