Anda di halaman 1dari 20

1.

PENGERTIAN MORFOLOGI DAN TIPOLOGI KOTA

a. Morfologi

Morfologi merupakan suatu cabang linguistik yang mempelajari tentang


susunan kata atau pembentukan kata. Secara etimologis istilah morfologi berasal dari
bahasa Yunani, yaitu berasal dari gabungan kata morphe yang berarti ‘bentuk’, dan
logos yang artinya ‘ilmu’. Chaer (2008: 3) berpendapat bahwa morfologi merupakan
ilmu mengenai bentuk-bentuk dan pembentukannya.

Morfologi terdiri dari dua suku kata, yaitu morf yang berarti bentuk dan
logos yang berarti ilmu. Secara sederhana Morfologi Kota berarti ilmu yang
mempelajari produk-produk bentuk fisik kota secara logis. Morfologi merupakan
pendekatan dalam memahami bentuk logis sebuah Kota sebagai produk perubahan
sosial-spatial. Disebabkan karena setiap karakteristik sosial-spatial. Sedangkan arti
luasnya adalah morfologi kota merupakan ilmu terapan yang mempelajari tentang
sejarah terbentuknya pola ruang suatu kota dan mempelajari tentang perkembangan
suatu kota mulai awal terbentuknya kota tersebut hingga munculnya daerah-daerah
hasil ekspansi kota tersebut.

b. Tipologi
Tipologi adalah ilmu yang mempelajari tentang pengelompokan
berdasarkan tipe atau jenis. Tipologi merupakan satu bidang studi yang
mengelompokkan objek dengan ciri khas struktur formal yang sama dan kesamaan
sifat dasar kedalam jenis-jenis tertentu dengan cara memilah elemen-elemen yang
mempengaruhi jenis tersebut. Selain itu Tipologi juga dapat diartikan sebagai sebuah
tindakan berpikir dalam rangka pengelompokan, yaitu kelompok dari obyek yang
dicirikan dari struktur formal yang sama, sehingga tipologi dikatakan sebagai studi
tentang pengelompokan objek sebagai model melalui kesaman struktur.
Tiga tahapan yang harus dijalani untuk menentukan satu tipologi, yaitu:
1. Menentukan bentuk-bentuk dasar yang ada dalam setiap obyek arsitektural.
2. Menentukan sifat-sifat dasar yang dimiliki oleh setiap objek arsitektural
berdasarkan bentuk dasar yang ada dan melekat pada obyek tersebut.
3. Membantu kepentingan proses mendesain (membantu terciptanya produk
baru).
Menurutnya analisa tipologi dibagi menjadi 3 fase yaitu:
1. Dengan cara menggali dan menilik sejarah untuk mengetahui ide awal dari
suatu komposisi,
2. Dengan cara mengetahui dan memahami fungsi dari suatu objek,
3. Dengan cara menganalisa dan mencari bentuk sederhana dari suatu bangunan
melalui pencarian bangun dasar beserta sifat dasarnya.

2. EKSPRESI KERUANGAN MORFOLOGI KOTA


Bentuk Ekspresi Morfologi Kota terbagi menjadi dua bentuk yaitu, bentuk
kota kompak dan bentuk kota tidak kompak.
1. Bentuk Kota Kompak
a. Bentuk Bujur Sangkar (The Square Cities)

Menunjukkan suatu bentukan kota yang rasional dan murni logika. Bujur
sangkar merupakan bentuk yang netral dan tidak mempunyai arah. Kota berbentuk
ini umumnya tumbuh di sepanjang jalur transportasi dan mempunyai kesempatan
perluasan yang relatif seimbang ke segala arah. Kota berbentuk bujur sangkar
umumnya tidak memiliki penghambat pembangunan dari segi fisik yang berarti,
karena jika ia mempunyai kendala fisik, maka bentuknya tidak akan bujur sangkar.
Keberadaan jalur transportasi pada ujung-ujung kota ini kerap memicu
pertumbuhan kota ke jalur-jalur yang bersangkutan. Contohnya Kota Herat,
Afghanistan. Herāt adalah sebuah provinsi yang terletak di Afganistan barat, dan
beribu kota di kota Herat. Kota Herat terletak di lembah Hari Rud, juga merupakan
kota tua dengan banyak bangunan bersejarah, walaupun beberapa telah rusak karena
berbagai konflik militer, contohnya Perang Soviet-Afganistan dan Perang Saudara
Afganistan.
b. Bentuk Persegi Panjang (The Rectanguler Cities)

Melihat bentuknya orang dapat melihat bahwa dimensi memanjang sedikit


lebih besar daripada dimensi melebar. Hal ini dimungkinkan karena adanya
hambatan fisik maupun terhadap perkembangan areal kota pada salah satu sisinya.
Pada umumnya bentuk ini memiliki kemiripan dengan pola ribbon, hanya saja
terdapat constraint pembangunan yang membuatnya berbentuk seperti persegi
panjang. Bentuk ini mempunyai space atau lahan kosong yang cukup besar dan luas
guna pengembangan wilayah. Biasanya daerah yang menggunakan bentuk ini adalah
daerah yang bertopografi perairan, hutan, gurun pasir, dan berlereng.

c. Bentuk Kipas (Fan Shaped Cities)

Bentuk semacam ini sebenarnya merupakan bentuk sebagian lingkaran.


Bentuk ini biasanya digunakan untuk bentuk lahan aluvial atau pesisir. Dalam hal
ini, ke arah luar lingkaran kota yang bersangkutan mempunyai kesempatan
berkembang yang relatif seimbang. Oleh sebab-sebab tertentu pada bagian-bagian
lainnya terdapat beberapa hambatan perkembangan areal kekotaannya yang
diklasifikasikan menjadi 2, yaitu :
1. Hambatan-hambatan alami (natural constraints), misalnya: perairan,
pegunungan.
2. Hambatan-hambatan artificial (artificial constraints): saluran buatan, zoning,
ring roads.

Batas terluar dari pada kotanya di tandai dengan “green belt zoning” atau
“growth limitation” dengan “ring roads”. Dengan demikian terciptalah bentuk bulat
arcificial.

d. Bentuk Bulat (Rounded Cities)

Bentuk ini adalah bentuk yang paling ideal untuk kota, karena mempunyai
kelebihan yaitu perkembangannya ke segala penjuru arah dan juga seimbang. Kota-
kota seperti ini kerap ditemukan pada masa lalu yang mana pertumbuhan kota sangat
dikontrol oleh keberadaan posisi pertahanan dan kebijakan raja/tuan tanah yang
berkuasa. Dalam bentuk ini, bisa dilakukan peraturan/perencanaan yaitu:
1. Jika lambat, dapat dipacu dengan Planned Unit Development
2. Jika terlalu cepat dapat dihentikan
3. Batas luar, green belt zoning/growth limitation

e. Bentuk Pita (Ribbon Shaped Cities)


Memiliki bentuk yang mirip dengan “rectangular city” namun karena
dimensi memanjangnya jauh lebih besar dari pada dimensi melebar. Maka bentuk
ini menempati klasifikasi tersendiri dan menggambarkan bentuk pita. Dalam hal jelas
terlihat adanya peranan jalur memanjang (jalur transportasi) yang sangat dominan
mempengaruhi perkembangan areal kekotanya, serta terhambatnya areal perluasan
ke samping. Sepanjang lembah pegunungan, sepanjang jalur transportasi darat utama
adalah bagian-bagian yang memungkinkan terciptanya bentuk seperti ini. “Space”
untuk perkembangan areal kekotaannya hanya mungkin memanjang saja.
f. Bentuk Gurita atau bintang (Octopus/Star Shape)

Bentuk ini terdapat beberapa jalur transportasi yang dominan,


terdapat juga daerah hinterland, selain itu pada tepi pinggirannya tidak ada kendala
fisik yang berarti. Hinterland adalah tanah atau kabupaten di belakang batas-batas
suatu pantai atau sungai. Secara khusus, dengan doktrin pedalaman, kata tersebut
diterapkan pada daerah pedalaman berbaring di belakang port, diklaim oleh negara
yang memiliki pantai. Daerah dari produk mana yang dikirim ke pelabuhan untuk
pengiriman di tempat lain adalah pedalaman yang pelabuhan. Merupakan bentuk
kota yang jalur transportasinya mirip dengan ribbon city, namun pada bentukan ini,
jalur transportasi tidak hanya satu arah, tetapi memiliki berbagai arah, oleh karena
itu ia disebut bentukan gurita/bintang.

2. Bentuk Kota Tidak Kompak


a. Terpecah (Fragment Cities)
Bentuk awalnya adalah bentuk kompak namun dalam skala yang kecil dan
akhirnya saling menyatu dan membentuk kota yang besar. Bentuk ini berkembang,
namun perluasan areal kota tidak langsung menyatu dengan kota induk (membentuk
enclaves) pada daerah-daerah pertanian di disekitarnya. Pada negara berkembang,
enclaves merupakan permukiman-permukiman yang berubah dari sifat pedesaan
menjadi perkotaan.

b. Berantai (Chained Cities)

Bentuk ini terpecah namun hanya terjadi di sepanjang rute tertentu. Jarak
antara kota induk dan kenampakan-kenampakan kota baru tidak terlalu jauh, maka
beberapa bagian membentuk kesatuan fungsional yang sama (khususnya dibidang
ekonomi). Bentuk ini juga bisa disebut Ribbon City dengan skala yang besar. Kota
ini berbentuk seperti mata rantai yang dibentangkan dan direkatkan oleh suatu
penghubung. Umumnya penghubung ini merupakan jalur transportasi, oleh karena
itu, faktor pengontrol utama kota berantai ini adalah jalur transportasi dan juga faktor
fisik area tersebut.

c. Terbelah (Split Cities)


Bentuk ini menggambarkan bentuk kota yang kompak namun sektor terbelah
oleh perairan yang lebar. Kota tersebut terdiri dari dua bagian terpisah yang
dihubungkan oleh jembatan-jembatan ataupun terowongan. Pada perpotongan ini
biasanya dihubingkan oleh kapal/jembatan. Contoh kota yang menerapkan bentuk ini
adalah kota Buda (barat) dan Pest (timur) di sungai Danube, sehingga dikenal sebagai
kota Budapest.

d. Satelit (Stellar Cities)

Bentuk kota ini biasanya didukung oleh teknologi transportasi yang maju dan
juga komunikasi yang maju. Karena modernisasi maka terciptalah megapolitan kota
besar, yang dikelilingi oleh kota satelit. Biasanya bentukan seperti ini terdapat pada
kota besar yang dikelilingi oleh kota-kota atau pemukiman yang kecil. Karena
interaksi yang sangat intens, lama kelamaan, kota-kota satelit akan melebur dan
menyatu ke dalam kota besar tersebut. Dalam hal ini terjadi gejala penggabungan
antara kota besar utama dengan kota-kota satelit di sekitarnya, sehingga kenampakan
morfologi kotanya mirip “telapak katak pohon”.

3. ELEMEN CITRA KOTA


Citra kota merupakan kesan fisik yang memberikan ciri khas kepada suatu
kota. Dalam pengembangan suatu kota, citra kota berperan sebagai pembentuk
identitas kota, dan sebagai penambah daya tarik kota. Oleh karena itu, citra kota yang
jelas dan kuat akan memperkuat identitas dan wajah kota sehingga membuat kota
tersebut menarik dan memiliki daya tarik. Citra kota pada umumnya dipengaruhi oleh
aspek fisik kota tersebut. Dalam bukunya Image of The City, Kevin Lynch
mengungkapkan ada 5 elemen pembentuk image kota secara fisik, yaitu : path (jalur),
edge (tepian), distric (kawasan), nodes (simpul), dan landmark (penanda). Kelima
elemen ini dirasa dapat mewakili cita rasa dari suatu kawasan dan memberikan citra
yang kuat terhadap kota.

1. Elemen Path (jalur)

Path adalah jalur-jalur dimana pengamat biasanya bergerak dan melaluinya.


Path dapat berupa jalan raya, trotoar, jalur transit, canal, jalur kereta api. Path (Jalur)
secara mudah dapat dikenali karena merupakan koridor linier yang dapat dirasakan
oleh manusia pada saat berjalan mengamati kota. Struktur ini bisa berupa gang-gang
utama, jalan transit, jalan mobil/ kendaraan, pedestrian, sungai, atau rel kereta api.
Untuk kebanyakan orang, jalan adalah elemen kota yang paling mudah dikenali,
karena semua manusia menikmati kota pada saat dia berjalan. Jadi didalam elemen
ini mengandung pengertian jalur transportasi linier yang dapat dirasakan manusia.

2. Elemen Edge (tepian)

Edges adalah elemen linear yang tidak digunakan atau dipertimbangkan


sebagai path oleh pengamat. Edges adalah batas-batas antara dua wilayah, selasela
linier dalam kontinuitas: pantai, potongan jalur kereta api, tepian bangunan, dinding.
Fungsi dari elemen ini adalah untuk memberikan batasan terhadap suatu area kota
dalam menjaga privasi dan identitas kawasan.

3. Elemen District (kawasan)

District merupakan kawasan-kawasan kota dalam skala dua dimensi. Sebuah


kawasan/District memiliki ciri khas yang mirip (baik dalam hal bentuk, pola, dan
wujudnya), dan khas pula dalam batasnya, dimana orang merasa harus mengakhiri
atau memulainya. District dalam kota dapat dilihat sebagai referensi Interior maupun
Eksterior. District mempunyai identitas yang lebih baik jika batasnya dibentuk
dengan jelas tampilannya dan dapat dilihat homogen, serta fungsi dan posisinya jelas
(introver/ekstrover atau berdiri sendiri atau dikaitkan dengan yang lain).

Merupakan suatu bagian kota mempunyai karakter atau aktivitas khusus


yang dapat dikenali oleh pengamatnya. District memiliki bentuk pola dan wujud
yang khas begitu juga pada batas district sehingga orang tahu akhir atau awal
kawasan tersebut. District memiliki ciri dan karakteristik kawasan yang berbeda
dengan kawasan disekitarnya. District juga mempunyai identitas yang lebih baik jika
batasnya dibentuk dengan jelas tampilannya dan dapat dilihat homogen, serta fungsi
dan komposisinya jelas. Contoh: kawasan perdagangan, kawasan permukiman,
daerah pinggiran kota, daerah pusat kota.
4. Elemen Nodes (simpul)

Nodes adalah titik-titik, spot-spot strategis dalam sebuah kota dimana


pengamat bisa masuk, dan yang merupakan fokus untuk ke dan dari mana dia
berjalan. Nodes bisa merupakan persimpangan jalan, tempat break (berhenti sejenak)
dari jalur, persilangan atau pertemuan path, ruang terbuka atau titik perbedaan dari
suatu bangunan ke bangunan lain.
Nodes merupakan simpul atau lingkaran daerah strategis dimana arah atau
aktivitasnya saling bertemu dan dapat diubah ke arah atau aktivitasnya lain, misalnya
persimpangan lalu lintas, stasiun, lapangan terbang, jembatan, kota secara
keseluruhan dalam skala makro besar, pasar, taman, square, dan sebagainya. Tidak
setiap persimpangan jalan adalah sebuah nodes, yang menentukan adalah citra place
terhadapnya. Nodes adalah satu tempat dimana orang mempunyai perasaan ‘masuk’
dan ’keluar’ dalam tempat yang sama. Nodes mempunyai identitas yang lebih baik
jika tempatnya memiliki bentuk yang jelas (karena lebih mudah diingat), serta
tampilan berbeda dari lingkungannya (fungsi, bentuk).
5. Elemen Landmark (penanda)

Landmark adalah titik-acuan dimana si pengamat tidak memasukinya,


mereka adalah di luar. Landmark biasanya merupakan benda fisik yang didefinisikan
dengan sederhana seperti: bangunan, tanda, toko, atau pegunungan. Beberapa
landmark adalah landmark-landmark jauh, dapat terlihat dari banyak sudut dan jarak,
atas puncak-puncak dari elemen yang lebih kecil, dan digunakan sebagai acuan
orintasi. Landmark adalah elemen eksternal dan merupakan bentuk visual yang
menonjol dari kota

4. PERKEMBANGAN MORFOLOGI DAN TIPOLOGI KABUPATEN


PIDIE SEBAGAI PROSES
Morfologi
Pidie merupakan salah satu Kawasan yang berproses. Secara morfologi
wilayah Pidie terbagi dalam tiga bagian yaitu : dataran rendah atau pesisir, daerah
perbukitan, dan daerah pegunungan. Pemanfaatan lahan juga untuk berbagai kegiatan
pemukiman, pertanian, perkebunan, perdagangan dan jasa serta perkantoran.
Berkurangnya luas lahan yang sebelumnya sebagai sarana pertanian/sawah,
disebabkan oleh karena pembangunan perkantoran pemerintah dan perumahan.

Pola Perkembangan Kabupaten Pidie

Kabupaten pidie awalnya merupakan kawasan kerajaan yang semakin hari


semakin berkembang. Tentunya hal tersebut kabupaten pidie melalui proses
perkembangan. Kerajaan pidie pada awalnya merupakan kerajaan otonom dibawah
Kerajaan Aceh. Pidie berkembang menjanjadi kabupaten Pidie Jaya, ibu kota
Meuredu. Kabupaten ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2007 pada tanggal 2 Januari 2007, merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten
Pidie. Namun, pada awalnya Negeri Meureudu sudah terbentuk dan diakui sejak
zaman Kerajaan Aceh. Ketika Sultan Iskandar Muda berkuasa (1607-1636)
Meureudu semakin diistimewakan. Menjadi daerah bebas dari aturan kerajaan.
Hanya satu kewajiban Meureudu saat itu, menyediakan persediaan logistik (beras)
untuk kebutuhan kerajaan Aceh.
Kutipan undang-undang Kerajaan Aceh itu, mensahihkan tentang
keberadaan Negeri Meureudu sebagai daerah kepercayaan sultan untuk
melaksanakan segala perintah dan titahnya dalam segala aspek kehidupan politik,
ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan Kerajaan Aceh Darussalam.
Karena kemampuan tersebut, Meureudu pernah dicalonkan sebagai ibu kota
kerajaan. Caranya, dengan menimbang air Krueng Meureudu dengan air Krueng
Aceh. Hasilnya air Krueng Meureudu lebih bagus. Namun konspirasi elit politik di
Kerajaan Aceh mengganti air tersebut. Hasilnya ibu kota Kejaan Aceh tetap berada
di daerah Banda Aceh sekarang (seputar aliran Krueng Aceh).

Peranan Negeri Meureudu yang sangat strategis dalam percaturan politik


pemerintahan Kerajaan Aceh. Ketika Sultan Iskandar Muda hendak melakukan
penyerangan (ekspansi) ke Semenanjung Melayu (Malaysia-red). Ia
mengangkat Malem Dagang dari Negeri Meureudu sebagai panglima perang, serta
Teungku Ja Pakeh-juga putra Meureudu-sebagai penasehat perang, mendampingi
Panglima Malem Dagang.

Negeri Meureudu negeri yang langsung berada di bawah Kesultanan Aceh


dengan status nanggroe bibeueh (negeri bebas-red). Di mana penduduk negeri
Meureudu dibebaskan dari segala beban dan kewajiban terhadap kerajaan. Negeri
Meureudu hanya punya satu kewajiban istimewa terhadap Kerajaan Aceh, yakni
menyediakan bahan makanan pokok (beras-red), karena Negeri Meureudu
merupakan lumbung beras utama kerajaan.

Keistimewaan Negeri Meureudu terus berlangsung sampai Sultan Iskandar


Muda diganti olehSultan Iskandar Tsani. Pada tahun 1640, Iskandar Tsani
mengangkat Teuku Chik Meureudu sebagai penguasa definitif yang ditunjuk oleh
kerajaan. Ia merupakan putra sulung dari Meurah Ali Husein, yang bermana Meurah
Johan Mahmud, yang digelar Teuku Pahlawan Raja Negeri Meureudu.

Sejak Meurah Johan Mahmud hingga kedatangan kolonial Belanda, negeri


Meureudu telah diperintah oleh sembilan Teuku Chik, dan selama penjajahan
Belanda, Landschap Meureudu telah diperintah oleh tiga orang Teuku Chik
(Zelfbeestuurders).Kemudian pada zaman penjajahan Belanda, Negeri Meureudu
diubah satus menjadi Kewedanan (Orderafdeeling) yang diperintah oleh seorang
Controlleur. Selama zaman penjajahan Belanda, Kewedanan Meureudu telah
diperintah oleh empat belas orang Controlleur, yang wilayah kekuasaannya meliputi
dari Ulee Glee sampai ke Panteraja.

Sesudah melewati zaman penjajahan, sejak tahun 1967, Meureudu berubah


menjadi Pusat Kawedanan sekaligus pusat kecamatan. Selama Meureudu berstatus
sebagai kawedanan, telah diperintah oleh tujuh orang Wedana. Pada tahun 1967,
Kewedanan Meureudu dipecah menjadi empat kecamatan yaitu Ulee Glee, Ulim,
Meureudu dan Trienggadeng Penteraja, yang masing-masing langsung berada di
bawah kontrol Pemerintah Daerah Kabupaten Pidie. Dengan demikian, daerah
Meureudu menjadi Kabupaten Pidie Jaya, dengan Meureudu sebagai ibu kotanya
yang merupakan pemekaran dari Kawasan Pidie.

5. PERKEMBANGAN MORFOLOGI DAN TIPOLOGI LHOKSEMAWE


SEBAGAI PRODUK

Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan Kota Lhokseumawe dari tahun 1992 sampai dengan


tahun 2012 cukup signifikan, yaitu dari 22,1 % menjadi 26,29 %. Peningkatan lahan
terbangun ini hamper semua jenis penggunaan lahan, namun peningkatan yang cukup
signifikan adalah pada jenis penggunaan lahan perumahan/pemukiman, jaringan
jalan, dan sektor perekonomian. Penyebaran penggunaan tanah hingga tahun 2012 di
seluruh Desa/Kelurahan dalam Kecamatan Banda Sakti telah terjadi perubahan
penggunaan ;ahan. Dimana sampai dengan tahun 2002, di Kecamatan Banda Sakti
yang luasnya sekitar 1.124 Ha, telah terbangun sekitar 792 Ha (70,46 %), dan sekitar
29,54 % merupakan lahan yang belum terbangun, yang terdistribusi pada jenis lahan:
tegalan/kebun (7,21%); lading/huma (3,47 %) padang rumput (5,87 %),dan ; lahan
yang belum/tidak digarap/lain-lainnya (12,00 %). Dengan perubahan penggunaan
lahan ini maka lahan terbuka hijau sudah menjadi berkurang.
Faktor Perkembangan Fisik Kota Lhokseumawe

1. Faktor Internal Pertambahan penduduk Kota Lhokseumawe (Kecamatan Banda


Sakti) dari tahun 1992 Sampai dengan tahun 2002 mengalami pertambahan
sebesar 6.284 jiwa, sedangkan trend kenaikan rata-rata sebesar 0,53%. Trend
kenaikan peretambahan rata-rata sebesar 0,77% ini, bila dibandingkan dengan
rata-rata laju penduduk Kota/Kabupaten sekitarnya, maka laju pertumbuhan
penduduk Kota Lhokseumawe tergolong relatif tinggi. Jika dihubungkan dengan
pemekaran Kota Lhokseumawe dengan statusnya saat ini sebagai ibukota
Pemerintah Kota Lhokseumawe dan Ibukota Kabupaten Aceh Utara serta sebagai
pusat kegiatan sosial, kegiatan ekonomi dan transportasi baik lokan dan regional.

2. Faktor Eksternal Perkembangan Kota Lhokseumawe seperti yang telah di


sebutkan sebelumnya bahwa perkembangannya sangat dipengaruhi oleh kota-kota
besar di sekitarnya yaitu Kota Bireuen, Takengon, Dan Lhoksukon. Pengaruh
kota-kota tersebut akan sangat berdampak terhadap perkembangan Kota
Lhokseumawe, hal ini dapat dilihat dari tumbuhnya kawasan terbangun di jalan
Pase dan jalan Merdeka Barat dan jalan Merdeka Timur yang merupakan jalan
utama keluar masuk Kota Lhokseumawe dari berbagai arah di luar Kota
Lhokseumawe. Perkembangan fisik untuk kota sampai dengan tahun 2002 ini
terlihat laha terbangun untuk Kecamatan Banda Sakti cenderung mengikuti jalan
Pase dan jalan Merdeka Barat dan Merdeka Timur, sehingga banyak lahan lahan
yang dibelakangnya masih kosong yang dikarenakan ketiadaan infrastruktur
khususnya jalan. Kondisi ini mengakibatkan suasana tidak kondusif bagi proses
rekonsiliasi maupun proses pembangunan fisik di berbagai daerah kurang
berjalan. Namun demikian, pelaksanaan pembanguna Kota Lhokseumawe
sebagaimana yang telah direncanakan dapat berjalan hamper sesuai dengan apa
yang telah di programkan oleh Pemerintah Daerah sebelumnya walaupun sedikit
lambat dalam penyelesaiannya sebagai akibat dari pengaruh konflik aceh.

Mekanisme Perkembangan Fisik Kota Lhokseumawe

Secara teoritis dikenal tiga cara pembangunan dasar di dalam kota sebagai
istilah teknis, yaitu perkembangan horizontal, perkembangan vertical dan
perkembangan interstisial. dari tiga cara perkembangan ini yang paling tepat terjadi
untuk Kota Lhokseumawe adalah perkembangan horizontal. Pemekaran fisik Kota
Lhokseumawe terjadi disebabkan oleh adanya pertumbuha penduduk, selanjutnya
akan membutuhkan wadah dalam melaksanakan aktivitas serta interaksi antar
penduduk dalam beraktivitas. Berdasarkan keadaan seperti ini akibatnya dibutuhkan
lahan-lahan baru untuk pemekaran fisik kota baik sebagai tempat pemukiman
maupun tempat aktivitas dalam bekerja maupun lainnya. Pada oemekaran fisik kota,
tentu ada sebab terhadap pemilihan suatu lokasi. Untuk Kota Lhokseumawe, mulai
tahu 1992-2002 mekanisme perkembangannya terjadi karena dilatarbelakangi
adanya jalan ataupun aksebilitas yang baik, hal ini ditandai dengan tumbuhnya
perumahan –perumahan atau rumah-rumah yang dibangun secara individu. Akibat
perumahan ini timbul fasilitas seperti wilayah kecamatan Banda Sakti dan
Kecamatan Muara Dua, Kecamatan Muara Satu dan kecamatan Blang Mangat.
Dengan adanya kawasan perumahan ini timbul rumah-rumah yang dibangun secara
individu padahal sebelumnya tidak dibangun karena masih sepi keadaan lingkungan,
sedangkan tanah sudah lama dimiliki bahkan sebagian besar tanah warisan, karena
tanah ini dulunya masuh sawah. Daya tarik lainnya adalah banyaknya tanah yang
telah di kapling-kapling di sekitar perumahan yang siap dijual oleh developer
maupun perorangan dan kesamaan profesi dari para penghuni merupakan daya tarik
tersendiri baginpemilihan lokasi perumahan atau tempat rumah dibangun. Oleh
karena itu, dapat disimpulkan bahwa mekanisme perkembangan fisik Kota
Lhokseumawe pada tahun 1992-2012 mulanya terjadi pembangunanyang disebabkan
oleh faktor aksebilitas atau dekat dengan jalan kolektor. Kemudian akibat
terdapatnya kawasan baru ini berdampak pula terhadap perdagangan skala local yaitu
dengan tumbuhnya took-toko disekitar kawasan perumahan tersebut. Selanjutnya
dengan adanya kawasan yang tumbuh ini maka timbul juga rumah-rumah baru di
sekeliling kawasan. Dengan adanya kawasan ini sebagai pelayanan kepada
masyarakat kota maka dibangunnya fasilitas pendidikan dan jaringan air minum.
Perkembangan kota yang terjadi di Kota Lhokseumawe cenderung untuk tahun 1992-
2002 adalah pengisian ruang-ruang kota karena masa sebelum dekade ini
perkembangan perkembangan kota cenderung mengikuti pola jalan tetapi
perkembangan laha terbangun lahan tidak padat, sehingga untuk 1992-2002
perkembangannya mengisi ruang-ruang kosong kota. Biarpun demikian ada
beberapa kawasan perkembangannya cenderung melompat (leap frog development)
keluar batas administrasi kota yaitu pembangunan perumahan Alu Lim di Desa Alu
Lim Kecamatan Kuta Makmur Kabupaten Aceh Utara, Yang akibatnya
perkembangan lahan terbangun akibat dari pembangunan perumahan juga melompat.
Dengan adanyan pembanguna perumahan yang bukan leap frog development
pemanfaatan bagian dalam kota yang belum terbangun, telah terisi sedikit demi
sedikit sehingga nantinya diharapkan bentuk kota lebih kompak. Persebaran
Perkembangan Fisik Kota Perkembangan fisik kota dapat di

Persebaran Perkembangan Fisik Kota

Perkembangan fisik kota dapat dilihat dari bentuk pertumbuhan wilayah


terbangun yang dapat dianalisissecara sektoral dan spasial. Perkembangan lahan
terbangun (fasilitas umum dan utilitas lainnya) dari tahun 1992 sampai dengan tahun
2002, di Kecamatan Banda Sakti persentasenya lebih besar dibandingkan dengan
Kecamatan Muara Dua dan Kecamatan Blang Mangat. Sementara itu, peningkatan
kepadatan penduduk di Kecamatan Blang Mangat lebih tinggi dari Kecamatan Banda
Sakti dan Kecamatan Muara Dua. Daya tarik dari penduduk untuk bermukim dari
daerah ini, salah satu karena letaknya denga lokasi pekerjaan relatif dekat, antara lain
dekat dengan rumah sakit, perguruan tinggi (Politeknik Negeri Lhokseumawe), dan
perkantoran pemerintah. Untuk tahun 1997-2002, secara keseluruhan di kecamatan
Banda Sakti mengalami perkembangan yang signifikan. Perkembangan lahan
terbangun ke kecamatan ini terjadi karena masih adanya lahan yang tersedia dan
tuntutan perkembangan Kota Lhokseumawe. Pada tahun 1992 dari delapan belas
desa/kelurahan yang ada dalam Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe,
pertumbuhan wilayah terbangun didominasi pada pusat kota dan sekitarnya yaitu
pada desa/kelurahan MonGeudong, Kutablang, Keude Aceh, dan Simpang Empat.
Dimana pada keempat desa/kelurahan tersebut rata-rata lahan terbangun dari tahun
1992 s/d 2012 adalah lebih dari 10 ha. Hal ini menunjukkan bahwa pada desa Keude
Aceh dan Mon Geudong penambahan lahan rawa menjadi kawasan pusat olahraga
(Stadion Tunas Bangsa Lhokseumawe) dan beberapa gedung perkantoran di
sekitarnya. Sementara itu, di Kelurahan Simpang Empat peningkatan lahan
terbangun didominasi oleh pembangunan Islamic Center dan Kantor Walikota
Lhokseumawe serta kantor Dinas/Badan lainnya. Sedangkan di Kelurahan Kutablang
peningkatan lahan terbangun dalam kurun waktu tersebut adalah adanya
pembangunan terminal bis antar kota dan/atau antar provinsi.

6. TIPOLOGI DAN MORFOLOGI (STUDI KASUS FLYOVER SIMPANG


SURABAYA)

Salah satu implikasi dari pertumbuhan Kota Banda Aceh adalah


perkembangan kawasan komersial di koridor jalan Simpang Surabaya dalam dekade
terakhir ini. Kawasan tersebut mengalami percepatan perubahan menuju tatanan
komersial setelah dilanda bencana tsunami pada tahun 2004. Perubahan ini juga telah
meluas hingga beberapa blok di sekitarnya yang dirancang dengan atraktif mengikuti
tuntutan aspek komersial yang semakin meningkat.
Flyover atau bisa disebut Jalan layang adalah jalan yang dibangun tidak
sebidang melayang menghindari daerah/kawasan yang selalu menghadapi
permasalahan kemacetan lalu lintas, melewati persilangan kereta api untuk
meningkatkan keselamatan lalu lintas dan efisiensi. Jalan layang merupakan
perlengkapan jalan bebas hambatan untuk mengatasi hambatan karena konflik di
persimpangan, melalui kawasan kumuh yang sulit ataupun melalui kawasan
rawarawa (Wikipedia Indonesia). Total Panjang Pembangunan Fly Over Simpang
Surabaya 881 M, lebar 16,5 M dan jarak antar kolom berkisar antara 25 M.
Pembangunan fly over dilaksanakan sejak 21 desember 2015 dan selesai pada 25
oktober 2018.
Pembangunan Fly Over di simpang Surabaya merupakan salah satu
pembangunan untuk kebutuhan umum dan kepentingan publik. Dengan tingkat
kepemilikan kendaraan yang tinggi di Kota Banda Aceh membuat simpang Surabaya
menjadi salah satu titik dengan tingkat kemacetan tinggi jika diperhitungkan
berdasarkan rentang waktu lampu merah dibandingkan kuantitas kendaraan yang
melalui persimpangan ini.
a. Analisa Tipomorfologi
1. Landmark
Landmark pada kawasan ini adalah keberadaan flyover yang baru dibangun
ini. Flyover disini sudah menjadi penunjuk atau penanda bahwa pengguna alan sudah
berada di kawasan Lueng Bata.

Gambar 6.1. Flyover sebagai landmark


2. Edge
Edges adalah batas-batas antara dua wilayah, sela-sela linier dalam
kontinuitas. Edges yang menjadi linear yang berkelanjutan atau kontiniu pada
sepanjang flyover simpang Surabaya di Lueng Bata adalah jajaran ruko-ruko (rumah
toko).

Gambar 6.2. Keberadaan ruko di sepanjang jalan

3. Path
Path adalah jalur-jalur dimana pengamat biasanya bergerak dan melaluinya.
Path pada flyover dan simpang Surabaya adalah sebagai berikut:
Gambar 6.3. Jalur di kawasan flyover Banda Aceh

4. District
Districts merupakan wilayah yang memiliki kesamaan (homogen).
Kesamaan tadi bisa berupa kesamaan karakter/ciri bangunan secara fisik, fungsi
wilayah, latar belakang sejarah dan sebagainya. Pada simpang Surabaya, kesamaan
disini adalah flyover terletak di Lueng Bata dan sepanjang jalan dibawah flyover
berjajar ruko-ruko.

Gambar 6.4. Daerah atau zona yang termasuk kedalam kawasan

5. Nodes
Nodes atau simpul adalah persimpangan yang menjadi pusat keramaian.
Pada kawasan perkotaan di Lueng Bata ini, simpang empat yang berada dibawah
flyover adalah nodes pada simpang Surabaya ini.
Gambar 6.5. Simpang Surabaya sebagai nodes kawasan

b. Analisa bentuk kawasan Lueng Bata


Kawasan ini berkembang setelah terjadinya perombakan besarbesaran
akibat bencana tsuami. Kawasan yang awalnya hanya sebagai permukiman
masyarakat ini mulai berkembang menjadi perkotaan. Dalam peta tersebut dapat
dianalisa bahwa morfologi dilihat dari bentuk kota, kawasan Lueng Bata khususnya
di kawasan flyover memiliki bentuk koya yang kompak-tidak berpola. Dapat
dikatakan kompak-tidak berpola karena memiliki pola ruang yang padat dan kompak,
namun jalannya tidak membentuk sudatu pola sehingga dikatakan tidak berpola atau
acak. Faktorfaktor yang mempengaruhi perubahan bentuk kota Lueng Bata adalah
faktor geografis, transportasi, sosial, ekonomi dan regulasi.

c. Analisa Morfologi Secara Struktural


1) Bangunan-Bangunan Pada bangunan-bangunan menjelaskan mengenai fungsi
bangunan atau disebut dengan peruntukan bangunan, serta menjelaskan mengenai
hubungan antar bangunan. Fungsi atau peruntukan bangunan di lokasi studi
penelitian terdiri dari perdagangan dan jasa, fasilitas umum, perumahan dan
industri.

2) Kapling atau kadaster Kapling atau kadaster merupakan elemen morfologi yang
paling lama bertahan. Kebanyakan kapling yang berada pada lokasi penelitian,
khususnya yang berada pada pusat kota berupa kapling tunggal yang terletak
sebagai deretan atau sebagai koridor-koridor pada jalan-jalan besar dipusat kota.
Blok kota yang ada di lokasi penelitian meliputi blok untuk perumahan, blok
perdagangan dan jasa, serta blok fasilitas umum.
3) Pola Jalan Pola Jaringan Jalan Pola transportasinya adalah konsentris radial
dengan sistem lingkar dalam dengan pola grid. Ditinjau dari fungsi pelayanannya,
jaringan jalan Kota Banda Aceh di bedakan atas dua sistem utama yaitu sistem
primer dan sekunder. Sistem primer merupakan penghubung antara fungsi primer
di Kota Banda Aceh sedangkan sistem sekunder merupakan penghubung fungsi
sekunder dalam Kota Banda Aceh.

d. Analisa Morfologi secara Fungsional


Pembahasan mengenai morfologi kota secara fungsional lebih
memperhatikan hubungan sebuah tempat sebagai suatu generator kota (penggerak
kota). Pada lokasi ini terdapat hubungan yang terjadi yaitu hubungan yang dibentuk
oleh deretan bangunan dan keberadaan flyover yang membentuk ruang terbuka.
Fungsi kawasan secara garis besar adalah sebagai kawasan perdagangan yang
merupakan suatu penggerak yang memajukan kawasan.

e. Analisa Morfologi secara Visual


Karakteristik secara visual dapat dilihat secara langsung pada sebuah tempat
yang salah satunya dibentuk sebagai sebuah ruang. Jika memiliki ciri khas dan
suasana yang menggambarkan adanya suatu kawasan. Jika dilihat secara visual
karakteristik yang ada pada kawasan tersebut seringkali didominasi dengan adanya
bentukan fisik yang sejenis yaitu ruko-ruko pada sepanjang pinggiran jalan.

Anda mungkin juga menyukai