Anda di halaman 1dari 11

REKAYASA MUTU

(MUTU SUSU SAPI PERAH)

Kelompok 32

Annisa Rianti Andarini (F3401201007)


Muhammad Zidan Hakim Amiri (F3401201031)

Kelas : K1

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2022
SUSU SAPI PERAH

A. Deskripsi

Susu merupakan salah satu sumber protein yang sering kali dikonsumsi oleh
manusia. Susu memiliki kandungan khasiat yang sangat baik tubuh mulai dari
anak-anak hingga orang tua. Susu dapat bersumber dari mana saja, seperti sapi perah,
kambing, hingga vegetarian seperti kacang kedelai. Masing-masing memiliki
komposisi yang berbeda-beda. Khusus susu sapi perah sendiri merupakan susu segar
yang dihasilkan dari sel sekretori pada ambing sapi melalui puting dengan cairan
berwarna putih, komponen nutrien cukup lengkap, serta baik untuk kesehatan tubuh.
Susu memiliki banyak nutrient seperti laktosa, lemak, casein, vitamin dan mineral
yang umumnya dibutuhkan pada fase pertumbuhan dan perkembangan. Susu juga
kaya akan vitamin K sehingga bagus untuk kesehatan tulang dan gigi. Susu sapi
banyak diolah menjadi produk lebih lanjut atau bernilai jual tinggi, seperti susu kental
manis, susu bubuk, susu UHT, susu pasteurisasi, dan lainnya (Miskiyah 2011).

Pada umumnya susu sapi perah memiliki karakteristik berwarna putih, bersifat
encer, beraroma segar, dan memiliki rasa sedikit manis. Tinggi nya kandungan nutrisi
pada susu mengakibatkan susu menjadi produk yang cukup sensitif dan tidak
memiliki daya simpan yang panjang. Hal ini tentunya memengaruhi distribusi produk
hingga ke tangan konsumen. Produsen harus memastikan produk susu yang sampai ke
tangan konsumen harus masih dalam keadaan yang sesuai dengan standar mutu.

Gambar 1 Susu Sapi Perah


B. Standar Mutu

Susu sapi perah memiliki karakteristik fisikawi dan kimia. Karakteristik


tersebut diatur dalam standar mutu sebagai batasan atau patokan minimal kualitas dari
suatu susu. Yang dimaksud karakteristik fisikawi adalah karakteristik yang dapat
dirasakan oleh panca indra seperti warna, bau, rasa, kenampakan, w bentuk, ukuran,
dan ada atau tidaknya kotoran. Sedangkan karakteristik kimiawi mencakupi pH, kadar
nutrisi atau senyawa kimia. Ada juga secara mikrobiawi seperti jumlah kapang atau
jamur, yeast, dan bakteri (Christi et al. 2022). Semua karakteristik ini diatur
standarnya oleh SNI dengan tujuan melindungi konsumen pada saat mengkonsumsi
produk susu tersebut. Sehingga wajib hukumnya untuk para produsen menerapkan
standar SNI tersebut. Kualitas mutu susu sapi perah sendiri diatur oleh SNI
3141.1:2011.

Tabel 1 Syarat Mutu Susu Sapi Segar SNI 3141.1:2011

Sumber : SNI 3141.1:2011

1. Berat Jenis
Indikator susu sapi segar dapat dilihat dari nilai berat jenisnya. Berat jenis
susu memiliki keterkaitan dengan total solid dan bahan kering (BK) konsentrat
dalam ransum. Total solid atau solid non fat adalah komponen yang menyusun susu
disamping air dan lemak atau disebut juga bahan kering tanpa lemak susu yang
bergantung pada kadar protein, laktosa dan lemak. Semakin tinggi total solid atau BK
konsentrat maka berat jenis susu akan semakin tinggi. Berat jenis susu sapi dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya kandungan bahan kering pakan.
Kandungan bahan kering pakan sendiri dipengaruhi oleh nutrisi pakan ternak yang
dikonsumsi karena nutrisi tersebut akan digunakan sebagai prekursor pembentukan
bahan kering atau padatan dalam susu. Faktor lainnya adalah suhu susu dan
umumnya analisa berat jenis susu dilakukan tiga jam setelah pemerahan. Bila analisa
berat jenis dilakukan kurang dari tiga jam setelah pemerahan maka berat jenis susu
akan lebih rendah. Pada saat susu baru diperah akan terdapat gas yang timbul pada
susu. Kenaikan berat jenis susu disebabkan karena adanya pelepasan CO2 dan
N2 yang terdapat pada susu tersebut sehingga hal ini lah yang menyebabkan susu
harus ditunggu selama tiga jam (Widyawati et al. 2020). Faktor lain yang
mempengaruhi berat jenis susu adalah ras, periode kelahiran, status fisiologis, dan
waktu pemerahan. Pada SNI 3141.1:2011 sendiri dinyatakan bahwa standar berat
jenis susu sekitar 1,0720 g/ml. Berat jenis penting untuk diketahui kadarnya karena
dapat mengetahui atau memprediksi bahan padatan lainnya yang terkandung dalam
susu. Selain itu juga, nilai berat jenis menentukan harga jual dari suatu susu (Christi et
al. 2022).

2. Kadar Lemak Minimum


Kadar lemak susu sangat dipengaruhi oleh serat kasar dalam pakan ternak.
pemberian ransum yang tidak memadai menyebabkan produksi susu dan kadar lemak
susu yang rendah. Hal ini terjadi karena sebagian besar dari komponen susu disintesis
dalam ambing dari substrat sederhana yang berasa dari pakan. Adanya serat kasar
yang tinggi pada pakan akan menghasilkan asam asetat yang tinggi dalam rumen
sehingga bila asam asetat yang tersintesis rendah maka kadar lemak susu akan rendah
pula (Laryska dan Nurhajati 2013). Terdapat faktor lain yang mempengaruhi kadar
lemak susu diantaranya faktor genetik, pakan, cara pemeliharaan, iklim, masa laktasi,
dan kesehatan hewan. Berdasarkan standar mutu SNI 3141.1:2011, kadar lemak
minimal susu sapi berkualitas sebesar 3%. Kandungan lemak susu sapi penting untuk
diperhatikan karena kandungan lemak dalam susu merupakan salah satu komponen
penting setelah protein dimana harga jual susu bergantung pada tinggi atau rendahnya
kandungan lemak (Widyawati et al. 2020).

3. Kadar bahan kering tanpa lemak minimum


Kadar bahan kering tanpa lemak yaitu bahan kering yang tertinggal setelah
lemak susu dihilangkan. Bahan kering tanpa lemak disebut juga sebagai solid non fat
adalah bahan kering tanpa lemak susu yang bergantung pada kadar protein, laktosa
dan lemak. Bahan kering tanpa lemak merupakan selisih dari kadar bahan kering susu
dengan kadar lemak susu. Kandungan bahan kering tanpa lemak pada susu
dipengaruhi oleh kadar protein dan lemak. Kandungan bahan kering tanpa lemak yang
tinggi dapat disebabkan oleh komposisi protein yang tinggi dan kadar lemak yang
rendah. Kadar lemak yang tinggi dapat menyebabkan kandungan bahan kering tanpa
lemak menjadi rendah. Selain lemak dan protein, kandungan bahan kering tanpa
lemak juga bergantung dari kualitas pakan. Semakin tinggi protein dalam pakan maka
kandungan bahan kering tanpa lemak susu akan semakin tinggi. Pada SNI
3141.1:2011, kadar bahan kering tanpa lemak minimum sebesar 7.8%. Semakin tinggi
kadar bahan kering tanpa lemak maka kualitas susu akan semakin baik (Nugraha et al.
2016).

4. Kadar Protein minimum


Kadar protein merupakan salah satu hal yang harus diperhatikan karena
berkaitan dengan nutrisi susu. Susu merupakan salah satu sumber protein baik bagi
tubuh manusia sehingga standar minimumnya harus ditetapkan. Protein merupakan
zat gizi utama dalam susu karena mengandung asam-asam amino esensial yang
diperlukan oleh tubuh. Kandungan protein pada susu dapat dipengaruhi dari faktor
internal dan eksternal. Faktor internal diantaranya kondisi fisiologis, bangsa, tingkat
laktasi, estrus, kebuntingan, interval beranak dan umur. Sedangkan faktor
eksternalnya adalah pakan ternak. Penambahan konsentrat pada pakan dapat
meningkatkan energi sehingga asam amino yang terbentuk akan meningkat dan
sintesis protein susu akan meningkat pula. Selain itu, kadar protein susu juga sangat
dipengaruhi oleh masa laktasi. Semakin lama waktu laktasi maka kandungan protein
susu cenderung menurun. Berdasarkan SNI 3141.1:2011, ditetapkan standar minimum
kadar protein susu sapi sebesar 2.8%. Bila susu sapi memiliki kadar protein di bawah
standar maka kualitas susu sapi tidak layak untuk dipasarkan dan dikonsumsi (Oka et
al. 2017).

5. Warna, Bau, Rasa, dan Kekentalan


Warna, bau, rasa, dan kekentalan merupakan karakteristik fisik yang dapat
dilihat pada susu yang dapat dirasakan oleh panca indra. Warna merupakan salah satu
parameter kualitas susu yang dapat dilihat oleh mata. Berdasarkan SNI 3141.1:2011,
susu segar memiliki standar warna yaitu putih kekuningan dan tidak tembus pandang
(disfersi koloid). Warna putih pada susu disebabkan oleh kasein sedangkan warna
kekuningannya disebabkan oleh karoten yang berasal dari lemak susu. Bila susu telah
terkontaminasi maka akan timbul perubahan warna pada susu. Bau merupakan salah
satu parameter kualitas susu yang dapat dirasakan oleh indra penciuman. Aroma susu
yang segar merupakan aroma khas pada jenis ternak yang digunakan. Bila susu telah
terkontaminasi maka akan timbul aroma asam akibat adanya reaksi dengan mikroba di
dalamnya. Rasa merupakan salah satu parameter kualitas susu yang dapat dirasakan
oleh indra perasa. Berdasarkan SNI 3141.1:2011, umumnya rasa susu merupakan
manis sedikit gurih yang diakibatkan oleh adanya lemak susu dan protein yang
terkandung didalamnya. Bila timbul rasa tidak sedap maka susu telah basi atau telah
terkontaminasi oleh mikroba. Berdasarkan standar SNI 3141.1:2011, standar
kekentalan susu segar yaitu normal (tidak terlalu kental dan tidak terlalu encer). Susu
yang terlalu kental dapat disebabkan oleh terkontaminasi oleh bakteri. Kekentalan
meningkat akibat adanya fermentasi laktosa menjadi asam laktat sehingga pH susu
menurun dan kasein menggumpal disertai dengan lendir. Sedangkan jika susu terlalu
encer dapat disebabkan oleh sapi yang terinfeksi mastitis (Riyanto et al. 2016). Pada
SNI 3141.1:2011 dikatakan bahwa produk susu yang diterima oleh konsumen tidak
boleh ada perubahan baik dari segi warna, rasa, bau, dan aroma. Bila terdapat
penyimpangan maka susu tersebut telah terkontaminasi.

6. Derajat Asam
Derajat asam merupakan salah satu parameter penting pada kualitas susu sapi
segar. Asam yang timbul pada susu diakibatkan oleh perombakan laktosa menjadi
asam akibat kerja mikroorganisme. Susu merupakan salah satu produk yang sensitif
dan mudah terkontaminasi mikroba akibat kaya akan nutrisi sehingga derajat asam ini
penting untuk diketahui kadarnya dan berkaitan dengan derajat keasaman (pH)
(Dwitania dan Swacita 2013). Berdasarkan SNI 3141.1:2011 disebutkan bahwa
standar derajat asam susu berkisar 6,0 - 7,5 SH. Bila derajat asam susu sapi diluar
rentang tersebut maka susu tidak dalam kualitas yang baik.

7. Derajat Keasaman
Derajat keasaman merupakan salah satu parameter penting dari kualitas susu.
Berdasarkan SNI 3141.1:2011 disebutkan standar pH susu sapi segar berkisar 6.3 -
6.8. Derajat keasaman berkaitan dengan derajat asam. pH susu dapat menurun akibat
adanya asam yang timbul pada susu. Asam pada susu dapat timbul karena adanya
bakteri asam laktat yang berperan memecah laktosa menjadi asam laktat. Semakin
tinggi aktivitas bakteri asam laktat pada saat pemecahan laktosa mengakibatkan
turunnya nilai pH menjadi lebih asam. Selain itu masa penyimpanan susu juga dapat
mempengaruhi pH susu, semakin lama penyimpanan maka pH susu akan semakin
menurun. Karena banyaknya kandungan nutrisi pada susu mengakibatkan susu tidak
memiliki masa simpan yang lama. Bila pH susu diluar rentang pH batas standar maka
kualitas susu tersebut sudah menurun (Asmaq dan Marisa 2020).

8. Uji alkohol
Uji alkohol adalah suatu uji untuk menentukan sifat – sifat pemecahan protein
susu. Uji alkohol menjadi positif bila susu mulai asam atau sudah asam, susu
bercampur dengan kolostrum, pada permulaan mastitis dan susu tidak stabil
disebabkan oleh perubahan fisiologi. Bila hasil keasaman susu kurang dari 0,21%
akan mengendap pada penambahan alkohol terutama kasein dan kalium yang ditandai
dengan adanya gumpalan pada permukaan tabung. Bila keasaman susu lebih tinggi
dari 0,21% atau bila kadar senyawa kalsium dan magnesium lebih besar dari keadaan
normal, maka pemberian alkohol 70% dengan jumlah yang sama dengan susu segar
akan dapat mengendapkan protein yang terdapat dalam susu (Nababan et al. 2015).

9. Cemaran Mikroba Maksimum


● Total plate count
SNI 01-6366-2000 mensyaratkan pemeriksaan TPC perlu dilakukan
untuk mengetahui kualitas susu. Jumlah TPC >106 cfu/ml menyebabkan
mikroba cepat berkembang dan toksin sudah terbentuk. Susu akan cepat rusak
apabila disimpan pada suhu ruang lebih dari 5 jam, jarak antara peternak dan
tempat pengumpul susu jauh tanpa dilengkapi dengan sarana pendingin
(Jayarao et al. 2006). Sebagian industri pengolahan susu akan menolak susu
apabila jumlah TPC >106 cfu/ml. Pemeriksaan TPC dapat dilakukan dengan
metode hitungan cawan (Suwito 2010).

● Staphylococcus aureus
S.aureus adalah menghasilkan toksin yang bersifat tahan panas. S.
aureus menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan mual, muntah, dan diare
dan kasus tersebut disebut intoksikasi. Jumlah S. aureus >104 cfu/ml pada
susu sudah dapat membentuk toksin dan bila dikonsumsi akan menyebabkan
intoksikasi. Mekanisme kerja toksin S. aureus adalah dengan cara merangsang
reseptor saraf lokal dalam perut, selanjutnya mengantarkan impuls melalui
saraf vagus dan simpatetik dan pada akhirnya menstimulasi pusat muntah yang
terdapat di medula oblongata (Suwito 2010).

● Enterobacteriaceae
Enterobacteriaceae adalah mikroorganisme yang hidup di usus besar
manusia, hewan, tanah, air, susu dan dapat pula ditemukan pada komposisi
material (feses, urin). Penyakit-penyakit yang dapat ditimbulkan oleh
Enterobacteriaceae sangat beragam, mulai dari diare, gastroenteritis,
peritonitis, infeksi saluran nafas, infeksi saluran kemih, bahkan penyakit
autism. Standar Nasional Indonesia (SNI) tahun 2011 menetapkan cemaran
mikroba pada susu segar mempunyai batas maksimum cemaran
Enterobacteriaceae 1x103cfu/ml (Cahyono et al. 2013).

10. Jumlah sel somatis


Sel somatis merupakan kumpulan sel yang terdiri dari sel limfosit, neutrofil,
monosit, makrofag, reruntuhan sel epitel, sel plasma, dan colostrum corpuscle, Sel
somatis normal berada di dalam susu segar dalam jumlah tertentu. Peningkatan
jumlah sel somatis dapat menandakan terjadinya infeksi pada ambing. Jumlah sel
somatis yang tinggi mengakibatkan turunnya kualitas susu akibat aktivitas enzimatis,
yaitu protease dan lipase. Hewan penderita mastitis subklinis menghasilkan susu yang
mengandung jumlah sel somatis lebih dari 400.000 sel/mL, ditemukan bakteri
patogen, dan berada pada periode laktasi normal (Sudarwanto et al. 2016).

11. Residu Antibiotika


Untuk mengetahui ada tidaknya residu antibiotika dalam susu, dapat dilakukan
dengan menggunakan uji residu antibiotika. Hasil negatif ditandai dengan tidak
terbentuknya zona bening di sekitar kertas cakram. sedangkan bila hasilnya positif,
maka akan ada zona bening pada sekitar kertas cakram. Zona bening yang terbentuk
merupakan efek kerja dari keberadaan antibiotika yang mampu menghambat
pertumbuhan bakteri di sekitar kertas cakram. Adanya jumlah residu antibiotik dalam
susu akan menghambat proses pengolahan susu seperti yogurt, sebab dalam
pembuatan yogurt digunakan bakteri sebagai starter, sehingga apabila terdapat jumlah
antibiotik yang banyak, tentu akan mengganggu proses pengolahan dan ini akan juga
merugikan perusahaan pengolahan susu (Detha 2014).

12. Uji pemalsuan


Beberapa indikator terkait pemalsuan susu yang harus diperhatikan
diantaranya yaitu: (1) Susu dengan BJ yang rendah harus diawasi misalnya lebih
rendah dari 1,0280, walaupun tidak semuanya dipalsukan dengan penambahan air; (2)
Bila disamping itu didapatkan kadar lemak rendah, maka kemungkinan pemalsuan
lebih besar; (3) Dalam hal itu % lemak dalam bahan kering dapat dihitung. Bila kadar
lemak dalam bahan kering lebih rendah dari 2,5%, maka susu harus dikatakan
abnormal; (4) Pemalsuan dengan air dapat dibuktikan selanjutnya, bila titik beku atau
angka refraksi susu diperiksa. Susu di Indonesia mempunyai titik beku normal antara
0°C dan – 0,520°C, sedangkan angka refraksi minimal harus 34 (Milk Codex).
Perubahan-perubahan susu dapat pula terjadi karena perubahan makanan yang
diberikan dan (5) Bila B.J susu normal, akan tetapi kadar lemaknya rendah, maka
biasanya hal ini disebabkan oleh pengambilan kepala susu (krim), juga % lemak di
dalam bahan kering sangat rendah. Dalam hal ini penetapan titik beku susu sangat
penting (Utami et al. 2014).

13. Titik beku


Titik beku air susu normal adalah -0,53°C - 0,56°C. Apabila terdapat
pemalsuan air susu dengan penambahan air, dengan mudah dapat dilakukan pengujian
dengan uji penentuan titik beku karena campuran air susu dengan air akan
memperlihatkan titik beku yang lebih besar dari air dan lebih kecil dari air susu.
Karena pada uji pemalsuan susu dengan menggunakan lactoscan negatif maka bisa
saja titik beku susu tinggi disebabkan oleh kadar mineral dan laktosa dalam air susu.
Makin turun kadar mineral dan laktosa dalam air susu maka titik bekunya akan naik
(Utami et al. 2014).

14. Uji peroxidase


Susu yang telah mengalami proses pasteurisasi, seharusnya tidak mengandung
enzim peroksidase lagi karena enzim tersebut bersifat heatlabile yang akan
terinaktivasi oleh proses pemanasan di atas suhu 80 ℃ (Maharani et al. 2020).

15. Cemaran logam berat


Pencemaran Pb berasal dari sumber alami maupun limbah hasil aktivitas
manusia dengan jumlah yang terus meningkat, baik di lingkungan air, darat, maupun
udara. Batas maksimum Residu logam Pb dalam susu menurut SNI 01- 3141-1998
yaitu 0,3 ppm. Logam As merupakan unsur yang melimpah secara alami, termasuk
golongan semi logam yang dapat mencemari tanah, air dan udara melalui proses
erupsi atau letusan gunung merapi. Batas maksimum Residu logam As dalam susu
menurut SNI 01-3141-1998 yaitu 0,5 ppm (Salundik et al. 2012). Logam berat dapat
terkontaminasi ke dalam tubuh melalui makanan, minuman, udara, air dan debu. Jika
logam berat dikonsumsi dalam jumlah besar ke dalam tubuh, maka dapat
menyebabkan gangguan sistem saraf, pertumbuhan terhambat, gangguan reproduksi,
peka terhadap penyakit infeksi, kelumpuhan, menurunkan tingkat kecerdasan anak
hingga kematian (Rahma et al. 2021).
DAFTAR PUSTAKA

Asmaq N, Marisa J. 2020. Karakteristik fisik dan organoleptik susu segar di Medan
Sunggal. Jurnal Peternakan Indonesia. 22(2): 168-175.

Cahyono D, Padaga MC, Sawitri ME. 2013. Kajian kualitas mikrobiologis (total plate
count(tpc), enterobacteriaceae dan staphylococcus aureus) susu sapi segar di
kecamatan krucil kabupaten probolinggo. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak.
8(1): 1-8.

Christi RF, Tasripin DS, Elfakhriano H. 2022. Evaluasi kandungan mutu fisik dan
kimia susu sapi perah Friesian Holstein di BPPIB TSP Bunikasih. Ziraa.ah. 47(2):
236-236.

Detha A. 2014. Pengujian residu antibiotik pada susu. Jurnal Kajian Veteriner. 2(2):
203-206.

Dwitania DC, Swacita IBN. 2013. Uji didih, alkohol dan derajat asam susu sapi
kemasan yang dijual di pasar tradisional Kota Denpasar. Indonesia Medicus Veterinus.
2(4): 437-444.

Laryska N. Nurhajati T. 2013. Peningkatan kadar lemak susu sapi perah dengan
pemberian pakan konsentrat komersial dibandingkan dengan ampas tahu.
Agroveteriner. 1(2): 79-87.

Miskiyah. 2011. Kajian standar nasional Indonesia susu cair di Indonesia. Jurnal
Standardisasi. 13(1): 1-7.

Nababan M, Suada IK, Swacita IBN. 2015. Kualitas susu segar pada penyimpanan
suhu ruang ditinjau dari uji alkohol, derajat keasaman dan angka katalase. Indonesia
Medicus Veterinus. 4(4): 374-380.

Nugraha BK, Salman LB, Hernawan E. 2016. Kajian kadar lemak, protein, dan bahan
kering tanpa lemak susu sapi perah fries holland pada pemerahan pagi dan sore di
PKSBU Lembang. Students E-Journal. 5(4): 1-15.

Oka B, Wijaya M, Kadirman. 2017. Karakteristik kimia susu sapi perah di daerah
Kabupaten Sinjai. Jurnal Pendidikan Teknologi Pertanian. 3(1): 195-202.

Rahma C, Muliyani I , Safrida S. 2021. Studi literatur: analisis kadar logam berat pada
susu kental manis kemasan kaleng. Jurnal Teknologi Pengolahan Pertanian. 3 (2):
22-24.

Riyanto J, Sunarto BS, Cahyadi M, Hidayah R, Sejati W. 2016. Produksi dan kualitas
susu sapi perah penderita mastitis yang mendapat pengobatan antibiotik. Sains
Peternakan. 14(2):30-41.
Salundik, Suryahadi, Mansjoer SS, Sopandie D, Ridwan W. 2012. Cemaran timbal
(pb) dan arsen (as) pada susu sapi perah yang diberi pakan limbah organik pasar di
peternakan sapi perah kebon pedes bogor. Jurnal Peternakan Indonesia. 14 (1):
308-315.

Sudarwanto MB, Maheshwari H, Tanjung F. 2016. Kesetaraan uji mastitis ipb-1


dengan metode breed untuk mendiagnosis mastitis subklinis pada susu kerbau murrah
dan kambing. Jurnal Veteriner. 17(4): 540-545.

Suwito W. 2010. Bakteri yang sering mencemari susu: deteksi, patogenesis,


epidemiologi, dan cara pengendaliannya. Jurnal Litbang Pertanian. 29(3): 96-99.

Utami KB, Radiati LE, Surjowardojo P. 2014. Kajian kualitas susu sapi perah PFH
(studi kasus pada anggota Koperasi Agro Niaga di Kecamatan Jabung Kabupaten
Malang). Jurnal Ilmu Peternakan. 24(2): 58-66.

Widyawati R, Musa ORPA, Pratama MDW, Roeswandono. 2020. Perbandingan kadar


lemak dan berat jenis susu sapi perah Friesian Holstein (FH) Di Bendul Merisi,
Surabaya (dataran rendah) dan Nongkojajar, Pasuruan (dataran tinggi). Jurnal Vitek
Bidang Kedokteran Hewan. 10(1): 15-19.

Anda mungkin juga menyukai