Anda di halaman 1dari 4

Analisis Kasus Pendaftaran Tanah dalam Konteks Asas Pendaftaran Tanah di Indonesia :

Kasus yang melibatkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN)
berkaitan dengan program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) atau yang dikenal sebagai
sertifikasi tanah menimbulkan perhatian terhadap penerapan asas-asas pendaftaran tanah di Indonesia.
Kasus ini melibatkan penggunaan formulir yang beredar di media sosial dengan klaim sebagai bagian
dari program PTSL, yang menyebabkan kebingungan di kalangan netizen. Analisis ini akan menjelaskan
bagaimana kasus tersebut dapat dianalisis berdasarkan asas-asas pendaftaran tanah yang diatur dalam
hukum tanah Indonesia.
1. Asas Kepastian Hukum: Asas ini menekankan pentingnya memberikan kepastian hukum terkait
dengan kepemilikan tanah dan hak-hak atas tanah. Kementerian ATR/BPN telah mengonfirmasi
bahwa pendaftaran program PTSL tidak boleh dilakukan melalui pengisian formulir secara
bebas. Ini mencerminkan komitmen pemerintah dalam menjaga kepastian hukum dalam proses
pendaftaran tanah.
2. Asas Kepublican: Asas ini menggarisbawahi pentingnya keterbukaan dan transparansi dalam
proses pendaftaran tanah. Imbauan yang dikeluarkan oleh Kepala Biro Hubungan Masyarakat
Kementerian ATR/BPN, Yulia Jaya Nirmawati, menekankan pada kewaspadaan masyarakat
terhadap formulir yang mengatasnamakan program PTSL. Hal ini menunjukkan upaya
pemerintah dalam memberikan informasi yang jelas dan terverifikasi kepada masyarakat.
3. Asas Perlindungan Data Pribadi: Dalam kasus ini, formulir yang beredar di media sosial
meminta masyarakat untuk mengisi identitas diri seperti nama lengkap, NIK, dan nomor
telepon. Prinsip perlindungan data pribadi adalah esensial dalam pendaftaran tanah untuk
melindungi privasi individu dan mencegah penyalahgunaan data pribadi.
4. Asas Penggunaan Sumber Resmi: Prinsip ini menunjukkan pentingnya mengandalkan sumber
informasi resmi dan terverifikasi dalam proses pendaftaran tanah. Masyarakat seharusnya
hanya menggunakan informasi dari Kementerian ATR/BPN atau sumber resmi lainnya, dan tidak
mengisi formulir yang tidak terverifikasi yang beredar di media sosial. Ini akan membantu
menjaga kepastian hukum dan mencegah risiko penipuan.
Maka dapat disimpulkan bahwa kasus ini mencerminkan pentingnya menjaga asas-asas pendaftaran
tanah, seperti kepastian hukum, transparansi, perlindungan data pribadi, dan penggunaan sumber
informasi resmi, dalam proses pendaftaran tanah di Indonesia. Tindakan yang diambil oleh pemerintah
untuk memberikan klarifikasi dan imbauan kepada masyarakat adalah langkah yang penting dalam
menjaga integritas sistem pendaftaran tanah dan melindungi hak-hak pemilik tanah. Dengan
menerapkan asas-asas ini, diharapkan dapat mencegah timbulnya sengketa tanah dan memastikan
bahwa pendaftaran tanah dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 menyatakan hal-hal berikut:
(1) Pemerintah wajib mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia sebagai
upaya untuk menjamin kepastian hukum. Proses ini akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Pendaftaran tanah ini akan mencakup tiga komponen utama:
a. Pengukuran, pemetaan, dan pembukuan tanah, yang melibatkan penentuan ukuran dan bentuk
tanah serta pencatatan data yang berkaitan.
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan semua peralihan hak-hak tersebut, yang melibatkan
pencatatan dan dokumentasi hak kepemilikan tanah serta semua transaksi yang terkait.
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat terkait
dengan hak kepemilikan tanah.
Dengan ketentuan ini, pemerintah berkomitmen untuk menciptakan kepastian hukum dalam
kepemilikan tanah di seluruh Indonesia melalui proses pendaftaran tanah yang mencakup pengukuran,
pencatatan hak, dan pemberian surat tanda bukti hak yang sah. Ini penting untuk melindungi hak-hak
pemilik tanah, mencegah sengketa, dan mendukung pembangunan di wilayah tersebut. Demi kepastian
hukum, pemerintah akan mengadakan pedaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia.
(Effendie, 1983).
Adapun urutan pendaftaran tanah adalah pengumpulan datanya, pengolahan atau processing-nya,
penyimpanannya dan penyajiannya. Bentuk penyimpanan biasa berupa tulisan gambar/peta dan angka-
angka diatas kertas, mikro film atau dengan menggunakan bantuan komputer. Kegiatan-kegiatan
tersebut meliputi baik data pendaftaran untuk pertama kali maupun pemeliharaannya kemudian. Dalam
pengertian penyajian termasuk penerbitan dokumen informasi kepada para pihak yang memintanya
berdasarkan data yang dihimpun. Berdasarkan data yang dihimpun diterbitkan surat tanda bukti haknya.
Dalam PP Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah disebutkan tujuan pendaftaran tanah adalah
untuk menjamin kepastian hukum, informasi pihak lain yang membutuhkan, dan sebagai tertib
administrasi. Pasal 19, 23, 32 dan Pasal 38 dari Undang-undang Pokok Agraria tentang pendaftaran
tanah dan Surat Keputusan Menteri Agraria Nomor. Surat Keputusan VI/5/ Ko (SK.MA.No.SK VI/5/Ko
tentang Pendaftaran Hak Penguasaan dan Hak Pakai yo Peraturan Menteri Agraria No.1 Tahun 1966
(PMA No.1/1966) dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.1 Tahun 1977 (PMDN No.1/1977) untuk
terlaksana kepastian hukum terhadap hak atas tanah, maka diadakan pendaftaran tanah.
Adapun asas-asas dalam pendaftaran tanah, yaitu:
1. Torrens System, (Sederhana, efesiensi dan murah);
2. Asas negatif, (Sertifikat bisa dibatalkan melalui Pengadilan);
3. Asas publisitas, (dapat memintak informasi masalah pertanahan);
4. Asas spesialitas, (jelas kedudukan dan lokasi dari tanah);
5. Kepastian Hukum, (adanya perlindungan hak milik terhadap masyarakat);
6. Kepastian Lembaga (hanya satu lembaga pendaftaran tanah
7. ATR/BPN).
(Soetiknjo, 1994)

Menurut Sir Charles Fortescue-Brickdate,(Supriadi, 2008) ada enam aspek yang harus diperhatikan
dalam pendaftaran tanah untuk mencapai tujuan pendaftaran tanah. Kegagalan dalam memenuhi
keenam aspek tersebut dapat memunculkan permasalahan dalam bidang pertanahan. Aspek-aspek
tersebut mencakup:
1. Security, atau keamanan sehingga seseorang akan merasa aman karena membeli tanah atau
mengikatkan tanah tersebut dengan jaminan hutang;
2. Simplicity, sederhana sehingga dapat dimengerti oleh masyarakat;
3. Accuracy, ketelitian harus menjadi hal yang utama dalam pendaftaran tanah, agar kebenaran
data bisa dipertanggung jawabkan;
4. Expedition, lancar sehingga menghindari hal yang berlarut-larut dalam pendaftaran tanah;
5. Cheapness, artinya dengan biaya terjangkau;
6. Suitability to circumstances, tetap berharga baik sekarang maupun nanti;
7. Completeness of the record, terdiri dari perekaman harus lengkap dan pendaftaran harus
didasarkan atas keadaan waktu didaftarkan;

Dalam konteks pendaftaran tanah, mematuhi aspek-aspek ini akan memberikan dasar yang kuat untuk
menjaga kepastian hukum, mendukung pembangunan ekonomi, dan mencegah timbulnya konflik tanah.
Kesadaran dan implementasi aspek-aspek ini dalam praktik pendaftaran tanah merupakan hal yang
sangat penting untuk mencapai tujuan pendaftaran tanah yang sukses.

SUMBER/ REFRENSI
Buku :
- Effendie, B. (1983). Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan-Peraturan Pelaksanaannya.
Bandung: Penerbit Alumni.
- Soetiknjo, I. (1994). Politik Agraria Nasional dan Pembangunan Hukum Nasional. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
- Supriadi. (2008). Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika.

Peraturan Perundang-undangan :
- Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. , (1997).
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria UUD NRI 1945. Undang-Undang
Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. , (1945)

Anda mungkin juga menyukai