Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

AL – JARH DAN AL – TA’DIL

DISUSUN
O
L
E
H
Amirullah / 10120210092

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AAGAMA ISLAM
UNIVESITAAS MUSLIM INDONESIA
KATA PENGANANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt. yang telah
memberikan kekuatan dan keteguhan hati kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini.
Sholawat beserta salam semoga senantiasa tercurah limpahan kepada nabi Muhammad saw.
yang menjadi tauladan para umat manusia yang merindukan keindahan syurga.

Kami menulis makalah ini bertujuan untuk mempelajari dan mengetahui ilmu tentang Al
JARH WA TA'DIL yang bertujuan untuk memenuhi tugas, Dalam penyelesaian makalah ini,
penulis banyak mengalami kesulitan, terutama disebabkan kurangnya ilmu pengtahuan. Dan
minimnya refren yang ada. Kami menyadari, sebagai seorang pelajar yang pengetahuannya
tidak seberapa yang masih perlu belajar dalam penulisan makalah, bahwa makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan.

Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang positif demi terciptanya
makalah yang lebih baik lagi, serta berdayaguna di masa yang akan datang. Besar harapan,
mudah-mudahan makalah yang sangat sederhana ini dapat bermanfaat dan maslahat bagi
semua orang.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………I

DAFTAR ISI……………………………………………………………………..II

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang………………………………………………………………........1

B. Rumusan masalah……………………………………………………………....2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Perkembangan Jarh dan Ta’dil ……………………….1

1. Pengertian………………………………………………………………………................2

2. Dasar dan Tujuan………………………………………………………………............3

3. Perkembangan jarh dan Ta’dil…………………………………………………....4

B. Kontroversi antara Jarh dan Ta’diL…………………………………………...5

C. Kitab-Kitab Rijal al-Hadis……………………………………………………….......6

D. Contoh Sanad Hadis dilihat dari segi jarh dan Ta’dil ……………...7

BAB III PENUTUP

A.Kesimpulan……………………………………………………………………..........1
DAFTAR PUSTAKA

BAB 1
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

2.Umat Islam memiliki dua


landasan utama yaitu Al-
Quran dan Hadits
3.(Sunnah) sebagai pedoman
hidup di dunia. Al-Qur’an
yang notaben kalam Allah,
4.telah dijamin kemurnian
dan keabsahannya. yakni
Al-Qur’an shahi likulli
zamanin
5.wamakan karena Al-qur’an
diturunkan secara
mutawatir. Sedangkan
Sunnah atau
6.sabda Rasul tidak semuanya
berpredikat mutawatir,
sehingga tidak semua hadis
bisa
7.diterima, karena belum tentu
setiap hadis itu berasal dari
Rasulullah. Oleh karenanya
8.muncullah ilmu yang
berkaitan dengan hadis
atau biasa disebut dengan
istilah
9.‘Ulumul Hadits. Dari
berbagai macam cabang ilmu
yang berkaitan dengan hadis,
ada
10. satu ilmu yang
membahas tentang keadaan
perawi dari segi celaan
dan pujian,
11. yaitu Ilmu Al-Jarh wa
Al-Ta’dil. Dari ilmu inilah
kita bisa mengetahui
komentar-
12. komentar para kritikus
hadis tentang keadaan
setiap perawi, apakah
diterima
13. (maqbul) atau ditolak
(mardud) sehingga nantinya
bisa ditentukan status dan
derajat
14. hadis yang diteliti oleh
perawi tersebu
15. Umat Islam memiliki
dua landasan utama yaitu
Al-Quran dan Hadits
16. (Sunnah) sebagai
pedoman hidup di dunia.
Al-Qur’an yang notaben
kalam Allah,
17. telah dijamin kemurnian
dan keabsahannya. yakni
Al-Qur’an shahi likulli
zamanin
18. wamakan karena Al-
qur’an diturunkan secara
mutawatir. Sedangkan
Sunnah atau
19. sabda Rasul tidak
semuanya berpredikat
mutawatir, sehingga tidak
semua hadis bisa
20. diterima, karena belum
tentu setiap hadis itu berasal
dari Rasulullah. Oleh
karenanya
21. muncullah ilmu yang
berkaitan dengan hadis
atau biasa disebut dengan
istilah
22. ‘Ulumul Hadits. Dari
berbagai macam cabang ilmu
yang berkaitan dengan hadis,
ada
23. satu ilmu yang
membahas tentang keadaan
perawi dari segi celaan
dan pujian,
24. yaitu Ilmu Al-Jarh wa
Al-Ta’dil. Dari ilmu inilah
kita bisa mengetahui
komentar-
25. komentar para kritikus
hadis tentang keadaan
setiap perawi, apakah
diterima
26. (maqbul) atau ditolak
(mardud) sehingga nantinya
bisa ditentukan status dan
derajat
27. hadis yang diteliti oleh
perawi tersebu
28. Umat Islam memiliki
dua landasan utama yaitu
Al-Quran dan Hadits
29. (Sunnah) sebagai
pedoman hidup di dunia.
Al-Qur’an yang notaben
kalam Allah,
30. telah dijamin kemurnian
dan keabsahannya. yakni
Al-Qur’an shahi likulli
zamanin
31. wamakan karena Al-
qur’an diturunkan secara
mutawatir. Sedangkan
Sunnah atau
32. sabda Rasul tidak
semuanya berpredikat
mutawatir, sehingga tidak
semua hadis bisa
33. diterima, karena belum
tentu setiap hadis itu berasal
dari Rasulullah. Oleh
karenanya
34. muncullah ilmu yang
berkaitan dengan hadis
atau biasa disebut dengan
istilah
35. ‘Ulumul Hadits. Dari
berbagai macam cabang ilmu
yang berkaitan dengan hadis,
ada
36. satu ilmu yang
membahas tentang keadaan
perawi dari segi celaan
dan pujian,
37. yaitu Ilmu Al-Jarh wa
Al-Ta’dil. Dari ilmu inilah
kita bisa mengetahui
komentar-
38. komentar para kritikus
hadis tentang keadaan
setiap perawi, apakah
diterima
39. (maqbul) atau ditolak
(mardud) sehingga nantinya
bisa ditentukan status dan
derajat
40. hadis yang diteliti oleh
perawi tersebu
41. Umat Islam memiliki
dua landasan utama yaitu
Al-Quran dan Hadits
42. (Sunnah) sebagai
pedoman hidup di dunia.
Al-Qur’an yang notaben
kalam Allah,
43. telah dijamin kemurnian
dan keabsahannya. yakni
Al-Qur’an shahi likulli
zamanin
44. wamakan karena Al-
qur’an diturunkan secara
mutawatir. Sedangkan
Sunnah atau
45. sabda Rasul tidak
semuanya berpredikat
mutawatir, sehingga tidak
semua hadis bisa
46. diterima, karena belum
tentu setiap hadis itu berasal
dari Rasulullah. Oleh
karenanya
47. muncullah ilmu yang
berkaitan dengan hadis
atau biasa disebut dengan
istilah
48. ‘Ulumul Hadits. Dari
berbagai macam cabang ilmu
yang berkaitan dengan hadis,
ada
49. satu ilmu yang
membahas tentang keadaan
perawi dari segi celaan
dan pujian,
50. yaitu Ilmu Al-Jarh wa
Al-Ta’dil. Dari ilmu inilah
kita bisa mengetahui
komentar-
51. komentar para kritikus
hadis tentang keadaan
setiap perawi, apakah
diterima
52. (maqbul) atau ditolak
(mardud) sehingga nantinya
bisa ditentukan status dan
derajat
53. hadis yang diteliti oleh
perawi tersebu
54. Umat Islam memiliki
dua landasan utama yaitu
Al-Quran dan Hadits
55. (Sunnah) sebagai
pedoman hidup di dunia.
Al-Qur’an yang notaben
kalam Allah,
56. telah dijamin kemurnian
dan keabsahannya. yakni
Al-Qur’an shahi likulli
zamanin
57. wamakan karena Al-
qur’an diturunkan secara
mutawatir. Sedangkan
Sunnah atau
58. sabda Rasul tidak
semuanya berpredikat
mutawatir, sehingga tidak
semua hadis bisa
59. diterima, karena belum
tentu setiap hadis itu berasal
dari Rasulullah. Oleh
karenanya
60. muncullah ilmu yang
berkaitan dengan hadis
atau biasa disebut dengan
istilah
61. ‘Ulumul Hadits. Dari
berbagai macam cabang ilmu
yang berkaitan dengan hadis,
ada
62. satu ilmu yang
membahas tentang keadaan
perawi dari segi celaan
dan pujian,
63. yaitu Ilmu Al-Jarh wa
Al-Ta’dil. Dari ilmu inilah
kita bisa mengetahui
komentar-
64. komentar para kritikus
hadis tentang keadaan
setiap perawi, apakah
diterima
65. (maqbul) atau ditolak
(mardud) sehingga nantinya
bisa ditentukan status dan
derajat
66. hadis yang diteliti oleh
perawi tersebut
Umat Islam memiliki dua landasan utama yaitu Al-Quran dan
Hadits (Sunnah) sebagai pedoman hidup di dunia. Al-Qur'an yang
notaben kalam Allah, telah dijamin kemurnian dan keabsahannya. yakni
Al-Qur'an shahi likulli zamanin wamakan karena Al-qur'an diturunkan
secara mutawatir. Sedangkan Sunnah atau sabda Rasul tidak
semuanya berpredikat mutawatir, sehingga tidak semua hadis bisa
diterima, karena belum tentu setiap hadis itu berasal dari Rasulullah.
Oleh karenanya muncullah ilmu yang berkaitan dengan hadis atau
biasa disebut dengan istilah Ulumul Hadits. Dari berbagai macam
cabang ilmu yang berkaitan dengan hadis, ada satu ilmu yang
membahas tentang keadaan perawi dari segi celaan dan pujian, yaitu
Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta'dil. Dari ilmu inilah kita bisa mengetahui komentar
komentar para kritikus hadis tentang keadaan setiap perawi, apakah
diterima (maqbul) atau ditolak (mardud) sehingga nantinya bisa
ditentukan status dan derajat hadis yang diteliti oleh perawi tersebut.

A. Pengertian dan Perkembangan Jarh dan Ta’dil .

1. Pengertian

2. Dasar dan Tujuan

3. Perkembangan jarh dan Ta’dil

4. Kontroversi antara Jarh dan Ta’dil

D. Kitab-Kitab Rijal al-Hadis

E. Contoh Sanad Hadis dilihat dari segi jarh dan Ta’dil .


BAB 2
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Perkembangan Jarh dan Ta’dil


1. Pengertian
Pengertian Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta'dil Kalimat al-jarh wa Ta'dil merupakan
satu dari kesatuan pengertian, yang terdiri dari dua kata, yaitu 'al-jarh' dan 'al-adl.
Al-Jarh secara bahasa merupakan bentuk mashdar, dari kata yang berarti
'seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai dengan mengalirnya
darah pada luka itu'. Dikatakan juga (tulisan arab), yang berarti hakim dan yang
lain melontarkan sesuatu yang menjatuhkan sifat adil saksi, berupa kedustaan dan
sebagainya.[1] Secara terminologi, al-jarh berarti munculnya suatu sifat dalam diri
perawi yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan hapalan dan kekuatan
ingatannya, yang mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya atau
bahkan tertolak riwayatnya. Adapun 'at-tajrih menyifatinseorang perawi dengan
sifat-sifat yang membawa konsekuensi penilaian lemah atas riwayatnya atau tidak
diterima.
Pengertian Al-Adl'secara Etimologi berarti 'sesuatu yang terdapat dalam jiwa
bahwa sesuatu itu lurus, merupakan lawan dari lacur'. Orang adil berarti orang
yang diterima kesaksiannya. Ta dil pada diri seseorang berarti menilainya
positif]Adapaun secara terminology, al adl berarti orang yang tidak memiliki sifat
yang mencacatkan keagamaan dan keperawiannya.

Lafadzh al-Jarh, menurut Muhadisin, ialah sifat seorang rawi yang dapat
mencacatkan keadilan dan hapalannya. Men-Jarh atau men-tajrih seorang rawi
berarti menyifati seorang rawi dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan
kelemahan atau tertolak apa yang dirawayatkannya. Adapun rawi dikatan adil
adalah orang yang dapat mengendalikan sifat-sifat yang dapat menodai agama dan
keperawiannya. Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli,
ilmu al-jarh wa alta dil suatu materi pembahasan dari cabang ilmu hadis yang
membahas cacat atauadilnya seorang yang meriwayatkan hadis yang berpengaruh
besar terhadap klasifikasi hadisnya

2. 7
3.

4. adilnya seorang yang


meriwayatkan hadis yang
berpengaruh besar
terhadap
5. klasifikasi hadisn
2. Dasar dan Tujuan
Adapun kegunaan dari Ilmu Al Jarh wa Ta‟dil
untuk menentukan kualitas perawi dan nilai hadisnya. Menetapkan
apakah periwayatan seorang perawi itu bisa diterima atau ditolak sama
sekali. Ilmu jarh wa ta‟dil adalah ilmu yang sangat penting bagi para
pelajar ilmu hadits.

Kegunaan Ilmu Al jarh wa Ta'dil Ilmu jarh wa al-ta'dil sangat berguna


untuk menentukan kualitas perawi dan nilai hadisnya. Membahas sanad
terlebih dahulu harus mempelajari kaidah-kaidah ilmu jarh wa al-ta'dil yang
telah banyak dipakai para ahli, mengetahui syarat-syarat perawi yang dapat
diterima, cara menetapkan keadilan dan kedhabitan perawi dan hal-hal lain
yang berhubungan dengan bahasan ini. Seseorang tidak akan dapat
memperoleh biografi, jika mereka tidak terlebih dahulu mengetahui kaidah-
kadah jarh dan ta'dil, maksud dan derajat (tingkatan) istilah yang dipergunakan
dalam ilmu ini, dari tingkatan ta'dil yang tertinggi sampai pada tingkatan jarh
yang paling rendah.6 Jelasnya ilmu jarh wa ta'dil ini dipergunakan untuk
menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu bisa diterima atau harus
ditolak sama sekali. Apabila seorang perawi "dijarh" oleh para ahli sebagai
rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak. Sebaliknya bila dipuji
maka hadisnya bisa diterima selama syarat-syarat yang lain dipenuhi.

6. 7
7.

8. adilnya seorang yang


meriwayatkan hadis yang
berpengaruh besar
terhadap
9. klasifikasi hadisn
3. Perkembangan Jalh dan Ta’dil
lmu ini tumbuh bersama-sama dengan tumbuhhnya periwayatan dalam
Islam, karena untuk mengetahui hadis-hadis yang shahi perlu mengetahui keadaan
rawinya, secara yang memungkinkan ahli ilmu menetapkan kbenaran rawi atau
kedustaanya hingga dapatlah membedakan antara yang diterima dengan yang
ditolak.
Awal mula pertumbuhan ilmu ini adalah seperti yang dinukil oleh nabi
shallaulahu Alaihi wa Sallam sebagamana yang telah disebutkan tadi. Lalu menjadi
banyak dari para sahabat, tabi‟in, dan orang setalah mereka, karena takut terjadi
seperti apa yang diperingatkan oleh Rasulullah
. Al-Jarh dan At-Ta‟dil dalam ilmu hadits menjadi berkembang di kalangan
shahabat, tabi‟in, dan para ulama setelahnya hingga saat ini karena takut pada apa
yang diperingatkan Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam : “Akan ada pada
umatku yang terakhir nanti orang-orang yang menceritakan hadits kepada kalian apa
yang belum pernah kalian dan juga bapak-bapak kalian mendengar sebelumnya.
Maka waspadalah terhadap mereka dan waspadailah mereka” (HR. Muslim).
Dari Yahya bin Sa‟idAl-Qaththan dia berkata,”Aku telah bertanya kepada
Sufyan Ats-Tsaury, Syu‟bah, dan Malik, serta Sufyan bin „Uyainah tentang seseorang
yang tidak teguh dalam hadits. Lalu seseorang datang kepadaku dan bertanya
tentang dia, mereka berkata,”Kabarkanlah tentang dirinya bahwa haditsnya tidaklah
kuat” (HR. Muslim).
Dari Abu Ishaq Al-Fazary dia berkata,”Tulislah dari Baqiyyah apa yang telah ia
riwayatkan dari orang-orang yang dikenal, dan jangan engkau tulis darinya apa yang
telah dia riwayatkan dari orang-orang yang tidak dikenal, dan janganlah kamu
menulis dari Isma‟il bin „Iyasy apa yang telah ia riwayatkan dari orang-orang yang
dikenal maupun dari selain mereka” (- Baqiyyah bin Al-Walid banyak melakukan
tadlis dari para dlu‟afaa).
Diketahuinya hadits-hadits yang shahih dan yang lemah hanyalah dengan
penelitian para ulama‟ yang berpengalaman yang dikaruniai oleh Allah kemampuan
untuk mengenali keadaan para perawi. Dikatakan kepada Ibnul-Mubarak :
“(Bagaimana dengan) hadits-hadits yang dipalsukan ini?”. Dia berkata,“Para ulama
yang berpengalaman yang akan menghadapinya”. Maka penyampaian hadits dan
periwayatannya itu adalah sama dengan penyampaian untuk agama. Oleh
karenannya kewajiban syar‟i menuntut akan pentingnya meneliti keadaan para
perawi dan keadilan mereka, yaitu seorang yang amanah, alim terhadap agama,
bertaqwa, hafal dan teliti pada hadits, tidak sering lalai dan tidak peragu. Melalaikan
itu semua (Al-Jarh wat-Ta‟dil) akan menyebabkan kedustaan kepada Rasulullah
shallallaahu „alaihi wasallam.
B. Kontroversi Antara Jarh dan Ta’dil
Pertentangan Jarh dan Ta’dil Diantara para ulama terkadang terjadi pertentangan
pendapat terhadap seorang perawi. Ulama yang satu menta‟dilkannya sedangkan yang
lainnya mentajrihnya. Apabila dipilih permasalahan di atas maka dapat dibagi kedalam dua
kategori. Pertama, pertentangan ulama itu diketahui sebabnya dan kedua pertentangan itu
tidak diketahui sebabnya. Adapun terhadap kategori yang pertama, sebab-sebab terjadinya:
-Terkadang sebagian ulama mengenal seorang perawi, ketika perawi masih fasik, sehingga
mereka mentarjih (mentajrih) perawi tersebut. Sebagian ulama lainnya mengetahui perawi
itu setelah ia (perawi etersebut) bertaubat, sehingga mereka menta‟dilkannya. Menurut Ajaj
al-Khatib sebenarnya hal tersebut bukanlah suatu pertentangan artinya jelas yang
dimenangkan adalah ulama yang menta‟dil.
-Terkadang pula ada ulama yang mengetahui perawi sebagai orang yang daya hafalnya
lemah, sehingga mereka mentajrih perawi itu. Sementara ulama yang lainnya mengetahui
perawi itu sebagai orang yang dhabith, sehingga mereka menta‟dilkannya.

Salah satu sebab perbedaan cara menilai pribadi perawi adalah persoalan kriteria yang
dipakai ulama jarh wa ta’dil. Seringkali maksud satu ulama dan lainnya berbeda maksud
dengan yang lain. Contoh, ketika Yahya bin Ma’in menyebutkan la ba’sa bihi, sebenarnya
yang dimaksud bahwa pribadi tersebut tsiqah (berkepribadian baik dan punya kecakapan
akal mumpuni). Berbeda dengan ulama lain yang menyebut la ba’sa bihi dengan derajat di
bawah tsiqoh, semisal hanya shaduq atau shalih.

Imam Adz-Dzahabi menggolongkan para ulama jarh dan ta’dil ini menjadi tiga, yaitu
kalangan ulama yang mutasyaddid, ketat dalam jarh dan ta’dil-nya; lalu kalangan yang
mutawassith (moderat) yang berusaha berimbang dalam memakai kriteria dan definisi jarh
dan ta’dil; terakhir ulama yang cenderung mutasahhil, yang begitu mudah melabeli tokoh
perawi dalam kategori tsiqah atau majruh.

Semisal ada ulama yang dikenal mutasyaddid, seperti Yahya bin Ma’in, menyebutkan
seorang tokoh sebagai tsiqoh, maka komentarnya bisa dipakai. Namun ketika beliau
menetapkan catatan negatif/jarh terhadap seseorang, perlu dicek juga komentar ulama lain.
Ulama hadits yang lebih mutawassith seperti Imam al-Daruquthni dan Ahmad bin Hanbal
atau kalangan ulama mutasahhil bisa dirujuk. Secara umum yang perlu dicermati dari urusan
nilai-menilai pribadi perawi hadits ini adalah membandingkan satu dengan yang lain, dan
memastikan ulama ini dikenal menggunakan kriteria yang ketat atau tidak. Perawi yang
disebut sebagai imamul kabir, imamul ‘adil, tidak diperdebatkan kualitas moral atau
intelektualitasnya.

Tokoh populer seperti Sufyan ats Tsauri, Malik bin Anas, Syu’bah bin al Hajjaj telah jadi
ijma’ bahwa pribadi mereka tsiqah. Mungkin agak membingungkan ketika ada perawi yang
persepsi ulama terhadapnya beragam. Semisal ada yang bilang tokoh A ini tsiqah
(terpercaya) tapi ada ulama lain dengan penilai yang lebih rendah atau berbeda sama sekali,
semisal pribadi yang shaduq atau malah dla’if. Bisa juga ditemui komentar ulama, “Dia
tsiqah, tapi haditsnya hasan,” atau komentar “Syekh ini dikenal, tapi tidak dicatat haditsnya
(la yuktab haditsuhu)”.

C. Kitab-Kitab Rijal al-Hadis

a. Ushul al-Ghabah Fi Ma’rifatil Asma’is Shahabah


Kitab ini merupakan karya Izzuddin Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad
ibnu al-Atsir al-Jazari (w. 630 H). Kitab ini sangat baik untuk
mengetahui nama-nama sahabat, karena pengarangnya telah
mencurahkan segala kemampuannya guna menghimpun,
memperbaiki, dan menyusunnya. Kitab ini juga memuat 7554 biografi
sahabat yang disusun berdasarkan urutan huruf hijaiyyah sesuai
dengan huruf pertama dan kedua sampai huruf terakhir nama-nama
tersebut, juga berdasarkan nama bapak dan kakek serta kabilahnya.

b. Al-Thabaqat al-Kubra.

Kitab ini adalah karya Abu Abdullah Muhammad bin Sa’ad Katib al-
Wahidi (w. 230 H). Dalam kitab ini beliau menghimpun biografi para
sahabat, tabi’in orang-orang setelah sampai pada masa beliau
sendiri, dengan susunan yang baik dan luas. Kitab ini telah dicetak
menjadi delapan jilid dengan pembahasan sebagai berikut: 1) Jilid
pertama, tentang perjalanan Nabi Muhammad saw semasa hidupnya.
2) Jilid kedua, tentang peperangan Nabi Muhammad saw sakit yang
mendekati wafat, peristiwa kewafatannya, kemudian orang yang
memberi fatwa di Madinah, sahabat yang termasuk penghimpun al-
Qur’an baik pada masa Nabi Muhammad saw atau serelahnya,
kemudian sahabat Muhajirin dan Anshar yang memberi fatwa di
Madinah setelah Rasulullah wafat. 3) Jilid ketiga, tentang biografi
sahabat Muhajirin dan sahabat Anshar yang mengikuti perang Badar.
4) Jilid keempat, tentang biografi sahabat Muhajirin dan sahabat
Anshar yang tidak mengikuti perang Badar, namun lebih dahulu
masuk Islam, dan sahabat yang masuk Islam sebelum Fath al-
Makkah. 5) Jilid kelima, tentang tabi’in Madinah dan sahabat yang
tinggal di Makkah, Thaif, Yaman, Yamamah, dan Bahrain, kemudian
tabi’in yang tinggal di kota-kota tersebut dan orang-orang
setelahnya. 6) Jilid keenam, tentang sahabat dan tabi’in Kufah serta
ahli Fiqh dan ilmu lain setelah tabi’in sampai pada masa pengarang.
7) Jilid ketujuh, tentang sahabat, tabi’in dan para pengikutnya pada
masa pengarang, yang semuanya bertempat tinggal di berbagai
daerah dan kota.

c.Al-Tarikh al-Kabir

Kitab ini adalah karya Imam al-Bukhari (w. 256 H) yang disusun
dalam bentuk yang besar, sehingga memuat 12.305 biografi.
Sebagaimana dalam naskah yang telah dicetak dan dipakai nomor
urut. Kitab ini disusun berdasarkan urutan huruf mu’jam dengan
memperhatikan huruf pertama dari nama perawi dan nama
bapaknya. Al-Bukhari memulai pembahasan dengan menyebutkan
nama-nama Muhammad, karena mulianya nama Nabi Muhammad
saw, seperti halnya beliau mendahulukan nama-nama sahabat dalam
setiap nama perawi tanpa memperhatikan nama bapaknya.
Kemudian baru menyebutkan seluruh nama perawi dangan
memperhatikan urutan nama-nama bapaknya

d. Al-Jam’u Bayna Rijal al-Shahihayn

Kitab ini ditulis oleh Abu al-Fadhl, Muhammad ibn Tahrir al-
Muqaddasi yang terkenal dengan Ibnu Qirani ( w. 507 H). kitab ini
merupakan himpunan kitab al-Kalabazi dan Ibnu Manjuyah dengan
tambahan beberapa hal yang tidak dimuat dalam keduanya,
pembuangan sebagian keterangan yang berlebih-lebih, dan hal-hal
yang tidak dibutuhkan. Kitab ini disusun berdasarkan urutan huruf
mu’jam dengan cara menghimpun perawi-perawi kedua kitab Shahih
Bukhari dan Muslim serta menjelaskan riwayat perawi dari kedua
kitab dan telah dicetak di India oleh Da’irat al-Ma’arif al-Usmaniyyah
secara berturut-turut pada tahun 1323 H. E. Taqrib al-Tahzib Adalah
kitab ringkasan Ibnu Hajar dari kitabnya sendiri, yaitu Tahzib al-
Tahzib, yang hanya mencapai seperenam dari besar kitab itu.
Sebagaimana disebutkan dalam mukaddimah kitabnya, motivasi
penyusunan kitab Taqrib al-Tahzib ini adalah permintaan sebagian
teman untuk menyendirikan nama-nama perawi dalam kitabnya
Tahzib al-Tahzib secara khusus. Sistematika pembahasannya
adalah: 1. Menyebutkan seluruh biografi dalam kitab Tahzib al-
Tahzib tanpa membatasi biografi perawi-perawi kitab hadits enam,
sebagaimana dilakukan oleh al-Zahabi dalam al-Kasyif. Biografi ini
disusun sesuai dengan susunan kitab Tahzib. 2. Menggunakan
semua tanda dalam kitab Tahzib al-Tahzib dengan sedikit
perubahan. Beliau juga menambahkan tanda tamyiz bagi perawi
yang tidak mempunyai riwayat dalam kitab-kitab bahasan kitab
Tahzib al-Tahzib. 3. Dalam kitab Tahzib al-Tahzib ini Ibnu Hajar
menyebutkan derajat perawi yang diringkas menjadi dua belas
derajat lengkap dengna istilah jarh dan ta’dil sesuai dengan derajat
tersebut. Orang yang menggunakan kitab ini hadus memahami
derajat dan istilah yang ada, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman,
sebab terkadang Ibnu Hajar menggunakan istilah tertentu dalam
kitab ini. 4. Dalam muqaddimah kirab ini, beliau juga
mengelompokkan tabaqat (tingkatan) para perawi menjadi dua belas
yang harus diketahui oleh orang yang menggunakan kitab ini guna
mengerahui istilah khusu yang dipakai oleh Ibnu Hajar dalam kirab
ini. 5. Pada akhir kitab ini, beliau menambahkan satu pasal tentang
perawi perempuan yang masuh samar sesuai dengan urutan
muridnya, baik laki-laki maupun perempuan
D. Contoh Sanad Hadis dilihat dari segi jarh dan Ta’dil

‫تزوجوا الودود الولود فاني مكاثر بكم األمم‬

Artinya: “Nikahilah wanita yang penyayang dan subur! Karena aku berbangga
dengan banyaknya umatku.” (HR An Nasa’I dan Abu Dawud)

BAB 3

PENUTUPAN

A.Kesimpulan

Pengertian Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta'dil Kalimat al-jarh wa Ta'dil merupakan


satu dari kesatuan pengertian, yang terdiri dari dua kata, yaitu 'al-jarh' dan 'al-adl. Al-
Jarh secara bahasa merupakan bentuk mashdar, dari kata yang berarti 'seseorang
membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai dengan mengalirnya darah pada
luka itu'. Dikatakan juga (tulisan arab), yang berarti hakim dan yang lain melontarkan
sesuatu yang menjatuhkan sifat adil saksi, berupa kedustaan dan sebagainya.[1]
Secara terminologi, al-jarh berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang
menodai sifat adilnya atau mencacatkan hapalan dan kekuatan ingatannya, yang
mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya atau bahkan tertolak
riwayatnya. Adapun 'at-tajrih menyifatinseorang perawi dengan sifat-sifat yang
membawa konsekuensi penilaian lemah atas riwayatnya atau tidak diterima.
Pengertian Al-Adl'secara Etimologi berarti 'sesuatu yang terdapat dalam jiwa
bahwa sesuatu itu lurus, merupakan lawan dari lacur'. Orang adil berarti orang yang
diterima kesaksiannya. Ta dil pada diri seseorang berarti menilainya positif]Adapaun
secara terminology, al adl berarti orang yang tidak memiliki sifat yang mencacatkan
keagamaan dan keperawiannya.
DAFTAR PUSTAKA

 Muhammad Firliadi Noor Salim, S.S


 Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah. 2009
 Rahman, Fatchur. Ikhtishar Mushthalahul Hadis. Bandung: PT.
Alma’arif. 1974
 Sahrani, Sahrani. Ulumul Hadis. Bogor: Ghalia Indonesia. 2010

Anda mungkin juga menyukai