Anda di halaman 1dari 4

KHUTBAH PERTAMA : ISTIQAMAH BERIBADAH SETELAH

RAMADHAN
Ummatal Islam,

Senantiasa kita memuji Allah yang telah memberikan kita banyak kenikmatan.
Sesungguhnya kenikmatan yang terbesar yang Allah berikan adalah nikmat keislaman
dan keimanan. Maka kewajiban kita untuk mensyukuri nikmat yang besar tersebut
dengan cara terus beramal shalih dan menggali ilmu Allah yang telah Allah berikan
kepada RasulNya, lalu beliau sampaikan kepada para Sahabatnya. Demikian dari zaman
ke zaman. Setiap ulama menyampaikan ilmu untuk menjadi sebuah penerang dalam
kehidupan kita.

Diantara yang Allah jelaskan dalam Al-Qur’an, sebuah ayat yang mulia yang hendaknya
kita jadikan sebagai motto dalam kehidupan kita. Allah Ta’ala berfirman:

Dalam surat Al-Insyirah ini Allah mengatakan:

“Apabila kamu telah selesai, maka berdirilah.” (QS. Al-Insyirah[94]: 7)

Menjadi pendapat para ulama, di mana para ulama tafsir ketika menafsirkan ini ada dua
pendapat:

Pendapat yang pertama mengatakan bahwa artinya apabila kamu telah selesai
melaksanakan urusan dunia kamu berupa mencari nafkah ataupun yang lainnya, maka
berdirilah untuk akhiratmu, segeralah kamu lakukan kehidupan akhiratmu. Ini Allah
merupakan perkara yang Allah perintahkan. Apabila kita telah mencari dunia, kemudian
setelah itu kita segeralah mencari akhirat kita.

Sementara pendapat yang kedua dari pendapat para ulama mengatakan bahwa yang
dimaksud ayat ini artinya apabila kamu telah selesai beribadah, maka segeralah kamu
bersiap-siap menuju ibadah berikutnya. Karena kehidupan manusia hendaknya tidak
lepas dari ibadah dan ibadah. Apabila kita telah selesai shalat lima waktu misalnya,
segera kita berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Setelah selesai berdzikir segera
kita berpindah dari satu ibadah kepada ibadah berikutnya.

Setelah kita selesai bulan Ramadhan, kita melaksanakan puasa sebulan penuh, segera
kita pun melaksanakan puasa berikutnya yaitu puasa Syawal dan amalan-amalan shalih
yang lainnya. Dan ini adalah pendapat kebanyakan para ulama tafsir. Dan dua pendapat
tersebut sebetulnya tidak bertentangan sama sekali. Karena orang yang mencari dunia
tiada lain adalah untuk mencari kehidupan akhirat apabila ia niatkan karena Allah
Subhanahu wa Ta’ala.

Seseorang yang mencari nafkah, kalau ia tujuannya adalah untuk mencari nafkah yang
Allah wajibkan kepada dia, untuk menafkahi anak dan istrinya maka itu menjadi pahala
di sisi allah Subhanahu wa Ta’ala. Seorang yang melakukan perbuatan yang sifatnya
duniawi, apabila itu memang tujuannya karena Allah, di jalan Allah dan sesuai dengan
syariat Allah, maka itu bernilai ibadah di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Manusia, Allah ciptakan untuk ibadah. Maka kita berusaha untuk berpindah dari satu
ibadah kepada ibadah berikutnya. Apabila kita telah selesai dalam ibadah mencari
nafkah, kita berusaha mencari ibadah yang lainnya. Yaitu dengan berusaha banyak
berdzikir kepada Allah, dengan shalat, dengan membaca Qur’an dan yang lainnya.
Apabila kita telah selesai di bulan Ramadhan ini, Alhamdulillah. Dengan karunia dari
Allah Subhanahu wa Ta’ala, segera kita bersiap-siap menuju ibadah berikutnya. Yaitu
berpuasa di bulan Syawal. Kemudian setelah Syawal, berikutnya kita akan menjelang
bulan-bulan haram, Dzulhijjah, Dzulqa’dah dan Muharram. Tiga bulan haram yang
sangat mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang sangat diperintahkan kita untuk
banyak berbuat kebaikan di dalamnya.

Ummatal Islam,

Betapa indahnya seorang Mukmin yang hidupnya tak lepas dari ibadah. Ketika ia telah
selesai dari satu ibadah menuju ibadah berikutnya. Karena ibadah itu bukanlah sebatas
kita hanya shalat, membaca Qur’an, tidak. Akan tetapi kata Syaikhul Islam, bahwa ibadah
adalah:

‫اسم جامع لكل ما يحبه هللا ويرضاه من األقوال واألعمال الظاهرة والباطنة‬
Setiap perkara yang dicintai oleh Allah berupa ucapan ataupun perbuatan yang tampak
maupun yang tersembunyi, semua yang Allah cintai.

Anda berolahraga karena untuk melaksanakan hak badan Anda agar sehat, kemudian
bisa beribadah dengan tenang dan dengan kesehatan itu Anda bisa melakukan hal-hal
yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang yang sakit dari ibadah kepada Allah, maka itu
menjadi kebaikan, insyaAllah.

Maka ya ummatal Islam,

Inilah motto seorang Mukmin. Seorang Mukmin berusaha untuk menjadikan bagaimana
waktu-waktunya bernilai ibadah di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang-orang barat
mengatakan waktu adalah uang. Karena bagi mereka kehidupan itu hanyalah dunia.
Mereka tidak meyakini adanya kehidupan akhirat. Sementara kita orang yang beriman
mengatakan bahwa waktu itu adalah pahala. Dia ingin berusaha setiap waktunya, setiap
menitnya, setiap jamnya, dia bisa meraih pahala yang besar di sisi Allah Subhanahu wa
Ta’ala.

Maka Subhanallah,

Perbuatan ini hanyalah untuk orang-orang yang ia yakin benar kepada Allah dan
kehidupan akhirat. Oleh karena itu Allah berfirman:

“Dan kepada Rabbmu hendaklah kamu berharap.” (QS. Al-Insyirah[94]: 8)

Iya.. Seorang Mukmin hanya berharap kepada Allah semata, seorang Mukmin hanya
menggantungkan pengharapannya kepada Allah. Yang dia inginkan dalam hidupnya,
satu tujuannya, yaitu cinta Allah dan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia tidak ingin
menjadikan cinta manusia sebagai tujuan yang terbesar. Karena manusia bisa berubah-
rubah hatinya. Hari ini ia cinta, mungkin besok ia benci. Sedangkan apabila Allah sudah
mencintai kita, Allah mampu menjadikan hati-hati manusia mencintai diri kita. Sehingga
pada waktu, tujuan terbesar dalam hidupnya adalah keridhaan Allah semata.

Subhanallah.. Betapa mulianya seorang Mukmin. Sehingga ketika ia ditimpa kesulitan


apapun, ia bersabar karena yang ia harapkan adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketika
ia diberikan kesenangan, dia tidak tertipu dan bahkan ia bersyukur kepada Allah. Karena
yang ia harapkan di hatinya telah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sungguh Rasulullah kagum
kepada seorang Mukmin karena itu. Rasulullah bersabda:

‫ ِإْن َأَص اَبْتُه َس َّراُء‬، ‫َع َج ًباِ َألْم ِر اْلُم ْؤ ِم ِن إَّن َأْمَر ُه ُك َّلُه َلُه َخ ْيٌر َو َلْيَس َذ ِلَك ِ َألَح ٍد ِإَّال ِلْلُم ْؤ ِم ِن‬
‫ َو ِإْن َأَص اَبْتُه َض َّراُء َص َبَر َفَك اَن َخ ْيرًا َلُه‬،‫َشَك َر َفَك اَن َخ ْيًرا َلُه‬
“Sungguh menakjubkan urusan seorang Mukmin, semua urusannya adalah baik baginya.
Hal ini tidak didapatkan kecuali pada diri seorang Mukmin. Apabila mendapatkan
kesenangan, dia bersyukur, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya.
Sebaliknya apabila tertimpa kesusahan, dia pun bersabar, maka yang demikian itu
merupakan kebaikan baginya.” (HR. Muslim)

Dan itu tidak akan terjadi kecuali pada orang-orang yang beriman saja.

‫أقول قولي هذا واستغفر هللا لي ولكم‬

KHUTBAH KEDUA – ISTIQAMAH BERIBADAH SETELAH RAMADHAN


Ummatal Islam,

Ketika seseorang di hatinya hanya mengharapkan Allah dan kehidupan akhirat, di saat
itulah ia akan diberikan oleh Allah kemudahan untuk mengikuti Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Karena hanya orang-orang yang menginginkan Allah dan kehidupan
akhirat saja yang mampu menjadikan Rasulullah sebagai suri tauladan dalam hidupnya.
Allah berfirman:

‫َّلَقْد َك اَن َلُك ْم ِفي َر ُسوِل الَّلـِه ُأْس َو ٌة َح َس َنٌة‬


“Sungguh telah ada pada diri Rasulullah, uswatun hasanah (suri tauladan yang baik)”
Bagi siapa? Yaitu:

‫ِّلَم ن َك اَن َيْر ُجو الَّلـَه َو اْلَيْو َم اآْل ِخ َر‬


“Bagi orang yang mengharapkan Allah dan kehidupan akhirat.” (QS. Al-Ahzab[33]: 21)
Iya.. Seorang Mukmin di hatinya adalah harapannya adalah ridha Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Sebagaimana Allah menyebutkan dalam ayat tadi:
﴾٨﴿ ‫َو ِإَلٰى َر ِّبَك َفاْر َغ ب‬
“Dan kepada Rabbmu hendaklah kamu berharap.” (QS. Al-Insyirah[94]: 8)
Sehingga Allah berikan dia kekuatan untuk menjalankan perintah-perintahNya,
menjauhi larangan-laranganNya. Sedangkan orang yang mengharapkan dunia, sesuatu
yang terbesar di hatinya adalah dunia, jangan harap dia bisa menjalankan syariat Allah,
jangan harap dia bisa menjadikan Rasulullah sebagai suri tauladan dalam hidupnya.
Karena perintah-perintah Allah dan RasulNya seringkali tidak sesuai dengan
kepentingan dunia kita, seringkali batasan-batasan Allah membuat seseorang yang
menginginkan dunia itu seakan-akan itu adalah penjara bagi dia. Sehingga akhirnya
berapa banyak orang-orang yang mengharapkan dunia dimana dunia menjadi sesuatu
yang terbesar di hatinya, ia menghalalkan apa yang Allah haramkan. Ia tidak peduli
dengan halal dan haram lagi. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
sudah mengabarkan dalam haditsnya:

‫َلَيْأِتَيَّن َع َلى الَّناِس َز َم اٌن اَل ُيَباِلي اْلَم ْر ُء ِبَم ا َأَخ َذ اْلَم اَل َأِم ْن َح اَل ٍل َأْم ِم ْن َح َر اٍم‬
“Akan datang suatu zaman pada umat manusia, mereka tidak lagi peduli dengan cara
untuk mendapatkan harta, apakah melalui cara yang halal ataukah dengan cara yang
haram.” (HR. Bukhari)

Karena disaat itu, yang mereka harapkan adalah dunia, tidak mengharapkan lagi karunia
Allah, tidak mengharapkan lagi keridhaan Allah, tidak mengharapkan lagi kehidupan
akhirat, na’udzubillah.
Maka jadilah kita anak-anak akhirat dan jangan kita menjadi anak-anak dunia. Ali Bin
Abi Thalib berkata bahwa sesungguhnya akhirat itu pasti akan datang dan dunia itu pasti
akan pergi dan setiap mereka mempunyai anak-anak.

‫َفُك وُنوا ِم ْن َأْبَناِء اآْل ِخ َر ِة َو اَل َتُك وُنوا ِم ْن َأْبَناِء الُّد ْنَيا‬
“Jadilah kamu anak-anak akhirat dan jangan menjadi anak-anak dunia.”

:‫عباد هللا‬

ۚ ‫ِإَّن الَّلـَه َيْأُم ُر ِباْلَع ْد ِل َو اِإْل ْح َس اِن َو ِإيَتاِء ِذ ي اْلُقْر َبٰى َو َيْنَهٰى َع ِن اْلَفْح َش اِء َو اْلُم نَك ِر َو اْلَبْغ ِي‬

‫َيِع ُظُك ْم َلَع َّلُك ْم َتَذَّك ُروَن‬


.‫ ولِذ كُر هللا أكَبر‬،‫ َو اْشُك ُروُه َع َلى ِنَعِمِه َيِزْد ُك م‬،‫َفاْذ ُك ُروا هللا الَعِظ ْيَم َيْذ ُك ْر ُك م‬

Anda mungkin juga menyukai