Al Jarh Dan Al Ta'dil
Al Jarh Dan Al Ta'dil
DISUSUN
O
L
E
H
Amirullah / 10120210092
Assalamualaikum Wr.Wb Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt. yang telah
memberikan kekuatan dan keteguhan hati kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini.
Sholawat beserta salam semoga senantiasa tercurah limpahan kepada nabi Muhammad saw.
yang menjadi tauladan para umat manusia yang merindukan keindahan syurga.
Kami menulis makalah ini bertujuan untuk mempelajari dan mengetahui ilmu tentang Al
JARH WA TA'DIL yang bertujuan untuk memenuhi tugas, Dalam penyelesaian makalah ini,
penulis banyak mengalami kesulitan, terutama disebabkan kurangnya ilmu pengtahuan. Dan
minimnya refren yang ada. Kami menyadari, sebagai seorang pelajar yang pengetahuannya
tidak seberapa yang masih perlu belajar dalam penulisan makalah, bahwa makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang positif demi terciptanya
makalah yang lebih baik lagi, serta berdayaguna di masa yang akan datang. Besar harapan,
mudah-mudahan makalah yang sangat sederhana ini dapat bermanfaat dan maslahat bagi
semua orang.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………I
DAFTAR ISI……………………………………………………………………..II
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang………………………………………………………………........1
B. Rumusan masalah……………………………………………………………....2
BAB II PEMBAHASAN
1. Pengertian………………………………………………………………………................2
D. Contoh Sanad Hadis dilihat dari segi jarh dan Ta’dil ……………...7
A.Kesimpulan……………………………………………………………………..........1
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
1. Pengertian
Lafadzh al-Jarh, menurut Muhadisin, ialah sifat seorang rawi yang dapat
mencacatkan keadilan dan hapalannya. Men-Jarh atau men-tajrih seorang rawi
berarti menyifati seorang rawi dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan
kelemahan atau tertolak apa yang dirawayatkannya. Adapun rawi dikatan adil
adalah orang yang dapat mengendalikan sifat-sifat yang dapat menodai agama dan
keperawiannya. Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli,
ilmu al-jarh wa alta dil suatu materi pembahasan dari cabang ilmu hadis yang
membahas cacat atauadilnya seorang yang meriwayatkan hadis yang berpengaruh
besar terhadap klasifikasi hadisnya
2. 7
3.
6. 7
7.
Salah satu sebab perbedaan cara menilai pribadi perawi adalah persoalan kriteria yang
dipakai ulama jarh wa ta’dil. Seringkali maksud satu ulama dan lainnya berbeda maksud
dengan yang lain. Contoh, ketika Yahya bin Ma’in menyebutkan la ba’sa bihi, sebenarnya
yang dimaksud bahwa pribadi tersebut tsiqah (berkepribadian baik dan punya kecakapan
akal mumpuni). Berbeda dengan ulama lain yang menyebut la ba’sa bihi dengan derajat di
bawah tsiqoh, semisal hanya shaduq atau shalih.
Imam Adz-Dzahabi menggolongkan para ulama jarh dan ta’dil ini menjadi tiga, yaitu
kalangan ulama yang mutasyaddid, ketat dalam jarh dan ta’dil-nya; lalu kalangan yang
mutawassith (moderat) yang berusaha berimbang dalam memakai kriteria dan definisi jarh
dan ta’dil; terakhir ulama yang cenderung mutasahhil, yang begitu mudah melabeli tokoh
perawi dalam kategori tsiqah atau majruh.
Semisal ada ulama yang dikenal mutasyaddid, seperti Yahya bin Ma’in, menyebutkan
seorang tokoh sebagai tsiqoh, maka komentarnya bisa dipakai. Namun ketika beliau
menetapkan catatan negatif/jarh terhadap seseorang, perlu dicek juga komentar ulama lain.
Ulama hadits yang lebih mutawassith seperti Imam al-Daruquthni dan Ahmad bin Hanbal
atau kalangan ulama mutasahhil bisa dirujuk. Secara umum yang perlu dicermati dari urusan
nilai-menilai pribadi perawi hadits ini adalah membandingkan satu dengan yang lain, dan
memastikan ulama ini dikenal menggunakan kriteria yang ketat atau tidak. Perawi yang
disebut sebagai imamul kabir, imamul ‘adil, tidak diperdebatkan kualitas moral atau
intelektualitasnya.
Tokoh populer seperti Sufyan ats Tsauri, Malik bin Anas, Syu’bah bin al Hajjaj telah jadi
ijma’ bahwa pribadi mereka tsiqah. Mungkin agak membingungkan ketika ada perawi yang
persepsi ulama terhadapnya beragam. Semisal ada yang bilang tokoh A ini tsiqah
(terpercaya) tapi ada ulama lain dengan penilai yang lebih rendah atau berbeda sama sekali,
semisal pribadi yang shaduq atau malah dla’if. Bisa juga ditemui komentar ulama, “Dia
tsiqah, tapi haditsnya hasan,” atau komentar “Syekh ini dikenal, tapi tidak dicatat haditsnya
(la yuktab haditsuhu)”.
b. Al-Thabaqat al-Kubra.
Kitab ini adalah karya Abu Abdullah Muhammad bin Sa’ad Katib al-
Wahidi (w. 230 H). Dalam kitab ini beliau menghimpun biografi para
sahabat, tabi’in orang-orang setelah sampai pada masa beliau
sendiri, dengan susunan yang baik dan luas. Kitab ini telah dicetak
menjadi delapan jilid dengan pembahasan sebagai berikut: 1) Jilid
pertama, tentang perjalanan Nabi Muhammad saw semasa hidupnya.
2) Jilid kedua, tentang peperangan Nabi Muhammad saw sakit yang
mendekati wafat, peristiwa kewafatannya, kemudian orang yang
memberi fatwa di Madinah, sahabat yang termasuk penghimpun al-
Qur’an baik pada masa Nabi Muhammad saw atau serelahnya,
kemudian sahabat Muhajirin dan Anshar yang memberi fatwa di
Madinah setelah Rasulullah wafat. 3) Jilid ketiga, tentang biografi
sahabat Muhajirin dan sahabat Anshar yang mengikuti perang Badar.
4) Jilid keempat, tentang biografi sahabat Muhajirin dan sahabat
Anshar yang tidak mengikuti perang Badar, namun lebih dahulu
masuk Islam, dan sahabat yang masuk Islam sebelum Fath al-
Makkah. 5) Jilid kelima, tentang tabi’in Madinah dan sahabat yang
tinggal di Makkah, Thaif, Yaman, Yamamah, dan Bahrain, kemudian
tabi’in yang tinggal di kota-kota tersebut dan orang-orang
setelahnya. 6) Jilid keenam, tentang sahabat dan tabi’in Kufah serta
ahli Fiqh dan ilmu lain setelah tabi’in sampai pada masa pengarang.
7) Jilid ketujuh, tentang sahabat, tabi’in dan para pengikutnya pada
masa pengarang, yang semuanya bertempat tinggal di berbagai
daerah dan kota.
c.Al-Tarikh al-Kabir
Kitab ini adalah karya Imam al-Bukhari (w. 256 H) yang disusun
dalam bentuk yang besar, sehingga memuat 12.305 biografi.
Sebagaimana dalam naskah yang telah dicetak dan dipakai nomor
urut. Kitab ini disusun berdasarkan urutan huruf mu’jam dengan
memperhatikan huruf pertama dari nama perawi dan nama
bapaknya. Al-Bukhari memulai pembahasan dengan menyebutkan
nama-nama Muhammad, karena mulianya nama Nabi Muhammad
saw, seperti halnya beliau mendahulukan nama-nama sahabat dalam
setiap nama perawi tanpa memperhatikan nama bapaknya.
Kemudian baru menyebutkan seluruh nama perawi dangan
memperhatikan urutan nama-nama bapaknya
Kitab ini ditulis oleh Abu al-Fadhl, Muhammad ibn Tahrir al-
Muqaddasi yang terkenal dengan Ibnu Qirani ( w. 507 H). kitab ini
merupakan himpunan kitab al-Kalabazi dan Ibnu Manjuyah dengan
tambahan beberapa hal yang tidak dimuat dalam keduanya,
pembuangan sebagian keterangan yang berlebih-lebih, dan hal-hal
yang tidak dibutuhkan. Kitab ini disusun berdasarkan urutan huruf
mu’jam dengan cara menghimpun perawi-perawi kedua kitab Shahih
Bukhari dan Muslim serta menjelaskan riwayat perawi dari kedua
kitab dan telah dicetak di India oleh Da’irat al-Ma’arif al-Usmaniyyah
secara berturut-turut pada tahun 1323 H. E. Taqrib al-Tahzib Adalah
kitab ringkasan Ibnu Hajar dari kitabnya sendiri, yaitu Tahzib al-
Tahzib, yang hanya mencapai seperenam dari besar kitab itu.
Sebagaimana disebutkan dalam mukaddimah kitabnya, motivasi
penyusunan kitab Taqrib al-Tahzib ini adalah permintaan sebagian
teman untuk menyendirikan nama-nama perawi dalam kitabnya
Tahzib al-Tahzib secara khusus. Sistematika pembahasannya
adalah: 1. Menyebutkan seluruh biografi dalam kitab Tahzib al-
Tahzib tanpa membatasi biografi perawi-perawi kitab hadits enam,
sebagaimana dilakukan oleh al-Zahabi dalam al-Kasyif. Biografi ini
disusun sesuai dengan susunan kitab Tahzib. 2. Menggunakan
semua tanda dalam kitab Tahzib al-Tahzib dengan sedikit
perubahan. Beliau juga menambahkan tanda tamyiz bagi perawi
yang tidak mempunyai riwayat dalam kitab-kitab bahasan kitab
Tahzib al-Tahzib. 3. Dalam kitab Tahzib al-Tahzib ini Ibnu Hajar
menyebutkan derajat perawi yang diringkas menjadi dua belas
derajat lengkap dengna istilah jarh dan ta’dil sesuai dengan derajat
tersebut. Orang yang menggunakan kitab ini hadus memahami
derajat dan istilah yang ada, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman,
sebab terkadang Ibnu Hajar menggunakan istilah tertentu dalam
kitab ini. 4. Dalam muqaddimah kirab ini, beliau juga
mengelompokkan tabaqat (tingkatan) para perawi menjadi dua belas
yang harus diketahui oleh orang yang menggunakan kitab ini guna
mengerahui istilah khusu yang dipakai oleh Ibnu Hajar dalam kirab
ini. 5. Pada akhir kitab ini, beliau menambahkan satu pasal tentang
perawi perempuan yang masuh samar sesuai dengan urutan
muridnya, baik laki-laki maupun perempuan
D. Contoh Sanad Hadis dilihat dari segi jarh dan Ta’dil
Artinya: “Nikahilah wanita yang penyayang dan subur! Karena aku berbangga
dengan banyaknya umatku.” (HR An Nasa’I dan Abu Dawud)
BAB 3
PENUTUPAN
A.Kesimpulan