Iim Suhaemi - Policy Brief
Iim Suhaemi - Policy Brief
Oleh :
IIM SUHAEMI
-251222002-
Ringkasan Eksklusif
|
Pendahuluan
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu 10 penyebab kematian tertinggi di seluruh
dunia, secara global diperkirakan 10,6 juta orang sakit TB, 1,4 juta kematian akibat TB.
Estimasi insiden TB Indonesia pada tahun 2021 sebesar 969.000 atau 354 per 100.000
penduduk, TB-HIV sebesar 22.000 kasus per tahun atau 8,1 per 100.000 penduduk.
Kematian karena TB diperkirakan sebesar 144.000 atau 52 per 100.000 penduduk dan
kematian TB-HIV sebesar 6500 atau 2,4 per 100.000 penduduk. Insiden TB pada tahun
2021 mengalami peningkatan 19% dan angka kematian mengalami peningkatan 55%
yang artinya kasus TB di Indonesia masih menjadi hal yang sangat penting untuk
diperhatikan,
Menurut Global Tuberculosis Report yang dirilis oleh WHO mengatakan bahwa
penurunan kasus TB terjadi pada tahun 2021 salah satu negara yang menyumbang
penurunan kasus adalah Indonesia, hal ini berarti ada potensi Indonesia dapat
melakukan eliminasi TB dengan segera, didukung oleh adanya Strategi Nasional
Penanggulangan Tuberkulisis 2020-2024 dimana ada enam strategi yang diterapkan
dalam penanggulangan TB salah satunya adalah penguatan komitment dari pemerindah
pusat dan daerah serta peningkatan peran serta komunitas, mitra dan multisektor
lainnya dalam mendukung percepatan TB tahun 2030.
Pada laporan tahunan program penanggulangan TBC tahun 2021 menyebutkan
bahwa masalah yang terjadi atau hambatan dalam percepatan eliminasi TB adalah
kurangnya penemuan kasus yang terlaporkan dan rendahnya keberhasilan pengobatan
yang menjadi indikastornya adalah treatment coverage dan treatment success rate
dimana pada laporan tersebut treatment coverage sebesar 45,7% dari target 75% dan
treatment success rate sebesar 85,9% dari target 90%. Berdasarkan kedua indikator
tersebut salah satu penyebabnya adalah kegagalan pengobatan, kasus mangkir (loss to
follow up) dan pasien yang tidak di evaluasi dimana data pasien yang mengalami
kegagalan pengobatan adalah sebesar 0,3% , loss to follow up sebesar 6,9% dan pasien
yang tidak dievaluasi sebanyak 3%.
Banyaknya pasien yang mangkir disebabkan oleh beberapa faktor seperti efek
samping obat yang tidak nyaman, lamanya waktu pengobatan yang membuat jenuh
serta faktor lainnya. Beberapa faktor tersebut dapat ditanggulangi dengan adanya
pengawas minum obat (PMO). PMO merupakan kegiatan mengawasi, mengingatkan
dan membantu pasien tuberkulosis dalam proses pengobatan karena pasien TB selain
butuh pengobatan juga butuh dukungan psikologis baik dari tenaga kesehatan,
lingkungan dan juga keluarga.
Desa dan/atau kelurahan dalam program meningkatkan derajat kesehatan memiliki
peran sangat penting, salah satunya peran dalam penanggulan TB untuk mempercepat
eliminasi TB tahun 2030. Berdasarkan Perpres No 67 tahun 2021 tentang
Penanggulangan TB dimana meningkatkan keterlibatan pemangku kepentingan dan
advokasi pemerintah daerah untuk dapat menyusun strategi percepatan eliminasi TB.
Eliminasi TB secara buttom up melalui terciptanya desa siaga TB dan kabupaten/kota
bebas TB tahun 2030 dengan meningkatkan upaya pemberdayaan masyarakat untuk
mencegah dan mengendalikan TB dengan melakukan kegiatan penyuluhan, penemuan,
penjangkauan kasus TB, pendampingan minum obat, advokasi, pemberian umpan balik
pelayanan TB yang didukung oleh masyarakat / organisasi masyarakat.
Selain itu juga, desa dalam mendukung upaya ini diberikan dana desa khusus
alokasi untuk eliminasi TB yang anggarannya dapat diajukan kepada kabupaten/kota.
Selama ini permasalahan yang ada adalah pendanaan, desa enggan terlibat dalam hal
ini karena merasa tidak memiliki dana, padahal sudah jelas tertulis dalam regulasi jika
desa dapat memanfaatkan dana desa untuk upaya percepatan eliminasi TB 2030.
Permasalahan dari sisi lain adalah kurangnya komitment dari dinas kesehatan
dalam memdampingi desa dan membina fasilitas kesehatan yang terlibat untuk bisa
berkerjasama dan terintegrasi dalam percepatan eliminasi TB. Puskesmas adalah
fasilitas kesehatan pertama yang dekat dengan masyarakat dan juga salah satu tempat
yang ditunjuk dalam penaggulangan kasus TB. Permasalahan yang sering terjadi karena
puskesmas memiliki beban kerja yang cukup banyak dan sehingga antara puskesmas,
jejaring dan jaringan puskesmas serta sektor lainnya bekerja amsing-masing dalam
penanggulangan TB sedangkan seharusnya hal tersebut dapat dilakukan bersama
sehingga lebih optimal.
I
Metode
Policy brief ini disusun berdasarkan hasil penelusuran artikel dan kebijakan terkait
penanggulanan dan percepatan eliminasi tuberkulosis. Selain dari penelusuran secara
teoritis juga berdasarkan pengalaman selama berada dilapangan menjadi tenaga
kesehatan di puskemas, dan melihat fenomena yang terjadi di masyarakat.
Hasil
Berdasarkan analisa konteks terkait kebijakan yang sudah ada, hal yang masih
menjadi kendala penanganan TB adalah belum adanya rencana aksi yang terstruktur
dan jelas dari semua daerah penanggulangan TB. Berdasarkan analisis input yang
menajdi kekuatan dari adanya Desa dan/atau kelurahan yang diberikan wewenang dan
juga dukungan dana untuk upaya percepatan TB seharusnya dapat dilakukan kebijakan-
kebijakan dan strategi penanggulangan TB di daerahnya.
Pihak lain yang sangat penting adalah dukungan dari lintas sektor lainnya serta
komitment antara dinas kesehatan, fasilitas kesehatan dan juga sektor Desa dan/atau
kelurahan untuk bekerjasama menyusun program dan melaksanakan program yang
terintegrasi dengan baik dalam penanggualangan TB dalam upaya percepatan eliminasi
TB tahun 2030.
Berdasarkan analsis proses yang sudah dilakukan oleh beberapa desa dan/atau
kelurahan yang berperan aktif dalam penanggulangan TB yang berkolaborasi dengan
puskesmas setempat dengan memanfaatkan pemberdayaan masyarakat, melakukan
upaya promotif dan preventif, mengalokasikan anggaran untuk penanggulangan TB
sesuai dengan kewenangannya. Kondisinya adalah dinas kesehetan maupun puskesmas
tidak memiliki kewenangan melakukan intervensi terhadap lintas sektor, sehingga
program yang dijalankan kurang optimal.
Beban kerja puskesmas yang sangat tinggi dengan SDM yang secukupnya
membuat puskesmas tidak dapat fokus pada semua permasalahan kesehatan, sehingga
percepatan eliminasi TB dibeberapa daerah masih kurang maksimal.
Pengobatan TB tingkat keberhasilan dan ketercapaian akses pengobatan masih
sangat kurang hal ini karena masih sedikit adanya PMO di setiap daerah, biasanya
puskesmas memilih keluarga menjadi PMO sedangkan puskesmas tidak bisa
memastikan kalau keluarga tersebut memiliki penegtahuan tentang pengobatan TB,
selama ini PMO hanya sebatas untuk mengingatkan minum obat agar tidka lupa dan
terlewat, tapi melupakan peran penting PMO ini sendiri adalah memberikan dukungan
penuh dan mencegah juga terjadinya ketertularan TB terhadap lingkungan.
Masalah lain adalah PMO biasanya diawasi oleh penanggungjawab program TB
yang baisanya adalah perawat bukan oleh apoteker, padahal pengobatan atau yang
berhubungan dengan obat Tb seharusnya dalam pengawasan apoteker juga, untuk
mencegah terjadinya kesalahan pengobatan sehingga mengakibatkan adanya efek
bahaya dan resistensi obat.