a. Morfologi
Morfologi terdiri dari dua suku kata, yaitu morf yang berarti bentuk dan
logos yang berarti ilmu. Secara sederhana Morfologi Kota berarti ilmu yang
mempelajari produk-produk bentuk fisik kota secara logis. Morfologi merupakan
pendekatan dalam memahami bentuk logis sebuah Kota sebagai produk perubahan
sosial-spatial. Disebabkan karena setiap karakteristik sosial-spatial. Sedangkan arti
luasnya adalah morfologi kota merupakan ilmu terapan yang mempelajari tentang
sejarah terbentuknya pola ruang suatu kota dan mempelajari tentang perkembangan
suatu kota mulai awal terbentuknya kota tersebut hingga munculnya daerah-daerah
hasil ekspansi kota tersebut.
b. Tipologi
Tipologi adalah ilmu yang mempelajari tentang pengelompokan
berdasarkan tipe atau jenis. Tipologi merupakan satu bidang studi yang
mengelompokkan objek dengan ciri khas struktur formal yang sama dan kesamaan
sifat dasar kedalam jenis-jenis tertentu dengan cara memilah elemen-elemen yang
mempengaruhi jenis tersebut. Selain itu Tipologi juga dapat diartikan sebagai sebuah
tindakan berpikir dalam rangka pengelompokan, yaitu kelompok dari obyek yang
dicirikan dari struktur formal yang sama, sehingga tipologi dikatakan sebagai studi
tentang pengelompokan objek sebagai model melalui kesaman struktur.
Tiga tahapan yang harus dijalani untuk menentukan satu tipologi, yaitu:
1. Menentukan bentuk-bentuk dasar yang ada dalam setiap obyek arsitektural.
2. Menentukan sifat-sifat dasar yang dimiliki oleh setiap objek arsitektural
berdasarkan bentuk dasar yang ada dan melekat pada obyek tersebut.
3. Membantu kepentingan proses mendesain (membantu terciptanya produk
baru).
Menurutnya analisa tipologi dibagi menjadi 3 fase yaitu:
1. Dengan cara menggali dan menilik sejarah untuk mengetahui ide awal dari
suatu komposisi,
2. Dengan cara mengetahui dan memahami fungsi dari suatu objek,
3. Dengan cara menganalisa dan mencari bentuk sederhana dari suatu bangunan
melalui pencarian bangun dasar beserta sifat dasarnya.
Menunjukkan suatu bentukan kota yang rasional dan murni logika. Bujur
sangkar merupakan bentuk yang netral dan tidak mempunyai arah. Kota berbentuk
ini umumnya tumbuh di sepanjang jalur transportasi dan mempunyai kesempatan
perluasan yang relatif seimbang ke segala arah. Kota berbentuk bujur sangkar
umumnya tidak memiliki penghambat pembangunan dari segi fisik yang berarti,
karena jika ia mempunyai kendala fisik, maka bentuknya tidak akan bujur sangkar.
Keberadaan jalur transportasi pada ujung-ujung kota ini kerap memicu
pertumbuhan kota ke jalur-jalur yang bersangkutan. Contohnya Kota Herat,
Afghanistan. Herāt adalah sebuah provinsi yang terletak di Afganistan barat, dan
beribu kota di kota Herat. Kota Herat terletak di lembah Hari Rud, juga merupakan
kota tua dengan banyak bangunan bersejarah, walaupun beberapa telah rusak karena
berbagai konflik militer, contohnya Perang Soviet-Afganistan dan Perang Saudara
Afganistan.
b. Bentuk Persegi Panjang (The Rectanguler Cities)
Batas terluar dari pada kotanya di tandai dengan “green belt zoning” atau
“growth limitation” dengan “ring roads”. Dengan demikian terciptalah bentuk bulat
arcificial.
Bentuk ini adalah bentuk yang paling ideal untuk kota, karena mempunyai
kelebihan yaitu perkembangannya ke segala penjuru arah dan juga seimbang. Kota-
kota seperti ini kerap ditemukan pada masa lalu yang mana pertumbuhan kota sangat
dikontrol oleh keberadaan posisi pertahanan dan kebijakan raja/tuan tanah yang
berkuasa. Dalam bentuk ini, bisa dilakukan peraturan/perencanaan yaitu:
1. Jika lambat, dapat dipacu dengan Planned Unit Development
2. Jika terlalu cepat dapat dihentikan
3. Batas luar, green belt zoning/growth limitation
Bentuk ini terpecah namun hanya terjadi di sepanjang rute tertentu. Jarak
antara kota induk dan kenampakan-kenampakan kota baru tidak terlalu jauh, maka
beberapa bagian membentuk kesatuan fungsional yang sama (khususnya dibidang
ekonomi). Bentuk ini juga bisa disebut Ribbon City dengan skala yang besar. Kota
ini berbentuk seperti mata rantai yang dibentangkan dan direkatkan oleh suatu
penghubung. Umumnya penghubung ini merupakan jalur transportasi, oleh karena
itu, faktor pengontrol utama kota berantai ini adalah jalur transportasi dan juga faktor
fisik area tersebut.
Bentuk kota ini biasanya didukung oleh teknologi transportasi yang maju dan
juga komunikasi yang maju. Karena modernisasi maka terciptalah megapolitan kota
besar, yang dikelilingi oleh kota satelit. Biasanya bentukan seperti ini terdapat pada
kota besar yang dikelilingi oleh kota-kota atau pemukiman yang kecil. Karena
interaksi yang sangat intens, lama kelamaan, kota-kota satelit akan melebur dan
menyatu ke dalam kota besar tersebut. Dalam hal ini terjadi gejala penggabungan
antara kota besar utama dengan kota-kota satelit di sekitarnya, sehingga kenampakan
morfologi kotanya mirip “telapak katak pohon”.
Penggunaan Lahan
Secara teoritis dikenal tiga cara pembangunan dasar di dalam kota sebagai
istilah teknis, yaitu perkembangan horizontal, perkembangan vertical dan
perkembangan interstisial. dari tiga cara perkembangan ini yang paling tepat terjadi
untuk Kota Lhokseumawe adalah perkembangan horizontal. Pemekaran fisik Kota
Lhokseumawe terjadi disebabkan oleh adanya pertumbuha penduduk, selanjutnya
akan membutuhkan wadah dalam melaksanakan aktivitas serta interaksi antar
penduduk dalam beraktivitas. Berdasarkan keadaan seperti ini akibatnya dibutuhkan
lahan-lahan baru untuk pemekaran fisik kota baik sebagai tempat pemukiman
maupun tempat aktivitas dalam bekerja maupun lainnya. Pada oemekaran fisik kota,
tentu ada sebab terhadap pemilihan suatu lokasi. Untuk Kota Lhokseumawe, mulai
tahu 1992-2002 mekanisme perkembangannya terjadi karena dilatarbelakangi
adanya jalan ataupun aksebilitas yang baik, hal ini ditandai dengan tumbuhnya
perumahan –perumahan atau rumah-rumah yang dibangun secara individu. Akibat
perumahan ini timbul fasilitas seperti wilayah kecamatan Banda Sakti dan
Kecamatan Muara Dua, Kecamatan Muara Satu dan kecamatan Blang Mangat.
Dengan adanya kawasan perumahan ini timbul rumah-rumah yang dibangun secara
individu padahal sebelumnya tidak dibangun karena masih sepi keadaan lingkungan,
sedangkan tanah sudah lama dimiliki bahkan sebagian besar tanah warisan, karena
tanah ini dulunya masuh sawah. Daya tarik lainnya adalah banyaknya tanah yang
telah di kapling-kapling di sekitar perumahan yang siap dijual oleh developer
maupun perorangan dan kesamaan profesi dari para penghuni merupakan daya tarik
tersendiri baginpemilihan lokasi perumahan atau tempat rumah dibangun. Oleh
karena itu, dapat disimpulkan bahwa mekanisme perkembangan fisik Kota
Lhokseumawe pada tahun 1992-2012 mulanya terjadi pembangunanyang disebabkan
oleh faktor aksebilitas atau dekat dengan jalan kolektor. Kemudian akibat
terdapatnya kawasan baru ini berdampak pula terhadap perdagangan skala local yaitu
dengan tumbuhnya took-toko disekitar kawasan perumahan tersebut. Selanjutnya
dengan adanya kawasan yang tumbuh ini maka timbul juga rumah-rumah baru di
sekeliling kawasan. Dengan adanya kawasan ini sebagai pelayanan kepada
masyarakat kota maka dibangunnya fasilitas pendidikan dan jaringan air minum.
Perkembangan kota yang terjadi di Kota Lhokseumawe cenderung untuk tahun 1992-
2002 adalah pengisian ruang-ruang kota karena masa sebelum dekade ini
perkembangan perkembangan kota cenderung mengikuti pola jalan tetapi
perkembangan laha terbangun lahan tidak padat, sehingga untuk 1992-2002
perkembangannya mengisi ruang-ruang kosong kota. Biarpun demikian ada
beberapa kawasan perkembangannya cenderung melompat (leap frog development)
keluar batas administrasi kota yaitu pembangunan perumahan Alu Lim di Desa Alu
Lim Kecamatan Kuta Makmur Kabupaten Aceh Utara, Yang akibatnya
perkembangan lahan terbangun akibat dari pembangunan perumahan juga melompat.
Dengan adanyan pembanguna perumahan yang bukan leap frog development
pemanfaatan bagian dalam kota yang belum terbangun, telah terisi sedikit demi
sedikit sehingga nantinya diharapkan bentuk kota lebih kompak. Persebaran
Perkembangan Fisik Kota Perkembangan fisik kota dapat di
3. Path
Path adalah jalur-jalur dimana pengamat biasanya bergerak dan melaluinya.
Path pada flyover dan simpang Surabaya adalah sebagai berikut:
Gambar 6.3. Jalur di kawasan flyover Banda Aceh
4. District
Districts merupakan wilayah yang memiliki kesamaan (homogen).
Kesamaan tadi bisa berupa kesamaan karakter/ciri bangunan secara fisik, fungsi
wilayah, latar belakang sejarah dan sebagainya. Pada simpang Surabaya, kesamaan
disini adalah flyover terletak di Lueng Bata dan sepanjang jalan dibawah flyover
berjajar ruko-ruko.
5. Nodes
Nodes atau simpul adalah persimpangan yang menjadi pusat keramaian.
Pada kawasan perkotaan di Lueng Bata ini, simpang empat yang berada dibawah
flyover adalah nodes pada simpang Surabaya ini.
Gambar 6.5. Simpang Surabaya sebagai nodes kawasan
2) Kapling atau kadaster Kapling atau kadaster merupakan elemen morfologi yang
paling lama bertahan. Kebanyakan kapling yang berada pada lokasi penelitian,
khususnya yang berada pada pusat kota berupa kapling tunggal yang terletak
sebagai deretan atau sebagai koridor-koridor pada jalan-jalan besar dipusat kota.
Blok kota yang ada di lokasi penelitian meliputi blok untuk perumahan, blok
perdagangan dan jasa, serta blok fasilitas umum.
3) Pola Jalan Pola Jaringan Jalan Pola transportasinya adalah konsentris radial
dengan sistem lingkar dalam dengan pola grid. Ditinjau dari fungsi pelayanannya,
jaringan jalan Kota Banda Aceh di bedakan atas dua sistem utama yaitu sistem
primer dan sekunder. Sistem primer merupakan penghubung antara fungsi primer
di Kota Banda Aceh sedangkan sistem sekunder merupakan penghubung fungsi
sekunder dalam Kota Banda Aceh.