Leading Sector
Dinas Kesehatan
Dalam memposisikan diri sebagai leading sector guna penanggulangan DBD Dinkes
harus bekerjasama dan berkoordinasi dengan empat sektor utama. Keempat sektor
utama tersebut antara lain Sector Pembangunan Berwawasan Kesehatan, Sektor
Pemantauan dan Sosialisasi, Sektor Pendanaan, dan Sektor Promosi Kesehatan
Keluarga. Sebagai leading sektor Dinkes harus mampu menjadi penggerak dan
penentu arah kebijakan yang berwawasan kesehatan.
Sektor pembangunan berwawasan kesehatan terdiri dari Dinas PU, Dinas Tata Kota
dan Dinas Kebersihan. Sektor Pemantauan dan Sosialisasi terdiri dari Pers, LSM
serta PMD. Untuk Sektor Pendanaan Dinkes dapat bekerjasama dengan Swasta dan
DPRD . Dan untuk Sektor Promosi Kesehatan Keluarga BKKBN dan PKK dapat
dijadikan rekan kerja oleh Dinkes.
Program yang dapat dilakukan Dinas Tata Kota adalah menganalisis dan mencari
tempat perindukan vektor penyakit. Dalam hal ini dinas kesehatan memberikan data
daerah mana yang merupakan daerah endemik DBD sehingga hal ini menjadi
landasan bagi Dinas Tata Kota untuk memperbaiki penataan pemukiman warga.
Selain itu pula Dinas Tata Kota melakukan surveilance daerah pemukiman warga
yang berpotensial menjadi tempat perindukan vektor penyakit sehingga dapat
terciptanya pemukiman warga yang bebas dari perindukan vektor penyakit.
Dinas Kebersihan
PERS
DBD adalah penyakit yang belum dimengerti seluruh lapisan masyarakat mengenai
penyebab dan penangulangannya. Pers terkadang memberikan ketakutan masyarakat
yang berlebihan akan penyakit DBD , karena pemberitaan yang tak proporsianal.
Pers selain memberikan pemberitaan mengenai fakta yang ada harusnya juga
memberikan informasi-informasi kepada masyarakat. Informasi yang sangat
dibutuhkan oleh masyarakat adalah bagaimana menanggulangi penyakit DBD ini.
Bentuk aplikasi dari program penanggulangan penyakit DBD yang berbasis keluarga
sangat berkaitan erat dengan fungsi BKKBN dan PKK. Dalam rangka memberikan
edukasi kepada keluarga diperlukannya sebuah lembaga yang langsung berkenaan
dengan keluarga sehingga dalam pelaksanaannya dapat berjalan secara optimal
DPRD
Peranan DPRD kota dalam penanggulangan DBD ini sangat penting. Selain
berfungsi sebagai pengawas pemerintah (legislatif), DPRD berperan dalam
mempertimbangkan juga mengesahkan kebijakan yang pro kesehatan. Saat ini
anggaran untuk kesehatan di kota Bandar Lampung untuk penanggulangan DBD
masih minim. Untuk itu DPRD melalui komisi D, bersama pemerintah segera
manjalankan amanat Undang-Undang Dasar 1945 dimana anggaran untuk kesehatan
sebesar 20%.
Swasta
Perusahaan baik BUMN dan Swasta, memiliki pos anggaran yang bertujuan untuk
pengabdian masyarakat. Jumlah dana tersebut tidak sedikit jumlahnya, dan bila
Dinkes mampu mengkoordinasikan serta menampung dana-dana tersebut,
manfaatnya akan sangat dirasakan oleh masyarakat.
Dalam perspektif penanggulangan DBD pihak Swasta juga dapat diajak untuk
bekerja sama hingga memudahkan kerja Dinkes. Dalam penanggulangan DBD bila
hanya mengandalkan dana dari pemerintah, tentu sulit tercapai. Harapannya dengan
bantuan dana atau produk-produk kesehatan dari pihak swasta penanggulangan DBD
dapat segera terwujud.
Sistem rujukan pengobatan dan perawatan pasien DBD di Kota Bandar Lampung
sudah digalakkan sejak tahun 1960 tetapi pada realisasinya hal tersebut belum
berjalan optimal. Puskesmas yang bertindak sebagai lini pertama pelayanan
kesehatan masyarakat dinilai kurang produktif dalam menjalankan sistem rujukan
tersebut, hal ini terjadi karena minimnya sarana dan prasarana Puskesmas dalam
menjalankan program. Saat ini Puskesmas yang dapat dijadikan tempat perawatan
pasien DBD kota Bandar Lampung yakni Puskesmas Rawat Inap berjumlah 2 unit
yang terletak di Kedaton, dan Panjang. Akan tetapi pendayagunaan Puskesmas
Rawat Inap tersebut masih kurang optimal. Selain itu pula kurangnya sumber daya
manusia tenaga profesional di Puskesmas Rawat Inap masih menjadi kendala,
sehingga dalam penatalaksanaan perawatan pasien DBD kurang dapat terlaksana
dengan baik.
Puskesmas Induk yang berada di setiap kecamatan merupakan garda terdepan dalam
penatalaksanaan awal pasien DBD sebelum dilakukannya rujukan ke Puskesmas
Rawat Inap dan Rumah Sakit. Selain itu pula Puskesmas Induk bertugas sebagai
perawatan pasien DBD yang sudah berprognosa baik. Sehingga pasien DBD yang
sudah melewati perawatan di rumah sakit dilanjutkan perawatan di Puskesmas Induk
dalam hal pengontrolan proses penyembuhan penyakit. Tetapi hal ini belum
terlaksana dengan baik karena yang terjadi saat ini pasien DBD enggan pulang
kerumah apabila penyakit nya belum sembuh secara sempurna, padahal DBD derajat
satu dapat dilakukan penatalaksanaannya di rumah dalam pengawasan Puskesmas
setempat.
Rumah sakit idealnya merupakan tempat perawatan intensif bagi pasien DBD yang
ada pada stadium 3 dan 4. Akan tetapi pada realisasinya masyarakat melaporkan
penyakit DBD langsung ke rumah sakit dalam stadium 1 dan 2 yang masih dapat
ditanggulangi di Puskesmas Induk dan raweat inap. Hal tersebut mengakibatkan
banyaknya pasien DBD yang dirawat di Rumah Sakit sehingga pelayanan Rumah
Sakit terhadap pasien DBD kurang prima. Contohnya banyak pasien DBD yang
dirawat di lorong-lorong jalan Rumah Sakit akibat kurangnya tempat tidur pasien.
Solusi terbaik dalam menanggulangi banyaknya pasien DBD yang di rawat di
Rumah Sakit yakni
1. Menambah sarana dan prasarana Puskesmas Rawat Inap yang dapat digunakan
dalam rangka penatalaksanaan perawatan pasien DBD
2. Menambah sarana dan prasarana penunjang diagnosis laboratorium penyakit DBD
di Puskesmas Induk.
3.Menambah tenaga profesional seperti dokter spesialis di Puskesmas Rawat Inap
4.Edukasi kepada masyarakat terkait masalah penanggulangan DBD dengan sistem
rujukan yang terpadu, sehingga masyarakat tahu penanggulangannya apabila gejala
penyakit sudah muncul.
Selain melalui kerjasama lintas sektor dan sistem rujukan yang optimal, salah satu
kunci kesuksesan penanggulangan DBD adalah bagaimana mengubah perilaku
masyarakat untuk hidup bersih dan sehat. Dinkes sejak tahun 2003 telah
mencanangkan program yang bernama desa sehat, namun hingga kini desa sehat
tersebut masih jauh realisasinya. Menurut kami dalam menuju desa yang sehat harus
dimulai dengan pembinaan terhadap keluarga. Dalam pembinaan terhadap keluarga,
posyandu dapat dijadikan ujung tombak pembinaan.
Saat ini vaksin ataupun obat yang spesifik dapat membunuh virus DBD belum
ditemukan. Solusi terbaik dalam memberantas DBD adalah pengendalian vektornya.
Pengendalian vektor dapat dilakukan dengan cara :
1. Pengendalian lingkungan
Langkahnya terdiri dari pengendalian terhadap nyamuk dewasa dan pradewasa. Pada
prinsipnya pengelolaan lingkungan ini adalah mengusahakan agar kondisi
lingkungan tidak/kurang disenangi oleh nyamuk sehingga umur nyamuk berkurang
dan tidak mempunyai kesempatan untuk menularkan penyakit atau mengusahakan
agar untuk nyamuk dan manusia berkurang. Usaha ini dapat dilakukan dengan cara
menguras penampungan air seperti bak mandi, wc, tempayan secara teratur minimal
sekali seminggu. Pengelolaan lingkungan tempat perindukan ini adalah usaha untuk
menghalangi nyamuk meletakkan telurnya atau menghalangi proses
perkembangbiakan nyamuk.
Hal- hal tersebut diatas oleh para kader posyandu dapat digunakan sebagai materi
pembinaan, guna penanggulangan DBD ini.
Dalam rangka revitalisasi dan optimalisasi Posyandu, dapat juga digalangkan suatu
kerja sama dengan pihak lain seperti, Mahasiswa Kesehatan,LSM Kesehatan, PKK
dll. Pihak-pihak yang juga mengerti akan pentingnya hidup bersih dan sehat dapat
diajak untuk bersama-sama melakukan penyuluhan keluarga.
Beberapa inovasi dapat dilakukan oleh posyandu untuk mendukung perilaku hidup
bersih dan sehat keluarga seperti, menggalakkan “gerakan bersih sarang nyamuk,
juga gerakan bersih lingkungan”. Tentunya hal ini dikoordinasikan dengan Ketua
RT dan RW setempat agar bisa diberikan sangsi pada keluarga yang tidak mengikuti
kegiatan ini.
Dalam Pembinaan Keluarga, kader posyandu dijadikan sebagai ujung tombak untuk
memberikan penyuluhan pada tiap keluarga mengenai upaya pencegahan penyakit
DBD. Oleh karenanya tiap kader harus memiliki pengetahuan yang cukup mengenai,
upaya promotif, preventif dan kesehatan lingkungan. Dalam hal ini pihak Puskesmas
harus terus meningkatkan pelatihan dan pembinaan kepada para kader guna hasil
yang efektif dan efisien.
Lalu untuk mengantisipasi kekurangan kader untuk membina keluarga, dapat segera
direncanakan upaya pembentukan dan penjaringan kader-kader baru yang juga
berasal dari desa tersebut. Langkah-langkah yang dapat diambil untuk merekrut
kader-kader dapat dilakukan sebagai berikut :
Tahap Perencanaan
1. Penetapan kriteria desa dan kriteria kader posyandu dilakukan oleh Puskesmas
setempat.
2. Menyusun instrumen kajian kebutuhan pelatihan di desa prioritas, kemudian
menyusun kurikulum pelatihan
3. Penetapan kriteria pembina Posyandu tingkat Puskesmas dan petugas kecamatan,
4. Merencanakan pelaksanaan pelatihan,
5. Setiap desa berdasarkan hasil rapat Musyawarah Masyarakat Desa merencanakan
rencana kegiatan selama satu tahun untuk kegiatan Posyandu
6. Merencanakan peningkatan kompetensi kader Posyandu
Tahap Pelaksanaan
1. Puskesmas menyusun instrumen kajian kebutuhan pelatihan,
2. Pelatihan dilakukan selama beberapa hari dengan proporsi 30% teori serta 70%
praktik lapangan
V. PENUTUP
A.Simpulan
B. Saran
1. Bagi penulis selanjutnya, makalah ini dapat dijadikan sebagai rujukan untuk karya
tulis dengan tema penanggulangan DBD.
2. Bagi para pembaca, dapat memulai untuk berperilaku hidup bersih dan sehat
sebagai metode yang tepat untuk penanggulangan DBD.
3. Bagi pemerintah khususnya Dinas Kesehatan Kota dapat menjalankan kerja sama
lintas sektoral, pengoptimalisasian Sistem Rujukan dan Pembinaan Keluarga sebagai
solusi penanggulangan DBD.
DAFTAR PUSTAKA
Ke 2
1. DBD Masih menjadi masalah kesehatan dan saat ini endemis pd beberapa
kabupaten/kota.
2. Hampir setiap tahun terjadi KLB (Kejadian Luar Biasa??) atau peningkatan
kasus dan kematian yang tinggi.akibat DBD
3. Pada saat ini jumlah penderita DBD makin meningkat kecendrungan kasus
terjadi pada komplek perumahan. Dan jumlah kasus meningkat sesudah
musin hujan.
Tujuan Rakor ini diadakan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap masyarakat dengan perilaku dan lingkungan
yang sehat sehingga terhindar dari DBD.
Kelompok Kerja Operasional Penanggulangan DBD mempunyai tugas sebagai
berikut :
Tatanan Keluarga
Tatanan Istansi Pendidikan
Tatanan tempat-tempat umum
Tatanan tempat kerja
Tatanan Istitusi Kesehatan
Penyuluhan Intensif
Kerja Bhakti 3 M
Pemantauan / Pemeriksaan Jentik.
V. MASALAH YANG DIHADAPI
Sesuai dengan hasil pemantauan dilapangan baik melalui penilaian-
penilaian di Kabupaten / Kota, mka ditemui permasalahan antara lain :
1. Belum seluruh Kabupaten / Kota membentuk kelompok kerja operasional (
pokjanal ) DBD apalagi ditingkat kecamatan dan Desa/Kel/Nagari hal ini
di sebabkan karena pada umumnya Kab/Kota berpendapat bahwa
Penanggulangan penyakit DBD ini adalah tugas dari Dinas Kesehatan.
2. Kesadaran/PSM blm sepenuhnya mendukung kegiatan PSN–
DBD à kurangnya perhatian sebagian “Masyarakat” terhadap
kebersihan lingkungan khususnya dlm PSN-DBD à penggerakan PSM
belum optimal.
3. Kurangnya koordinasi dengan Dinas / Instansi terkait tentang
penanggulangan Penyakit DBD. Dan Belum optimalnya kegiatan
Pokjanal DBD tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota dalam
menggerakkan PSN-DBD.
4. Sering Kabupaten / Kota tidak melaporkan kasus DBD yang terjadi di
Daerah yang terjadi di Daerahnya, sehingga tidak ada yang masuk ke
Provinsi.
STRATEGI PENANGGULANGAN DBD
Keberadaaan Pokjanal DBD dan Kegiatan PSN - DBD merupakan sala satu
Indikator penting dalam penilaian HKG-PKK,KB-Kesehatan
Tugas dan Fungsi Pokjanal DBD
PEMDA / B P M
Dinas Kesehatan
TP-PKK
Departemen Agama
BKKBN
C. Mencegah
Pencegahan yang dapat dilakukan masyarakat: