Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH SEJARAH INDONESIA

X IPA 5
SMAN 18 MAKASSAR

Kelompok 1;
1. Faizah Nur Aisyah Syamsuar (22146)
2. A. Fasha Maulana Yusuf (22156)
3. Adrian Fakhresy (22157)
4. Alfira Mutmainna (22142)
5. Fina Adelia (22326)

1
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim,dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,


marilah kita panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat Allah swt. yang telah menurunkan
nikmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dalam rangka
memenuhi persyaratan penilaian mata pelajaran Sejarah Indonesia dengan judul makalah yaitu
“Kerajaan-kerajaan Islam di Pulau Sumatera”.

Makalah ini kami rampungkan secara mandiri dengan keterlibatan dari beberapa pihak yang
telah membantu secara langsung maupun tidak langsung selama proses penulisan hingga
pemaparan materi. Maka dari itu, kami ucapkan sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang
memiliki campur tangan dalam penyelesaian tugas ini. Disamping itu, kami haturkan pula
permintaan maaf sedalam mungkin bila terdapat kesalahan penulisan maupun pemaparan yang
masih jauh dari sempurna, segala macam kesalahan dan kritik dari anda sekalian, akan kami
terima dengan lapang dada untuk dijadikan evaluasi juga rujukan untuk kedepannya.

Demikianlah kalimat pengantar kami, diharapkan agar semoga setiap barisan kata hingga
paragraf yang tercantum pada makalah ini, dapat memberikan ilmu juga manfaat kepada anda
sekalian.

Makassar, Jumat, 19 Januari 2023

Tertanda, penyusun.

2
DAFTAR ISI

Halaman Judul - 1
Kata Pengantar - 2
Daftar Isi - 3
Bab I - 4
A. Latar belakang – 4&5
B. Rumusan masalah - 5
C. Tujuan - 5
Bab II - 6
A. Sejarah Islamisasi di Pulau Sumatra – 6-8
1. Masuknya Islam di Tanah Sumatra – 6&7
2. Penyebaran dan Perkembangan Islam di Sumatra - 8
B. Tokoh-Tokoh Penyebar Dakwah Islam di Tanah Sumatera – 8-12
C. Faktor-faktor Yang Memengaruhi Pesatnya Perkembangan Islam di Sumatera – 12&13
D. Kerajaan-kerajaan Islam Di Sumatra -13-39
1. Kerajaan Jeumpa(770-880)
2. Kesultanan Peureulak(840-1292)
3. Kesultanan Samudera Pasai(1267-1521)
4. Kesultanan Lamuri(800-1503)
5. Kerajaan Linge(1025-Kini)
6. Kerajaan Siguntur(1250-Kini)
7. Kesultanan Indrapura(1347-1792)
8. Kerajaan Pagaruyung(1347-1825)
9. Kerajaan Pedir(1400-1524)
10. Kerajaan Daya(1480-Kini)
11. Kesultanan Aceh(1496-1903)
12. Kerajaan Sungai Pagu(1500-Kini)
13. Kerajaan Bungo Setangkai
14. Kesultanan Jambi(1615-Kini)
15. Kesultanan Asahan(1630-Kini)
16. Kesultanan Serdang(1723-Kini)
17. Kesultanan Deli(1632-Kini)
18. Kesultanan Langkat(1568-Kini)

3
19. Kesultanan Siak (1723-Kini)
20. Kesultanan Palembang(1455-Kini)
21. Kesultanan Riau Lingga(1824-1911)
22. Kesultanan Kota Pinang(1630-1946)
23. Kesultanan Pelalawan(1725-1946)
24. Kerajaan Indragiri(1347-1945)
25. Kerajaan Aru(1200-1613)
26. Kesultanan Barus(1300-1858)
27. Kerajaan Padang(1630-1946)
28. Kerajaan Tamiang(1330-1558)
29. Kerajaan Tulang Bawang
30. Kerajaan Padang Laweh, Dharmasraya (1213-1901)
31. Kerajaan Sekala Brak(1289-1909)
32. Kerajaan Sidabutar -
E. Bukti dan Peninggalan Adanya Kerajaan Islam yang Pernah Berkuasa di Sumatra - 39
Bab III -40
A. Kesimpulan -40
B. Ucapan Terima Kasih -41

BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Menurut berbagai sumber sejarah, agama Islam masuk pertama kalinya ke nusantara sekitar abad
ke 6 Masehi. Saat kerajaan-kerajaan Islam masuk ke tanah air pada abad ke 13, berbagai
kerajaan Hindu Budha juga telah mengakhiri masa kejayaannya.
Kerajaan Islam di Indonesia yang berkembang saat itu turut menjadi bagian terbentuknya
berbagai kebudayaan di Indonesia. Kemudian, salah satu faktor yang menjadikan kerajaan-
kerajaan Islam makin berjaya beberapa abad yang lalu ialah karena dipengaruhi oleh adanya
jalur perdagangan yang berasal dari Timur Tengah, India, dan negara lainnya.
Semakin berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia sekitar abad ke 13 juga didukung
oleh faktor lalu lintas perdagangan laut nusantara saat itu. Banyak pedagang-pedagang Islam dari
berbagai penjuru dunia seperti dari Arab, Persia, India hingga Tiongkok masuk ke nusantara.
Para pedagang-pedagang Islam ini pun akhirnya berbaur dengan masyarakat Indonesia. Semakin
tersebarnya agama Islam di tanah air melalui perdagangan ini pun turut membawa banyak
perubahan dari sisi budaya hingga sisi pemerintahan nusantara saat itu.

4
Munculnya berbagai kerajaan-kerajaan bercorak Islam yang tersebar di nusantara menjadi
pertanda awal terjadinya perubahan sistem pemerintahan dan budaya di Indonesia. Keterlibatan
kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia juga turut berperan dalam tersebarnya agama Islam hingga
ke seluruh penjuru tanah air.

ۖ‫قُِل الَّلُهَّم َم اِلَك اْلُم ْلِك ُتْؤ ِتي اْلُم ْلَك َم ْن َتَش اُء َو َت ْن ِز ُع اْلُم ْلَك ِم َّمْن َتَش اُء َو ُتِع ُّز َم ْن َتَش اُء َو ُتِذُّل َم ْن َتَش اُء‬
‫ِبَيِدَك اْلَخ ْيُرۖ ِإَّن َك َع َلٰى ُك ِّل َش ْي ٍء َقِد يٌر‬

Artinya: “Katakanlah (Muhammad), "Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan


kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa
pun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau
hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh,
Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu”. [QS. Al-Imran : 26]

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah islamisasi di Pulau Sumatera?
2. Siapa saja tokoh yang berperan dalam penyebaran islam di Sumatera?
3. Mengapa syariat Islam dengan mudah diterima oleh rakyat Sumatera?
4. Apa saja Kerajaan-kerajaan Islam di Pulau Sumatera?
5. Apa saja bukti peninggalan adanya kerajaan Islam di Sumatera?

C. Tujuan Pembahasan
1. Sejarah islamisasi di Pulau Sumatera
2. Tokoh-tokoh pelaku penyebar dakwah Islam di Sumatera
3. Menjelaskan factor alasan mudahnya Islam diterima rakyat Sumatera
4. Macam-macam Kerajaan Islam di Pulau Sumatera
5. Menunjukkan Bukti dan peninggalan adanya kerajaan Islam yang pernah berkuasa di
Sumatera

5
BAB II
Pembahasan Materi

A. Sejarah Islamisasi di Pulau Sumatera


Indonesia merupakan Negara dengan penganut agama Islam terbesar di dunia, karena hampir 87
persen penduduk Indonesia adalah pemeluk agama Islam. Hal ini dikarenakan penyebaran agama
Islam di nusantara yang cukup aktif adalah dari pulau Sumatera hingga ke Sulawesi dan Maluku.
Hal tersebut terjadi sejak ratusan tahun yang lalu dan puncak penyebaran agama Islam terjadi
pada masa walisongo.
Sebagai Negara muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki sejarah panjang tentang bagaimana
agama Islam masuk ke Indonesia. Mulai dari awal mula sejarah masuknya Islam ke Indonesia
hingga menjadi agama dengan pemeluk terbesar di nusantara tidak memakan waktu yang singkat
melainkan sudah terjadi sejak zaman kerajaan.
Ada banyak teori yang menyebutkan bagaimana awal mula sejarah masuknya agama Islam ke
Indonesia dan akhirnya menjadi agama yang banyak dianut oleh sebagian besar masyarakat di
nusantara pada kala itu. Teori-teori tersebut juga memiliki bukti sehingga dipercaya sejarah
masuknya agama Islam ke Indonesia sesuai dengan teori-teori yang ada.
Ada banyak teori yang menerangkan bagaimana sejarah masuknya agama Islam masuk ke
Indonesia, dari semua teori tersebut kebanyakan menggambarkan Islam masuk pada masa awal-
awal Hijriah atau sekitar tahun 700 Masehi. Pada masa kekhilafan Islam di tanah Arab,
kekhilafahan tersebut mengutus utusannya untuk datang ke nusantara dan menyebarkan agama
Islam di nusantara.
Hal ini dibuktikan dengan adanya Kampung Arab atau pemukiman Arab di pesisir barat pantai
Sumatera yang banyak dijumpai oleh para pedagang pada masa itu. Dengan adanya pemukiman
Arab inilah yang diyakini menjadi salah satu teori awal mula masuknya Islam di Indonesia.
Namun ada juga beberapa teori lain misalnya teori dari India, teori Arab, teori Persia dan teori
Cina. Masuknya agama Islam di Indonesia memiliki banyak teori, karena tidak ada yang tahu
pasti, kapan agama Islam mulai masuk ke nusantara.

1. Masuknya Islam di Tanah Sumatera


Islam masuk ke Sumatera pada abad ke-7 Maschi, yang pada waktu itu di Sumatera telah
berdiri kerajaan Budha di Sriwijaya (683-1030 M) yang menjadikan Islam masuk ke daerah
itu sedikit mengalami kesulitan, dan pada waktu itu kerajaan Sriwijaya mendapat serbuan
dari India, maka kesempatan itu digunakan untuk menyebarkan Islam bagi daerah daerah.
Islam di Sumatera khususnya Aceh dipercaya sebagai cikal-bakal penyebaran Islam di
Nusantara. Penyebaran Islam dilakukan oleh para saudagar Arab yang hilir mudik

6
berdagang dari Mesir, Persia, Gujarat ke Cina melalui Barus-Fansur yang dipastikan
terletak di ujung barat pulau Sumaterà. Adalah Barus, yang disinyalir sebagai
perkampungan Islam tertua di Nusantara. Disini ditemukan Sebuah makam kuno di
ompleks pemakaman Mahligai, Barus, di batu nisannya tertulis bahwa Syaikh
Rukunuddin wafat tahun 672 Maschi dan terdapat pula makam Syaikh Ushuluddin yang
panjangnya kira-kira 7 meter. Ini memperkuat dugaan bahwa komunitas Muslim di Barus
sudah ada pada era itu.

Para pembawa Islam datang langsung dari Semenanjung Arabia yang merupakan utusan
resmi Khalifah atau para pedagang Islam yang memang telah memiliki hubungan
perdagangan dengan Aceh, sebagai daerah persinggahan dalam perjalanan menuju Cina
Hubungan yang sudah terbina sejak lama, yang melahirkan asimiliasi keturunan Arab-
Aceh di sekitar pesisir ujung pulau Sumatera, telah memudahkan penyiaran Islam
Islam telah berkembang di Aceh scjak abad VII. Keberadaannya dibawa oleh para saudagar
Islam Arab dan bukan merupakan misi khusus penyebaran agama.

Selain dari perdagangan masuknya islam ke daerah Sumatera juga dipengaruhi oleh
kerajaan kerajaan yang ada di Sumatera dan dakwah dakwah dari wali-wali atau ulama
yang ada pada saat itu. Dari Kesultanan Aceh inilah kemudian pengaruh Islam menyebar
keseluruh Nusantara. Bukti-bukti penyebaran kebudayaan Islam masih dapat kita jumpai
hingga kini, diantaranya adalah masjid dan makam-makam

2. Perkembangan dan Penyebaran Islam di Sumatera


Masuknya kerajaan-kerajaan Islam di tanah diperkirakan telah berlangsung sekitar abad ke 13
hingga abad ke 16. Maraknya perdagangan antara pedagang muslim dari berbagai daerah seperti
Arab, Maroko, Persia, Tiongkok dan lain-lain menjadikan masyarakat Indonesia saat itu mudah
berbaur dengan para pedagang muslim.
Kegiatan perdagangan ini makin membuat agama Islam tersebar dengan pesat hingga ke
berbagai daerah seperti Jawa, Maluku, Sulawesi hingga Sumatra. Kehadiran agama Islam di
nusantara juga mulai menyentuh berbagai aspek kehidupan masyarakat kala itu. Aturan-aturan
hidup yang berlandaskan nilai-nilai Islam mulai diimplementasikan dalam berbagai sendi
kehidupan masyarakat.
Proses masuknya Islam di Nusantara sebenarnya tidak tersiar secara bersamaan. Tiap daerah
memiliki periode yang berbeda-beda saat Islam masuk di wilayahnya. Menurut para sejarawan
Islam, Sumatera merupakan tempat yang menjadi awal mula masuknya Islam di nusantara.
Kemudian, masuknya agama Islam ke tanah air pada sekitar abad ke 6 tidak lepas dari pengaruh
Syekh Kadir Jailani yang menyiarkan Islam saat itu. Pada periode pertama menyebarkan syiar
agama Islam, beliau telah membawa banyak perubahan dan perkembangan di masyarakat
nusantara.

7
Aspek budaya, sosial pemerintahan dan politik juga tersentuh dengan nilai-nilai Islam yang
diajarkan. Secara umum, perubahan besar itu terlihat jelas dari berdirinya berbagai kerajaan-
kerajaan yang bercorak Islam di nusantara termasuk di wilayah Sumatera.

B. Tokoh-tokoh Penyebar Dakwah Islam di Tanah Sumatera


Proses Penyebaran Islam di Indonesia tidak terlepas dari peranan para tokoh Islam di Sumatera.
Mereka melakukan berbagai upaya untuk menjadikan agama Islam sebagai anutan bangsa
Indonesia.
Berikut adalah tokoh-tokoh dari Sumatera yang sukses menyebarkan Agama Islam dirangkum
dari berbagai sumber:
1. Hamzah Fansuri
Hamzah al-Fansuri atau dikenal juga sebagai Hamzah Fansuri adalah seorang ulama sufi dan
sastrawan yang hidup pada abad ke-16.Banyak speskulasi mengenai asal dari Hamzah al-
Fansuri, ada yang menagatakan Ia 'berasal dari Barus' (sekarang berada di provinsi Sumatra
Utara) ada juga peneliti yang berpendapat ia lahir di Ayutthaya, ibu kota lama kerajaan
Siam.Nama 'al-Fansuri' sendiri berasal dari arabisasi kata Pancur, sebuah kota kecil di pesisir
Barat Tapanuli Tengah dekat kota bersejarah Barus.[butuh rujukan] Dalam zaman Kerajaan
Aceh Darussalam, kampung Fansur itu terkenal sebagai pusat pendidikan Islam di bagian Aceh
Selatan.
Hamzah al-Fansuri lama berdiam di Aceh. Ia terkenal sebagai penganut aliran wahdatul wujud.
Dalam sastra Melayu ia dikenal sebagai pencipta genre syair. A. Teeuw menyebutnya sebagai
Sang Pemula Puisi Indonesia.
Penyair dan ahli tasawuf Aceh abad ke 17 tersebut, mendapat anugerah Bintang Budaya Parama
Dharma, yang diserahkan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dalam acara
penganugerahan Bintang Maha Putera, dan Tanda Jasa di Istana Negara pada hari selasa, tanggal
12 Agustus 2013.
Di antara hasil karyanya yang terkenal adalah :
1) Risalah Tasawuf berbahasa Melayu
2) Puisi-puisi Filosofis dan Mistis bercorak Islam
3) Syair puisi empat baris dengan skema sajak a-a-a-a yang merupakan perpaduan antara ruba’i
Persia dengan Pantun Melayu
4) Asrarul Arifin (ilmu tafsir: penggunaan metode takwil).

2. Syeikh Syamsuddin As-Sumatrani


Syeikh Syamsuddin Ibn Abdullah As-Sumatrani adalah seorang ulama besar Aceh yang hidup
pada Abad ke-16 dan ke-17 Masehi. Beliau merupakan murid dari seorang Ulama yang dikenal

8
dengan nama Hamzah al-Fansuri. Beliau menguasai bahasa Melayu-Jawi, Parsi dan Arab. Antara
cabang ilmu yang dikuasainya ialah ilmu tasawuf, fiqh, sejarah, mantiq, tauhid, dan lain-lain.
Meskipun secara pasti tidak diketahui kelahiran beliau namun dari namanya menunjukkan bahwa
beliau merupakan Ulama yang berasal dari Pasai (Aceh).Beliau meninggal dunia dalam
pertempuran dengan portugis di Melaka pada pada tahun 1040 H/ 1630 M dan dikebumikan di
Kampung Ketek, Melaka.Dalam kitab Bustanul Salatin karya Syeikh Nurruddin ar-Raniri juga
diperoleh keterangan bahwa Syamsuddin wafat pada hari ke-12 bulan Rajab tahun 1039
H/1630M.
Syeikh Syamsuddin As-Sumatrani adalah seorang mufti dan penasihat Sultan Iskandar Muda,
seorang pembesar dan penghulu agama, seorang syeikh terkemuka yang berada di lingkungan
istana kerajaan Aceh Darussalam.
Dalam catatan orang Eropa yang berjumpa Syeikh Syamsuddin bin Abdullah As Sumatrani
seperti yang ditulis oleh Frederick de Houtman dalam bukunya Cort Verhael van’t Wedervaren
is Frederick de Houtman, Tot Atchein (1603) menyatakan, Syeikh Shamsuddin bi Abdullah As
Sumatrany sebagai penasihat agung Sultan Saidil Mukammil. Syeikh ini sempat mengajak dia
masuk Islam.
Pengaruh Syeikh Shamsuddin dalam kerajaan Aceh Darussalam dicatat juga oleh Sir James
Lacaster ketika berkunjung ke Aceh pada tahun 1602. Dalam bukunya The Voyages of Sir James
Lascaster,Lacaster menyebut Syeikh Shamsuddin sebagai “a man of great estimation with the
king and the peoples (seorang pria yang memiliki pengaruh besar terhadap raja dan rakyat). ”
James Lacaster bahkan ditanyakan oleh Syeikh Shamsuddin, “Sir, what reasons shall we show to
the king, from you whereby he may grants these things which you have demanded to be granted
by him (Alasan apa yang akan kami tunjukkan kepada raja, agar dia mengabulkan permintaan
Anda).”
Sampai akhir hayatnya beliau merupakan seorang Qadhi di Kesultanan Aceh, sebelum akhirnya
meninggal dunia dalam pertempuran melawan penjajah portugis di Melaka.
Karya-karya Syamsuddin al-Sumaterani di antaranya adalah
1) Jauhar al-Haqaid
2) Risalah al-Baiyyin al-Mulahaza al-Muwahiddin wa al-Muhiddin fi Dzikr Allah
3) Mir’ah al-Mukminin
4) Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri
5) Syah Syair Ikan Tongkol
6) Nur al-Daqa’iq
7) Thariq al-Saliqin
8) Mir’ah al-Iman atau Kitab Bahr al-Nur

9
9) Kitab al-Harakat
10) Fi Dzikr Dairah Qad Qausayn aw Adna
3. Nuruddin Ar-Raniri
Syekh Nuruddin Muhammad ibnu 'Ali ibnu Hasanji ibnu Muhammad Hamid ar-Raniri al-
Quraisyi atau populer dengan nama Syekh Nuruddin Al-Raniri adalah ulama penasehat
Kesultanan Aceh pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani (Iskandar II).
Ar-Raniri berperan penting saat berhasil memimpin ulama Aceh menghancurkan ajaran tasawuf
falsafinya Hamzah al-Fansuri yang dikhawatirkan dapat merusak akidah umat Islam awam
terutama yang baru memeluknya.[butuh rujukan] Tasawuf falsafi berasal dari ajaran Al-Hallaj,
Ibn 'Arabi, dan Suhrawardi, yang khas dengan doktrin Wihdatul Wujud (Menyatunya
Kewujudan) di mana sewaktu dalam keadaan sukr ('mabuk' dalam kecintaan kepada Allah
Ta'ala) dan fana' fillah ('hilang' bersama Allah), seseorang wali itu mungkin mengeluarkan kata-
kata yang lahiriahnya atau menyimpang dari syariat Islam.
Ar-Raniri dikatakan pulang kembali ke India setelah dia dikalahkan oleh dua orang murid
Hamzah Fansuri pada suatu perdebatan umum. Ada riwayat mengatakan dia meninggal di India.
Karya karya yang dihasilkan oleh Nuruddin al-Raniri kebanyakan berbicara soal Tasawuf, Fiqih,
Qalam, Perbandingan Agama, Hadits dan Sejarah. Diantara hasil karya beliau adalah :
1) Shiratul Mustaqiem.
2) Durratul Aqaid Bisyarahal Aqaid.
3) Tibyan fi Ma’rifatil Adyan.
4) Hidayatul Habib Fi Taghrib wat Tarhib.(kumpulan terjemahan Hadist dalam bahasa Melayu).
4. Abdur Rauf Singkel
Abdur Rauf Singkel dilahirkan di Singkel Aceh tahun 1024 H/1615 M, nama aslinya Abdur Rauf
al-Fansuri atau Abdur Rauf al-Singkili. Beliau adalah orang yang pertama kali mengembangkan
Tarekat Syattariyah di Indonesia. Pada tahun 1640 M Abdur Rauf Singkel berangkat ke tanah
Arab dan menetap di Mekah untuk menambah pengetahuan agama. Ia berguru kepada Ahmad
Qusasi dan Ibrahim al-Qur’ani.
Setelah mendapat pengetahuan dan ijazah dari Ibramim al-Qur’ani ia kembali ke Aceh tahun
1584 H/1661 M, ketika itu Aceh dikuasai oleh Sultanah Syafiatuddin Tajul Alam.
Di Aceh, Abdur Rauf Singkel giat dalam berdakwah dan mempunyai banyak murid, di antara
muridnya adalah Burhanuddin Ulakan Pariaman Sumatera Barat. Abdur Rauf Singkellah yang
menghapuskan ajaran Salik Buta. Ajaran Salik Buta yang dihapus adalah para Salik (Pengikut
Tarekat) yang tidak mau bertobat dibunuh.
Abdur Rauf Singkel memiliki lebih kurang 21 karya tulis yang terdiri dari kitab tafsir, hadis,
fikih dan tasawuf. Karyanya di bidang tafsir antara lain Turjuman al-Mustafid (Terjemah

10
Pemberi Faedah) merupakan kitab tafsir pertama di Indonesia yang berbahasa Melayu. Kitab
tafsir yang lain karyanya adalah Mir’at at-Tullab fi Tahsil Ma’rifah Ahkam asy-Syar’iyyah li al-
Malik al-Wahab.
Sedangkan karyanya di bidang tasawuf adalah ‘Umdat al-Muhtajin (Tiang Orang yang
Memerlukan), Kifayat al-Muhtajin (Pencukup Para Pengemban Hajat), Daqa’iq al-Huruf (Detail
Huruf), dan Bayan Tajalli (Keterangan Tentang Tajalli).
Terkait dengan pemikiran Abdul Rauf Singkel mengenai wujud Allah dalam beberapa tulisannya
mengenai tasawuf terlihat bahwa Abdur Rauf Singkel tidak setuju dengan tindakan pengkafiran
oleh Nuruddin al-Raniri terhadap pengikut Hamzah Fansuri dan Syamsudin al-Sumaterani yang
berpaham Wahdatul Wujud atau Wujudiyyah. Menurutnya, jika tuduhan pengkafiran ini tidak
benar orang yang menuduh dapat disebut kafir.
Abdur Rauf Singkel meninggal dan dimakamkan di Kuala (muara) Banda Aceh, sehingga ia
dikenal dengan nama Tengku Syiah Kuala. Nama ini diabadikan pada perguruan tinggi yang
didirikan di Banda Aceh tahun 1961 M, yaitu Universitas Syiah Kuala.
5. Syekh Abdussamad al Palimbani
Syekh Abdussamad al Palimbani lahir di Pelembang tahun 1116 H/1704 M, ayahnya berasal dari
Yaman. Beliau pertama kali mendapat pendidikan di Kedah (Semenanjung Malaka) dan Patani
(Thailand) kemudian ia belajar ke Timur Tengah.
Syekh Abdussamad sangat peduli terhadap perkembangan keagamaan dan politik yang terjadi di
Nusantara. Hal ini terlihat dari beberapa karya dan juga himbauannya terhadap umat Islam untuk
melakukan jihad fi sabilillah menentang kekuatan penjajah Eropa.
Karyanya tersebut adalah Nasihah al-Muslimin wa Tazkiyarah al-Mukminin fi Fadla’ilil Jihad fi
Sabililah (Nasehat bagi kaum muslim dan peringatan bagi orang beriman tentang keutamaan
jihad di jalan Allah).
Sampai akhir hayatnya Syeh Abdussamad menetap di Haramain dan wafat tahun 1203 H/1789 M
di usia 85 tahun.
6. Syeh Ahmad Khatib al-Minangkabawi
Syeh Ahmad Khatib al-Minangkabawi lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat tahun 1276
H/1855M.
Ayahnya seorang jaksa di Padang sedangkan ibunya adalah puteri Tuanku nan Renceh seorang
ulama terkenal dari kelompok Paderi.
Beliau mendapat pendidikan awal di SR (Sekolah Rendah) dan sekolah guru di Bukittinggi. Pada
tahun 1876 M beliau melanjutkan pendidikan ke Mekah sampai akhirnya memperoleh
kedudukan yang tinggi dalam mengajarkan agama. Selain itu ia juga diangkat menjadi Imam
Besar Masjidil Haram yang bermazhab Syafi’i.

11
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi memberikan gagasan pembaharuan Islam dengan
menekankan pentingnya syariat dan menolak tarekat. Terlihat dalam karyanya Izhar Zugalul
Kadzibin, yang menolak praktek tarikat Naqsabandiyah.
Dari murid-murid Syekh Ahmad Khatib di Mekah tercatat empat orang ulama Melayu Indonesia
yang kemudian hari menjadi penerus gagasan pembaharuan di Minangkabau. Mereka adalah :
1) Syekh Thahir Jalaluddin al-Azhari (1869-1956 M)
2) Syekh Muhammad Jamil Djambek (1860-1947 M)
3) H. Karim Amrullah (1879-1945 M)
4) H. Abdullah Ahmad (1878-1933 M)
Syekh Ahmad Khatib Wafat di Mekah tahun 1334 H/ 1916 M dalam usia 60 tahun.

C. Faktor-faktor yang Memengaruhi Pesatnya Perkembangan Islam di


Sumatera
Disebutkan di dalam catatan tersebut bahwa pada 674 M, di pantai barat Sumatera sudah berdiri
sebuah perkampungan bernama Barus atau Baros atau Fansur, yang dihuni oleh orang-orang
Arab beragama Islam.
Seiring berjalannya waktu, Islam pun mulai berkembang dengan pesat di Sumatera. Lantas, apa
faktor eksternal yang memengaruhi pesatnya Islam di Sumatera?
1. Banyaknya pedagang Islam yang datang ke Sumatera
Pulau Sumatera dapat dikatakan sebagai daerah pertama dan terpenting dalam pengembangan
Islam di Indonesia. Sebab, Sumatera merupakan tempat pertama masuknya Islam ke Indonesia.
Alasan Islam dapat berkembang pesat di Sumatera karena letaknya yang strategis di Selat
Malaka sehingga banyak pedagang dari Arab, Persia, India, dan China datang ke sana dan
menyebarkan agama Islam.
Para pedagang datang ke Sumatera karena pulau ini dikenal sebagai penghasil kapur barus
terbaik di dunia, tepatnya di Kota Baros. Oleh sebab itu, banyak pedagang dari berbagai negara
di dunia datang untuk membeli barus di sana. Selain berdagang, mereka juga datang sembari
membawa ajaran agama, salah satunya Islam. Berbekal dari kondisi tersebut, maka ajaran Islam
pun lambat laun mulai tersebar di Pulau Sumatera.
2. Berdiri perkampungan Islam di Sumatera
Faktor selanjutnya yang memengaruhi pesatnya perkembangan Islam di Sumatera adalah
berdirinya perkampungan Islam yang bernama Kampung Baros atau Kampung Barus. Kampung
Baros adalah perkampungan Islam yang terletak di pesisir Sumatera yang didirikan sekitar abad
ke-6. Sejak permulaan abad ke-7, Kota Baros memang sudah terkenal sebagai penghasil kapur
barus terbaik di dunia. Oleh sebab itu, para pedagang tertarik untuk datang ke sana. Seiring

12
berjalannya waktu, para pedagang ini membentuk pemukiman atau perkampungannya sendiri di
pantai barat Sumatera yang dikenal sebagai Kampung Baros.
Kehadiran para pedagang Islam di Sumatera cukup mungkin membuat terjadinya kontak budaya
dan agama antara masyarakat lokal dengan mereka. Dampak dari berdirinya Kampung Baros dan
ditambah dengan terjadinya kontak budaya dan agama, maka ajaran agama Islam yang dibawa
oleh sebagian para pedagang ini mulai menyebar di Sumatera.
3. Menikah dengan gadis Sumatera
Setelah Islam mulai berkembang, orang-orang Sumatera pun lebih terbuka untuk berinteraksi
dengan para pedagang. Terlebih lagi, ada cukup banyak pedagang Arab yang menikah dengan
gadis-gadis lokal dan memiliki keturunan. Dari situ jumlah orang yang menganut agama Islam
pun semakin banyak sehingga terbentuklah komunitas Muslim di Sumatera.
4. Tidak ada sistem kasta dalam Islam
Sebelum Islam masuk ke Indonesia, masyarakat Sumatera lebih dulu mengenal agama Hindu-
Buddha, di mana salah satu cirinya adalah adanya sistem kasta sosial. Hal ini berbanding terbalik
dengan ajaran agama Islam yang tidak menerapkan adanya perbedaan kelas sosial. Dengan kata
lain, kedudukan setiap orang dalam ajaran Islam adalah sama atau setara, tidak ada yang lebih
berat atau pun ringan.
Perbedaan yang dilihat Allah adalah kebaikan dan amalan yang diperbuat manusia selama
mereka hidup. Dengan tidak adanya sistem kasta, masyarakat Sumatera pun terpanggil untuk
menjadi seorang Muslim, yang secara tidak langsung memengaruhi perkembangan Islam di
Nusantara.

D. Kerajaan-Kerajaan Islam di Pulau Sumatera


1. Kerajaan Jeumpa (777 - 880)
A) Wilayah
Wilayah Kerajaan Jeumpa meliputi perbukitan di sekitar sungai Peudada hingga Pante
Krueng, Peusangan. Pusat kerajaan berada di desa Blang Seupeueng yang menjadi
permukiman penduduk. Selain itu, Kerajaan Jeumpa memiliki kota pelabuhan yaitu Kuala
Jeumpa. Wilayah ini memiliki banyak sungai besar yang menjadi tempat berlabuh dan
berlayar kapal dan perahu.
B) Kehidupan Masyarakat
Kerajaan Jeumpa merupakan kerajaan dengan pemukiman penduduk yang ramai. Pusat
pemerintahannya yaitu di Kuala Jeumpa yang merupakan kota pelabuhan. Kota ini menjadi
tempat persinggahan dan perdagangan yang strategis di Pulau Sumatera. Selain itu, kerajaan
ini termasuk dalam jalur perdagangan dan pelayaran Selat Malaka. Hal ini membuat kegiatan
utama masyarakatnya adalah berdagang. Kawasan perdagangan Kerajaan Jeumpa berada di
pesisir utara Pulau Sumatera. Kerajaan ini menjalin hubungan diplomasi perdagangan dengan

13
kerajaan-kerajaan yang ada di Pulau Sumatera. Selain itu, Kerajaan Jeumpa juga menjalin
hubungan perdagangan dengan kerajaan-kerajaan yang berasal dari kawasan Arab, Persia,
India, dan Tiongkok.
C) Keagamaan
Kerajaan Jeumpa menjadi salah satu tempat penyebaran Islam untuk pertama kalinya di
kawasan Nusantara. Penyebaran Islam di Kerajaan Jeumpa terutama dilakukan oleh Bangsa
Persia. Penduduk Kerajaan Jeumpa menjadi muslim secara perlahan. Kerajaan ini
sepenuhnya menjadi kerajaan Islam pada tahun 777 Masehi.
D) Silsilah Raja
Raja pertama dari Kerajaan Jeumpa adalah Syahriansyah Salman Al-Parsi yang berasal dari
Champia, Persia. Ia mendirikan kerajaan ini pada tahun 770 Masehi setelah menikahi seorang
putri Aceh dari sebuah kerajaan Hindu purba. Keturunan dari Syahriansyah Salman Al-Parsi
menjadi Meurah atau penguasa dari kerajaan-kerajaan di Pulau Sumatera. Syahriansyah
Salman mengangkat anaknya yang bernama Syahri Poli sebagai pendiri dan penguasa
wilayah Poli. Selain itu, ia juga mengangkat anaknya yang bernama Syahri Nawi sebagai
penguasa wilayah Perlak. Wilayah Poli kemudian berkembang menjadi Kerajaan Pedir,
sedangkan wilayah Perlak berkembang menjadi Kesultanan Peureulak. Anak tertua dari
Syahriansyah Salman Al-Parsi yang bernama Syahri Tanwi menjadi pewaris Kerajaan
Jeumpa, sedangkan anak termudanya yan bernama Syahri Duli menjadi raja di Kerajaan
Indra Purba di Aceh Besar. Keempat anaknya menjalin hubungan kesukuan yang diberi nama
Sukee Imum Peut (terj. Suku Imum Empat).
2. Kesultanan Peureulak (840-1292)
Kesultanan Peureulak atau Kesultanan Perlak adalah kerajaan Islam di Indonesia dan
merupakan kesultanan yang berkuasa di sekitar wilayah Peureulak, Aceh Timur, Aceh
sekarang disebut-sebut antara tahun 840 sampai dengan tahun 1292. Peureulak atau Perlak
terkenal sebagai suatu daerah penghasil kayu perlak, jenis kayu yang sangat bagus untuk
pembuatan kapal, dan karenanya daerah ini dikenal dengan nama "Negeri Perlak".
Hasil alam dan posisinya yang strategis membuat Perlak berkembang sebagai pelabuhan
niaga yang maju pada abad ke-8, disinggahi oleh kapal-kapal yang antara lain berasal dari
Arab dan Persia. Hal ini membuat berkembangnya masyarakat Islam di daerah ini, terutama
sebagai akibat perkawinan campur antara saudagar muslim dengan perempuan setempat.
A) Geografis Kerajaan Peureulak
Selat Malaka sejak zaman dahulu terkenal sebagai jalur perdagangan utama Nusantara.
Pedagang dari berbagai penjuru dunia berlayar melalui selat tersebut untuk melakukan
perdagangan, dari selat tersebut masuk lah ajaran agama-agama baru ke Nusantara.
Sebelum berdirinya Kesultanan Malaka, pelayaran selat Malaka tidak melalui pantai
Semenanjung Malaya, melainkan melalui sisi barat Selat Malaka menyisiri pantai-pantai

14
Sumatera. Kota pelabuhan terpenting pada waktu itu adalah Melayu yang terletak di muara
Sungai Batanghari, Jambi.
Dalam waktu singkat Aceh pun tumbuh menjadi daerah penghasil dan pengekspor terbesar
lada pada masa itu. Bandar Perlak dijadikan bandar utama di pantai timur Sumatera bagian
utara. Wilayah tersebut terus tumbuh dan berkembang hingga menjadi kota perdagangan
internasional, yang banyak disinggahi pedagang dari penjuru dunia, termasuk pedagang
muslim.
B) Perkembangan dan pergolakan
Sultan pertama Perlak adalah Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Shah bin Ali Al-
Muktabar bin Muhammad Ad-Dibaj bin Ja'far Ash-Shodiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali
Zainal Abidin bin Sayyidina Husein bin Sayyidina Ali dan Sayyidatina Fatimah Az-Zahra
Putri Rasulullah SAW, yang beraliran Syi'ah dan merupakan keturunan Rasulullah ‫صلى هللا‬
‫ عليه وسلم‬ayahnya menikah dengan perempuan setempat di aceh yaitu anak sultan perlak aceh,
yang mendirikan Kesultanan Perlak pada 1 Muharram 225 H (840 M). Ia mengubah nama
ibu kota kerajaan dari Bandar Perlak menjadi Bandar Khalifah. Sultan ini bersama istrinya,
Putri Meurah Mahdum Khudawi, kemudian dimakamkan di Paya Meuligo, Peureulak, Aceh
Timur.
Pada masa pemerintahan sultan ketiga, Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah, islam
mulai luas dikenal ke Perlak. Setelah wafatnya sultan pada tahun 363 H (913 M), terjadi
perang saudara antara kaum muslimin korban adu domba sehingga selama dua tahun
berikutnya tak ada sultan.
C) Serangan Sriwijaya
Pada tahun 986 M, Kedatuan Sriwijaya (Kerajaan bercorak Buddha di Nusantara) menyerang
Kesultanan Peureulak Pesisir. Peperangan hebat pun pecah yang melibatkan pasukan kedua
kerajaan tersebut. Dalam perang ini, Sultan Peureulak Pesisir, yaitu Sultan Alaiddin Syad
Maulana Mahmud Syah gugur dalam peperangan.
Pascagugurnya Sultan Peureulak Pesisir, wilayah kesultanan Perlak secara keseluruhan
akhirnya dikuasai oleh Sultan Peureulak Pedalaman. Kehadiran pasukan Sriwijaya di wilayah
Peureulak, segera direspon oleh Sultan Malik Ibrahim Syah dengan mengobarkan semangat
rakyat Peureulak untuk melawan Sriwijaya.
Pertempuran besar pun terjadi selama bertahun-tahun. Perang antara kedua kerajaan itu baru
berakhir pada tahun 1006 M, ketika Sriwijaya memutuskan mundur dari pertempuran untuk
bersiap menghadapi serangan raja Dharmawangsa dari Kerajaan Medang di Jawa.
Dengan berakhirnya perang antara Kesultanan Peureulak dan Kedatuan Sriwijaya, wilayah
Peureulak secara keseluruhan dipimpin oleh keturunan Sultan Malik Ibrahim Syah. Pada
masa ini kondisi Kesultanan Perlak relatif damai, tanpa adanya peperangan melawan
kerajaan luar.

15
D) Penyatuan dengan Samudera Pasai
Sultan ke-17 Perlak, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan
Berdaulat (memerintah 1230 – 1267) menjalankan politik persahabatan dengan menikahkan
dua orang putrinya dengan penguasa negeri tetangga Peureulak:
E) Daftar Sultan Perlak
Sultan-sultan Perlak dapat dikelompokkan menjadi dua dinasti: dinasti Syed Maulana Abdul
Azis Shah dan dinasti Johan Berdaulat. Berikut daftar sultan yang pernah memerintah Perlak.
1. Sultan Marhum ‘Alauudin Sayyid Maulana ‘Abdul ‘Aziz Syah Zhillullah fil ‘Alam pada
tahun 1225 hijriah (1810 M).
2. Sultan ‘Alauddin Sayyid Maulana ‘Abdurrahim Syah Zhillullah fil ‘Alam 1249 hijriah
(1833 M).
3. Sultan Marhum ‘Alauddin Sayyid Maulana ‘Abbas Syah Zhillullah fil ‘Alam1285 hijriah
(1868 M).
4. Sultan Marhum ‘Alauddin Sayyid ‘Ali Mughayat Syah Zhillullah fil ‘Alam1302 hijriah
(1885 M).
5. Sultan Marhum ‘Alauddin ‘Abdul Qadir Syah Johan Berdaulat Zhillullah fil ‘Alam 1305
hijriah (1887 M).
6. Sultan Marhum ‘Alauddin Muhammad Amin Syah Zhillullah fil ‘Alam 1309 hijriah
(1892 M).
7. Marhum ‘Alauddin ‘Abdul Malik Syah Zhillullah fil ‘Alam 1327 hijriah (1909 M).
8. Sultan Marhum ‘Alauddin Sayyid Mahmud Syah Zhilullah fil ‘Alam 1349 hijriah (1930
M).
3. Kesultanan Samudera Pasai (1267-1521)
Kesultanan Pasai, juga dikenal dengan Samudera Darussalam, atau Samudera Pasai, dengan
sebutan singkat yaitu Pasai adalah kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatra,
kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara,
Provinsi Aceh, Indonesia.Kerajaan ini didirikan oleh Meurah Silu, yang bergelar Sultan Malik
as-Saleh, sekitar tahun 1267.
Para sejarawan menelusuri keberadaan kerajaan ini menggunakan sumber dari Hikayat Raja-raja
Pasai serta peninggalan sejarah adat istiadat serta budaya setempat yang masih berjalan dan
dipertahankan oleh masyarakat pesisir pantai utara Sumatra. Hal ini dibuktikan dengan beberapa
makam raja yang datang pertama kali pada tahun 710 Masehi serta penemuan koin berbahan
emas dan perak dengan tertera nama keturunan rajanya. Dengan di temukannya Makam Raja
(Penemuan Makam Raja Samudera Pasai Meninggal di Tahun 710 Masehi) ini membuktikan
sebelumnya sudah berdiri Kerajaan Samudera Pasai sebelum Rajanya Meninggal (Penemuan
Makam Raja) Berarti Kerajaan Samudera Pasai sudah berdiri sebelum 710 Masehi dan juga bisa
dikatakan Islam sudah masuk di Nusantara (Indonesia) sebelum 710 Masehi. Keberadaan
kerajaan ini juga tercantum dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur)

16
karya Abu Abdullah ibn Batuthah (1304–1368), musafir Maroko yang singgah ke negeri ini pada
tahun 1345. Kesultanan Pasai akhirnya runtuh setelah serangan Portugal pada tahun 1521.
A) Sejarah
Berdasarkan Hikayat Raja-raja Pasai serta tersebut dalam Tambo Minangkabau putra dari Ahlul
Bait Sayyidina Hussein, menceritakan tentang pendirian Pasai oleh Marah Silu dan menyebut
nama raja yang mukim dari tahun 710 Masehi hingga para anak cucu nya sebagai penyebar
agama Islam di Sumatra, setelah sebelumnya ia menggantikan seorang raja yang bernama Sultan
Malik al-Nasser. Marah Silu ini sebelumnya berada pada satu kawasan yang disebut
dengan Semerlanga kemudian setelah naik tahta bergelar Sultan Malik as-Saleh, ia wafat pada
tahun 696 H atau 1267 M.
Al Malikush Shaleh (1267-1297)
Pada saat itu, orang-orang Islam sudah mendirikan perkampungan di tepi pantai Sumatra.
Mereka berasal dari pedagang-pedagang sumatera yang berdagang di arab dan persia. Hanya
saja, mereka belum sanggup mendirikan kerajaan yang kuat.
Pada tahun 1205, telah naik takhta seorang raja Islam di Daya, Aceh yang bergelar Sri Paduka
Sultan Johan Syah. Beliau bukan penduduk asli Aceh, melainkan keturunan pedagang-pedagang
Islam yang menetap di Aceh. Prof. Dr. Hamka berpendapat bahwa jika dilihat dari namanya, ada
kemungkinan bahwa beliau berasal dari Gujarat. Namun demikian, tidak ada berita mengenai
kelanjutan kerajaan ini.
Kabar berita bahwa masyarakat Islam sudah ada di pantai Sumatra rupanya sampai juga ke
Mekah. Syarif Mekah mengutus seorang ulama bernama Syekh Isma'il agar datang berkunjung
ke negeri Samudra, Aceh. Sebab, di antara negeri-negeri tepi pantai Sumatra, nama Samudra
Pasai lebih terkenal. Syekh Isma'il berangkat menuju Samudra Pasai. Ia melabuhkan sementara
kapalnya di Malabar (Mu'tabar), lalu melanjutkan perjalanan ke Aceh. Sampai di Aceh, Syekh
Isma'il bertemu dengan seorang mantan raja yang bernama Fakir Muhammad. Mantan raja itu
ialah keturunan dari Abu Bakar, sahabat nabi.
Mereka berdua mengunjungi negeri-negeri tepi pantai Sumatra yang telah memeluk agama
Islam, yaitu Fansur (Barus), Lamiri dan Haru. Setelah itu, mereka meneruskan pelayaran ke
negeri Perlak. Disana mereka mendapat informasi bahwa negeri Samudra Pasai yang mereka tuju
rupanya telah terlewat. Terpaksalah kapal mereka dibelokkan kembali. Akhirnya, mereka
berjumpa dengan Merah Silu, kepala kampung di tempat itu.
Al Malikuzh Zhahir I (1297 - 1326)
Seorang putra Al Malikush Shaleh diberi gelar Al Malikush Zhahir, sedangkan putranya yang
lain diberi gelar Al Malikul Mansur. Azh Zahir adalah gelar yang dipakai oleh Sultan Mamalik
yang kedua di Mesir, yaitu al Malikuzh Zhair Baibars (1260 - 1277). Al Mansur adalah gelar dari
Sultan Mamalik yang ketiga, yang menggantikan Baibars, yaitu al Malikul Mansur Qalawun
(1279 - 1290). Sultan Al Malikuz Zhahir diangkat sebagai sultan kedua Samudra Pasai. Nama
kecil sultan itu adalah Raja Muhammad.

17
Al Malikuszh Zhahir II (1326 - 1349)
Sultan ketiga Samudra Pasai bergelar Zhahir juga. Nama kecilnya adalah Raja Ahmad.
berpendapat bahwa besar kemungkinan bahwa sultan inilah yang ditemui oleh Ibnu Batutah
ketika ia singgah di negeri Pasai tatkala Ibnu Batutah diutus Sultan Delhi ke Tiongkok pada
1345. Ibnu Batutah menceritakan pengamatannya secara rinci, ketika singgah di Pasai dalam
catatan perjalanannya.
Berdasarkan catatan Ibnu Batutah, Sultan Pasai bermadzhab Syafi'i. Mahdzhab itu diketahui oleh
Sultan secara mendalam. Sultan pun sanggup bertukar pikiran dengan para ulama ketika
membicarakan masalah agama. Sultan gemar mendakwahkan agama Islam ke negeri-negeri
tetangga. Sultan juga memiliki armada kapal dagang yang besar. Ketika Ibnu Batutah singgah di
Tiongkok, ia melihat kapal dari Sultan Pasai sedang berdagang di sana. Sultan mengangkat
ulama keturunan bangsa sayid dari Syiraz sebagai qadhi di Pasai.
Zainal Abidin (1349-1406)
Setelah Sultan al-Malikuzh Zhahir meninggal, naiklah putranya Zainal Abidin. Ia naik takhta
ketika usianya masih kecil, sehingga untuk sementara, pemerintahan dijalankan oleh pembesar-
pembesar kerajaan.
Kerajaan Siam mendatangi Samudra Pasai. Awalnya, mereka masuk ke negeri Pasai secara baik-
baik. Mereka pun disambut dengan layak oleh Pasai. Mereka mengangkat sebuah peti besar ke
dalam istana, sebagai hadiah untuk Sultan Pasai. Ketika peti itu dibuka, melompatlah empat
orang pasukan Siam keluar dari peti, menangkap sultan yang masih kecil. Sultan Pasai diculik,
dibawa ke kapal, ditawan di dalam istana Siam.
Orang-orang besar Samudra Pasai terpaksa datang mempersembahkan tebusan ke negeri Siam,
yaitu emas. Mereka memohon agar sultan dapat dibebaskan. Raja Siam mengizinkan, dengan
syarat, Pasai harus tetap rutin membayar emas. Akhirnya, pulanglah Sultan yang masih muda itu
ke Pasai, hingga duduk kembali di atas singgasananya.
Tidak beberapa lama kemudian, tiba-tiba datang pulalah pasukan Majapahit. Diserbunya
Samudra Pasai sekali lagi. Pasai takluk di bawah Majapahit. Siam pun tidak mampu melawan
Majapahit untuk mempertahankan Pasai.
Maharaja Tiongkok mengutus admiral Cheng Ho untuk datang ke Pasai pada tahun 1405. Dalam
riwayat Tiongkok, Raja Pasai pada saat itu ialah Tsai Nu Li A Pi Ting Ki (Zainal Abidin). Cheng
Ho menganjurkan agar Pasai mengakui persahabatan dengan Maharaja Tiongkok, Kaisar Cheng
Tsu. Kaisar ini baru saja merebut kekuasaan dari kaisar yang dahulu, Hwui Ti. Cheng Ho datang
membawa hadiah tanda persahabatan dari Kaisar Tiongkok. Ia pun memberikan janji bahwa
Tiongkok akan tetap membela Samudra Pasai, Malaka dan negeri-negeri lain, jika ada serangan
dari luar, asalkan mereka mengakui perlindungan dari Tiongkok.
Zainal Abidin meninggal dalam satu peperangan melawan negeri Nakur di Aceh. Permaisuri
Pasai menjanjikan bahwa ia sudi menjadi istri bagi siapa saja yang sudi berjuang menuntut bela
kematian suaminya dalam perang itu. Tampillah ke depan, seorang nelayan, untuk mengepalai

18
tentara yang ingin mengalahkan negeri Nakur kembali. Menurut riwayat Tiongkok, nelayan itu
menang perang, sehingga langsung diangkat menjadi raja, menggantikan raja yang meninggal,
pada tahun 1412.
Akhir Samudra Pasai dan Invasi Portugis
Dalam catatan Tiongkok, putra Zainal Abidin, yang seharusnya berhak menduduki takhta
kerajaan, tidaklah merasa senang hati karena seorang nelayan berhasil merebut takhta kerajaan.
Nelayan itu dibunuhnya, ia pun naik takhta yang memang sudah menjadi haknya.
Raja Iskandar, anak dari Raja Semudra Pasai dibawa oleh Cheng Ho pada tahun 1412 untuk
mengunjungi Tiongkok dan datang menghadap Maharaja Tiongkok. Sesampainya di Tiongkok,
Raja Iskandar meninggal terbunuh. Semenjak itu, jaranglah terdengar hubungan antara Pasai dan
Tiongkok. Kunjungan terakhir Pasai ke Tiongkok tercatat pada tahun 1434.
Sementara itu, Malaka mulai naik, sedangkan Pasai mulai turun. Pelabuhan Pasai berangsur sepi,
pantainya mulai dangkal, kapal-kapal telah lebih banyak berlabuh di pelabuhan Malaka. Sejak
saat itu, pusat kegiatan Islam pindah dari Pasai ke Malaka. Banyak juga warga Samudra Pasai
yang meninggalkan kampung halamannya setelah datang serangan dari Portugis, pada 1521,
Maka Sejak saat itu, semakin banyak warga Pasai yang pergi merantau ke Tanah Jawa, terutama
ke Jawa Timur, lalu menetap di sana, ke pusat kekuasaan Majapahit.
Salah seorang warga Pasai yang datang ke Jawa adalah Fatelehan (Fatahillah / Syarif
Hidayatullah). Ia merantau ke Jawa karena negerinya diserang Portugis. Di Jawa, ia berkarir
sebagai panglima perang Demak, untuk mengalahkan Galuh dan Pajajaran. Hingga akhirnya, ia
sukses mendirikan Banten dan Cirebon.
B) Relasi dan persaingan
Kesultanan Pasai kembali bangkit di bawah pimpinan Sultan Zain al-Abidin Malik az-Zahir
tahun 1383, dan memerintah sampai tahun 1405. Dalam kronik Tiongkok ia juga dikenal dengan
nama Tsai-nu-li-a-pi-ting-ki, dan disebutkan ia tewas oleh Raja Nakur. Selanjutnya pemerintahan
Kesultanan Pasai dilanjutkan oleh istrinya Sultanah Nahrasiyah.
Armada Cheng Ho yang memimpin sekitar 208 kapal mengunjungi Pasai berturut turut dalam
tahun 1405, 1408 dan 1412. Berdasarkan laporan perjalanan Cheng Ho yang dicatat oleh para
pembantunya seperti Ma Huan dan Fei Xin. Secara geografis Kesultanan Pasai dideskripsikan
memiliki batas wilayah dengan pegunungan tinggi disebelah selatan dan timur, serta jika terus ke
arah timur berbatasan dengan Kerajaan Aru, sebelah utara dengan laut, sebelah barat berbatasan
dengan dua kerajaan, Nakur dan Lide. Sedangkan jika terus ke arah barat berjumpa dengan
kerajaan Lambri (Lamuri) yang disebutkan waktu itu berjarak 3 hari 3 malam dari Pasai. Dalam
kunjungan tersebut Cheng Ho juga menyampaikan hadiah dari Kaisar Tiongkok, Lonceng Cakra
Donya.
Sekitar tahun 1434 Sultan Pasai mengirim saudaranya yang dikenal dengan Ha-li-zhi-han namun
wafat di Beijing. Kaisar Xuande dari Dinasti Ming mengutus Wang Jinhong ke Pasai untuk
menyampaikan berita tersebut

19
C) Pemerintahan
Lonceng Cakra Donya yang merupakan hadiah dari Laksamana Cheng Ho.
Pusat pemerintahan Kesultanan Pasai terletaknya antara Krueng Jambo Aye (Sungai Jambu Air)
dengan Krueng Pase (Sungai Pasai), Aceh Utara. Menurut ibn Batuthah yang menghabiskan
waktunya sekitar dua minggu di Pasai, menyebutkan bahwa kerajaan ini tidak memiliki benteng
pertahanan dari batu, tetapi telah memagari kotanya dengan kayu, yang berjarak beberapa
kilometer dari pelabuhannya. Pada kawasan inti kerajaan ini terdapat masjid, dan pasar serta
dilalui oleh sungai tawar yang bermuara ke laut. Ma Huan menambahkan, walau muaranya besar
namun ombaknya menggelora dan mudah mengakibatkan kapal terbalik. Sehingga penamaan
Lhokseumawe yang dapat bermaksud teluk yang airnya berputar-putar kemungkinan berkaitan
dengan ini.
D) Perekonomian
Pasai merupakan kota dagang, mengandalkan lada sebagai komoditas andalannya, dalam catatan
Ma Huan disebutkan 100 kati lada dijual dengan harga perak 1 tahil. Dalam perdagangan
Kesultanan Pasai mengeluarkan koin emas sebagai alat transaksi pada masyarakatnya, mata uang
ini disebut Deureuham (dirham) yang dibuat 70% emas murni dengan berat 0.60 gram, diameter
10 mm, mutu 17 karat.
Sementara masyarakat Pasai umumnya telah menanam padi di ladang, yang dipanen 2 kali
setahun, serta memilki sapi perah untuk menghasilkan keju. Sedangkan rumah penduduknya
memiliki tinggi rata-rata 2.5 meter yang disekat menjadi beberapa bilik, dengan lantai terbuat
dari bilah-bilah kayu kelapa atau kayu pinang yang disusun dengan rotan, dan di atasnya
dihamparkan tikar rotan atau pandan.
E) Agama dan budaya
Islam merupakan agama yang dianut oleh masyarakat Pasai, walau pengaruh Hindu dan Buddha
juga turut mewarnai masyarakat ini. Dari catatan Ma Huan dan Tomé Pires, telah
membandingkan dan menyebutkan bahwa sosial budaya masyarakat Pasai mirip dengan Malaka,
seperti bahasa, maupun tradisi pada upacara kelahiran, perkawinan dan kematian. Kemungkinan
kesamaan ini memudahkan penerimaan Islam di Malaka dan hubungan yang akrab ini dipererat
oleh adanya pernikahan antara putri Pasai dengan raja Malaka sebagaimana diceritakan dalam
Sulalatus Salatin.
F) Akhir pemerintahan
Menjelang masa-masa akhir pemerintahan Kesultanan Pasai, terjadi beberapa pertikaian di Pasai
yang mengakibatkan perang saudara. Sulalatus Salatin menceritakan Sultan Pasai meminta
bantuan kepada Sultan Melaka untuk meredam pemberontakan tersebut. Namun Kesultanan
Pasai sendiri akhirnya runtuh setelah ditaklukkan oleh Portugal tahun 1521 yang sebelumnya
telah menaklukan Melaka tahun 1511, dan kemudian tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi
bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh.

20
4. Kesultanan Lamuri (800-1503)
Lamuri adalah nama sebuah kerajaan yang terletak di daerah kabupaten Aceh Besar dengan
pusatnya di Lam Reh, kecamatan Mesjid Raya. Kerajaan ini adalah kerajaan yang lebih dahulu
muncul sebelum berdirinya Aceh Darussalam.
Sumber asing menyebut nama kerajaan yang mendahului Aceh yaitu "Lamuri", "Ramni",
"Lambri", "Lan-li", "Lan-wu-li". Penulis Tionghoa Zhao Rugua (1225) misalnya mengatakan
bahwa "Lan-wu-li" setiap tahun mengirim upeti ke "San-fo-chi" (Sriwijaya). Nagarakertagama
(1365) menyebut "Lamuri" di antara daerah yang oleh Majapahit diaku sebagai bawahannya.
Dalam Suma Oriental-nya, penulis Portugis Tomé Pires mencatat bahwa Lamuri tunduk kepada
raja Aceh.
A) Catatan Sejarah
Nisan makam seorang yang tidak disebut namanya di situs Lamuri
Secara umum, data tentang Lamuri didasarkan pada berita-berita dari luar, seperti yang
dikemukakan oleh pedagang-pedagang dan pelaut-pelaut asing (Arab, India, dan Cina) sebelum
tahun 1500 M. Di samping itu, ada beberapa sumber lokal, seperti Hikayat Melayu dan Hikayat
Atjeh, yang dapat dijadikan rujukan tentang keberadaan Lamuri.
Data tentang lokasi Lamuri juga masih menjadi perdebatan. W. P. Groeneveldt, seorang ahli
sejarah Belanda, menyebut bahwa Lamuri terletak di sudut sebelah barat laut Pulau Sumatera,
kini tepatnya berada di Kabupaten Aceh Besar. Ahli sejarah lainnya, H. Ylue menyebut bahwa
Lambri atau Lamuri merupakan suatu tempat yang pernah disinggahi pertama kali oleh para
pedagang dan pelaut dari Arab dan India. Menurut pandangan seorang pengembara dan penulis
asing, Tome Pires, letak Lamuri adalah di antara Kesultanan Aceh Darusalam dan wilayah
Biheue. Artinya, wilayah Lamuri meluas dari pantai hingga ke daerah pedalaman.
B) Cikal Bakal Pembentukan Kesultanan Aceh
H.M Zainuddin dalam buku Tarikh Aceh dan Nusantara menyebutkan kurang lebih pada 400
Masehi, Sumatera Bagian Utara dinamai orang Arab dengan nama Rami (Ramni = terletak di
kampung Pande sekarang), orang Tionghoa menyebut LamLi, Lan-wu-li, dan Nan-Poli. Yang
sebenarnya adalah sebutan Aceh Lam Muri, dan dalam sejarah Melayu disebut Lambri (Lamiri).
Sesudah kedatangan bangsa Portugis dan Italia biasanya mengatakan Achem, Achen, Acen.
Sementara orang Arab menyebutkan Asyi, atau juga Dachem, Dagin, Dacin. Penulis-penulis
Perancis mengatakan : Atcheen, Acheen, Achin. Akhirnya orang Belanda menyebutkan: Achem,
Achim, Atchin, Atchein, Atjin, Atsjiem, Atsjeh sampai akhirnya menjadi Aceh. Orang Aceh
sendiri mengatakan Atjeh. Begitupula nama daerah ini disebut dalam tarikh Melayu, undang-
undang Melayu, di dalam surat Aceh lama (sarakata) dan pada mata uang Aceh.
Perubahan nama dari Lamuri menjadi Aceh belum dapat dipastikan bagaimana proses terjadinya.
Dalam Tarikh Kedah (Marong Mahawangsa) tahun 1220 M (517 H), nama Aceh sudah
disebutkan sebagai satu negeri di pesisir pulau Perca (Pulau Sumatera). Orang Portugis Barbosa

21
(1516 M / 922 H) sebagai orang Eropa pertama yang menyebut nama Achem dan buku-buku
Tionghoa (1618 M) menyebutkan Aceh dengan nama A-Tse.
C) Struktur Pemerintahan
Struktur pemerintahan Lamuri tidak jauh berbeda dengan struktur pemerintahan yang berlaku di
Kesultanan Samudera Pasai karena keduanya memiliki pola pemerintahan yang berdasarkan
pada konsep Islam dan konsep maritim (kelautan). Dalam struktur pemerintahan Lamuri, sultan
merupakan penguasa yang tertinggi. Ia dibantu oleh sejumlah pejabat lainnya, yaitu seorang
perdana menteri, seorang bendahara, seorang komandan militer Angkatan Laut (dengan gelar
laksamana), seorang sekretaris, seorang kepala Mahkamah Agama (atau disebut sebagai qadhi),
dan beberapa orang syahbandar yang bertanggung jawab pada urusan pelabuhan (biasanya juga
berperan sebagai penghubung komunikasi antara sultan dan pedagang-pedagang dari luar).
D) Kehidupan Sosial Budaya
Lamuri merupakan kerajaan laut agraris. Artinya, dasar kehidupan masyarakat di Lamuri di
samping mengandalkan hasil pertanian juga mengandalkan hasil perdagangan yang dilakukan
masyarakat sekitar dengan pedagang-pedagang dari luar, seperti dari Arab, India, dan Cina. Hasil
perdagangan yang dimaksud berupa lada dan jenis rempah-rempah lain, emas, beras, dan hewan
ternak. Hasil-hasil perdagangan tersebut memang telah mengundang perhatian banyak
perdagangan dari luar untuk datang ke Lamuri dan wilayah Aceh secara keseluruhan.
E) Silsilah Raja-raja
Batu nisan kepala Malik Jawaduddin. Batu nisan jenis plak-pling merupakan ciri khas nisan dari
Kerajaan Lamuri
Dari lebih kurang 84 batu nisan yang tersebar di 17 komplek pemakaman, terdapat 28 batu nisan
yang memiliki inskripsi. Dari ke-28 batu nisan tersebut diperoleh sebanyak 10 raja yang
memerintah Lamuri, 8 orang bergelar malik dan 2 orang bergelar sultan.
1) Malik Syamsuddin (wafat 822 H/1419 M)
2) Malik 'Alawuddin (wafat 822 H/1419 M)
3) Muzhhiruddin. Diperkirakan seorang raja, tanggal wafat tidak diketahui.
4) Sultan Muhammad bin 'Alawuddin (wafat 834 H/1431 M)
5) Malik Nizar bin Zaid (wafat 837 H/1434 M)
6) Malik Zaid (bin Nizar?) (wafat 844 H/1441 M)
7) Malik Jawwaduddin (wafat 842 H/1439 M)
8) Malik Zainal 'Abidin (wafat 845 H/1442 M)
9) Malik Muhammad Syah (wafat 848 H/1444 M)
10) Sultan Muhammad Syah (wafat 908 H/1503 M)
F) Situs
Situs Kerajaan Lamuri di kampung Lam Reh kecamatan Mesjid Raya saat ini terancam musnah
dikarenakan adanya rencana pembangunan lapangan golf oleh investor.

22
5. Kerajaan Linge(1025-Kini)
Kerajaan Linge adalah sebuah kerajaan kuno di Aceh. Kerajaan ini terbentuk pada tahun 1025 M
(416 H) dengan raja pertamanya adalah Adi Genali. Adi Genali (Kik Betul) memiliki empat
orang anak yaitu: Empuberu, Sibayak Linge, Merah Johan, Merah Linge. Reje Linge I
mewariskan untuk keturunannya sebilah pedang dan sebentuk cincin permata yang berasal dari
Sultan Peureulak Makhdum Berdaulat Mahmud Syah (1012-1038 M). Pusaka ini diberikan saat
Adi Genali membangun Negeri Linge pertama di Buntul Linge bersama dengan seorang perdana
menteri yang bernama Syekh Sirajuddin yang bergelar Cik Serule.
6. Kerajaan Siguntur(1250-Kini)
Kerajaan Siguntur adalah sebuah kerajaan yang berdiri semenjak tahun 1250 pasca runtuhnya
Kerajaan Dharmasraya. Kerajaan ini bertahan selama beberapa masa hingga kemudian dikuasai
oleh Kerajaan Pagaruyung, tetapi sampai sekarang ahli waris istana kerajaan masih ada dan tetap
bergelar Sutan. Ahli waris yang memegang jabatan raja Siguntur hingga saat ini adalah Sutan
Hendri. Kalau diperhatikan dari raja-raja yang pernah memerintah, kerajaan ini juga bernaung di
bawah kerajaan Pagaruyung di bawah pemerintahan Adityawarman. Bahasa yang dipergunakan
di kerajaan Siguntur adalah bahasa Minang dialek Siguntur yang mirip dengan dialek
Payakumbuh.
A) Sejarah
Sejarah kerajaan Siguntur belum banyak diketahui, namun menurut sumber lokal menyebutkan
bahwa daerah Siguntur merupakan sebuah kerajaan Dharmasyraya di Swarnabhumi (Sumatra)
yang berkedudukan di hulu sungai Batanghari, sungai ini melintasi Provinsi Jambi dan kemudian
bermuara di laut Cina Selatan. Sebelum agama Islam masuk ke wilayah Minangkabau atau
Jambi, kerajaan Siguntur merupakan kerajaan kecil yang bernaung di bawah kerajaan Malayu,
namun pernah bernaung pula pada kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Singasari, dan Minangkabau.
Pada tahun 1197 (1275 M), Siguntur merupakan pusat Kerajaan Malayu dengan rajanya
Mauliwarmadewa yang bergelar Sri Buana Raya Mauliawarmadewa sebagai raja Dharmasraya.
Sedangkan dalam prasasti Amonghapasa menyebutkan bahwa pada tahun 1286 Sri Maharaja
Tribhuwanaraja Mauliawarmadewa bersemayam di Dharmasraya, daerah pedalaman Riau
daratan. Dengan kata lain kerajaan Swarnabhumi pada waktu itu telah dipindahkan dari Jambi ke
Dharmasraya. Melihat kedua pendapat tersebut, ada kemungkinan pada abad 12 kerajaan
Siguntur ini berasal dari kerajaan Swarnabhumi Malayupuri Jambi.
B) Masjid dan rumah adat Siguntur
Dalam kompleks Masjid Siguntur terdapat makam Raja-raja Siguntur yang terdapat di sebelah
utara bangunan masjid. Kompleks makam berdenah segi lima dengan ukuran panjang yang
berbeda. Makam dibuat sangat sederhana, hanya ditandai dengan nisan dan jirat dari bata dan
batu. Dari sekian banyak makam hanya enam makam yang diketahui, yaitu makam Sri Maharaja
Diraja Ibnu bergelar Sultan Muhammad Syah bin Sora, Sultan Abdul Jalil bin Sultan Muhammad
Syah Tuangku Bagindo Ratu II, Sultan Abdul Kadire Tuangku Bagindo Ratu III, Sultan

23
Amirudin Tuangku Bagindo Ratu IV, Sultan Ali Akbar Tuangku Bagindo V, dan Sultan Abu
Bakar Tuangku Bagindo Ratu VI.
Pada tahun 1957 telah dilakukan rehabilitasi lantai masjid dari papan menjadi plesteran semen
oleh ahli waris dan masyarakat setempat. Kegiatan studi kelayakan terhadap Rumah Adat dan
Masjid Siguntur dilaksanakan pada tahun 1991/1992 oleh Bagian Proyek
Pelestarian/Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sumatra Barat, Kanwil Depdikbud
Provinsi Sumatra Barat. Masjid Siguntur dipugar dengan kegiatan antara lain: pembongkaran
atap beserta rangkanya, tiang, pondasi, dinding, dan lantai. Kemudian pemasangan kembali yang
baru. Pekerjaan lainnya yaitu pembongkaran pintu dan jendela, pembuatan selasar, pagar beton,
pagar kawat berduri, serta pintu besi. Terakhir pengecatan rangka atap dinding, pintu, jendela,
dan pagar tembok.
C) Dharmasraya dan kerajaan-kerajaan penerus
Kerajaan Siguntur yang mengklaim masih turunan dari Kerajaaan Dharmasraya, mengusulkan
kepada pemerintah untuk membuat duplikat Arca Bhairawa dan Arca Amoghapasa dan
memindahkan semua penemuan di Dharmasraya yang kini tersimpan di Museum Adityawarman
Padang dan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala, Batusangkar, ke Siguntur, Dharmasraya.
Salah seorang pewaris kerajaan Siguntur ini ialah Tuan Putri Marhasnida. Pihak pewaris
kerajaan Siguntur tersebut pernah meminta kepada pemerintah setempat untuk mendirikan
museum kecil di pinggiran Sungai Batanghari di Siguntur yang dipergunakan untuk menyimpan
benda-benda sisa-sisa dari Kerajaan Dharmasraya agar dapat tersimpan dan terjaga dengan baik
serta peninggalan-peninggalan tersebut tidak hilang. Selain itu, museum ini juga difungsikan
sebagai pusat informasi peninggalan-peninggalan dari Kerajaan Dharmasraya dan Kerajaan
Siguntur. Pada saat ini, meseum tersebut disebut dengan nama Museum Keluarga Kerajaan
Siguntur. Lokasi dari Museum tersebut yakninya berada di Jorong Sigunur, Kabupaten
Dharmasraya.
Selain Kerajaan Siguntur, juga ada kerajaan kecil setelah Islam yang juga mengaku berhubungan
dengan Kerajaan Dharmasraya pra-Islam. Kerajaan-kerajaan itu adalah Kerajaan Koto Besar,
Kerajaan Pulau Punjung, Kerajaan Padang Laweh, dan Kerajaan Sungai Kambut yang masing-
masing juga memiliki sejumlah peninggalan kuno. Setiap kerajaan-kerajaan tersebut memiliki
peninggalan masing-masing. Peninggalan tersebut dapat berupa benda serta hutan adat. Salah
satunya kerajaan Padang Laweh yang mempunyai peninggalan berupa Rumah Adat Kerjaan
Padang Laweh yang masih ada dan terjaga sampai saat sekarang ini.
D) Peninggalan
Kerajaan Siguntur ini menyisakan sebuah jenis tarian yang disebut tari toga (tari larangan),
sebuah tarian yang mirip dengan tarian Melayu dan tarian Minang. Tari toga menjadi tari resmi
kerajaan dan ditampilkan pada upacara penobatan raja (batagak gala), pesta perkawinan keluarga
raja, upacara turun mandi anak raja, perayaan kemenangan pertempuran, dan gelanggang
mencari jodoh putri raja. Pada saat Belanda berhasil masuk ke Siguntur pada tahun 1908, raja-
raja di Siguntur dan sekitarnya terpaksa mengakui kedaulatan Hindia Belanda yang
menyebabkan raja kehilangan kedaulatannya. Banyak benda kerajaan yang diambil oleh orang

24
Belanda, termasuk tambo (riwayat kerajaan yang tertulis) dan aktivitas kesenian kerajaan,
termasuk tari toga.
E) Raja-raja siguntur
Periode Hindu-Buddha
1. Sri Tribuwana Mauliwarmadewa (1250-1290)
2. Sora (Lembu Sora) (1290-1300)
3. Pramesora (Pramesywara) (1300-1343)
4. Adityawarman (kanakamedinindra) (1343-1347) - bersamaan dalam memerintah
Dharmasraya dan Pagaruyung.
5. Adikerma (putra Paramesora) (1347-1397)
6. Guci Rajo Angek Garang (1397-1425)
7. Tiang Panjang (1425-1560)
Periode Islam
1. Abdul Jalil Sutan Syah (1575-1650)
2. Sultan Abdul Qadir (1650-1727)
3. Sultan Amiruddin (1727-1864)
4. Sultan Ali Akbar (1864-1914)
5. Sultan Abu Bakar (1914-1968)
6. Sultan Hendri (1968-sekarang) — hanya sebagai penjabat saja, tanpa kekuasaan
karena kerajaan Siguntur tinggal nama saja.
6. Kesultanan Indrapura(1347-1792)
Kesultanan Inderapura merupakan sebuah kerajaan yang berada di wilayah kabupaten Pesisir
Selatan, Sumatra Barat sekarang, berbatasan dengan Provinsi Bengkulu dan Jambi. Secara resmi,
kerajaan ini pernah menjadi bawahan Kerajaan Pagaruyung walau pada praktiknya kerajaan ini
berdiri sendiri serta bebas mengatur urusan dalam dan luar negerinya.
Kerajaan ini pada masa jayanya meliputi wilayah pantai barat Sumatra mulai dari Padang di
utara sampai Sungai Hurai di selatan. Produk terpenting Inderapura adalah lada dan emas.
Pengaruh kekuasaan Kerajaan Inderapura sampai ke Banten di Pulau Jawa. Berdasarkan Sajarah
Banten, Kesultanan Banten telah melakukan kontak dagang dengan Kerajaan Inderapura yang
ditandai dengan pemberian keris dari Sultan Munawar Syah kepada Sultan Hasanuddin. Menurut
Hamka, Sultan Munawar Syah menikahkan putrinya dengan Hasanuddin dan menghadiahkan
Silebar (daerah penghasil lada di Bengkulu) kepada Kesultanan Banten.
A) Kebangkitan
Inderapura dikenal juga sebagai Ujung Pagaruyung. Melemahnya kekuasaan Pagaruyung selama
abad ke-15, beberapa daerah pada kawasan pesisir Minangkabau lainnya, seperti Inderagiri,
Jambi, dan Inderapura dibiarkan mengurus dirinya sendiri.

25
Namun perkembangan Inderapura baru benar-benar dimulai saat Malaka jatuh ke tangan
Portugis pada 1511. Arus perdagangan yang tadinya melalui Selat Malaka sebagian besar beralih
ke pantai barat Sumatra dan Selat Sunda. Perkembangan dan ekspansi Inderapura terutama
ditunjang oleh lada.
Kapan tepatnya Inderapura mencapai status negeri merdeka tidak diketahui dengan pasti.
Namun, ini diperkirakan bertepatan dengan mulai maraknya perdagangan lada di wilayah
tersebut pada pertengahan abad ke-16, didorong usaha penanaman lada di batas selatan
Inderapura mencapai Silebar (sekarang di Provinsi Bengkulu). Pada masa ini, Inderapura telah
menjalin persahabatan dengan Banten dan Aceh.
B) Perekonomian
Berdasarkan laporan Belanda, pada tahun 1616 Inderapura digambarkan sebagai sebuah kerajaan
yang makmur di bawah pemerintahan Raja Itam, serta sekitar 30.000 rakyatnya terlibat dalam
pertanian dan perkebunan yang mengandalkan komoditas beras dan lada. Selanjutnya pada masa
Raja Besar sekitar tahun 1624, VOC berhasil membuat perjanjian dalam pengumpulan hasil
pertanian tersebut langsung dimuat ke atas kapal tanpa mesti merapat dulu di pelabuhan, serta
dibebaskan dari cukai pelabuhan. Begitu juga pada masa Raja Puti, pengganti Raja Besar,
Inderapura tetap menerapkan pelabuhan bebas cukai dalam mendorong perekonomiannya.
Setelah ekspedisi penghukuman tahun 1633 oleh Kesultanan Aceh, sampai tahun 1637
Inderapura tetap tidak mampu mendongkrak hasil pertaniannya mencapai hasil yang telah
diperoleh pada masa-masa sebelumnya. Di saat penurunan pengaruh Aceh, Sultan Muzzaffar
Syah mulai melakukan konsolidasi kekuatan, yang kemudian dilanjutkan oleh anaknya Sultan
Muhammad Syah yang naik tahta sekitar tahun 1660 dan mulai kembali menjalin hubungan
diplomatik dengan Belanda dan Inggris.
C) Kemunduran
Di bawah Sultan Iskandar Muda, kesultanan Aceh memerangi negeri-negeri penghasil lada di
Semenanjung Malaya sambil berusaha memperkuat cengkeramannya atas monopoli lada dari
pantai barat Sumatra. Kendali ketat para wakil Aceh (disebut sebagai panglima) di Tiku dan
Pariaman atas penjualan lada mengancam perdagangan Inderapura lewat pelabuhan di utara.
Karena itu Inderapura mulai mengembangkan bandarnya di selatan, Silebar, yang biasanya
digunakan untuk mengekspor lada lewat Banten.
Inderapura juga berusaha mengelak dari membayar cukai pada para panglima Aceh. Ini
memancing kemarahan penguasa Aceh yang mengirim armadanya pada 1633 untuk menghukum
Inderapura. Raja Puti yang memerintah Inderapura saat itu dihukum mati beserta beberapa
bangsawan lainnya, dan banyak orang ditawan dan dibawa ke Kotaraja. Aceh menempatkan
panglimanya di Inderapura dan Raja Malfarsyah diangkat menjadi raja menggantikan Raja Puti.
Kendali Aceh melemah keetika dipimpin pengganti Iskandar Muda, Sultan Iskandar Tsani.
Selanjutnya, pada masa pemerintahan Ratu Tajul Alam pengaruh Aceh di Inderapura mulai
digantikan Belanda (VOC

26
D) Pemerintahan
Secara etimologi, Inderapura berasal dari bahasa Sanskerta, dan dapat bermakna Kota Raja.
Inderapura pada awalnya adalah kawasan rantau dari Minangkabau, merupakan kawasan pesisir
di pantai barat Pulau Sumatra. Sebagai kawasan rantau, Inderapura dipimpin oleh wakil yang
ditunjuk dari Pagaruyung dan bergelar Raja kemudian juga bergelar Sultan. Raja Inderapura
diidentifikasikan sebagai putra Raja Alam atau Yang Dipertuan Pagaruyung.
E) Wilayah kekuasaan
Pada akhir abad ke-17, pusat wilayah Inderapura mencakup lembah sungai Airhaji dan Batang
Inderapura, terdiri atas dua puluh koto. Masing-masing koto diperintah oleh seorang menteri,
yang berfungsi seperti penghulu di wilayah Minangkabau lainnya. Sementara pada daerah Anak
Sungai, yang mencakup lembah Manjuto dan Airdikit (disebut sebagai Negeri Empat Belas
Koto), dan Muko-muko (Lima Koto), sistem pemerintahannya tidak jauh berbeda.
Untuk kawasan utara, disebut dengan Banda Sapuluah (Bandar Sepuluh) yang dipimpin oleh
Rajo nan Ampek (4 orang yang bergelar raja; Raja Airhaji, Raja Bungo Pasang, Raja Kambang,
Raja Palangai). Kawasan ini merupakan semacam konfederasi dari 10 daerah atau nagari
(negeri), yang juga masing-masing dipimpin oleh 10 orang penghulu.
Pada kawasan bagian selatan, di mana sistem pemerintahan yang terdiri dari desa-desa berada di
bawah wewenang peroatin (kepala yang bertanggung jawab menyelesaikan sengketa di muara
sungai). Peroatin ini pada awalnya berjumlah 59 orang (peroatin nan kurang satu enam puluh).
Para menteri dan peroatin ini tunduk pada kekuasaan raja atau sultan.
F) Raja-raja
Kerajaan Air Pura didirikan oleh bangsawan pendatang di tanah Inderajati lama yang berasal dari
India - Turki. Raja pertamanya bernama Zatullahsyah, adik kandung Hidayatullahsyah.
Berikut nama-nama atau gelar-gelar raja pada masa ini:
1. Sultan Zatullahsyah
2. Sultan Iskandar Johansyah, putra Zatullahsyah
3. Sultan Maharaja Alif, putra Hidayatullahsyah
4. Rajo Tuo, putra Gulumi atau keponakan Iskandar
5. Sultan Ramadunsyah, anak Raja Tuo
6. Sultan Bahrunsyah, anak Ramadunsyah
7. Sultan Tarafal Bahilsyah, anak Bahrunsyah
8. Tengku Dusi (Reno Jamilan), adik dari Sri Indo Jalito
9. Sultan Mansursyah, anak Tuno Suli dan Reno Jamilan
10. Sultan Inayatsyah, anak Reno Tuo dengan Hasan atau keponakan dari Mansursyah.
11. Sultan Khairullahsyah (Cindurmato), anak Kembang Bandari, cucu dari Gadis Jamilan
12. Sultan Iskandar Bagagar Alamsyah, anak Hairullahsyah
13. Sultan Firmansyah, anak Iskandar Bagagar Alamsyah
14. Sultan Nurmansyah, anak Firmansyah

27
15. Sultan Usmansyah, anak Firmansyah
16. Sultan Muhamadsyah /Mardhu Alam, anak Nurmansyah
17. Sultan Mohamadsyah (Ngoh –Ngoh), anak Hartini binti Sultan Usmansyah
18. Sultan Muzafarsyah, anak Sarifah binti Sultan Usmansyah.
7. Kerajaan Pagaruyung(1347-1825)
Kerajaan Pagaruyung (bahasa Minangkabau: Karajaan Pagaruyuang) adalah kerajaan yang
pernah berdiri di Sumatra, wilayahnya terdapat di dalam provinsi Sumatra Barat dan sebagian
provinsi Riau sekarang.
Nama kerajaan ini dirujuk dari nama pohon Nibung atau Ruyung, selain itu juga dapat dirujuk
dari inskripsi cap mohor Sultan Tangkal Alam Bagagar dari Pagaruyung, yaitu pada tulisan
beraksara Jawi dalam lingkaran bagian dalam yang berbunyi (Jawi: ‫سلطان توڠݢل عالم باݢݢر ابن سلطان‬
‫ ;خليفة هللا يڠ ممڤوڽاءي تختا کراجأن دالم نݢري ڤݢرويڠ دار القرار جوهن برداولة ظل هللا في العالم‬Latin: Sulthān
Tunggal Alam Bagagar ibnu Sulthān Khalīfatullāh yang mempunyai tahta kerajaan dalam negeri
Pagaruyung Dārul Qarār Johan Berdaulat Zhillullāh fīl 'Ālam). sayangnya pada cap mohor
tersebut tidak tertulis angka tahun masa pemerintahannya. Kerajaan ini runtuh pada masa Perang
Padri, setelah ditandatanganinya perjanjian antara Kaum Adat dengan pihak Belanda yang
menjadikan kawasan Kerajaan Pagaruyung berada dalam pengawasan Belanda.
Sebelumnya kerajaan ini tergabung dalam Malayapura, sebuah kerajaan yang pada Prasasti
Amoghapasa disebutkan dipimpin oleh Adityawarman, yang mengukuhkan dirinya sebagai
penguasa Bhumi Malayu di Suwarnabhumi. Termasuk pula di dalam Malayapura adalah
kerajaan Dharmasraya dan beberapa kerajaan atau daerah taklukan Adityawarman lainnya.
A) Sejarah
Munculnya nama Pagaruyung sebagai sebuah kerajaan Melayu tidak dapat diketahui dengan
pasti, dari Tambo yang diterima oleh masyarakat Minangkabau tidak ada yang memberikan
penanggalan dari setiap peristiwa-peristiwa yang diceritakan, bahkan jika menganggap
Adityawarman sebagai pendiri dari kerajaan ini, Tambo sendiri juga tidak jelas menyebutkannya.
Namun dari beberapa prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman, menunjukan bahwa
Adityawarman memang pernah menjadi raja di negeri tersebut, tepatnya menjadi Tuan
Surawasa, sebagaimana penafsiran dari Prasasti Batusangkar.
9. Kerajaan Pedir(1400-1524)
A) Sejarah
Sejarawan Aceh, M. Junus Jamil di dalam bukunya yang berjudul “Silsilah Tawarick Radja-
Radja Kerajaan Aceh”, berisi tentang sejarah Negeri Pidie/Sjahir Poli. Kerajaan ini digambarkan
sebagai daerah dataran rendah yang luas dengan tanah yang subur, sehingga kehidupan
penduduknya makmur. Batas-batas kerajaan ini meliputi, sebelah timur dengan Kerajaan
Samudra Pasai, sebelah barat dengan Kerajaan Aceh Darussalam, sebelah selatan dengan
pegunungan, serta dengan selat Malaka di sebelah utara.

28
Sementara dalam kisah pelayaran bangsa Portugal, mereka menyebut Pidie sebagai Pedir.
Sedangkan dalam kisah pelayaran bangsa Tiongkok disebut sebagai Poli. Asumsinya, orang
Tiongkok tidak dapat menyebut kata “Pidie” seperti yang kita ucapkan. Dalam catatan pelayat
Tiongkok itu disebutkan, bahwa Kerajaan Pedir luasnya sekitar seratus kali dua ratus mil, atau
sekitar 50 hari perjalanan dari timur ke barat dan 20 hari perjalanan dari utara ke selatan.
B) Silsilah Raja-Raja / Pemimpin Pemerintahan Pidier / pedir saat itu
1. Maharaja Sulaiman Noer: Anak Sultan Husein Syah.
2. Maharaha Sjamsu Syah: Kemudian menjadi Sultan Aceh.
3. Maharaja Malik Ma’roef Syah: Putra dari Maharaja Sulaiman Noer. Mangkat pada tahun
1511 M, dikuburkan di Klibeut di sisi kuburan ayahnya.
4. Maharaja Ahmad Sjah: Putra Maharaja Ma’roef Syah. Pernah berperang melawan
Sulthan Ali Mughayat Syah, tetapi kalah. Mangkat pada tahun 1520 M, dikuburkan di
Klibeut di sisi kuburan ayahnya.
5. Maharaja Husain Syah: Putra Sultan Riayat Syah II (Meureuhom Khaa), kemuian
menggantikan ayahnya menjadi Sulthan Aceh.
6. Maharaja Saidil Mukamil: Putra dari Maharaja Firman Syah, kemudian menjadi Sulthan
Aceh dari 1589 sampai 1604 M. Ayah dari ibu Sulthan Iskandar Muda.
7. Maharaja Husain Syah: Putra dari Sulthan Saidil Mukamil
8. Maharaja Meurah Poli: Meurah Poli Negri Keumangan dikenal sebagai Laksamana
Panglima Pidie yang terkenal dalam perang Malaka (Pran Raja Siujud).
9. Maharaja Po Meurah: Syahir Poli, Bentara IX Mukim Keumangan yang bergelar Pang
Ulee Peunaroe. Pengatur negeri Pidie.
10. Meurah Po Itam: Bentara Kumangan bergelar Pang Ulee Peunaroe.
11. Meurah Po Puan: Bentara keumangan bergelar Pang Ulee peunaroe
12. Meurah Po Thahir: Bentara Keumangan yang terkenal dalam perang Pocut Muhammad
dengan Potue Djemaloiy (Sulthan Djamalul Alam Badrul Munir) pada
13. tahun 1740 M. Ia mempunyai dua orang saudara: Meurah Po Doom dan Meurah Po
Djoho.
14. Meurah Po Seuman: Pang Ulee Peunaroe dengan nama asli Usman.
15. Meurah Po Lateh: Pang Ule peunaroe dengan nama asli Abdul Latif, terkenal dengan
sebutan Keumangan Teungeut.
16. Teuku Keumangan Yusuf: Sudah masuk masa perang Aceh dengan Belanda.
17. Teuku Keumangan Umar: Uleebalang IX Mukim, Pidie.
8. Kerajaan Daya(1480-Kini)
A) Sejarah
Dahulu kala di hulu Sungai Daya ada sebuah dusun bernama Lhan Na yang sekarang disebut
Lam No yang didiami oleh orang-orang liar yang belum beragama. Kemudian penghuni di hulu
Sungai Daya itu bercampur dengan orang-orang yang baru datang ke situ dan karena
percampuran itu peradabannya bertambah maju. Setelah orang-orang dari Aceh Besar dan Pasai

29
yang beragama Islam datang ke Daya, maka mulailah orang-orang di pesisir negeri Daya
menganut agama Islam sampai akhirnya semua orang Lhan beragama Islam.
9. Kesultanan Aceh(1496-1903)
Kesultanan Aceh Darussalam (bahasa Aceh: Keurajeuën Acèh Darussalam; Jawoë: ‫كاورجاون اچيه‬
‫ )دارالسالم‬merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di provinsi Aceh, Indonesia.
Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatra dengan ibu kota Banda Aceh Darussalam
dengan sultan pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1
Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8 September 1507. Dalam sejarahnya yang panjang itu
(1496 - 1903), Aceh mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, berkomitmen dalam
menentang imperialisme bangsa Eropa, memiliki sistem pemerintahan yang teratur dan
sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, dan menjalin hubungan
diplomatik dengan negara lain.
A) Awal mula
Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Pada awalnya
kerajaan ini berdiri atas wilayah Kerajaan Lamuri, kemudian menundukan dan menyatukan
beberapa wilayah kerajaan sekitarnya mencakup Daya, Pedir, Lidie, Nakur. Selanjutnya pada
tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti dengan
Aru.
Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang bernama
Salahuddin, yang kemudian berkuasa hingga tahun 1537. Kemudian Salahuddin digantikan oleh
Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar yang berkuasa hingga tahun 1571.
B) Masa Kejayaan
Meskipun Sultan dianggap sebagai penguasa tertinggi, tetapi nyatanya selalu dikendalikan oleh
orangkaya atau hulubalang. Hikayat Aceh[diragukan – diskusikan][butuh rujukan] menuturkan
Sultan yang diturunkan paksa diantaranya Sultan Sri Alam digulingkan pada 1579 karena
perangainya yang sudah melampaui batas dalam membagi-bagikan harta kerajaan pada
pengikutnya.
Penggantinya Sultan Zainal Abidin terbunuh beberapa bulan kemudian karena kekejamannya
dan karena kecanduannya berburu dan adu binatang. Raja-raja dan orangkaya menawarkan
mahkota kepada Alaiddin Riayat Syah Sayyid al-Mukamil dari Dinasti Darul Kamal pada 1589.
Ia segera mengakhiri periode ketidak-stabilan dengan menumpas orangkaya yang berlawanan
dengannya sambil memperkuat posisinya sebagai penguasa tunggal Kesultanan Aceh yang
dampaknya dirasakan pada sultan berikutnya.
Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas pada masa kepemimpinan
Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636) atau Sultan Meukuta Alam. Pada masa kepemimpinannya,
Aceh menaklukkan Pahang yang merupakan sumber timah utama. Pada tahun 1629, kesultanan
Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500
buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi

30
Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung Melayu. Sayangnya ekspedisi ini gagal, meskipun
pada tahun yang sama Aceh menduduki Kedah dan banyak membawa penduduknya ke Aceh.

D) Kebudayaaan

1. Arsitektur

Tidak terlalu banyak peninggalan bangunan zaman Kesultanan yang tersisa di Aceh. Istana
Dalam Darud Donya telah terbakar pada masa perang Aceh - Belanda. Kini, bagian inti dari
Istana Dalam Darud Donya yang merupakan tempat kediaman Sultan Aceh telah berubah
menjadi Pendapa Gubernur Aceh dan "asrama keraton" TNI AD. Perlu dicatat bahwa pada masa
Kesultanan bangunan batu dilarang karena ditakutkan akan menjadi benteng melawan Sultan.
Selain itu, Masjid Raya Baiturrahman saat ini bukanlah arsitektur yang sebenarnya dikarenakan
yang asli telah terbakar pada masa Perang Aceh - Belanda. Peninggalan arsitektur pada masa
kesultanan yang masih bisa dilihat sampai saat ini antara lain Benteng Indra Patra, Masjid Tua
Indrapuri, Komplek Kandang XII (Komplek Pemakaman Keluarga Kesultanan Aceh), Pinto
Khop, Leusong dan Gunongan dipusat Kota Banda Aceh.

2. Kesusateraan

Sebagaimana daerah lain di Sumatra, beberapa cerita maupun legenda disusun dalam bentuk
hikayat. Hikayat yang terkenal di antaranya adalah Hikayat Malem Dagang yang berceritakan
tokoh heroik Malem Dagang berlatar penyerbuan Malaka oleh angkatan laut Aceh. Ada lagi
yang lain yaitu Hikayat Malem Diwa, Hikayat Banta Beuransah, Gajah Tujoh Ulee, Cham
Nadiman, Hikayat Pocut Muhammad, Hikayat Prang Gompeuni, Hikayat Habib Hadat, Kisah
Abdullah Hadat dan Hikayat Prang Sabi.

3. Karya Agama

Salah satu karya kesusateraan yang paling terkenal adalah Bustanus Salatin (Taman Para Sultan)
karya Syaikh Nuruddin Ar-Raniry disamping Tajus Salatin (1603), Sulalatus Salatin (1612), dan
Hikayat Aceh (1606-1636). Selain Ar-Raniry terdapat pula penyair Aceh yang agung yaitu
Hamzah Fansuri dengan karyanya antara lain Asrar al-Arifin (Rahasia Orang yang Bijaksana),
Syarab al-Asyikin (Minuman Segala Orang yang Berahi), Zinat al-Muwahhidin (Perhiasan
Sekalian Orang yang Mengesakan), Syair Si Burung Pingai, Syair Si Burung Pungguk, Syair
Sidang Fakir, Syair Dagang dan Syair Perahu.

10. Kerajaan Sungai Pagu (1500-Kini)

Kerajaan Sungai Pagu adalah sebuah kerajaan yang berdiri pada abad 16 di daerah Solok Selatan
sekarang. Lengkapnya nama kerajaan ini adalah Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu.

Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu berpusat di Pasir Talang (Solok Selatan) dan daerah
rantaunya yaitu Bandar Sepuluh. Kerajaan ini membentang dari Surian hingga rantau XII Koto
(Sangir).

31
Sekarang ini pemangku jabatan raja Kerajaan Sungai Pagu sedang vakum pasca wafatnya
almarhum Zulkarnain Daulat Yang Dipertuan Bagindo Sultan Besar Tuanku Rajo Disambah,
yang pernah mengadakan pertemuan dengan pemangku jabatan raja Kerajaan Pagaruyung yaitu
H. Sultan Muhammad Taufik Thaib, SH Daulat Yang Dipertuan Tuanku Mudo Mahkota Alam
Minangkabau.

11. Kerajaan Bungo Setangkai

Kerajaan Bungo Satangkai berdiri abad ke-5 sampai pertengahan abad ke-14. Setelah kerajaan
Pasumayan Koto Batu berakhir, Datu Katumanggungan dan Datu Perpatih Nan Sebatang yang
merupakan dua bersaudara se-ibu lain ayah mendirikan kerajaan baru.

Datu Katumanggungan mendirikan kerajaan Bungo Setangkai yang terletak di Sungai Tarab,
kabupaten Tanah Datar sekarang dan sebagai yang perdana menteri adalah Datu Bandaro Putiah.
Sedangkan Datu Perpatih Nan Sebatang mendirikan kerajaan Dusun Tuo di Lima Kaum..

Kerajaan Bungo Setangkai di Bawah pimpinan Dt.Katumanggungan tetap bertahan dengan


undang-undang lama semasa Pasumayan Koto Batu, yakni Undang si Mumbang Jatuh Berbeda
dengan Adiknya selaku pemimpin Kerajaan Dusun Koto Tuo, sempat dilakukan perubahan
Undang undang Si Mumbang jatuah menjadi Undang-undang Si Lamo-lamo. Dimana sesuatu
keputusan yang akan diambil terlebih dahulu diperhitungkan masak-masak, baik secara mudarat
atau memanfaatkannya. Hukuman yang telah dijatuhkan belum dapat langsung dilaksanakan,
tetapi harus diberi Tenggang Waktu lebih dahulu agar hukuman itu benar-benar menghukum
orang yang bersalah

12. Kesultanan Jambi(1615-Kini)

A) Sejarah

Kesultanan Jambi adalah sebuah kerajaan Melayu Islam yang pernah berdiri di provinsi Jambi,
Indonesia. Kesultanan ini sebelumnya bernama kerajaan Melayu Jambi yang didirikan oleh
Datuk Paduko Berhalo bersama istrinya, Putri Selaras Pinang Masak di Kota Jambi, pada tahun
1460. Dalam perkembangannya, pada tahun 1615 kerajaan ini resmi menjadi kesultanan setelah
Pangeran Kedah naik takhta dan menggunakan gelar Sultan Abdul Kahar. Kesultanan Jambi
resmi dibubarkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1906 dengan sultan terakhirnya
Sultan Thaha Syaifuddin.

B) Geografi

Jambi berkembang di wilayah cekungan Batang Hari, sungai terpanjang di Sumatra. Sungai ini,
dan anak-anak sungainya, seperti Batang Tembesi, Batang Tabir dan Batang Merangin,
merupakan tulang punggung wilayah tersebut. Sungai Tungkal yang berbatasan dengan Indragiri
memiliki cekungan tangkapan air sendiri. Sungai-sungai itu merupakan andalan transportasi
utama Jambi.

32
C) Kependudukan

Penduduk Jambi relatif jarang. Pada 1852 jumlah penduduk diperkirakan hanya sebanyak 60.000
jiwa, dan Jambi Timur nyaris tidak berpenghuni. Etnis Melayu Jambi berdiam dipinggiran sungai
Batang Hari dan Batang Tembesi. Orang Kubu menghuni hutan-hutan, sedangkan orang Batin
mendiami wilayah Jambi Hulu. Pendatang dari Minangkabau disebut sebagi orang Penghulu,
yang menyatakan tunduk pada orang-orang Batin.

D) Pemerintahan

Kesultanan Jambi dipimpin oleh raja yang bergelar sultan. Raja ini dipilih dari perwakilan empat
keluarga bangsawan (suku): suku Kraton, Kedipan, Perban dan Raja Empat Puluh. Selain
memilih raja keempat suku tersebut juga memilih pangeran ratu, yang mengendalikan jalan
pemerintahan sehari-hari.[butuh rujukan] Dalam menjalankan pemerintahan pangeran ratu
dibantu oleh para menteri dan dewan penasihat yang anggotanya berasal dari keluarga
bangsawan. Sultan berfungsi sebagai pemersatu dan mewakili negara bagi dunia luar.

Menurut R. Sahabuddin (1954) dalam buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi
(1978/1979), pemerintahan di pusat Kesultanan Jambi dipimpin oleh seorang sultan yang dibantu
oleh pangeran ratu (putra mahkota) yang memimpin Rapat Dua Belas. Rapat Dua Belas terdiri
atas dua bagian:

1. Kerapatan Patih Dalam (Dewan Menteri Dalam)


2. Kerapatan Patih Luar (Dewan Menteri Luar)

Masing-masing kerapatan terdiri dari 6 orang, 1 orang ketua dan 5 orang anggota.

Kerapatan Patih Dalam diketuai oleh Putra Mahkota yang bergelar Pangeran Ratu dengan para
anggota yang diberi gelar :

1. Pangeran Adipati
2. Pangeran Suryo Notokusumo
3. Pangeran Jayadiningrat
4. Pangeran Aryo Jayakusumo
5. Pangeran Notomenggolo atau Pangeran Werokusumo

Kerapatan Patih Dalam pada hakekatnya merupakan Majelis Kerajaan (Rijksraad) yang
berfungsi sebagai lembaga legislatif (DPR) pada masa sekarang.

13. Kesultanan Asahan(1630-Kini)

A)Sejarah

Perjalanan Sultan Aceh, Sultan Iskandar Muda, ke Johor dan Malaka tahun 1612 dapat dikatakan
sebagai awal dari sejarah Asahan. Dalam perjalanan tersebut, rombongan Sultan Iskandar Muda

33
beristirahat di kawasan sebuah hulu sungai yang kemudian dinamakan Asahan. Perjalanan
dilanjutkan ke sebuah "Tanjung" yang merupakan pertemuan antara Sungai Asahan dengan
Sungai Silau, kemudian bertemu dengan Raja Simargolang. Di tempat itu juga Sultan Iskandar
Muda mendirikan sebuah pelataran sebagai "Balai" untuk tempat menghadap, yang kemudian
berkembang menjadi perkampungan. Perkembangan daerah ini cukup pesat sebagai pusat
pertemuan perdagangan dari Aceh dan Malaka, sekarang ini dikenal dengan "Tanjung Balai".

B) Kehidupan Sosial Budaya

Bangunan baru Istana Kesultanan Asahan di Kota Tanjung Balai, sebagai pusat kegiatan
Kesultanan Asahan saat ini (secara resmi bernama Bangunan Bersejarah Kota Tanjung Balai).

Sebagai kesultanan yang berada dalam pengaruh kebudayaan Islam, maka di Asahan juga
berkembang kehidupan keagamaan yang cukup baik. Bahkan, ada seorang ulama terkenal yang
lahir dari Asahan, yaitu Syeikh Abdul Hamid. Ia lahir tahun 1880 (1298 H), dan wafat pada 18
Februari 1951 (10 Rabiul Awal 1370 H). Datuk, nenek dan ayahnya berasal dari Talu,
Minangkabau. Syekh Abdul Hamid belajar agama di Mekkah, karena itu, ia sangat disegani oleh
para ulama zaman itu.

14. Kesultanan Serdang(1723-Kini)

Kesultanan Serdang berdiri tahun 1723 dan bergabung dengan Republik Indonesia tahun 1945.
Kesultanan ini berpisah dari Deli dan menjadi subjek federal baru Negara Kedatukan Sunggal
setelah sengketa takhta kerajaan pada tahun 1720. Seperti kerajaan-kerajaan lain di Sumatra
Timur, Serdang menjadi makmur karena dibukanya perkebunan tembakau, karet, dan kelapa
sawit.

Serdang ditaklukkan tentara Hindia Belanda pada tahun 1865. Berdasarkan perjanjian yang
ditandatangani tahun 1907, Serdang mengakui kedaulatan Belanda, dan tidak berhak melakukan
hubungan luar negeri dengan negara lain. Dalam Revolusi Sosial Sumatra Timur tahun 1946,
Sultan Serdang saat itu menyerahkan kekuasaannya pada aparat Republik. Namun, berbeda
dengan yang terjadi di beberapa kesultanan Sumatra Timur, karena Sultan dan pejabat kesultanan
ketika itu merupakan pendukung Republik, maka tidak terjadi kerusuhan yang mengakibatkan
korban jiwa di Serdang, dan istana Kesultanan Serdang tidak menjadi sasaran penjarahan massa.

Institusi Kesultanan Serdang masih berdiri sampai sekarang, serta masih melestarikan adat
istiadatnya secara turun temurun, meski sudah tidak memiliki kekuasaan dalam politik dan
pemerintahan. Namun, dalam hal-hal tertentu, pemerintah juga mengambil keputusan bersama
dengan pihak kesultanan, khususnya mengenai masalah sosial dan kebudayaan. Bekas wilayah
Kesultanan Serdang kini menjadi Kabupaten Serdang Bedagai dan sebagian Kabupaten Deli
Serdang, Provinsi Sumatra Utara.

15. Kesultanan Deli(1632-Kini)

A) Awal Mula

34
Kesultanan Deli adalah sebuah kesultanan Melayu yang didirikan pada tahun 1632 oleh Tuanku
Panglima Gocah Pahlawan di wilayah bernama Tanah Deli dan merupakan salah satu dari 4
subjek federal dari Negara Kedatukan Sunggal (kini Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang,
Indonesia). Kesultanan Deli masih tetap eksis hingga kini meski tidak lagi mempunyai kekuatan
politik setelah berakhirnya Perang Dunia II dan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia.

B) Sistem Pemerintahan

Berlainan dengan Kerajaan-Kerajaan Melayu di Sumatra Timur lainnya, pemerintahan


Kesultanan Deli merupakan bagian dari federasi Kedatukan Sunggal, dengan sistem federasi
yang longgar sesuai dengan pepatah yang terdapat di Deli "Raja Datang, Orang Besar Menanti".
Tuanku Panglima Gocah Pahlawan sebagai Raja Pertama di Tanah Deli yang ditunjuk oleh
Sultan Aceh sebagai wakilnya di Sumatra Timur atau Tanah Deli. Kemudian penunjukan Raja
berikutnya dilakukan oleh Datuk Sunggal.

16. Kesultanan Langkat(1568-Kini)

A) Sejarah

Kesultanan Langkat merupakan monarki yang berusia paling tua di antara monarki-monarki
Melayu di Sumatra Timur.

Pada tahun 1568, di wilayah yang kini disebut Hamparan Perak, salah seorang petinggi Kerajaan
Aru yang bernama Dewa Shahdan berhasil menyelamatkan diri dari serangan Kesultanan Aceh
dan mendirikan sebuah kerajaan. Kerajaan inilah yang menjadi cikal-bakal Kesultanan Langkat
modern.

Nama Langkat berasal dari nama sebuah pohon yang menyerupai pohon langsat. Pohon langkat
memiliki buah yang lebih besar dari buah langsat namun lebih kecil dari buah duku. Rasanya
pahit dan kelat. Pohon ini dahulu banyak dijumpai di tepian Sungai Langkat, yakni di hilir
Sungai Batang Serangan yang mengaliri kota Tanjung Pura. Hanya saja, pohon itu kini sudah
punah.

B) Daftar Penguasa

Berikut adalah raja-raja Kesultanan Langkat:

1. 1568-1580: Panglima Dewa Shahdan


2. 1580-1612: Panglima Dewa Sakti, anak raja sebelumnya
3. 1612-1673: Raja Kahar bin Panglima Dewa Sakdi, anak raja sebelumnya
4. 1673-1750: Bendahara Raja Badiuzzaman bin Raja Kahar, anak raja sebelumnya
5. 1750-1818: Raja Kejuruan Hitam (Tuah Hitam) bin Bendahara Raja Badiuzzaman, anak
raja sebelumnya
6. 1818-1840: Raja Ahmad bin Raja Indra Bungsu, keponakan raja sebelumnya

35
7. 1840-1893: Tuanku Sultan Haji Musa al-Khalid al-Mahadiah Muazzam Shah (Tengku
Ngah) bin Raja Ahmad, anak raja sebelumnya
8. 1893-1927: Tuanku Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmad Shah bin Sultan Haji Musa,
anak raja sebelumnya
9. 1927-1948: Tuanku Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmad Shah bin Sultan Abdul Aziz,
anak raja sebelumnya
10. 1948-1990: Tengku Atha'ar bin Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmad Shah, anak raja
sebelumnya, sebagai pemimpin keluarga kerajaan
11. 1990-1999: Tengku Mustafa Kamal Pasha bin Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmad Shah,
saudara raja sebelumnya
12. 1999-2001: Tengku Dr. Herman Shah bin Tengku Kamil, cucu Sultan Abdul Aziz Abdul
Jalil Rahmad Shah
13. 2001-2003: Tuanku Sultan Iskandar Hilali Abdul Jalil Rahmad Shah al-Haj bin Tengku
Murad Aziz, cucu Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmad Shah, gelar Sultan dipakai
kembali
14. 2003-Sekarang: Tuanku Sultan Azwar Abdul Jalil Rahmad Shah al-Haj bin Tengku
Maimun, cucu Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmad Shah.

17. Kesultanan Siak Sri Inderapura (1723-Kini)


A) Sejarah
Kesultanan Siak Sri Inderapura adalah sebuah Kerajaan Melayu Islam yang pernah berdiri di
Kabupaten Siak, Provinsi Riau, Indonesia. Kesultanan ini didirikan di Buantan oleh Raja Kecil
yang berasal dari Johor bergelar Sultan Abdul Jalil pada tahun 1723, setelah sebelumnya terlibat
dalam perebutan tahta Johor. Dalam perkembangannya, Kesultanan Siak muncul sebagai sebuah
kerajaan bahari yang kuat dan menjadi kekuatan yang diperhitungkan di pesisir timur Sumatra
dan Semenanjung Malaya di tengah tekanan imperialisme Eropa. Jangkauan terjauh pengaruh
kerajaan ini sampai ke Sambas di Kalimantan Barat, sekaligus mengendalikan jalur pelayaran
antara Sumatra dan Kalimantan. Pasang surut kerajaan ini tidak lepas dari persaingan dalam
memperebutkan penguasaan jalur perdagangan di Selat Malaka. Setelah Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia, Sultan Siak terakhir, Sultan Syarif Kasim II menyatakan kerajaannya
bergabung dengan Republik Indonesia.
B) Etimologi
Kata Siak Sri Inderapura, secara harfiah dapat bermakna pusat kota raja yang taat beragama,
dalam bahasa Sanskerta, sri berarti "bercahaya" dan indera atau indra dapat bermakna raja.
Sedangkan pura dapat bermaksud dengan "kota" atau "kerajaan". Siak dalam anggapan
masyarakat Melayu berkaitan erat dengan agama Islam, Orang Siak ialah orang-orang yang ahli
agama Islam; seseorang yang hidupnya tekun beragama dapat dikatakan sebagai Orang Siak.
18. Kesultanan Palembang(1455-Kini)
A) Definisi

36
Kesultanan Palembang Darussalam adalah suatu kerajaan Melayu Islam di Sumatra yang
berpusat di Kota Palembang, Sumatra Selatan sekarang. Kesultanan ini diproklamirkan oleh Sri
Sultan Susuhunan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayyidul Imam, seorang bangsawan
Palembang pada tahun 1659, dan dihapuskan keberadaannya oleh pemerintah kolonial Belanda
pada 7 Oktober 1823.
Malthe Conrad Bruun (1755-1826) seorang petualang dan ahli geografi dari Prancis
mendeskripsikan keadaan masyarakat dan kota kerajaan waktu itu, yang telah dihuni oleh
masyarakat yang heterogen terdiri dari Tiongkok, Siam, Melayu dan Jawa serta juga disebutkan
bangunan yang telah dibuat dengan batu bata hanya sebuah vihara dan istana kerajaan.
B) Kekuasaan
Kesultanan yang pernah berkuasa dari tahun 1659 - 7 Oktober 1823 ini merupakan Kesultanan
terbesar di Sumatera Bahagian Selatan. Daerah Kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam
ini sekarang mencakup Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Bengkulu (dulu Bangka Hulu),
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Provinsi Jambi dan Provinsi Lampung. Diluar Sumatera,
Kasultanan ini juga menjalin hubungan diplomatik dengan Kesultanan Banten, Kesultanan
Demak dan Kerajaan Blambangan di Banyuwangi. Sedangkan dalam Kesultanan Kubu,
Kesultanan Palembang Darussalam menikah dengan Yang dipertuan Besar Kubu I, Sayyid Idrus
melakukan pernikahan dengan putri Sultan Mahmud Badaruddin I Jaya Wikrama. Dalam
Tarsilah Kesultanan Brunei Darussalam, disebutkan bahwa Tumenggung Mancanegara
(Pangeran Manchu Negoro) yang merupakan kakek dari Sultan Abdurrahman, pendiri kesultanan
Palembang Darussalam adalah isteri dari Sultan Brunei, Sultan Abdul Jalilul Akbar, dengan
masa periode pemerintahan 1598-1659
C) Ekonomi
Situasi di Palembang mengalami naik turun setelah kejatuhan Kerajaan Palembang Pada masa
Pangeran Sedo Ing Rejek Jamaluddin Mangkurat VI (1652 - 1659). Palembang muncul kembali
dalam wujud Kesultanan Palembang dan kondisi perkenomiannya yang kembali bangkit pada
abad ke-16 berkat pengiriman hasil panen lada oleh petani lada dari Minang ke pasar Palembang
melalui sungai Musi. Hal itu berhasil menarik perhatian pembeli lada dari Cina, Portugis,
Belanda dan Inggris.
19. Kesultanan Riau Lingga(1824-1911)
A) Sejarah
Kesultanan Lingga atau Kesultanan Riau-Lingga adalah salah satu kerajaan Melayu Islam yang
didirikan di Pulau Lingga. Kesultanan ini dibentuk pada tahun 1824 dari pecahan wilayah
Kesultanan Johor Riau atas perjanjian yang disetujui oleh Britania Raya dan Hindia Belanda.
Pendirinya adalah Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah. Wilayah Kesultanan Lingga mencakup
provinsi Kepulauan Riau. Pusat pemerintahan Kesultanan Lingga awalnya berada di Tanjung
Pinang, tetapi kemudian dipindahkan ke Pulau Lingga. Kesultanan Lingga berakhir pada tanggal
3 Februari 1911 dan dikuasai Hindia Belanda. Kesultanan ini berperan dalam pengembangan

37
Bahasa Melayu Riau sebagai bahasa standar yang kemudian ditetapkan sebagai Bahasa
Indonesia.
B) Pemerintahan
Pemerintahan di Kesultanan Lingga dibagi antara sultan, yang dipertuan muda, dan ulama.
Sultan memerintah dalam bidang militer, politik, ekonomi, dan perdagangan. Pusat
pemerintahannya berada di Pulau Lingga. Sultan yang dipilih berasal dari para bangsawan
Melayu. Yang dipertuan muda bertugas sebagai penasehat sultan. Pusat pemerintahannya berada
di Pulau Penyengat. Jabatan yang dipertuan muda diberikan kepada bangsawan Bugis. Peran
ulama di Kesultanan Lingga adalah sebagai penasehat Yang Dipertuan Muda dalam bidang
rihlah ilmiah.
C) Sultan-Sultan
1. Sultan Abdurrahman (1819-1832)
Sultan Abdurrahaman adalah sultan pertama dari Kesultanan Lingga. Ia adalah putra dari Sultan
Mahmud Syah III yang berkuasa di Kesultanan Johor Riau. Setelah ayahnya wafat,
kesultanannya dibagi menjadi dua, yaitu Kesultanan Johor Singapura dan Kesultanan Lingga.
Pembagian wilayahnya ditentukan oleh Britania Raya dan Hindia Belanda dalam Traktat London
yang ditetapkan pada tahun 1824. Wilayah Kesultanan Johor Singapura mencakup Johor,
Singapura, Pahang, dan Terengganu. Sedangkan wilayah Kesultanan Lingga mencakup Pulau
Lingga, Pulau Singkep dan Riau.
2. Sultan Muhammad Syah (1832-1841)
Sultan Muhammad Syah menggantikan ayahnya yaitu Sultan Abdurrahman yang wafat pada 12
Rabiul Awal 1284 H (1832 M). Ayahnya dimakamkan di Bukit Cengkil Daik. Nama asli dari
Sultan Muhammad Syah adalah Tengku Besar. Sultan Muhammad Syah wafat pada tahun 1841
dan dimakamkan di Bukit Cengkeh. Sebelum wafat, ia telah menunjuk putranya yang bernama
Tengku Mahmud sebagai pewaris.
3. Sultan Mahmud Muzafar Syah (1841-1857)
Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Muzafar Syah, Kesultanan Lingga menjadi salah satu
kerajaan yang memiliki pengaruh besar bagi Suku Melayu Riau. Kekuasaannya diberhentikan
oleh Gubernur Jenderal Belanda pada tanggal 23 September 1857.[18]
4. Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah (1857-1883)
Pengganti Sultan Mahmud Muzafar Syah adalah pamannya yang bernama Tengku Sulaiman.
Gelarnya adalah Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah. Pelantikannya sebagai sultan diadakan
pada tanggal 10 Oktober 1857. Ia memerintah hingga wafat pada tanggal 17 September 1883.
Pemakamannya berada di Bukit Cengkeh.
5. Sultan Abdurrahman Muazam Syah (1883-1913).

38
20. Kesultanan Kota Pinang(1630-1946)
21. Kesultanan Pelalawan(1725-1946)
22. Kerajaan Indragiri(1347-1945)
23. Kerajaan Aru(1200-1613)
24. Kesultanan Barus(1300-1858)
25. Kerajaan Padang(1630-1946)
26. Kerajaan Tamiang(1330-1558)
27. Kerajaan Tulang Bawang
28. Kerajaan Padang Laweh, Dharmasraya (1213-1901)
29. Kerajaan Sekala Brak(1289-1909)
30. Kerajaan Sidabutar

E. Bukti dan Peninggalan Adanya Kerajaan Islam yang Pernah


Berkuasa di Sumatera
1. Kerajaan Samudera Pasai
Pernah mendengar istilah Samudera Pasai? Kalau membaca perihal pengetahuan awal mula
Islam masuk ke Indonesia, pastinya tidak asing dengan Samudera Pasai yang merupakan salah
satu kerajaan di wilayah Aceh.
Kerajaan ini memiliki sejarah peninggalan yang sudah sangat terkenal di kalangan masyarakat.
Terjadi kisaran tahun 1267-1524, Samudera Pasai dianggap sebagai salah satu kerajaan Islam
tertua di Indonesia.
Dahulu kerajaan ini tergolong kerajaan yang sukses. Sebagai pusat perdagangan, meski dulunya
adalah dua kerajaan, tidak heran jika kemudian disatukan oleh pedagang skuat Indonesia yang
beragama Islam.
Pada masa kerajaan Samudera Pasai ada banyak sekali peninggalannya. Salah satu peninggalan
yang paling terkenal berupa;
a) Makam Sultan Malik Al-Saleh.
b) Deureuham (Koin emas dirham Samudera Pasai)
c) Lonceng Cakra Donya
d) Hikayat para Raja Pasai

39
2. Kerajaan Aceh Darussalam
Wilayah yang satu ini dikenal dengan kekuasaannya yang merebut Samudera Pasai. Siapa
sangka? ternyata kerajaan ini lebih dulu ada dibanding Samudera Pasai.
Uniknya, kerajaan yang satu ini.memang dipimpin oleh seorang Sultan. Namun, lebih tepatnya
diambil alih oleh hulubalang (sebutan untuk orang kaya). Namun, karena sistem
kepemimpinannya berlawanan jalur, ia pun ditumpas oleh Alaidin Riayat.
Kerajaan ini sempat meraih masa kejayaannya saat diperintah oleh Sultan Iskandar Muda.
Betapa suksesnya masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda di masa itu, ia berhasil merebut
wilayah Pahang yang dikenal akan kekayaan Timah.
Beliau juga menyerang Portugis guna memperluas pengaruh kesultanan Aceh. Sementara itu,
terkait peninggalannya berupa;
A) Masjid Baiturrahman
B) Uang Emas Kerajaan Aceh
C) Taman Sari Gunongan
D) Makam Iskandar Muda

BAB III
Penutupan
A. Kesimpulan
Sumatera (terutama Sumatera Utara) merupakan wilayah pertama masuknya Islam ke
Nusantara. Pendapat mengenai bukti tertulis masuknya Islam di Sumatera, ditemukan
sekitar abad ke-10 Masehi, yaitu makam seorang wanita bernama Tuhar Amisuri di
Barus. Catatan lain menyebutkan, makam bertulisan Siti Tuhar Amisuri di Barus
ditemukan pada abad ke-13.

Peninggalan tersebut merupakan salah satu peninggalan Islam tertua di Sumatera


sekaligus sebagai bukti bahwa di Barus pada abad tersebut sudah ada orang yang
beragama Islam. Siti Tuhar atau Tuhar Amisuri tersebut adalah salah seorang keturunan
yang berasal dari Arab.

Pada abad ke-7, Barus kian tersohor hingga ke Eropa dan Timur Tengah karena
menghasilkan kapur barus dan rempah-rempah. Masuknya Islam ke Nusantara diyakini
melalui jalur perdagangan Barus ini. Jalur perdagangan ini dikenal sebagai jalur rempah
karena para pedagang memiliki misi mencari rempah-rempah.

40
B. Ucapan Terima Kasih
Alhamdulillahi robbil ‘aalamiin. Dengan sampainya kita pada laman penutupan makalah ini,
maka selesai pula penyampaian hasil riset kelompok kami, mengenai topik “Kerajaan-Kerajaan
Islam di Sumatra” dan berbagai hal tentangnya.

Dalam proses perampungan projek makalah ini, tak ada satupun hal yang luput dari campur
tangan berbagai pihak yang telah terlibat secara langsung maupun tidak langsung. Maka dari itu,
kami nyatakan rasa syukur dan terima kasih kami, yang pertama pada Allah swt. yang telah
menurunkan segala nikmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.
Setelah itu, tak lupa kami haturkan rasa terima kasih kami, pada bapak dan ibu guru yang telah
membimbing dan mendidik kami hingga dapat mengetahui mengenai apa yang sebelumnya tidak
kami ketahui. Lalu yang terakhir, kami ucapkan pula banyak terima kasih, pada teman-teman
sekalian yang telah mendukung dan menolong kami secara langsung maupun tidak langsung.

Sebagai manusia biasa yang tak pernah luput dari kesalahan, kami menyadari bahwa masih
terdapat beberapa kekurangan dari makalah ini. Maka dari itu, segala macam saran dan kritik
dari anda sekalian, akan kami jadikan masukan agar dapat menjadi lebih baik lagi untuk
kedepannya.

Diharapkan melalui makalah ini, teman-teman sekalian dapat mengambil manfaat dan hikmah
yang ada demi kebaikan diri masing-masing.

Sekian dari kelompok kami, wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

41

Anda mungkin juga menyukai