Anda di halaman 1dari 7

Keseimbangan Kehidupan Manusia Dunia Dan Akhriat

Abstrak

Dalam islam mengajarkan bahwa sebagai manusia harus seimbang antara


kehidupan di dunia maupun kehidupan di akhirat. Sebagai orang Islam, dalam
usaha untuk meraih kebahagiaan hidup di dunia untuk kehidupan di akhirat,
maka sesungguhnya Ia mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Begitu sebaliknya, bila hanya mengejar kepentingan dunia saja, maka
sesunggunya Ia tidak akan mendapat kebahagiaan di akhirat.
Dalam pandangan Islam, keberadaan manusia diibaratkan sebagai seorang
musafir saat di perjalanan hanya menumpang istirahat sebentar, kemudian
melanjutkan kea rah tujuan yang akan disinggahi. Tujuan sementara manusia
hidup di dunia salah satunya untuk memanfaatkan kehidupan dengan berbuat
baik, menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, baik harta,
kekuasaan, tahta yang diberikan oleh Allah digunakan atau dibelanjakan sesuai
yang diajarkan dalam ajaran Islam sebagai persiapan bekal kebutuhan menuju
kebahagiaan di akhirat menuju surga.
Allah Swt adalah tempat memohon, meminta, bergantung, berkeluh kesah dari
segala masalah cobaan kehidupan yang dialami oleh manusia. Dalam kondisi
ini, maka berdoalah kepada Allah Swt.
Umat Islam setelah mengerjakan shalat, berdzikir, kemudian berdoa:
‫سنَةٓ ال ُّدنْيَا فِى ٰاتِنَا َربَّ َنٓا‬ ٰ ْ ٓ‫سنَة‬
َ ‫اْل ِخ َر ِٓة َّوفِى َح‬ َٓ َ‫عذ‬
َ ‫اب َّوقِٓنَا َح‬ ِٓ َّ‫الن‬
َ ‫ارار‬
Artinya: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia, juga kebaikan di
akhirat. Dan peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Albaqarah:201)
Firman Allah Swt dalam QS. Al-Qosos:77
‫غ َوأَحْ سِن ۖٓٱل ُّد ْنيَا‬
ِٓ
‫سا َٓد‬ ٓ ِ ‫ٱّلل إِنَّٓ ۖٓ ْٱْل َ ْٓر‬
َ َ‫ض فِى ٱ ْلف‬ ََّٓ ‫ب َْٓل‬
ُّٓ ‫س َك َمآ يُ ِح‬ َ ْ‫ٱّللُ أَح‬
ِ ‫سنَٓ ٱ ْل ُم ْف‬ َّٓ َٓ‫ب َو َْٓل ۖٓإِلَيْك‬
ْٓ َ ‫ت‬
َٓ‫ٱّللُ َءات َ ٰىكَٓ فِي َمآ َوٱ ْبت َ ِٓغ دِين‬ َٓ ‫اخ َر ٓةَ ٱلد‬
َّٓ ‫َّار‬ َٓ َ ‫ِمنَٓ نَ ِصيبَكَٓ ت‬
ِ ‫نس َو َْٓل ۖٓٱ ْل َء‬
Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana
Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di
(muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan.”

Kesimpulan dari ayat tersebut adalah Allah Swt memerintahkan kepada umat
manusia untuk memanfaatkan kenikmatan rezeki yang diperoleh untuk
disedekahkan sebagian dan jangan hanya digunakan untuk memuaskan hawa
nafsu. Janganlah kamu tinggalkan syarat halal dan haram atas hartamu, bagimu
untuk beribadah dengan jujur dan makruf, sebagaimana Allah telah berbuat
baik, memberi harta yang banyak, melimpah dan barokah dan janganlah kamu
berbuat dzalim di muka bumi dengan harta ini, sebab Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan.

“Dari Anas ra, bahwasannya Rasulullah SAW, telah bersabda, “Bukanlah


yang terbaik diantara kamu sekalian orang yang meninggalkan urusan
dunianya karena mengejar urusan akhiratnya, dan bukan pula (orang yang
terbaik) orang yang meninggalkan akhiratnya karena mengejar urusan
dunianya, sehingga ia memperoleh kedua-duanya, karena dunia itu adalah
(perantara) yang menyampaikan ke akhirat, dan janganlah kamu menjadi
atas menjelaskan tentang kehidupan manusia yang seharusnya di jadikan suatu
panutan yaitu kehidupan yang berimbang, kehidupan dunia harus diperhatikan
disamping kehidupan di akhirat. Islam tidak memandang baik terhadap orang
yang hanya mengutamakan urusan dunia saja, tapi urusan akhirat dilupakan.
Sebaliknya Islam juga tidak mengajarkan umat manusia untuk konsentrasi
hanya pada urusan akhirat saja sehingga melupakan kehidupan dunia.
Salah satu di antara karakteristik agama Islam adalah tawazun (keseimbangan).
Kehidupan dalam Islam sebagaimana disyariatkan Allah SWT dan Rasul Nya,
merupakan kehidupan yang simbang dan selaras, dengan sisi-sisi kehidupan
material. Ada sebuah riwayat, pada suatu hari salah seorang sahabat Rasulullah
SAW lewat di sebuah lembah dengan mata air yang jernih dan segar. Lembah
itu sangat mempesona, sehingga sahabat itu berfikir untuk mengasingkan diri
dari masyarakat dan menghabiskan waktunya untuk beribadah di lembah
tersebut. Ia menghadap dan memberitahukan maksudnya itu kepada Rasulullah
SAW. Kemudian Rasulullah SAW bersabda :
“Jangan kamu lakukan itu, kedudukanmu di jalan Allah jauh lebih mulia dan
lebih mulia daripada shalat yang engkau lakukan di lembah tersebut selama 70
tahun. Tidakkah kamu ingin agar Allah SWT mengampuni segala kesalahanmu
dan memasukanmu ke dalam surga? Maka berjuanglah di jalan Allah”.
Artinya hiduplah di tengah-tengah masyarakat dengan mempertahankan aqidah
dan menyebarkannya kepada yang lain. Itulah makna ummatan wasatha (umat
yang seimbang) antara hablum minallah dan hablum minan naas. Wasathon
artinya juga pertengahan. Posisi pertengahan dalam arti tidak memihak ke
kanan dan ke kiri. Dan ini akan mengantarkannya untuk berlaku adil. Posisi
pertengah dalam pandangan Islam tentang hidup adalah bahwa di samping ada
dunia ada juga akhirat. Keberhasilan di akhirat ditentukan oleh iman dan amal
shaleh di dunia. Manusia tidak boleh tenggelam dalam materialisme, tetapi juga
tidak boleh terlalu larut dalam spiritualisme yang sangat tinggi sehingga
melupakan dunia. Pandangan mengarah ke langit, namun kaki harus tetap
berpijak di bumi. Islam mengajarkan umatnya meraih materi duniawi, tetapi
dengan nilai-nilai ukhrawi. (al Qashshash : 77).
Rasulullah SAW adalah contoh paling ideal bagi kehidupan yang berimbang.
Islam tidak mengajarkan agar umatnya mengisolirkan diri dari kehidupan yang
tujuannya untuk beribadah kepada Allah saja di tempat pertapaan, atau hanya
berkutat di Biara seperti seorang pendeta. Bahkan Islam mengingkari orang-
orang yang menciptakan kehidupan sendiri ala pendeta yang tidak berumah
tangga atau menikah.
Dalam sebuah riwayat, pernah ada tiga orang sahabat bertanya kepada kepada
salah seorang isteri Rasulullah SAW, Aisyah RA. Sahabat itu bertanya :
“Bagaimana ibadahnya Rasulullah SAW”? Aisyah menjawab : “Bahwa
ibadahnya Rasulullah SAW begini, begitu dan sebagainya. Setelah mendengan
jawaban Aisyah, ketiga sahabat tersebut membandingkan dengan dirinya,
bahwa ibadah diri mereka sungguh tidak ada apa-apanya dibanding dengan
ibadahnya Rasulullah SAW. Sementaa Allah SWT telah mengampuni dosa-
dosa Rasulullah yang terdahulu dan yang akan datang. Akhirnya salah seorang
dari mereka ada yang mengatakan bahkan bersumpah, akan melakukan puasa
terus menerus. Sedang orang kedua juga mengatakan akan shalat malah terus
menerus. Sedang orang ketiga akan beribadah terus dan tidak akan kawin
selamanya. Rasulullah SAW yang mendengar pernyataan ketiga sahabat
tersebut, datang dan bersabda : “Sungguh aku adalah orang yang paling takut
dan orang yang paling bertaqwa di antara kalian. Tetapi aku berpuasa tetapi aku
juga makan berbuka. Aku bangun malam untuk shalat, tetapi aku juga tidur.
Dan akupun juga menikahi wanita. Maka barang siapa yang tidak menyukai
sunnahku, maka mereka tidak termasuk golonganku”.
Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW pernah menasehati Abdullah bin Amr.
Tatkala beliau mengetahui bahwa sahabatnya tersebut terus-menerus berpuasa,
shalat malam, dan membaca Al-Qur’an. Sehingga ia melalaikan hak dirinya,
hak isteri dan anaknya, dan hak-hak orang lain yang mengunjunginya. Maka
Rasulullah SAW memerintahkan kepada sahabat tersebut agar mengambil jalan
tengah dalam masalah ini, seraya beliau bersabda : “Sesungguhnya dalam
jasadmu mempunyai hak atas dirimu, yaitu untuk beristirahat. Demikian juga
matamu mempunyai hak atas dirinya untuk tidur. Demikian pula isterimu juga
mempunyai hak atas dirimu, untuk bercengkerama dan lain sebagainya.
Demikian pula terhadap tamu-tamumu, mereka mempunyai hak atas dirinmu”.
Kehidupan dunia bersifat fana dan semu. Kehidupan yang sesungguhnya adalah
kehidupan setelah mati, yakni akhirat (QS Al-An’am: 33). Sayangnya, banyak
manusia yang lupa atau bahkan melupakan diri. Mereka mengabaikan tujuan
penciptaan manusia untuk beribadah kepada Allah (QS Adzdzariyat: 56).
Perkembangan zaman yang semakin maju tidak diiringi oleh peningkatan iman
kepada-Nya. Geliat perekonomian yang semakin berkembang justru
memalingkan perhatian manusia untuk lebih mencari harta, bahkan
mendewakannya. Our God is dollar, itulah sekiranya yang mereka pahami. Di
lain sisi, terdapat sebagian kaum Muslim yang terjebak pada ibadah ritual
semata dan cenderung meninggalkan perkara duniawi. Sepanjang hidupnya
dihabiskan untuk beribadah dengan cara mengasingkan diri (uzlah) dari
masyarakat dan berbagai cara lainnya.
Sesungguhnya, setiap Muslim hendaknya menyeimbangkan antara kehidupan
duniawi dan ukhrawi. Allah SWT berfirman, “Dan, carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, janganlah kamu
melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah
kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Alqashash: 77).
Ayat di atas merupakan nasihat Nabi Musa terhadap Qarun, seorang kaya raya
pada zaman Nabi Musa. Allah telah memberinya harta yang berlimpah ruah
sehingga dibutuhkan beberapa orang kuat untuk mengangkat kunci-kunci
gudang hartanya (QS Alqashash: 76). Namun, kekayaannya itu malah
menjauhkan dirinya dari Allah. Ia sombong seraya menyatakan bahwa
kekayaannya tersebut merupakan hasil kepandaiannya. Ia menyangka bahwa
Allah memberinya segala kekayaan tersebut karena Allah mengetahui bahwa
dia adalah pemilik harta tersebut (QS Alqashash: 78).
Nasihat di atas berseru kepada umat manusia untuk mencari kehidupan akhirat
(surga) dengan menggunakan segala nikmat yang Allah berikan, baik berupa
harta, waktu luang, masa muda, kesehatan, maupun umur yang panjang. Dunia
merupakan ladang akhirat. Siapa yang menanam kebaikan akan memanen
kebaikan pula. Namun, Allah juga mengingatkan untuk tidak melalaikan
kehidupan duniawi, seperti makan, minum, bekerja, dan memberi nafkah
keluarga. bnu Umar mengungkapkan, “Bekerja keraslah untuk duniamu seakan-
akan kamu hidup selamanya dan berbuatlah untuk akhiratmu seakan-akan kamu
meninggal esok hari.” Wallahu a’lam.
KESIMPULAN
Kita sebagai manusia di ciptakan harus bisa mengisi bidang bidang kita
agar kita senantiasa mendaptkan keseimbangan hidup dunia maupun
akhirat. Ulama mengatakan kalau hanya mengejar dunia maka akhriat
tidak dapat (ikut), tetapi kalau kita mengejar akhriat dunia dapat. pada
intinya kita hidup harus bisa melakasanakan perintah yang membuat hidup
yakni Allah SWT.
Daftar Pustaka
https://tafsirweb.com/7127-surat-al-qashash-ayat-77.html
Ma’ruf. Konsep Mewujudkan Keseimbangan Hidup Manusia
Dalam Sistem Pendidikan Islam. Jurnal Al-Makrifat Vol.4, No.2,
Oktober 2019
Musyaffa Addariny. Harus Seimbang Antara Mencari Dunia Dan
Akhirat?

Anda mungkin juga menyukai