Anda di halaman 1dari 6

BAGAIMANA MENGGUNAKAN HARTA KITA?

Pemanfaatan penggunaan harta dalam Islam dipandang sebagai kebaikan. Kegiatan ini dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan baik jasmani maupun ruhani sehingga mampu memaksimalkan fungsi kemanusiaannya sebagai hamba
Allâh Azza wa Jalla dalam menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Kebahagiaan di dunia berarti terpenuhinya
segala kebutuhan hidup manusia sebagai makhluk ekonomi. Sedang kebahagiaan di akhirat kelak berarti
keberhasilan manusia dalam memaksimalkan fungsi kemanusiaannya (ibadah) sebagai hamba Allâh Azza wa Jalla
sehingga mendapatkan kenikmatan ukhrawi (surga). Seseorang yang ingin mendapatkan kebahagian dunia akhirat
dituntut harus mampu tunduk dan patuh pada peraturan dan ketentuan yang telah Allâh Azza wa Jalla ciptakan
bersamaan dengan pelaksanaan segala aktifitas ekonomi manusia, termasuk di dalamnya ketentuan mengenai
pemanfaatan harta yang dilakukan oleh umat Muslim.

Allâh Azza wa Jalla menjadikan dunia dan harta sebagai ladang akhirat dan memberikan kesempatan menggunakan
harta dan dunia ini sebagai sarana menggapai surga. Apabila kita menanam biji kebaikan di dunia ini, akan menuai
pohon dan buah kebaikan di akhirat nanti dan bila menanam bibit keburukan akan mendapatkan pohon dan buah
keburukan tersebut. Demikianlah balasan sesuai dengan amalan dan buah pun sesuai dengan pohonnya. Nabi n
pernah bersabda menggambarkan hal ini,

‫ ُسْبَح اَن ِهَّللا الَعِظ يِم َو ِبَحْمِدِه ُغ ِرَس ْت َلُه َنْخ َلٌة ِفي الَج َّنِة‬: ‫َم ْن َقاَل‬

Siapa yang mengucapkan” Subhanallah al-‘Azhim wa Bihamdihi” maka ditanamkan untuknya satu pohon kurma di
syurga. [HR. At-Tirmidzi, no. 2757. Hadits ini shahih menurut syaikh al-Albani dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi].

Jelaslah pahala dan hukuman atau adzab Allâh Azza wa Jalla sesuai dengan amalan yang dilakukan manusia di
dunia. Hal ini dijelaskan Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya,

‫اْلَيْو َم ُتْج َز ٰى ُك ُّل َنْفٍس ِبَم ا َك َسَبْت ۚ اَل ُظْلَم اْلَيْو َم ۚ ِإَّن َهَّللا َس ِريُع اْلِحَس اِب‬

Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya.Tidak ada yang dirugikan pada hari
ini.Sesungguhnya Allâh amat cepat hisabnya. [Ghâfir/40:17]

Semua amalan akan ditulis dalam kitab amalan setiap orang. Tidak ada satu amalanpun baik kecil ataupun besar
kecuali tertulis dan tercatat di kitab yang akan dibaca di akhirat nanti. Allâh Azza wa Jalla berfirman,

‫َو ُوِضَع اْلِكَتاُب َفَتَر ى اْلُم ْج ِرِم يَن ُم ْش ِفِقيَن ِمَّم ا ِفيِه َوَيُقوُلوَن َيا َو ْيَلَتَنا َم اِل َٰه َذ ا اْلِكَتاِب اَل ُيَغاِد ُر َصِغ يَر ًة َو اَل َك ِبيَر ًة ِإاَّل َأْح َص اَها ۚ َو َو َج ُدوا َم ا َع ِم ُلوا َح اِض ًر ا ۗ َو اَل‬
‫َيْظ ِلُم َرُّبَك َأَح ًدا‬

Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis)
di dalamnya, dan mereka berkata:”Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan
tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada
(tertulis). Dan Rabbmu tidak menganiaya seorang juapun”. [Al-Kahfi/18:49]

Oleh karena itu orang yang menggunakan dan memanfaatkan hartanya sesuai petunjuk Allâh Azza wa Jalla dan
Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka balasan sempurna ia dapatkan di hari kiamat, seperti dijelaskan
dalam firman Allâh Azza wa Jalla,

‫َو َم ا ُتْنِفُقوا ِم ْن َخْيٍر َفَأِلْنُفِس ُك ْم ۚ َو َم ا ُتْنِفُقوَن ِإاَّل اْبِتَغاَء َو ْج ِه ِهَّللا ۚ َو َم ا ُتْنِفُقوا ِم ْن َخْيٍر ُيَو َّف ِإَلْيُك ْم َو َأْنُتْم اَل ُتْظ َلُم وَن‬

Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allâh), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan
janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allâh. Dan apa saja harta yang baik
yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan
dianiaya. [Al-Baqarah/2:272].

Agar dapat memanfaatkan dan penggunaan harta dengan baik dan sesuai petunjuk Allâh Azza wa Jalla , diperlukan
kiat atau tips, diantaranya:

1. Menentukan Prioritas Pemanfaatan Harta


Islam mengajarkan seorang Muslim mengenai mekanisme menentukan pemanfaatan harta untuk mencapai tujuan
kebahagian hidupnya. Ini akan tercapai dengan dengan terpeliharanya lima kemashlahatan yang meliputi (a) dien
(agama), (b) nafs (jiwa/hidup), (c) nasl (keluarga/keturunan), (d) mâl (harta/kekayaan), dan (e) aql
(intelektual/akal). Kelima hal ini dikenal dengan Dharuriyat al-Khams.

Untuk memelihara ke-5 perkara ini, para Ulama menjelaskan adanya 3 Maslahat; yaitu (1) kebutuhan mendesak
(dharuriyyat), (2) kesenangan dan kenyaman (hajiat), dan (3) kemewahan (tahsiniyat).
Baca Juga Fenomena Fitnah Harta
Kunci dari pemeliharaan kemaslahatan manusia terletak pada maslahat dharuriyyat yang mencakup kebutuhan-
kebutuhan utama yang bersifat mendasar (basic needs) dan cenderung bersifat fleksibel mengikuti tempat, waktu
dan dapat menyangkut kebutuhan sosiopsikologis. Kemudian kepada kemaslahatan berikutnya (hajiat) yang
merupakan hal-hal yang tidak begitu vital, akan tetapi penting untuk menghilangkan kesukaran dan rintangan dalam
hidup. Setelah itu adalah tahsiniyat, yang merupakan hal-hal yang berhubungan dengan kenyamanan saja, yang
meliputi pelengkap dan penghias hidup. Misalnya, gelas kristal untuk minum dan Pulpen emas untuk belajar. Ketika
seorang Muslim hendak memanfaatkan hartanya, maka ia harus melihat apakah tindakan tersebut benar-benar
kebutuhan dharuriyyat dan hajiat bagi dirinya atau hanya sebatas ‘pemanis’ saja tahsiniat. Seorang Muslim yang
bijak akan mendahulukan kebutuhan dharuriiyat-nya dibandingkan tahsiniyat-nya.

2. Prinsip Halal dan Thayyib Dalam Konsumsi


Islam mendorong penggunaan barang dan jasa yang halal dan baik serta bermanfaat. Semua barang yang tidak
memiliki kebaikan dan tidak bisa membantu meningkatkan manusia, maka menurut Islam, barang itu tidak dapat
dianggap sebagai milik atau aset umat Muslim. Oleh sebab itu, semua barang yang dilarang (untuk dikonsumsi)
tidak dianggap barang dalam Islam.

Penggunaan prinsip halal dan thayyib (bermanfaat) dimaksudkan untuk memberikan kebebasan bagi setiap Muslim
untuk menggunakan segala barang yang baik, bermanfaat bagi dirinya, menyenangkan, lezat dan lain sebagainya,
selama barang itu halal dan thayyib.

Kebebasan yang diberikan Islam kepada setiap Muslim dalam berkonsumsi tak terlepas dari pandangan Islam itu
sendiri bahwa pemanfaatan barang dan jasa merupakan suatu kebaikan. Konsumsi dan pemuasan (kebutuhan) tidak
disalahkan dalam Islam selama keduanya tidak melibatkan segala yang tidak baik atau merusak.

Seorang Muslim harus senantiasa mengkonsumsi barang yang halal dan thayyib (bermanfaat) baginya seperti ikan,
daging, dan lain sebagainya. Seorang Muslim yang baik tidak akan pernah mengkonsumsi khamr, daging babi serta
akan senantiasa menjauhi perjudian dan spekulasi (Intangible goods) dalam penggunaan hartanya.

3.Menghindari Tabdzir dan Israf serta Tidak Kikir dalam Menggunakan Harta.
Ajaran Islam membolehkan umatnya menikmati kebaikan duniawi selama tidak melewati batas kewajaran. Seperti
tidak melakukan perbuatan tabzîr dan Isrâf. Tabzîr artinya menghambur-hamburkan harta tanpa ada kemaslahatan
yang terwujud. Ketika seseorang membeli sesuatu melebihi kadar kebutuhannya maka pada saat itu ia dapat
dikategorikan sedang melakukan tabdzîr.

Islam melarang seorang Muslim membelanjakan hartanya dan menikmati kehidupan duniawi ini secara boros.
Larangan ini cukup beralasan. Tabdzîr dilihat dari pandangan ekonomi dapat menyebabkan harta menyusut secara
cepat. Ketiadaan harta akan berdampak pada rendahnya daya beli (low purchasing power) seseorang terhadap
barang dan jasa. Hasilnya, berbagai macam kebutuhan manusia tidak akan terpenuhi secara maksimal.

Allâh Azza wa Jalla mengibaratkan orang-orang yang melakukan tabdzîr dengan saudara syaitan, sebagaimana
terdapat pada ayat al-Qur’an mengenai larangan untuk bersikap boros,

‫﴾ ِإَّن اْلُمَبِّذ ِريَن َكاُنوا ِإْخ َو اَن الَّش َياِط يِن ۖ َو َك اَن الَّش ْيَطاُن ِلَر ِّبِه َك ُفوًر ا‬٢٦﴿ ‫َو آِت َذ ا اْلُقْر َبٰى َح َّقُه َو اْلِم ْس ِكيَن َو اْبَن الَّس ِبيِل َو اَل ُتَبِّذ ْر َتْبِذ يًر ا‬

Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam
perjalanan dan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-
pemboros itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu adalah sangat ingkar kepada tuhannya. [Al-Isrâ’/17:26-
27].

Demikian juga lawan sikap ini dilarang dalam Islam. Sikap bakhil dan pelit dalam harta sehingga tidak
mengeluarkannya sebagaimana petunjuk Allâh Azza wa Jalla dan menyangka itu adalah kebaikan adalah sikap yang
salah dan buruk sekali. Oleh karena itu Allâh Azza wa Jalla mengancam orang-orang yang bakhil ini dengan
firman-Nya,

‫َو اَل َيْح َسَبَّن اَّلِذ يَن َيْبَخ ُلوَن ِبَم ا آَتاُهُم ُهَّللا ِم ْن َفْض ِلِه ُهَو َخْيًر ا َلُهْم ۖ َبْل ُهَو َشٌّر َلُهْم ۖ َس ُيَطَّو ُقوَن َم ا َبِخ ُلوا ِبِه َيْو َم اْلِقَياَم ِة ۗ َو ِهَّلِل ِم يَر اُث الَّس َم اَو اِت َو اَأْلْر ِض ۗ َو ُهَّللا‬
‫ِبَم ا َتْع َم ُلوَن َخ ِبيٌر‬

Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allâh berikan kepada mereka dari karunia-Nya
menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta
yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allâh-lah segala
warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allâh mengetahui apa yang kamu kerjakan. [Ali-‘Imran/3:180]
Mereka tidak mubazir (berlebihan) dalam membelanjakan harta sehingga melebihi kebutuhan, dan (bersamaan
dengan itu) mereka juga tidak kikir terhadap keluarga mereka sehingga kurang dalam (menunaikan) hak-hak
mereka dan tidak mencukupi (keperluan) mereka, tetapi mereka (bersikap) adil (seimbang) dan moderat (dalam
pengeluaran), dan sebaik-baik perkara adalah yang moderat (pertengahan). [Lihat Tafsir Ibnu Katsir:3/433].

Juga dalam firman-Nya,

‫َو اَل َتْج َع ْل َيَدَك َم ْغ ُلوَلًة ِإَلٰى ُع ُنِقَك َو اَل َتْبُس ْطَها ُك َّل اْلَبْس ِط َفَتْقُعَد َم ُلوًم ا َم ْح ُسوًر ا‬

Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenngu pada lehermu (terlalu kikir) dan janganlah kamu terlalu
mengulurkannya (terlalu boros), karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal [Al-Isrâ’/17:29]

Imam asy-Syaukani rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini, beliau berkata, “Arti ayat ini: larangan bagi manusia
untuk menahan (hartanya secara berlebihan) sehingga mempersulit dirinya sendiri dan keluarganya, dan larangan
berlebihan dalam berinfak (membelanjakan harta) sampai melebihi kebutuhan, sehingga menjadikannya musrif
(berlebih-lebihan/mubazir). Maka ayat ini (berisi) larangan dari sikap ifrath (melampaui batas) dan tafrith (terlalu
longgar), yang ini melahirkan kesimpulan disyariatkannya bersikap moderat, yaitu (sikap) adil (seimbang) yang
dianjurkan oleh Allâh.” [Lihat Fathul Qadîr : 3/318]

Inilah yang dinamakan kesederhanaan yang menjauhi pola konsumsi berlebihan (conspicuous consumption) atau
menjauhi prilaku bermewah-mewahan. Kesederhanaan adalah jalan tengah dari dua cara konsumsi yang ekstrim
yaitu boros (tabzîr) dan kikir (bakhil).

Baca Juga Keberkahan Harta Di Tangan Orang Shalih


4.Pemanfaatan Harta Untuk Masa Depan Akhirat
Dalam Islam terdapat anjuran untuk memperhatikan kepentingan kehidupan akhirat, Allâh Azza wa Jalla berfirman,

‫َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوا اَّتُقوا َهَّللا َو ْلَتْنُظْر َنْفٌس َم ا َقَّد َم ْت ِلَغ ٍد ۖ َو اَّتُقوا َهَّللا ۚ ِإَّن َهَّللا َخ ِبيٌر ِبَم ا َتْع َم ُلوَن‬

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allâh dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang
telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allâh, sesungguhnya Allâh Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan.[Al-Hasyr/59:18]

Ayat tersebut merupakan landasan dari pemanfaatan harta untuk tujuan akhirat. Diantara penggunaan ini adalah:

a. Berinfaq di Jalan Allâh Azza wa Jalla


Allâh Azza wa Jalla menganjurkan kita untuk mengeluarkan harta kita untuk kepentingan dan aspek kebaikan yang
ada disekitar kita secara terus menerus seperti dalam firman-Nya,

‫ِلْلُفَقَر اِء اَّلِذ يَن ُأْح ِص ُروا ِفي َس ِبيِل ِهَّللا اَل َيْسَتِط يُعوَن َض ْر ًبا ِفي اَأْلْر ِض َيْح َس ُبُهُم اْلَج اِهُل َأْغ ِنَياَء ِم َن الَّتَع ُّفِف َتْع ِر ُفُهْم ِبِس يَم اُهْم اَل َيْس َأُلوَن الَّناَس ِإْلَح اًفا ۗ َو َم ا‬
‫ُتْنِفُقوا ِم ْن َخ ْيٍر َفِإَّن َهَّللا ِبِه َع ِليٌم‬

(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allâh; mereka tidak dapat (berusaha) di
bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal
mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta
yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allâh), maka sesungguhnya Allâh Maha Mengetahui. [Al-Baqarah/2:273]

Semua ini dilakukan untuk mendapatkan ampunan dari semua dosa dan kesalahan agar menggapai surga.

b. Berjihad dengan Harta


Allâh Azza wa Jalla menjelaskan kepada kaum Mukminin sebuah perniagaan yang tidak pernah merugi di akhirat,
apalagi di dunia dan mensifatkan perniagaan tersebut sebagai perniagaan terbaik. Perniagaan itu adalah berjihad di
jalan Allâh Azza wa Jalla dengan harta dan jiwanya. Allâh Azza wa Jalla berfirman,

‫﴾ ُتْؤ ِم ُنوَن ِباِهَّلل َو َر ُسوِلِه َو ُتَج اِهُد وَن ِفي َس ِبيِل ِهَّللا ِبَأْمَو اِلُك ْم َو َأْنُفِس ُك ْم ۚ َٰذ ِلُك ْم َخْيٌر َلُك ْم ِإْن‬١٠﴿ ‫َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوا َهْل َأُد ُّلُك ْم َع َلٰى ِتَج اَرٍة ُتْنِج يُك ْم ِم ْن َع َذ اٍب َأِليٍم‬
ۖ ‫﴾ َو ُأْخ َر ٰى ُتِح ُّبوَنَها‬١٢﴿ ‫﴾ َيْغ ِفْر َلُك ْم ُذ ُنوَبُك ْم َو ُيْد ِخ ْلُك ْم َج َّناٍت َتْج ِري ِم ْن َتْح ِتَها اَأْلْنَهاُر َو َم َس اِك َن َطِّيَبًة ِفي َج َّناِت َع ْد ٍن ۚ َٰذ ِلَك اْلَفْو ُز اْلَعِظ يُم‬١١﴿ ‫ُكْنُتْم َتْع َلُم وَن‬
‫َنْص ٌر ِم َن ِهَّللا َو َفْتٌح َقِريٌب ۗ َو َبِّش ِر اْلُم ْؤ ِمِنيَن‬

Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu
dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allâh dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allâh dengan harta
dan jiwamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya, niscaya Allâh akan mengampuni dosa-
dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan
kamu) ke tempat tinggal yang baik di surga ‘Adn. Itulah keberuntungan yang besar. Dan (ada lagi) karunia lain
yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allâh dan kemenangan yang dekat (waktunya).Dan sampaikanlah berita
gembira kepada orang-orang yang beriman. [Ash-Shaff/61:10-13]

Bahkan Allâh Azza wa Jalla memberikan pahala berperang pada orang yang memberikan hartanya untuk keperluan
tentara yang berperang atau mencukupi kebutuhan keluarga tentara yang berperang, seperti dijelaskan Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,

‫َم ْن َج َّهَز َغاِزًيا ِفي َس ِبيِل ِهَّللا َفَقْد َغَز ا َو َم ْن َخ َلَفُه ِفي َأْهِلِه َفَقْد َغَز ا‬

“Siapa yang mencukupi kebutuhan tentara yang berperang dijalan Allâh Azza wa Jalla maka telah berperang dan
siapa yang menanggung kebutuhan keluarga tentara tersebut maka dia telah berperang juga.” [HR. Al-Bukhâri]

c. Sedekah Dengan Harta


Setiap orang tidak ingin merasakan siksaan neraka dan ingin selamat darinya. Untuk itu Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk bersedekah dengan harta agar dilindungi dari neraka, seperti dijelaskan
dalam sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,

‫اَّتُقوا الَّناَر َو َلْو ِبِش َّقِة َتْمَرٍة َفَم ْن َلْم َيِج ْد ِش َّقَة َتْمَرٍة َفِبَك ِلَم ٍة َطِّيَبٍة‬

“Takutlah kalian (selamatkanlah diri kalian) dari api nereka walaupun dengan (bersedekah dengan) separuh buah
kurma, siapa yang tidak mendapatkan separuh buah kurma maka dengan kata-kata yang baik.” [HR. Al-Bukhari
(no. 1351) dan Muslim (no. 1016)].

Orang yang bersedekah di dunia dengan hartanya baik sedikit atau banyak akan mendapatkan perlindungan dari
neraka di hari kiamat nanti. Bahkan tidak hanya itu saja, sedekah harta yang halal walaupun sedikit akan
dikembangkan Allâh Azza wa Jalla menjadi seperti gunung. Hal inilah yang dijelaskan Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,

‫ َح َّتى َتُك وَن ِم ْثَل الَجَبِل‬،‫ َك َم ا ُيَر ِّبي َأَح ُد ُك ْم َفُلَّو ُه‬،‫ ُثَّم ُيَر ِّبيَها ِلَص اِح ِبِه‬،‫ َو ِإَّن َهَّللا َيَتَقَّبُلَها ِبَيِم يِنِه‬، ‫ َو َال َيْقَبُل ُهَّللا ِإاَّل الَّطِّيَب‬،‫َم ْن َتَص َّد َق ِبَع ْد ِل َتْمَرٍة ِم ْن َكْس ٍب َطِّيٍب‬

“Siapa yang bersedekah dengan separuh buah kurma dari usaha yang bagus dan Allâh Azza wa Jalla tidak
menerima kecuali yang bagus. Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla menerimanya dengan tangan kanan-Nya
kemudian melipatgandakannya untuk pemiliknya sebagaimana seorang dari kalian mengembangbiakkan anak
kudanya hingga menjadi seperti gunung.” (HR. Al-Bukhari).

Hal ini karena Allâh Azza wa Jalla berfirman:

‫َيْمَح ُق ُهَّللا الِّر َبا َو ُيْر ِبي الَّصَد َقاِت ۗ َو ُهَّللا اَل ُيِح ُّب ُك َّل َك َّفاٍر َأِثيٍم‬

Allâh memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allâh tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam
kekafiran, dan selalu berbuat dosa. [Al-Baqarah/2:276]

Demikianlah sebagian pemanfaatan harta dalam kehidupan seorang Muslim agar membawa pemiliknya kepada
ridha Allâh Azza wa Jalla .
Referensi : https://almanhaj.or.id/7561-agar-benar-dalam-memanfaatkan-harta.html
Agama sebagai Kepentingan dan Kebutuhan bagi Manusia

Agama sangatlah penting dalam kehidupan manusia. Demikian pentingnya agama dalam kehidupan manusia,
sehingga diakui atau tidak, sesungguhnya manusia sangatlah membutuhkan agama. Dan sangat lah dibutuhkannya
agama oleh manusia, tidak saja dimasa primitif dulu sewaktu ilmu pengetahuan belum berkembang, tetapi juga di
zaman modern sekarang sewaktu ilmu dan teknologi telah sedemikian maju.

Agama lah yang telah membimbing kita kepada moral, prilaku dan cara hidup yang diridhai oleh Allah. Allah telah
menjelaskan dalam Al-Qur'an bahwa orang yang patuh kepada agama akan berada di jalan yang benar, sedangkan
Al-Qur'an memandang manusia sebagaimana fitrahnya yang suci dan mulia, bukan sebagai manusia yang kotor dan
penuh dosa.

Karena itu, kualitas, hakikat, fitrah, kesejatian manusia adalah baik, benar, dan indah. Tidak ada mahluk di dunia ini
yang memiliki kualitas dan kesejatian semulia itu, kewajiban untuk memahami, dan mengamalkan agama secara
benar adalah tuntutan bagi setiap manusia.

Baca juga: 4 Fungsi Agama bagi Kehidupan Bermasyarakat

Khususnya Islam, islam menganjurkan manusia yang memeluk agama islam itu secara menyeluruh tidak setengah-
setengah, sehingga dengan kondisi seperti itulah rasa keyakinan kita terhadap agama yang kita anut perlu
dimaksimalkan dengan mencari tau sungguh-sungguh, artinya didalam agama islam ada pondasi yang sangat
mendasar yaitu pemahaman tauhid.

Dalam islam terdapat, konsep bahwa setiap orang dilahirkan dalam keadaan fitrah, fitrah dalam hal ini berarti bayi
dilahirkan dalam keadaan suci, tidak memiliki dosa apapun. Seseorang yang kembali kepada fitrahnya, mempunyai
makna ia mencari kesucian dan keyakinan yang asli, sebagaimana pada saat ia dilahirkan.

Jadi fitrah adalah sesuatu yang netral pada jiwa tidak terikat oleh keinginan dan keperluan duniawi, fitrah hanya
punya satu tujuan yaitu selalu ingin kembali kepada Tuhan penciptanya. Sedangkan pendapat Ibnu Katsir dalam
kitab Mukhtashar Tafsir Ibn Katsir II. Didalam nya membahas ayat alqur'an tersebut, ibn katsir menegaskan bahwa
manusia memiliki fitrah bertuhan.

Hidup beragama adalah sesuai dengan fitrah manusia. Sebab itu, orang-orang yang mengingkari agama adalah
membohongi hati nuraninya sendiri, hal ini dibuktikan dari banyak peristiwa-peristiwa dimana orang-orang yang
katanya anti agama, atau tidak percaya adanya Tuhan, pada saat-saat mereka mengalami kesulitan atau diwaktu
mereka hampir mati, barulah mereka menyebut-nyebut nama Tuhan.

Ada hadist yang membahas tentang pentingnya agama bagi manusia karena sebagai mahluk yang dianugerahi akal,
manusia cenderung mencari hakikat dirinya diatas muka bumi ini.

Baca juga: Fungsi Agama dan Hubungan dengan Hak dan Kewajiban Warga Negara Indonesia Saat Pandemi
Covid-19

Salah satu nya hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari, yaitu sebagai berikut:"Dari Az-Zuhri dia berkata; telah
menggambarkan kepadaku Abu Salamah bin Abdurrahman bahwa Abu Hurairah radliallahu'anhu berkata;
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:'seorang bayi tidak dilahirkan (ke dunia ini) melainkan ia berada
dalam kesucian fitrah. Kemudian kedua orang tuanyalah yang akan membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, ataupun
Masuji sebagaimana hewan yang dilahirkan dalam keadaan selamat tanpa cacat. Maka, apakah kalian merasakan
cacat?' (HR.s BUKHARI)

Dari hadist diatas menjelaskan bahwa, fitrah sebagai keadaan atau kondisi penciptaan terhadap dalam diri manusia
yang menjadikan berfotesti melalui fitrah nya.

Fitrah agama wajib dimiliki karena fitrah itu pembawaan, ada yang menyebutkan bahwa dalam keadaan lahir
manusia itu islam tetapi orang tuanya lah yang merubah nya, jadi dapat diartikan semua bayi yang baru lahir
beragama islam tetapi misal nya orang tua nya yahudi, anak secara sendirinya menjadi yahudi.

Bagi orang-orang diluar islam, agama islam mengampuni bagi orang-orang yang mengerjakan kesalahan karena
kebodohan nya. Karena fitrah agama yang paling baik yaitu agama islam, pasti banyak kelebihan nya dan terbukti
agama islam mengantarkan kita kepada tauhid atau penyaksian kepada ketunggalan tetapi ada saja yang tidak
memiliki agama , karena mereka beranggapan bahwa tidak ada agama yang sempurna.
Bahkan dalam Al-Qu'ran pun yang menjelaskan tentang fitrah yaitu dalam Al-Qu'ran surah Ar Rum ayat 30, yang
artinya;"Maka hadapkanlah wajahmudengan lurus kepada agama (islam), (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah
menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (itulah) agama yang lurus,
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui".

Baca juga: Fungsi Agama dalam Masyarakat

Jadi dalam Al-Qur'an surah Ar Rum ayat 30 di atas mengartikan bahwa luruskan lah wajahmu dan menghadaplah
kepada agama, maksudnya untuk selalu menjaga iman dan taqwa kepada Allah SWT dan menjauhi berbagai hal
yang mendekatkan kepada kesesatan. Selalu tetap pada fitrah nya, yang berarti harus menerima semua ajaran tauhid
dan tidak pernah mengingkarinya. Tapi orang musyrik tidak pernah mengetahuinya , bahwa hal tersebut sudah
menjadi fitrah manusia.

Dari apa yang sudah dijelaskan di atas bahwa fitrah manusia itu telah mengajarkan kita mengenal agama,
sebagaimana yang kita ketahui bahwasan nya kita memang membutuhkan agama dalam kepentingan hidup
manusia. dan seperti yang sudah dijelaskan di hadist diatas bahwa fitrah manusia akan berkembang baik atau buruk
sesuai ditempat lingkungan nya itu sendiri terutama dalam lingkungan keluarga dan hal yang paling utama adalah
orang tua.

Sebab orangtualah yang akan mengenalkan kita didalam lingkungan nya. Orang tua mesti menumbuh kembangkan
anak mereka agar tetap memegang teguh tauhid. Lebih dari itu, mereka juga semestinya terus berupaya menjadikan
anak-anak nya agar lebih baik.

Anda mungkin juga menyukai